Anda di halaman 1dari 23

LABORATORIUM FARMASEUTIKA

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN PRAKTIKUM
DISOLUSI OBAT

OLEH :
NAMA

: M. ALFIAN PARTANG

NIM

: N11107010

KELOMPOK : I
ASISTEN

: ST. MARFIAH

MAKASSAR
2008

BAB I
PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari

bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif
sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung
dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus
memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawasenyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan
absorpsi

yang

tidak

sempurna,

atau

tidak

menentu

sehingga

menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang


ditingkatkan

dari

senyawa-senyawa

ini

mungkin

dicapai

dengan

menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester
dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Melihat pentingnya pengetahuan tentang disolusi, khususnya
dalam pembuatan sediaan maka diadakanlah percobaan ini.

I.2

Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan


Mengetahui dan memahami cara penentuan dari konstanta laju
disolusi distribusi suatu obat.

I.2.2 Tujuan Percobaan


Menentukan konstanta kecepatan disolusi tablet amoksisilin dengan
menggunakan air suling sebagai medium disolusi dengan menggunakan
alat disolusi.

I.3

Prinsip Percobaan
Penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin 500

mg berdasarkan kadar amoksisilin yang terdisolusi dalam medium air


suling menggunakan alat disolusi dan penentuan kadarnya dengan
menggunakan titrasi alkalimetri dengan penambahan indikator fenolftalen
yang dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,0731N hingga terjadi
perubahan warna dari bening menjadi merah muda pada menit ke 5, 10
dan 15.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Teori Umum
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari

bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif
sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung
dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah
bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep. (1)
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan
dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang
diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat
diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan

pada suatu

tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu


obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. (2)
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam
saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini
mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi,

deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan


melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.(3)
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan
mengalami dua langkah berturut-turut: (4)
1.

Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal

yang tetap atau film disekitar partikel


2.

Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua,


difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Lapisan film (h) dgn


konsentrasi = Cs
Kristal
Massa larutan dengan
konsentrasi = Ct
Difusi layer model (theori film)
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekulmolekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan
menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus
permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan
difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan
yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi

terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi,


molekul-molekul tersebut diganti dengan obat

yang dilarutkan dari

permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut. (3)


Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat,
atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh
seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada
kesanggupannya menembus menembus pembatas membran. Tetapi, jika
laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena
karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam
proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa
diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak
diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa
obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus. (3)
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun
sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di
bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji
ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas
bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk

itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir
seluruh produk tablet (3).

II.2 Uraian Bahan

1. Ampisilin (5;90)

II.3

Nama Resmi

: Ampicillinum

Sinonim

: Ampisilin

RM / BM

: C16H19N3O4S / 349,41

Rumus Bangun

H
O

H
C

Pemerian

COOH
CH3

N
CONH

H
H
NH2
: Serbuk hablur renik; putih; tidak berbau
atau hampir tidak berbau; rasa pahit.

Kelarutan

: Larut dalam 170 bagian air; praktis tidak


larut dalam etanol (95 %) P, dalam
kloroform P, dalam eter P, dalam aseton
P dan dalam minyak lemak.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Khasiat

: Antibiotikum

Kegunaan

: Sebagai sampel

2. NaOH (5;412)
Nama Resmi

: Natrii Hydoxydum

Sinonim

: Natrium hidroksida

RM / BM

: NaOH / 40,00

Pemerian

: Bentuk batang, butiran, masa hablur


atau keeping, kering, keras, rapuh dan
menunjukkan susunan hablur; putih,
mudah leleh basah. Sangat alkalis dan
korosif.

Segera

menyerap

karbondioksida.
Kelarutan

: SangatO mudah larut dalam air dan


dalam etanol
O (95 %) P.

Penyimpanan
Khasiat

OH
: Dalam wadah tertutup baik
OH
: Zat tambahan

CH3

Prosedur Kerja
1. Bak mantel yaitu tempat labu disolusi dimasukkan, diisi dengan air
suling (kalau digunakan air ledeng akan terjadi pengapuran pada
alat pemanas elemen).
2. Stel pada suhu 37C kurang lebih 0,5C, alat di on-kan (hubungkan
dengan sumber PLN) melalui stabilizer agar alat tidak mudah
rusak.
3. Isi labu disolusi dengan media disolusi. Kalau suhu media
dimasukkan dengan suhu kamar maka akan memerlukan waktu
yang lama untuk mencapai 37C. Volume larutan disolusi adalah
900 ml (lazimnya).
4. Bila suhu dalam labu disolusi sudah mencapai 37C (konstan),
tablet amoksisilin dimasukkan dalam keranjang (basket dari kawat
platina).
5. Pada saat dimasukkan, di on-kan pengaduk dengan kecepatan 100
rpm. Kecepatan 100 rpm adalah kecepatan yang lazim digunakan.
6. Catat waktu pada saat basket yang berisi tablet dimasukkan dalam
labu disolusi.
7. Pada menit ke 5, 10 dan 15,diambil media disolusi sebanyak 10 ml
dengan pipet volume dan media disolusi dicukupkan lagi hingga
900 ml dengan aquadest tiap setelah pengambilan sampel.
8. Titrasi hasil pengambilan sampel dengan metode alkalimetri
menggunakan indicator fenolftalein
9. Catat volume titran pada saat terjadi titik akhir titrasi yang ditandai
dengan perubahan warna larutan dari tidak berwarna menjadi
merah muda.

BAB III
METODE KERJA
III.1

Alat dan bahan

III.1.1 Alat percobaan

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah Alat Collapse


Tester, Erlenmeyer 200 ml, Gelas piala, Gelas ukur, Statif dan klem, Buret,
Pipet volume 10 ml, Lap kasar, Lap halus, Termometer
III.1.2 Bahan percobaan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah air
suling, indikator fenolftalein, amoksisilin dan tisu roll.
III.2 Cara Kerja
1. Bak disolusi diisi dengan aquadest hingga nya.
2. Suhu diatur 37C.
3. Alat diaktifkan (on/off suhu)
4. Panaskan 900 ml aquadest sampai suhu 37C.
5. Air dimasukkan ke dalam labu disolusi.
6. Sampel dimasukkan ke dalam keranjang.
7. Alatnya dinyalakan (on/off kecepatan).
8. Batang pengaduk mulai bergerak, mulai dihitung waktunya.
9. Digunakan beberapa waktu : menit ke-5, 15, 25, 35, 45.
10. Sampel dipipet 10 ml dengan pipet volume, dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer
11. Dihitung kadarnya dengan NaOH yang sebelumnya ditambah PP.
12. Titrasi dilakukan duplo.
13. Setelah dipipet, dicukupkan isi buret dicukupkan lagi dengan
NaOH.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

IV.1 Tabel Data


Menit
5
10
15

V1
0,1 ml
0,2 ml
0,2 ml

IV.2 Perhitungan
1. Kadar
% K1

Vtitrasi X N X BE

100%

Vsampel
=

0,1ml x 0,0713N x 419,45

100%

100%

100%

10

% K2

29,9%

0,2ml x 0,0713N x 419,45


10

% K3

59,81%

0,2ml x 0,0713N x 419,45


10

=
%K rata-rata =

59,81%
29,9% + 59,81% + 59,81%
3

149,52%
3

49,84%

% K1X 900 ml

2. Bobot Zat aktif


W1

29,9% X 900 ml

26910
100

W2

269,1 mg

% K2 X 900 ml

59,81% X 900 ml

53829
100

W3

538,29 mg

% K3X 900 ml

59,81% X 900 ml

53829
100

538,29 mg

W X 100%

3. % Kelarutan
% Kelarutan

Wo
% K1

269,1 X 100%
500

53,82 %

Wo = Bobot etiket

% K2

538,29 X 100%
500

% K3

107,658 %

538,29 X 100%
500

107,658 %

4. Perhitungan Regresi
t
5
10
15

W n - Wa
-230,9
38,29
38,29

Log ( Wn - Wa ) (y)
2,36
1,58
1,58

Y Reg
9,2
18,4
27,6

Persamaan wagner :
Log ( Wn Wa ) = log Wa -

2,303
a = 2,62
b = -0,078
Jadi

Y = a + bx
Y = 2,62 0,078 x
b =

k
2,303

-0,078 =

- k

k= konstanta kec. disolusi

2,303
k =
=

2,303 x 0,078
0,1796

IV.3 Reaksi
H
H
C

CONH
H

(% kelarutan)

COONa

CH3
S

CONH

a. Grafik sebelum regresi H


NH2

CH3

+ NaOH

H
C

CH3

NH2

IV.4 Grafik

COOH

CH3

+ H2O

Grafik Hub. Waktu Dengan % Kelarutan


70
60
50
40
30
20
10
0
0

10

15

40
x (t)

50

60

70

b. Grafik hubungan Waktu dengan log (Wn Wa)

BAB V
PEMBAHASAN

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari


bentuk

sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif

sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap
ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus
memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawasenyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi
yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon
terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawasenyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang
larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau
kompleksasi.
Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari
sistem biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh.
Oleh karena itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran
molekulnya, pKa dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika
yang harus dipahami untuk mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor
difusi dan disolusi obat.

Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya


terjadi proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke
seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat
tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan
semakin cepat, begitu juga sebaliknya.
Pada percobaan ini ingin ditentukan konstanta kecepatan disolusi
suatu zat. Zat yang akan diukur kecepatan atau laju disolusinya adalah tablet
amoksisilin yang melarut ke dalam media disolusi, dimana medium disolusi
yang digunakan adalah air suling. Kemudian ditentukan kadarnya dengan
menggunakan titrasi alkalimetri dimana titran yang digunakan adalah NaOH
dengan penambahan indikator fenolftalein.
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan kemudian diabsorbsi dalam
tubuh dan dikontrol oleh sifat fisika, kimia obat dan bentuk obat yang
diberikan dan juga fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan
dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, pKa dan ikatan protein adalah
faktor-faktor fisika dan kimia yang harus dipahami untuk mendesain
pemberian yang menunjukkan suatu karakteristik terkontrol. Lepasnya suatu
obat dari sistem pemberian meliputi faktor disolusi dan difusi.
Proses pelarutan tablet melalui proses disolusi yaitu melarutnya
senyawa aktif dari bentuk sediaannya (padat) ke dalam media pelarut.
Setelah obat dalam larutan, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam
darah dan di bawa ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif

memiliki kecepatan pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga
semakin cepat, begitu pula sebaliknya.
Dalam metode ini digunakan metode alkalimetri karena sampel yang
digunakan dalam hal ini yaitu amoksisilin bersifat asam sehingga dinetralisasi
dengan menggunakan basa (NaOH).
Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi
karena air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh
manusia, jadi obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena
mengingat kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari labu
disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu
gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori
dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi
obat. Adapun suhu yang digunakan, dipertahankan 37 C, dengan maksud
agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia. Hal ini sebagai
pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia. Selain itu alat
disolusi juga diatur kecepatan putarannya sebesar 50 rpm karena ini
diumpamakan sebagai kecepatan gerak peristaltik lambung. .
Pada percobaan ini, mula-mula diisi bak disolusi dengan air
suling hingga volumenya. Kemudian diatur suhunya 37C dan setelah
tercapai suhu tersebut maka dimasukkan air suling yang suhunya 37C ke
dalam labu disolusi dan obat (tablet amoksisilin) dimasukkan dalam
keranjang. Diambil 10 ml pada menit ke 5, 10 dan 15. Setiap pengambilan,

volume air suling dalam labu disolusi dicukupkan 900 ml. Pengambilan
dilakukan dengan pipet volume yang telah diikat dengan kertas saring. Ia
bertujuan untuk mengelakkan molekul-molekul amoksisilin yang tidak larut
turut sama diambil.Kemudian larutan yang diambil tersebut dititrasi dengan
NaOH dan menggunakan indikator fenolftalein. Dari titrasi tersebut, dicatat
volume titrasinya.
Dari hasil perhitungan diperoleh % kelarutan dari amoksisilin,
yaitu: pada t = 5 adalah 17,251 %; pada t = 10 adalah 26,330 %; pada t =
15 adalah 41,764. Dari percobaan dapat diketahui konstanta kecepatan atau
laju disolusi adalah 0,1796.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil
yang diperoleh antara lain :
o Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
o Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet
beberapa ml.
o Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel
menggunakan pipet volume.
o Kekeliruan praktikan dalam menentukan volume titrasi dan titik
akhir titrasi.
o Kekeliruan prosedur penentuan kadar
o Indikator yang digunakan sudah rusak.

o Suhu yang dipakai tidak tepat.


BAB VI
PENUTUP

VI.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa % kelarutan dari amoksisilin,
yaitu: pada t = 5 adalah 17,251 %; pada t = 10 adalah 26,330 %; pada t =
15 adalah 41,764%. Dari percobaan dapat diketahui konstanta kecepatan
atau laju disolusi adalah 0,1796

VI.2 Saran
Perjelas lagi suaranya kak agar praktikan bisa dengarkan
penjelasannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim asisten (2008), Penuntun Praktikum Farmasi Fisika, Fakultas


Farmasi UNHAS, Makassar, 35.
2. Ansel, Howard C., (1985), Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI
Press, Jakarta, 91,92.
3. Martin, A., et.all., (1993), Farmasi Fisika , Edisi III, Bagian II,
Penerbit UI Jakarta, 827.
4. Gennaro, A. R., et all., (1990), Remingtos Pharmaceutical Sciensces
, Edisi 18th, Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.
5. Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 90, 96, 412, 675.

Anda mungkin juga menyukai