Anda di halaman 1dari 83

1

2
DAFTAR ISI
MASYARAKAT SEBAGAI LINGKUNGAN PEMBELAJARAN DILUAR KELAS
Suwarno .................................................................................................................................................................................................

PELAKSANAAN SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (SIAK) GUNA MEWUJUDKAN TERTIB


ADMINISTRSI KEPENDUDUKAN
Mochammad Doddy Syahirul Alam ......................................................................................................................................................

11

TAHITING DAWEN SAWANG; FENOMENA PERLAWANAN BUDAYA DI KALIMANTAN TENGAH


Joni Rusmanto .......................................................................................................................................................................................

25

MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN


Anyualatha Haridison ...........................................................................................................................................................................

35

HUBUNGAN ANTARA DEMOKRASI DENGAN PEMBANGUNAN EKONOMI


Nurul Hikmah .......................................................................................................................................................................................

44

RUANG PUBLIK DAN AGAMA MASA DEPAN; Globalisasi, Public, dan Religius-Modern
Muhammad Farid ..................................................................................................................................................................................

56

JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT


Herlina Eka Sinta ..................................................................................................................................................................................

76

MASYARAKAT SEBAGAI LINGKUNGAN PEMBELAJARAN


DI LUAR KELAS
Dr. SUWARNO, M.Si
ABSTRAK
Tulisan ini berfokus pada masyarakat sebagai lingkungan pembelajaran. Masyarakat
dilihat sebagai satu kesatuan individu yang saling tergantung satu sama lain dan
saling membutuhkan. Dalam kaitannya dengan itu pula, masyarakat dipandang
sebagai sistem sosial yang saling mengejar kebutuhan. Pendidikan merupakan salah
satu hal yang paling dibutuhkan oleh individu dalam masyarakat. Lingkunganlah
media dan sekaligus sebagai sumber belajar bagi masyarakat, karena lingkungan
merupakan
tempat
individu
untuk
mengaktualisasikan
diri
dan
mengoperasionalisasikan gagasan serta pengalaman. Masyarakat juga dipandang
sebagai komunitas belajar, karena dari masyarakat pula sumber dan juga data-data
tentang pengembangan pendidikan diperoleh secara nyata. Guna meningkatkan
pembelajaran yang berbasis masyarakat maka dapat dilakukan dengan tahap-tahap
indentifikasi kebutuhan belajar, perencanaan proses belajar, pelaksanaan kegiatan
belajar dan penilaian perkembangan belajar.
Key words: masyarakat, pendidikan, pembelajaran, sumber belajar, komunitas belajar.
1. Masyarakat Sebagai Suatu Sistem Sosial
Masyarakat (society) atau socius (dalam bahasa latin) yang berarti kawan,
adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi
(Koentjaraningrat, 1990: 44). Sementara itu ahli ilmu sosial lain menjelaskan yang
dimaksud dengan masyarakat adalah jaringan relasi-relasi antara orang, yang
menjadikan mereka bersatu. Masyarakat bukan badan fisik, juga bukan bayangan saja
di dalam kepala orang, melainkan sejumlah pola perilaku yang disepakati dan
ditunjang bersama (George Simmel, 1858-1918).
Koentjaraningrat menjelaskan, bahwa masyarakat itu sendiri terdiri dan
tergantung pada kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman, dan pemikiranpemikiran masing-masing manusia yang berada dalam lingkungannya, segala
sesuatunya itu diperuntukan lagi untuk kepentingan semua manusia tersebut. Hal ini
berarti masing-masing individu mempunyai kelebihan, baik pemikiran, pendidikan,
materi atau ilmu pengetahuan mengendalikan atau mengemudi masyarakat, dalam
batas-batas kontrol masyarakat. Hal ini menunjukkan dalam masyarakat terdapat
strata atau stratifikasi yang disebut stratifikasi sosial, sesuai dengan potensi individu
atau kelompok yang ada di masyarakat.
Secara sosiologis setiap aktivitas manusia, dan kehidupan sosial perlu wadah
yang disebut masyarakat. Dalam konteks pemikiran sistem, maka masyarakat
dipandang sebagai salah satu sistem sosial. Artinya, kehidupan tersebut dilihat
sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang
saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung, dan berada dalam suatu
kesatuan. Kehidupan sosial inilah yang disebut dengan sistem sosial. Talcott Parsons,
mengatakan bawa :
a social systerm consists in a plurality of individual actors interacting with each
other in a situation which has at leat a physical or environmental aspect, actors who
are motivated in terms of tendency to the optimization or gratification and whose

2
relation to their situations, including each other, is defined in terms of sosial systerm
of culturally structured and shared symbols
Mendasarkan pada uraian tersebut di atas, maka masyarakat terbentuk oleh
manusia untuk kepentingan manusia, mereka mengetahui utilitas para pemimpin dan
orang-orang tingkat atas serta yang ternama sebagai lambang-lambang, sebagai para
pengkristalisasi perasaan. Sementara itu, ahli lain menjelaskan bahwa individuindividu sebagai wakil-wakil masyarakat menyediakan diri untuk diperalat oleh
masyarakat sebagai pembuat/pengguna alat-alat atau teknologi yang berkembang di
masyarakat (Cornelius Castoriadis dalam Peter Beilharz, 2005:67).
Budayawan Koentjaraningrat (1990:137) menjelaskan bahwa masyarakat
adalah kehidupan kolektif dari manusia. Terdapat lima indikator dalam kehidupan
kolektif manusia, yaitu 1) pembagian kerja yang tetap antara berbagai sub-kesatuan
atau golongan individu dalam kolektif untuk melaksanakan berbagai macam fungsi
hidup, 2) ketergantungan individu kepada individu lain dalam kolektif sebagai akibat
dari pembagian kerja tadi, 3) kerjasama antara individu yang disebabkan karena sifat
ketergantungan tadi, 4) komunikasi antara individu yang diperlukan guna
melaksanakan kerjasama tadi, dan 5) diskriminasi yang diadakan antara individuindividu warga kolektif dan individu-individu dari luarnya.
Berdsarkan pernyataan Koentjaraningrat tersebut, terdapat beberapa konsep
dalam hidup bermasyarakat, yaitu adanya pembagian kerja, ini berarti terdapat
stratifikasi dalam masyarakat, masyarakat terdiri dari individu-individu, antara
individu yang satu dengan individu yang lain terjadi saling ketergantungan, maka
diperlukan adanya kerjasama dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada di
masyarakat. Kerjasama tersebut dapat maksimal dan menghasilkan sesuatu secara
optimal serta agar tidak terjadi kesalahan, maka perlu adanya saling komunikasi
antara individu, di samping itu perlu adanya pembedaan perlakuan (diskriminasi)
terhadap individu maupun kelompok yang bukan anggota masyarakat.
Apa yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1990:137) tersebut di atas,
masyarakat sebagai sistem sosial tidak bisa dipisahkan dengan konsep pembagian
kerja, individu, kerjasama, komunikasi, dan konsep penghargaan atau perlakuan yang
berbeda antara yang anggota dengan yang bukan anggota masyarakat, dan perlakuan
yang berbeda terhadap anggota masyarakat yang berjasa dengan yang tidak berjasa.
Jika salah satu dari komponen tersebut tidak berjalan atau terganggu, maka
masyarakat sebagai sistem sosial terganggu, dan perilaku sosial juga terganggu.
Maka yang dimaksud sistem sosial menurut Talcott Parsons adalah suatu pola
interaksi sosial yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan
melembaga (institutionalized). Salah satu karakteristik dari sistem sosial adalah, ia
merupakan kumpulan beberapa unsur atau komponen yang dapat kita temukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Karakteristik dari sistem yang memperlihatkan bahwa
adanya unsur-unsur atau komponen-komponen sistem itu saling berhubungan satu
sama lain dan saling tergantung dapat ditemukan dalam setiap kehidupan
bermasyarakat, di mana peran-peran sosial sebagai komponen sistem sosial itu saling
berhubungan dan saling tergantung.
Karakteristik lain dari sistem sosial adalah masyarakat cenderung selalu
mempertahankan equilibrium dengan kata lain keteraturan merupakan norma dari
sistem (Talcott Parsons dalam Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2004:126). Jika di
dalam sebuah sistem sosial terjadi penyimpangan atau ketidakteraturan dari norma,
maka sistem akan berusaha menyesuaikan diri dan mencoba untuk kembali ke
keadaan semula. Masyarakat desa misalnya, ketika pertama kali menonton film-film
barat yang disajikan oleh televisi, besar kemungkinan pada awal mulanya mengalami
kejutan budaya (cultural schock). Norma sosial menganai kesopanan sedikit goyah,
terutama di kalangan remaja, sehingga banyak generasi tua resah. Seiring dengan
semakin meningkatnya intensitas siaran televisi, maka kesenjangan (gap) antara
generasi semakin lebar.

3
Mendasarkan pada uraian tersebut di atas, maka masyarakat terbentuk oleh
manusia untuk kepentingan manusia, mereka mengetahui utilitas para pemimpin dan
orang-orang tingkat atas serta yang ternama sebagai lambang-lambang, sebagai para
pengkristalisasi perasaan. Sementara itu, ahli lain menjelaskan bahwa individuindividu sebagai wakil-wakil masyarakat menyediakan diri untuk diperalat oleh
masyarakat sebagai pembuat/pengguna alat-alat atau teknologi yang berkembang di
masyarakat (Cornelius Castoriadis dalam Peter Beilharz, 2005:67).
Masyarakat yang terdiri dari individu-individu, yang masing-masing
memiliki kebutuhan yang selalu ingin dipenuhi. Salah satu kebutuhan tersebut adalah
kebutuhan untuk memperoleh pendidikan dan pembelajaran. Oleh karena itu, apa
yang dilakukan oleh masyarakat tergantung pada apa yang dilakukan oleh masingmasing. Mereka merupakan the material points or molecules dari sistem yang
disebut masyarakat (Pareto dalam K.J. Veeger, 1990:71). Ini berarti sistem dibangun
berdasarkan pada bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain, jika satu tidak
berfungsi maka akan berpengaruh pada yang lain. Hal tersebut tampak jelas pada
bidang pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan melalui sistem pembelajaran
sebagai media untuk meneruskan dan m,engajarkan nilai-nilai dari leluhur ke generasi
berikutnya. Melalui sistem pendidikan dan pembelajaran terjadi penerusan sistem
nilai. Jika sistem pendidikan dan pembelajaran rusak atau tidak berjalan sebagaimana
mestinya yaitu sesuai dengan sistem nilai yang berlangsng maka akan terjadi
perubahan sistem nilai antar generasi, dan hal itu merupakan bencana bagi bangsa dan
negara. Menyadari hal tersebut maka sistem pendidikan dan pembelajaran harus
sejalan dengan nilai-nilai filosofi bangsa dan negara. Adapun teknisnya harus diatur
dalam suatu kurikulum yang bisa dijalankan dan diukur serta juga sesuai dengan
nilkai-nilai dalam masyarakat.
2. Lingkungan sebagai Media dan Sumber Pembelajaran
Masyarakat sebagai komunitas pembelajaran dimaksud adalah lingkungan
keluarga, lingkungan sekitar keluarga, lingkungan pendidikan dan pemerintah.
Adapun konsep lingkungan menurut Husamah (2013: 2) adalah kesatuan ruang
dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya serta makhluk hidup lainnya. Di dalam lingkungan itu sendiri dapat
dibedakan lingkungan biotik, lingkungan abiotik dan udaya. Lingkungan biotik
adalah lingkungan yang terdiri dari makhluk hidup dan lingkungan a biotik adalah
lingkungan yang tidak hidup (tanah, batu, air dan lain sebagainya). Adapun udara
selalu mewarnai dan mengiringi kehidupan manusia. Adapun lingkungan a biotik
merupakan lingkungan alam yang merupakan media kehidupan manusia yang
memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam lingkungan
alam inilah terkandung segala sesuatu untuk mendukungkembangkan kehidupan
manusia. Lingkungan alam kaya akan materi maupun ilmu pengetahuan guna untuk
dipelejari oleh manusia.
Ke empat komponen tersebut mempunyai kewajiban yang sama dalam hal
pendidikan dan pelaksanaan pembelajara. Kewajiban yang sama dibidang pendidikan
tersebut adalah kewajiban untuk memberikan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan baik pendidikan formal maupun tidak, memberikan saran, gagasan atau
ide tentang perencanaan pendidikan ataupun pembelajaran, penyelenggaraan
pendidikan dan pembelajaran, evaluasi pendidikan dan solusi setiap terjadi berbagai
permasalahan pendidikan dan pembelajaran. Mengapa demikian, sebab pendidikan
maupun pembelajaran merupakan tanggung jawab ke empat (4) komponen tersebut di
atas, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, lingkungan pendidikan dan
pemerintah. Jadi apapun yang terjadi dengan program-program pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan dasar anak yang merupakan
fondasi bagi si anak sebagai wadah pembentukan karakter anak. Sebab dalam

4
lingkungan keluarga awal anak mengenal dan belajar serta mempelajari agama,
norma-norma sosal budaya, ekonomi dan etika pergaulan (interaksi sosial budaya
dengan lingkungan sekitarnya. Apabila berkualitas penanam moral dan hidup dalam
lingkungan keluarga, maka akan terbentuk karakter yang baik, dan mulya sehingga
berguna bagi bagsa dan negara. Lingkungan skiitar juga ikut berperan dalam
pembentukan karakter anak, sebab lingkungan sekitar inilah anak hidup dn
berkembang. Oleh karena itu fenomena apa yang tejadi dan tersedia di lingkungan
sekitar akan mewarnai karakter anak.
Menyadari bahwa lingkungan sekitar memiliki pengaruh dan kontribusi
yang besar dalam pembentukan karakter anak, baik itu dalam semangat belajar,
pembentukan jiwa sosial dan budaya anak, maka pemilihan lokasi tempat tinggal
menjadi pertimbangan pokok dalam orang tua bertempat tinggal. Misalnya
seandainya memiliki pilihan dan kemampuan tidak ada orang tua yang mau tinggal
dan berdomisili di sekitar lokalisasi, atau lokasi pendidikan (sekolah) juga tidak ada
niai positif jika berada di sekitar loklisasi. Itu artinya lingkungan sekitar mewarnai
jiwa dan perilaku anak di kehidupan di maswa depan. Sebab apa yang dilihat dan
dirasa pada masa kanak-kanak akan erbawa di kehidupan selanjutnya. Inilah model
pendidikan yang ditawarkan oleh lingkungan sekitar kepada siapa saja. Siapapun dia
akan secara langsung ataupun tidak langsung akan dibimbing, dipandu dan
mengalami pembelajaran dalam mengenal dunia manusia melalui interaksi sosial. Ini
berarti masyarakat sangat berperan penting dalam pengembangan pendidikan seorang
anak.
Setiap manusia adalah bagian dalam masyarakat, oleh karena itu dalam hal
masyarakat sebagai komunitas pembelajaran, tidak selayaknya manusia sebagai objek
pembelajaran ataupun pendidikan. Sebab jika demikian maka manusia dianggapnya
sebagai benda kosong yang harus diisi dan dibentuk sesuka pembentuknya. Hal
demikian sebagaimana dikatakan oleh ahli pendidikan Erich Fromm dalam bukunya
yang berjudul The Hearth of Man (1966) yang ditulis oleh Siti Murtiningsih dalam
bukunya Pendidikan Alat Perlawanan (2004: 73), yaitu pendidikan yang memandang
orang hanya sebagai objek adalah pendidikan yang hanya akan menghasilkan sifat
manusia yang disebut necrophily (cinta benda mati), dan tidak menumbuhkan sifat
biophily (cinta kehidupan). Selanjutnya Fromm juga menjelaskan bahwa orang yang
dihinggapi sifat necrophily hanya cinta kepada segala sesuatu yang bersifat mekanis
dan bukan segala sesuatu yang bersifat tumbuh. Padahal sudah diketahui bersama
bahwa kehidupan adalah dinamis tumbuh terus dan berkembang (bergeser dan
berubah). Padahal banyak hal yang bisa dipelajari dalam lingkungan sekitar atau
masyarakat.
Manusia sebagai makhluk hidup yang berakal dan juga memiliki rasa dan
emosi/nafsu amat sangat tidak sesuai kalau kita hanya dianggap benda kosong yang
harus didoktrin. Namun sebaliknya, kita sebagai manusia dan bagian dari kehidupan
masyarakat harus dapat memberikan sesuatu, berkontribusi apa yang kita miliki
denngan segala kemampuan yang ada baik kemampuan materi, ilmu pengetahuan,
ketrampilan atau apapun yang dapat disumbnagkan ditengah pergaulan yang global.
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari lingkungan masyarakat, dimanapun
kita berada. Banyak hal yang bisa kita pelajari dan terjadi proses pembelajaran di
tengah masyarakat pedesaan. Kita biswa belajar nilai-nilai kegotongroyongan, sikap
sederhana atau bersahaja mereka, nilai-nilai sosial, nilai-nilai kebersamaan, suka
menolong yang hal tersebut mungkin tidak kita jumpai di kehidupan kota yang serba
modern atau masyarakat industri. Namun kita bisa belajar dan mengikuti etos kerja
mereka yang tidak kenal lelah dalam bekerja dan berusaha.
Dalam lingkungan masyarakat yang tediri dari lingkungan fisik, sosial,
ekonomi dan budaya, atau dengan kata lain lingkungan masyarakat terkandung
berbagai materi ilmu pengetahuan mulai dari dalam bumi (inti bumi), lingkungan
batuan, lingkungan perairan, apa yang ada di permukaan bumi sampai dengan pada
lingkungan atmosfir. Berdasarkan sudut pandang geografi lingkungan terdiri dari

5
lingkungan lithosfir (lingkungan batuan), hidrosfir (lingkungan perairan), atmosfir
(lingkungan udara atau lapisan udara) dan biosfir (lingkungan kehidupan). Di setiap
lingkungan tersebut banyak hal sampai dengan tak terbatas yang dapat dipelajari,
disumbangkan, dikerjakan, dan diberdayakan untuk kepentingan manusia.
Melalui lingkungan fisik banyak hal yang bisa dipelajari, misalnya kita bisa
mempelajari bidang pertanian, tanah, batuan, kristal, hidrologi, iklim, cuaca, awan,
vulkanologi, geografi, bencana banjir, gempa bumi. Pengetahuan tentang batuan atau
lithosfir, minyak tanah, aspal, timah dan lain sebagainya mengundang mansuai untuk
mempelajari dan menguasai pertambangan, dan dengan datang dan melihat langsung
dengan melakukan pengamatan kepada lokasi pertambangan tersebut siswa memiliki
pengetauan yang lengkap dan sempurna serta lebih bisa teresap yang al tersebut tidak
dijumpai jika siswa hanya belajar di dalam kelas.
Datang langsung dan ikut berperan langsung membantu pada kurban
bencana alam gempa bumi, banjir atau gunung meletus akan dapat menanamkan
sikap nilai-nilai kemanusia dan saling tolong-menolong juga dapat menanamkan
bahwa planet bumi yang merupakan tempat kita hidup ini ternyata bersifat dinamis,
bergolak dengan inti bumi yang sangat panas yang sewaktu-waktu dapat keluar ke
permukaan bumi melalui letusan gunung berapi, atau planet bumi yang ternyata terdir
dari berbagai lapisan batuan, yang sewaktu-waktu bisa bergeser, patah dan
menimbulkan getaran yang disebut gempa bumi dan dapat juga menimbulkan
tsunami.
Lahan yang subur sebagai hasil dari muntahan lahar dari gunung meletus,
hamparan daaran rendah, pegunungan dengan tanaman yang hijau, liukan air sungai
yang mengalir di tengah hamparan dataran rendah atau pegunungan dengan aliran
yang deras, danau yang kaya akan ikan dan bota air tawar serta keanekaragaman
botani (hayati) serta kekayaan ikan dan kehidupan air laut yang tak terkira merupakan
media yang dapat memberikan pembelajaran baik ilmu pengetahuan maupun agama
kepada manusia akan kebesaran Allah, Tuhan Yang Maha Esa.Demikian juga dengan
lapisan udara (atmosfir) yang memberikan air hujan yang dapat menghidupi tanaman
dan menyejukan tanah yang kering. Mengapa fenomena udara di permukaan bumi
tidak sama, ada daerah yang dingin bahkan bersalju, dan sebentar saja dapat melihat
matahari, namun ada juga daerah yang panas bahkan gurun pasir yang luas, tetapi ada
juga daerah yang beriklim tropis yang sepanjang tahun dapat menikmati matahari dan
hujan ? mengapa terjadi gempa bumi, mengapa terjadi hujan es, mengapa terjadi
gunung meletus, mengapa dan mengapa itulah yang harus dijawab dan dipelaari oleh
manuswia. Semua itu sebagai suatu lingkungan atau media dan smber pembelajaran
bagi setiap manusia yang mau belajar dan berpikir, namun tidak bagi orang yang
malas dan tidak mau berkembang.
3. Masyarakat sebagai Komunitas Pembelajaran
Setiap individu sudah tentu mempunyai kebutuhan, baik itu kebutuhan
jasmani maupun kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan untuk
memenuhi fisik manusia, seperti makan, minum, olahraga dan lain sebagainya.
Kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang diperlukan bagi jiwa kita, seperti agama,
menerima motivasi sehingga menjadi bersemangat dalam melakukan apa saja. Dalam
konsep dasar ekonomi, khususnya tentang kebutuhan, dibedakan menjadi tiga
kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan primer
adalah kebutuhan dasar atau pokok bagi manusia, seperti makan, minum, sekolah
atau pendidikan, pakaian dan tempat tinggal. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan
kedua, yaitu kebutuhan tersebut biasanya dipenuhi jika manusia sudah dapat
memenuhi kebuhan dasarnya, seperti, TV, sepeda/motor dan lain sebagainya. Adapun
kebutuhan tersier atau disebut juga kebutuhan mewah. Kebutuhan tersebut akan
dipenuhi jika manusia sudah dapat memenuhi kebutuhan sekunder. Kebutuhan tersier

6
tersebut antara lain, mobil, dan berbagai fasilitas kehidupan mewah atau yang
berlebihan.
Memperoleh pendidikan dan pengajaran merupakan kebutuhan dasar yang
diperlukan dan menjadi hak setiap manusia. Oleh karena itu menjadi tugas negara
untuk lebih mempermudah dan memberikan bantuan kepada masyarakat miskin
untuk bisa memperoleh pendidikan dan pembelajaran baik formal maupun non
formal. Oleh karena itu negara mengaturnya dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal
31 yang diamandemen
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan, dan ayat 3 menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan
dan menyelenggaarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang (UUD 45 yang diamandemen ke IV, 2002
tentang pendidikan nasional).
Maka menjadi jelas bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi
setiap warga negara Indonesia dan itu artinya setiap warga negara berhak
memperolehnya dan menjadi tanggung jawab negara. Pendidikan merupakan sesuatu
yang sangat penting dan menentukan sebab hanya melalui pendidikan kita bisa
mengetahui dan mengenal budaya bangsa lain dan pendidikan merupakan jendela
dunia.
Pendidikan dapat kita peroleh tidak hanya melalui pendidikan formal
melainkan juga bisa diperoleh melalui jalur pendidikan non formal. Kemampuan
masyarakat untuk mengakses pendidikan formal sangat terbatas, khususnya bagi
masyarakat miskin. Karenanya, kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan
berbasis masyarakat di luar jalur pendidikan formal menjadi urgen.
Masyarakat pada dasarnya adalah sumber pendidikan, yang di dalamnya
terdapat proses dialektika antara masyarakat sebagai input belajar dan masyarakat
sebagai hasil belajar. Dengan kata lain, masyarakat merupakan komunitas belajar
yang memperkaya materi-materi pembelajaran yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kualitas individu dalam masyarakat, baik sebagai pengguna (user) maupun sebagai
pencipta materi itu sendiri (creator). Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang
mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk
kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu
didorong untuk mengembangkannya melalui pendidikan berbasis masyarakat, yakni
pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
Pengembangan masyarakat sebagai komunitas belajar itu sendiri tentunya
diawali dengan pemahaman sistem sosial kelompok masyarakat yang menjadi sasaran
dari pendidikan itu sendiri. Pengenalan terhadap kelompok sosial itu sendiri menjadi
dasar bagi penyusunan kurikulum pendidikan berbasis masyarakat. Soekanto (2000)
memberikan beberapa kriteria yang disebutnya kelompok sosial, antara lain : (1)
Setiap anggota kelompok sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang
bersangkutan, (2) Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan
anggota yang lainnya, (3) Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga
hubungan antara mereka bertambah erat, misalnya : nasib yang sama, kepentingan
yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain-lain, (4)
Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku, (5) Bersistem dan berproses.
Kriteria-kriteria yang diajukan oleh Soekanto sangat penting guna
menginventarisir kebutuhan sosial masyarakat. Kebutuhan sosial dimaksudkan
sebagai kebutuhan akan saling berinteraksi antara manusia yang satu dengan manusia
lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam suatu kebutuhan sosial terdapat suatu
sistem sosial yang merupakan alat bantu untuk menjelaskan kelompok-kelompok
sosial. Alat bantu ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok-kelompok
manusia merupakan suatu sistem yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam
pemenuhan kebutuhannya, individu dalam masyarakat tidak hanya berpikir dan
mencetuskan ide-ide melainkan berusaha mewujudkan apa yang dipikirkan dan
dicita-citakannya.

7
Dalam upaya pemenuhan ini, suatu kelompok masyarakat menggunakan
berbagai media untuk memuaskan kebutuhan sosial itu tadi. Komunikasi dan interaksi
merupakan media yang digunakan untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhan
prioritas individu dalam masyarakat. Tentunya untuk membangun komunikasi dan
interaksi yang berkualitas dibutuhkan strategi-strategi, yaitu keterpaduan antara
pelatihan, coaching dan belajar mandiri.
Kita meyakini bahwa secara alamiah semua orang melakukan
pengembangan kapasitas selama hidupnya. Proses aksi-refleksi-aksi, baik tidak sadar
atau terencana, selalu digunakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Strategi
pelatihan dan coaching digunakan untuk memastikan proses pembelajaran berjalan
efektif, yang bertujuan menumbuhkan komitmen, meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat, dan menciptakan para pelatih (coaching) yang memiliki
kapasitas untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan mampu menumbuhkan
sikap dan motivasi para pelaku untuk menuju kemandirian masyarakat.

Komunitas Belajar

Masalah, Kebutuhan, dan


Potensi Komunitas
Pelatihan,
Coaching,
Belajar Mandiri
Kebutuhan
Sosial

Kelompok Sosial

Berbagai Media
Sumber : Membangun Masyarakat Pembelajar, Panduan Metodologi Pendidikan Non
Formal untuk Fasilitator Lapang SPPM, 2003.)
Gambar 1.
Komunitas Belajar dalam Masyarakat
4. Tahapan Pembelajaran di Masyarakat
Perubahan sosial (Abdulsyani, 1992) merupakan perubahan-perubahan
yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang
memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku
di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Misalnya saja perubahan perilaku
masyarakat akibat kemajuan pembangunan. Kalau dulu masyarakat bergantung pada
mode transportasi sungai, sekarang karena akses jalan darat sudah tersedia, maka
beralih ke mode transportasi darat. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
merupakan sejumlah fenomena menarik yang bisa dijadikan sumber pembelajaran
yang ada di masyarakat. Perubahan sosial itu mencakup perubahan sosial dan budaya
dalam berbagai dimensinya. Tahapan pembelajaran di masyarakat diawali dengan
mempelajari aspek-aspek perubahan sosial yang terjadi.
Pertama, identifikasi kebutuhan belajar. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Cronchbach (Djamarah, Syaiful Bahri, 1999) belajar adalah suatu aktivitas yang
ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Adanya

8
perubahan ke arah positif merupakan indikator bahwa seseorang telah belajar. Proses
belajar sepatutnya merupakan aktivitas yang disadari, disengaja berdasarkan
keinginan dan kebutuhan seseorang sehingga tidak ada unsur pemaksanaan. Setiap
orang memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga diperlukan teknik yang tepat untuk
menemukan kebutuhan belajar seseorang. Secara analogi, seseorang akan makan jika
lapar, akan tidur jika mengantuk, akan belajar jika memang membutuhkan hal
tersebut. Menemukenali adalah menemukan dan mengenali, artinya tidak hanya
proses menemukan kebutuhan belajar, tetapi mengenali kebutuhan sasaran karena
terkadang kebutuhan belajar tidak terungkap secara jelas sehingga butuh proses lebih
lama untuk dapat mengenali kebutuhan masyarakat sasaran. Teknik
dalam menemukenali ini disebut dengan teknik identifikasi kebutuhan belajar
masyarakat.
Kedua, perencanaan proses belajar. Untuk mencapai sebuah kualitas
pembelajaran dalam komunitas belajar, maka keterlibatan sebuah perencanaan yang
sistematik sangat dibutuhkan. Perencanaan proses belajar akan menganalisis
kebutuhan dari proses belajar dengan alur yang sistematik untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Termasuk di dalamnya melakukan evaluasi terhadap materi pelajaran
dan aktivitas pengajaran. Kebutuhan-kebutuhan belajar yang telah teridentifikasi
kemudian diorganisasikan dan disusun ke dalam tema-tema dan tujuan-tujuan
pembelajaran. Berbeda dari pendidikan formal, peran individu sebagai sebuah
komunitas belajar besar peranannya untuk menentukan apa-apa saja yang akan
dimuat dalam kegiatan belajar yang akan dilakukan.
Ketiga, pelaksanaan kegiatan belajar. Setelah tahap perencanaan proses
belajar dilakukan, kemudian sampailah pada tahap aksi dari perencanaan tersebut.
Pelaksanaan kegiatan belajar pada akhirnya akan menuntun masyarakat ke arah
perubahan positif dari kondisi sebelumnya. Pada tahap ini masyarakat akan dituntun
untuk mengenali teknik-teknik dalam menjawab pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
yang sudah dirancang tadi. Misalnya saja dalam identifikasi kebutuhan belajar tadi
masyarakat merumuskan bahwa perilaku sosial mereka sehari-hari akan kerusakan
lingkungan, dan kemudian pada tahap pelaksanaan kegiatan belajar masyarakat akan
dibimbing untuk mengenal dan memahami perilaku positif yang tidak merusak
lingkungan. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar ini bisa dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode brainstorming, focus group disscusion, permainan,
simulasi dan lainnya sesuai kondisi peserta.
Keempat, penilaian perkembangan belajar. Tahap ini merupakan evaluasi
terhadap proses belajar dalam komunitas di masyarakat. Proses penilaian tidak bisa
lepas dari perencanaan yang sudah disusun diawal. Penilaian bisa dalam bentuk
penugasan kepada komunitas belajar yang arah pengembangan jawabannya berkaitan
dengan kehidupan atau realitas dari komunitas itu. Penilaian penugasan tentunya
hanya mewakili untuk melihat perkembangan koqnitif peserta. Kemudian untuk
penilaian perkembangan belajar secara afektif dan psikomotoris bisa dilakukan
dengan mengajukan kasus-kasus tertentu yang berasal dari kebutuhan masyarakat.

Perubahan Sosial

Identifikasi Kebutuhan
Belajar

Penilaian Perkembangan
Belajar

Perencanaan Proses
Belajar

Pelaksanaan Kegiatan
Belajar
Sumber : PNPM Mandiri, Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Cipta
Karya.
Gambar 2.
Bagan tahap-tahap pembelajaran di Masyarakat
Daftar Pustaka
Abdulsyani, 1992. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara.
Beilharz, P. 2005. Teori-Teori Sosial, Observasi Ktritis Terhadap Filsof Terkemuka,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Husaah. 2013. Pembelajaran Lua Kels, Out Door Larning. Acangan Strategis
Mengembangkan Metode Pembelajaran Yang Menyenangkan Inovatf dan
Menantang. Presta Pustaka. Jakarta.
Narwoko Dwi J Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi, Teks dan Pengantar, Prenada
Media, Jakarta.
Nurani Soyomukti, 2010. Teori-Teori Pendidikan : Tradisional, (neo) Liberal,
Marxis-Sosialis dan Post Modern. AR-RUZZ MEDIA. Yogyakarta.
Simmel, Georg. The Persistence of the Sosial Group, American Journal of Sociology,
vol. III: 662-689, 829-836; vol IV : 35-50.
Siti Murtiningsih, 2004. Pendidikan Alat Perlawanan : Teori Pendidikan Radikal
Paulo Freire. Yogyakarta: RESIST book.
Soekanto, Soerjono, 2000. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press.

10
Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat sosial atas hubungan individumasyarakat dalam cakrawala sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta..

11
PELAKSANAAN SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
(SIAK) GUNA MEWUJUDKAN TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
(Studi Kasus Di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palangka Raya)
Oleh :
Mochammad Doddy Syahirul Alam
Pendahuluan
Indonesia di era globalisasi ini dihadapkan pada 12 tantangan utama, yaitu
ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan air bersih, kelestarian lingkungan,
bencana alam, pendidikan, kesehatan, transportasi, pertanian-industri-jasa, pertahanan,
teknologi komunikasi dan informasi, serta good governance. Untuk menjawab berbagai
tantangan tersebut diperlukan upaya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah
satu solusi dari permasalahan tersebut adalah pembenahan sistem administrasi
kependudukan.
Tanpa disadari semakin tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak
terkendali dan lemahnya layanan administrasi kependudukan akan memicu banyak hal,
antara lain: kepemilikan kartu identitas (KTP) ganda, danhak suara ganda saat pemilihan
umum. Data kependudukan yang tidak rapi merupakan salah satu sumber masalah sosial
di Indonesia. Masalah tersebut tidak bisa dipandang remeh. Permasalahan tersebut dapat
diantisipasi dengan adanya administrasi kependudukan yang baik. Oleh karena itu,
diperlukan sistem informasi terintegrasi untuk administrasi kependudukan Indonesia.
Sistem administrasi kependudukan pada dasarnya merupakan subsistem (bagian)
dari sistem Administrasi Negara, yang mempunyai peranan penting dalam pemerintahan
dan pembangunan penyelenggaraan administrasi kependudukan diarahkan pemenuhan
hak asasi setiap orang dibidang pelayanan administrasi kependudukan, peningkatan
kesadaran penduduk dan kewajibannya untuk berperan serta dalam pelaksanaan
administrasi kependudukan, pemenuhan data statistik kependudukan dan statistik
peristiwa kependudukan, dukungan terhadap perencanaan pembangunan kependudukan
secara nasional, regional dan lokal, dan dukungan terhadap pembangunan sistem
administrasi kependudukan guna meningkatkan pemberian pelayanan publik tanpa
diskriminasi.
Sejalan dengan arah penyelenggaraan administrasi kependudukan, maka
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil sebagai sub-sub sistem pilar (komponen) dari
administrasi kependudukan perlu ditata dengan sebaik-baiknya agar dapat memberikan
manfaat dalam perbaikan pemerintahan dan pembangunan.
Pengelolaan pendaftaran penduduk merupakan tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota, dimana dalam pelaksanaannya diawali dari desa/kelurahan selaku ujung
tombak pendaftaran penduduk. Dalam pelayanan tersebut perlu dilakukan dengan benar
dan cepat agar penduduk sebagai pelanggan merasa mendapat pelayanan yang
memuaskan.
Pada pendataan biodata penduduk yang masuk kecamatan/kota Palangka Raya
memiliki permasalahan, sulitnya mencari arsip/berkas data-data penduduk. Hal
inimengakibatkan terlambatnya mendata penduduk yang seharusnya sudah masuk ke
Pemerintah Kota Palangka Raya.
Sumber daya manusia merupakan faktor sentral dalam suatu institusi. Apapun
bentuk serta tujuannya, institusi dibuat berdasarkan visi untuk kepentingan manusia dan
dalam pelaksanaannya misinya dikelola oleh manusia. Jadi manusia, merupakan faktor
strategis dalam semua kegiatan institusi. Seiring dengan perkembangan dan penyesuaian
diri suatu institusi dalam hal ini pegawai negeri dengan perkembangan IPTEK dan
perkembangan lingkungan, maka sumber daya manusia didalamnya harus pula
dikembangkan agar dapat pula menyesuaikan diri dengan perkembangan institusi.

12
Pengembangan sumberdaya manusia perlu dilakukan terus menerus untuk menghindari
sumber daya manusia yang usang pengetahuannya, yang tidak siap dalam menanggulangi
perubahan yang terjadi.
Kemajuan teknologi yang sangat cepat mendorong setiap instansi untuk tetap
mengikuti perkembangan teknologi dan terus meningkatkan kemampuannya dalam
mengelola data-data dan informasi yang lebih akurat dan efisien yang dibutuhkan suatu
instansi. Untuk itu suatu instansi membutuhkan suatu sistem informasi yang mendukung
kebutuhan instansi pemerintah yang akan sangat membantu sebuah manajemen instansi
pemerintah baik dalam menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja instansi pemerintah itu
sendiri, maupun dalam meningkatkan pelayanan ke masyarakat Kota Palangka Raya.
Dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) maka pengolahan data
akan lebih mudah dan efisien. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian berjudul :Pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) Guna Mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan (Studi Kasus di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palangka Raya).
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) guna
mewujudkan tertib administrasi kependudukan di Kota Palangka Raya?
2. Apa yang menjadi faktor penghambat Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) ?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) guna mewujudkan tertib administrasi
kependudukan serta untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung
pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) di Kota Palangka
Raya.
Konsep Sistem dan Informasi
Menurut Mcleod (2005) Sistem adalah sekelompok elemen-elemen yang
terintegrasi dengan maksud yang sama untuk mencapai suatu tujuan. Suatu organisasi baik
pemerintah maupun swasta sesuai dengan definisi ini. Organisasi terdiri dari sejumlah
sumber daya dan sumber daya tersebut bekerja menuju tercapainya suatu tujuan tertentu
yang ditentukan oleh pemilik atau manajemen atau pimpinan.
Semua sistem tidak memiliki kombinasi elemen-elemen yang sama, tetapi suatu
susunan dasar yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Susunan Dasar Sistem
TUJUAN

MEKANISME
PENGENDALIAN

INPUT

TRANSFORMASI

OUTPUT

13
Sumber daya input dibuat menjadi sumber daya output. Sumber daya mengalir dari
elemen input, melalui elemen transformasi, kepada elemen output. Suatu mekanisme
kontrol memantau proses transformasi untuk meyakinkan bahwa sistem tersebut
memenuhi tujuannya. Mekanisme kontrol ini dihubungkan pada arus sumber daya dengan
memakai suatu lingkaran umpan balik (feedback loop) yang mendapatkan informasi dari
output sistem dan menyediakan informasi bagi mekanisme kontrol. Mekanisme kontrol
membandingkan sinyal-sinyal umpan balik dengan tujuan, dan mengarahkan sinyal pada
elemen input jika sistem operasi memang perlu diubah.
Jika peraturan elemen-elemen ini digunakan untuk menjelaskan suatu sistem
pemanas, misalnya, input merupakan bahan bakar, seperti gas atau batubara. Proses
pemanasan bahan bakar menjadi panas (output). Mekanisme kontrolnya adalah
thermostat, lingkaran umpan baliknya adalah kawat yang menghubungkan thermostat
dengan pemanas, dan tujuannya adalah temperatur yang diatur pada thermostat.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, yang dimaksud dengan Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan (SIAK) adalah suatu sistem informasi yang disusun berdasarkan prosedurprosedur dan memakai standardrisasi khusus yang bertujuan menata sistem administrasi
kependudukan sehingga tercapai tertib administrasi di bidang kependudukan. Administrasi
kependudukan meliputi Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Tujuan SIAK
Tujuan adanya SIAK, yaitu :
1.
Database kependudukan terpusat
2.
Database kependudukan dapat diintegrasikan untuk kepentingan lain (statistik,
Pajak, Imigrasi, dll)
3.
Sistem SIAK terintegrasi (RT/RW, Kelurahan, Kecamatan, Pendaftaran Penduduk,
Catatan Sipil, dll)
Implementasi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) online, yang
telah diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 88/2004 tentang Pengelolaan
Administrasi Kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.
18/2005 tentang Administrasi Kependudukan. Selanjutnya pemerintah memperkuat
pengelolaan SIAK online dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
Pada hakekatnya bahwa upaya tertib dokumen kependudukan atau tertib
administrasi kependudukan, tidak sekedar pengawasan terhadap pengadaan blangkoblangko yang dipersyaratkan dalam penerbitan dokumen, tapi hendaknya harus tersistem,
konkrit, dan pragmatis. Artinya mudah dipahami oleh penduduk dan diyakini bermakna
secara hukum berfungsi melindungi, mengakui/mengesahkan status kependudukan atau
peristiwa vital (vital event) yang dialami penduduk, sehingga dibutuhkan oleh penduduk
karena dapat memudahkan atau melancarkan urusannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain dokumen kependudukan memiliki insentif/benefit bagi si pemegang
dokumen atau penduduk.
Sistem Administrasi Kependudukan memiliki 3 komponen utama, yakni
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan pengolahan informasi. Dari operasional
ketiga komponen tersebut selanjutnya dijabarkan sebagai aktivitas pelayanan kepada
masyarakat dan institusi terkait.
a. Pendaftaran Penduduk ; sarana untuk membangun basis data dan menerbitkan identitas
bagi setiap penduduk dewasa dengan mencantumkan Nomor Penduduk sebagai
identitas tunggal. Dari kegiatan pendaftaran penduduk ini kemudian diterbitkan 3
dokumen, yaitu : Biodata Penduduk, Kartu Keluarga, dan KTP.
b. Pencatatan Sipil ; merupakan saranan untuk mencatat peristiwa penting yang dialami
penduduk dan perlu dilegalisir oleh negara melalui penerbitan dokumen yang sah

14
menurut hukum dalam bentuk akta catatan sipil. Beberapa peristiwa penting yang harus
dilaporkan diantaranya :
1. Akta kelahiran
2. Akta kematian
3. Akta perkawinan
4. Akta pengangkatan anak
5. Akta pengesahan anak
Pengelolaan Informasi Kependudukan; pengelolaan data hasil pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil melalui suatu media atau alat yang akan menjadikannya
sebagai informasi tentang perkembangan penduduk dari waktu ke waktu. Karena
outputnya informasi, maka komponen ini sering disebut juga sebagai pengelolaan
informasi.
Administrasi Kependudukan
Menurut ketentuan umum yang ada pada Bab I Pasal 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 yang dimaksud dengan Administrasi Kependudukan
adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data
kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi
Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan
Orang Asing yang tinggal di Indonesia.
Selanjutnya masih menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 Administrasi Kependudukan sebagai suatu sistem diharapkan dapat diselenggarakan
sebagai bagian dari penyelenggaraan administrasi negara. Dari sisi kepentingan penduduk,
administrasi kependudukan memberikan pemenuhan hak-hak administratif, seperti
pelayanan publik serta perlindungan yang berkenaan dengan dokumen kependudukan,
tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Administrasi Kependudukan diarahkan untuk :
1. Memenuhi hak asasi setiap orang di bidang Administrasi Kependudukan tanpa
diskriminasi pelayanan publik yang profesional;
2. Meningkatkan kesadaran penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam
pelaksanaan Administrasi Kependudukan.
3. Memenuhi data statistik secara nasional mengenai peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting;
4. Mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara nasional,
regional, serta lokal; dan
5. Mendukung pembangunan sistem administrasi kependudukan.
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan untuk :
1. Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk untuk
setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami penduduk;
2. Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk;
3. Menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat,
lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan
kebijakan dan pembangunan pada umumnya;
4. Mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan
5. Menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam
penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Prinsip-prinsip tersebut diatas menjadi dasar terjaminnya penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang ini
melalui penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) bertujuan untuk :
1. Terselenggaranya Administrasi Kependudukan dalam skala nasional yang terpadu dan
tertib;

15
Terselenggaranya Administrasi Kependudukan yang bersifat universal, permanen,
wajib, dan berkelanjutan;
3. Terpenuhinya hak penduduk di bidang Administrasi Kependudukan dengan pelayanan
yang profesional;
Tersedianya data dan informasi secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah
diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada
umumnya.
2.

Rencana Prioritas
Pembangunan Sosial Budaya diorientasikan pada penciptaan tatanan masyarakat
yang bermoral, beretika, dinamis, tertib, berbudaya, serta membangun kekuatan dan
kemandirian lokal menuju kehidupan masyarakat madani yang memiliki kesadaran
politik, hukum, dan menciptakan rasa aman masyarakat. Adapun rencana Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palangka Raya yang program dan kegiatan
prioritasnya berkaitan langsung dalam hal pembangunan sosial budaya adalah sebagai
berikut :
Program Penataan Administrasi Kependudukan Tahun 2013
- Peningkatan pelayanan publik dalam bidang kependudukan
- Implementasi sistem admnistrasi kependudukan
- Koordinasi kebijakan dalam administrasi kependudukan
- Pembangunan dan pengoperasian SIAK secara terpadu
- Penyediaan informasi yang dapat di akses oleh masyarakat
- Pembentukan dan penataan sisitem koneksi jaringan SIAK
- Peningkatan perangkat SIAK dan Sapras penunjang
- Peningkatan kapasitas kelembagaan
- Peningkatan kapasitas aparatur kependudukan
- Sosialisasi kebijakan administrasi kependudukan
- Pengolahan informasi kependudukan
- Monitoring, evaluasi, analisa, dan pelaporan program administrasi kependudukan
- Singkronisasi dan rasionalisasi data kependudukan
- Penelitian dan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi masalah kependudukan.
( Sumber : RPJM Kota Palangka Raya periode 20082013 )
Bidang Pengelolaan Pendaftaran Penduduk
Pengelolaan Pendaftaran Penduduk merupakan salah satu bidang yang sangat
berperan penting dalam implementasi SIAK. Bidang Pengelolaan Pendaftaran Penduduk
ini terdiri atas 1 orang Kepala Bidang, 3 orang staff administrasi (PNS), dan 9 orang staff
operator SIAK (tenaga kontrak). Pendaftaran penduduk merupakan sarana untuk
membangun basis data dan menerbitkan identitas bagi setiap penduduk dewasa dengan
mencantumkan Nomor Induk Kependudukan, sebagai identitas tunggal. Dari kegiatan
pendaftaran penduduk ini kemudian diterbitkan 3 dokumen yaitu Biodata Penduduk, KK,
dan KTP.
Saat ditemui, Kabid. Pengelolaan Pendaftaran Penduduk (Pak Abramsyah)
menyampaikan :
pelayanan pendaftaran penduduk untuk pengurusan KTP Nasional dan Kartu Keluarga
(KK) dilakukan setiap hari Senin hingga hari Jumat. Masyarakat yang ingin mengurus
KTP harus mengisi formulir F 07, sedangkan masyarakat yang ingin mengurusKK harus
mengisi formulir F 01 terlebih dahulu. Selanjutnya jika syarat-syarat lainnya sudah
lengkap maka berkas dapat kami terima untuk diproses lebih lanjut.
Pengamatan dilapangan menunjukkan pelayanan pendaftaran penduduk telah
dilakukan dengan baik. Pelayanan ini dilaksanakan selama 5 hari kerja yakni dari hari
Senin hingga hari jumat pukul 07.30 15.00 Wib. Meski masih dilakukan secara manual
pendaftarannya, masyarakat cukup terlayani dengan baik.

16

Pelayanan Pendaftaran Penduduk

Upaya peningkatan pelayanan pendaftaran penduduk ini dilakukan dengan


menerapkan pelayanan standar bank dimana masyarakat dapat berinteraksi secara
langsung dengan petugas. Selain itu pelayanan di bagian pendaftaran tidak menggunakan
loket-loket tertutup seperti pada masa lampau. Pelayanan secara terbuka ini diberikan
kepada masyarakat agar dapat menciptakan transparansi dan kepercayaan masyarakat
akan pelayanan yang diberikan. Selain itu pelayanan secara terbuka ini diharapkan dapat
menekan tindakan-tindakan pungli (pungutan liar) yang kemungkinan dilakukan oleh
oknum pegawai Disdukcapil.
Pelayanan secara terbuka ini selain diterapkan pada loket pendaftaran juga
diterapkan pada loket pengambilan KK dan KTP. Masyarakat yang sudah lengkap
berkasnya akan diberikan resi pengambilan. Rata-rata waktu pengerjaan KK dan KTP di
Disdukcapil adalah 3-4 hari kerja. Sehingga setelah 3-4 hari kerja tersebut masyarakat
datang langsung untuk menanyakan penyelesaian KK dan KTP yang bersangkutan.
Loket Pengambilan KK dan KTP

17

Beralih kepada pendapat dari masyarakat yang disampaikan oleh Pak Panjung
ialah sebagai berikut :
Kalo menurut pengurusan KK dan KTP di Kantor Disdukcapil sudah cukup baik. Dari
tata cara pelayanan, sikap dari petugas dari petugas sudah cukup baik dan biayanya cukup
murah. Namun saya sebagai anggota masyarakat sebenarnya mengharapkan agar proses
penerbitan KK dan KTP itu bisa lebih cepat dari yang sekarang. Kalo kata teman-teman
yang sudah mendapat KK dan KTP mereka selesainya 3-4 hari kerja. Nah, semoga
kedepan bisa lebih. Misalkan 1-2 hari kerja. Karena kami ini sambil bekerja. Jadi kalo
terlalu lama, pastinya akan mengganggu kerjaan kita.
Secara umum masyarakat menganggap pelayanan di Disdukcapil sudah cukup
baik. Tata cara pelayanan dan sikap petugas yang melayani dirasakan telah memberikan
kenyamanan berurusan bagi masyarakat. Meski demikian masyarakat masih berharap agar
proses penerbitan KK dan KTP dapat lebih cepat dari waktu 3 hari. Harapannya
masyarakat tidak terlalu menunggu lama-lama, sehingga mereka dapat segera bekerja
untuk urusan yang lain.
Terkait dengan biaya penerbitan KK dan KTP, Pak Abramsyah memberikan
tanggapan sebagai berikut :
Untuk biaya penerbitan KK dan KTP sesuai dengan Perda yakni sebesar Rp. 15.000.(Lima Belas Ribu Rupiah). Cuman terkadang masyarakat secara sukarela seringkali
memberikan biaya tambahan sebagai ucapan terima kasih. Kami pun tidak menolak
karena hal tersebut hanya kerelaan dari masyarakat tidak dipaksa. Dari biaya tambahan
yang diberikan oleh masyarakat biasanya kami simpan untuk dipergunakan sebagai biaya
operasional pemeliharaan komputer yang ada di bagian pengelolaan informasi
kependudukan.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat seringkali memberikan
biaya tambahan secara sukarela kepada petugas kasir. Petugas kasir kemudian
menyimpannya untuk dilaporkan kepada pimpinan atas biaya tambahan yang diberikan
oleh masyarakat. Biasanya pimpinan mengambil kebijakan untuk menggunakan dana
swadaya masyarakat tersebut untuk pemeliharaan komputer yang ada saat ini.
Pendapat tersebut diatas diperkuat dengan Pendapat Ibu Rusini (masyarakat)
berikut ini :
Saya rasa pelayanan disini sudah cukup baik mulai dari pengurusan KTP dan KK. Soal
biaya pun cukup murah yakni Rp. 15.000,- untuk pengurusan KK dan KTP. Mengenai
biaya lebih yang diminta selain ketentuan tersebut, saya sendiri tidak merasa ada
pemungutan demikian. Sepengetahuan saya biasanya masyarakat memberikan kelebihan
pembayaran secara sukarela. Terlebih lagi bila penerbitan KTP dan KK relatif cepat bisa 3
hingga 4 hari kerja.
Apa yang disampaikan oleh Bu Rusini tersebut memperkuat opini dari peneliti
pelayanan Disdukcapil saat ini telah berubah. Kalau dulu syarat dengan berbagai
pungutan liar (pungli) dan cenderung tidak transparan, saat ini relatif hal tersebut tidak
terjadi. Transparani (keterbukaan) dirasakan cukup baik oleh masyarakat maupun oleh
peneliti sendiri. Dengan demikian pelayanan tersebut harus dipertahankan dan kalo perlu
ditingkatkan agar supaya dapat mewujudkan pelayanan yang lebih prima.
Faktor Penghambat Bidang Pendaftaran Penduduk
Terkait dengan kendala (faktor penghambat) di bagian Pendaftaran Penduduk ialah
sebagai berikut wawancara dengan Pak Abramsyah (Kabid. Pengelolaan Pendaftaran
Penduduk) :
Kendala dalam pelayanan pendaftaran penduduk adalah kesadaran masyarakat yang
masih rendah. Sebagian masyarakat seringkali mengurus KTP dan KK ketika ada
keperluan/urusan yang penting/mendadak. Sehingga seringkali kami didesak untuk segera
menyelesaikan dokumen KTP dan KK lebih cepat dari ketentuan waktu yang berlaku saat
ini. Selain minta cepat, sebagian masyarakat juga sering tidak melengkapi berkas/data

18
yang ditentukan. Sehingga berkas harus kami kembalikan untuk dilengkapi terlebih
dahulu.
Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa apa yang disampaikan oleh Pak
Abramsyah adalah benar. Sebagian masyarakat datang ke Disdukcapil mengurus KK dan
KTP selalu dalam keadaan mendesak. Ada yang perlu untuk pengajuan kredit di Bank
atau Lembaga Pembiayaan. Ada yang perlu untuk menikah. Ada yang perlu pembuatan
ijin usaha. Dan masih banyak alasan lainnya. Menurut Perda yang ada ketentuan waktu
pendaftaran KK dan KTP hingga penerbitannya membutuhkan waktu maksimal adalah 14
hari kerja. Namun dalam kenyataannya akhir-akhir Disdukcapil dapat memenuhi waktu
penerbitan yaitu 3 hingga 4 hari kerja. Lebih cepat dari ketentuan Perda yang ada. Namun
demikian sebagian masyarakat banyak yang mendesak untuk diterbitkan lebih cepat lagi
yakni 1 ata 2 hari kerja. Inilah yang kadang-kadang membuat pelayanan kami sedikit
terganggu dengan perilaku masyarakat yang tidak sabar. Terlebih jika datanya tidak
lengkap, maka tentu akan mengganggu proses pengerjaan. Sehingga seringkali kami tidak
menerima berkas jika datanya tidak lengkap. Adapun persyaratan berkas untuk pengurus
KK dan KTP SIAK ialah :
KTP lama (asli)
KK lama (asli), dan
Pas foto berwarna ukuran 3x4 (2 lembar)
Surat pengantar dari Kelurahan dan Kecamatan tempat domisili
Bidang Pencatatan Sipil
Pencatatan Sipil merupakan sarana untuk mencatat peristiwa penting yang dialami
penduduk dan perlu dilegalisir oleh negara melalui penerbitan dokumen yang syah
menurut hukum dalam bentuk pencatatan sipil. Bidang Pencatatan Sipil ini merupakan
salah satu bidang di Dinas Kependudukan Catatan Sipil yang berperan penting dalam
mewujudkan tertib adminstrasi kependudukan. Pelayanan pencatatan sipil ini mengacu
pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Penduduk, Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pendaftaran Penduduk.
Pencatatan Sipil menerbitkan beberapa dokumen meliputi :
Akta Kelahiran
Akta Kematian
Akta Nikahbagi yang beragama Non-Muslim
Akta Perceraian bagi yang beragama Non-Muslim
Untuk pembuatan Akta Kelahiran yang menjadi syarat penerbitan dokumen
meliputi KTP Ayah, KTP Ibu, KK, KTP 2 orang saksi, Surat Keterangan Kelahiran dari
dokter/paramedis yang membantu kelahiran.
Untuk pembuatan Akta Kematian yang menjadi syarat penerbitan dokumen
meliputi KTP Almarhum, KK, KTP 2 orang saksi, dan Surat Keterangan Kematian dari
dokter atau paramedis.
Untuk pembuatan Akta Nikah yang menjadi syarat penerbitan dokumen meliputi
KTP mempelai pria, KTP mempelai perempuan, dan KTP 2 orang saksi.
Untuk pembuatan Akta Perceraian yang menjadi syarat penerbitan dokumen
meliputi KTP Suami, KTP Istri, KK, dan KTP 2 orang saksi.
Pak Linjun selaku staff Bidang Pencatatan Sipil menyampaikan :
Untuk pelayanan di Bagian Catatan Sipil ini kami menargetkan waktu penerbitan
dokumen ialah 2 hari dengan ketentuan berkas persyaratan yang dibutuhkan harus
lengkap.
Berdasarkan pengamatan di lapangan waktu pelayanan penerbitan dokumen dari
Bidang Pencatatan Sipil rata-rata memang 2 hari. Jika ada dokumen yang lebih dari 2 hari
diterbitkan biasanya berkas/data yang dibutuhkan kurang, sehingga terpaksa petugas harus
menunggu terlebih dahulu pemohon untuk melengkapi berkas yang dibutuhkan.
Mengenai sarana dan prasarana yang ada, Pak Linjun menuturkan sebagai berikut :

19
untuk saat ini kami di Bidang Pencatatan Sipil masih membutuhkan tambahan unit
komputer untuk memproses dokumen yang diminta masyarakat. Komputer yang ada saat
ini hanya ada 2 unit, dari kapasitas spesifikasi memang cukup untuk pengerjaan. Cuman
untuk kecepatan pelayanan saya rasa perlu ditambah beberapa unit lagi.
Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan yang ada saat ini
cukup memadai. Yang harus ditingkatkan adalah kinerja dari masing-masing operator.
Peneliti masih melihat adanya ketidakdisiplinan dalam hal jam kerja dan waktu
pelayanan. Sebagai contoh jam pelayanan yang tertulis jam 7.30 tetapi seringkali pada
jam tersebut petugas belum siap melayani. Sehingga kondisi demikianlah yang
mengganggu terhadap kemampuan melayani masyarakat.
Faktor Penghambat Bidang Pencatatan Sipil
Mengenai faktor penghambat di Bidang Pencatatan Sipil sebagaimana
dikemukakan oleh Pak Linjun ialah :
Satu-satunya faktor penghambat kami dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
agar bisa lebih cepat adalah tidak adanya genset yang dimanfaatkan ketika listrik padam.
Akhir-akhir ini pemadaman listrik secara bergilir cukup sering terjadi, sehingga hal ini
menggangu aktivitas pekerjaan.
Pemadaman listrik yang saat ini seringkali terjadi cukup mengganggu aktivitas
pekerjaaan di Bidang Pencatatan Sipil. Target waktu pelayanan 2 hari terkadang harus
diundur dikarenakan tidak dapat mencetak dokumen akta kelahiran dan dokumen yang
lainnya. Hal ini dapat diatasi bilaman Kantor Disdukcapil memiliki pembangkit listrik
sendiri berupa genzet.
Bidang Pengelolaan Informasi Kependudukan
Pengelolaan informasi kependudukan merupakan pengelolaan data hasil
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil melalui suatu media yakni Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK).
Berikut adalah alur proses input data ke SIAK adalah sebagai berikut :

20
Proses Input Data SIAK

Gambar diatas adalah proses input data (pendaftaran penduduk) sampai dengan penerbitan
KK dan KTP SIAK. Adapun tahapannya dapat diuraikan sebagai berikut :
Langka I
: Membuka aplikasi SIAK.
Langkah II
: Memasukkan username dan password untuk petugas dengan masingmasing kelurahan beda passwordnya.
Langkah III : Membuka menu pendaftaran penduduk.
Langkah IV : Mengisi form Kartu Keluarga (KK).
Langkah V
: Memeriksa hasil input data di form Kartu Keluarga dengan menampilkan
form KK secara utuh.
Langkah VI : Mencetak Kartu Keluarga (KK).
Langkah VII : Mengisi Data Wilayah untuk pengisian KTP.
Langkah VIII : Mengisikan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Langkah IX : Mencetak KTP SIAK.
Masing-masing tahap tersebut harus dilakukan sekali waktu atau sekaligus artinya,
ketika mengisi data satu orang penduduk maka harus diselesaikan sampai dengan
pencetakan KK dan KTP. Pencetakan KK dan KTP tidak boleh dilakukan dalam waktu
(hari) yang berbeda.
Berdasarkan pengamatan dilapangan nampak dengan jelas bahwa seluruh petugas
operator yang berjumlah 9 orang bekerja dengan serius dengan mengoptimalkan waktu
yang ada. Tidak ada yang nampak sedang bersantai. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
target waktu yang dipasang oleh Kepala Disdukcapil bahwa penyelesaian KK dan KTP
adalah 3-4 hari kerja. Meskipun dalam Perda sebagaimana disampaikan diatas dipatok 14
hari kerja.
Faktor Penghambat Bidang Pengelolaan Informasi
Adapun hambatan/kendala yang dihadapi dalam pengelolaan pendaftaran
penduduk menurut Kabid Pengelolaan Pendaftaran Penduduk (Pak Abramsyah) adalah
sebagai berikut :

21
saya rasa yang menjadi permasalahan utama dan selalu berulang yang pada akhirnya
menjadi mengganggu kinerja kami adalah kerusakan yang terjadi pada komputer. Saat ini
kami memiliki 9 unit Personal Computer (PC) yang dioperasikan oleh 9 orang operator.
Komputer-komputer tersebut adalah hasil pengadaan tahun 2009. Sudah 3 tahun usianya.
Cukup sering kami harus melakukan pemeliharaan dan perbaikan atas kerusakan.
Pada Bidang Pengelolaan Informasi Kependudukan mengoperasikan 9 unit
komputer (PC) yang selalu online setiap hari. Dari spesifikasinya komputer ini sudah
cukup memadai aktivitas operasional SIAK. Kerusakan/gangguan yang seringkali muncul
adalah akibat dari seringnya pemadaman listrik di Kota Palangka Raya. Sehingga semua
unit komputer harus dibackup dengan Stavolt dan UPS. Meski demikian tetap saja PC
yang ada masih sering terganggu. Kalo nggak stavoltnya yang rusak perangkat keras
lainnya juga sering rusak.
Beberapa kali sudah diajukan program peremajaan kepada Pemerintah Daerah
melalui RENJA dan RKA setiap tahunnya. Tetapi masih belum ada tanggapan dari
pemerintah. Kondisi demikian memaksa ada kebijakan tersendiri dari internal Disdukcapil
untuk dapat memperbaiki kerusakan yang ada. Salah satunya ialah dengan memanfaatkan
dana sukarela yang diberikan oleh masyarakat.
Menurut hasil penelitian bahwa faktor yang mempengaruhi didalam keberhasilan
pelaksanaan SIAK guna mewujudkan tertib adminstrasi kependudukan menurut konsep
implementasi kebijakan Edward III, dapat diuraikan menjadi :
Komunikasi, pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa komunikasi yang terjadi
antar petugas baik dalam satu bidang kerja maupun dengan bidang kerja yang sudah
terjalin dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari proses kerja yang berjalan. Setiap petugas
sudah menyadari betul apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Oleh karena itu
tidak pernah terjadi tumpang tindih pekerjaan (overlapping). Meski sudah terbagi
pembagian kerja yang jelas tidak berarti bahwa masing-masing petugas di bidang yang
berbeda-beda berlaku egosektoral. Ketika terjadi kekurangan tenaga/petugas di suatu
bidang, maka bidang lainnya yang kelebihan petugas harus siap mengisi kekosongan
tersebut. Sebagai contoh soal waktu penerbitan KK dan KTP yaitu 3 hingga 4 hari kerja,
ketika pimpinan Disdukcapil sudah menetapkan waktu ini maka seluruh staff dari bagian
pendaftaran hingga operator harus berusaha untuk mewujudkannya yaitu time
servicepenerbitan KK dan KTP 3 hingga 4 hari kerja.
SumberDaya, merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III,
dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumberdaya-sumberdaya terdiri dari
beberapa elemen, yaitu :
a. Staff, pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa setiap petugas disana selain sudah
memahami tugas pokok dan fungsinya mereka terlihat cukup terampil untuk bekerja
sesuai dengan bidang tugasnya. Bagian operator komputer, bagian pelayanan, maupun
bagian administrasi lainnya dirasa sudah cukup terampil untuk bekerja.
b. Informasi, pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa antara pimpinan dan staff di
Disdukcapil telah terjalin komunikasi dan informasi yang baik. Setiap ada
perkembangan atau perubahan kebijakan dari Kepala Dinas selalu disampaikan secara
utuh dan menyeluruh kepada seluruh staff yang ada di Disdukcapil. Dengan demikian
diharapkan tidak ada kesalahpahaman didalam pelaksanaan pekerjaan.
c. Wewenang, pengamatan dilapangan pembagian wewenang kepada bawahan berjalan
dengan baik. Para Kepala Bidang tidak segan-segan untuk memberikan kewenangan
kepada para Kepala Sub bidang untuk mengambil segala keputusan yang baik dalam
menyelesaikan problem/kendala yang dihadapi dalam pekerjaan. Meski demikian
Kepala Dinas dan Kepala Bidang tetap memberikan ruang kepada bawahan untuk
berkonsultasi lebih lanjut.
Disposisi, adalah sikap dari pelaksana mengenai pelaksanaan suatu pelaksanaan
kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana
kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus
memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi
bias.

22
Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi menurut George C.
Edward III, adalah :
a. Pengangkatan birokrat, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan
haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan;
lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
b. Insentif, pengamatan di lapangan pengangkatan birokrat, baik pimpinan maupun
bawahan telah memperhatikan kapasitas dan kapabilitas individu. Setiap orang yang
diangkat dalam jabatannya telah diperhitungkan kemampuan dan pengalaman kerja
yang dimilikinya. Dengan demikian diharapkan dapat bekerja secara
maksimal.Mengenai pemberian insentif kepada staff sebagai bagian dari upaya untuk
memberikan motivasi dan dorongan agar dapat bekerja dengan maksimal, telah
dilakukan oleh manajemen Disdukcapil. Pimpinan sudah mengambil kebijakan untuk
memberikan insentif berupa uang lembur bagi para operator SIAK yang bekerja
tambahan diluar jam kerja.
StrukturBirokrasi,Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama
banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka
hal ini akan menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan
menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus
dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan
koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur
birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik adalah : melakukan Standar Operating
Procedures (SOPs) dan melaksanakan fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang
ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan
fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau aktivitasaktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
Struktur birokrasi yang ada di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan
kebijakan yang bersifat topdown, artinya Pemerintah Daerah-lah yang berwenang untuk
menentukan struktur organisasinya. Dari pengamatan dan penelitian dilapangan mengenai
struktur birokasi dirasakan sudah cukup mendukung didalam pelaksanaan pekerjaan dan
pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian struktur organisasi yang ada saat ini
dirasakan sudah cukup ideal.
Model Pendekatan Direct and Indirect on Implementation
(George Edward III)

KOMUNIKASI

DISPOSISI
STRUKTUR
BIROKRASI
Kesimpulan

I M PLE M E NTAS I

SUMBER DAYA

23
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebagaimana tersebut diatas, maka penelitian
ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan SIAK Bidang Pengelolaan Pendaftaran Penduduk telah berjalan
cukup baik. Bidang tersebut sudah dapat menunjukkan upaya-upaya untuk
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
sikap petugas dalam melayani masyarakat yang mengutamakan kemudahan dan
kecepatan pelayanan.
2. Pelaksanaan SIAK Bidang Pencatatan Sipil telah berjalan cukup baik. Hal ini
dapat ditunjukkan bahwa pelayanan dibidang tersebut sudah dapat terintegrasi
dengan SIAK. Sehingga peristiwa kelahiran, kematian, perkawinan, dan
perceraian dapat direkam melalui SIAK.
3. Pelaksanaan SIAK Bidang Pengelolaan Informasi Kependudukan telah berjalan
cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari timeservice penerbitan dokumen KK, KTP,
Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Nikah, dan Akta Perceraian dengan waktu
yang relatif cepat.
4. Faktor penghambat pelaksanaan SIAK meliputi dukungan anggaran operasional
yang minim untuk pemeliharan komputer, dan kesadaran masyarakat yang masih
rendah untuk bisa bekerjasama melengkapi berkas dan bisa lebih sabar menunggu
penerbitan dokumen.
5. Faktor pendukung pelaksanaan SIAK meliputi adanya komunikasi yang baik di
internal Disdukcapil, adanya sumber daya manusia yang cukup, struktur birokrasi
yang ideal, dan disposisi pengambil kebijakan yang cukup baik dan responsif.

Saran
Dengan memperhatikan kesimpulan tersebut diatas maka dapat disarankan oleh
peneliti sebagai berikut :
1. Walikota Palangka Raya diharapkan dapat lebih memperhatikan kebutuhan
anggaran operasional di Disdukcapil Kota Palangka Raya. Sehingga pemeliharaan
komputer tidak dibebankan kepada anggaran swadaya.
2. Masyarakat diharapkan dapat bersifat lebih arif dan bijaksana terhadap pelayanan
yang diberikan oleh petugas Disdukcapil Kota Palangka Raya.
3. Masyarakat diharapkan juga tetap kritis terhadap pelayanan Disdukcapil Kota
Palangka Raya.

24
DAFTAR PUSTAKA
Davis, William S. 2006. Sistem Pengolahan Informasi (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Gie. The Liang, 1999. Pengertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi RI.
Yogyakarta: Nurcahaya.
Lukman, Sampara. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan Umum. Jakarta: STIA LAN
Press.
Mcleod, Raymond. 2005. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: PT. Prenhallindo.
Moekijat. 2005. Pengantar Sistem Informasi Manajemen. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Moleong,Lexy.2005.MetodologiPenelitianKualitatif.Bandung:RemajaRosdaKarya.
Van Meter, D. And C. Van Horn. 1975. The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework. Administration and Society 6,4 (1975).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2005 tentang Administrasi
Kependudukan.
Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Administrasi
Kependudukan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63/M.PAN/7/2003 tentang
Pelayanan Publik
Peraturan Daerah Kota Palangka Raya Nomor 03 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan.

25
TAHITING DAWEN SAWANG
Fenomena Perlawanan Budaya di Kalimantan Tengah
Oleh. Joni Rusmanto

Abstrak
Program dan kebijakan pembangunan di suatu masyarakat yang hanya mengejar target
pertumbuhan ekonomi, serta mengabaikan pembangunan dalam aspek social budaya,
kemungkinan dapat membuka ruang bagi timbulnya berbagai bentuk resistensi atau
perlawanan social di masyarakat. Demikian halnya fenomena perlawanan budaya yang
belakangan ini terjadi di setiap daerah, dapat dipandang sebagai respon kongkrit
masyarakat lapisan bawah yang tidak setuju dengan kebijakan pembangunan yang
dominatif dan memarginalitatif. Dinamika gerakan yang terjadi, baik yang bersifat
perlawanan individual maupun aksi-aksi kolektif yang memobilisasi simbol-simbol
budaya dan aksi penggalangan kekuatan sumber daya lainnya, dapat pahami sebagai
bentuk aksi penolakkan dan ketidaksetujuan mereka terhadap system pembangunan yang
tidak adil dan merata di daerah.
Kata kunci: pembangunan, target ekonomi, dominatif, dan resistensi social (social
resistance).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak bergulirnya undang-undang nomor 22 tahun 1999,1 yang mengatur masalah
desentralisasi dan otonomi daerah yang kemudian diberlakukan secara efektif sejak
tahun 2001, telah memberikan otoritas baru bagi pemerintah daerah dalam konteks
semangat local democratic model ke dalam kerangka sistem pemerintahan daerah agar
lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokratisasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan sehingga tercapainya pemberdayaan dan kemandirian rakyat
di daerah otonomi (Koswara, Kertapradja, 2002;300). Sejak diberlakukannya otonomi
dalam konteks pembangunan demokratisasi di daerah, telah mendorong semangat baru
bagi pemerintah untuk mengelola sumber daya potensial yang dimiliki oleh setiap
daerah.
Di Propinsi Kalimantan Tengah, pola kebijakkan pembangunan diarahkan untuk
mengejar target agar tercapainya pertumbuhan ekonomi yang optimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah.2 Pertumbuhan ekonomi dipandang relative masih
rendah sehingga permasalahan inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab
pemerintah dalam rangka mencari cara untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
dalam berbagai sektor potensial yang di miliki oleh masing-masing daerah.
Salah satu sektor potensial yang dikembangkan adalah membangun sistem regulasi
dan mekanisme kebijakan politik pada bidang agraria yang bertujuan untuk mengatur
serta mengelola permasalahan di seputar sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan
asli daerah (PAD). Dan perhatian ini kemudian telah memberikan kewenangan baru bagi
pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Nomor 3 tahun 2003
tentang pengusahaan perkebunan (Lembaran Daerah Propinsi Kalimantan Tengah tahun
1

Undang undang otonomi Nomor 22 Tahun 1999 ini kemudian direvisi ke dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2
Sejak Undang-undang Otonomi Daerah diberlakukan secara efektif, maka pembagian secara
administratif kewilayahan pemerintahan propinsi Kalimantan Tengah menjadi 13 Kabupaten dan 1 Kota.

26
2003 Nomor 7 Seri E). Peraturan daerah tersebut dalam rangka untuk merumuskan Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah tahun 2003 yang bertujuan
untuk merumuskan serta menetapkan areal dan lokasi Kawasan Pengembangan Produksi
(KPP).
Dalam rangka melaksanakan peraturan daerah tersebut di atas, pemerintah
propinsi dan kabupaten telah merangkul steakholders agar mampu bekerjasama yang
saling menguntungkan, dengan pihak pengembang asing maupun lokal dalam sektor
pertambangan batu bara, emas dan perkebunan kelapa sawit. Kemudian pada akhirnya
tidaklah terlalu mengherankan bahwa dikemudian hari, laju pertumbuhan ekonomi di
sektor pertambangan dan perkebunan di Kalimantan Tengah dalam periode 2008-2011,
mengalami peningkatan jumlah investasi yang cukup signifikan. Dengan demikian,
untuk saat ini saja, sudah terdapat ratusan perusahaan pengembang dan pemilik modal
yang menanamkan modal di sektor pertambangan dan perkebunan di setiap kabupaten
di wilayah propinsi Kalimantan Tengah.3
Kehadiran pengembang dalam sektor pertambangan maupun perkebunan,
bukanlah tanpa masalah, justru mendorong kepada upaya percepatan peningkatan
eksploitasi sumber daya alam yang semakin tidak terkendali. Sehingga hal inilah yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah baru bagi kehidupan masyarakat di
Kalimantan Tengah. Persoalan tersebut, pertama, pada aspek ekologis berdampak pada
kerusakan lingkungan dan eksistensi kehidupan di dalamnya yang semakin terancam,
kedua, terbukanya ruang konflik baru yang bersifat harisontal masyarakat versus
Negara (kepentingan pengembang dan pemilik modal).
Demikian juga program pembangunan ekonomi dalam sektor pertambangan dan
perkebunan, secara langsung tidaklah terlalu banyak memberikan dampak yang positif
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, bahkan sebaliknya justru
menambah jumlah angka kemiskinan masyarakat di daerah pedesaan.4 Masalah lain
yang juga muncul seperti misalnya peningkatan praktek-praktek formal upaya
penguasaan dan perampasan hak-hak masyarakat atas tanah adat secara legal oleh
Negara (kepentingan pengembang). Demikian juga dampak langsung yang
dihasilkannya misalnya polusi atau pencemaran air sungai oleh limbah pabrik CPO
(Cruid Palms Oils) serta pelanggaran situs-situs sakral budaya lokal dalam bentuk
pembabatan areal hutan, lahan dan sekitarnya. (Draft Naskah Akademik Pengelolaan
Sawit Berkelanjutan Kalimantan Tengah, 2008;22).
Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika Marcus Colchester, Norman Jiwan dan
kawan-kawan menjelaskan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki dampak
besar bagi penduduk Indonesia. Perluasan perkebunan kelapa sawit mengakibatkan
pemindahan lahan dan sumber daya, perubahan luar biasa terhadap vegetasi dan
ekosistem setempat, penanaman modal besar dan infrastruktur baru, perpindahan
penduduk dan pemukiman, transformasi besar terhadap perdagangan lokal dan
3

Berdasarkan data statistik Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah tahun 2008 hlm. 1, bahwa
untuk tahun 2008 saja, terdapat 229 perusahaan sawit negara maupun swasta dengan luas areal
pengembangan perkebunan sekitar 1.142.073,89 Ha dengan produksi rata-rata 6.669.474,13 Ton/CPO
(Cruid Palm Oils).
4
Untuk periode Maret 2010 s/d Maret 2011, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) lebih baik dari 1,018
menjadi 0,988. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin makin mendekati garis
kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan naik dari 0,238 menjadi
0,242. Angka ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin sedikit melebar
dibanding tahun 2010. Sumber BPS Propinsi Kalimantan Tengah Tahun 2011 (Lebih lanjut lihat poin
Tingkat Kemiskinan Kalteng tahun 2011 no 1/vii/Juli 2011).

27
internasional serta memerlukan campur tangan berbagai lembaga pemerintah.
Dilakukan dengan benar, minyak sawit menghasilkan kekayaan dan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat lokal. Sebaliknya, jika perkebunan kelapa sawit
dikembangkan tidak dengan benar, dapat mengarah pada pengasingan lahan, hilang
mata pencarian, konflik sosial, eksploitasi buruh dan kerusakan berbagai ekosistem.
(Marcus Colchester, Norman Jiwan, dkk, 2006;11).

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN


Politik Agraria & Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Alam
Konflik seputar masalah agraria, antara warga sekitar versus pihak perusahaan
perkebunan, tidaklah bisa dilepaskan dari sistem perkebunan skala besar yang merupakan
urat akar dari konflik (Fajri Nailus, 2010;13). Di mana sistem perkebunan kelapa sawit
yang tetap eksis merupakan warisan dari sistem perkebunan skala besar yang diterapkan
oleh Kolonial Belanda. Konfik agraria terjadi akibat ketimpangan penguasaan dan
kepemilikan serta pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrarian. Secara sederhana
ketimpangan dapat digambarkan segelintir manusia menguasai dan memiliki serta mengelola
dan memanfaatkan sumber-sumber agrarian dalam hal ini tanah sampai ratusan ribu bahkan
jutaan hektar, sedangkan di sisi lain jutaan orang hidupnya mengandalkan sepetak dua petak
tanah dan kekayaan alam bahkan sebagainnya hanya mengandalkan tenaganya untuk bekerja
di tanah orang lain.
Ketimpangan atas penguasaan, kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan
sesungguhnya adalah cerminan dari masih berlangsungnya monopoli atas sumber-sumber
agraria yang dilakukan oleh segelintir orang. Celakanya, hingga saat ini tidak ada upaya
yang serius untuk menghilangkan praktek monopoli atas sumber-sumber agraria ini
walaupun kita sudah merdeka lebih dari 64 tahun, malah yang terjadi justru sebaliknya
pelanggengan sistem monopoli dengan berbagai perundangan dan peraturan yang dibuat di
dalamnya.
Marcus Colchester, Norman Jiwan dan kawan-kawan, menyebutkan bahwa negara
Indonesia tidak memiliki ukuran yang jelas dalam mengamankan hak adat atas tanah dan
hutan. Terlebih lagi, hanya sedikit peraturan dan ketentuan hukum di Indonesia yang
mampu memfasilitasi penerapan persetujuan tanpa paksaan. Sebaliknya, model
pembangunan, sistem administrasi maupun hukum di Indonesia tidak menghormati hak
adat, memandulkan lembaga adat dan mendorong pengelolaan hutan yang top down yang
melanggar norma-norma yang diakui secara internasional (Marcus Colchester, Norman
Jiwan, dkk, 2006;40).
Bagi masyarakat petani tradisional (peladang berpindah), bahwa tanah atau lahan bekas
perladangan (yang mereka sebut petak bahu) sebagai hak milik warga yang selanjutnya banyak
direklaim atau diserobot pihak investor atau pengembang perkebunan dengan alasan bertujuan
bagi sawit rakyat, adalah lahan yang kebanyakkan bersumber dari lahan adat dan budaya
masyarakat. Dalam perspektif kebudayaan, keberadaan hutan yakni pertama secara
ekonomi sebagai sumber matapencaharian hidup yang utama terutama bagi para peladang
untuk bertani (malan~manana, mambahu~mahimba), berburu (mamandup) dan meramu
hasil-hasil hutan (manggemur) dan lain sebagainya. Kedua, hutan secara ideology
dipahami sebagai wilayah yang memiliki nilai-nilai spiritual, misalnya sebagai tempat
pemakaman para leluhur yang sudah lama meninggal (sandung,sapundu),sehingga
kawasan hutan demikian harus dipelihara serta dijaga kelestariannya. Paulus Florus,
Stepanus Djuweng dan kawan-kawan menyatakan:

28

hancurnya hutan alam, akan menghancurkan kita juga. Pengamatan ini yang
tampaknya didukung oleh pembangunan selama dua puluh lima tahun yang lalu
di Kalimantan, mengisyaratkan bahwa kehadiran atau ketiadaan kelestarian
kebudayaan secara langsung tercerminkan oleh kehadiran atau ketiadaan
kelestarian di alam. Hal tersebut mengisyaratkan terdapatnya suatu kesatuan dan
jalinan nasib antara manusia dengan lingkungan hidup mereka. (Paulus Florus,
Stepanus Djuweng, dkk, 1994;xxxi)
Dalam kebiasaan masyarakat petani tradisional (peladang berpindah), bahwa tradisi
membuka hutan sebagai lahan baru (himba) dilakukan secara turun temurun dalam setiap
generasi. Kebiasaan berladang secara tradisional menjadikan para petani tersebut dapat
memiliki banyak areal bekas ladang yang mereka sebut bahu. Menurut Hj. Irene, S.
Jacobus E. Frans L. dalam Paulus Florus, dkk, 1994:91),bahwa berbagai jenis tanaman yang
ditanam warga di atas bekas lahan atau ladang mereka adalah jenis tanaman yang
mengandung nilai ekonomi tinggi yang diperuntukkan bagi sumber cadangan untuk mata
pencaharian mereka di kemudian hari.
Bahu atau bekas areal ladang yang pernah dikelola oleh masyarakat, sebenarnya
lahan yang tidak ditinggalkan begitu saja, melainkan secara social dan kultural menjadi
hak milik warga masyarakat yang pada awalnya pernah menjadikan lahan tersebut untuk
berladang. Legalitas social cultural ini sudah lama melekat dan lazimnya diterima oleh
kalangan masyarakat petani tradisional di Kalimantan.
Di samping sebagai sumber cadangan untuk mata pencaharian dan tanamantanaman tersebut di atas untuk jangka panjang sebagai bentuk penegasan sosial kultural
bahwa bahu atau bekas areal perladangan tersebut secara adat merupakan hak milik
seseorang. Namun rupanya pengakuan kultural warga atas bekas lahan berladang atau
bertani semacam ini, tidak diterima dalam perspektif logika hukum negara mengenai tata
kelola dan pengaturan hukum pertanahan di Negara Indonesia. Seperti yang dikemukakan
Sholih Muadi, bahwa konsep adat yang mengacu pada kepemilikan turun temurun yang
didasarkan pada sejarah terjadinya hak garapan atas tanah tersebut dan kemudian harus
beralih menjadi hak milik, dan hal itu bertentangan dengan konsep Barat (civil law) yang
dianut pemerintah selama ini yakni kepemilikan secara formal yang mendasarkan pada
konsep domein verklaring dan tidak mengenal adanya okupasi dalam hukum formal.
Menurutnya fakta inilah yang kemudian menimbulkan sengketa tanah perkebunan yang
dimaksudkan untuk menunjuk siapa yang paling berhak atas tanah tersebut (Sholih Muadi,
2010:37).
Gerak Pertarungan dalam Dunia Keseharian
Keberadaan perusahaan perkebunan besar sawit (PBS) dan pertambangan besar
dan kecil yang masuk di daerah pedesaan, bukanlah tanpa masalah, justru telah
mendorong percepatan perubahan sosial, ekonomi dan budaya. Terutama dalam aspek
lingkungan hidup, perubahan itu telah meningkatkan upaya percepatan eksploitasi
sumber daya alam dan hutan yang semakin tidak terkendali. Selain berdampak negatif
bagi masa depan lingkungan, perubahan itu juga mengakibatkan semakin tertutupnya
akses masyarakat kepada pengelolaan sumber daya hutan secara langsung.
Bagi orang Dayak yang masih mengandalkan mata pencaharian pada sumber
daya hutan, keadaan ini berdampak kepada sumber pendapatan dan penghasilan
ekonomi mereka sehari-hari. Pada akhirnya warga masyarakat di pedesaan semakin
dimarginalitaskan ketergantungannya dengan sumber daya hutan. Ketersingkiran warga

29
Dayak setempat terhadap akses pengelolaan sumber daya hutan dan alam yang
dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, menjadikan mereka tetap berupaya bagaimana
membangun serta menciptakan berbagai bentuk strategi agar tetap bertahan dan eksis
di kampong halaman mereka (lewu).
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bekerja sebagai
penambang rakyat tradisional (istilah warga manyedot). Walaupun sebenarnya,
kebanyakan dari pekerjaan ini mengandung banyak resiko, dari segi penghasilan dan
pendapatan yang diperoleh pun terkadang tidak menetap, kadang-kadang mendapatkan
keuntungan, namun kadang-kadang juga tidak mendapat hasil sebagaimana yang
diharapkan. Namun resiko terburuk yang selalu dihadapi adalah berbagai aksi razia
dari aparat kepolisian setempat, karena para penambang tradisional ini oleh Negara
dianggap tidak mengantongi izin resmi untuk menambang sehingga mereka disebut
penambang tanpa ijin~PETI atau menurut istilah petugas hukum disebut illegal
minning.5
Demikian juga dampak langsung dirasakan oleh para peladang (petani tradisional
yang berpindah-pindah lahan garapan), lahan baru semakin sulit didapatkan karena
lahan yang baru (himba) kebanyakan sudah ditetapkan sebagai kawasan KP, HGU,
HPH, IUP, IUPR dan WIUPR. Wilayah hutan tersebut, dikonversikan sebagai pilot
project kawasan hutan produktif yang bernilai ekonomi cukup tinggi, secara potensial
dimanfaatkan untuk pembangunan proyek perkebunan kelapa sawit dan penambangan
emas, batu bara dan pertambangan zat mineral lainnya.
Walaupun adanya lahan untuk berladang, dalam mengolah lahan untuk ladang
pun tidak sembarangan, karena pemerintah melarang membuka ladang dengan caracara tradisional misalnya dengan membakar lahan, karena dapat menimbulkan bahaya
kebakaran hutan.6 Adanya larangan ini pada akhirnya menjadikan masyarakat petani
tradisional melakukan pembakaran ladang dengan aksi dan cara diam-diam bahkan
secara sembunyi-sembunyi.7 Bagi warga desa yang dominan pekerjaannya sebagai
petani tradisional, larangan untuk tidak membakar lahan, secara tidak langsung berarti
melarang mereka untuk berladang. Dalam pemahaman warga desa, yang sumber
5

Biasanya aparat gabungan selalu menggelar razia lapangan terhadap para penampang ilegal yang
beraktivitas di setiap aliran sungai (DAS) Kahayan, Sungai Kapuas, dsbnya. Bagi para penambang
tradisional tidak ada pilihan lain, kecuali tetap melakukan pekerjaan ini. Salah satu strategi agar tetap
bertahan, para penambang liar ini berpindah lokasi penambangan secara diam-diam, yang semula dari
sekitar aliran sungai, kini berpindah ke tepi daratan yang jauh dari jangkauan dan pengamatan para
petugas di lapangan.
6
Disetiap musim kemarau tiba setiap tahun, bencana kabut asap tebal selalu menjadi permasalahan
utama di Kalteng, polusi udara berdampak pada penyakit ISPA, mengganggu sistem perekonomian, lalu
lintas udara (dunia penerbangan), sekolah banyak diliburkan, dsbnya. Yang menarik, ada anggapan
kabut asap disebabkan oleh pembakaran lahan (pembukaan ladang berpindah) yang dilakukan oleh
warga setempat. Padahal, tradisi berladang dengan cara tradisional (termasuk membakar terbatas), sejak
jaman nenek moyang, tidak pernah mengakibatkan sampai munculnya bencana kabut asap sebagaimana
yang selalu terjadi pada akhir-akhir ini. Justru mengapa kabut asap mulai terjadi sejak tahun 2008,
seiring maraknya aksi legal pembukaan lahan bagi areal perkebunan sawit yang juga dilakukan dengan
cara-cara membakar.
7
Terdapat peraturan daerah pemerintah propinsi Kalimantan Tengah dalam mengatur masalah
pengelolaan serta larangan mengenai lahan garapan baik untuk berladang maupun pembukaan areal
perkebunan terbatas. Namun yang menarik perda itu di lapangan oleh aparat direduksi menjadi larangan
terbatas hanya diberlakukan bagi pembukaan ladang warga masyarakat yg bertani secara tradisional.
Sedangkan untuk proyek pembukaan areal kelapa sawit perda itu seakan-akan tidak berlaku. Banyak
kasus warga ditangkap hanya gara-gara tidak mengurus ijin dari RT, Kelurahan atau Kecamatan hingga
ke Kepolisian untuk membakar sepetak dua petak lahannya untuk berladang. Bagi warga pengurusan ijin
terlalu merepotkan, biaya keluar banyak, membutuhkan waktu lama untuk menunggu, prosedural,
sehingga aksi diam-diam membakar lahan pun menjadi keharusan, seperti membakar lahan malam hari
tapi kemudian ditinggalkan begitu saja, untuk menghindari tanggungjawab langsung di lapangan.

30
penghasilan mereka hanya tergantung pada hasil bertani atau berladang, larangan itu
sama saja artinya melarang mereka untuk makan, secara tidak langsung tidak
memperbolehkan mereka untuk melanjutkan kehidupan mereka sehari-hari.
Begitu juga kesulitan ini dialami secara langsung bagi mereka yang usahanya
mengandalkan dan meramu hasil-hasil hutan, memanfaatkan kayu untuk kebutuhan
sendiri atau untuk dijual kepada orang lain walaupun tidak seberapa jumlahnya, jika
tidak mengantongi ijin formal dari instansi terkait dianggap melanggar hukum (illegal
loging).8 Konsekuensi yang terakhir ini, ada semacam resistensi kesadaran dalam
pikiran warga dalam upaya untuk mengatasinya, yakni mengangkut kayu dari hutan
secara sengaja pada siang hari bahkan juga dengan cara tersembunyi pada malam hari,
dengan alasan untuk menghindari para petugas razia di lapangan. Mereka yang bermata
pencaharian ini, tentu saja telah memperhitungkan kendala-kendala dan segala resiko
yang kemungkinan dihadapi di lapangan.
Strategi dan aksi diam-diam dan aksi sengaja secara sembunyi-sembunyi adalah
bentuk aksi perjuangan yang efektif dalam rangka untuk mempertahankan hidup
sehingga tidak kehilangan sumber mata pencaharian yang mereka andalkan dalam
kehidupannya.
Dapatlah dibayangkan bahwa apa yang dihadapi dalam realitas rutinitas dunia
keseharian para warga dalam berjuang untuk mempertahankan hidup, sangatlah kontras
dengan realitas di sekitar mereka. Manakala aktivitas legal formal pembukaan lahan
perkebunan sawit beribu-ribu hektar, tidaklah dianggap merusak hutan, walaupun
terkadang pengelolaan hutan pun secara biasa dilakukan dengan cara-cara yang tidak
lebih beradab dan tradisional (misalnya membabat, menggundul isi hutan sampai habis
bahkan juga dengan cara membakar).
Demikian juga, manakala, sumber daya alam di sekitar mereka di eksploitasi secara
besar-besaran oleh mega proyek pertambangan emas dan batu bara milik negara maupun
asing, dipandang tidak merusak lingkungan atau illegal mining. Strategi untuk bertahan
hidup dalam situasi yang demikian, masih akan terus dilakukan oleh warga, bahkan
menjadi sebuah keharusan dan bukanlah pilihan, dan upaya ini akan terus berlangsung
selama proses distribusi dan akses pengelolaan tanah dan sumber daya hutan itu masih
dibiarkan saja dimonopoli oleh segelintir orang atau pihak-pihak tertentu dalam
masyarakat.
Memang benar drama kehidupan seperti ini selalu dihadapi oleh manusia dalam
hidupnya. Michel de Certeau dalam, The Practice of Everyday Life (1988), mengatakan
bahwa kehidupan sehari-hari terbentuk oleh aksi pelanggaran terhadap hak milik yang lain
berlangsung dalam sekian banyak cara. Dan pandangan ini tampaknya memang
didasarkan pada cara hidup yang alami. Dunia kehidupan ini merupakan habitat bagi
semua makhluk, bagi inang~hama dan bagi mangsa~predator. Drama kehidupan di alam
bereplikasi dalam drama sosial di alam kehidupan nyata, yaitu alam kehidupan keseharian
manusia (Michel de Certeau, 1988: hlm, xii).
Singkat kata, berbagai bentuk aksi yang dilakukan warga dalam dunia keseharian
tidak lain merupakan sebagai bentuk pertarungan dalam rangka untuk mempertahankan
eksistensi kehidupan. Aksi yang harus dilakukan dalam situasi atau kondisi dinamika
8

Banyak kasus yang ditangani polda Kalteng berkaitan dengan illegal loging, dan tidak sedikit pula
warga desa biasa yang mengangkut kayu untuk keperluan membangun rumah sendiri, atau menjualnya
dalam jumlah skala kecil (misalnya 1-2 kubik), ditangkap dan dijebloskan ke penjara hanya gara-gara
tidak mengantongi ijin pengelolaan, pengangkutan dan penjualan secara legal dari dinans dan aparat
terkait.

31
hidup yang semakin sulit yang dialami oleh warga, terutama bagi mereka yang masih
tetap menggantungkan sumber matapencaharaian utama pada sumber daya hutan dan
sumber daya alam sekitar.
Sistem monopoli dan dominasi pengelolaan hutan dan lahan oleh pihak-pihak elit
negara, hanya lebih mengutamakan kepentingan kekuatan para pengembang dan pemilik
modal daripada kepentingan warga sekitar. Dan sistem ini, berakibat buruk bagi masa
depan warga sehingga munculnya berbagai aksi dan gerakan perlawanan budaya tahiting
yang akhir-akhir ini banyak terjadi di Kalimantan Tengah, dapat dipandang sebagai wujud
protes dan aksi perlawanan masyarakat dalam menentang sistem kebijakan dalam
pengelolaan agrarian yang tidak memihak.
Fenomena Aksi Perlawanan dalam Tataran Simbolis
Fenomena mobilisasi budaya tahiting yang akhir-akhir ini muncul di tengah-tengah
masyarakat, mengindikasikan adanya potensi rivalitas dan resistensi masyarakat Dayak
terhadap sistem pembangunan sumber daya alam yang tidak lagi keberpihakkan kepada
mereka sebagai warga asli yang tinggal di daerah mereka sendiri. Dalam kondisi di mana
pola dan sistem kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pendistribusian serta
pemanfaatan lahan dan hutan dan sumber dayanya yang kurang terlalu memperdulikan
kepentingan warga sekitar. Dan sebaliknya kebijakan negara justru lebih megutamakan
kepentingan para pemilik modal dan pemegang saham dalam jaringan coorporate, yang
kemudian mengakibatkan orang Dayak semakin disingkirkan dari wilayah mereka sendiri.
Pemarginalan sistematis ini yang dalam istilah liguistik mereka sebagai symbol bahasa
dunia sehari-hari mereka yakni;tempun petak manana sare, tempun uyah batawah belai,
tempun kajang bisa puat (yang artinya memiliki tanah luas namun terbatas untuk
berladang dan memiliki banyak kekayaan sumber daya hutan, namun menjalani hidup
semakin susah di kampung sendiri).
Bagi masyarakat dalam menuntut keadilan dan hak-hak mereka atas tanah yang
dirampas oleh pihak pengembang, berbagai cara yang telah dilakukan warga termasuk
melakukan aksi perlawanan manahiting atau tahiting dawen sawang. Aksi manahiting
adalah aksi kolektif menempatkan diri secara diam-diam atau secara sengaja menduduki
areal lahan perkebunan yang disengketakan oleh kedua belah pihak. Dengan cara
menghalangi atau membuat portal di tengah jalan, sambil melakukannya dengan adat
ritual. Pemancangan rotan secara adat bersifat simbolis menandakan tapal batas antara
kedua sisi atau wilayah dari pihak yang bersengketa, yaitu antara warga yang dirugikan
dengan pihak perusahaan yang dianggap merampas hak-hak mereka atas tanah adat yang
diambil alih oleh pihak pengembang dan pemiliki modal.
Menurut warga, melakukan tahiting di lokasi lahan yang disengketakan,
dimaksudkan agar perusahaan memperhatikan tuntutan mereka, tidak mengabaikan
permintaan warga agar diselesaikan dengan cara-cara adat seperti duduk bersama
secara kekeluargaan, bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Jika tahiting itu
dilanggar (tali rotan yang dipasang ditengah jalan dalam areal perkebunan) secara
sengaja oleh pihak lawan, berarti dianggap sebagai pihak yang menentang adat
(melanggar pali). Pihak perusahaan yang secara sengaja memutuskan tali~rotan yang
dipasang (tahiting) oleh warga, akan dikenakan sanksi adat atau denda adat yang diatur
dalam mekanisme adat masyarakat setempat.9
9

Dalam pemahaman warga, memutus tali tahiting (rotal) dengan sengaja, secara simbolis sebagai
bentuk pelanggaran yang tegas dan keras. Dan pelanggaran simbolis ini telah memperkuat dari adanya

32
Dalam aksi ini, dilengkapi dengan berbagai atribut simbolis, yang menandakan
bahwa kegiatan ini memiliki arti tersendiri bagi mereka yang melaksanakannya. Atribut
simbolis yang digunakan seperti daun sawang, buah pepaya, beras ketan putih, telur
ayam kampung dan satu ekor ayam kampung. Semua kelengkapan ini setelah kegiatan
ritual dilaksanakan, semua peserta aksi tahiting gerakan bersama-sama berangkat
menuju ke tengah areal perkebunan untuk memasang alat-alat simbolis (memancang)
tali rotan yang melintang lurus sepanjang jalan, sambil diolesi dengan sebuah tulisan
kecil berwarna putih bergambar salib yang bertuliskan dari bahan kapur sirih
berwarna putih. Sesuatu yang dipergunakan sebagai kelengkapan atribut simbolis
dalam aksi ini adalah bahan material yang mencerminkan sumber utama bersifat
simbolik sebagai representasi makna realitas kehidupan mereka dengan eksistensi alam
sekitar.
Menurut James, C Scott, berbagai atribut simbolis yang dilibatkan dalam aksi
semacam ini, yang representasinya sumber-sumber kebutuhan dari alam sekitar
mereka, adalah menandakan sebuah utopia yang dibayangkan mencakup suatu
kehidupan di alam yang dapat dibayangkan oleh watak manusia yang berubah secara
radikal tanpa mengandung keserakahan, iri hati dan kebencian, eksploitasi, dominasi,
dsbnya. Sementara utopia profan ini juga merupakan antisipasi atas masa depan, ia
sering mengingatkan kembali pada suatu mitos Taman Firdaus yang telah ditinggalkan
manusia. Bukan lah berlebihan untuk melihat dalam ideologi yang biasa menurut
sejarah, suatu pemberian simbolisme religius revolusioner demi kepentingan kelas.
kemudian tidaklah mengherankan jika Scott mengatakan bahwa aksi pada tataran
simbolik ini merupakan bentuk perlawanan dalam pikiran (ideologi) (James C.Scott,
2000:434).
Aksi simbolik manahiting yang dilakukan oleh warga, akan berakhir setelah
pihak yang memiliki kepentingan (pengembang/perusahaan), berupaya mematuhi dan
memenuhi harapan dan keinginan warga menyangkut segala hak-hak adat mereka atas
lahan yang dirampas oleh perusahaan. Biasanya pihak pengembang dituntut mengganti
kerugian secara materil berdasarkan kesepakatan bersama dengan pihak warga yang
merasa dirugikan terhadap hak-hak adat atas lahan masyarakat yang diambil~alih pihak
perusahaan.
Secara teknis, bahwa rentetan aksi yang dilakukan warga termasuk
memobilisasi alat budaya, dapat dipandang sebagai bentuk aksi protes dan perlawanan
individual maupun kolektif yang rasional, di mana aksi ini kerabkali dilakukan di atas
lahan perkebunan yang disengketakan kedua belah pihak. Dengan memancangkan tali
rotan di areal yang disengketakan secara implisit menandakan upaya-upaya menduduki
bahkan menghalangi sekaligus pemboikotan di atas lahan perkebunan selama mungkin
sampai pihak warga merasa aksi itu sudah tidak perlu lagi dilakukan ketika pihak
perusahaan telah memenuhi keinginan dan harapan mereka.
Warga setempat berpandangan bahwa apabila perusahaan perkebunan
mengganggu kegiatan dan aksi manahiting warga di atas lahan maka konsekuensi logis
dari tindakan itu bisa saja pihak yang melanggar akan didenda adat, namun bisa juga
selanjutnya mengarah kepada aksi-aksi yang lebih reaktif. Pada tindakan yang terakhir
bentuk-bentuk pelanggaran lain atas nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini diinginkan dalam
masyarakat. Sanksi yang diakibatkan atas pelanggaran tahiting yang dipasang warga di lokasi konflik,
biasanya dalam bentuk denda adat yang juga disepakati secara bersama kedua belah pihak. Intinya
sanksi itu bermakna penegasan dalam arti mengingatkan pihak perusahaan agar memahami eksistensi
sosial budaya masyarakat adat di tempat itu.

33
ini sebagaimana yang telah terjadi di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim)
dan Seruyan, di mana aksi penjarahan dan kasus pencurian yang marak terjadi akhirakhir ini merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan warga terhadap perusahaan
PT. Wilmar yang berada di wilayah kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten
Seruyan. Maraknya aksi pencurian dan penjarahan buah tandan sawit oleh warga di dua
Kabupaten tersebut merupakan buntut aksi protes mereka sebelumnya yang tidak
tercapai dan terpenuhi di dalam menuntut hak-hak mereka atas lahan adat yang
dirampas oleh pihak PBS (Perusahaan Besar Sawit). (Kalteng Post, Senin 22 Juli 2013,
hal. 8).
Perjuangan warga desa melalui aksi tahiting, dalam menuntut keadilan atas
perampasan tanah sepihak, dapat dipandang sebagai bentuk gerakan perlawanan diri
secara simbolis. Aksi gerakan bersifat simbolis yang dilakukan oleh warga, dalam tataran
pikiran dan gagasan reaktif dan transformatif yang secara khusus dimaknai sebagai bentuk
kesadaran rasional yang diwujudkan dalam gerakan aksi penolakan terhadap sistem
dominasi dan monopoli yang sedang mereka hadapi dalam kehidupan nyata mereka
sehari-hari. Gerakan perlawanan pada tataran simbolis inilah yang disebut Scott
perlawanan sebagai pemikiran dan simbol dari mahkluk binatang yang dapat berfikir dan
berjiwa sosial, yang tidak dapat dikesampingkan dalam kesadaran manusia, yaitu makna
yang mereka berikan pada tindak tanduk mereka. Menurutnya, simbol, norma dan bentukbentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat
dihilangkan dari perilaku mereka (James C.Scott, 2000:51).
Penutup dan Kesimpulan
Perlawanan sebagai aksi gerakan yakni mengungkapkan suatu tipe aksi sosial yang
dilakukan dengan ekspresi dan cara-cara yang lebih terselubung dan tersembunyi secara
laten. Gerakan ini sifatnya relatif tidak menentu dan permanen bahkan terkadang lebih
fleksibel dan tersembunyi secara implisit.
Banyak dari kontradiksi bermunculan di kalangan para penduduk desa yang lebih
miskin dan yang secara ekonomi bergantung yang secara longgar bisa disebut sebagai
petani kecil atau lapisan masyarakat bawah yang tersubordinasi. Bentuk-bentuk
perlawanan dari kaum yang tak berdaya ini termasuk misalnya aksi-aksi menyerobot,
menyeludupkan barang, masuk wilayah orang lain tanpa ijin, melakukan pembakaran,
menyebarkan desas-desus, melakukan sabotase, melanggar hukum debngan sengaja dan
sebagainya. Teknik-teknik tersebut merupakan teknik-teknik alternatif utama (first
resort) dalam situasi-situasi di mana perlawanan terbuka tak mungkin atau berbahaya
untuk dilakukan (James C. Scott, 1989:5).
Ketika teknik-teknik tersebut dilakukan secara lebih luas oleh anggota-anggota dari
seluruh kelas melawan elit atau negara, teknik-teknik itu akan menghasilkan efek agregat
yang jauh melampui efek yang dihasilkan jika dilakukan sendirian. Menurut Scott ada tiga
konsekuensi umum dari model perlawanan semacam itu: pertama; perilaku perlawanan
tersebut memberikan rasa kaya (a sense of welfare) di kalangan petani kecil. Kedua;
perilaku perlawanan tersebut turut mengikis prinsip-prinsip normatif yang mendukung
struktur dominasi. Dan ketiga; bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari dari para petani
kecil menjadi dasar bagi ekspresi aksi politik terbuka dari pihak mereka.
Kebanyakan bentuk manifestasi dari aksi kolektif yang bersifat terbuka dan terangterangan seperti revolusi, huru-hara, pemberontakan (rebels) dan gerakan-gerakan sosial,
memiliki sejarah tersendiri. Dalam fase inkubasinya, aksi-aksi kolektif yang bersifat

34
konfliktual ini pada umumnya tumbuh dan matang secara laten, tak nampak dan
tersembunyi.
Seni perlawanan kaum tani modus-modus protes secara diam-diam di pedesaan
yang berlangsung secara luas melawan pihak musuh, entah itu kelas dominan yang
berkuasa atau kaum kaya di pedesaan, menandai proses berkembangnya penggambungan
aksi-aksi yang tampaknya bersifat individual, diskursif dan tak terorganisir. Menurut Scott
bahwa aksi-aksi terakhir inilah yang pada akhirnya sangat berbahaya yang bisa menjadi
syarat meletusnya konflik secara terbuka (James C. Scott, 1989:6).
Daftar Pustaka
Certeau, Michel de. 1988. The Practice of Everyday Life, London: University of
California Press.
Colchester, Marcus dan Jiwan, Norman, Andiko, dkk. 2006. Tanah yang Dijanjikan;
Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Implikasi Terhadap
Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Jakarta: Forest Peoples
Programme,Perkumpulan Sawit Watch, HuMA dan the World Agroforestry
Centre.
Florus, Paulus dan Djuweng, Stephanus. 1994. Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan
Transformasi. Jakarta: kerjasama LP3S-Institut of Dayakology Research and
Development dengan penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kertapradja, E. Koswara, 2002. Otonomi Daerah; Untuk Demokrasi & Kemandirian
Rakyat. Jakarta: PT. Candi Cipta Paramuda.
Muadi, Sholih, 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan cara
Litigasi dan Non Litigasi. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Nailus, Fajri. 2010. Konflik Agraria di Perkebunan Kelapa Sawit, Praktek Monopoli
Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Dasar Konfik Agraria dan Konflik Sosial
Lainnya, dalam Buletin TANDAN SAWIT Edisi I/Februari 2010, Pusat
Informasi Kampung (PIK) Tempat Baca dan Diskusi Warga Desa. Bogor:
Penerbit Kumpulan Sawit Watch Bogor.
Pokja Sawit Multipihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah 2008 dalam Draft
Naskah Akademis Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di
Kalimantan Tengah Tahun 2008.
Scott, James, C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance.
New Haven: Yale University Press. (di Indonesia diterjemahkan menjadi,
Senjatanya Orang-orang yang Kalah, oleh A. Rahman Zainuddin, dkk. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000).
........,...........,.... 1989. Everyday Form of Resistance, in Forrest D. Colburn (ed.),
Everyday Form of Peasant Resistance. New York, London: M.E. Sharpe.
........,...........,..1990. Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts. New
Haven and London: Yale University Press.
Scott, James, C. and Benedict J. Tria Kerkvliet. 1986. Some Issues in Everyday Forms
Peasant Resistance in South-East Asia, Journal of Peasant Studies, vol. 13, no.
2.
Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Ukur, Fridolin. 1991. Tantang-Djawab Suku Dajak; suatu penjelidikan tentang unsurunsur jang menjekitari penolakan dan penerimaan Indjil; dikalangan suku-Dajak
dalam rangka Sedjarah Geredja di Kalimantan; 1835-1945 (Disertasi, Sekolah
Tinggi Theologia Djakarta, 1971, diterbitkan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Koran Kalteng Post, Senin 22 Juli 2013, hal. 8.

35
MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN
Oleh.
Anyualatha Haridison1
ABSTRAK
Tulisan ini ingin mengeksplorasi konsepsi modal sosial dalam pembangunan, baik itu sumber, bentuk
dan implikasi modal sosial bagi pembangunan. Modal sosial merupakan : (1) sekumpulan sumberdaya
aktual dan potensial; (2) entitasnya terdiri-dari atas beberapa aspek dari struktur sosial, dan entitas-entitas
tersebut memfasilitasi tindakan individu-individu yang ada dalam struktur tersebut; (3) asosiasi-asosiasi
yang bersifat horisontal; (3) kemampuan aktor untuk menjamin manfaat; (4) informasi; (5) norma-norma;
(6) nilai-nilai; (7) resiprositas; (8) kerjasama; (9) jejaring.
Modal sosial sangat dibutuhkan dalam pembangunan, baik itu pembangunan manusia dan sosial,
pembangunan ekonomi, dan pembangunan politik. (1) Pembangunan manusia dan sosial diketahui bahwa
Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan
untuk kepentingan masyarakat, misalnya kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai
permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran
kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan. (2) Dalam pembangunan ekonomi modal sosial sangat tinggi berpengaruh terhadap
perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia
Timur yang dijalankan pelaku ekonomi Cina dilakukan melalui koneksi-koneksi kekeluargaan dan
kesukuan, pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun
melewati batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara. (3) Modal Sosial yang tinggimembawa dampak
pada tingginya partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai bentuknya. Akibat positif yang dihasilkan adalah
pemerintah akan memilki akuntabilitas yang lebih kuat Tingginya modal sosial akan mendorong efektifitas
pemerintahan, beragam determinan memungkinkan negara berfungsi secara lebih efektif dan memiliki
legitimasi.
Kata Kunci : Modal Sosial, Pembangunan, trust.

Terminologi modal sosial [atau lebih dikenal dengan: social capital] digunakan
secara berbeda-beda tergantung dari lingkup studi. Dalam perspektif ilmu politik,
sosiologi dan antropologi umumnya pengertian modal sosial merujuk pada norma-norma,
jejaring dan organisasi-organisasi melalui mana masyarakat memperoleh akses terhadap
kekuasaan dan berbagai sumberdaya, yang merupakan peralatan yang memungkinkan
pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan. Bagi kalangan ekonom, terutama pada
tingkatan mikro-ekonomi, modal sosial dipandang terutama dalam arti kemampuannya
untuk memperbaiki berfungsinya pasar. Sedangkan pada aras makro-ekonomi, para
ekonom mempertimbangkan modal sosial terkait dengan bagaimana institusi-institusi,
kerangka kerja berdasarkan tata aturan, dan peran pemerintah dalam organisasi produksi
mempengaruhi penampilan makro-ekonomi.
Dalam tulisan ini, modal sosial akan dilihat dalam lingkup paradigma pembangunan
dan tentunya pembahasan ini akan memiliki sejumlah keterkaitan dengan lingkup studi,
baik itu studi politik, sosiologi, ekonomi dan antropologi. Pembahasan ini dibagi menjadi
: (1) Pengertian modal sosial; (2) Sumber-sumber modal sosial; (3) Bentuk-bentuk modal
sosial; (4) Modal Sosial dan Pembangunan.
PENGERTIAN MODAL SOSIAL
Menurut Bourdieu (Jenkins, 2004) modal sosial adalah sekumpulan sumberdaya
aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan suatu jejaring yang tahan lama dari
hubungan-hubungan yang sudah terlembagakan yang berawal dari pengenalan dan
pengakuan yang saling menguntungkan.
Sedangkan bagi Coleman (1990) modal sosial dilihat berdasarkan fungsinya, yang
bukan merupakan entitas tunggal tetapi terdiri dari berbagai entitas yang berbeda-beda,
dengan dua karakteristik umum, yakni: (1) semuanya terdiri-dari atas beberapa aspek dari
struktur sosial, dan (2) entitas-entitas tersebut memfasilitasi tindakan individu-individu
yang ada dalam struktur tersebut. Seperti bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat
1

Staf Pengajar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Palangka Raya

36
produktif, yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai
tanpa keberadaannya. Seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak
sepenuhnya dapat ditukar, tetapi dapat ditukar terkait dengan aktivitas-aktivitas tertentu.
Bentuk modal tertentu yang bernilai untuk memudahkan beberapa tindakan bisa jadi tidak
berguna atau merugikan orang lain. Tidak seperti modal lainnya, modal sosial melekat
pada struktur relasi di antara orang dan kalangan orang.
Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial adalah suatu kumpulan dari asosiasiasosiasi yang bersifat horisontal di antara orang-orang yang mempunyai pengaruh
terhadap produktivitas dari masyarakat setempat. Asosiasi-asosiasi yang dimaksud,
termasuk jejaring dari pertalian warga masyarakat (civic engagement) dan norma-norma
sosial. Asumsi yang mendasari konsep Putnam adalah: (1) jejaring dan norma-norma
yang secara empiris saling terkait; dan (2) jejaring dan norma-norma dimaksud
mempunyai konsekuensi-konsekuensi ekonomi yang penting. Oleh sebab itu, ciri kunci
dari modal sosial sebagaimana definisi Putnam adalah modal sosial memfasilitasi
koordinasi dan kerja sama bagi keuntungan bersama (timbal balik) dari para anggota suatu
asosiasi.
Menurut Portes (1998) modal sosial adalah kemampuan dari para aktor untuk
menjamin manfaat dengan bertumpu pada keanggotaan dalam jejaring sosial dan strukturstruktur sosial lain. Sedangkan menurut Woolcock (1998) modal sosial adalah derajat
kohesi sosial yang ada dalam komunitas. Ia mengacu pada proses-proses antar orang yang
membangun jejaring, norma-norma, dan social trust, dan memperlancar koordinasi dan
kerjasama yang saling menguntungkan.
Kemudian Lang & Hornburg (1998) berpendapat bahwa modal sosial umumnya
merujuk pada ketersediaan rasa saling percaya di dalam masyarakat (stocks of sosial
trust), norma-norma, dan jejaring yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam rangka
menyelesaikan persoalan-persoalan bersama. Fukuyama (1995) mengkonsepsikan modal
sosial sebagai suatu norma informal yang mendorong kerjasama yang saling
menguntungkan.
Dari pandangan beberapa ahli tentang konsepsi modal sosial di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa modal sosial adalah : (1) sekumpulan sumberdaya aktual dan
potensial; (2) entitasnya terdiri-dari atas beberapa aspek dari struktur sosial, dan entitasentitas tersebut memfasilitasi tindakan individu-individu yang ada dalam struktur tersebut;
(3) asosiasi-asosiasi yang bersifat horisontal; (3) kemampuan aktor untuk menjamin
manfaat; (4) informasi; (5) norma-norma; (6) nilai-nilai; (7) resiprositas; (8) kerjasama;
(9) jejaring.
SUMBER-SUMBER MODAL SOSIAL
Teori yang secara memuaskan mengidentifikasikan mekanisme produksi,
pemeliharaan dan pertumbuhan modal sosial, hingga kini masih belum memadai. Pantoja
(2000) menyebutkan bahwa jika modal sosial didekati semata-mata dalam terma-terma
struktural, jika dioperasionalisasi dalam keanggotaan misalnya, terdapat kecenderungan
untuk menganggap bahwa keanggotaan tersebut di dalam dirinya sendiri adalah yang
memproduksi modal sosial. Juga terlalu menganggap bahwa asosiasi adalah yang
menyediakan modal sosial bagi individu dan kelompok.
Suatu kesulitan yang nyata adalah bahwa banyak interaksi dan relasi formal dan
informal di antara anggota-anggota suatu masyarakat dapat memperkuat modal sosial,
meskipun spektrum dari interaksi yang dimaksud tidak sepenuhnya bisa diobservasi
(Stolle and Rochon, 1998).
Putnam (1993) menilai bahwa rasa saling percaya (trust) adalah suatu komponen
yang penting dari modal sosial. Umumnya analisis Putnam difokuskan pada trust antar
individu (interpersonal trust), meskipun seperti yang dikatakan Williamson (1993) masih
ada beberapa trust yang juga relevan, dan membedakan trust ke dalam tiga tipe, yaitu
calculative trust, personal trust, dan institutional trust.
Kebanyakan modal sosial dapat dipertimbangkan sebagai sumberdaya bersama.
Meskipun aktor-aktor sosial yang spesifik seperti organisasi bisnis atau asosiasi sukarela

37
dapat menciptakan modal sosial, ia juga dapat diproduksi atau dihancurkan oleh aktivitasaktivitas lainnya. Kebutuhan dan biaya untuk memproduksi modal sosial, tidak secara
universal sama. Kapasitas civil society secara umum untuk menghasilkan [dan juga
menghancurkan] modal sosial, dipengaruhi dengan banyak cara yang melalui konteks
sosial, politik dan ekonomi. Dalam kaitan ini, Bourdieu (2004) mengatakan bahwa
kehadiran dan kepadatan jejaring-jejaring dari berbagai koneksi dan dari asosiasi warga,
bukanlah suatu kondisi sosial yang terjadi begitu saja.
Salah satu isu utama yang perlu dipegang adalah bagaimana social trust di antara
masyarakat kurang mampu mempunyai pengetahuan yang intim di antara sesama
berkembang dan dipelihara di dalam masyarakat. Menurut dugaan, manfaat yang krusial
dari rasa saling percaya antar orang perorangan ditingkatkan oleh keanggotaan
asosiasional yang membantu pengembangan masyarakat dimana berbagai macam
kerjasama dimungkinkan terkait dengan adanya suatu generalized social trust.
Generalized social trust ini diharapkan untuk berkembang melewati batas-batas
kekerabatan dan pertemanan, bahkan melewati hubungan perkenalan.
Bagi Putnam (1993) trust mempunyai dua sumber, yakni: (1) norma-norma
resiprositas; (2) jejaring dari pertalian warga. Menurut Granovetter (1985), trust di dalam
masyarakat muncul terutama karena relasi-relasi sosial. Sebaliknya, bagi Levi (1998) trust
yang muncul pada asosiasi-asosiasi tingkat menengah dapat saja tidak mencukupi untuk
menghasilkan generalized social trust, sementara itu, institusi-institusi negara dapat pula
menyediakan dasar bagi generalized trust.
Menurut Levi (1998) trust dari pendekatan perilaku dapat didefinisikan sebagai
suatu tindakan yang diambil dalam situasi yang beresiko, tetapi terdapat suatu alasan
untuk memercayai seseorang yang ingin dipercaya. Sumber bagi kepercayaan ini
bervariasi (pengetahuan aktual, sanksi-sanksi institusional, keyakinan terhadap keyakinan
seseorang, dan lain-lain), tetapi semuanya relatif memerlukan pengorbanan kecil terhadap
individu yang diputuskan untuk dipercaya. Tentunya, mekanisme-mekanisme kognitif
akan memainkan peran dalam hal ini.
Bagi Levi (1998) trust adalah human passion dan modality of human action.
Sebagaimana human passion, trust merepresentasi keyakinan yang terdapat dalam
harapan-harapan sehubungan dengan perhatian-perhatian yang ramah dari berbagai agen
sosial. Sebagai modality of action, trust selalu bersifat strategis, dan memerlukan kurang
lebih kebijakan yang diputuskan secara sadar untuk sepakat dengan kebebasan orang lain.
Menurut Pantoja, pandangan ini terkait dengan apa yang disebut oleh Williamson tentang
personal trust dan calculative trust.
BENTUK-BENTUK MODAL SOSIAL
Nilai dari konsep modal sosial terletak pertama-tama dalam kenyataan bahwa modal
sosial memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari struktur sosial berdasarkan fungsifungsinya. Nilai ini merupakan sumberdaya yang dapat digunakan oleh para aktor untuk
mencapai kepentingan-kepentingannya. Dalam konteks ini, konsep modal sosial
memungkinkan pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya dan menunjukkan bagaimana
sumberdaya-sumberdaya tersebut dapat saling dikombinasikan untuk menghasilkan
derajat perilaku yang berbeda. Menurut Coleman (2011) ada enam bentuk dari modal
sosial, yaitu : (1) kewajiban dan ekspektasi; (2) saluran informasi; (3) norma dan sanksi
efektif; (4) relasi wewenang; (5) organisasi sosial yang dapat disesuaikan; (6) organisasi
yang disengaja.
Pertama, Kewajiban dan Ekspektasi. Jika A melakukan sesuatu untuk B dan percaya
bahwa B akan membalasnya pada masa depan, hal ini menciptakan ekspektasi di pihak A
dan kewajiban di pihak B untuk memelihara kewajiban tersebut. Kewajiban ini dapat
dipahami sebagai slip kredit yang dipegang oleh A. Slip kredit yang akan ditebus dengan
beberapa tindakan dati B. Jika A memegang sejumlah besar slip kredit ini dari sejumlah
orang yang memiliki relasi dengannya, maka ada analogi langsung dengan modal uang:
slip kredit merupakan sejumlah besar kredit yang dapat ditarik A jika diperlukan kecuali
kalau pemberian kepercayaan tersebut tidak bijaksana, dan slip tersebut menggambarkan

38
piutang sanksi yang tidak akan dilunasi. Dalam beberapa struktur sosial dikatakan bahwa
orang-orang selalu melakukan sesuatu untuk satu sama lain. Ada sejumlah besar slip
kredit ini yang belum dilunasi, seringkali pada kedua sisi relasi (karena slip kredit ini
seringkali tidak dapat ditukarkan dalam bidang aktivitas berbeda maka slip kredit dari B
yang dipegang oleh A dan slip kredit A dipegang oleh B tidak digunakan sepenuhnya
untuk saling melunasi). Ada dua elemen kritis pada bentuk modal sosial ini: tingkat
kredibilitas lingkungan sosial, yang berarti bahwa kewajiban akan dilunasi dan tingkat
kewajiban aktual tersebut dipegang. Struktur-struktur sosial berbeda pada kedua dimensi
ini, dan para pelaku dalam struktur tertentu berbeda dengan pelaku dalam struktur lain.
Menurut Coleman, perbedaan dalam struktur sosial dalam kedua dimensi yang disebutkan
di atas, muncul karena beberapa alasan : (1) ada perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan
aktual yang dimiliki seseorang untuk membantu di tengah ketersediaan sumber-sumber
bantuan lainnya; (2) tingkat kemakmuran mengurangi bantuan yang diperlukan oleh orang
lain; (3) perbedaan dalam kultur terkait dengan kecenderungan untuk memberikan
bantuan dan meminta bantuan dalam jaringan-jaringan sosial yang tertutup.
Kedua, Saluran Informasi. Bentuk modal sosial yang penting adalah potensi
informasi yang melekat pada relasi-relasi sosial. Informasi penting untuk mendasari
tindakan, tetapi akuisisi informasi merugikan. Informasi sekurang-kurangnya memerlukan
perhatian, yang selalu cepat diberikan. Alat yang dapat digunakan untuk mendapatkan
informasi adalah penggunaan relasi sosial yang dipertahankan untuk tujuan-tujuan lain.
Misalnya seorang ilmuwan sosial yang tertarik penelitiannya menjadi terdepan di bidang
yang terkait dapat menggunakan interaksinya setiap hari dengan kolega yang juga
melakukan penelitian, jika ia dapat mengandalkan kolega yang terdepan di bidangnya.
Ketiga, Norma dan Sanksi Efektif. Coleman menegaskan bahwa ketika norma
efektif terbentuk, norma tersebut menjadi bentuk modal sosial yang kuat tetapi kadang
rapuh. Norma-norma preskriptif yang merupakan bentuk modal sosial sangat penting
dalam kolektivitas adalah norma yang membuat seseorang melepaskan kepentingan diri
sendiri untuk bertindak demi kepentingan kolektivitas. Norma tersebut diperkuat dengan
dukungan sosial, status, kehormatan, dan penghargaan lain.
Keempat, Relasi Wewenang. Jika pelaku A mengalihkan hak kendali beberapa
tindakan kepada pelaku lain, B, maka B menyediakan modal sosial dalam bentuk hak
kendali tersebut. jika sejumlah pelaku mengalihkan hak kendali yang sama pada B, maka
B menyediakan kumpulan modal sosial yang besar, yang dapat dikonsentrasikan pada
beberapa aktivitas. Pengalihan kendali ini tentu saja meletakkan kekuasaan yang besar ke
tangan B.
Kelima, Organisasi Sosial yang Dapat Disesuaikan. Organisasi yang didirikan
untuk satu rangkaian tujuan juga dapat membantu tujuan lainnya, karenanya menjadi
modal sosial yang dapat digunakan. Misalnya sekolempok mahasiswa radikal di Korea
Selatan digambarkan sebagai kelompok mahasiswa yang berasal dari sekolah lanjutan
atau gereja yang sama. Dalam kasus ini juga organisasi didirikan untuk satu tujuan dapat
disesuaikan dengan tujuan lain, menjadi modal sosial penting untuk individu-individu
yang telah menyediakan sumber organisasi.
Keenam. Organisasi yang Disengaja. Penggunaan konsep modal sosial tergantung
pada keberadaan hasil sampingan aktivitas yang diikutsertakan untuk tujuan-tujuan lain.
Bagian selanjutnya akan menunjukkan mengapa demikian, mengapa sering ada investasi
modal sosial kecil atau tidak langsung. Namun ada bentuk-bentuk modal sosial yang
merupakan hasil langsung investasi dari para pelaku yang bertujuan mendapat keuntungan
dari investasinya. Contoh paling menonjol adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh
pemilik modal uang untuk tujuan mendapat penghasilan. Dalam mendirikan organisasi
semacam itu, seorang kapitalis mengubah modal uang menjadi modal fisik dalam bentuk
bangunan dan peralatan, modal sosial dalam bentuk organisasi terdiri atas beberapa
posisim dan modal manusia dalam bentuk orang-orang yang mengisi posisi tersebut.
Pantoja (2000) membedakan bentuk-bentuk modal sosial sebagai berikut : (1)
hubungan-hubungan keluarga dan kekerabatan, meliputi: rumah tangga, keluarga luas,
atau klien berdasarkan pada kuatnya pertalian darah dan afinitas; (2) jejaring sosial atau

39
kehidupan asosiasional, meliputi: jejaring yang dimiliki individu, kelompok dan
organisasi-organisasi yang menghubungkan individu dari keluarga-keluarga yang
berbeda, atau kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan aktivitas untuk berbagai
maksud; (3) keterkaitan lintas sektor, termasuk jejaring yang menghubungkan organisasiorganisasi dari berbagai sektor di dalam masyarakat (LSM, organisasi akar rumput,
perwakilan pemerintah, perusahaan swasta) yang memungkinkan kombinasi sumberdaya
dan tipe pengetahuan yang berbeda-beda guna menemukan pemecahan masalah dari
masalah-masalah yang kompleks. Bentuk modal sosial ini menyediakan artikulasi antara
asosiasi dan organisasi yang bersifat horisontal dan vertikal; (4) norma-norma dan nilainilai sosial, mencakup kepercayaan budaya yang luas dan pengaruh kepercayaan yang
dimaksud terhadap berfungsinya masyarakat secara umum. Norma-norma dan nilai-nilai
mendukung bentuk-bentuk modal sosial lainnya sekaligus merepresentasi bentuk paling
umum dan paling sulit dari modal sosial.
IMPLIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN
Terdapat bukti yang terus berkembang bahwa modal sosial mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap hasil-hasil pembangunan, termasuk pertumbuhan, keadilan, dan
pengentasan kemiskinan (Grootaert, 1996). Berbagai asosiasi dan institusi menyediakan
suatu kerangka kerja informal untuk berbagi informasi (sharing information),
mongkoordinasikan aktivitas-aktivitas (coordinating activities), dan membuat keputusankeputusan bersama (making collective decision).
(1) Sharing information : Institusi-institusi formal dan informal dapat membantu
mencegah kegagalan pasar terkait dengan ketidakcukupan dan ketidaktepatan informasi.
Para agen pelaku ekonomi sering membuat keputusan-keputusan yang tidak efisien karena
kekurangan informasi yang diperlukan, atau karena salah satu agen memperoleh
keuntungan dengan cara menyampaikan informasi yang tidak tepat kepada yang lainnya.
Dalam kondisi yang lain, keputusan-keputusan yang optimal mungkin sulit dilakukan
karena ketidakpastian dan respons dari para agen lainnya terhadap ketidakpastian yang
dimaksud. Dalam konteks ini institusi-institusi dapat membantu menyebarluaskan
informasi yang cukup dan tepat, yang memungkinkan para pelaku pasar untuk membuat
keputusan-keputusan yang cocok dan efisien. Ketidakpastian dalam pasar modal, dapat
diminimalisasi pula melalui ketentuan hukum dan berfungsinya sistem peradilan dengan
baik, sehingga dapat mendukung atau memperkuat hubungan-hubungan kontaktual yang
terjadi dalam pasar.
(2) Coordinating activities. Perilaku yang tidak terkoordinasi atau petualangan yang
dilakukan oleh para agen ekonomi, dapat pula menyebabkan kegagalan pasar. Merujuk
pada pengalaman proyek-proyek, tampaknya perilaku dimaksud muncul sebagai akibat
kurangnya kekuatan institusi sosial baik formal maupun informal dalam rangka mengatur
kesepakatan secara adil. Institusi-institusi dimaksud dapat mengurangi perilaku
petualangan melalui pengembangan kerangka kerja dalam mana para individu dapat
saling berinteraksi sehingga memperkuat rasa saling percaya di antara para anggota.
(3) Making collective decisions. Pembuatan keputusan bersama adalah kondisi yang
diperlukan bagi penyediaan barang-barang publik dan pengelolaan eksternalitas pasar.
Tidak berbeda dengan pemerintah, asosiasi-asosiasi lokal dan yang bersifat sukarela pun
tidak selalu efektif dalam memaksimalkan kemampuan untuk membuat keputusan
keputusan bersama. Dalam konteks ini, asosiasi asosiasi tersebut tidak semata-mata
tergantung dari bagaimana mereka mengatasi persoalan information-sharing, tetapi juga
pada derajat keadilan yang tersedia. Institusi institusi lokal umumnya lebih efektif dalam
memperkuat kesepakatan bersama dan tindakan kerja
sama bilamana aset-aset
didistribusikan secara relatif adil dan keuntungan dapat dibagi secara merata. Dengan
demikian pada aras lokal, efisiensi dan keadilan berjalan seiring. Pembagian menyediakan
suatu insentif untuk memperbaiki koordinasi dalam pengelolaan barang-barang publik,
sehingga menambah produkstivitas bagi setiap orang. Selain ekonomi mikro, pasar juga
dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi makro dan politik ekonomi. Akan tetapi,
lingkungan makro dapat pula merusak pengaruh dari modal sosial pada aras lokal. Ketika

40
pemerintahan dan sistem peradilan berfungsi dengan baik, dan terdapat kebebasan
berekspresi, maka institusi-institusi lokal akan berkembang pesat dan melengkapi fungsifungsi dari institusi-institusi makro. Sebaliknya, ketika tidak berfungsi dengan baik,
institusi-institusi lokal akan mencoba untuk menggantikan ketidakberdayaan dimaksud.
Dengan demikian, apa yang diperlukan adalah pandangan yang seimbang terhadap peran
dari pusat (negara) dan institusi institusi pada aras lokal.
Dalam banyak hal ketiga konsep yang dikatakan oleh Grootaert (1996) tadi sangat
mendukung proses pembangunan sebuah negara. Norma-norma sosial dapat bekerja untuk
mengurangi biaya transaksi melalui peningkatan harapan-harapan, aturan-aturan informal
dan pemahaman bersama yang memungkinkan orang untuk melakukan interaksi sosial
dan bisnis secara efisien. Jejaring yang telah berkembang baik juga bisa mengurangi biaya
transaksi. Dalam politik, jejaring yang diciptakan lewat trust dari seseorang kandidat
selama menjadi anggota masyarakat akan mengurangi biaya kampanye dibandingkan
kandidat yang baru ingin mengangkat elektabilitasnya.
Bertambahnya bentuk-bentuk modal sosial tertentu tampaknya menambah
kecepatan penyebaran ide-ide, pengetahuan dan informasi ke seluruh lapisan masyarakat.
Secara umum, semakin erat hubungan-hubungan di dalam masyarakat, semakin mudah
bagi orang untuk meneruskan informasi dan semakin banyak yang akan memperoleh
informasi. Pada lain pihak, beberapa elemen atau manifestasi dari modal sosial terkait
dengan kuatnya dinamika kelompok-kelompok masyarakat, yang secara potensial dapat
mengurangi aliran informasi ke dalam suatu kelompok dan merintangi terjadinya inovasiinovasi pembangunan. Hal ini memengaruhi perbedaan pengaruh antara bridging dan
bonding social capital. Bridging social capital mencakup keterkaitan lintas kelompok
dengan ciri yang berbeda-beda, sedangkan bonding social capital menunjukkan
keterkaitan antara orang dengan karakteristik yang sama.
Modal Sosial dan Pembangunan Manusia
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal
sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan
untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat
meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan
untuk kepentingan masyarakat. Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial
mempunyai pengaruh yang besar sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat
dipengaruhi oleh modal sosial antara lain, kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas
berbagai permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat,
menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang
yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling
mempercayai, kohesifitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam
membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling
menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat. Situasi ini akan memperbesar
kemungkinan percepatan perkembangan individu dan kelompok dalam masyarakat
tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong peningkatan kualitas
hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel dengan pembangunan sosial.
Modal Sosial dan Pembangunan Sosial
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan
menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Dengan saling percaya,
toleransi, dan kerjasama mereka dapat membangun jaringan baik di dalam kelompok
masyarakatnya maupun dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada masyarakat
tradisional, diketahui memiliki asosiasi-asosiasi informal yang umumnya kuat dan
memiliki nilai-nilai, norma, dan etika kolektif sebagai sebuah komunitas yang saling
berhubungan. Hal ini merupakan modal sosial yang dapat mendorong munculnya
organisasi-organisasi modern dengan prinsip keterbukaan, dan jaringan- jaringan informal
dalam masyarakat yang secara mandiri dapat mengembangkan pengetahuan dan wawasan

41
dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama dalam kerangka
pembangunan masyarakat.
Berkembangnya modal sosial di tengah masyarakat akan menciptakan suatu situasi
masyarakat yang toleran, dan merangsang tumbuhnya empati dan simpati terhadap
kelompok masyarakat di luar kelompoknya. Hasbullah (2006) memaparkan mengenai
jaringan-jaringan yang memperkuat modal sosial akan memudahkan saluran informasi
dan ide dari luar yang merangsang perkembangan kelompok masyarakat. Hasilnya adalah
lahirnya masyarakat peduli pada berbagai aspek dan dimensi aktifitas kehidupan,
masyarakat yang saling memberi perhatian dan saling percaya. Situasi yang mendorong
kehidupan bermasyarakat yang damai, bersahabat, dan tenteram.
Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan
berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (1999) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai
negara yang menunjukkan bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan
berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan
hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Hasbullah
(2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur
yang dijalankan pelaku ekonomi Cina. Usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi
karena dilakukan dengan koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, dan pola ini
mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun
melewati batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara.
Budaya gotong-royong, tolong menolong, saling mengingatkan antar individu dalam
entitas masyarakat desa merefleksikan semangat saling memberi (reciprocity), saling
percaya (trust), dan adanya jaringan-jaringan sosial (social networking). Pembangunan
industri pada masyarakat dengan modal sosial tinggi akan cepat berkembang karena
modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya
jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan
menumbuhkembangkan dunia usaha. Investor asing akan tertarik untuk menanamkan
modal usaha pada masyarakat yang menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan, terbuka dan
memiliki tingkat empati yang tinggi. Modal sosial, berpengaruh kuat pada perkembangan
sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan lainnya.
Putnam (2000) menjelaskan mengenai modal sosial dan institusi-institusi demokrasi
di wilayah Italia yang berbeda sejak tahun 1970-an. Putnam menemukan bahwa
partisipasi warga terkait dengan kinerja pemerintah regional. Kemudian Putnam
menemukan gabungan indikator tentang modal sosial di Amerika Serikat yang
mempunyai korelasi negatif dengan data tentang penghindaran pajak di seluruh Amerika,
yaitu pemenuhan kewajiban pajak tinggi di negara-negara bagian yang mempunyai modal
sosial tinggi. Selanjutnya setelah melakukan kontrol terhadap perbedaan-perbedaan antar
negara bagian dalam modal sosial. Terlihat pendapatan perkapita, ketidaksamaan
pendapatan, komposisi ras, urbanisasi dan tingkat pendidikan, modal sosial merupakan
satu-satunya faktor yang ditemukan terkait dengan keberhasilan pemenuhan pajak yang
diperkirakan.
Modal Sosial dan Pembangunan Politik
Modal Sosial yang tinggi, menurut Putnam (2002) membawa dampak pada
tingginya partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai bentuknya. Akibat positif yang
dihasilkan adalah pemerintah akan memilki akuntabilitas yang lebih kuat (Hasbullah,
2006). Tingginya modal sosial akan mendorong efektifitas pemerintahan, beragam
determinan memungkinkan negara berfungsi secara lebih efektif dan memiliki legitimasi.
Modal sosial tinggi yang dimiliki masyarakat lebih dapat memfasilitasi hubungan antara
negara dan rakyat. Hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat akan
menjamin stabilitas politik negara. Di tingkat lokal, modal sosial dapat menjembatani
hubungan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menyebarkan informasi dan
mengimplementasikan program-program pembangunan. Kepercayaan masyarakat kepada

42
pemerintah, keterbukaan pemerintah pada masyarakat, adanya komitmen dan keinginan
yang kuat antara pemerintah daerah dan masyarakat untuk membangun, serta adanya
partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan akan mendorong terciptanya
pembangunan sistem pemerintahan yang baik dimana akuntabilitas dan transparansi
pemerintahan berimbang dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap pemerintahan.
Hal ini juga dapat mendorong demokrasi tumbuh dari bawah dan memungkinkan
pembangunan politik tidak hanya pada aras pusat tapi juga aras lokal.
Di samping itu, negara melalui sistem pemerintahan yang baik dapat mendorong
menguatnya modal sosial yang mendukung berkembangnya kepercayaan, nilai-nilai, dan
norma yang baik dengan menciptakan situasi yang kondusif dalam mempererat jaringjaring sosial di dalam masyarakat dan merangsang tumbuhnya sikap proaktif masyarakat
dalam pembangunan. Sebagai contoh, Rice (Putnam, 1993) dalam survei terhadap 114
komunitas di IOWA, Amerika, menemukan beberapa elemen atau indikator dari modal
sosial: interpersonal trust, pertalian warga, jejaring dan kesamaan politik. Secara positif
dan signifikan berkorelasi dengan dua kinerja pemerintah (ketanggapan dan efektivitas).
Hubungan tampak setelah melakukan analisis regresi digunakan untuk mengontrol
pendapatan, penyebaran pendapatan, penyebaran usia dan homogenitas ras.
PENUTUP
Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang dapat dipandang sebagai investasi
untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam masyarakat. Oleh karena itu modal sosial
diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan,
mobilitas ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan
bersama, khususnya pembangunan. Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal sosial
memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat
kehidupan masyarakat modern. Modal sosial merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi
pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi.
Berbagai permasalahan dan penyimpangan yang terjadi di berbagai negara determinan
utamanya adalah kerdilnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.
Daftar Pustaka
Coleman, J., 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge Mass: Harvard University
Press.
Fukuyama F., 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York:
Free Press.
Fukuyama, Francis. 1999. The End of History and The Last Man: Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Granovetter, M., 1985. "Economic Action and Social Structure: the Problem of
Embeddedness.", American Journal of Sociology.
Grootaert, Christian. 1998, Social Capital : The Missing Link?, The World Bank Social
Development Family, Enviromentally, and Socially Sustainable Development
Network, Social Capital Initiative, Working Paper No. 3
Hasbullah, Jousairi. 2006. Sosial Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR United Press.
Jenkins, Richard, 2004, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lang, Robert T., dan Steven P. Hornburg, 1998. What is Social Capital and Why Is it
important to Public Policy, Housing Policy Debate, Volume 9, Issue 1, Fannie Mae
Foundation.
Levi, 1998. Trust and Governance, New York: Russell Sage Foundation Limited.

43
Pantoja, Enrique, 2000, Exploring the Concept of Social Capital and Its Relevance for
Community-Based Development: The Case of Coal Mining Areas in Orissa, India,
The World Bank Social Development Family and Socially Sustainable Development
Network, Social Capital Initiative, Working Paper No. 18
Portes, A., 1998. Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology.
Annual Review of Sociology.
Putnam, R.D. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life.
American Prospect, 13, Spring, 35- 42. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003.
Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing.
Serageldin, Ismail and Christian Grootaert, Defining Social Capital : An Integrating View,
dalam Dasgupta, Partha and Ismail. 1999, Social Capital- A Multifaceted
Perspective, The World Bank, Washington D.C.
Williamson,
Oliver
E.,
1993.
Calculativeness,
Organization.Journal of Law and Economics.

Trust,

and

Economic

44
HUBUNGAN ANTARA DEMOKRASI
DENGAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Oleh :
Nurul Hikmah
Pendahuluan
Debat hubungan antara demokrasi dan pembangunan sudah berlangsung lama.
Meskipun negara-negara barat memeluk liberal, tradisi politik pluralistik dan menikmati
kemakmuran, namun dengan adanya kemiskinan di belahan dunia lainnya, dimanakah
letak kebaikan dan bagusnya dari demokrasi. Bagi teoritis dan ahli lainya, negara dunia
ketiga tidak dapat mengalami kemakmuran karena banyak negara yang masih otoritarian
dengan monopoli politik dan ekonomi. Sekarang negara-negara dunia ketiga banyak
mengikuti demokrasi guna perbaikan dalam pembangunan ekonominya. Terlepas dari
kegagalan yang ada, makalah ini mencoba menjelaskan tentang hubungan demokrasi
dengan pembangunan ekonomi. Sebelum menjelaskan lebih lanjut dapat dipahami apa
yang dimaksud dengan demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Demokrasi berbeda dengan demokratis. Demokrasi secara harfiah dapat dipahami
dari asal usul katanya yaitu demos dan kratos. Istilah demokrasi mengacu pada sistem
pemerintahan masa Yunani yang disebut dengan demokratia, berasal dari kata demos
(rakyat) dan kratos (pemerintahan). Secara bebas, demokrasi dapat diterjemahkan sebagai
pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Kemudian masa Romawi, orang-orang lebih
menyukai istilah republik untuk menyebut sistem pemerintahannya. Republik berasal dari
kata res (peristiwa) dan publicus (publik), yang artinya kurang lebih sebagai sesuatu yang
dimiliki oleh publik atau rakyat. Roberth A. Dahl, seorang pakar masalah demokrasi
Amerika menyatakan bahwa antara demokrasi dan republik tidak ada perbedaan yang
signifikan.2
Dalam prakteknya, demokrasi dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda.
Praktek demokrasi di Yunani kurang lebih 500 tahun sebelum Masehi, yang diyakini
sebagai pemerintahan demokratis pertama, dipahami sebagai pemerintahan yang
dijalankan oleh seluruh warga kota yang berjenis kelamin laki-laki. Proses demokrasi
berjalan ketika seluruh warga berkumpul dan membentuk suatu `majelis` untuk memilih
beberapa pejabat penting dalam pemerintahan kota. Namun yang unik, beberapa jabatan
publik diperebutkan oleh beberapa warga yang dianggap memenuhi syarat berdasarkan
undian. Pada saat itu, di Yunani tidak dikenal dengan istilah negara dalam pengertian
sekarang, namun yang ada adalah kota-kota independen yang memiliki sistem
pemerintahannya sendiri. Masing-masing kota, walaupun secara geografis berdekatan,

Demoskratos=Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, 2003. Jakarta: The RIDEP INSTITUTE, hlm. 1.

45
tetapi tidak saling berhubungan, kecuali dalam pertahanan mereka membentuk lembaga
perwakilan yang disebut liga atau konfederasi.3
Kemudian, pada masa Romawi, semula hak untuk turut serta dalam pemerintahan
hanya terbatas pada patricia, yaitu kaum aristokrat atau kaum bangsawan. Namun,
perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa rakyat berhasil memperoleh hak untuk
terlibat dalam pemerintahan. Tentu saja, hak ini diperoleh setelah rakyat berjuang dengan
keras.4
Ini berbeda dengan praktek demokrasi yang dijalankan pada jaman modern abad
20, perbedaannya adalah sistem pemerintahan perwakilan telah dipraktekan. Pada mana
terkadang semua warga negara, laki-laki dan perempuan yang dianggap memenuhi syarat
berhak dipilih dan memilih wakilnya di pemerintahan dan parlemen, yang dilakukan
secara demokratis. Alasan mengapa diperlukan mekanisme perwakilan adalah karena
pertimbangan efisiensi, yaitu karena banyaknya jumlah penduduk dan luasnya jangkauan
wilayah geografis yang tidak mudah dijangkau.5
Lalu bagaimana dengan demokratis? Demokratis diartikan sebagai proses
demokrasi. Bila rakyat terlibat dalam pemilihan pemerintahan, atau rakyat turut serta
dalam menentukan keputusan-keputusan yang diambilnya, maka pemerintahan itu bisa
dianggap sebagai pemerintahan demokratis. Sebaliknya, jika semua itu ditentukan oleh
pemerintah maka pemerintahan tidak demokratis.6 Dikenal pula istilah demokratisasi,
istilah tersebut maknanya adalah proses demokrasi sebagaimana hal yang telah diuraikan
diatas dan akan dijelaskan lebih lanjut kemudian.
Pada dasarnya, demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat dalam mengambil
keputusan-keputusan politik dan menjalankan pemerintahan. Keputusan politik yang
dimaksud adalah kesepakatan yang ditetapkan menjadi sebuah aturan yang akan mengatur
kehidupan seluruh rakyat itu sendiri. Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang
sangat mendasar dalam demokrasi, karena demokrasi bukan hanya berkaitan dengan
tujuan sebuah ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan
dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri. Oleh karena itu, demokrasi
mengandung elemen-elemen mendasar yang perlu diperhatikan dan dipahami. Elemnelemen itu adalah:7
1. Demokrasi mengakui kesetaraan setiap individu. Artinya, setiap orang (warga
negara) memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang tinggi atau yang rendah.

Ibid,.hlm 2.
Dahl, Robert A. On Democracy, terjemahan oleh Zainuddin, A. Rahman, 2001, Perihal Demokrasi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 17-18, Ibid., hlm. 3.
5
The RIDEP INSTITUTE, ibid,. hlm. 3.
6
Ibid,. hlm. 4.
7
Ibid,. hlm. 8-9.
4

46
2. Nilai-nilai yang ada pada setiap individu mengatasi nilai-nilai yang ada pada
demokrasi. Maknanya adalah demokrasi tidak merupakan wadah kosong, tetapi
sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena dalam demokrasi,
pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan
kekuasaan sejati.
4. Toleransi dari mayoritas kepada minoritas. Disini tercermin pula saling
melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil.
5. Adanya musyawarah dalam memutuskan setiap persoalan, bukan ditentukan
sendiri oleh kelompok mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani mayoritas.
6. Adanya aturan hukum yang diterapkan untuk semuanya. Demokrasi tanpa aturan
hukum akan menjadi anarkis. Karena itu, hukum merupakan dasar yang paling
penting.
7. Adanya cara untuk mencapai tujuan bersama, apakah itu prosedur atau mekanisme
maupun tata caranya. Semuanya harus mengikuti kaidah-kadiah demokrasi.
demokrasi yang baik harus pula dilakukan dengan cara yang baik.
Menurut Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler8, ide dasar dari demokrasi
merefleksikan empat hal:
1. Merupakan partisipasi rakyat di dalam keputusan yang membentuk kehidupan
individu-individu dalam suatu masyarakat.
2. Merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas dengan pengakuan hakhak minoritas, yaitu hak kebebasan berbicara, berserikat, berkumpul, mendapatkan
informasi, membentuk partai oposisi, dan menjalankan jabatan-jabatan publik.
3. Merupakan komitmen untuk menghargai martabat individu dan menjamin nilainilai kehidupan yaitu kebebasan dan kepemilikan.
4. Suatu komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang
untuk mengembang kemampuan dirinya.
Menurut P. Sharma9, inti dalam demokrasi ialah: suatu sistem atau suatu cara/
metode mengatur kekuasaan negara yang tidak mudah untuk disalahgunakan dalam
pelaksanaannya, dimana garis besar daripada sistem tersebut ialah adanya pembagian dan
pembatasan wewenang kekuasaan pada setiap pejabat penguasanya selaku penguasa
negara, dengan mengadakan pembagian kekuasaan negara atas beberapa bidang
8

Menurut Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler, The Irony of Democracy Uncommon Introduction to
American Politic, (California: Wardsworth Publishing Company, 1996), hlm. 7., ibid.hlm. 10.
9
P. Sharma, 2004. Sistem Demokrasi yang Hakiki, Jakarta: Yayasan Menara Ilmu., hlm. 217.

47
kekuasaan, guna mencegah adanya dominasi atau monopoli kekuasaan yang dapat
membuat pejabat penguasanya itu berubah menjadi absolut dan kemudian bersikap
otoriter, karena sistem kekuasaan absolutlah yang merupakan sistem kekuasaan negara
yang mudah kemungkinannya bagi para pejabat penguasanya untuk melakukan
penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, manipulasi, kolusi, dan nepotisme, serta untuk
bertindak zhalim terhadap masyarakat/rakyat.
Hakekat yang terkandung di dalam sistem demokrasi ialah: dengan dapat dicegah
terjadinya kezhaliman, kecurangan, korupsi, dan manipulasi yang mungkin dapat dibuat
oleh para pejabat penguasanya, maka hal tersebut pada gilirannya juga akan bisa
menjadikan terlaksana dan terbinanya pemerintahan yang adil dan bijaksana. Dan adanya
keadilan yang hakiki ini adalah merupakan kondisi yang mutlak dibutuhkan bagi setiap
negara sebagai persyaratan untuk dapat terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh
rakyatnya.10
Prinsip-prinsip demokrasi menurut P. Sharma:11
1. Kekuasaan Negara harus di tangan rakyat.
2. Pelaksanaan kekuasaan negara harus terbagi dan terbatas dalam beberapa badan/
bidang kekuasaan yang saling berbeda fungsinya, dengan semua kepala (pejabat
tertingginya) adalah sama tinggi kedudukannya.
3. Tidak

boleh

ada

hak

istimewa

pada

seseorang

atau

pada

suatu

golongan/partai.(pemberian hak istimewa ditetapkan didalam undang-undang


dasar).
4. Harus ada Undang-Undang Dasar Negara dan undang-undang HAM.
5. Rakyat harus berpendidikan cukup.
Menurut peneliti demokrasi Amerika Roberth Dahl12 menyebutkan dua dimensi
dasar demokrasi yang saling berkaitan. Pertama, harus tersedianya ruang persaingan
terbuka untuk mendapatkan semua kedudukan dan kekuasaan politik. Kedua, pada saat
yang bersamaan harus tersedianya juga ruang aktifitas yang cukup dengan jaminan yang
memadai bagi partisipasi politik seluruh warga negara. Intinya demokrasi adalah
pemilihan yang bersifat umum, bebas, dan setara. Untuk melembagakan demokrasi yang
dimaksud, Dahl memberikan beberapa kriteria sebagai prasyarat:

10

1.

Kebebasan berasosiasi dan berkoalisi.

2.

Hak untuk mengemukakan pendapat secara bebas.

3.

Hak untuk memilih (hak pilih aktif).

Ibid., hlm. 217.


Ibid., hlm. 221.
12
Merkel, Wolfgang, Demokrasi di Asia: Sebuah Benua antara Diktator dan Demokrasi, bahan kuliah
Politik Ekonomi Demokrasi,MIS, UNPAR, 2009. hlm. 19-20.
11

48
4.

Hak untuk dipilih dalam satu jabatan publik (hak pilih pasif).

5.

Hak politik elit, dalam bersaing untuk mendapatkan suara dan dukungan dari
pemilih.

6.

Adanya alternatif dan keberagaman sumber informasi (kebebasan informasi).

7.

Pemilihan yang bebas dan adil.

8.

Keberadaan Institusi, yang memungkinkan kebijakan pemerintah tergantung


pada suara pemilih dan tuntutan preferensi publik.
Dalam demokratisasi yang dijelaskan pada makalah ini dikenal dua tahap, yaitu

tahap transisi dan tahap konsolidasi. Transisi seperti dikatakan oleh ODonnell dan
Schmitter (1991) adalah masa antara dua rezim politik. Transisi demokrasi dimulai sejak
bergulirnya proses desolusi (tumbangnya) sebuah rezim otoriter pada ujung yang satu dan
ditegakkannya rezim demokrasi pada ujung yang lainnya. Pada tahapan ini penekanan ada
pada penegakan demokrasi secara prosedural yakni berfungsinya berbagai institusiinstitusi politik secara demokratis.13
Namun untuk benar-benar menjadi negara demokrasi, haruslah dilalui tahap
konsolidasi yang menurut berbagai literatur merupakan konsep yang tidak kalah sulitnya
dibanding proses transisi. Bahkan banyak negara yang jatuh kembali ke rezim otoriter
karena gagal menyelesaikan proses konsolidasi demokrasi (lihat Huntington 1991,
Diamond 1997). Menurut Linz dan Stepan (1996), konsolidasi demokrasi berarti bahwa
demokrasi bukan hanya telah tegak sebagai sebuah sistem politik tetapi juga telah
membudaya di kalangan masyarakat. Bahkan betapapun besarnya tantangan dan kesulitan
yang dihadapi masyarakat tidak akan berpaling dari demokrasi ke sistem politik lain.14
Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di
benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan
kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi
politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi
merepresentasikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi
kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi

13

ODonnell, Guillermo, and Phillippe C. Schmitter. 1986. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative
Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
Ginandjar Kartasasmita, Strategi Pembangunan Ekonomi: Antara Pertumbuhan dan Demokrasi, Orasi
Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April
2008,. hlm. 3-4.
14
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the late twentieth century. Norman,
University Of Oklahoma Press, 1991. Diamond, Larry and Marc F.Plattner. Economic Reform and
Democracy; ed.by Larry Diamond. baltimore, John Hopkins, 1995. Linz, Juan J., and Alfred Stepan.
Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America and PostCommunist Europe. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. 1996. ibid,. hlm. 4.

49
harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular
empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).15
Pembahasan mengenai masalah demokrasi ini tidak pernah berhenti karena dari
sejarah, terutama belakangan ini, tampak makin jelas betapa erat kaitan antara kemajuan
kehidupan umat manusia dan demokrasi. Namun, tali-temali kaitan itu dalam kehidupan
ekonomi dan politik tidak selalu mudah dipahami. Pengalaman menunjukkan betapa
demokrasi dipertentangkan dengan stabilitas dan kemajuan ekonomi pada tahun-tahun
awal setelah Perang Dunia II. Betapa banyak pemikiran di negara berkembang mengarah
kepada perlunya pemerintah yang "kuat" (baca: tidak perlu demokratis), untuk menjamin
stabilitas dan membawa kemajuan. Pemikiran tersebut menganggap demokrasi, sebagai
sistem dan manifestasi budaya politik Barat, hanya akan mendatangkan "chaos" dan tidak
menunjang pembangunan.
Namun, perkembangan sejarah menunjukkan sebaliknya, pertumbuhan yang
terjadi tanpa demokrasi tidak mampu berjalan secara berkelanjutan seperti dibuktikan oleh
pengalaman negara-negara komunis. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem yang tidak
mengindahkan partisipasi politik rakyat cenderung menghasilkan kesenjangan, yakni
kesenjangan antara yang memperoleh kesempatan dan tidak memperoleh kesempatan
dalam sistem yang tertutup. Seperti dikatakan Axworthy (2000) To thrive, democracy
requires growth; and to grow economies need democracy.16
Menurut Lincolin Arsyad17 pembangunan ekonomi mempunyai pengertian yaitu:

Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus menerus

Usaha untuk menaikan pendapatan per kapita, dan kenaikan yang berlangsung
dalam jangka panjang.

Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang ekonomi, politik, hukum, sosial,


dan budaya. Baik secara institusi maupun secara regulasi.
Negara-negara industri baru yang sukses dalam pembangunan ekonomi ternyata

adalah negara-negara yang menerapkan asas-asas demokrasi. Di Asia dan Amerika


Selatan demokrasi dan kesejahteraan berjalan bergandengan. Menerapkan demokrasi
memang tidak secara otomatis akan memajukan ekonomi. Seperti yang terjadi di India,
ekonomi India tidak segera berkembang sampai kemudian negara tersebut menggulirkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pembaharuan dan membuka perekonomiannya hingga kini
India mulai dipertimbangkan menjadi kekuatan ekonomi dunia yang besar. Dengan
15

ibid,. hlm. 4.
Axworthy, Thomas S. 2000, Towards a just Society the Trudeau Years. Toronto: Penguin Books. ibid,.
hlm. 3.
17
Arsyad, Lincolin. 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta,. hlm. 6.
16

50
demikian, demokrasi akan membawa kemajuan ekonomi bila memang ditunjang dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi yang tepat.
Keterkaitan antara demokrasi dengan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi
pasar telah sedemikian berkembang dan teruji selama lebih dari dua ratus tahun di negaranegara Barat. Sedemikian erat keterkaitan kedua hal tersebut sehingga dalam
perkembangannya peningkatan kesejahteraan rakyat juga telah dijadikan barometer
berlangsung tidaknya proses demokrasi. Artinya, proses demokrasi belum dapat dikatakan
baik bila tidak dapat melahirkan peningkatan kesejahteraan. Seorang ekonom penerima
nobel Amartya Sen (2001) melukiskan demokrasi sebagai koridor utama dalam
memahami persoalan kemiskinan. Pandangan Amartya Sen telah menginspirasi banyak
pemikiran tentang bagaimana memahami miskin(buruk)nya demokrasi yang melahirkan
ketidakadilan. Sebabnya antara lain karena terbatasnya kesempatan dan suara masyarakat
miskin dalam menyampaikan aspirasinya, yang bisa berakibat terdilusinya sasaran banyak
program-program pembangunan ekonomi.18
Dalam pembangunan ekonomi yang diupayakan untuk dapat terwujud tentunya
kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan merata. Konsep kemakmuran dipahami
dalam kaitan dengan keperluan manusia akan barang-barang yang berguna bagi hidup dan
usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya. Hidup manusia disebut makmur kalau
barang-barang yang perlu dan berguna bagi manusia tersedia dengan cukup atau bahkan
dengan berlimpah-limpah.19
Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi
Setelah memahami demokrasi dan inti dari pembangunan ekonomi maka
didapatkan bahwa demokrasi seharusnya berjalan seiringan dengan pembangunan
ekonomi (kesejahteraan dan kemakmuran). Ditahun 1959, Martin Seymor Lipset
membuat sebuah hipotesis yang sampai sekarang tidak terbantahkan yaitu negara-negara
yang kaya umumnya adalah demokratis dan negara-negara yang demokratis umumnya
kaya. Samuel Huntington (1996) mengadakan penelitian bahwa dengan pendapatan per
kapita antara $1000 sampai $3000, negara yang menganut paham otoriter akan memasuki
zona transisi menuju proses demokrasi. Hal ini diperkuat oleh banyak peneliti dan pakar
lain seperti Adam Przeworski (2000) dan Fareed Zakaria (2003).20

18

Sen, Amartya. 2001, Democracy as a Universal Value. In L. Diamond et al., editors. The Global
Divergence of Democracies. Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins University Press. op.cit,. hlm. 5.
19
Sindhunata. 2000, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,. hlm. 200.
20
Ginandjar Kartasasmita, Strategi Pembangunan Ekonomi: Antara Pertumbuhan dan Demokrasi, Orasi
Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April
2008,. hlm. 8-9.

51
Secara empiris telah jelas dibuktikan bahwa ada korelasi yang erat antara sistem
politik yang ditempuh dengan tingkat kemajuan ekonomi. Memang ada perkecualian
seperti Sri Lanka yang sistem politiknya adalah demokrasi, tetapi ekonominya mandeng.
Tetapi hal tersebut disebabkan karena konflik-konflik internalnya. Demikian juga India,
seperti telah dicontohkan di atas, sebagai negara demokrasi tertua di Asia dan yang
paling bertahan di negara-negara yang baru merdeka sejak Perang Dunia II, yang untuk
jangka waktu yang lama ekonominya stagnan. Tetapi banyak pengamat menilai bukan
karena demokrasinya, tetapi problem sosialnya yang sangat tajam seperti konflik etnik
dan masalah kasta. Meskipun dengan menghadapi masalah-masalah yang demikian
mendasar, baik struktural maupun kultural, India belakangan ini telah mulai tumbuh maju
secara ekonomi, yang menafikan skeptisme terhadap demokrasi di luar dunia barat. Kita
melihat Turki, yang demokrasinya jatuh bangun, tetapi belakangan ini telah lebih mantap
meskipun di jaga oleh kekuatan militer yang sangat sekuler secara ketat, ekonominya
telah bergerak maju, dan sebagai produknya, tumbuh kaum kelas menengah muslim, yang
akhirnya melahirkan kemenangan politik bagi partai politik yang bernafaskan Islam.
Dari berbagai uraian itu ada beberapa pelajaran yang dapat ambil, yaitu:
1. Demokrasi bila prasyarat untuk menjalankannya dipenuhi, adalah sistem yang sudah
terbukti bertahan selama ratusan tahun.
2. Semua sistem lawannya telah tumbang satu-persatu (monarki absolut, fasisme,
komunisme).
3. Demokrasi berpotensi dapat menghasilkan kesejahteraan karena hak-hak politik dan
sipil anggota masyarakat yang terlindungi, dan dengan demikian juga kreativitas dan
inovasinya.
Apabila demokrasi tidak menghasilkan kemajuan dan perbaikan kesejahteraan, ada
dua kemungkinan penyebabnya:
1. Demokrasi yang dijalankan tidak benar, dalam arti tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar demokrasi.
2. Kebijakan-kebijakan publik yang dijalankan tidak ditujukan untuk menghasilkan
perbaikan kesejahteraan. Demokrasi hanyalah sebuah sistem politik, maka untuk
menghasilkan kemajuan sosial ekonomi perlu diikuti oleh kebijakan-kebijakan publik
yang ditujukan untuk kemajuan sosial ekonomi.
Pembangunan ekonomi memang mengharapkan terciptanya kemakmuran. Namun,
kemakmuran bisa dipahami secara berbeda oleh setiap individu. Hal ini terjadi karena
dalam proses menuju makmur, manusia tidak hidup sendiri-sendiri tetapi hidup bersama
dalam masyarakat. Maka, ketersediaan barang bagi manusia perlu ditata dan dijamin
melalui aturan hak milik. Demokrasi menjamin adanya pengaturan hak milik, hal ini

52
dimaksudkan agar tidak terjadi jurang perbedaan yang dalam antara orang yang kaya
dengan yang miskin juga timbulnya sikap toleran persoalan hak milik, supaya orang yang
punya milik banyak tidak memperbudak yang kurang memiliki.
Mengingat barang dan jasa jumlahnya terbatas juga harus diproduksi, maka
demokrasi meniadakan hak istimewa kepada seseorang/kelompok/golongan bahkan
negara. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi monopoli bagi yang memproduksi
sehingga barang dan jasa tidak dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Menurut
P.Sharma,21 didalam sistem demokrasi tidak boleh ada monopoli usaha, baik oleh
perseorangan, golongan, maupun oleh negara. Demikian pula tidak boleh ada kaum
kapitalis yang memiliki harta yang sebanyak-banyaknya tanpa batas, dan kaum feodal
yang bisa memiliki lahan tanah seluas-luasnya. Dengan kata lain, di dalam negara
demokrasi harus dicegah adanya kapitalisme dan feodalisme.
Dalam pembangunan ekonomi, khususnya menyangkut mekanisme pasar (sistem
ekonomi) maka suatu negara sekarang ini dihadapkan pada pilihan sistem kapitalis murni,
negara tidak mengintervensi market, karna sudah di atur oleh invisible hand atau memilih
sistem ekonomi campuran dimana negara berperan dalam pengambilan keputusan dan
kebijakan dalam mekanisme pasar. Dalam demokrasi perekonomian dilaksanakan melalui
kebijaksanaan ekonomi yang berazaskan prinsip mekanisme pasar yang mengacu pada
pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Selanjutnya, mekanisme pasar yang berlaku juga
harus mampu mencegah timbulnya persaingan bebas dan pemusatan kekuatan ekonomi
yang menjurus ke arah konglomerasi dan berbagai bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berfungsi mengayomi, bukan menguasai bagi
kepentingan golongan yang berkuasa. Diharapkan tercipta mekanisme pasar yang adil,
dinamis, dan transparan, sekaligus juga kesenjangan struktural, sektoral maupun sosial
akan dapat ditekan sampai tingkat paling rendah.22

Dengan demikian demokrasi

menghindari tiga hal berikut:


1.

Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi.

2.

Sistem etatisme dimana negara beserta aparatur ekonominya bersifat dominan.

3.

Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok.


Adanya aturan hukum yang jelas dan kepastian serta ketaatan pemerintah terhadap

hukum sangat mempengaruhi pembangunan ekonomi. Demokrasi tanpa hukum akan


menjadi anarkis,sehingga hukum menjadi salah satu dasar yang penting. Setiap ada

21

P. Sharma, 2004. loc.cit,. hlm. 242.


Seminar sehari yang diselenggarakan oleh DPP-IP-KI (Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia) bekerjasama dengan LEMHANAS pada 17 Desember 1996 dalam membahas
buku Demokrasi Ekonomiterbitan IPKI-LEMHANAS.
22

53
tindakan pemerintah yang cenderung menjauhi aturan dan kepastian hukum, dipastikan
respon pertumbuhan ekonomi akan memburuk.23
Kesimpulan
Dapat disimpulkan, bila demokrasi tidak disertai oleh tatanan politik dan aturan
politik serta hukum yang jelas, suatu kondisi tertentu bisa berubah menjadi anarkisme dan
bahkan kemudian mengundang otoriterianisme yaitu suatu pemerintahan yang menindas
dan berlawanan dengan prinsip demokrasi. Karena itu, kalau demokrasi mau konsisten
maka konstitusi perlu mengatur semua tatanan itu.
Dalam konteks kekuasaan politik, diperlukan persamaan kesempatan dalam
mengambil keputusan bagi seluruh orang untuk terlibat di dalamnya. Dalam setiap sistem
masyarakat selalu ada pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah. Pihak yang
memerintah biasanya disebut elit dan secara kuantitas selalu lebih sedikit dari pihak yang
diperintah. Sementara pihak yang diperintah biasanya disebut dengan rakyat atau warga
atau masyarakat atau massa. Diperlukan suatu mekanisme kontrol agar kekuasaan elit ini
tidak disalahgunakan sehingga tidak merugikan pihak mayoritas yang diperintah.
Dalam On Democracy, Robert A. Dahl24 telah merumuskan dengan baik mengapa
sistem demokrasi lebih baik dari sistem yang lain terhadap ekonomi pembangunan:
1. Demokrasi dapat mencegah tumbuhnya pemerintahan otokrat yang kejam dan
licik.
2. Demokrasi menjamin hak asasi manusia.
3. Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas dari rakyatnya.
4. Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5. Demokrasi memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi rakyat untuk
menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu hidup di bawah
hukum yang mereka pilih sendiri.
6. Demokrasi dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan
tanggung jawab moral.
7. Demokrasi membantu perkembangan kapasitas manusia lebih besar dari sistem
yang lain.
8. Demokrasi menjamin perkembangan tingkat persamaan politik yang lebih tinggi.
9. Terdapat kecenderungan bahwa antar sesama negara demokratis tidak saling
berperang.

23

24

Ahmad Erani Yustika, Demokrasi Prasyarat Ekonomi, rubrik opini KOMPAS, 15 September 2004.

Dahl, Robert A. On Democracy, terjemahan oleh Zainuddin, A. Rahman, 2001, Perihal Demokrasi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 83-85,. Loc. Cit,. hlm. 45-46.

54
10. Negara yang demokratis cenderung lebih makmur daripada sistem-sistem
pemerintahan yang lain.

Memang terkadang muncul dilema, terutama negara-negara yang kondisi


perekonomiannya kurang. Terkadang ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan
yang sewenang-wenang tidak lebih buruk dari ketetapan yang dihasilkan oleh suatu
pemerintahan yang demokratis. Namun, hal itu tidak berarti bahwa pemerintahan yang
sewenang-wenang lebih baik. Karena argumentasi bahwa keterlibatan rakyat lebih penting
karena hal ini berkaitan dengan martabat individu. Kebajikan terbaik dari manusia adalah
jika eksistensi kehidupannya, kebebasannya, dan hak kepemilikannya dijamin oleh
hukum. Secara moral, kebebasan dan hak kepemilikan adalah hukum alam, dan jaminan
akan kebebasan inilah yang sesungguhnya hendak dijamin dalam sistem pemerintahan
demokrasi.
Masalah dalam pembangunan sangatlah kompleks salah satunya masalah
kemiskinan, dimana kesejahteraan dan kemakmuran belum tercapai secara adil dan
merata.

Kaitannya,

demokrasi

berkaitan

dengan

kepercayaan

rakyat

terhadap

pemerintahan yang berkuasa, diperlukan legitimasi dari rakyat agar pemerintahan tersebut
demokratis. Untuk itu pula diperlukan suatu sistem yang dapat meyakinkan rakyat bahwa
semua hak-haknya akan dijamin.
Hak tersebut adalah hak untuk memiliki kesempatan yang sama (equality of
opportunity), yang meliputi persamaan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kesamaan
di depan hukum. Satu-satunya sistem yang mampu meyakinkan bahwa rakyatnya
memiliki kesempatan sama adalah demokrasi, meskipun mereka adalah miskin, atau
penganut agama yang tidak populer, atau dari etnis minoritas, atau berasal dari kampung.

Daftar Pustaka
Buku
Arsyad, Lincolin. 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Demoskratos=Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, 2003. Jakarta: The RIDEP
INSTITUTE.
Merkel, Wolfgang, Demokrasi di Asia: Sebuah Benua antara Diktator dan
Demokrasi, bahan kuliah Politik Ekonomi Demokrasi,MIS, UNPAR, 2009.
P. Sharma, 2004. Sistem Demokrasi yang Hakiki, Jakarta: Yayasan Menara Ilmu.
Sindhunata. 2000, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

55

File PDF
Ginandjar Kartasasmita, Strategi Pembangunan Ekonomi: Antara Pertumbuhan dan
Demokrasi, Orasi Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi
(STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April 2008.
Seminar sehari yang diselenggarakan oleh DPP-IP-KI (Dewan Pengurus Pusat Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bekerjasama dengan LEMHANAS
pada
17
Desember 1996 dalam membahas buku Demokrasi
Ekonomiterbitan
IPKILEMHANAS.
Artikel Koran
Ahmad Erani Yustika, Demokrasi Prasyarat Ekonomi, rubrik opini KOMPAS, 15
September 2004.

56

RUANG PUBLIK DAN AGAMA MASA DEPAN


Globalisasi, Public Sphere, dan Religiusitas-Modern
Muhammad Farid, M.Sos25
Abstrak
Globalisasi tidak memberikan kesempatan bagi entitas apapun untuk bersembunyi dari
ranah publik. Dalam konteks keagamaan, maka tak satupun agama dapat menutupi dirinya
dari perhatian publik. Globalisasi dengan demikian sekaligus membuka pintu perjumpaan
antar agama dalam satu rumah-global. Hal ini menghadirkan konsekwensi pelik;
persinggungan antar claim of truth yang makin tak terhindarkan! Dalam kondisi demikian,
paham Sekularisme dan Pluralisme bersemai perlahan dalam relung-relung kehidupan umat
beragama. Menawarkan netralitas sikap dan kesatuan pandangan bagi masa depan bersama.
Namun tentu saja penerimaan kedua paham masih menjadi diskursus panjang dan berliku,
bahkan diantara pemeluk agama sendiri. Bagai simalakama; menerima tawaran sekularisme
dan pluralisme dapat menjebak keber-agamaan kedalam jurang nihilism, sementara
berpegang teguh pada keyakinan rigid hanya akan menjerumuskan kedalam lubang hitam
absolutisme, keduanya merupakan kutub yang sama berbahaya. Tantangan globalisasi juga
akan merubah wajah agama-modern yang sangat jauh berbeda dengan agama-tradisional
sebelumnya; dimana agama tidak lagi berwibawa, solid dalam satu kesatuan (umat),
melainkan terfragmentasi kedalam individu-individu yang beragam. Ini tentu bukan
pertanda agama akan terpinggirkan di ranah privat-individual, melainkan justru tampil
mengemuka di ranah publik, melalui figur pribadi-pribadi yang tidak kalah saleh-nya
dengan otoritas ulama-pendeta formal. Religiusitas-modern masa depan ditandai dengan
tampilnya pribadi-pribadi layaknya mullah, imam, yang sibuk mencerdaskan keberagamaan dirinya di ruang publik. Dan akhirnya, ruang publik (public sphere) sendiri
mengalami perubahan signifikan, yang bahkan pergi jauh meninggalkan idealisme sang
penggagasnya, Habermas. Dimana tak mungkin lagi ada ruang yang mengandaikan
kesepahaman bersama, sebab ruang yang tersisa hanyalah bagi individu-individu yang
sangat beragam, yang sangat toleran akan perbedaan, bahkan tidak sedikit yang
mengecam kesepahaman.
Keywords: Globalisasi, Public Sphere, Religiusitas-modern

PENDAHULUAN
Kajian agama dan ruang publik semakin menjadi diskursus popular abad ini. Isu-isu
seputar; "politisasi agama," "nasionalisme religius," dan "masyarakat post-sekuler
menjadi tema-tema yang tidak habis-habisnya diperbincangkan. Perkembangan studi
agama ini dengan sendirinya meruntuhkan asumsi modernitas yang memprediksi bahwa
agama suatu saat akan hilang seiring dengan kemajuan sains dan teknologi. Faktanya,
agama justru makin menjadi komponen penting dari budaya masyarakat, dan bukan
sekedar masalah keyakinan pribadi dan praktek (Casanova 1994: 211). Bahkan, agama-dalam bentuknya yang ekstrem--justru tumbuh subur diberbagai belahan dunia,
menampilkan wajahnya dalam gerakan fundamentalis, atau revivalis. Di Selatan Amerika,
Afrika, dan Asia Tenggara, agama dalam bentuk Pentakosta, fundamentalisme, gerakan
karismatik, dan revivalisme tumbuh subur. Agama juga relatif kembali dihidupkan di
bawah kebijakan pemerintah liberal-kontemporer Cina dan Vietnam. Bahkan di Eropa dan

25

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial, Universitas Airlangga Surabaya.

57
Amerika Utara, komunitas agama minoritas juga makin subur dan mengubah peta budaya
yang sesungguhnya didominasi masyarakat sekuler (Turner, 2010: 1).
Tantangan zaman global telah membuka semua tabir keagamaan yang selama ini
tertutup atau ditutupi. Membuat setiap bentuk keber-agamaan tak mungkin luput dari
ranah publik. Dunia global telah memutus garis batas antar umat beragama. Hal ini
menghadirkan konsekwensi pelik; persinggungan antar agama menjadi tak terhindarkan,
yang faktanya memiliki klaim kebenaran (claim of truth) sendiri-sendiri. Konsekwensi ini
menuntut adanya suatu rumusan jitu dalam mengelola aneka kehidupan beragama; di satu
sisi dibutuhkan sikap saling membuka diri dan belajar menghargai perbedaan keyakinan
masing-masing agama, disisi lain perlu adanya pihak penengah yang netral, pengelola
yang adil, dalam mengatur lalu-lintas kehidupan antar pemeluk agama. Tuntutan yang
pertama ditujukan kepada masing-masing kelompok agama, adapun yang kedua mengarah
kepada Negara sebagai pengelola yang memiliki otoritas. Dalam kondisi demikian, paham
Pluralisme bersemai perlahan dalam relung-relung kehidupan umat beragama. Diklaim
sebagai resep mujarab bagi kesatuan segala bentuk tatanan keimanan antar umat
beragama. Meskipun makna ini masih sangat debatable. Sebab pluralisme sendiri
hakekatnya masih menjadi perdebatan yang tak habis-habisnya di kalangan umat
beragama, sampai hari ini.
Di sisi lain, penolakan terhadap sekularisme dan pluralisme jika tidak hati-hati akan
mengundang hadirnya absolutisme beragama yang sama berbahayanya bagi kehidupan
umat. Bagaikan sebuah dilemma, upaya menghindari tarikan kutub ekstrem kiri
(sekularisme)jika tidak segera diantisipasijustru akan menarik umat beragama pada
kutub ekstrem kanan, absolutisme! Tidak berlebihan jika dikatakan tantangan keberagamaan di kehidupan modern saat ini semakin berat, menuntut kelihaian berselancar
melintasi berbagai rintangan yang terjal dan mendaki. Problematika ini menghadapkan
agama pada pertanyaan-pertanyaan kritis-eksistensial; mampukah agama bertahan
menghadapi tantangan secular global? Adakah solusi menghadapi pluralitas agama-agama
tanpa harus mencederai iman keber-agamaan? Dapatkah terwujud Ruang Publik Agama
yang mengandaikan kesepahaman bersama demi masa depan kerukunan antar pemeluk
agama?
PEMBAHASAN
Tantangan Globalisasi: Menelaah Sekularisme, Menyoal Pluralisme
Globalisasi membuka pintu bagi semua paham pemikiran untuk bersaing,
bertarung dalam sebuah rumah-global, tanpa kecuali. Di ranah publik, benturan paling
signifikan terjadi antara paham secular berhadap-hadapan dengan religiusitas fundamental
yang seringkali didefenisikan secara gampang dengan tindakan-tindakan absolutisme

58
beragama, terorisme agama. Demi tujuan hidup bersama yang bebas dan damai, dunia
global menawarkan solusi netral agar kedua kaum (sekuler-agamawan) untuk mampu
bersikap netral di ranah publik. Pemeluk agama dituntut untuk berupaya menanggalkan
bahasa-bahasa religiusnya di ranah publik, sementara, kaum sekularis juga dituntut untuk
menghargai eksistensinya, mulai belajar dari berbagai tradisi keagamaan yang selama ini
dipandang sebelah mata. Sekilas tawaran tersebut begitu mempesona. Mengandaikan
kesepahaman bersama, demi satu tujuan; perdamaian global.
Namun tanpa ditelaah lebih jeli, sekularisasi bisa menjebak. Dan untuk maksud
itu, uraian pada bagian ini akan mencoba menelusuri konteks sosio-historis term ini
dengan lebih rinci.
Sekularisasi terambil dari bahasa latin saecularis yang berarti duniawi. Namun
term ini baru dicetuskan pertama kali oleh Max Weber (1930)meskipun Karl Marx dan
Emile Durkheim juga secara implisit telah menyinggungnyaadalah gambaran akal
manusia yang berproses menguasai misteri-misteri dibalik yang ada di dunia ini. William
Swatos & Kevin Christiano menginterpretasikan sekularisasi menurut Weber ini sebagai
proses dua sisi; rasionalisasi manusia dan desakralisasi dunia (Swatos & Christiano, 1999:
212). Sederhananya, sekularisasi dikenal di dunia Barat sebagai proses pemisahan antara
otoritas gereja dengan negara. Ada ungkapan yang masyhur di kala itu, serahkan urusan
agama kepada pendeta, dan urusan duniawi kepada kaisar. Secara historis, terpisahnya
kewenangan gereja dan Negara di Eropa-Barat disebabkan fakta dominasi gereja saat itu
terhadap hampir seluruh detil kehidupan manusia. Terjadi pemasungan pemikiran, dimana
kebebasan intelektual harus tunduk dibawah fatwa gereja. Bahkan tidak jarang terjadi
eksekusi nyawa bagi argumentasi apapun oleh siapapun yang bertentangan dengan doktrin
gereja.
Eropa-Barat tradisional yang didominasi gereja menguasai kehidupan secara total
dan melekatkan simbol-simbol agama pada kekuasaan politis dengan memegang
monopoli interpretasi atas apapun yang dikehendaki individu untuk keselamatan dirinya
dunia-akherat. Agama menjadi demikian politis, dan semua yang bernuansa politik adalah
bagaikan kalam suci ilahi, maka tak boleh sejengkal pun dari tindak-tanduk individu yang
luput dari control kekuasaan. Kekuasaan yang melebur dengan norma agama, melahirkan
berbagai aturan perundang-undangan yang disakralisasi, dianggap suci. Dan atas nama
Tuhan suatu otoritas politis dianggap sah dan berhak meluruskan pikiran dan keyakinan
moral-religius warganya.
Dominasi gereja yang mencengkram itu kemudian memicu kelahiran zaman
pencerahan (renaissance) Eropa, sebagai cikal-bakal peradaban modern saat ini.
Sekularisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari modernitas itu sendiri. Filsafat dan Sains
sebagai sumbu utamanya. Khususnya filsafat yang menekankan peran logika dan

59
cermatan inderawi, yang kemudian menjadi pondasi dasar sains Barat-Modern. Dalam
sains, semua konsep teologis seperti jiwa, roh, yang selama ini diyakini secara samar,
terjawab tuntas oleh logika manusia sebagai impuls-impuls psikologis. Teks-teks suci
dilucuti secara kritis dalam hermeneutika. Semua dogma dan sabda pendeta dipandang
sekedar menjadi suplemen pelipur lara. Sikap dan prilaku umat dikunci rapat dalam ruang
privat, lebih-lebih saat berhadapan dengan otoritas negara, yang menekankan rasionalitas.
Keadaan di Eropa zaman pencerahan benar-benar berbalik sempurna dari kondisi
sebelumnya. Bagaikan derasnya aliran air yang selama ini dimampatkan, lalu kemudian
menyembur keluar ke segala segi kehidupan manusia. Abad Pencerahan adalah era
kemenangan rasio atas cengkraman doktrin agama, abad dimana logika memprotes keras
akibat keterpasungannya selama ini oleh titah sang pendeta yang memonopoli kebenaran.
Absolutisme agama yang menjadi penyakit akut selama berabad-abad mencengkeram
manusia Eropa-Barat lalu menemukan obat mujarabnya; Sekularisasi!
Proses sekularisasi masyarakat Barat membuat banyak sosiolog awal mempridiksi
bahwa riwayat agama akan segera menemui ajalnya. Durkheim memprediksi bahwa
institusi agama akan kehilangan fungsinya ketika birokrasi dan teknologi menggantikan
fungsi agama dalam mengikat masyarakatnya. Sementara Karl Marx menyamakan agama
sebagai candu yang akan hilang ketika manusia menyadari dirinyalah yang menciptakan
dunia ini bersama sesamanya (Riyanto, 2009: 174). Dengan semakin terpinggirkannya
kehidupan keberagamaan di ranah privat, maka diasumsikan akan mematikan agama itu
sendiri. Namun fakta berkata lain, dipenghujung abad 21, peradaban Barat kemudian
dikejutkan oleh serangkaian aksi kekerasan dan teror atas nama agama; Tragedi menara
kembar WTC di AS; terror bom di Stasiun Madrid, dan juga London, seakan menjadi
pintu pembuka serangkaian aksi kekerasan agama di berbagai wilayah Eropa. Agama,
seakan-akan memproklamirkan bahwa dirinya belum benar-benar habis, terpinggirkan
dari ranah publik. Bahkan justru semakin menunjukkan eksistensinya secara ekstrem.
Beberapa pemikir Barat menilai kembalinya agama yang diwakili oleh berbagai
teror bernuansakan agama disebabkan oleh kegagalan Barat-Sekular dalam mengelola
kehidupan beragama (Turner, 2010: 2). Yang terjadi di permukaan hanyalah sekedar
pseudo-tolerance. Baik warga sekular maupun warga beragama tidak sungguh-sungguh
saling belajar. Toleransi dimengerti secara keliru dalam bentuk sikap ignorant dan laissezfaire. Akibatnya, yang berlangsung hanyalah sekedar gencatan senjata antara agama
dan politik (lihat makalah Hardiman, 2007, Agama dalam Ruang Publik ). Pseudotolerance adalah toleransi semu yang dipraktikkan secular-Barat terhadap agama. Purapura mengakui, memelihara, mengatur kehidupan keberagamaan, namun faktanya Barat
justru memanfaatkan agama hanya untuk kepentingan politik.

60
Dalam menanggapi berbagai problem kekerasan beragama ini, telah banyak solusi yang
ditawarkan para cerdik-cendikia, salah satunya adalah upaya re-interpretasi atas
sekularisasi Barat yang dipandang masih dapat menjadi formula jitu bagi kehidupan
manusia masa depan. Jrgen Habermas, tokoh modernsime, mengatakan bahwa kita
sedang memasuki era masyarakat post-sekular yang di dalamnya sekularisasi harus
diinterpretasikan secara baru sebagai proses saling belajar antara pemikiran sekular dan
pemikiran religius (lihat Ignas Kleden, Masyarakat Post-Sekular: Relasi Akal & Iman
Serta Tuntutan Penyesuaian Baru). Upaya penafsiran baru atas sekularisasi ini ditawarkan
dalam konteks mengantisipasi dari jebakan kutub ekstremnya, yaitu sekularisme.
Sejalan dengan Habermas, cendekiawan muslim Indonesia Nurcholish Madjid
juga pernah menawarkan interpretasi baru atas sekularisasi yang kemudian menjadi
booming, ditanggapi ramai khalayak intelektual, juga dikritisi tak habis-habisnya. Namun
Cak Nur (panggilan akrabnya) tetap bersikukuh bahwa sekularisasi dapat menjadi solusi
masa depan kehidupan beragama di tanah air. Bagi, Cak Nur sekularisasi tidak serta-merta
akan bermuara pada kutub ekstrem sekularisme. Sekularisasi dalam kacamata Cak Nur
mempunyai makna menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi,
serta melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Atau
dengan kata lain yang dimaksudkan Cak Nur adalah pengakuan wewenang ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam menjalankan kehidupan duniawidimana ilmu
pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kematangannya.
Dalam ide pembaharuannya ini, walaupun Cak Nur sendiri menolak sekularisme
dan lebih memilih sekularisasi, namun hakekatnya, sekularisasi adalah ruh dari
sekularisme. Terlebih term sekularisasi Cak Nur memang mengacu pada konteks EropaBarat, dimana paham sekuler kemudian justru memusuhi agama. Oleh karenanya, tidak
keliru juga jika sekularisasi Cak Nur dipandang samadengan sekularisme Barat.
Meskipun, dalam telaah banyak pemikir di Indonesia, pemilihan istilah sekularisasi oleh
Cak Nur lebih untuk menjaga stabilitas dan integritas khazanah keilmuan saat itu, juga
atas pertimbangan geopolitik. Namun tetap saja istilah itu tidak dapat membendung
kecurigaan, mengandung bias, jika mencermati kemana arah sekularisasi yang terjadi di
Eropa. Cak Nur boleh saja meyakini sepenuh hati, namun faktanya, sekularisasi tetap saja
menyimpan jebakan sekularisme. Dan sekularisme telah melahirkan seorang anak
bernama Deisme abad ke-18, yang merupakan sebuah paham yang beranggapan bahwa
Tuhan dianggap tak perlu lagi bekerja setelah penciptaan (Gordon, 2003).
***
Tantangan Global yang tidak kalah menghebohkan bagi agama adalah pluralisme
beragama yang digadang-gadang sebagai jalan baru bagi masa depan agama-agama.
Beranjak dari kenyatan pluralitas agama-agama, bahwa di bumi Tuhan ini tidak hanya ada

61
satu agama melainkan banyak, maka perlu ada rumusan terbaik yang mampu memayungi
seluruh keyakinan agama itu kedalam satu kesatuan hidup yang harmonis. Namun
kenyataannya, pengertian pluralisme dipahami secara berbeda-beda, bahkan tidak sedikit
yang keliru memaknainya. Agar tidak ikut keliru, baiklah kita cermati asal muasal
kelahiran istilah ini.
Pluralisme berasal dari akar kata bahasa Inggris plural yang berarti jamak, atau
lebih dari satu. Mendapat imbuhan isme sehingga menjadikannya bermakna paham
yang mengakui kemajemukan. Dalam sejarah Metafisika Yunani Kuno, istilah pluralism
merupakan lawan dari paham monism yang berpandangan bahwa alam tercipta oleh satu
entitas. Sementara aliran pluralism justru menolak pandangan tersebut dan meyakini
bahwa alam terbentuk oleh dua atau lebih entitas (Gunton, 1993).
Dalam sejarah filsafat Barat, term pluralism dipakai pertama kali oleh seorang
filosof pragmatis, William James, dalam karyanya berjudul The Pluralistic Universe.
Istilah pluralisme awalnya digunakan dalam konteks politik, budaya, etika, moral dan
agama (Ibrahim, tt). Artinya, istilah ini awalnya digunakan dalam konteks keragaman
aspirasi politik, kemajemukan budaya, dan selanjutnya baru mengarah pada aspek etika
dan agama.
Pada awalnya, term pluralisme agama dipahami sebagai sikap penghargaan atas
kemajemukan agama yang berbeda-beda dan khas, suatu pengertian yang murni
sosiologis, dan tak ada sangkut pautnya dengan urusan teologis. Raimundo Panikkar
(1973) mengistilahkan sikap ini dengan paralelisme atau kemampuan menjaga batasbatas yang jelas di satu pihak dan menampilkan pembaharuan-pembaharuan yang konstan
dari suatu agama di lain pihak (Panikkar, 1978: xiii-xix). Paralelisme bermakna sebentuk
respon pengakuan atas kemajemukan agama-agama, tanpa melampaui batas masingmasing agama itu sendiri.
Sejalan dengan Panikkar, Karl Rahner (1979) juga mendefenisikan pluralisme
teologi dalam konteks kemajemukan bahasa, metode, arah, dan lingkungan teologis yang
berbeda-beda. Bagi Rahner, perbedaan agama yang begitu rupa justru membuat
ketidakmungkinan adanya satu bahasa teologis-filosofis pun yang dapat merangkumnya
(Rahner, 1972: 52).
Hans Kung (1976) juga berpendapat serupa, bahwa pluralisme agama hakekatnya
adalah sebuah refleksi teologis umat beragama atas pluralitas agama menuju satu tujuan;
dialog antar agama. Dan untuk mencapai dialog tersebut dibutuhkan konsensus teologis
atau semacam standar penilaian sahih-tidaknya suatu refleksi teologis, sambil tetap
menghargai keanekaragaman masing-masing agama (Kung, 1989).
David Tracy (1988) bahkan menawarkan studi hermeneutis baru dalam
merespon pluralitas agama demi tujuan dialog antar-agama. Dalam bukunya berjudul

62
Blessed Rage for Order: The new pluralism in theology, Tracy mengagas sebuah model
dialog yang ia namakan teology revisionis, memaksudkan sikap berteologi yang
membantu mencegah kekacauan teologis di satu pihak dan menghindarkan diri dari
kecenderungan membatasi keanekaragaman berteologi di lain pihak (Tracy dalam
Armada, 2010: 230).
Namun dalam kurun waktu selanjutnya, term pluralisme agama semakin
berkembang menjauh dari ranah sosiologis nya, bahkan merasuk kedalam jantung esensi
teologi itu sendiri. Pluralisme agama kemudian menjadi identik dengan makna penyatuan
agama-agama, bukan sekedar penyatuan dalam tataran dialogal, melainkan justru
mengarah pada hal yang paling esensial dalam beragama; penyatuan kebertuhanan.
John Hick (1987) menyatakan bahwa Pluralisme Agama (religious pluralism)
adalah paham yang menjustifikasi berbagai ragam klaim kebenaran agama (religious truth
claim) sebagai sesuatu yang relatif, tidak mutlak (Hick, 2005: 1-16). Charles Kimbal
(2002) bahkan menyebut agama yang masih memegang klaim kebenaran mutlak adalah
agama jahat atau evil (Kimbal, 2001:). Alister McGrath juga menyatakan, dalam
pluralisme agama tidak ada agama yang lebih superior daripada agama lainnya, karena
semua dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan (McGrath,1994:).
Di Indonesia, beberapa kalangan sarjana dan intelektual muslim juga tampak larut
dalam defenisi pluralisme agama sebagai justifikasi atas klaim kebenaran agama yang
bersifat relatif. Sebagian diantaranya melandaskan pandangan pluralisnya pada konsepsi
keberagamaan dalam filsafat perennial (Lihat tulisan-tulisan Komaruddin Hidayat, Budi
M. Rahman, dan wahyuni Nafis, dalam Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial,
1995) sebagaimana yang juga dilakukan sebagian intelektual muslim dunia lainnya.
Filsafat Perennial membagi agama kedalam dua level; pertama level esoteric, atau aspek
batin agama, dan kedua level eksoteric, atau aspek lahir agama. Perbedaan agama-agama
dalam perspektif perenialism terletak pada aspek eksoteris, biasa juga disebut kulit luar
agama, yang diandaikan sebagai jalan. Sementara perjumpaan berbagai agama-agama
dunia terjadi pada level esoteric, atau bagian inti agama. Artinya, meskipun berbeda-beda
jalan, sesungguhnya semua agama akan menuju satu tujuan, yaitu Tuhan atau Kebenaran
yang sama.
Pandangan kaum pluralis Indonesia yang mendasarkan pada dimensi filosofis di atas
terlihat sangat mengagumkan, mengibaratkan keber-Tuhan-an layaknya roda, pusat
putaran roda adalah Tuhan, dan jari-jari roda adalah jalur-jalur (agama) menuju Tuhan.
Sepintas tampak masuk akal, namun jika dicermati paham ini demikian kacau jika
digunakan untuk menelaah konsep ketuhanan masing-masing agama yang faktanya
berbeda-beda; bukan saja beda makna doktrinalnya, melainkan juga beda makna
filosofisnya. Mampukah kita mengandaikan penyatuan konsep ke-Esa-an Allah SWT

63
dalam Islam dengan konsep ke-Esa-an Allah Trinitas dalam umat Kristiani? Tentu saja
kedua umat agama itu akan mempersiapkan segudang argumentasi untuk berdebat
panjang tanpa henti.
Sebagian

sarjana

muslim

Liberal

Indonesia

lainnya

malah

justru

tidak

menyandarkan argumentasi pluralis nya pada aspek filosofis, melainkan pada landasan
pragmatisme berpikir (Lihat tulisan-tulisan Ulil Abshar, Luthfie Asyaukanie, Sumanto alQurthubi, dan lain-lain pada situs Islamlib.com). Sebuah statemen pernah dimuat di
Harian Kompas berbunyi; Seorang Fideis Muslim bisa merasa dekat tanpa melalui jalur
shalat, karena ia bisa melakukan mediasi lainnya dalam ritus-ritus meditasi yang biasa
dilakukan dalam persemedian spiritual (Kompas, 3/9/2005). Jika dalam perspektif
perenialisme masih mengakui banyak jalan yang berbeda menuju satu Tuhan, maka
pandangan kedua ini bahkan jauh lebih radikal, ia mengandaikan kesatuan jalan menuju
satu Tuhan, alih-alih tidak menganggap penting jalan tersebut.
Jika ditelaah sejak kelahiran awal konsep Pluralisme Agama dan kemudian melihat
perkembangan terkini, maka tampak jelas perkembangan konsepsi Pluralisme Agama
telah bermetamorfosis pada wujudnya yang radikal, yakni bukan lagi semata bertujuan
untuk mempersatukan agama-agama dalam konteks dialogal, namun tersirat misi
mempersatukan esensi agama-agama secara menyeluruh. Bahkan, ada kesan upaya ingin
melucuti keberimanan masing-masing agama demi satu tujuan; kesatuan agama! Hal ini
membuat banyak kalangan agamawan yang merasa curiga, akan datang agama baru
yang diproyeksikan menjadi solusi masa depan agama, dan siap menggantikan agama
lama mereka yang dianggap sudah tidak mampu lagi bertahan.

Ruang Publik Agama


Sebelum jauh membahas bagaimana eksistensi agama di ranah publik, perlu
dipahami terlebih dahulu beberapa istilah penting perihal; publik, ruang publik, dan
ranah publik. Penting karena masing-masing istilah tersebut seringkali direduksi
maknanya, dianggap sama, padahal jelas berbeda, bukan saja pada tataran etimologis nya
(aspek kebahasaan), namun juga berbeda menurut arti terminologi nya (konteks sosiohistoris kemunculan istilah).
Jurgen Habermas, sang penggagas teori Ruang Publik, dalam pendahuluan
bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere, menegaskan sejak awal
bahwa istilah publik dan ruang publik punya asal-usul dari berbagai fase historis yang
berbeda. Namun saat diaplikasikan pada kondisi masyarakat borjuis (industrial-maju)
punya arti yang sama (melebur), sehingga membuat maknanya agak rancu (Habermas,
2012: 1-4).

64
Beberapa istilah berikut menggunakan kosa kata publik, tapi justru tidak
bermakna miliki orang banyak, sebagaimana arti harfiah dari publik itu sendiri. Istilah
seperti; bangunan publik, tidak bermakna sebuah bangunan yang dapat dimasuki oleh
siapapun?! Juga istilah pengakuan publik jelas punya makna yang sarat dengan pamer
penampilan pribadi di atas panggung, sehingga publisitas akhirnya memasukkan unsurunsur pengakuan publik. Istilah reputasi publik bahkan bermakna seorang yang mencari
nama, prestise, bagi dirinya sendiri. Berbeda dengan istilah-istilah seperti opini publik,
penghinaan publik, pemberitahuan publik, publisitas, publis (menerbitkan), dan
publikasi (mengumumkan) yang jelas-jelas punya kedekatan makna milik umum.
Sebab subjek dari istilah-istilah ini adalah publik sebagai pembawa opini, sekaligus
berfungsi sebagai penilai kritis dalam memberikan pendapat.
Habermas melacak pergeseran makna istilah-istilah di atas terjadi khususnya di
wilayah media massa pada masyarakat Eropa abad ke-18. Istilah public relation
misalnya, yang bermakna fungsi dari opini publik, belakangan hanya bertujuan untuk
memproduksi publisitasnya sendiri (Habermas, 2012:21).
Adapun istilah ruang publik muncul sebagai penegasan tentang suatu wilayah
spesifik yang berlawanan dengan wilayah privat. Namun terkadang dipergunakan untuk
melawan sebuah otoritas. Pelacakan tentang yang publik dan yang privat berhasil
ditemukan sampai ke akar kata dalam bahasa Yunani, melalui warisan Roma kuno; Istilah
Sphere (ruang) yang dalam bahasa yunani disebut Polis, berarti ruang yang terbuka bagi
semua warga negara yang merdeka. Berbeda dengan Oikos yang juga bermakna ruang,
namun hanya diperuntukkan bagi individu-individu yang berada dalam dunianya sendirisendiri (Habermas, 2012:21). Oikos adalah wilayah privat; kefanaan, keniscayaan di
bawah kekuasaan seorang kepala keluarga patrimonial. Sementara Polis adalah wilayah
publik, kebebasan, dan kekekalan. Di ruang yang disebut terakhir ini, segala yang eksis
menjadi tersingkap dan terlihat bagi semua orang.
Selanjutnya, ditemukanlah kategori yang publik dan yang privat dalam defenisi
hukum Roma Kuno; Publikus berarti rakyat jelata dan Privatus berarti ningrat. Istilahistilah ini berfungsi sebagai interpretasi-diri sekaligus institusionalisasi legal atas ruang
publik yang dalam pengertian spesifik bersifat borjuis (Habermas, 2012:127). Adapun
secara etimologis, istilah Ruang publik berhasil ditelusuri dalam referensi bahasa Jerman
(Offentlich), dan bahasa Perancis (publicite), dan bahasa Inggris (publicity) yang muncul
di abad ke-18. Di masa itu, istilah ini dimaknai sebagai bagian spesifik dari masyarakat
sipil, yang mengukuhkan diri sebagai ranah tempat terjadinya pertukaran komoditas dan
kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya sendiri. Ranah publik ini ditemukan
Habermas pada masyarakat borjuis awal di salon-salon, komunitas sastra, kafe, warung
kopi, dan kantor surat kabar. Ranah publik ini dibayangkan sebagai arena tempat diskusi

65
publik, yang terbuka untuk semua, memungkinkan individu terlibat dalam debat mengenai
isu-isu 'kepentingan umum'.
Namun secara konseptual, dan ini yang terpenting, ranah publik dapat mewujud
menjadi ruang publik jika didalamnya terjalin hubungan interaksi non-koersif, rasional,
ditetapkan melalui hak-hak individu melindungi warga dari serangan negara. Ruang
Publik mengandaikan debat rasional dan argumentasi universal. Didalamnya terdapat hak
setiap orang untuk berbicara tanpa batasan apapun, baik pada tema, peserta, pertanyaan,
waktu atau sumber daya (Eriksen & Fossum 2002, JCMS Vol 40, No 3). Artinya,
Habermas telah mengkonseptualisasikan sebuah ranah publik yang kompleks, melintasi
batas lokal-nasional-global, yang berfungsi sebagai arena untuk pemahaman diri secara
hermeneutis, pengakuan terhadap masalah dan perdebatan sosial yang kompleks, dan
secara umum, diarahkan pada pengambilan keputusan yang bersifat politis.
Dengan demikian, ruang publik tidak dapat disamakan dengan ranah publik.
Meskipun ranah publik menyediakan prasyarat yang memungkinkan untuk ruang publik
mengada, tidak menjamin dapat mewujud sebuah ruang publik dalam arti Habermasian
(lihat Papacharissi, The Virtual Sphere 2.0). Ranah Publik berfungsi sebagai forum, tetapi
secara konseptual berbeda dari publik atau masyarakat itu sendiri, urusan-urusan publik
atau opini publik. Sebab, menurut Habermas, ruang publik dipahami sebagai metafora
untuk sebuah "ruang yang menengahi antara masyarakat dan negara, di mana masyarakat
mengorganisasi dirinya sendiri sebagai pembawa opini publik, berkesesuaian dengan
prinsip ruang publik yang dulunya harus bertarung melawan monarki politik misterius dan
yang sejak saat itu telah memungkinkan kontrol demokratis kegiatan Negara" (Bolton,
2005, paper read). Konteks historis yang ditimbulkan oleh definisi ini menempatkan ruang
publik bertentangan dengan otoritas feodal, dan di era modern, dengan negara.
Lalu, bagaimana memahami ruang publik Habermasian ini dalam konteks ruang
bagi para pemeluk agama-agama atau antar agama dengan yang non-agama (sekuler)?
Jika sebuah ruang publik diandaikan sebagai ruang bagi interaksi non-koersif, rasional,
dan yang melindungi hak-hak individu warga dari serangan negara, maka ruang publik
agama memaksudkan sebuah ruang bagi perjumpaan antara pemeluk agama dan yang
non-agama tanpa paksaan, rasional, yang setara, dan adil bagi semua pihak didalamnya.
Berhadap-hadapan dengan kaum sekular di ranah publik, maka kaum agamawan
sepatutnya tidak boleh dibatasi alasan apapun, apakah alasan yang bersifat sosiologis,
lebih-lebih alasan teologisnya. Menyikapi tawaran dunia-global yang menuntut kaum
agamawan untuk dapat melucuti bahasa agamanya di ranah publik lalu kemudian dapat
mengambil bahasa-bahasa netral-agama, atau yang bersifat keduniawian, sesungguhnya
merupakan tawaran yang problematis, alih-alih dianggap tidak adil bagi kaum agamawan,

66
jika tuntutan tersebut dilakukan demi terwujudnya ruang publik yang ideal. Lebih
absurd lagi, jika mencermati tawaran kaum pluralis-filosofis yang menuntut pemeluk
agama agar bersedia menanggalkan keyakinan teologisnya, demi satu tujuan hidup
bersama yang damai. Pertanyaannya, dapatkah kedamaian itu terwujud? Atau mampukah
kaum agamawan mengkonstruksi sebuah ruang public yang ideal, jika sejak awalnya telah
terjadi pemaksaan untuk tidak boleh mengklaim kebenaran absolut agamanya? Hal ini
jelas sebuah bentuk koersi-sistemik bagi seseorang, sebuah pemasungan hak-hak
keberimanan seseorang.
Singkatnya, di ranah publik, benturan antar peradaban kaum agamawan dan kaum
sekuler tentu tak terhindarkan lagi. Namun dalam konteks ruang publik, benturan itu
seharusnya tidak diizinkan terjadi, jika masyarakat dunia benar-benar serius hendak
mewujudkan ruang publik ideal bagi komunitas global.

Eksistensi Agama vis-a-vis Sekularisme-Pluralisme


Dalam konteks dunia-global, agama akan selamanya eksis di ranah publik, tanpa
harus menunggu jatuhnya komunisme, atau gagalnya sekularisme. Eksistensi agama di
ranah publik justru disebabkan globalisasi itu sendiri yang menawarkan berbagai entitas
apapun untuk tampil mengemuka. Meskipun tentu saja bukan hanya itu penyebab
eksisnya agama. Untuk mengetahui alasan lain mengapa agama masih saja eksis di ranah
public adalah, pertama-tama kita harus menjernihkan defenisi agama dari ilmu-ilmu lain,
seperti psikologi, sejarah, bahkan dari teologi itu sendiri, lebih-lebih dalam konteks kajian
agama dan ruang publik.
Bryan S Turner, dalam karyanya berjudul The Sociology of Religion, dengan
sangat baik mengambil relevansi perspektif Durkheimian dalam menelaah agama dan
ruang publik masa kini. Bahkan Turner mengatakan, siapapun yang ingin memahami
yang suci dan ruang publik dalam masyarakat modern, disarankan untuk mengambil
kajian Durkheim secara serius (Turner, 2010: 19). Durkheim adalah teoretisi yang melihat
secara jernih agama dari sudut pandang sosiologis, yang ia sebut sebagai bentuk
fundamental dari struktur kesadaran kolektif. Dengan demikian, dalam sudut pandang
Durkheim, agama bukanlah kepercayaan kepada Tuhan atau dewa-dewa yang tinggi,
melainkan suatu kesatuan sistem kepercayaan dan praktek berdasarkan pada klasifikasi
atas realitas sosial kedalam hal-hal yang bersifat sakral dan profan (Ritzer, 2010).
Sakral memaksudkan sesuatu yang dipisahkan dan dilarang, sementara Profan adalah
perihal kehidupan dunia sehari-hari. Karena agama adalah sebuah kolektifitas, maka wajib
dianut atau ditaati dalam kehidupan setiap individu. Dalam pengertian inilah kita
memahami makna "fakta sosial" dari Durkheim, yaitu sebuah fenomena luar individu,
yang ada secara independen dan bersifat lebih memaksa.

67
Maka dalam konsepsi Durkheimian, tidak ada istilah agama palsu atau tidak
rasional, karena agama sesungguhnya adalah representasi-diri masyarakat atau
representasi kolektif. Dalam perspektif inilah, terjawab alasan mengapa agama mampu
bertahan selama ini, dimana ia (agama) dapat memenuhi fungsi sosialnya dalam
menopang kepercayaan politik dan masyarakat kekuatan emosional bersama. Selain
agama, tidak ada kekuatan otoritatif lain yang memiliki kosmologi dan simbolisasi seperti
pada ideologi komunisme dan sekularisme, misalnya. Hanya agamalah yang menawarkan
ritual kolektif sehingga dapat menghasilkan emosi bersama itu. Turner menyebutkan,
melalui agamalah memungkinkan masyarakat nasional untuk mengekspresikan sejarah
yang memiliki signifikansi-signifikansi yang universal, yaitu dalam mengekspresikan
sejarah mitos bangsa berkaitan dengan penderitaan dan kelangsungan hidup manusia
secara keseluruhan (Turner, 2010:23).
Apa yang sesungguhnya terjadi jika kekuatan emosi kolektif berhadapan dengan
sekularisme? Maka unsur efektivitas sosial akan semakin melemah, direduksi, dan
akhirnya rusak, sehingga menyisakan lebih banyak ruang untuk refleksi individu.
Faktanya, karakter kolektif dan praktek penggolongan emosional dalam masyarakat
modern telah rusak, dengan hadirnya modernitas yang menyebabkan erosi otoritas
keyakinan agama dan sebuah ketidakpastian tentang praktik keagamaan. Namun tentu
bukan berarti agama akan mati oleh sekularisme, karena faktanya, agama masih saja eksis
hingga saat ini. Agama boleh jadi telah beradaptasi dengan karakter modernitas yang
bercirikan individualistik. Sehingga individu-individu modern menjadi kian reflektif
tentang prinsip-prinsip yang mendasari penggolongan.
Lalu bagaimanapula dengan tantangan pluralisme-filosofis26 yang bersifat radikal
itu? Sejauh pluralisme itu diartikan keluar dari makna sosiologisnya, atau terjerembab
masuk kedalam analisis filosofis yang mengada-ada, dengan secara canggih menggiring
kepada relativisme keberimanan seseorang, maka ia otomatis akan tertolak dengan
sendirinya.
Fakta menarik, bahwa dalam menyikapi pluralism-filosofis ini, Roma Vatikan
melalui Paus Yohannes Paulus II menolak dengan tegas, sambil menerbitkan penjelasan
rinci terkait Dominus Jesus. Dalam situs katolisitas.org disebutkan, Dominus Jesus
adalah Deklarasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Doktrin Iman (CDF) yang
menjelaskan tentang keunikan dan ke-universal-an keselamatan (artinya: keselamatan
26

Istilah ini digunakan penulis untuk membedakannya dengan pengertian pluralismesosiologis yang memaksudkan arti; pengakuan atas pluralitas agama-agama dalam konteks dialogal,
boleh jadi berlandaskan pemikiran filosofis, namun bukan bertujuan mencederai inti keber-agamaan
yang menjadi landasan teologis-filosofis seuatu agama. Pengakuan agama-agama dilakukan dengan
berorientasi pada tujuan dialog antar agama. Istilah pluralisme-sosiologis mengindikasikan bahwa
perkara pengakuan akan ragam kepercayaan dan agama adalah murni perkara sosiologis. Panikkar,
Rahner, Tracy, dan Hans Kung berada di garis depan terminologi ini.

68
bagi semua umat manusia) di dalam Kristus dan Gereja Katolik. Makna doktrin ini
sekaligus menegasikan paham pluralism yang cenderung mereletavitaskan kebenaran
agama Kristen.
Di Indonesia, beberapa kalangan agamawan juga merasa resah dengan ide
pluralism-filosofis ini. Kita ketahui MUI dengan tegas telah mengeluarkan fatwa haram
bagi paham Pluralisme. Sejumlah intelektual-agamawan dari kalangan Kristiani, seperti
Franz Magnis juga tidak sependapat dengan paham pluralisme yang berhasrat ingin
menyatukan beragam teologi ini. Menurut Romo Magnis, perkara ini (pluralisme) tidak
lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalaupun bermaksud baik. Toleransi yang
sebenarnya bermakna menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain.
Toleransi bukan asimilasi. Kita perlu menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan
mereka. (Franz Magnis, 2004: 138-141).
Poltak Sibarani dan Bernard Siregar dari kalangan intelektual Protestan juga ikut
mengkritisi pluralisme agama ini. Dalam buku berjudul Panduan Pendidikan Agama
Kristen untuk Mahasiswa, keduanya menulis; Pluralisme bukan sekedar menghargai
pluralitas agama, tetapi sekaligus menganggap penganut agama lain setara dengan
agamanya..jika tidak berhati-hati, sikap ini dapat mendatangkan polarisasi iman, artinya
keimanan atas agama yang diyakininya bisa memudar tanpa intervensi pihak lain
(Sibarani dan Siregar, 2005).
Kritik lebih keras diberikan seorang pendeta bernama Stevri Lumintang, yang
mengkonotasikan Pluralisme Agama sebagai teologi abu-abu. Dalam tulisannya ia
menyatakan; Teologia abu-abu yang kehadirannya seperti srigala berbulu domba, seolaholah menawarkan teologi yang sempurnateologi itu mempersalahkan semua rumusan
teologi tradisional yang selama ini sudah dianut dan berakar dalam gereja. Namun
sesungguhnya pluralisme sedang menawarkan agama baru (Lumintang, 2005: 235-236)
Berbagai fakta di atas menunjukkan, tarikan antar berbagai kelompok pro dan
kontra pluralisme agama begitu kuat dan sengit terjadi justru didalam kalangan agamawan
itu sendiri. Ini memberikan sinyal, bahwa pluralisme agama masih berisiko jika
diterapkan sebagai jalan perdamaian agama-agama di masa depan, alih-alih hendak
menyelamatkan eksistensi agama di ranah publik.
Jika sekularisme dan pluralisme tidak mampu menjadi solusi bagi masa depan
agama-agama dan dunia, lalu bagaimanakah dengan kekuatiran akan ancaman
Absolutisme beragama yang ditampilkan dalam gerakan Fundamentalisme? Agar tidak
keliru dalam memahami arti absolutisme beragama dan fundamentalisme, perlu terlebih
dahulu memisahkan keduanya, sehingga tidak dipahami bergandengan atau seakan-akan
bermakna sama. Absolutisme beragama mengacu pada sebuah ideologi atau sistem dunia
yang total agama, dengan simbol-simbolnya yang melekat pada kekuasaan politis sebagai

69
pemegang kendali interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh individu
demi keselamatan dirinya di dunia dan di akherat. Absolutisme agama ini memiliki bukti
konkretnya pada masa dimana Eropa didominasi oleh kekuasaan absolut Gereja,
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Adapun Fundamentalisme dalam pandangan Gellner (1996), adalah sebuah
gagasan dasar tentang suatu agama tertentu yang dipegang kokoh dalam bentuk
literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, re-interpretasi dan tanpa
pengurangan (Azra, 1996). Hal senada dikemukakan oleh David Ray Griffin, dalam
bukunya God and Religion in the Modern World bahwa fundamentalisme adalah sebuah
aliran atau faham yang berpegang teguh pada dasar-dasar agama secara ketat melalui
penafsiran terhadap kitab suci secara rigid dan literalis (Griffin, 1989). Adapun menurut
pandangan Habermas fundamentalis adalah sebuah gerakan keagamaan yang memberikan
porsi sangat terbatas terhadap akal pikiran (rasio) dalam memberikan interpretasi dan
pemahaman terhadap teks-teks keagamaan (Habermas, 2002).
Secara historis, istilah fundamentalisme merupakan atribut yang diberikan
kepada sekte Protestan yang menganggap Injil bersifat absolute dan sempurna dalam
arti literal sehingga mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar
dan tak terampuni. Fudamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar dunia, tidak
hanya Kristen dan Islam, fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha,
Yahudi dan Konfusianisme. Bahkan menurut Garaudy, fundamentalisme merupakan
fenomena yang tidak terbatas pada agama, tetapi terdapat pula dalam bidang politik, sosial
dan budaya (Garaudy, 1993). Karena baginya, fundamentalisme adalah suatu pandangan
yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik maupun budaya, yang dianut
pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya secara konsisten.
Pengertian antara kedua term absolutisme dan fundamentalisme menjadi kacau
ketika keduanya selalu dipahami bergandengan, disebutkan bersamaan dalam satu tarikan
nafas, seakan-akan menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan. Padahal hakikatnya
tidak demikian. Absolutisme agama jelas adalah hantu modernitas, ia anti-modernitas dan
sudah lama punah, bahkan hampir tidak mungkin terlahir kembali di zaman yang tidak
mengizinkan bentuk absolutisme apapun untuk hidup. Sementara fundamentalisme
terbukti masih ada hingga kini, dan boleh jadi menggandeng modernitas, dan akan selalu
ada sebagai kekuatan alternatif di tengah zaman kekinian.
Dalam agama Kristen, aliran Pentakostalisme yang seringkali digolongkan
kedalam fundamentalis masih menarik perhatian penganutnya di abad kedua puluh.
Melalui pendidikan yang baik, mendisiplinkan diri dalam minum minuman keras dan
keaksaraan, Pentakostalisme terus menampilkan sisi kharismatiknya. Ia menjadi gerakan
sosial sukarela, bersifat lokal, bekerja secara kompetitif dalam menawarkan jasa

70
pelayanan rohani, berorientasi pada kesuksesan sosial dan gratifikasi emosional.
Pentakosta dengan demikian relevan dengan keterampilan kerja dan atribut pribadi dari
ekonomi jasa post-industrial, khususnya atribut pemantauan-diri dan penolakan untuk
menerima kegagalan (Martin 2002).
Demikian halnya Islam Fundamentalis, yang oleh media popular seringkali
dipahami keliru memusuhi modernitas. Menurut Richard T Antoun dalam artikelnya
Fundamentalism, problem fundamentalisme berada di seputar masalah bagaimana
mendefinisikannya (Antoun 2001, dalam Turner, 2010:15-16). Dan untuk mengatasi
problem itu, Antoun mendudukan beberapa pengertian dasar dari karakteristik
fundamentalisme berikut ini; Pertama, "Scripturalism" adalah keyakinan literal yang
bersifat pasti atau tidak mungkin salah karena dianggap tidak berubah dari kitab suci
secara mendasar, dan pencarian legitimasi dan otoritas dengan mengacu pada tulisan suci.
Paham ini bermaksud mencari kemurnian dan kesalehan di dunia yang dipandang murni;
atau kemauan untuk melihat relevansi tradisi suci terhadap isu-isu kontemporer. Kedua,
"Totalism" adalah penolakan terhadap pemisahan antara sakral dan profan, dan
Sebaliknya penegasan relevansi beragama bagi semua bidang kehidupan. Dan Ketiga,
"Aktivisme" melibatkan konfrontasi dengan dunia sekuler, dengan cara kekerasan jika
perlu, dan pandangan dunia yang memahami dunia modern dalam hal perjuangan tak
berujung antara baik dan jahat.
Berdasarkan penelitian sosiologis terkini, akan sulit mengidentifikasi para
fundamentalis modern jika masih dipahami sebagai paham absolutis dan menentang
modernitas. Dalam hal keanggotaan dan kepemimpinan, para fundamentalis Islam
biasanya direkrut dari orang berpendidikan tetapi seringkali terasing di kelas perkotaan.
Mereka berpendidikan tinggi tapi diasingkan oleh kurangnya mobilitas social dan
rendahnya tingkat pendapatan ekonomi. Artinya, para fundamentalis direkrut dari
kelompok sosial yang umumnya secara signifikan digagalkan oleh pemerintah nasionalissekuler dan diacuhkan dari proyek modernisasi. Disisi lain, mereka para Fundamentalis
tidak alergi dengan teknologi modern; mereka menggunakan televisi dan radio
sebagaimana yang dipraktikkan kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat. Hal
yang sama juga dilakukan kelompok militant Hizbullah yang memiliki jaringan informasi
di Beirut dengan ponsel, komputer dan situs multiple website. (Turner, 2010:17).
Dengan demikian, jelaslah bahwa fundamentalisme tidak selalu merupakan protes
tradisi atas modernitas, melainkan protes-selektif terhadap sejumlah aspek modernisasi.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa fundamentalisme mengacu pada proses selektif
dimana teknologi tertentu dan organisasi inovasi masyarakat modern yang diterima dan
yang lain ditolak. Fundamentalism modern juga mengarahkan perhatian kita pada proses

71
dimana seorang individu menerima praktek atau kepercayaan dari budaya lain (dunia
sekuler) dan mengintegrasikan ke dalam nilai mereka atau sistem-keagamaan mereka.
Fundamentalisme kekinian pada kenyataannya telah mampu tampil dengan posisi
tawar yang kuat di tengah kemodernan. Namun tentu saja ia bukan sebuah tawaran ideal.
Melainkan hanya sebagai tawaran alternatif ditengah derasnya arus ideologi-ideologi
modern saat ini.
Pribadi beragama di zaman modern pada kenyataannya memiliki tantangan
survival yang tidak ringan, disatu sisi ingin tetap berpegang teguh pada keyakinan
agamanya secara utuh, namun disisi lain mengharuskannya mampu menerjemahkan sikap
keber-agamaanya yang aktual dan mampu menjawab modernitas; kekinian dan
kedisinian. Ia tidak boleh gagap dalam bersikap dan menyikapi keyakinan agama lain.
Melainkan harus tampil memukau, berintegritas dalam keyakinannya, namun tetap
merangkul, mengayomi, bersahabat dengan siapapun.
Untuk menghasilkan pribadi beragama masa kini, sepatutnya umat beragama lebih
memilih kembali kepada tradisi masing-masing agamanya, yang hakekatnya memiliki
ajaran toleransi dan kasih sayang yang universal bagi semua mahluk hidup. Tampaknya
hal tersebut dapat menjadi solusi paling konkret dalam konteks hidup bersama umat
beragama. Yang harus dipahami bahwa, cita-cita hidup bersama yang damai dan
bermartabat adalah murni perkara sosiologis. Tidak dibutuhkan pemikiran filosofis yang
memberatkan nalar, pun tak perlu mengorbankan keimanan tentang hal-hal yang sudah
valid lagi pasti dalam doktrin masing-masing agama. Sebab, jika perkara valid lagi pasti
itu terusik, sangat mungkin tidak akan tercapai cita-cita hidup bersama, alih-alih
menyulut sumbu konflik laten antar-agama.
Meskipun demikian, sikap kembali kepada tradisi keagamaan harus terus dikawal
dari segala kemungkinan sikap-sikap absolutis, salah satunya dalam menyikapi klaim
kebenara masing-masing agamanya. Hakekatnya, klaim kebenaran adalah konsumsi
pribadi individu atau kelompok agama tertentu, yang seharusnya tertanam kuat dan
berakar dalam hati dan pikiran individu maupun kelompok agamanya, tanpa perlu
dipentaskan di ranah publik. Namun bilamana klaim itu harus muncul di permukaan,
pribadi beragama yang percaya akan kebenaran Tuhan yang Maha Baik dan Maha
Pemurah, sepatutnya mampu memuliakan sesama mahluknya, demi penghambaan dirinya
kepada Sang Penciptanya. Upaya menerjemahkan klaim-klaim kebenaran masing-masing
agama di ranah publik seharusnya dapat memilah dan memilih sikap dan bahasa yang
netral seperti ini, dalam dibingkai hidup bersama.

72
Agama Masa Depan: Agama Komersial-Individual
Bagian akhir dari tulisan ini lebih bersifat asumsi yang tentu saja membutuhkan
penelitian lebih konkret perihal masa depan agama-modern. Dipahami bahwa globalisasi
dan modernisasi telah mengubah segalanya, termasuk agama. Khususnya modernisasi
teknologi dengan penyebaran penggunaan internet yang tak terelakkan telah merubah
agama dan keber-agamaan dengan cara-cara yang sangat signifikan (Jeremy Stolow,
dalam Turner, 2010:17-19)
Jika komunikasi agama di zaman wahyu itu bersifat hirarkis, seragam dan
berwibawa, maka di zaman yang serba global dan modern ini membuat komunikasi
agama menjadi cenderung beragam dan terfragmentasi, juga berjalan horizontal dan
bukan vertical, semua disebabkan oleh modernisasi media massa yang menawarkan
komunikasi-interaktif yang dapat diakses setiap individu tanpa kecuali. Sehingga otoritas
pesan apapunapakah agama atau sebaliknyamenjadi bersifat negosiatif. Dalam sistem
komunikasi global, fokus penafsiran agama modern menjadi kian beragam. Hal ini lambat
laun dapat menurunkan derajat otoritas dalam sistem keyakinan formal dan praktik
keagamaan.
Kondisi di atas membuat sosiologi membutuhkan paradigma baru untuk
memahami agama-modern, sebagaimana yang diistilah David Lehman dengan;
"Pendekatan pasar-keagamaan, atau interpretasi agama-ekonomik. (Lehman dalam
Turner, 2010:181-198). Pendekatan pasar-keagamaan menyediakan penjelasan, tentang
bagaimana respon negara terhadap kenyataan pluralitas agama untuk kemudian dapat
mendorong persaingan yang kompetitif antar agama. Pendekatan ini menghasilkan
wawasan berharga tentang bagaimana cara negara mengelola keragaman agama (Gill,
2008, dalam Turner, 2010: 17-19).
Di Amerika, alam demokrasi telah memberikan kontribusi penting bagi pasar
keagamaan di negara itu, di mana otoritas imam dan hirarki gerejawi tidak lagi relevan.
Semua orang beragama memiliki pendapat agama yang sama dan berlaku penting.
Memudarnya komitmen seorang kristiani terhadap imamat, keterlibatan umat awam,
emosi subjektif dan otonomi jemaat menjadi pertanda modernisasi agama sedang
berlangsung. Dalam tubuh umat Islam, perselisihan otoritas sesungguhnya sudah menjadi
bagian tak terpisahkan dari sejarah peradabannya. Lebih-lebih di zaman kini, seorang
muslim modern dapat berargumentasi melawan sumber-sumber otoritas agama, karena
hampir setiap orang dapat menjadi guru lokal atau mullah yang mampu mengeluarkan
fatwa untuk membimbing komunitas lokal melalui blog nya sendiri.
Modernisasi media massa pada kelanjutannya melahirkan demokratisasi informasi.
Dengan semakin banyaknya orang memiliki akses ke situs-situs keagamaan interaktif,
maka muara dari semua ini adalah demokratisasi agama itu sendiri. Di Eropa, banyak

73
pemuda Muslim seringkali tanpa bertanya terlebih dahulu kepada fatwa ulama dan
imam lokal mereka untuk mempelajari tentang Islam, melainkan bertanya pada pamflet
dan atau laman berita dari website. Sarana internet menjelma menjadi roket yang melesat
cepat melintasi banyak penjaga gerbang tradisional dari ortodoksi Islam. Situs-situs
internet dengan demikian berperan signifikan dalam memperkuat individualisme
(Mandaville 2001).
Namun individualism modern atau dalam istilah lain privatisasi spiritual yang
diakibatkan modernisasi media massa internet ini tidak membangun publik baru,
melainkan justru berdampak pada penurunan sosial dan erosi masyarakat. Karakteristik
utama dari agama masyarakat modern dengan demikian terletak pada individualisme nya;
ditandai dengan penurunan kewenangan lembaga adat, agama (imamat, otoritas ulama)
dan kesadaran bahwa simbol-simbol agama hanyalah sebuah konstruksi. Dalam
individualism-baru, orang menciptakan ide-ide keagamaan mereka sendiri sehingga
menimbulkan bentuk-bentuk spiritualitas baru (Turner, 2010:17-19).
Karena otoritas struktur agama-modern cenderung diacuhkan, maka tren
kebergamaan masa kini akan mewujud pada persilangan (Hybridity) tradisi keagamaan.
Persilangan ini terjadi melalui proses peminjaman dari tradisi agama yang berbeda dalam
pasar keagamaan global. Melahirkan gaya hidup dan keyakinan campuran sebagai cirri
khas spiritualitas modern. Dari perspektif ortodoks, hibriditas tersebut dipahami sebagai
bentuk penyimpangan dari agama yang berwibawa dalam kehidupan rohani dahulu.
Maka hanya fundamentalisme lah, sebagai wakil ortodoksi yang konsisten, tampil
menantang nilai-nilai konsumerisme ala modern ini, meskipun hakekatnya ia juga
menjual gaya hidup yang lain yang didasarkan pada menu khusus; pendidikan alternatif,
menawarkan ideologi bernegara yang dianggapnya lebih bermartabat, dan mengklaim
memiliki mentalitas yang lebih kokoh menghadapi modernisme.
Jika kembali mengingat konsepsi Ruang Publik sebagaimana yang digagas
konseptornya, Jurgen Habermas, dimana diandaikan sebuah ruang yang terbuka, tanpa
paksaan dan rasional, demi mewujudkan kesepahaman bersama. Maka, dengan
mencermati perkembangan terkini masyarakat global, bersamaan dengan arus modernisasi
teknologi informasi yang begitu nyata, tampaknya upaya pembentukan ruang publik ideal
Habermasian itu akan semakin jauh meninggalkan cita-cita pendirinya. Ruang Publik
Agama Modern mungkin saja akan bersifat terbuka, rasional, dan tanpa paksaan, namun
untuk mendapatkan suatu kesepahaman bersama tampaknya semakin sulit untuk
diwujudkan, mengingat perkembangan masyarakat modern yang terfragmentasi menjadi
bagian-bagian terpisah akibat globalisasi dan modernisasi. Agama, dengan demikian akan
tetap eksis di ranah publik, namun bukan dalam wadah institusi-formal, melainkan eksis
dalam pribadi-pribadi beragama yang tampil komersil dan kompetitif, mementaskan apa-

74
apa yang menjadi layak dipublikasikan (didakwahkan?), dalam pasar global agamaagama.

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Bolton, Roger. 2005. Habermass Theory Of Communicative Action And the theory of
social capital, Paper read at meeting of Association of American Geographers.
Denver, Colorado, April 2005 (previous version read at meeting of Western
Regional Science Association, San Diego, California, February 2005).
Casanova , Jos. 1994. Public Religions in the Modern World. Chicago: University of
Chicago Press
Colin E. Gunton. 1993. The One, The Three, and the Many. Cambridge: Cambridge
University Press, First edition.
Eriksen & Fossum. 2002. Democracy through Strong Publics in the European Union.
JCMS Vol 40, No 3, Blackwell Publishers.
Griffin, David Ray. 1989. God and Religion in the Modern World, Albany: State
University of New York Press.
Garaudy, Roger. 1993. Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya. Bandung:
Pustaka
Gordon, Scott. 1991. The History and Philosophy of Social Science. New York: Routledge
Hick, John. 2005. Religious Pluralisme and Islam. an article, p. 1-16
Hidayat, Komaruddin, & Nafis, Wahyudi. 1995. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat
Perennial, Jakarta: Paramadina
Habermas, Jurgen. 2002. Religion and Rasionalty. Massachusetts: The MIT Press
______________, 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere (terj.) Ruang
Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis (2012), Bantul:
Kreasi Wacana
Hardiman, Budi F.,(ed.). 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius
_______________, (2007), Agama dalam Ruang Publik: Menimbang Kembali
Sekularisme, Makalah didiskusikan di Teater Utan Kayu, Jl. Utan kayu 68H, pada
22 Maret 2007 pada peringatan hari ulangtahun ke-6 Jaringan Islam Liberal
Haslina Ibrahim, Pluralisme Agama: Sejarah Dan Keperihalan Semasa, makalah internet;
haslina@iium.edu.my
Kung, Hans, & Tracy, Davids. 1989. Paradigm Change in Theology. Edinburgh: T & T
Clark Ltd.
Kimbal, Charles. 2002; 2003. When religion becomes evil, an article. (pb) Harper Collins.
Kleden, Ignas, Masyarakat Post-Sekular: Relasi Akal Dan Iman Serta Tuntutan
Penyesuaian Baru. makalah pada perkuliahan awal di salah satu PTS di
Yogyakarta.
Lumintang, Stevy. 2005. Teologia Abu-Abu, h. 235-236
McGrath, Alister. 1994. Christian Theology: An Introduction. Oxford: Blackwell
Mandaville, Peter. 2001. Transnational Muslim Politics: Reimagining the Umma. London
and New York: Routledge
Panikkar, Raimundo. 1978. The Intrareligious Dialogue. New York: Paulist Press
Papacharissi, Zizi. Chapter submitted to Handbook of Internet Politics, Andrew
Chadwick, Philip Howard (Eds.)
Rahner, Karl. 1972. Anonymous and Explicit Faith, New York: Seabury
Riyanto, Armada. 2010. Dialog Intereligius, Jakarta: Kanisius
Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (terj). Jakarta:
Rajawali Press, Hlm. 1

75
Suseno, Franz Magnis. 2004. Menjadi Saksi Kristus di tengah Masyarakat Majemuk.
h.138-141
Sibarani, Poltak, dan Siregar, Bernard. 2005. Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk
Mahasiswa, h.126
Swatos, William H., & Christiano, Kevin J. 1999. Secularization Theory dalam Jurnal
Sociology of Religion. Vol. 60, No.3, h.212
Turner, Bryan S. 2010. The Sociology of Religion, USA: Blackwell Publishing Ltd
Biodata singkat:
Muhammad Farid, lahir di Ambon, 13 November 1978. Lulus dari
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah-Filsafat IAIN Jakarta tahun 2000,
Magister Sosiologi dari Universitas Brawijaya Malang. Bergiat pada
ranah kajian Sosiologi Agama dan Cultural Studies. Beberapa artikel
yang pernah dimuat; Tiang Salib, Bulan Sabit, dan Cita-cita
Humanitas, Realitas Sosial Masyarakat Pesisir, Menjadi Agama
Bersahabat, Ritualitas Adat sebagai Fenomena Postmodern. Kini
tinggal
di
Malang.
Dapat
ditemui
pada
laman
facebook@faridmuhammad,
twitter@em_farid,
dan
email:
mfarid01@yahoo.com.

76

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat ( JPKM)


Herlina Eka Shinta
ABSTRAK
Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) merupakan satu strategi
yang mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan karena sistemnya
managed care, pelayanan yang komprehensif dengan mengutamakan pencegahan dan
peningkatan tanpa melupakan pengobatan dan pemulihan, mengurangi bahaya moral dari
semua pelaku JPKM, sesuai dengan budaya gotong royong masyarakat. Keuntungan bagi
seluruh pelaku JPKM dengan syarat terjadi hubungan harmonis diantara pelaku JPKM.
Kata kunci : JPKM, managed care
1.

PENDAHULUAN
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada
peringkat 103 dari 191 negara (WHO, 2000; UNDP, 2004) IPM ditentukan
oleh tiga indikator yaitu pertama, indikator kesehatan yang diukur dari
umur harapan hidup (UHH), angka kesakitan serta angka kematian ibu
(AKI), kematian bayi dan anak bawah lima tahun (AKB), kedua, indikator
pendidikan yang diukur dari angka melek huruf dan tingkat pendidikan serta
ketiga adalah indikator ekonomi yang diukur dari pendapatan perkapita.
Walaupun telah terjadi penurunan AKI dan AKB serta
peningkatan UHH namun Indonesia masih jauh tertinggal bila
dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tingkat kesehatan
masyarakat diperburuk oleh adanya krisis multidimensi; khusus dalam
bidang
kesehatan
antara
lain terjadi transisi epidemiologis yang
menyebabkan Indonesia mengalami beban ganda penyakit atau double
burden of diseases, yaitu saat masalah penyakit infeksi belum hilang,
sudah muncul masalah penyakit degeneratif misalnya penyakit jantung yang
memerlukan biaya besar sementara dipiihak lain, pembiayaan kesehatan masih
tetap merupakan masalah yang belum terselesaikan.
Ada dua masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia yang
merupakan isyu penting pada saat ini dan sangat dirasakan akibatnya oleh
masyarakat yaitu disatu pihak biaya kesehatan semakin mahal, pada pihak lain
subsidi pemerintah untuk biaya kesehatan sangat kecil yaitu hanya
mencapai 2-3 %. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
menurut WHO (2000) merupakan salah satu Negara dengan anggaran kesehatan
terkecil yaitu kurang dari 2% Gross Domestic Bruto (GDB) selain Somalia.
Dengan demikian sebagian besar biaya kesehatan (70 %) ditanggung oleh
masyarakat dan dari biaya tersebut 85 % dibayar secara langsung oleh
masyarakat dari kantong sendiri dan hanya sebagian kecil (sekitar 15 %) saja
dibayar melalui asuransi. Akibatnya masyarakat harus menyediakan dana
tunai apabila mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan dan bagi yang
tidak mampu menyediakan dana tunai, mereka tidak akan akses atau
mendapatkan pelayanan kesehatan. Dampaknya adalah derajat kesehatan
masyarakat semakin buruk, Sumber Daya Manusia yang dihasilkan sangat
lemah, padahal keberhasilan pembangunan suatu Negara sangat ditentukan
oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang merupakan asset atau modal
pembangunan. Sumber daya alam yang melimpah tidak akan berarti apa-apa
tanpa SDM yang sehat, handal, mandiri dan mampu bersaing di era global.
Dinegara maju khususnya Jerman, Inggris, Belanda, Kanada, Amerika
dan beberapa negara
di Asia misaln ya Jepang, pembiayaan melalui

77
asuransi merupakan jalan keluar dari masalah pembiayaan kesehatan yang ada.
Dibanding dengan negara maju lainnya, asuransi kesehatan di Amerika
Serikat
boleh dikatakan kurang berhasil karena hanya mencakup 70%
penduduk. Hal ini terjadi karena asuransi kesehatan yang dilaksanakan besrsifat
komersial dan membuka peluang persaingan di antara berbagai perusahaan
asuransi yang jumlahnya banyak. Sehingga partisipasi masyarakat terpecahpecah. Akibatnya hukum jumlah besar tidak terpenuhi.
perorangan dirubah menjadi risiko kelompok dengan cara membayar
sejumlah uang yang disebut premi kepada suatu badan penyelenggara (Bapel)
sebagai pengganti biaya yang mungkin harus dikeluarkan untuk pelayanan
kesehatan pada saat sakit. Agar risiko dapat disebarkan secara merata dan
luas maka jumlah peserta harus cukup banyak ( hukum jumlah besar ).
Pembiayaan kesehatan melalui asuransi memberikan beberapa keuntungan,
antara lain (1) meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, (2)
membebaskan peserta dari kesulitan menyediakan uang tunai setiap kali
berobat, (3) memungkinkan dapat diawasinya biaya dan mutu pelayanan
kesehatan serta (4) menyediakan data kesehatan yang diperlukan.
Peluang untuk menjalankan pembiayaan kesehatan melalui asuransi
di Indonesia sebetulnya cukup besar karena jumlah penduduk yang besar
serta undang-undang Jaminan Kesehatan Nasional yang sedang dalam proses.
Hanya, diperlukan komitmen dari semua pihak khususnya pemerintah baik
pusat maupun daerah dalam pelaksanaannya serta perlu diwaspadai beberapa
kendala misalnya semakin banyaknya perusahaan asuransi asing
yang
bergerak di Indonesia. Keadaan ini, diperburuk dengan kebiasaan yang
lebih memilih produk asing daripada produk nasional, walaupun dapat
dimaklumi karena saat in i sedang terjadi krisis kepercayaan terhadap
pemerintah kita.
Untuk itu diperlukan sistem asu ransi yang sesuai dengan
keadaan masyarakat Indonesia namun tetap mampu menjaga mutu sekaligus
mengendalikan biaya pelayanan kesehatan. Model asuransi yang
memenuhi kriteria tersebut dinamakan manage care, salah satu contohnya
adalah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
2.

JENIS-JENIS ASURANSI
Ditinjau dari berbagai pendekatan, asuransi terbagi dalam berbagai
jenis, antara lain berdasarkan keikutsertaan anggota,
asuransi
terbagi
menjadi asuransi kesehatan wajib dan sukarela, sedangkan jika ditinjau dari
jumlah peserta yang ditanggung, terbagi menjadi
asuransi
kesehatan
perorangan dan asuransi kesehatan kelompok, selain itu berdasarkan sifatnya
terbagi menjadi
asuransi kesehatan sosial dan asuransi kesehatan
komersial.Pendapat masyarakat yang selama ini menganggap gratis
terhadap sesuatu yang berbau sosial harus dihilangkan. Manusia sebagai
mahluk sosial mempunyai arti yang lebih mendalam, bukan sangat tergantung
terhadap orang lain tetapi saling bergantung satu sama lain sehingga terjadi
suatu hubungan antar manusia yang harmonis
seperti makna dari
hablumminannas.
Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan asuransi
kesehatan sosial adalah asuransi yang sifatnya wajib bagi seluruh penduduk,
premi
dibayar
berdasarkan
persentase pendapatan, seluruh peserta
mendapatkan paket pelayanan kesehatan yang sama dan bagi masyarakat tidak
mampu, premi dibayar oleh negara. Dengan asuransi sosial, terjadi subsidi
silang yaitu yang sehat menyumbang yang sakit, yang kaya menyumbang yang
miskin, yang muda menyumbang yang tua, keluarga kecil menyumbang
keluarga besar. Di Jerman prinsip ini dikenal dengan nama prinsip solidaritas.

78
3.

PERKEMBANGAN ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA


Sebetulnya asuransi kesehatan bukan barang baru di Indonesia.
Asuransi kesehatan dibentuk pertamakali berdasarkan Surat Keputusan Presiden
RI No.230 tahun 1968 yang dimulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
penerima pensiun. Kemudian dikeluarkan tiga buah undang-undang yang
berkaitan dengan asuransi kesehatan, yaitu pertama, Undang-undang No.2
Tahun 1992 dan Pearturan Pemerintah (PP) No.69
Tahun 192 yang
melandasi PT ASKES untuk memperluas kepesertaannya diluar PNS dan
penerima pensiun yang disebut Asuransi Kesehatan Sukarela. Kedua
Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) dan ketiga, Undang-undang Kesehatan No.23 Tahun 1992
pasal 1 dan pasal 66 tentang JPKM.
Demikian besar harapan terhadap manfaat asuransi dalam
penanggulangan masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia, dapat dilihat
dari pencanangan JPKM menjadi salah satu strategi pencapaian Indonesia
sehat 2010. Selain itu, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan undangundang untuk suatu model pembiayaan kesehatan yang akan diberlakukan
secara Nasional dan sifatnya wajib yang dinamakan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Dalam rangka mendidik kemandirian dan agar masyarakat
mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun keluarganya, maka
image pelayanan kesehatan gratis khususnya bagi masyarakat miskin
sebaiknya dihilangkan. Masyarakat yang tidak mampu tetap harus dikenai
kewajiban membayar premi, hanya preminya dibayar oleh Negara. Dibeberapa
tempat misalnya di Balikpapan, Palembang dan Jogya, dana subsidi Bahan
Bakar Minyak bagi masyarakat miskin telah dicoba dikelola dengan memakai
prinsip-prinsip asuransi dan ternyata hasilnya sangat menggembirakan.
Untuk melaksanakan hal tersebut pekerjaan yang terberat adalah
pemutihan data penduduk, khususnya penduduk miskin karena program
hanya akan berhasil apabila didasarkan pada data yang akurat.

4.

PILIHAN JPKM
Untuk lebih memahami mengapa managed care yang salah satu
contohnya JPKM dikatakan lebih tepat dibanding asuransi lainnya, kita perlu
mengetahui cara-cara pembiayaan kesehatan sebelumnya, antara lain:
1. Cara pembiayaan dimulai dengan cara yang paling konvensional yaitu
masyarakat memperoleh
pelayanan
kesehatan dengan
membayar
Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) secara tunai dari koceknya
langsung. Terjadi transaksi langsung antara dokter-pasien, pembayaran jasa
dokter dilakukan secara langsung setelah tindakan yang lebih berorientasi
kuratif. Tindakan sangat ditentukan oleh provider (pemberi pelayanan),
akibatnya biaya cenderung naik dan tidak terjangkau oleh masyarakat.
2.
Sistem asuransi ganti rugi, dalam sistem ini hubungan dokter-pasien masih
terjadi secara langsung namun pasien akan mendapatkan penggantian
dari Badan Penyelenggara (Bapel) untuk
pembiayaan
kesehatan
yang
dikeluarkannya.
3.
Sistem asuransi dengan tagihan provider , dengan sistem ini terjadi
hubungan dokter-pasien dengan pembayaran jasa dokter oleh pihak ketiga
yaitu bapel asuransi.
4.
Managed care adalah suatu bentuk asuransi kesehatan yang disusun
berdasarkan jumlah anggota terdaftar (kapitasi) dengan kontrol mulai
dari perencanaan pelayanan serta meliputi ketentuan : ada kontrak dengan PPK
untuk pelayanan yang komprehensif, penekanan agar peserta tetap sehat
sehingga utilisasi berkurang, unit layanan harus memenuhi standar yang telah
ditetapkan serta ada program peningkatan mutu pe layanan. Pembayaran

79
jasa provider dilakukan dengan cara pembayaran dimuka (pre-payment) atau
setelah pelayanan diberikan namun PPK tetap dapat mempertanggung-jawabkan
baik biaya maupun kualitas layanan.
JPKM merupakan salah satu bentuk managed care yang diterapkan
di Indonesia saat ini. Ada empat pelaku JPKM, yaitu peserta, bapel, PPK dan
Badan Pembina (Bapim). Pemerintah selaku Badan Pembina berperan sebagai
regulator, dan berkewajiban membayar premi bagi masyarakat yang tidak
mampu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 bahwa masyarakat miskin
dibiayai negara. Sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemerintah
berkewajiban mensubsidi PNS karena merupakan pemilik.
5.

JPKM SUATU STRATEGI


Kecenderungan
dimasa
depan,
yang
mana
pembiayaan
kesehatan semakin meningkat, JPKM merupakan salah satu pilihan karena
saling menguntungkan bagi semua pelaku JPKM. Adanya perubahan
kebijakan pembiayaan kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan
Nasional 2004 dan Undang-Undang Jaminan Sosial
Nasional
yang
sedang dalam proses, akan
mengokohkan
keberadaan
JPKM
sebagai salah satu embrio pembiayaan kesehatan. Walaupun mungkin
nantinya akan ada perubahan nama atau berbagai aturan main, namun JPKM
telah terbukti mendekatka n akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Strategi ini akan berhasil apabila dilaksanakan dengan sistem asuransi
kelompok karena akan memudahkan peningkatan jumlah kepesertaan
sehingga sesuai dengan hukum jumlah besar serta adanya komitmen dan
tanggung
jawab
serta hubungan harmonis seluruh pelaku Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat .

Daftar Pustaka
Azwar Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta :
Binarupa Aksara.
Basa. R. 2002. Social Health Insurance System in Phillipine. Executive meeting on
Development of Social Health Insurance in Indonesia. Jakarta.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. 2001. Profil Perkembangan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Tahun 2000. Jakarta : Direktorat
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
Departemen Kesehatan RI. 2000. JPKM : Pembinaan, Pengembangan
Pendorongan JPKM. Jakarta.

dan

HIAA Health Insurance Association of America, Part A. 1997. Fundamental of


Health Insurance, Washington: The association.
Murti Bhisma. 2000. Dasar-dasar Asuransi Kesehatan, Jakarta: Kanisius.
Pongpingsut Yongudomsuk. 2002 . Thailand Health Insurance System; Executive
meeting on Development of Social Health Insurance in Indonesia. Jakarta.
Stierle F. 2002. Social Health Insurance, Concept Advantages Prerequisites.
Executive meeting on Development of Social Health Insurance in Indonesia.

80
Jakarta.
Sulastomo. 2002. Asuransi Kesehatan Sosial :
RajaGrafindo Persada. 9.

Sebuah Pilihan. Jakarta: PT

Thabrany Hasbullah. 2003. Social Health Insurance Implementation in Indonesia.


Executive meeting on Development of Social Health Insurance in Indonesia.
Jakarta.
Thabrany Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana
Kesehatan di Indonesia. Ed. 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
UNDP. 2004. Human Development Report. (Online) http://www.hdr.Undp.org/
Statistic/data/ Chy/Chy-f-idn.html.
World Health Organization. 2000. The World Health Report. Health Systems :
Improving Performance. Geneva: WHO.
World Health Organization. 2005. Health Situation in the South-east Asia region,
1998-2000. (online) Available from http://w3.whosea.org/ health_situt_9800/c4n14.htm: 4 (accessed 30 August 2005).

Anda mungkin juga menyukai