Anda di halaman 1dari 8

ANALISA KASUS HUKUM DAN ETIKA

PENJUALAN KAPAL VLCC PERTAMINA

Disusun Oleh :
Hastin Istiqomah Ningtyas

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

PENDAHULUAN
Kejaksaan Agung terus mendalami dugaan korupsi dalam kasus penjualan kapal tanker
VLCC (Very Large Crude Carrier) milik Pertamina. Setelah memeriksa beberapa saksi
termasuk mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, kali ini giliran seorang ahli
yang diperiksa. Ahli tersebut adalah mantan Rektor Institut Teknologi Surabaya, Prof.
Sugiono. Ia dimintai penjelasannya mengenai spesifikasi kapal tanker VLCC, ujar Kepala
Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Thomson Siagian.
Dalam keterangan persnya, Kejaksaan Agung menjelaskan kasus posisi penjualan tanker
yang sempat menghebohkan ini. Thomson menjelaskan direksi Pertamina bersama-sama
komisaris utama Pertamina tanpa persetujuan menteri keuangan terlebih dahulu. Pada tanggal
11 Juni 2004, Pertamina telah melakukan divestasi 2 (dua) tanker VLCC kepada Frontline
dengan harga AS$184 juta. Uniknya, kapal tanker tersebut masih dalam tahap pembangunan
di Hyundai Heavy Industries Ulsan Korea Selatan.
Menurut Thomson, hal tersebut bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
89 Tahun 1991 Pasal 12 ayat (1) dan (2) terkait persetujuan menteri keuangan. Persetujuan
(dari menteri keuangan) tersebut baru terbit tanggal 7 Juli 2004. Kasus ini telah merugikan
keuangan negara sekitar AS$20 juta.
Muslimdaily.net - Pertamina dengan susah payah membeli baru 2 VLCC untuk bangun
ketahanan stok minyak mentah impor dari Rastanura. Di saat kapal sudah jadi dibangun di
Korea, terjadi pergantian direksi PT PERTAMINA dan di hari pelantikan sudah ngomong
akan jual VLCC. Pekerja PT PERTAMINA dalam organisasi FSPPB sudah ingatkan dan ajak
diskusi Dirut AN untuk batalkan penjualannya. tapi Direksi bergeming.
Dirut AN waktu itu dengan lantang katakan kalau sewa VLCC lebih dari USD 23.000 per
hari dia tanggung jawab. Saat itu sewanya USD 21.000 per hari. Karena pertemuan FSPPB
dan Direksi waktu itu panas karena Direksi bersikukuh mau jual VLCC, Pekerja Pertamina
walkout dan rencana demo. Direksi masih coba dekati pentolan FSPPB untuk dapat
memahami penjualan VLCC. Pengurus inti diiming-imingi jabatan pada satu pertemuan.
Pertemuan di sebuah hotel, hadir dirbang, Kadiv SDM, Kadiv Komunikasi Pertamina,
sementara dari FSPPB Ketua Umum dan Sekjen. Saat itu kedua pentolan FSPPB ditawari
jabatan asal dapat memahami penjualan VLCC. Tapi kedua Pengurus tersebut bergeming.
Pertemuan gagal.
Dirut AN dikabari dan marah karena misi tim gagal. Dan perintahkan harus didapat
kesepakatan. Akhirnya salah satu pengurus SP berhasil dirayu. Yang bersangkutan berani
buat statemen terima penjualan VLCC atas nama satu SP anggota FSPPB dan dimuat di
harian Suara Karya di edisi hari Senin. Hari Rabunya, yang bersangkutan dilantik jadi
Manager sebagai hadiah atas upayanya katakan tidak keberatan penjualan VLCC. Itu bentuk
pengkhianatan.

FSPPB tetap menolak meski kapal VLCC sudah dijual. Dengan didukung oleh beberapa
aktivis seperti Drajat Wibowo, FSPPB menentang. Penentangan dengan 2 tujuan, lengserkan
Direksi dan bawa ke ranah hukum. Karena begitu dijual sewa VLCC pernah melonjak jd
USD 75.000 per hari. Dengan perjuangan yang keras, Direksi berhasil dicopot. Meskipun saat
itu perjuangan FSPPB mau diberangus dengan berbagai cara.
Soal korupsi menemui jalan buntu. Karena aparat hukum berpegang kapal VLCC dijual lebih
mahal dari harga beli. Tidak ada kerugian menurut mereka. Tapi aparat hukum lupa, sewa
kapal naik dari USD 21 rb menjadi USD 45 ribu dan malah pernah USD 75 ribu. Masalah
hukum tamat. Konspirasi? Tidak jelas. Padahal deputi perkapalan DW saat itu gemetaran saat
mau kontrak sewa karen harga melejit setelah VLCC dijual. Padahal klu kita punya 2 VLCC
itu, stok crude sangat aman dan harga tidak bisa dipermainkan pr trader. Disinilah permainan
itu dijalankan.
Akhirnya meski Direksi dicopot, para trader dan penyewa kapal duduk ongkang-ongkang
naikkan tarif karena kita tidak punya VLCC. Sebentar lagi kapal VLCC yang kita jual dulu
akan melayani kita dengan sewa yang mereka tentukan tarif. Kapal double hull VLCC jadi
ironi.
Bagaimana dengan nasib si pengkhianat itu? Yang dapat hadiah jadi manager itu? Sejak
tahun 2003 sampai sekarang tetap di jabatan manager. Dikutuk!!. Anak buahnya malah jadi
pejabat yang lebih tinggi. Jadi VP malah SVP. Dia kena kutuk karena jadi pelacur jabatan.
Tuhan tidak tidur.
Kasus penjualan kapal ini seharusnya dibuka kembali oleh Kejagung. Masih banyak saksi
yang dulu dipanggil masih ada di PT PERTAMINA. Rasanya menteri, direktur utama,
direktur keuangan dan direktur pemasaran PT PERTAMINA saat itu perlu diperiksa ulang
karena negara rugi. Jual kapal memang untung dibanding harga beli. Tp sewa kapal yang
berlipat ganda setelah VLCC dijual bukan kerugian?
Semoga Kejagung buka lagi file pemeriksaan tahun 2003. Pekerja PT PERTAMINA yang
ingin menjaga eksistensi perusahaan saat itu dimusuhi. Dengan dibuka kembali perkara
tersebut akan menegakkan keadilan dan kehormatan negara. Uang negara tidak boleh
dipermainkan.
Kini saatnya tabir aib PT PERTAMINA yang menjual VLCC di tahun 2003 dibuka dan
diselesaikan

Merdeka.com - Kapanlagi.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berhasil


membuktikan adanya kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penjualan dua unit kapal
tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) oleh PT Pertamina.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III dan KPK, di Gedung DPR, Jakarta,
Senin (22/1), Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan, kerugian negara itu belum
dapat dibuktikan karena belum diperoleh harga pasar atau pembanding yang wajar dari kapal
Tanker VLCC.
KPK, lanjut dia, sudah mendapatkan informasi yang menyebutkan Hyundai Heavy Industries
(HHI) pada 2004 telah melakukan kontrak pembangunan kapal tanker VLCC untuk
penyerahan tahun 2007 senilai us$105 juta.
"Masalahnya, VLCC tersebut belum dapat dipastikan adalah barang yang sama dengan
VLCC milik Pertamina, sehingga tidak dapat langsung dibandingkan," ujar Ruki.
Selain belum bisa membuktikan kerugian negara, Ruki mengatakan, KPK juga belum dapat
membuktikan adanya unsur memperkaya diri sendiri dalam kasus penjualan tanker tersebut.
"Memperkaya atau menguntungkan diri sendiri belum dapat dibuktikan karena sampai
sekarang belum diperoleh informasi tentang adanya kickback'," jelasnya.
Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Pertamina
telah melakukan monopoli dalam penjualan dua unit tanker VLCC, menurut Ruki, juga
belum membantu KPK untuk menemukan kerugian negara dan unsur korupsi dalam kasus
itu.
"Putusan MA dalam pertimbangannya tentang kasus penjualan VLCC tidak membahas secara
nyata besarnya kerugian negara yang terjadi," katanya.
Kasus dugaan korupsi penjualan tanker VLCC oleh PT Pertamina telah diselidiki KPK sejak
2004, namun sampai saat ini kasus itu belum juga ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Dari hasil penyelidikan sementara berdasarkan keterangan 26 orang, yang terdiri atas 22
orang dari PT Pertamina dan empat orang luar Pertamina, KPK baru menemukan bahwa
Direksi PT Pertamina telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran tertanggal 11 November
2003 bahwa pelepasan aset PT Pertamina harus seijin Menteri Keuangan.
Selain itu, KPK juga menemukan bahwa Direksi PT Pertamina telah menunjuk langsung
Goldman Sachs sebagai penasehat keuangan dan perencana penjualan dua unit kapal tanker
VLCC tanpa proses tender atau pelelangan.
Direksi PT Pertamina, menurut KPK, telah mengabaikan konflik kepentingan antara
Goldman Sachs, dan pembeli tanker, Frontline, karena Goldman Sachs ternyata memiliki
saham di Frontline.
Penawaran dari Frontline itu juga dilakukan secara tertutup dan diterima oleh Pertamina tidak
di hadapan notaris.
Ruki mengatakan, KPK untuk mengembangkan penyelidikan juga menemui hambatan untuk
memanggil pihak-pihak yang terlibat, seperti Goldman Sachs, Frontline dan HHI yang
berlokasi di luar negeri.
Atas penjelasan KPK itu, beberapa anggota Komisi III menyatakan ketidakpuasannya.

Anggota Komisi III, Gayus Lumbun, yang juga Wakil Ketua Pansus DPR tentang kasus
VLCC Pertamina, bahkan menuduh KPK telah mengalami intervensi dalam penanganan
kasus tersebut.
Menurut Gayus, Pansus DPR secara jelas telah menemukan adanya kerugian negara dalam
kasus penjulan dua unit kapal tanker VLCC itu karena adanya kekurangan uang yang belum
dibayar oleh Frontline sebesar US$13 juta.
"Kerugian negara dari itu saja sudah bisa diketahui. Ini jelas KPK sudah kemasukan sesuatu
dalam menangani kasus ini," ujarnya.
Anggota Komisi III lain, Nursyahbani Katjasungkana, menilai KPK terlalu melihat kasus
dugaan korupsi di Pertamina secara sepotong-sepotong. Padahal, lanjut dia, Pertamina adalah
BUMN yang sangat strategis untuk dijadikan target pemberantasan korupsi.
"KPK tidak melihat bahwa banyak kasus di Pertamina yang menyangkut hajat hidup orang
banyak," ujarnya.
Menanggapi sikap Komisi III itu, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak
Hatorangan Panggabean, meminta hasil pansus DPR soal kasus penjualan dua unit kapal
tanker VLCC untuk dipelajari dan menjadi bahan masukan bagi KPK.
Pada November 2002, PT Pertamina (Persero), yang saat itu dipimpin Baihaki Hakim,
memesan dua unit VLCC dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea Selatan seharga 65
juta dolar AS per unit.
Namun, dengan alasan kesulitan likuiditas, direksi baru Pertamina di bawah pimpinan Arifin
Nawawi melepas dua kapal itu seharga US$184 juta pada April 2004.
KPPU pada Maret 2005, memutuskan PT Pertamina (Persero) melanggar sejumlah pasal
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat dalam penjualan dua unit VLCC.
KPPU memutuskan, harga jual itu jauh lebih rendah dari harga pasar yang saat itu (Juli 2005)
seharga US$102 juta - US$110 juta per unit atau US$204 juta - US$240 juta untuk dua kapal.
Akibatnya negara kehilangan dana sebesar US$20 juta - US$50 juta atau sekitar Rp180-504
miliar.
Namun Pertamina mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan
KPPU itu. Keberatan itu diterima oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menyatakan
tender pelepasan dua kapal itu telah sesuai ketentuan. Lantas, KPPU mengajukan kasasi ke
MA.
Pada 29 November 2005, MA memenangkan KPPU dalam sengketa perdata kasus itu dengan
Pertamina. (*/bun)

LANDASAN TEORI

A.
B.
C.
D.
E.

X
X
X
X

ANALISIS KASUS
Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Pertamina telah
melakukan monopoli dalam penjualan dua unit tanker VLCC
Direksi PT Pertamina telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran tertanggal 11 November 2003 bahwa
pelepasan aset PT Pertamina harus seijin Menteri Keuangan.

Direksi PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs sebagai penasehat


keuangan dan perencana penjualan dua unit kapal tanker VLCC tanpa proses tender atau
pelelangan.
Direksi PT Pertamina, menurut KPK, telah mengabaikan konflik kepentingan antara
Goldman Sachs, dan pembeli tanker, Frontline, karena Goldman Sachs ternyata memiliki
saham di Frontline.
Penawaran dari Frontline itu juga dilakukan secara tertutup dan diterima oleh
Pertamina tidak di hadapan notaris.
KPPU pada Maret 2005, memutuskan PT Pertamina (Persero) melanggar sejumlah pasal
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat dalam penjualan dua unit VLCC.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991 Pasal 12 ayat (1) dan (2) terkait
persetujuan menteri keuangan. Persetujuan (dari menteri keuangan) tersebut baru terbit
tanggal 7 Juli 2004. Kasus ini telah merugikan keuangan negara sekitar AS$20 juta.
Menurut Gayus, Pansus DPR secara jelas telah menemukan adanya kerugian negara dalam
kasus penjulan dua unit kapal tanker VLCC itu karena adanya kekurangan uang yang belum
dibayar oleh Frontline sebesar US$13 juta.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai