Anda di halaman 1dari 10

SEMINAR NASIONAL IDENTITAS KOTA-KOTA MASA DEPAN DI INDONESIA

tomorrow s success is todays strategies


21 Desember 2009, The Werdhapura Village, Jl. Danau Tamblingan No. 49, Sanur, Denpasar, Bali

Indonesia Most Livable City Index 2009 :


Indeks Persepsi dan Tantangan Menuju Masa Depan Kota Indonesia Yang Livable

Ir. Irwan Prasetyo, PhD & Dani Muttaqin, ST

Abstrak Perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia


yang terjadi dengan pesat dalam 3 dasawarsa terakhir yang
diindikasikan oleh semakin besarnya jumlah penduduk yang
tinggal dan beraktivitas di kawasan perkotaan dan
peningkatan intensitas aktivitas budidaya baik industri,
perdagangan dan perumahan beserta segala prasarana dan
sarana pendukungnya menyebabkan timbulnya berbagai
permasalahan perkotaan seperti semakin kecilnya Ruang
Terbuka Hijau (RTH), penurunan kualitas lingkungan dan
berbagai permasalahan perkotaan lainnya.
Arah perkembangan kota pada masa mendatang akan
mengalami peningkatan yang semakin pesat daripada yang
terjadi saat ini yang ditandai dengan semakin besarnya
ukuran kota baik dari segi jumlah penduduk maupun dari
sisi ukuran luas wilayah fisik, dan bahkan pada beberapa
kawasan membentuk konurbasi dan keterkaitan fisik dan
fungsi antar kota sehingga membentuk sebuah sistem kota
yang besar (Mega Urban Region) seperti yang terjadi pada
sistem Mebidang (Medan-Binjai-Deliserdang) di Sumatera
Utara, Jabodetabekjur di DKI Jakarta, Bandung Metropolitan
Area dan Kawasan Surabaya-Malang, dsk. Trend
perkembangan ini pasti akan terjadi di kawasan-kawasan
lain, termasuk di beberapa kawasan timur Indonesia seperti
di Makassar Sulawesi Selatan dan beberapa kawasan
potensial lainnya.
Pada umumnya perkembangan kawasan perkotaan dan
segala aktivitas ekonomi dan sosial dengan intensitas tinggi
menuntut pada semakin tingginya tingkat entropi
(ketidakteraturan) lingkungan perkotaan yang berdampak
pada menurunnya tingkat kenyamanan warga kota untuk
tinggal dan beraktivitas di kota tersebut. Meskipun demikian
pada beberapa kota yang direncanakan dan dikelola
dengan baik tetap memberikan kenyamanan bagi warga
kotanya untuk tinggal dan beraktifitas di kota tersebut.
Untuk mengetahui index tingkat kenyamanan di kota besar
Indonesia dilakukan suatu penelitian yang meliputi berbagai
aspek kehidupan perkotaan. Penelitian sejenis ini sudah
banyak dilakukan dibeberapa negara maju diantaranya
Amerika Serikat dan Kanada secara rutin sebagai salah
satu fungsi evaluasi dari kebijakan pembangunan kota yang
dilakukan dan pertimbangan bagi pengembangan
pembangunan kota di masa mendatang. Dalam rangka
mengetahui index tingkat kenyamanan kota-kota besar di
Indonesia maka Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)
yang merupakan asosiasi profesi bagi perencana kota dan
wilayah melakukan penelitian Indonesia Most Livable City
Index 2009.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui Index tingkat
kenyamanan beberapa kota besar di Indonesia berdasarkan

persepsi warga kota bersangkutan. Dengan berasumsi


bahwa warga kota merupakan pihak yang paling tahu dan
paling merasakan kondisi kota tersebut, maka tingkat
kenyamanan suatu kota dapat dinilai oleh masyarakat yang
tinggal di kota tersebut.
Beberapa nilai strategis dari penelitian ini adalah :
Belum adanya penelitian sejenis di Indonesia
mengenai Index tingkat kenyamanan kota-kota
besar, sehingga dengan demikian penelitian ini
menjadi pioner bagi penentuan index kota di
Indonesia yang dilakukan secara masal yang
melibatkan warga kota bersangkutan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah
satu pertimbangan dan masukan bagi stakeholder
kota dalam pembangunan kota
Karena dilakukan dibeberapa kota, maka index
hasil akhir dapat dilihat sebagai perbandingan
index kenyamanan suatu kota relatif terhadap kota
lainnya.
Livable
City
merupakan
sebuah
istilah
yang
menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota
yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat
untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik
aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll)
maupun aspek non-fisik (hubungan social, aktivitas
ekonomi, dll). Indikator
kenyamanan kota yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Kondisi Fisik Kota (tata Kota, RTH)
2. Kualitas Lingkungan (tingkat polusi, pencemaran)
3. Aksesibilitas Transportasi (transportasi public,
kualitas jalan)
4. Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial (fasilitas
pendidikan, kesehatan, rekreasi)
5. Utilitas (air bersih, listrik, telekomunikasi)
6. Kondisi Sosial Ekonomi Kota (kesempatan kerja,
tingkat kriminalitas)
Penelitian dilakukan di 10 kota besar di Indonesia yaitu :
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak,
Palangkaraya, Banjarmasin, Makassar, Menado, Jayapura.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa Kota Menado memiliki
indeks kota paling tinggi, sedangkan Kota Pontianak
memiliki indeks kota yang paling rendah. Aspek yang
menjadi kelemahan kota-kota besar tersebut adalah pada
aspek fisik sedangkan aspek yang menjadi kekuatan adalah
pada fasilitas pendidikan, kesehatan yang dirasakan oleh
warga sudah baik. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa
semua kota belum memberikan fasilitas yang mencukupi
bagi kaum penyandang cacat (diffable).
Keywords : Liveable City, Nyaman, Kota, Indonesia.

Ir. Irwan Prasetyo, MPM, PhD, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Jalan
Tambak 21 Pegangsaan Jakarta Pusat, 021-3905067, pras@centrin.net.id
Dani Muttaqin, ST, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Jalan Tambak 21
Pegangsaan Jakarta Pusat, 021-3905067, direksec_iap@yahoo.com

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

I. KERANGKA KONSEPTUAL
1.1 Urbanisasi dan Perkembangan Kota
Dekade sekarang ini adalah awal dari millennium
perkotaan,
karena
pada
tahun
2008-2009
diperkirakan lebih dari setengah jumlah penduduk
dunia berdomisili di kawasan perkotaan. Dalam
lingkup Indonesia, diperkirakan overlapping jumlah
penduduk perkotaan dan perdesaan akan terjadi pada
tahun 2015.
Gambar 1
Proyeksi Pertambahan Jumlah Penduduk Perkotaan Indonesia

Sumber : Wicaksono Sarosa, 2008

Pertambahan penduduk kota yang semakin cepat,


tingkat intensitas aktifitas warga kota yang semakin
intensif memberikan tekanan yang semakin besar
terhadap ruang dan pemenuhan kebutuhan berbagai
macam infrastruktur dan fasilitas perkotaan.
Ketidakseimbangan ini akan memicu berbagai
permasalahan perkotaan mulai dari fisik kota sampai
pada permasalahan yang pada akhirnya akan
berdampak pada semakin berkurangnya tingkat
kenyamanan hidup dikota.
Pada kondisi ini perkembangan suatu kota nampak
berbanding terbalik dengan tingkat kenyamanan di
kota tersebut, padahal seharusnya tidaklah demikian,
semakin berkembang dan maju suatu kota, maka
tingkat kenyamanan hidup di kota tersebut semakin
meningkat. Kondisi ini lah yang harus menjadi
identitas kota masa depan Indonesia, menjadi kota
yang berkembang, maju sejalan dengan tingkat
liveabity yang tinggi.

Beberapa institusi telah mengadakan beberapa


penilaian mengenai Livable City ini, diantaranya
adalah :
a. Americas Most Livable Communities, yang
menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di
Amerika Serikat.
b. Urban Construction Management Company,
UCMC IBRD (World Bank), yang menilai tingkat
sustanabiliy kota-kota di dunia.
c. International Center For Sustainable Cities,
Vancouver Working Group Discussion, yang
menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di
Kanada.
Dari beberapa event penilaian mengenai Livable City,
prinsip-prinsip dari Livable City diantaranya :
a. Tersedianya berbagai kebutuhan dasar
masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air
bersih, listrik)
b. Tersedianya berbagai fasilitas umum dan
fasilitas sosial (transportasi publik, taman
kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah)
c. Tersedianya ruang dan tempat publik untuk
bersosialisasi dan berinteraksi
d. Keamanan, Bebas dari rasa takut
e. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan
budaya
f. Sanitasi
lingkungan
dan
keindahan
lingkungan fisik
Most Livable City Index merupakan sebuah indeks
yang menunjukkan tingkat kenyamanan warga kota
untuk tinggal, menetap dan beraktivitas di suatu kota
yang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan kota.
Dari indeks tersebut dapat diketahui tingkat
kenyamanan warga kota terhadap kualitas kota
tersebut. Dengan dilakukan dibeberapa kota, maka
dapat diketahui tingkat kenyamanan tinggal di suatu
kota.
1.3 Mengubah Kebijakan Publik : Partisipasi
Masyarakat

1.2 Memahami Liveable City


Livable City merupakan sebuah istilah yang
menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana
kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan
sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari
berbagai aspek baik aspek fisik (fasilitas perkotaan,
prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik
(hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dll).

Pada
umumnya,
penilaian
terhadap
tingkat
kenyamanan pada umumnya didasarkan pada kriteria
yang disepakati oleh para ahli dan para ahli itulah
yang
melakukan
penilaian
terhadap
tingkat
kenyamanan di masing-masing kota. Dalam hal ini
maka keterlibatan masyarakat sebagai warga kota
untuk menilai tingkat kenyamanan kotanya menjadi
sangat minim.

Beberapa definisi Livable City diantaranya :


The coin of livability has two faces : Livehood is
one of them, ecological sustainability is the other
(P.Evans,ed 2002. Livable Cities ? Urban Struggles
for Livelihood and Sustainability)

Penelitian
ini
tidak
dimaksudkan
untuk
membandingkan satu kota dengan kota lainnya, tetapi
hanya untuk melihat tingkat apresiasi warga kota
terhadap kota tempat tinggalnya, meskipun pada
akhirnya dapat juga dilihat perbandingan tingkat
kenyamanan kota relatif terhadap kota lainnya
berdasarkan perspektif sudut pandang warga kotanya
masing-masing. Dengan demikian setiap warga kota
akan bertindak sebagai penilai bagi kota tempat
tinggalnya.

A Livable city is a city where I can have ahealthy


life and where I have the chance for easy
mobility The liveable city is a city for all people
(D.Hahlweg,1997. The City as a Family)

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

Penelitian ini merupakan kumulatif dari persepsi


warga kota sehingga bisa dikatakan sebagai
perception index atau consumer index. Lebih jauh
diharapkan dalam skala yang lebih massif akan bisa
memberikan masukan kepada pengelola kota dalam
menyusun atau merubah kebijakan pembangunan
kota berdasarkan masukan dari perception/ consumer
index ini.
II. METODOLOGI
II.1 Lokasi
Penelitian dilakukan di 10 kota besar, yaitu :
Jakarta,
Bandung,
Semarang,
Surabaya,
Banjarmasin, Palangkaraya, Pontianak, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan dan Jayapura. Sebaran kotakota tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Lokasi Penelitian Most Liveable City Index 2009

II.2 Kriteria
Kriteria yang digunakan berdasarkan pada hasil
Symposium Nasional : Masa Depan Kota Metropolitan
Indonesia (Medan, 4 Desember 2008) yang
menghasilkan 7 variabel utama perkotaan, yaitu :
Fisik Kota, Kualitas Lingkungan, Transportasi
Aksesibilitas, Fasilitas, Utilitas, Ekonomi dan Sosial.
Dari 7 variabel utama tersebut kemudian ditetapkan
25 kriteria penentuan liveable city seperti pada Table
1.

Tabel 1
Kriteria Liveable City
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Kriteria
Kualitas Penataan Kota
Jumlah Ruang Terbuka
Perlindungan Bangunan Bersejarah
Kualitas Kebersihan Lingkungan
Tingkat Pencemaran Lingkungan
Ketersediaan Angkutan Umum
Kualitas Angkutan Umum
Kualitas Kondisi Jalan
Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki
Ketersediaan Fasilitas Kesehatan
Kualitas Fasilitas Kesehatan
Ketersediaan Fasilitas Pendidikan
Kualitas Fasilitas Pendidikan
Ketersediaan Fasilitas Rekreasi
Kualitas Fasilitas Rekreasi
Ketersediaan Energi Listrik
Ketersediaan Air Bersih
Kualitas Air Bersih
Kualitas Jaringan Telekomunikasi
Ketersediaan Lapangan Pekerjaan
Tingkat Aksesibilitas Tempat Kerja
Tingkat Kriminalitas
Interaksi Hubungan Antar Penduduk
Informasi Pelayanan Publik
Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

II.3 Metode Penelitian


Dalam penelitian ditanyakan pendapat warga kota
mengenai beberapa aspek kondisi eksisting kotanya
masing-masing,
sehingga
dengan
demikian
masyarakat kota tersebut akan menjadi subjek dari
penelitian ini. Jumlah responden yang disurvey
sebanyak 100 responden di setiap kota dengan total
keseluruhan 1000 responden.
Data hasil survey akan diolah dengan teknik skoring
(pembobotan). Bobot ditentukan oleh tim peneliti dan
selanjutnya skor untuk setiap jawaban pada satu
variabel yang sama akan dijumlahkan dan dikalikan
dengan bobot variabel tersebut. Hasil akhir dari
semua variabel akan dijumlahkan, sehingga pada
akhirnya didapatkan skor total City Index untuk setiap
kota.

Gambar 3
Mind Mapping Liveable City

Sumber : Litbang MLCI IAP, 2009

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

III. TEMUAN PENELITIAN


Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap warga
di masing-masing kota diketahui bahwa city indeks
Menado paling tinggi dibandingkan dengan 9 kota
lainnya, yaitu sebesar 59,90. Sedangkan city indeks
yang paling rendah, yaitu Kota Pontianak dengan city
indeks 43,65.
Table 2
City Index 10 Kota Besar Indonesia
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kota
Manado
Makassar
Bandung
Jayapura
Surabaya
Banjarmasin
Semarang
Palangkaraya
Jakarta
Pontianak

Index
59.90
56.52
56.37
53.86
53.13
52.61
52.52
52.04
51.90
43.65

Sumber : Litbang MLCI IAP, 2009

City indeks tersebut merupakan sebuah angka indeks


persepsi dari masing masing kota sehingga tidak
secara langsung dapat diperbandingkan antara satu
kota dengan kota lainnya. Dengan demikian belum
tentu Kota Menado lebih nyaman dibandingkan
dengan Kota Surabaya dan Kota Pontianak yang
memiliki City Indeks lebih kecil.
Cara yang lebih tepat menginterpretasikan/ membaca
City Indeks tersebut adalah : warga Kota Menado
menilai tingkat kenyamanan kotanya lebih baik
dibandingkan dengan warga kota Makassar menilai
tingkat kenyamanan kotanya, dst.
Perbandingan relative nilai masing2 indeks kota di 10
kota yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 4.

Uraian yang lebih lengkap mengenai kondisi persepsi


warga kota terhadap tingkat kenyamanan kotanya
diuraikan pada paparan dibawah ini.
1. Manado
City Index Kota Menado adalah yang paling tinggi
dibandingkan 9 kota lainnya, yaitu sebesar 59,90.
Lima kriteria utama dirasakan oleh warga kota yang
berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan kota
adalah interaksi penduduk, informasi pelayanan
public, tingkat kriminalitas yang rendah, jaringan
telekomunikasi yang baik serta fasilitas pendidikan
yang baik.
96 % Warga Kota Menado menilai bahwa interaksi
antar penduduk kota sangat baik, hal ini menjadikan
Kota Menado sebagai kota yang sangat ramah dan
akrab sehingga nyaman sebagai tempat tinggal.
Berikut adalah 5 faktor utama yang dipilih oleh warga
kota yang menjadikan Kota Menado sebagai kota
yang liveable.
Kekuatan
Kualitas Fasilitas Pendidikan

77 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

82 %

Tingkat Kriminalitas Rendah

84 %

Interaksi Antar Penduduk

96 %

Informasi Pelayanan Publik

86 %

Faktor yang menjadi kelemahan dari Kota Menado


adalah kurangnya fasilitas rekreasi, kurangnya
fasilitas bagi kaum diffable, serta kualitas penataan
kota. Meskipun Menado merupakan salah satu tempat
destinasi wisata bahari yang terkenal secara nasional
dan nasional yaitu dengan adanya taman wisata laut
Bunaken, tetapi warga local merasa bahwa fasilitas
rekreasi skala kota yang bisa mereka nikmati masih
sangat kurang. 73 % warga Menado menilai bahwa
ketersediaan fasilitas rekreasi bagi warga kota masih
kurang.

Gambar 4
Liveable City Index 10 Kota Besar

Sumber : Litbang MLCI IAP, 2009

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

Kelemahan

Kekuatan

Kualitas Penataan Kota

61 %

Ketersediaan Angkutan Umum

89 %

Ketersediaan Fasilitas Rekreasi

73 %

Kualitas Fasilitas Kesehatan

94 %

Fasilitas Kaum Diffable

64 %

Ketersediaan Fasilitas Pendidikan

94 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

97 %

Interaksi Antar Penduduk

74 %

2. Makassar
Makassar merupakan kota metropolitan terbesar di
kawasan timur Indonesia dan menjadi hub bagi
pergerakan dan distribusi orang dan barang di
kawasan tersebut.
Faktor kenyamanan yang dirasakan oleh mayoritas
Warga Kota Makassar berada dalam kondisi baik dan
sangat baik adalah angkutan umum, energy listrik,
jaringan komunikasi, interaksi antar penduduk yang
baik serta informasi pelayanan publik. Kualitas
jaringan telekomunikasi, ketersediaan angkutan
umum serta interaksi antar warga dinilai baik oleh
lebih dari 80% warga Kota Makassar.
Kekuatan

Perkembangan Kota Bandung yang sangat pesat


dalam 2 dekade terakhir membuat pengendalian
aspek fisik menjadi suatu hal yang sulit untuk
dilakukan sehingga aspek fisik Kota Bandung dinilai
buruk oleh mayoritas warganya. 97 % warga Kota
Bandung menilai bahwa kualitas penataan kota
Bandung buruk, 91 % warga menilai tingkat
kebersihan kota buruk, 86 % menilai bahwa tingkat
pencemaran yang tinggi serta jumlah ruang terbuka
kurang.
Faktor factor tersebut merupakan kelemahan yang
dirasakan oleh warga Bandung yang membuat kota
mereka kurang nyaman untuk ditinggali.

Ketersediaan Angkutan Umum

85 %

Ketersediaan Energi Listrik

79 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

89 %

Kualitas Penataan Kota

97 %

Interaksi Hubungan Antar Penduduk

80 %

Jumlah Ruang Terbuka

86 %

Informasi Pelayanan Publik

79 %

Kualitas Kebersihan Lingkungan

91 %

Tingkat Pencemaran Lingkungan

86 %

Fasilitas Kaum Diffable

89 %

Faktor yang masih kurang menurut warga Kota


Makassar dan harus diperbaiki dimasa mendatang
adalah jumlah RTH, pencemaran dan kebersihan
lingkungan, ketersediaan lapangan kerja, serta
fasilitas bagi kaum diffable.
Kelemahan
Jumlah Ruang Terbuka

80 %

Kualitas Kebersihan Lingkungan

79 %

Tingkat Pencemaran Lingkungan

83 %

Ketersediaan Lapangan Pekerjaan

80 %

Fasilitas Kaum Diffable

76 %

Kelemahan

4. Jayapura
Jayapura merupakan satu-satunya kota yang
mewakili Pulau Papua dalam penelitian ini. Meskipun
berada di pulau dengan tingkat pembangunan
regional yang masih rendah, tetapi infrastruktur dasar
dan fasilitas umum dirasakan cukup baik oleh warga
Jayapura. Ketersediaan air bersih, angkutan umum
serta jaringan telekomunikasi dirasakan baik oleh
masyarakat, begitupun dengan hubungan antar
penduduk dan informasi pelayanan public.
Kekuatan

3. Bandung
Kualitas fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan
jaringan telekomunikasi di Kota Bandung dinilai baik
oleh lebih dari 90 % warga kota. Kultur dan hubungan
yang akrab antar warga kota yang sangat baik dan
ramah menjadi alasan lainnya yang menjadikan Kota
Bandung sebagai kota yang nyaman. Factor-faktor
tersebut menjadi faktor kekuatan bagi Kota Bandung
dalam menjadi kota yang liveable.

Ketersediaan Angkutan Umum

73 %

Kualitas Air Bersih

71 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

86 %

Interaksi Hubungan Antar Penduduk

91 %

Informasi Pelayanan Publik

79 %

Aspek fisik yang menjadi kelemahan di Kota Jayapura


adalah kualitas penataan kota dan buruknya
kebersihan lingkungan kota. Sedangkan dari aspek
infrastruktur adalah rendahnya pasokan energi
sehingga 77 % warga kota menilai bahwa
ketersediaan energi listrik di Kota Jayapura buruk.
Aspek sosial yang menjadi kelemahan yang dirasakan
oleh warga Kota Jayapura adalah tingginya tingkat
kriminalitas, dalam hal ini termasuk perkelahian antar

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

suku dan kerusuhan-kerusuhan lainnya. Meskipun


pada dasarnya masyarakat local ramah dan
berperangai baik, tetapi karena faktor budaya
kesukuan setempat seringkali terjadi perkelahian dan
perang antar suku sehingga menimbulkan rasa tidak
aman bagi warga kota. 68 % warga Kota Jayapura
menilai bahwa tingkat kriminalitas di Kota Jayapura
cukup tinggi.
Kelemahan
Kualitas Penataan Kota

87 %

Kualitas Kebersihan Lingkungan

77 %

Ketersediaan Energi Listrik

77 %

Tingkat Kriminalitas

68 %

Fasilitas Kaum Diffable

74 %

5. Surabaya
Dari persepsi masyarakat yang tinggal di Kota
Surabaya, diperoleh lima variabel kenyamanan kota
tertinggi yang dianggap cukup baik. Variabel tersebut
antara lain ketersediaan fasilitas kesehatan,
ketersediaan fasilitas pendidikan, ketersediaan energi
listrik, kualitas jaringan telekomunikasi dan tingkat
aksesibilitas tempat kerja. Ketersediaan energy listrik
memegang urutan pertama dari persepsi warga,
nilainya sekitar 86%.

6. Banjarmasin
Aspek fasilitas dirasakan cukup baik oleh warga Kota
Banjarmasin. Kualitas kesehatan, pendidikan, air
bersih dan jaringan telekomunikasi. Aspek lainnya
yang merupakan kekuatan adalah hubungan interaksi
antar warga kota yang cukup baik.
Kekuatan
Ketersediaan Fasilitas Kesehatan

78 %

Ketersediaan Fasilitas Pendidikan

78 %

Kualitas Air Bersih

73 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

86 %

Hubungan Antar Penduduk

86 %

Aspek fisik menjadi kelemahan Kota Banjarmasin. 84


88 % warga kota mengatakan bahwa tingkat
pencemaran lingkungan yang tinggi, jumlah ruang
terbuka yang kurang, serta kualitas penataan Kota
Banjarmasin adalah buruk.
Kelemahan
Kualitas Penataan Kota

86 %

Jumlah Ruang Terbuka

88 %

Tingkat Pencemaran Lingkungan

84 %

Ketersediaan Fasilitas Rekreasi

83 %

Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

84 %

Kekuatan
Ketersediaan Fasilitas Kesehatan

77 %

Ketersediaan Fasilitas Pendidikan

78 %

Ketersediaan Energi Listrik

86 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

83 %

Tingkat Aksesibilitas Tempat Kerja

73 %

Sedangkan dari kelemahan tingkat kenyamanan Kota


Surabaya, variabel pencemaran lingkungan adalah
yang paling dikeluhkan oleh masyarakat. Nilainya
sekitar 87%. Yang kedua adalah fasilitas kaum
diffable yang masih dianggap buruk.
Secara singkat lima variabel terendah dari tingkat
kenyamanan Kota Surabaya adalah sebagai berikut :
tingkat pencemaran lingkungan, fasilitas kaum
diffable, kualitas angkutan umum, jumlah ruang
terbuka dan tingkat kriminalitas serta kualitas
penataan kota
Kelemahan
Kualitas Penataan Kota

72 %

Jumlah Ruang Terbuka

73 %

Tingkat Pencemaran Lingkungan

87 %

Kualitas Angkutan Umum

80 %

Tingkat Kriminalitas

72 %

Fasilitas Kaum Diffable

84 %

7. Semarang
Mayoritas Warga Kota Semarang menilai bahwa
kondisi fasilitas kesehatan, pendidikan, jaringan listrik
dan komunikasi di kota mereka cukup baik, yaitu pada
angka 80 86 %. Aspek lainnya yang dirasakan baik
adalah interaksi antar penduduk kota yaitu pada
angka 84 %.
Kekuatan
Ketersediaan Fasilitas Kesehatan

84 %

Kualitas Fasilitas Pendidikan

86 %

Ketersediaan Energi Listrik

80 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

86 %

Interaksi Hubungan Antar Penduduk

84 %

Aspek yang menjadi kelemahan dari Kota Semarang


adalah pada aspek fisik. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui 90% warga kota berpendapat bahwa
kualitas penataan ruang kota buruk, 86 %
menyatakan bahwa jumlah ruang terbuka kurang, 82
% menyatakan bahwa tingkat pencemaran yang tinggi
serta 82 % berpendapat fasilitas pejalan kaki kurang.
Aspek fisik tersebut dirasakan semakin kurang
nyaman seiring dengan perkembangan Kota
Semarang dari tahun ke tahun.

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

Kelemahan
Kualitas Penataan Kota

90 %

Jumlah Ruang Terbuka

86 %

Tingkat Pencemaran Lingkungan

82 %

Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki

82 %

Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

90 %

8. Palangkaraya
Aspek yang menjadi faktor kekuatan di Kota
Palangkaraya adalah jaringan
telekomunikasi,
aksesibilitas menuju tempat kerja, tingkat kriminalitas
yang rendah, hubungan antar penduduk serta
informasi pelayanan publik. 82 % warga Kota
Palangkaraya berpendapat bahwa interaksi hubungan
antar penduduk baik.
Kekuatan
Kualitas Jaringan Telekomunikasi

76 %

Tingkat Aksesibilitas Tempat Kerja

73 %

Tingkat Kriminalitas Rendah

68 %

Interaksi Hubungan Antar Penduduk

82 %

Informasi Pelayanan Publik

70 %

Faktor yang menjadi kelemahan dari Kota


Palangkaraya menurut warganya adalah kurangnya
fasilitas rekreasi, 89% warga Kota Palangkaraya
menilai bahwa fasilitas rekreasi di Palangkaraya
kurang. Begitu juga untuk energi listrik, 73 % warga
Palangkaraya berpendapat bahwa layanan energi
listrik masih kurang.
Dari aspek ekonomi, faktor yang menjadi kelemahan
adalah kurangnya lapangan pekerjaan. 76 % warga
kota berpendapat bahwa permasalahan aspek
ekonomi di di Palangkaraya adalah minimnya
lapangan pekerjaan.
Kelemahan
Perlindungan Bangunan Bersejarah

68 %

Ketersediaan Fasilitas Rekreasi

89 %

Ketersediaan Energi Listrik

73 %

Ketersediaan Lapangan Pekerjaan

76 %

Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

86 %

9. Jakarta
Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia dengan
kawasan perkotaan melingkupi Tangerang, Bogor,
Depok dan Bekasi. Jakarta merupakan kota yang
termasuk kota global yang banyak berinteraksi
dengan kota global lainnya di dunia, oleh karena itu
standar liveability Jakarta harus dapat bersaing
dengan kota kota lainnya dalam lingkup global.
Warga Jakarta berpendapat bahwa aspek fasilitas
sudah cukup baik, yang melingkupi fasilitas
pendidikan dan rekreasi. Untuk aspek infrastruktur

warga kota menilai bahwa ketersediaan energy listrik


dan telekomunikasi sangat baik, bahkan untuk
kualitas jaringan telekomunikasi 100 % menyatakan
bahwa kualitas jaringan telekomunikasi di Jakarta
baik.
Kekuatan
Ketersediaan Fasilitas Pendidikan

85 %

Kualitas Fasilitas Rekreasi

80 %

Ketersediaan Energi Listrik

75 %

Informasi Pelayanan Publik

70 %

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

Kelemahan Kota Jakarta menurut warganya adalah


pada aspek fisik dan kualitas transportasi. 85 %
responden menyatakan bahwa kualitas penataan
Kota Jakarta buruk, 90 % menyatakan bahwa RTH
minim dan 90 % menyatakan bahwa kualitas
kebersihan lingkungan buruk.
Untuk aspek transportasi, 95 % responden
berpendapat bahwa kualitas angkutan umum kota
buruk, begitupun apabila dinilai dari aspek
ketersediaan angkutan umum, 55 % responden
menyatakan bahwa ketersediaan angkutan umum di
Jakarta masih kurang. Fenomena ini dapat kita lihat
pada menumpuknya konsumen angkutan terutama
pada peak hours pagi dan sore hari. Penyediaan
angkutan umum masal yang handal dan berkualitas
menjadi suatu kewajiban bagi Kota Jakarta untuk
bersaing dengan kota-kota lainnya secara global.
Kelemahan
Kualitas Penataan Kota

85 %

Jumlah Ruang Terbuka

90 %

Kualitas Kebersihan Lingkungan

90 %

Kualitas Angkutan Umum

95 %

Ketersediaan Lapangan Pekerjaan

90 %

Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

95 %

Untuk aspek ekonomi, 90 % responden berpendapat


bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan buruk. Ini
mencerminkan, meskipun banyak kesempatan kerja
yang ada di Jakarta, tetapi tetap tidak sebanding
dengan kebutuhan lapangan pekerjanaan bagi
penduduk Jakarta yang bertambah secara massif dari
tahun ke tahun.
10.Pontianak
Pontianak merupakan kota dengan City Indeks
terkecil, yaitu 43,65. Artinya persepsi kenyamanan
warga Pontianak terhadap kotanya adalah yang
paling kecil dibandingkan 9 kota lainnya.
Faktor yang menjadi kekuatan dari Kota Pontianak
adalah kualitas jaringan telekomunikasi dan interaksi
hubungan antar penduduk. 67 % responden
berpendapat bahwa kualitas jaringan telekomunikasi

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

100 %

dan interaksi hubungan antar penduduk di Kota


Pontianak baik.

3.

Kekuatan
Kualitas Jaringan Telekomunikasi

67 %

Interaksi Hubungan Antar Penduduk

67 %

Aspek yang menjadi kelemahan Kota Pontianak


menurut warganya adalah aspek fisik dan ekonomi.
Pada aspek fisik, 84 % responden menilai bahwa
kualitas penataan kota buruk dan 81 % berpendapat
bahwa kualitas pedestrian buruk. Untuk aspek
ekonomi, 89 % responden berpendapat bahwa
ketersediaan lapangan pekerjaan di Pontianak buruk.

Kota yang dipersepsikan warganya memiliki


ketersediaan paling rendah adalah Jakarta. 90 %
warga Jakarta berpendapat bahwa ketersediaan
lapangan kerja di Jakarta buruk.
4.

Kelemahan
Kualitas Penataan Kota

84 %

Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki

81 %

Ketersediaan Fasilitas Rekreasi

86 %

Ketersediaan Lapangan Pekerjaan

89 %

Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

89 %

Berikut adalah beberapa persepsi ekstrem dari


criteria aspek fisik tersebut :
Untuk kriteria buruknya kondisi penataan
ruang, Bandung dinilai oleh warganya
sebagai yang paling buruk, yaitu 97 %
warga Bandung menilai kualitas tata kota
Bandung buruk.
Untuk kriteria ketersediaan RTH, Kota
Jakarta dinilai oleh warganya sebagai
yang paling minim RTH yaitu 90 % warga
kota berpendapat bahwa jumlah RTH di
Jakarta kurang.
Untuk kualitas kebersihan kota, 90 %
warga Bandung menilai bahwa kualitas
kebersihan Kota Bandung sangat buruk.
Untuk kriteria pencemaran lingkungan,
87 % warga Surabaya menilai bahwa
tingkat pencemaran di Surabaya tinggi.
2.

Hampir semua kota dipersepsikan oleh


warganya memiliki kualitas angkutan umum
yang buruk, meskipun dari sisi ketersediaan
beberapa kota dinilai memadai.
Salah satu contohnya adalah Kota Bandung.
Kota Bandung dipersepsikan warganya memiliki
ketersediaan angkutan umum yang baik (89%)
tetapi hanya 23 % warga yang berpendapat
bahwa kualitas angkutan umum Kota Bandung
baik.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di
10 kota di Indonesia, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Semua kota memiliki kekurangan pada aspek
fisik, yaitu penataan kota yang buruk,
kurangnya
RTH,
tingginya
tingkat
pencemaran lingkungan serta rendahnya
kualitas kebersihan kota.

Hampir semua kota dipersepsikan oleh


warganya
memiliki
masalah
dalam
ketersediaan lapangan kerja. Ini merupakan
salah satu dari dampak urbanisasi yang terjadi di
setiap kota besar yang menyebabkan tingkat
persaingan dalam mendapatkan pekerjaan
semakin tinggi. Pada akhirnya hal ini akan
berdampak pada semakin meningkatnya tingkat
kemiskinan di kota besar.

5.

Mayoritas warga kota berpendapat bahwa


Tingkat
Kriminalitas
merupakan
permasalahan di kawasan perkotaan. Kota
kota yang dipersepsikan memiliki tingkat
kriminalitas tinggi oleh warganya adalah Kota
Makassar, Jayapura, Surabaya dan Jakarta,
sedangkan kota yang dipersepsikan memiliki
tingkat kriminalitas rendah oleh warganya adalah
Menado, Bandung dan Palangkaraya.;

6.

Tidak ada perbedaan persepsi warga yang


signifikan antara kota-kota di Indonesia Barat
dan Indonesia Timur dalam menilai tingkat
kenyamanan di kotanya masing-masing. Ini
dapat terlihat dari adanya kota-kota di kawasan
timur Indonesia yang memiliki city indeks yang
tinggi yaitu Menado, Makassar dan Jayapura.
Sebaliknya ada juga kota-kota di bagian barat
yang memiliki city indeks rendah, yaitu Jakarta
dan Semarang.

Hampir semua kota dipersepsikan oleh warganya


memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang
baik. Hal ini bisa bisa dimengerti karena 10 kota
yang diteliti merupakan kota besar yang
merupakan ibukota provinsi dengan kelengkapan
fasilitas yang baik.

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

Kualitas Penataan Kota

Jumlah Ruang Terbuka

Perlindungan Bangunan Bersejarah

Kualitas Kebersihan Lingkungan

Tingkat Pencemaran Lingkungan

Ketersediaan Angkutan Umum

Kualitas Angkutan Umum

Kualitas Kondisi Jalan

Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki

Ketersediaan Fasilitas Kesehatan

Kualitas Fasilitas Kesehatan

Ketersediaan Fasilitas Pendidikan

Kualitas Fasilitas Pendidikan

Ketersediaan Fasilitas Rekreasi

Kualitas Fasilitas Rekreasi

Ketersediaan Energi Listrik

Ketersediaan Air Bersih

Kualitas Air Bersih

Kualitas Jaringan Telekomunikasi

Ketersediaan Lapangan Pekerjaan

Tingkat Aksesibilitas Tempat Kerja

Tingkat Kriminalitas

Interaksi Hubungan Antar Penduduk

Informasi Pelayanan Publik

Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

Sumber : Penelitian Litbang MLCI IAP, 2009

Kriteria

No

> 0.7

< 0.3

0.24

0.79

0.80

0.31

0.48

0.20

0.89

0.73

0.62

0.79

0.59

0.56

0.70

0.75

0.72

0.72

0.25

0.63

0.46

0.85

0.17

0.21

0.58

0.20

0.32

Makassar

0.11

0.74

0.74

0.60

0.80

0.40

0.97

0.49

0.43

0.91

0.63

0.54

0.91

0.94

0.94

0.89

0.23

0.46

0.23

0.89

0.14

0.09

0.17

0.14

0.03

Bandung

0.26

0.79

0.91

0.32

0.69

0.40

0.86

0.71

0.44

0.23

0.34

0.46

0.57

0.62

0.48

0.58

0.53

0.51

0.65

0.73

0.37

0.23

0.27

0.51

0.13

Jayapura

0.16

0.69

0.62

0.28

0.73

0.42

0.83

0.35

0.51

0.86

0.35

0.41

0.74

0.78

0.71

0.77

0.33

0.55

0.20

0.65

0.13

0.38

0.38

0.27

0.28

Surabaya

0.16

0.70

0.86

0.45

0.62

0.35

0.86

0.73

0.70

0.24

0.30

0.19

0.77

0.78

0.76

0.78

0.35

0.47

0.46

0.68

0.16

0.22

0.41

0.12

0.14

Banjarmasin

0.10

0.72

0.84

0.52

0.70

0.20

0.86

0.58

0.42

0.80

0.20

0.22

0.86

0.84

0.72

0.84

0.18

0.56

0.30

0.52

0.18

0.30

0.28

0.14

0.10

Semarang

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP

Keterangan :

0.36

0.86

0.96

0.84

0.71

0.49

0.82

0.72

0.53

0.43

0.32

0.27

0.77

0.72

0.66

0.59

0.50

0.62

0.73

0.68

0.59

0.53

0.44

0.51

0.39

Manado

Tabel 3
Matriks Indeks Kriteria Liveable di 10 Kota Besar

0.14

0.70

0.82

0.68

0.73

0.24

0.76

0.53

0.64

0.27

0.19

0.11

0.58

0.51

0.40

0.50

0.30

0.45

0.36

0.59

0.37

0.55

0.32

0.49

0.51

Palangkaraya

0.05

0.70

0.65

0.20

0.40

0.10

1.00

0.55

0.45

0.75

0.80

0.60

0.85

0.85

0.55

0.65

0.40

0.50

0.05

0.45

0.15

0.10

0.50

0.10

0.15

Jakarta

0.11

0.51

0.67

0.36

0.54

0.19

0.67

0.34

0.27

0.20

0.30

0.14

0.51

0.57

0.52

0.46

0.19

0.22

0.35

0.52

0.27

0.24

0.26

0.26

0.16

Pontianak

V.

PENUTUP : LIVEABLE SEBAGAI IDENTITAS KOTA


MASA DEPAN INDONESIA

Pada dasarnya kenyamanan hidup berkota adalah


hak setiap warga kota, maka pemerintah kota sebagai
pihak yang diberi mandate oleh warga harus
berusaha untuk merencanakan, membangun dan
mengendalikan kawasan perkotaan demi terciptanya
lingkungan perkotaan yang nyaman untuk dihuni.
Begitupun pihak warga harus paham, mengerti dan
menjalankan kewajiban sebagai warga kota yang
baik, tidak sekedar menjadi masyarakat kota saja
tetapi benar-benar menjadi warga kota (citizen) yang
turut mewujudkan kenyamanan kota.
Warga kota juga harus memainkan peranan sebagai
perencana, pelaku dan pengawas pembangunan
kota. Dalam decade ini partisipasi warga dalam
proses perencanaan pembangunan kota menjadi
suatu hal yang strategis dalam mengubah dan
merumuskan kebijakan public
pengembangan
perkotaan.
Masa depan perkotaan Indonesia akan menghadapi
tantangan yang semakin besar, otonomi daerah dan
desentralisasi pembangunan akan membawa pada
pertumbuhan kota-kota baru, kota-kota baru akan
terbentuk, kota kecil akan berkembang menjadi kota
sedang dan kota sedang akan berubah menjadi kota
besar, kota metropolitan, kota megapolitan, kota
global yang semakin intens berinteraksi dengan kotakota lainnya di regional asia tenggara, pacific dan
bahkan dunia.

Persepsi warga kota yang digambarkan dalam


penelitian ini menunjukan bahwa kota-kota besar
Indonesia saat ini masih berada dalam tahap yang
tidak nyaman dan dimasa depan juga akan semakin
tidak nyaman apabila tidak ada tindakan berani,
kreatif dan progressif dari para pemimpin kota,
terutama walikota, untuk mengambil dan menerapkan
kebijakan pembangunan kota yang berani. Pemimpin
kota harus memiliki visi, leadership dan dukungan
warga kota untuk mewujudkan Identitas Kota Masa
Depan Indonesia : Liveable Cities.
DAFTAR PUSTAKA
Gilbert, A & Gugler, J (1996). Urbanisasi & Kemiskinan Di Dunia
Ketiga. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Hayden, Thomas (2007). National Geographic Indonesia Edisi
Spesial : Detak Bumi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sarosa, Wicaksono (2008). Proceeding Simposium Perkotaan IAP
: Tantangan Memanusiakan Kota Metropolitan Kita. Jakarta
: Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia.
Susantono, Bambang (2009). 1001 Wajah Transportasi Kita.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Timer, Vanessa & Kate Seymoar, Nola (2006). The World Urban
Forum 2006 : Vancouver Working Group Discussion Papper
: Liveable City. Vancouver : International Centre For
Sustainable Cities.
Widiyanto, Dwi Joko (2009). Jalan Panjang Mengubah Kebijakan
Publik. Bandung : FPPM.
World Bank (2001). Module 1 & 2 City Strategy and Good
Governance. New York : The International Bank Of
Reconstruction and Development.

GMPPR DITJEN PENATAAN RUANG, DEP. PEKERJAAN UMUM IAI IAP


THE WERDHAPURA VILLAGE, 21 DESEMBER 2009

Anda mungkin juga menyukai