PENDAHULUAN
Susunan saraf otonom adalah bagian susunan saraf yang mengurus perasaan visceral
dan semua gerakan involuntary reflektorik, seperti vasodilatasi-vasokontriksi, bronkodilatasibronkokontriksi, peristaltik, berkeringat, merinding, dan seterusnya.Sebagai bagian yang
terintegrasi pada susunan saraf, maka susunan saraf otonom mempunyai lintasan-lintasan
desendens dan asendens.Ia terdiri dari dari bagian pusat dan tepi. Ia terintegrasi dalam
mekanisme fungsi luhur, yang menentukan kehidupan emosional. Bahkan manifestasi
aktifitas susunan saraf otonom sebagian besar terkait pada perangkai emosional.Sekresi air
mata timbul pada waktu seseorang terharu karena senang atau sedih.Berkeringat banyak
timbul pada waktu seseorang tegang dan takut.Seseorang yang gelisah dan tegang sering
kencing bahkan buang air besar.
Walaupun manifestasi susunan saraf otonom terjadi diluar kemauan, pengaruh
korteksserebri memberikan pengarahan secara reflektorik, mekanisme neuronal pengaruh
serebral ini dilaksanakan oleh neuron-neuron yang menghubungkan daerah-daerah
korteksserebri tertentu dengan hipotalamus. Impuls pengarahan tersebut, kemudian
dipancarkan ke perifer melalui saraf otak dan saraf spinal. Sebagian dari impuls hipotalamus
disalurkan ke hipofisis dan ini merupakan input bagi lintasan neuroendokrinhipotalamushipofisis-gonada.
Sistem saraf otonom berperan untuk suplai persarafan organ internal, pembuluh darah,
kelenjar keringat, kelenjar saliva, dan kelenjar lakrimalis. Disebut otonom karena
fungsinya sebagian besar tidak bergantung pada kesadaran; selain itu sistem saraf otonom
juga (lebih jarang) disebut sistem saraf vegetatif. Lengan aferennya di perifer terdiri dari dua
bagian yang secara anatomi dan fungsional berbeda, sistem saraf simpatis dan parasimpatis,
yang umumnya memiliki efek antagonistik satu dengan yang lainnya. Serabut eferen kedua
system terutama mempersarafi otot polos visera, pembuluh darah, dan kelenjar dan dengan
demikian sering disebut dengan serabut eferen visceral (viseromotor) untuk membedakannya
dari serabut aferen visceral sensorik.Serabut aferen visceral sensorik, tidak terbagi menjadi
dua sistem.
BAB II
2.1 Anatomi
Sususan saraf otonom dibagi dalam bagian pusat dan tepi. Bagian pusatnya mencakup
susunan limbik, hipotalamus dan jaras-jarasnya yang menghubungi kolumna intermedio
lateralis medulae spinalis. Bagian tepinya terdiri dari sepasang rantai neuron-neuron yang
dikenal sebagai ganglion paravertebrale serta juluran aferen dan eferen mereka yang
bersambung dengan neuron-neuron yang berada di organ torakal abdominal dan pelvik. Baik
secara anatomik maupun secara fisiologik susunal saraf otonom dapat dibedakan dalam
komponen simpatetik dan parasimpatetik.2
Bagian pusat saraf otonom terdiri dari korteks limbik, hipotalamus dan hipofisis. Yang
berperan sebagai pusat diantara ketiga bangunan itu adalah hipotalamus. Sebagai pusat
reseptif, hipotalamus menerima impuls-impuls dari korteks limbik yang mengelilingi korpus
kalosum. Sebagai pusat eksekutif hipotalamus membagi-bagikan aktivitasnya ke susunan
saraf autonom perifer, dan mengelola fungsi hipofisis. Melalui pengelolaan vaskularisasi pars
anterior dan media glandula hipofisis, hipotalamus mempengaruhi fungsi hormonal tubuh.
Melalui neurosekresinya fungsi neurohipofisis yang mengatur absorpsi air di tubulus distal
dari nefron ditingkatkan.1,2
2.2.2
Hipotalamus
2.3.2
Kebalikan dengan sistem saraf simpatis, sitem saraf parasimpatis tidak mencetuskan
respons sitemik apapun, tetapi justru menimbulkan efek secara individual pada daerah yang
terbatas, karena neuron postganglioner terletak di dekat organ target. Selain itu, asetilkolin
yang dilepaskan sebagai neurotransmitter pada ujung saraf parasimpatis cepat terurai oleh
kolinesterase sehinga efeknya relative singkat. Bagian parasimpatis disebut juga bagian
kraniosakral dari susunan saraf otonom karena serabut preganglionernya yang panjang
berindung pada neuron dalam batang otak dan bagian sacral medulla spinalis. Bagian cranial
serabut preganglioner parasimpatis berasal dari inti di dekat inti nervusokulomotrius, fasialis,
glossofaringeus, dan vagus. Yang paling banyak mengandung serabut preganglioner
parasimpatis ialah nervusvagus.Serabut ini berakhir pada ganglion intramural dan ganglion
postganglioner.
Persarafan parasimpatis kepala sistem parasimpatis tersusun dari badan sel neuron
preganglioner yang terletak diberbagai nucleus batang otak, dan aksonnya terdapat di nervus
kranialis III, VII, IX, dan X. serabut preganglioner berjalan ke beberapa ganglia yang terdekat
dengan organ tujuannya masing-masing (ganglion siliare,ganglion pterigopala-tinum,
ganglion submandibulare, dan ganglion otikum). Ganglion tersebut merupakan stasiun relay
tempat serabut preganglioner membentuk sinaps dengan neuron kedua (postganglionik).
Serabut postganglionic simpatis di kepala pendek karena serabut hanya memiliki jarak
tempuh yang pendek sebelum mencapai organ target. Seperti serabut psotganglionik simpatis,
serabut ini mempersarafi otot-otot polos, kelenjar keringat, dan kelenjar lakrimal, dan
kelenjar saliva.Otot-otot polos dinding pembuluh darah tidak memiliki persarafan
parasimpatis.
Persarafan parasimpatis organ toraks dan abdomen tersusun dari nervus vagus yang
berasal dari nucleus dorsalisnervivagi dan membawa serabut preganglionik untuk
mempersarafi otot jantung, paru, dan viseral abdomen hinggake sepertiga distal
kolontransversum. Neuron postganglioner ditemukan di pleksusautonomikus yang terletak
tepat di dekan organ targetnya, atau didalam dinding usus (pleksusmienterikus Auerbach,
pleksus submukosus Meissner)
Bagian sakral sistem parasimpatis menpersarafi organ pelvis dan genitalia. Impuls
dibawa ke dalam nervi splankhnicipelvici dan pleksus hipogastrikus (pelvikus) inferior dan
superior ke ganglion di dinding otot kolon (dari sepertiga distal kolontransversum ke bawah),
rectum, kandung kemih, dan genitalia. Di area pelvis, sistem saraf parasimpatis bertugas
untuk mengososngkan rectum dan kandung kemih.Sistem ini juga menimbulkan ereksi penis,
sedangkan serabut simpatis berperan untuk ejakulasi, yang terjadi melalui kontraksi duktus
deferens dan vesikulaseminalis.
2.3Etiologi
Penyebab gangguan sistem saraf otonom beragam mulai dari gangguan struktur,
gangguan herediter dan degeneratif, gangguan metabolik dan nutrisi, infeksi, neurovaskular,
neoplasma, demielinasi, inflamasi dan autoimun, traumatik,dll.
Etiological Category
Structural Disorders
Selected Etiologies
Arnold-Chiari malformation
Syringomyelia
Normal pressure hydrocephalus
Multiple system atrophy
Riley-Day syndrome
Pure autonomic failure
Amyloidosis
Diabetes
Wernicke's encephalopathy/thiamine
deficiency
Poliomyelitis
Fatal familial insomnia
HIV-associated neuropathy
HIV-related Guillain-Barr syndrome
Vertebrobasilar ischemia
Brain stem glioma
simpatik pada mata akan membuat pupil kontriksi (miosis), kelopak mata yang jatuh (ptosis)
dan tidak adanya produksi keringat di sekitar mata (anhydrosis) yang dikenal sebagai triad
sign dari Horner Syndrome7.
Kerusakan global pada sistem saraf otonom dapat terjadi karena degenerasi dari
neuron pusat terisolasi maupun penyebaran luas dari proses degenaratif, contohnya multisystem atrophy (MSA) dimana adanya sel yang hilang pada ganglia basal dan cerebellum.
Kerusakan otonom dapat disebabkan oleh hilangnya neuron perifer, contohnya diabetes
melitus, alkoholisme dan Guillain-barre Syndrome7.
Gangguan utama yang dapat timbul jika ada gangguan saraf otonom :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
jantung tekanan darah, dilatasi pupil, vasokontriksi capillary beds, vasodilatasi di otot rangka,
dan ekspresi ketakutan atau kemarahan.
Sistem saraf simpatis, sebaliknya diregulasi oleh bagia paraventrikularis dan anterior
atau lateralis hipotalami. Stimulasi are-area tersebut mencetuskan penurunan frekuensi
jantung dan tekanan darah serta kontriksi pupil. Stimulasi area parasimpatis posterior
meningkatkan aliran darah ke kandung kemih dan mengurangi aliran darah ke otot rangka.
2.4.3 Gangguan regulasi keseimbangan cairan
Osmoreseptor hipotalamik terletak di nucleus supraotikus dan mukleus paraventri
kularis. Nucleus tersebut terstimulasi oleh dehidrasi intraselular, dengan peningkatan
konsentrasi natrium intra selular, atau dehidrasi extraseluler, peningkatan konsentrasi
angiontensin II di darah kapiler hipotalamik, stimulasi tersebut mengakibatkan sekresi ADH
(hormon antidiuretic, vasopressin). Sebaliknya, peningkatan volume intravakular
mensimulasi reseptor volume perifer, akhirnya menimbulkan inhibisi sekresi ADH.
Jika 90% atau lebih neuron nucleus supraoptikus dan nukleus paraventrikulasi rusak
atau mengalami disfungsional (misalnya, oleh proses granulomatosa, lesi vascular, trauma,
atau infeksi), lalu ADH tidak lagi dapat disekresikan dan mengakibatkan diabetes insipidus,
yang secara klinis bermanifestasi sebagai rasa haus berlebihan, polyuria, dan polidipsi.
Diagnosis di tegakkan berdasarkan adanya polyuria hipo-omolar, yaitu eskresi setidaknya 3
liter urin per hari, engan osmolalitas antar 50 dan 150 mosm/1. Subtitusi ADH merupakan
terapi pilihan. Juka osmolalitas urin tidak dapat meningkat lebih dari 50% setelah
pemberianADH 5 IU, dengan demikian pasien mengalami diabetes insipidus renal (respons
ginjal yang tidak adekuat terhadap ADH di sirkulasi); pada kasus ini
2.4.4 Gangguan hormonal : gangguan aksis hipotalamus-hipofisis
Fungsi endokrin hipofisis dapat terganggu oleh tumor yang menyekresikan hormone
(misalnya adenoma hipofisis ) atau oleh kerusakan jaringan hipofisis oleh tumor yang tidak
menyekresikan hormon.
2.4.5 Sindrom horner
Lesi yang mengenai pusat siliospinal, rantai simpatis servikal (ganglion
servikotorasikum) atau pleksus otonomik di sepanjang pembuluh darah kepala dan leher
menimbulkan sindrom Horner ipsilateral. Sindrom ini terdiri dari trias klinis yaitu konstriksi
pupil/miosis (akibatnya hilangnya kontraksi muskulus tarsalis), dan bola mata yang
tenggelam ke dalam/enoftalamus (akibat hilangnya kontraksi muskulus orbitalis. Selain itu
juga terdapat hilangnya kemampuan berkeringat (anhidrosis) dan vasodilatasi (akibat
hilangnya efek vasokonstriktif saraf simpatis) pada separuh wajah ipsilateral, yang dengan
demikian tampak kering dan memerah. Penyebab sindrom horner, gangguan jaras simpatis .
2.4.6 Vasodilatasi akibat disfungsi simpatis
Vasodilatasi yang terjadi akibat lesi simpatis dapat dilakuka secara terapeutik:
simpatektomi kadang-kadang dilakukan untuk meningkatkan aliran darah regional, seperti
pada penyakit Raynaud.
Vasodilatasi akibat lesi simpatis juga terjadi setelah gangguan nervus splankhnikus,
yang menyebabkan peningkatan volume intravaskuler dalam jumlah bear di pembuluh darah
usus, yaitu untuk mengumpulkan darah di area plankhnik, dengan risiko perdarahan internal.
2.4.7 Disfungsi kandung kemih
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi akibat lesi anatomis/structural kandung kemih
atau urethra (disfungsi kandung kemih akibat penyebab urologis: tumor vesika obstruksi
infravesikal oleh striktur uretra atau hipertrofi prostat), atau dapat disebabkan oleh lesi
struktur saraf yang mempersarafi kandung kemih (disfungsi kandung kemih neurogenic).
Lesi neural yang menyebabkannya dapat terjadi di jaras saraf perifer, pleksus otonom,
medulla spinalis, atau pusat yang lebih tinggi.
Gangguan mekanisme control supraspinal sering meyebabkan disfungsi kandung
kemih pada pasien denga multipel sclerosis, misalnya gangguan interaksi antara pust
mikturisi pons dan lainnya, pusat yang lebih tinggi yang memodulasinya berperan penting
pada jenis disfungsi kandung kemih neurogenic yang terjadi pada penyakit
neurodegenerative, termaksud penyakit Parkinson.Manifestasi khas disfungsi kandung kemih
neurogenic meliputi frekuensi dan urgensi mikturisi, ikontinensia pengosongan kandung
kemih yang sulit dan tidak lampias, dan infeksi saluran kemu berulang.
tinggi mengenai status pengisian rectum sedangkan gangguan pada serabut motoric
desendenss menganggu penekanan abdomen volunter.
Lesi medulla spinalis sacral (S2-S4) menghilangkan reflex anal dan menimbulkan
inkontinensia alvi. Jika feses cair, terjadi pengeluaran fese secara involunter.
2.4.9 Disfungsi genitalia
Transeksi medulla spinalis pada level torakal menyebabkan impotensi. Refleks pria
psimus dapat timbul dan kadang-kadang ejakulasi juga dapat terjadi. Paraplegia dilaporkan
berkaitan dengan atrofi testis. Lesi pada medulla spinalis sacral dari S2 hingga S4 juga
menyebabkan impotensi. Pada kasus tersebut, tidak dapat terjadi ereksi maupun ejakulasi.
2.5 Diagnosis3,6,9
1. Anamnesis
Menanyakan riwayat dari pasien sangat penting. Pasien harus ditanyakan mengenai
fungsi-fungsi yang berkaitan dengan fungsi simpatik dan parasimpatik. Riwayat
penyakit hormonal, riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat trauma, dan kondisi lain
yang perlu ditanyakan.
2. Pemeriksaan fisik dan neurologis
- Kulit
: nilai fungsi kelenjar keringat jika ada gangguan, apakah pola suhu
dan warna kulit simetris, gangguan persepsi nyeri seperti allodinia dan
hyperalgesia, dan perubahan vasomotor pada akral seperti : pucat, eritema,
-
berdiri.
Bladder
inisiasi atau interupsi pada saat berkemih dan integrasi dari bladder dan sensasi
-
perianal.
Kelenjar lakrimal : berkurang atau tidak adanya produksi air mata. Dengan
Neuroimaging : MRI
Elektrofisiologi
Analisis cairan dan jaringan tubuh
Analisis cairan cerebrospinal
Evaluasi inervasi Vagal jantung
1. Respon denyut jantung terhadap napas yang dalam
2. Respon renyut jantung terhadap valsalva Manuever
3. Respon renyut jantung terhadap perubahan posisi tubuh
Kadar katekolamin plasma
Evaluasi inervasi simpatik kolinergik (sudomotor)
Tes termoregulatori/ tes perspirasi
Tes reflex axon sudomotor kuantitatif
2.7Terapi33,6,10
1. Hipotensiortostatik
Tujuan umum terapi adalah untuk menangani hipotensiortostatik, terapi
hipotensiortostatik membutuhkan edukasi untuk menghindari faktor penurunan
tekanan darah.Pasien harus sadar mengenai efek dari obat tertentu, makan dalam
jumlah besar, peningkatan suhu lingkungan, dan aktivitas fisik. Untuk menangani
hipotensiortostatik dapat dilakukan dengan maneuver dan farmokologi. Pasien
baring dengan elevasi 15 hingga 30 cm untuk menghindari hipotensi supine dan
mengurangi nocturnal natriuresis dan deplesi volume.
Untuk terapi farmakologis, fludrocortison adalah obat yang palin sering
digunakan denan dosis awal 0.1 mg per oral empat kali sehari; dosis ditingkatkan
perlahan 0.1 mg dalam interval 1-2 minggu, beberapa pasien membutuhkan 0.4
mg. efek samping termasuk expansi volume, gagal jantung kongestif, hipertensi
supine, hipokalemia.
Terapi lain menggunakan simpatomimetikvasocontricting agent. Indirect
simpatomimetik, seperti ephedrine dan methylpenidate.Agonis alfa direct seperti
phenylephrine dan phenylpropanoalamine dan midodrine.
Dihydroxynylserine, sintetik asam amino digunakan untuk pasien dengan
defisiensi dopamine beta hydroxylase bawaan.Recombinanepoietin alfa (25-75/kg
subkutan dua sampai tiga kali per minggu) untuk terapi anemia ringan pada
hipotensiortostatik, ergotamine tartrate, dihydroergotamine, monoamine oxidase
inhibitor, yohimbine, dan NSAID juag dapat digunakan.
2. Neurogenic bladder
- Pasien dengan hiperreflex detrusor tanpa obstruksi diterapi dengan
antikolinergik seperti oxybuntin, tolterodine, propantheline, atau
dyclomine
BAB III
KESIMPULAN
Sistem saraf otonom berperan untuk suplai persarafan organ internal, pembuluh darah,
kelenjar keringat, kelenjar saliva, dan kelenjar lakrimalis.Disebut otonom karena fungsinya
sebagian besar tidak bergantung pada kesadaran; selain itu sistem saraf otonom juga (lebih
jarang) disebut sistem saraf vegetatif.Lengan aferennya di perifer terdiri dari dua bagian yang
secara anatomi dan fungsional berbeda, sistem saraf simpatis dan parasimpatis.Kerusakan
sistem saraf otonom pada struktur anatomi lokal atau umum disebabkan oleh penyakit perifer
ataupun central.Lesi focal perifer jarang ditemukan dan defisiensi yang dihasilkan dari lesi ini
dengan mudah dapat dideteksi.Contohnya , kehilangan fungsi inervasi simpatik pada mata
akan membuat pupil kontriksi (miosis), kelopak mata yang jatuh (ptosis) dan tidak adanya
produksi keringat di sekitar mata (anhydrosis) yang dikenal sebagai triad sign dari Horner
Syndrome.
Manifestasi klinis gangguan system saraf otonom antara lain gangguan regulasi suhu,
gangguan regulasi frekuensi jantung dan tekanan darah, gangguan regulasi keseimbangan
cairan, gangguan hormonal : gangguan aksishipotalamus-hipofisis, sindrom horner,
vasodilatasi akibat disfungsi simpatis, disfungsi kandung kemih, gangguan pengosongan
rectum dan disfungsi genitalia.