Anda di halaman 1dari 83

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA


(Pterocarpus indicus Will)

DELFY LENSARI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP


KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA
(Pterocarpus indicus Will)

DELFY LENSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

Delfy Lensari (E14204024) Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap


Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will). Dibawah
bimbingan Dr. Ir. Supriyanto.
RINGKASAN
Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pembiakan Angsana adalah daya
berkecambah benih yang rendah. Hal ini disebabkan oleh benih Angsana memiliki sifat
dormansi kulit benih yang keras. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan perlakuan
pematahan dormansi untuk menghilangkan faktor penghambat perkecambahan dan
mengaktifkan kembali sel-sel benih yang dorman. Bahan yang digunakan dalam
pematahan dormansi ini diantaranya H2SO4 1%, KNO3 1%, dan air hasil fermentasi
rebung bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui

pengaruh

perlakuan

pematahan

dormansi

terhadap

kemampuan

perkecambahan benih Angsana (Pterocarpus indicus Will).


Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Silvikultur, Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mulai tanggal 30 Juni sampai 28 Agustus 2008.
Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari benih Angsana, air panas, H2SO4 1%, KNO3
1%, air hasil fermentasi rebung bambu Apus, arang sekam padi, tanah, bak tabur, tabung
perendaman, alat penyiram (gembor/embrat), oven, timbangan analitik, alat tulis, alat
ukur tinggi, kaliper dan kamera.
Rangkaian metode penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu seleksi dan ekstraksi
benih, pengukuran kadar air, perlakuan pematahan dormansi, perkecambahan,
pemeliharaan, pengamatan dan analisis data. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 perlakuan perendaman B0
(perendaman dengan air panas 30 menit kemudian air dingin selama 12 jam), B1
(perendaman dengan air hasil fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam),

B2

(perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit), B3 (perendaman dengan H2SO4 1%


selama 15 menit), B4 (perendaman dengan KNO3 1% selama 12 jam) dan B5
(perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam) . Setiap perendaman terdiri dari 3 ulangan
dan setiap ulangan terdiri dari 100 benih Angsana.
Benih Angsana memiliki kadar air 11,03% sehingga termasuk ke dalam benih
ortodoks. Tipe perkecambahan benih Angsana merupakan perkecambahan tipe epigeal.
Parameter penelitian terdiri dari daya berkecambah benih, nilai perkecambahan,
kecepatan tumbuh, laju perkecambahan, batas 80% berkecambah, tinggi dan diameter
rata-rata bibit sapihan Angsana.

Daya berkecambah tertinggi yaitu pada perlakuan B2 dan B5 (100%), sedangkan


daya berkecambah terendah pada perlakuan B0 (20,33%). Hal ini berarti perlakuan B2
dan B5 mampu mengatasi faktor yang mempengaruhi perkecambahan sehingga benih
Angsana tumbuh dan berkembang menjadi kecambah normal.
Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan berkecambah
benih. Semakin tinggi nilai perkecambahan menunjukkan semakin sempurna

proses

perkecambahan benih. Nilai perkecambahan tertinggi yaitu pada B2 dan B5 (1,13


(%/hari)2 dan 1,05 (%/hari)2), sedangkan nilai perkecambahan terkecil pada perlakuan
B0 (0,40 (%/hari)2). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2 dan B5 mampu
berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal di lapangan.
Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang tumbuh
setiap hari. Kecepatan tumbuh tertinggi pada perlakuan B2 dan B5 (1,41%/hari),
sedangkan kecepatan tumbuh terkecil pada perlakuan B0 (0,77%/hari). Hal ini berarti
perlakuan B2 dan B5 berpengaruh nyata terhadap virgor benih Angsana.
Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang
diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Laju perkecambahan paling cepat
yaitu pada perlakuan B4 (18,47 hari), sedangkan respon laju perkecambahan paling lama
diperoleh pada perlakuan B3 (26,56 hari). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan
B3 memiliki virgor yang rendah.
Batas 80% berkecambah menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana
dengan perlakuan B2 dan B5 mencapai batas 80% berkecambah yang paling cepat (25
hari), sedangkan batas 80% berkecambah yang paling lama yaitu pada perlakuan B3 (36
hari). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 memiliki daya tumbuh atau virgor benih yang
baik.
Tinggi rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B0 (1,33 cm), sedangkan
respon tinggi rata-rata bibit sapihan terbesar pada perlakuan B2 dan B5 (1,53 cm).
Respon diameter rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B1 (0,48 mm),
sedangkan respon diameter bibit sapihan terbesar pada perlakuan B5 (1,10 mm). Hal ini
berarti perlakuan B2 dan B5 mempengaruhi pertumbuhan awal bibit Angsana.
Perlakuan pematahan dormansi dengan perendaman H2SO4 1% selama 10 menit
dan KNO3 1% selama 24 jam mampu mengatasi permasalahan perkecambahan benih
Angsana yang memiliki dormansi embrio dan kulit dengan menghasilkan daya berkecambah
masing-masing sebesar 100%.

EFFECT OF BREAKING DORMANCY TO GERMINATION


CAPACITY OF
ANGSANA SEEDS (Pterocarpus indicus Will).
By
Delfy Lensari and Supriyanto
INTRODUCTION. So far, Seedling production of Angsana (Pterocarpus indicus Will)
is done by stem cutting. Seedling propagation by seeds is not done widely, as well as its
silvicultural system is still not known yet. Seed germination percentage is affected
strongly by seed quality (physic, genetic and physiology). The main problem of seed
germination of Angsana seeds is seed coat dormancy; therefore it is important to study
the breaking dormancy techniques of Angsana seeds. The aim of this research was to
study the effects of breaking dormancy treatment to the germination capacity of Angsana
seeds.
MATERIAL AND METHOD. This research was done from 30 June to 28 Agust 2008
at Green House, the Laboratory of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural
University. The material and equipment used in this experiment consisted of Angsana
seeds, hot water, H2SO4, KNO3, water from fermented bamboo shoots (Gigantochloa
apus Kurz), rice hull charcoal, subsoil, germination boxes, soaking bath, watering
equipment, analytical balance, stationary, ruler, calliper, and digital camera.
The research procedures consisted of several steps; those were seed extraction and
selection, seed water content measurement, breaking dormancy treatments, germination,
maintenance, observation, and data collection and analysis. The experimental design in
this research was completely randomised design which consisted of 6 soaking treatments,
those were soaking in hot water for 30 minutes followed by soaking in cold water for 12
hours (B0), soaking in the fermented bamboo shoot liquid for 12 hours (B1), soaking in
H2SO4 1% for 10 minutes (B2), soaking in H2SO4 1 % for 15 minutes (B3), soaking in
KNO3 1 % for 12 hours (B4) and soaking in KNO3 for 24 hours (B5). Each experiment
unit was replicated in three replicates. The observed parameters consisted of germination
capacity, germination value, speed of germination, germination rate, germination time at
80%, high and diameter of transplanted seedlings. The collected data was analysed using
F test followed by Duncan Multiple Range Test (DMRT).
RESULTS AND CONCLUSSION. Angsana seeds had embryonic and seed coat
dormancies. Based the results of F test and Duncan test showed that soaking in H2SO4 1%
for 10 minutes and in KNO3 1 % for 24 hours could break those dormancies. It was
indicated by it high germination percentage (100 %), and other values such as
germination value (1,13% to 1.05% normal germinants/day2), germination speed (1, 41
%/day), germination rate (19,32 18,59 day), germination time at 80% (25 day),
seedlings height (1,53 cm) , and diameter growth (1,06 mm to 1,1 mm) respectively.
Key word: Angsana, Pterocarpus indicus Will, Dormancy.

Judul Skripsi

Pengaruh

Perlakuan

Pematahan

Dormansi

terhadap

Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus


indicus Will)
Nama Mahasiswa :

Delfy Lensari

NRP

E14204024

Menyetujui :
Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Supriyanto
NIP. 132 008 552

Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Hendrayanto, MAgr


NIP. 131 578 788

Tanggal lulus:

KATA PENGANTAR
Assalamulaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
berserta para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya.
Penulis menulis skripsi berjudul Pengaruh Perlakuan Pematahan
Dormansi

terhadap

Kemampuan

Perkecambahan

Benih

Angsana

(Pterocarpus indicus Will) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kehutanan dibawah bimbingan Dr.Ir. Supriyanto. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat untuk perkembangan Silvikultur di Indonesia. Amin.
Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Bogor, Januari 2009
Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Liwa, Lampung Barat pada tanggal 18 Mei 1985, anak
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarman dan Ibu Rosada
Mursalin.
Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri I Sukau pada tahun
1992/1997 dan dilanjutkan ke Sekolah Dasar Sebarus pada tahun 1997/1998 dan
lulus pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1998/1999 penulis masuk ke MTsN I
Liwa dan lulus pada tahun 2001/2002. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMUN
I Liwa pada tahun 2001/2002 dan berhasil lulus pada tahun 2004/2005. Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004/2005 lewat jalur USMI di
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Instititut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti praktek Pengenalan dan
Pengelolaan Hutan (P3H), dan Pengenalan Hutan pada jalur Cilacap-Baturaden,
Jawa Tengah dan Pengelolaan Hutan di Getas, Jawa Timur pada tahun 2007,
penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Tahura Wan
Abdul Rachman, Lampung Selatan pada tahun 2008, penulis pernah menjadi
Asisten praktikum mata kuliah Silvikultur pada tahun 2008, penulis juga aktif
dalam kegiatan kemahasiswaan seperti DKM (Dewan Keluarga Musholla)
Ibadurraahmaan, dan ikut berperan aktif dalam beberapa kepanitiaan yang ada di
Departemen maupun Fakultas.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi
dengan

judul

Pengaruh

Perlakuan

Pematahan

Dormansi

terhadap

Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will) di


Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor di bawah
bimbingan

Dr.Ir. Supriyanto.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB.
2. Bapak Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Selaku Kepala Departemen
Fakultas Kehutanan IPB.
3. Bapak Dr. Ir. Supriyanto. Terimakasih atas bimbingan, bantuannya
sehingga skripsi ini selesai. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal
jahiriyah yang pahalanya akan terus mengalir. Amin
4. Ibu Arinana, S. Hut, M. Si dan Bapak Ir. Rachmad Hermawan, M. Sc
selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
5. Pegawai Laboratorium Silvikultur khususnya Ibu Dr. Ir Arum Wulandari,
M. Si, Bapak Atang, dan Kang Dedi. Terimakasih atas bantuannya selama
penelitian. Semoga Allah SWT membalas dengan sesuatu yang lebih baik.
Amin
6. KPAP silvikultur atas bantuan dan kesabarannya.
7. Spesial kepersembahkan skripsi ini untuk Bapak, Ibu , Wo Eky, Dek
Anggi, Udo Topik, ponakanku Royyan, dan keluarga semuanya di Liwa
dan Banyumas. Semoga bisa menambah kebahagiaan dan kebanggaan,
walaupun belum seberapa dibanding apa yang telah berikan. Mohon doa
agar selalu diberi keistiqomahan, untuk selalu bisa memberikan arti bagi
kehidupan seperti yang diharapkan. Terus tumbuh walau di tengah
keterbatasan. Semoga dengan karya ini, bisa kupersembahkan surga untuk
semuanya. Amin
8. Mardiyahers (Mba Ajeng, Mba Nini, Mba Puji, Ai, Albi, Hajra, Yayat,
dek Afi) dan Mba Asti terimakasih atas semuanya. Semoga Allah SWT
akan mengganti kebaikan yang telah diberikan dengan sesuatu yang lebih
baik. Dunia menjadi cerah indah karena teman-teman semuanya.

9. Teman-teman sebimbingan Haris Rifai, Kaka Enindita Prakasa, Mba


Mutia, Kak Dea dan dek Fidri. Kesabaran adalah suatu nikmat Allah SWT
yang terindah jika diiringi dengan keikhlasan.
10. Saudara-saudaraku seperjuangan Tuti, Albi, Ai, Selvi, Yolanda, Nailul,
Rendra, Rio, Oki, Okta, Fahmi, Fitroh, Fatah, Ari, Topan, Khalifah, dan
semuanya. Terimakasih atas ukhuwah selama ini. Semoga Allah SWT
mempertemukan kita di surga FirdausNya. Amin
11. BDHers angkatan 41 khususnya Tri Bekti Winarni, Ai Rosah Aisah, Nur
Qalbi, Sri Hastuti Anggarawati, Prabu Setiawan, Jesica Meliala, Diana
Septiningrum, Dani Rochimi, Tohirin, Mustian, Agus Gumiwa, Yandri
Petra, Alfia Rahma, Anna Husnaini. Terimakasih atas bantuan dan
kemudahannya. Semoga dibalas Allah SWT dengan sesuatu yang lebih
baik. Amin
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2009

DAFTAR ISI
Halaman

JUDUL ............................................................................................................. i
RINGKASAN .................................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................ vi
DAFTAR ISI..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1
1.2

BAB II

Latar Belakang ........................................................................ 1


Tujuan ................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Angsana (Pterocarpus indicus Will) .............
2.1.1 Taksonomi Angsana .........................................................
2.1.2 Sifat botanis ......................................................................
2.1.3 Sifat benih ........................................................................
2.1.4 Penyebaran dan habitat .....................................................
2.1.5 Kegunaan .........................................................................
2.2 Kadar Air Benih .......................................................................
2.3 Viabilitas Benih .........................................................................
2.4 Dormansi Benih .........................................................................
2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih ...................................................
2.5.1 Pengeringan benih ............................................................
2.5.2 Perendaman benih ............................................................
2.5.3 Perkecambahan benih .......................................................

BAB III

3
3
3
5
5
5
6
8
10
12
13
14
17

METODOLOGI
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5

Waktu dan Tempat Penelitian ................................................


Bahan dan Alat .......................................................................
Prosedur Penelitian..................................................................
Rancangan Percobaan ............................................................
Analisis Data ...........................................................................

19
19
19
24
25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil .......................................................................................... 26
4.1.1 Kadar air benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)........ 26
4.1.2 Proses perkecambahan benih Angsana ......................... ..... 27
4.1.3 Daya kecambah benih Angsana .................................... ..... 29
4.1.4 Nilai kecambah benih Angsana..................................... ..... 32
4.1.5 Kecepatan tumbuh benih Angsana................................ ..... 34
4.1.6 Laju perkecambahan benih Angsana ............................ ..... 36
4.1.7 Batas 80% berkecambah benih Angsana ..................... ..... 37
4.1.8 Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana ................. ..... 39
4.2 Pembahasan ............................................................................... 44
4.2.1 Kadar air benih Angsana ..................................................... 44
4.2.2 Proses perkecambahan benih Angsana ............................... 45
4.2.3 Perlakuan pematahan dormansi ........................................... 47
4.2.3.1 Perendaman dengan hasil air ferrmentasi
rebung bambu Apus .......................................... .... 50
4.2.3.2 Perendaman dengan asam sulfat (H2SO4) ......... .... 53
4.2.3.3 Perendaman dengan potassium nitrat (KNO3) .. .... 59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. ...... 63


5.1 Kesimpulan ........................................................................... .... 63
5.2 Saran ..................................................................................... .... 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ...... 64


LAMPIRAN .............................................................................................. ....... 66

DAFTAR TABEL
No

Halaman

1. Persentase kadar air benih Angsana ......................................................... 27


2. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap
daya berkecambah benih Angsana .......................................................... 31
3. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perendaman terhadap
daya berkecambah benih Angsana ............................................................ 31
4. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap
nilai perkecambahan benih Angsana ........................................................ 33
5. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap
nilai perkecambahan benih Angsana......................................................... 33
6. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap
kecepatan tumbuh benih Angsana ............................................................ 35
7. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap
kecepatan tumbuh benih Angsana............................................................. 35
8. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap
laju perkecambahan benih Angsana.......................................................... 37
9. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap
laju perkecambahan benih Angsana......................................................... 37
10. Pengaruh pematahan dormansi terhadap batas 80% berkecambah
benih Angsana ........................................................................................ 38
11. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap
tinggi bibit sapihan Angsana .................................................................. 40
12. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap
tinggi bibit sapihan Angsana .................................................................. 41
13. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi
terhadap diamater bibit sapihan Angsana ............................................. 43
14. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap
diameter bibit sapihan Angsana ............................................................. 43
15. Rekapitulasi sidik ragam setiap parameter yang diamati ....................... 49

DAFTAR GAMBAR
No

Halaman

1. Bagian organ tanaman Angsana ................................................................... 3


2. Struktur selulosa kayu .................................................................................. 6
3. Tahapan kegiatan penelitian ......................................................................... 19
4. Buah bersayap, buah tidak bersayap, dan benih Angsana
yang digunakan dalam penelitian ................................................................. 26
5. Proses perkecambahan benih Angsana ........................................................ 28
6. Kecambah benih Angsana dan kecambah benih
Angsana yang menggantung ........................................................................ 29
7. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah
benih Angsana ............................................................................................. 30
8. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah
pada perlakuan B0, B2 dan B5 ..................................................................... 32
9. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap
nilai perkecambahan benih Angsana ........................................................... 32
10. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh
benih Angsana .............................................................................................. 34
11. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap laju perkecambahan
benih Angsana ............................................................................................. 36
12. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap batas 80%
berkecambah benih Angsana ....................................................................... 39
13. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan
Angsana ........................................................................................................ 40
14. Pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan Angsana
pada perlakuan B0, B1, B2, B3, B4, dan B5................................................. 41
15. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap diameter bibit sapihan
Angsana ........................................................................................................ 42
16. Struktur mikrokopis permukaan kulit benih Panggal Buaya
sebelum dan setelah perendaman asam sulfat 95% selama 30 menit .......... 55

DAFTAR LAMPIRAN
No

Halaman

1. Rekapitulasi data harian perkecambahan benih Angsana ............................. 67


2. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati sebelum ditransformasi
ke Arc % x ................................................................................................... 68
3. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati setelah ditransformasi
ke Arc % x ................................................................................................... 69
4. Tabel sidik ragam daya berkecambah benih Angsana ................................... 70
5. Grafik kenormalan daya berkecambah benih Angsana .................................. 70
6. Grafik kehomogenan daya berkecambah benih Angsana .............................. 70
7. Tabel sidik ragam nilai perkecambahan benih Angsana ................................ 71
8. Grafik kenormalan nilai perkecambahn benih Angsana ................................ 71
9. Grafik kehomogenan nilai perkecambahan benih Angsana ........................... 71
10. Tabel sidik ragam kecepatan tumbuh benih Angsana .................................... 72
11. Grafik kenormalan kecepatan tumbuh benih Angsana .................................. 72
12. Grafik kehomogenan kecepatan tumbuh benih Angsana ............................... 72
13. Tabel sidik ragam laju perkecambahan benih Angsana ................................. 73
14. Grafik kenormalan laju perkecambahan benih Angsana ............................... 73
15. Grafik kehomogenan laju perkecambahan benih Angsana ............................ 73
16. Tabel sidik ragam tinggi bibit sapihan Angsana ............................................ 74
17. Grafik kenormalan tinggi bibit sapihan Angsana .......................................... 74
18. Grafik kehomogenan tinggi sapihan benih Angsana ..................................... 74
19. Tabel sidik ragam diameter sapihan benih Angsana ...................................... 75
20. Grafik kenormalan diameter bibit sapihan benih Angsana ............................ 75
21. Grafik kehomogenan diameter bibit sapihan Angsana .................................. 75

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan di Indonesia termasuk hutan hujan tropis yang didominasi oleh
jenis Dipterocarpaceae. Manfaat hutan Indonesia antara lain dapat untuk
memenuhi kebutuhan penduduk akan hasil hutan baik untuk industri
pertukangan, pulp dan kertas, kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu seperti
getah, rotan, bambu, serlak dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan
jumlah penduduk yang setiap tahun mengalami peningkatan hidup, terjadi
peningkatan permintaan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, utamanya
kebutuhan akan pangan. Hal ini kemudian mendorong semakin meningkatnya
laju degradasi hutan akibat konversi dari hutan menjadi lahan pertanian dan
eksploitasi hutan yang semakin meningkat.
Untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi
secara optimal, produktif, berdaya saing, dan yang dikelola secara efektif dan
efisien, sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis, Departemen
Kehutanan telah menunjuk beberapa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH) sebagai model
pembangunan sistem silvikultur intensif yang disesuaikan dengan karakteristik
setiap lokasi. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan, maka
diperlukan pengembangan jenis unggul yang baru untuk menambah
keragaman spesies yang bernilai komersial, terutama kelompok jenis yang
belum dikenal. Keunggulan dapat berupa produksi akhir yang dicerminkan
dari volume dan mampu tumbuh dengan baik di lapangan. Salah satu spesies
tersebut yang dapat dikembangkan adalah Angsana (Pterocarpus indicus Will)
Secara umum, selama ini perbanyakan tanaman Angsana dilakukan
secara vegetatif yaitu dengan stek batang. Pengembangan tanaman Angsana
dengan benih tidak banyak dilakukan karena sifat benih dan teknik
perkecambahan yang tidak banyak diketahui dengan baik. Di sisi lain,
perbanyakan Angsana sangat mudah dilakukan dengan menggunakan stek
batang. Silvikultur Angsana juga tidak banyak diketahui, terutama dari aspek

perbenihan, pembibitan dan pertumbuhan benih hasil pembiakan generatif


(benih).
Hasil perkecambahan benih sangat dipengaruhi oleh mutu benih (fisik,
fisiologis, dan genetik). Mutu fisik dan fisiologis benih sangat ditentukan oleh
proses teknologi benih yang disiapkan mulai dari pengunduhan, ekstraksi,
seleksi, pengemasan, dan penyimpanan. Masalah utama perkecambahan benih
Angsana adalah dormansi kulit benih, untuk itu perlu dilakukan penelitian
tentang teknik pematahan dormansi benih Angsana.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perlakuan
pematahan dormansi terhadap kemampuan perkecambahan benih Angsana
(Pterocarpus indicus Will).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjaun Umum Angsana (Pterocarpus indicus Will.)
2.1.1 Taksonomi Angsana.
Angsana (Pterocarpus indicus Will) memiliki nama lain yaitu Pterocarpus
wallichii Wight & Arn; P zollingeri Miq.; P papuanus F. V. Mueller, P
Vidalinus Rolfe. termasuk kedalam famili Fabaceae (Papilionoideae). Beberapa
nama lain untuk tanaman Cendana Merah, Sonokembang, Angsana (Jawa
Tengah, Malaysia, Singapura), Pradoo (Thailand.), Narra (Filipina), Asan
(Aceh), Sena (Batak Karo), Hasona (Batak Toba), Sena (Gayo), Sana
(Lampung), Sanakembang (Sunda), Sana (Madura), Ingi (Seram), Lala
(Ambon), Lana (Bum), Lina (Halmahera), Ligua (Ternate), Sana (Sasak), Nara
(Bima), Ai Kenawa (Sumba), Kenaha (Solor), Kalai (Alor), Tonala (Gorontalo),
Yonoba (Buol), Patene (Makasar), dan Candana (Bugis).
Berdasarkan taksonominya, Angsana digolongkan sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae/tumbuhan

Divisio

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledone

Ordo

: Resales

Famili

: Fabaceae

Genus

: Pterocarpus

Species

: Pterocarpus indicus Will (Direktorat Perbenihan

Tanaman Kehutanan 2002)


2.1.2 Sifat botanis

Gambar 1 Bagian organ tanaman Angsana


Keterangan :1. Bentuk pohon; 2. Ranting berbunga; 3. Buah.

Biasanya Angsana merupakan pohon meranggas, tinggi pohon Angsana


dapat mencapai 3040 m, diameter batang 2 m, biasanya bentuk pohon jelek,
pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir. Kayu pohon Angsana
mengeluarkan eksudat merah gelap yang disebut kino atau darah naga. Daun
majemuk dengan 511 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga malai,
panjang 613 cm diujung atau ketiak daun. Bunga pohon Angsana berkelamin
ganda, berwarna kuning cerah dan harum. Polong tidak merekah terbungkus
sayap besar (samara). Berbentuk bulat, coklat muda, diameter 46 cm, dengan
sayap besar berukuran 12,5 cm yang mengelilingi tempat biji berdiameter 23
cm dan tebal 58 mm. Permukaan tempat biji bervariasi dari yang halus pada
forma indicus sampai yang tertutup oleh bulu lebat pada forma echinatus.
Pohon berbunga dan berbuah umumnya setiap tahun, namun ada beberapa
pohon dalam suatu populasi yang tidak berbunga atau berbunga sangat sedikit.
Bunga muncul sebelum tumbuh daun baru, namun akan terus bermunculan
setelah daun-daun baru berlimpah. Bunga hanya akan mekar penuh selama satu
hari. Mekarnya bunga dipicu dengan adanya air, dan setiap bunga biasanya
mekar sehari setelah hujan lebat. Penyerbukan dilakukan lebah dan serangga
lain. Biasanya hanya 13 bunga dari setiap malai yang menjadi buah.
Perkembangan buah membutuhkan 34 bulan. Lebar buah sekitar 5 cm. Di
dalam buah Angsana yang menonjol terdapat bijinya. Tidak seperti kebanyakan
Famili Leguminosae, buah Angsana tidak terbelah dan dapat diterbangkan oleh
angin bahkan bisa mengambang dan dapat disebarkan melalui air.
Meski masa pembungaan dapat berlangsung lama, di daerah tropis,
kemasakan buah terjadi bersinambungan. Pengumpulan buah bukan masalah
karena buah tidak langsung rontok dari pohon setelah masak. Hanya angin
kencang yang dapat melepaskan dan menerbangkan buah Angsana yang telah
masak. Buah dapat dikumpulkan dari atas permukaan tanah setelah rontok, atau
dengan menggoyang dan memotong dahan yang berbuah. Pengumpulan dari
pohon yang tinggi dilakukan dengan pemanjatan, buah dapat dilepas dari dahan
dengan menggoncang dahannya.

2.1.3 Sifat benih


Buah Angsana masak dalam waktu 4 bulan, berbentuk cakram datar
dengan tepi bersayap. Masing-masing buah terdiri atas 1-3 benih yang sulit
dihancurkan. Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap
buah berfungsi seperti biji yang menghasilkan sampai tiga kecambah. Benih
Angsana ini memiliki panjang 68 mm, berbentuk seperti buncis dengan testa
berwarna coklat kertas. Benih Angsana merupakan benih ortodoks, dapat
disimpan pada suhu dan kadar air rendah selama beberapa tahun (Anonim
2002).
2.1.4 Penyebaran dan habitat
Penyebaran alami di Asia TenggaraPasifik, mulai Birma Selatan menuju
Asia Tenggara sampai Filipina dan kepulauan Pasifik, dibudidayakan luas di
daerah tropis. Sebaran pohon yang luas ditemukan di hutan primer dan beberapa
hutan sekunder dataran rendah, umumnya di sepanjang sungai pasang surut dan
pantai berbatu.
Pohon Angsana merupakan pohon jenis pionir yang tumbuh baik di daerah
terbuka. Tumbuh pada berbagai macam tipe tanah, dari yang subur ke tanah
berbatu. Biasanya ditemukan sampai ketinggian 600 m dpl, namun masih
bertahan hidup sampai 1.300 m dpl. Angsana sering menjadi tanaman hias di
taman dan sepanjang jalan. Populasinya berkurang akibat eksploitasi berlebihan,
kadangkala penebangan liar menyebabkan hilangnya habitat. Di Vietnam,
populasi jenis ini telah punah selama 300 tahun. Survei ekstensif di Sri Lanka
gagal menemukan jenis ini dan populasi di India, Indonesia dan Filipina
menunjukkan bahwa jenis ini telah terancam. Eksploitasi atas tegakan di
Semenanjung Malaysia, mungkin menyebabkan punahnya jenis ini dan yang
diyakini merupakan populasi terbesar yang tersisa yaitu di New Guinea ternyata
telah dieksploitasi.
2.1.5 Kegunaan
Semua jenis Pterocarpus menghasilkan kayu bernilai tinggi. Menurut Heyne
(1987) bahwa kayu Angsana termasuk kayu agak keras yang memiliki kelas
awet I/II, kelas kuat I/III dan BJ antara 0,40,9 sehingga dapat digunakan untuk

mebel halus, ukiran, kayu lapis, meja, badan kapal, lantai, lemari dan alat musik.
Selain itu getah Angsana dapat digunakan sebagai cat ayaman dan cat kayu.
Soerianegara dan Lemmens (1994) mengatakan bahwa kayu pohon Angsana
mengandung selulosa sebanyak 49% (Gambar2), 24% lignin, 11% pentosan, dan
0,3% silika sehingga kayu Angsana dapat digunakan sebagai bahan baku pulp,
tanaman Angsana merupakan jenis pengikat nitrogen.

Gambar 2 Struktur Selulosa


Pohon Angsana ini direkomendasikan sebagai salah satu tanaman yang
dapat digunakan dalam sistem agroforestry, yang dapat digunakan sebagai
penaung kopi dan tanaman lain. Selain itu kulit batang Angsana ini berkhasiat
sebagai obat sariawan, obat mencret dan obat bisul sedangan daun Angsana
dapat digunakan sebagai obat infeksi kulit akibat jamur.
2.2 Kadar Air Benih
Kadar air adalah hilangnya berat ketika benih dikeringkan sesuai ketentuan
yang ditetapkan. Kadar air dinyatakan dalam persen berat dari berat contoh
sebelum pengeringan. Menurut Sutopo (2004), kadar air adalah kandungan air
dalam benih yang diukur berdasarkan hilangnya kandungan air tersebut dan
dinyatakan dalam bentuk persentase. Kadar air yang terkandung di dalam benih
akan sangat mempengaruhi kualitas fisiologis benih. Untuk kondisi tertentu,
dapat berpengaruh terhadap kualitas fisik benih. Selanjutnya dijelaskan bahwa
kadar air optimum dalam penyimpanan bagi sebagian besar benih adalah 6%8% (jenis ortodoks), sedangkan kadar air untuk jenis rekalsitran >12%. Kadar
air yang terlalu tinggi pada benih ortodoks dapat menyebabkan benih
berkecambah sebelum ditanam.

Apabila kadar air benih lebih tinggi dari 4560%, maka perkecambahan
akan berlangsung. Tetapi pada kisaran kadar air tersebut ke bawah sampai 1820% respirasi terjadi dalam kadar yang lebih tinggi, baik respirasi benih maupun
respirasi mikroorganisme. Menurut Byrd (1968), besarnya kadar air benih
mempengaruhi beberapa proses antara lain:
- kadar air benih >45-60%

: perkecambahan berlangsung

- kadar air benih >18-20%

: pemanasan dapat terjadi

- kadar air benih 12-14%

: Jamur tumbuh pada permukaan dan


dalam benih

- kadar air benih 8 - 9%

: sedikit atau tidak ada aktivitas insekta

- kadar air benih 4 - 8%

: penyimpangan tertutup dapat aman

Menurut Byrd (1968), kadar air benih merupakan suatu fungsi dari
kelembaban nisbi udara sekitarnya. Kelembaban nisbi merupakan suatu
pernyataan mengenai jumlah uap air sesungguhnya yang ada di udara yang
dihubungkan dengan jumlah seluruh uap air yang dapat dipegang oleh udara.
Apabila temperatur meningkat, udara dapat memegang lebih banyak uap air,
sehingga apabila udara panas tanpa mengubah kadar airnya maka persentase
kelembaban nisbi akan menurun. Kadar air suatu benih tertentu bergantung pada
kelembaban nisbi, sedangkan suhu memberikan pengaruh yang kecil. Apabila
kelembaban nisbi udara sekeliling benih meningkat, maka kadar air benih akan
meningkat. Pada prinsipnya, metode yang digunakan untuk mengukur kadar air
benih ada 2 macam yaitu (Sutopo 2004):
1) Metode praktis : metode ini mudah dilaksanakan tetapi hasilnya kurang
teliti, sehingga perlu dikalibrasikan terlebih dahulu. Metode praktis ini
terdiri dari metode Calcium carbide, metode Electric moisture meter dan
lain-lain. Dengan metode ini akan diperoleh data langsung dari alat yang
digunakan.
2) Metode dasar; kadar air ditentukan dengan mengukur kehilangan berat
yang diakibatkan oleh pengeringan/pemanasan pada kondisi tertentu dan
dinyatakan sebagai persentase dari berat mula-mula. Penentuan kadar air

benih melalui metode dasar meliputi metode oven, metode destilasi,


metode Karl Fisher dan lain-lain.
Metode yang digunakan untuk menguji kadar air benih dapat secara
langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya metode langsung yaitu menguji
kadar air dengan pengeringan (oven). Dalam hal ini, perbedaan berat antara
benih sebelum di oven dengan setelah di oven merupakan air yang hilang (kadar
air), sedangkan metode tidak langsung lebih menduga kadar air dengan daya
penghantar listrik (Sutopo 2004). Kadar air dari benih akan mempengaruhi
viabilitas benih.
2.3 Viabilitas Benih
Sejak tahun 1901 telah dilaporkan banyak penelitian mengenai uji cepat
viabilitas yang menggunakan prinsip bahwa benih hidup dan benih mati
mengadakan reaksi yang berbeda bila dialiri arus listrik. Uji viabilitas
mempunyai beberapa kegunaan penting antara lain penilaian terhadap
pembekuan, fumigasi, kerusakan mekanik oleh penyakit dan insekta, penentuan
potensi vigor kecambah dan untuk menolong membuat keputusan sehubungan
dengan pencurahan, pencampuran benih dan sebagainya (Byrd 1968).
Menurut Sutopo (2004), pada uji viabilitas benih baik uji daya
berkecambah atau uji kekuatan tumbuh benih, penilaian dilakukan dengan
membandingkan kecambah satu dengan yang lain dalam satu substrat.
Umumnya sebagai parameter untuk viabilitas benih digunakan persentase
perkecambahan, ditunjukan dengan perkecambahan harus cepat, pertumbuhan
kecambahnya kuat dan mencerminkan kekuatan tumbuh yang dapat dinyatakan
dengan laju perkecambahan.
Beberapa metode uji cepat viabilitas yang dikembangkan oleh (Byrd 1968)
antara lain:
1) Metode fisika kimia
Semula tahanan listrik diukur pada benih itu sendiri, sedangkan pada
tahun-tahun berikutnya diukur pada air bekas benih itu direndam. Benihbenih permeabel daripada benih-benih hidup dan apabila benih tersebut
direndam air, elektrolit dalam benih akan tercuci lebih cepat. Metode ini

cukup teliti untuk menduga viabilitas benih, akan tetapi memerlukan


keterampilan khusus. Selain itu, metode ini hanya dapat digunakan untuk
mengukur reaksi sejumlah benih dan tidak dapat digunakan untuk mengukur
setiap individu benih.
2) Pewarnaan vital
Pewarnaan vital merupakan pewarnaan yang terbatas pada jaringanjaringan yang terpilih. Hingga saat ini pewarnaan vital hanya dilakukan pada
benih yang mati atau bagian benih yang telah mati. Pewarna yang digunakan
adalah asam sulfat dan zat warna tarum merah tua. Asam sulfat mewarnai
jaringan hidup dan jaringan mati secara berbeda, tetapi tidak cukup teliti
apabila digunakan untuk keperluan pengujian benih. Zat warna merah tua
lebih teliti dalam hal penentuan viabilitas benih. Apabila benih-benih yang
dibelah atau embrio yang dilepaskan direndam dalam larutan tarum merah
yang encer, maka zat warna segera memasuki jaringan mati tetapi tidak
memasuki jaringan hidup. Kemudian setiap benih atau embrionya diuji dan
digolongkan sebagai hidup atau mati berdasarkan pada proporsi embrio yang
tetap tidak terwarnai.
3) Metode langsung
Metode langsung adalah suatu cara pengujian yang benihnya betulbetul dikecambahkan. Kelebihan metode langsung ini dibandingkan metode
sebelumnya, yaitu viabilitas benih tidak hanya berdasarkan pendugaan
karena dilakukan pengukuran secara langsung. Metode langsung dilakukan
dengan prinsip mempercepat perkecambahan biji. Salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam mempercepat perkecambahan yaitu dengan meningkatkan
temperatur

di

atas

optimum.

Metode

lain

untuk

mempercepat

perkecambahan adalah dengan jalan meningkatkan laju imbibisi air. Hal ini
dikerjakan dengan merendam biji dalam air sebelum benih dikerjakan.
4) Metode yang berdasarkan aktivitas enzim
Pengujian ini didasarkan pada anggapan bahwa bila enzim-enzim ini
tidak terdapat dalam embrio, maka benih tersebut mati. Salah satu

kekurangan metode ini yaitu enzim tersebut dapat saja ada tetapi karena
sesuatu hal dalam sistem metabolisme enzim tersebut menjadi rusak
sehingga menggambarkan benih tersebut tidak mampu untuk berkecambah.
Pengujian

mencakup

pengukuran

enzim

dehidrogenase.

Enzim

dehidrogenase terlihat dalam aktivitas respirasi dari sistem biologi karena


memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan di dalam benih.
Beberapa zat warna telah digunakan untuk mengukur adanya enzim
dehidrogenase dalam benih diantaranya zat warna metilen biru dan zat
malasit hijau, garam-garam kimia selenium, telurium serta tetrazolium.
2.4 Dormansi Benih
Dormansi benih dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan benih hidup
untuk berkecambah pada suatu kisaran keadaan yang luas yang dianggap
menguntungkan untuk benih tersebut. Dormansi dapat disebabkan karena tidak
mampunya benih secara total untuk berkecambah atau hanya karena
bertambahnya kebutuhan yang khusus untuk perkecambahnnya (Byrd 1968).
Menurut Schmidth (2002), dormansi benih menunjukkan suatu keadaan benihbenih sehat (viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara
normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan
cahaya yang sesuai.
Gardner et al.

(1991) mengemukakan bahwa tekanan seleksi selama

ribuan tahun pembudidayaan sebenarnya menghilangkan dormansi pada


tanaman budidaya. Kebanyakan biji tanaman budidaya cepat berkecambah
setelah pemasakan dan pengeringan, atau pengawetan dengan pengeringan.
Tanaman budidaya yang lama belum dibudidayakan seringkali menunjukkan
dormansi sampai tingkat tertentu dan memerlukan kondisi khusus atau waktu
penyimpanan yang lebih panjang sebelum berkecambah. Tekanan seleksi alam
selama evolusi telah menghasilkan tanaman dengan biji dorman dan/atau
kuncup dorman sebagai adaptasi terhadap periode saat lingkungan tidak
menguntungkan seperti yang dijumpai pada daerah beriklim sedang.
Dormansi diklasifikasikan dalam berbagai cara dan tidak ada sistem yang
berlaku secara universal. Secara umum tipe-tipe dormansi dapat dikelompokan
menjadi (Schmidth 2002) :

1) Embrio yang belum berkembang


Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang pada saat
penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan
normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Fenomena ini seringkali
dimasukkan ke dalam kategori dormansi fisiologis, dengan memperhatikan
kondisi morfologis embrio yang belum matang.
2) Dormansi mekanis
Dormansi mekanis dapat terlihat ketika pertumbuhan embrio secara
fisik dihalangi struktur kulit benih yang keras. Imbibisi dapat terjadi tetapi
radicle tidak dapat membelah atau menembus kulitnya. Pada dasarnya
hampir semua benih yang mempunyai dormansi mekanis mengalami
keterbatasan dalam penyerapan air.
3) Dormansi fisik
Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan
impermeable atau penutup buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran
gas. Fenomena ini sering disebut sebagai benih keras, meskipun istilah ini
sering digunakan untuk benih legum yang kedap air.
4) Zat-zat penghambat
Beberapa jenis benih mengandung zat-zat penghambat dalam buah
atau benih yang mencegah perkecambahan, misalnya dengan menghalangi
proses metabolisme yang diperlukan untuk perkecambahan. Zat-zat
penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah.
Gula, coumarin dan zat-zat lain dalam buah berdaging mencegah
perkecambahan karena tekanan osmose yang menghalangi penyerapan.
5) Dormansi cahaya
Sebagian besar benih dengan dormansi cahaya hanya berkecambah
pada kondisi terang. Sehingga benih tersebut disebut dengan peka cahaya.
Dormansi cahaya umumnya dijumpai pada pohon-pohon pioner.

6) Dormansi suhu
Istilah dormansi suhu digunakan secara luas mencakup semua tipe
dormansi, suhu berperan dalam perkembangan atau pelepasan dari dormansi.
Benih dengan dormansi suhu seringkali memerlukan suhu yang berbeda dari
yang diperlukan untuk proses perkecambahan. Dormansi suhu rendah
ditemui pada kebanyakan jenis beriklim sedang.
7) Dormansi gabungan
Apabila dua atau lebih tipe dormansi ada dalam jenis yang sama,
dormansi harus dipatahkan baik melalui metode beruntun yang bekerja pada
tipe dormansi yang berbeda, atau melalui metode dengan pengaruh ganda.
Dormansi benih dapat menguntungkan atau merugikan dalam penanganan
benih. Keuntungannya adalah bahwa dormansi mencegah benih dari
perkecambahan selama penyimpanan dan prosedur penanganan lain. Disatu sisi,
apabila dormansi sangat kompleks dan benih membutuhkan perlakuan awal
yang khusus. Kegagalan untuk mengatasi masalah dormansi akan berakibat pada
kegagalan perkecambahan pada benih (Schmidth 2002).
2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih
Perlakuan awal atau pendahuluan merupakan istilah yang digunakan untuk
kondisi atau proses yang diterapkan pada pematahan dormansi untuk
perkecambahan, sementara perlakuan digunakan dalam aplikasi pestisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit. Tujuan perlakuan awal adalah untuk
menjamin bahwa benih akan berkecambah, dan bahwa perkecambahan
berlangsung cepat dan seragam. Metode perlakuan awal sering harus
disesuaikan dengan individu jenis dan lot benih berdasarkan pengalaman dan
percobaan-percobaan. Perlakuan awal umumnya dilakukan sesaat sebelum
penaburan

misalnya

setelah penyimpanan

memperpanjang daya simpan (Schmidth 2002).

karena

dormansi

umumnya

2.5.1 Pengeringan benih


Dalam hal pengeringan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu
proses penurunan kadar air benih yang sudah masak dan peningkatan
pemasakan buah untuk buah tua yang belum masak. Oleh karena itu untuk
benih yang diunduh tetapi belum masak, harus dilakukan pemeraman terlebih
dahulu (Sutopo 2004). Mugnisjah dan Setiawan (1990), mengemukakan
bahwa kadar air yang terlalu tinggi pada benih dapat menyebabkan memanas
karena respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh. Oleh karena itu, sangat
penting untuk menjamin agar benih yang dipanen memiliki kadar air yang
aman sebelum disimpan.
Pengeringan benih mencakup dua proses yaitu pengalihan kelembaban
dari permukaan benih ke udara sekeliling benih dan pemindahan air dari
bagian dalam benih ke permukaan benih. Pengalihan air dari permukaan benih
ke udara sekitarnya semata-mata merupakan suatu fungsi dari perbedaan
tekanan uap antara permukaan benih dan udara sekelilingnya. Dengan kata
lain makin basah permukaan benih dan makin kering udara sekeliling, makin
cepat pergerakan air dari permukaan benih ke udara sekelilingnya (Byrd
1968).
Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1990), pengeringan benih biasanya
dilakukan sebelum pembersihan benih. Pengeringan dengan panas buatan,
baik yang menggunakan elemen listrik baik yang menggunakan minyak tanah
dapat menggantikan panas matahari. Pengeringan sampai kadar air yang aman
bagi penyimpanan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah benih
dipanen.

Pengeringan

hendaknya

tidak

terlalu

cepat

karena

dapat

menyebabkan selaput benih mengeras dan memerangkap kelembaban di


dalam benih, oleh karena itu suhu hendaknya dikendalikan dengan seksama.
Benih-benih yang dikeringkan adalah benih yang termasuk ke dalam
jenis ortodoks. Pengeringan benih dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan
kadar air. Untuk benih-benih rekalsitran, maka tidak diperlukan proses
pengeringan. Hal ini dengan landasan bahwa benih rekalsitran apabila
diturunkan kadar airnya akan mengakibatkan embrio menjadi mati, sehingga
benih menjadi tidak berkecambah (Sutopo 2004). Selanjutnya dikemukakan

bahwa teknik yang direkomendasikan adalah dengan menjemur di bawah sinar


matahari,

dikeringudarakan

(diangin-anginkan)

atau

dengan

cara

pengkondisian pada suhu tertentu di suatu ruangan.


2.5.2 Perendaman benih
2.5.2.1 Perendaman dengan air
Menurut Sutopo (2004) mengatakan bahwa beberapa jenis benih
terkadang diberi perlakuan perendaman dalam air dengan tujuan
memudahkan penyerapan air oleh benih. Dengan demikian kulit benih yang
menghalangi penyerapan air menjadi lisis dan melemah. Selain itu juga
digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang
menghambat perkecambahan benih.
Menurut Schmidth (2002), air panas mematahkan dormansi fisik pada
Leguminoseae melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan
macrosclereid atau merusak tutup strophiolar. Metode ini paling efektif
apabila benih direndam dalam air panas bukan dimasak dengan air panas.
Pencelupan sesaat juga lebih baik dilakukan untuk mencegah kerusakan
embrio. Cara yang umum dilakukan adalah dengan menuangkan benih
dalam air yang mendidih dan membiarkannya untuk mendingin dan
menyerap air selama 12-24 jam.
Pada beberapa jenis Akasia dari Australia lebih baik bila diberi
perlakuan di bawah titik didih, perlakuan selama 1 menit dalam air 90C
disarankan untuk jenis-jenis Acacia coriaceae, A pachicarpa dan A pendula
(ATSC 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Umumnya benih kering yang
yang masak atau yang kulit bijinya relatif tebal, toleran terhadap
perendaman sesaat dalam air mendidih.
2.5.2.2 Perendaman dengan H2SO4
Menurut Sutopo (2004) mengatakan bahwa perlakuan dengan
menggunakan bahan kimia sering digunakan untuk memecah dormansi pada
benih. Tujuannya adalah menjadikan kulit benih atau biji menjadi lebih
mudah untuk dimasuki air pada proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti
H2SO4 sering digunakan dengan konsentrasi yang bervariasi sampai pekat

tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji menjadi lunak.
Disamping itu pula larutan kimia yang digunakan dapat pula membunuh
cendawan atau bakteri yang dapat membuat benih dorman. Sadjad et al.
(1975) menyatakan bahwa perlakuan kimia (biasanya asam kuat) yang
digunakan dapat membebaskan koloid hidrofil sehingga tekanan imbibisi
meningkat dan akan meningkatkan metabolisme benih. Sagala (1991) diacu
dalam Rozi (2003) mengatakan bahwa perlakuan dengan menggunakan
H2SO4 pada benih biasanya bertujuan untuk merusak kulit benih, akan tetapi
apabila terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi atau lama waktu perlakuan
dapat menyebabkan kerusakan pada embrio. Dalam hal ini benih tersebut
akan rusak dan tidak dapat tumbuh.
Menurut Sadjad et al. (1975) perlakuan kimia seperti H2SO4 pada
prinsipnya adalah membuang lapisan lignin pada kulit biji yang keras dan
tebal sehingga biji kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air
sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik. Achmad et al. (1992)
mengatakan bahwa perlakuan pendahuluan untuk benih Cendana (Satalum
album) adalah dengan perendaman dalam larutan H2SO4 pekat selama 50-60
menit. Muharni (2002) dalam Rozi (2003) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa larutan H2SO4 memberikan pengaruh yang paling baik terhadap
benih dan pertumbuhan semai Kayu Kuku.
Hasil penelitian tentang penggunaan larutan H2SO4 untuk pematahan
dormansi kulit dapat digambarkan pada Jati (Tectona grandis Linn. F.).
Penelitian Rinto Hidayat (2005) tentang pematahan dormansi Jati dengan
perendaman dalam larutan Accu Zurr 10% selama 0, 5, 6, 7, 8, dan 9 menit.
Perendaman dalam larutan Accu Zurr selama 9 menit memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap daya kecambah, nilai perkecamahan, dan
kecepatan tumbuh benih jati.
2.5.2.3 Perendaman dengan KNO3
Potassium

Nitrat

(KNO3)

merupakan

perkecambahan yang sering digunakan. KNO3

salah

satu

perangsang

digunakan baik dalam

hubungannya dengan pengujian (ISTA 1996 diacu dalam Schmidth 2002)


dan dalam operasional perbanyakan tanaman. Menurut Hartmann et al.

(1997) diacu dalam Schmidth (2002), peran fisiologis dari KNO3 tidak jelas.
KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap persentase perkecambahan
dan vigor pada perlakuan pendahuluan asam benih Acacia nilotica (Palani et
al. 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Pada konsentrasi 1% perkecambahan
meningkat dari 37% (kontrol) menjadi 79% dan pada konsentrasi 2%
meningkat menjadi 85%. Pada Casuariana equiaetifolia perkecambahan
meningkat dari 46% dalam kontrol menjadi 65% setelah perendaman dalam
1,5% KNO3 selama 36 jam. Pada percobaan ini, konsentrasi tertinggi dan
terendah

dan

lamanya

waktu

perendaman

yang

sangat

singkat

memperlihatkan perkecambahan yang sangat rendah (Maideen et al. 1990


diacu dalam Schmidth 2002).
2.5.2.4 Perendaman dengan air dari hasil fermentasi rebung
Rebung adalah tunas muda dari tanaman bambu yang tumbuh dari
akar tanaman bambu. Bambu yang mempunyai nama lain seperti Buluh,
Aur, atau Eru merupakan tanaman famili Poaceae jenis rumput-rumputan
yang mempunyai batang berongga dan beruas-ruas yang memiliki banyak
jenis dan memberikan manfaat pada penduduk di Indonesia maupun di Asia.
Selain itu saat ini Rebung sudah dapat diolah untuk berbagai bahan makanan
awetan. Dengan teknologi telah berhasil membuat makanan olahan berbahan
dasar Rebung salah satunya Cuka Rebung. Rebung memiliki kandungan,
Karbohidrat, Protein dan 12 Asam Amino Esensial yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh. Dengan mengkonsumsi Rebung secara teratur merupakan satu
tindakan preventif untuk menghambat berbagai jenis penyakit termasuk
kanker (Anonim 2008).
Menurut Widjaja et al. (1994) komponen utama Rebung mentah
adalah air yang dapat mencapai sekitar 91%. Selain itu Rebung mengandung
protein, karbohidrat, lemak, vitamin A, tiamin, riboflavin, asam askorbat,
serta unsur-unsur mineral seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium dalam
jumlah yang kecil. Beberapa jenis Rebung mengandung senyawa toksik
sianida dalam bentuk glukosida. Apabila senyawa ini bereaksi dengan air
akan terbentuk sianida. Selain itu Rebung diduga mengandung giberelin
yang berperan utama dalam proses awal perkecambahan melalui aktivitas

enzim pengangkutan cadangan makanan. Selanjutnya dikemukakan bahwa


teknik yang direkomendasikan dalam menghasilkan air hasil fermentasi
Rebung adalah dengan mengambil air sari dari Rebung yang didiamkan
selama 3 hari.
2.5.3 Perkecambahan benih
Perkecambahan didefinisikan sebagai mekar dan berkembangnya
struktur-struktur

penting

dari

embrio

benih

yang

menunjukkan

kemampuannya untuk menghasilkan tanaman normal pada keadaan yang


menguntungkan. Adapun fase-fase perkecambahan (Byrd 1968) :
1) Imbibisi
Kandungan

air

benih

minimum

pada

saat

perkecambahan

berlangsung disebut taraf kandungan air kritik. Beberapa faktor yang


mempengaruhi laju penyerapan air yaitu: permeabilitas dari kulit benih
terhadap air, temperatur, luas permukaan benih yang berhubungan dengan
air, jenis benih, kemasakan benih, umur benih dan susunan kimia.
2) Perombakan
Hampir seluruh simpanan bahan makanan yang terdapat dalam benih
yang kering ada dalam bentuk yang tidak larut dan tidak mobil. Agar
simpanan makanan ini dapat dialihkan ke titik tumbuh dari poros embrio,
maka harus diuraikan menjadi bentuk yang larut dan mobil melalui suatu
proses yang disebut perombakan.
3) Mobilitas dan pengangkutan zat makanan
Mobilitas dan pengangkutan zat makanan merupakan suatu proses
pengangkutan cadangan makanan yang sudah dirombak, dari sel-sel
penyimpanan ke titik tumbuh pada poros embrio.
4) Asimilasi
Estela zat makanan yang sudah dirombak sampai pada titik tumbuh,
maka zat itu harus ditransformasikan menjadi senyawa hidup (protoplasma)

sebelum zat itu dapat digunakan dalam proses pertumbuhan. Transformasi


ini disebut asimilasi.
5) Respirasi
Dalam proses ini sel mengambil oksigen dari udara atau air dan
mempergunakannya dalam oksidasi sehingga dihasilkan energi dalam
bentuk panas. Dalam benih yang sedang berkecambah karbohidrat atau
substrat lain dioksidasi untuk produksi energi. Jumlah oksigen yang
diperlukan untuk respirasi bergantung pada macam substrat yang sedang
dioksidasi.
6) Pertumbuhan
Pertumbuhan pada benih yang sedang berkecambah, diawali baik
berupa perpanjangan sel dan maupun pembelahan sel. Bagian embrio tempat
pertumbuhan pertama terjadi kelihatannya berlainan dari spesies ke spesies.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kadar air benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)
Untuk memulai proses perkecambahan, benih harus mencapai suatu
kadar air minimum. Air dalam proses perkecambahan dipergunakan dalam
banyak reaksi biokimia. Salah satu proses biokimia yang terjadi adalah
proses perombakan simpanan bahan makanan yang terdapat dalam benih.
Air diperlukan untuk mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam
proses perombakan, seperti enzim amilase untuk merombak karbohidrat
menjadi glukosa, enzim lipase untuk merombak lemak menjadi asam lemak
dan gliserol, serta enzim protase untuk merombak protein menjadi asam
amino (Byrd 1968).
Benih Angsana yang digunakan adalah benih yang memiliki mutu fisik
yang baik dengan kriteria berwarna coklat tua, ukuran relatif sama, tidak
rusak/cacat, tidak terdapat gerowong, dan tidak terserang hama penyakit
(Gambar 4).

Gambar 4 Buah bersayap (a), buah tidak bersayap (b), benih (c) Angsana yang
digunakan dalam penelitian

Kadar air merupakan salah satu indeks mutu benih yang penting, oleh
karena itu sangat diperlukan penguasaan teknik dan metode penentuan kadar
air benih. Penentuan kadar air benih pada prinsipnya merupakan penguapan
air bebas dari contoh benih, sehingga mengakibatkan berkurangnya berat
awal contoh benih yang mencerminkan berat air yang dikandung oleh benih
tersebut setelah benih dikeringkan dalam oven bersuhu 1032 0C selama
17 1 jam. Adapun perhitungan kadar air (Tabel 1).

Tabel 1 Persentase kadar air benih Angsana


Ulangan
BB (gr)
BK (gr)
1
10
8,90
2
10
8,88
3
10
8,91
Rata-rata
10
8,90
Keterangan : BB : Berat basah

BK : Berat kering

KA (%)
11,05
11,16
10,88
11,03
KA : Kadar air

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air (KA) rata-rata benih Angsana


yaitu sebesar 11,03%, sehingga benih Angsana digolongkan ke dalam benih
Ortodoks. Benih Ortodoks mempunyai sifat dapat di simpan dalam waktu
yang relatif lama dengan kadar air rendah. Benih ini tahan kekeringan
sampai kadar air 5%. Ciri-ciri benih Ortodoks adalah kulit keras, ukurannya
relatif

kecil, setelah matang dan jatuh dari pohonnya tidak segera

berkecambah tetapi butuh waktu yang cukup lama untuk berkecambah.


4.1.2 Proses perkecambahan benih Angsana
Proses perkecambahan adalah suatu proses mulai tumbuhnya benih
sampai pada suatu tahap struktur kecambah berkembang menjadi tanaman
sempurna jika ditanam pada media yang cocok. Secara visual dan
morfologis suatu biji yang berkecambah ditandai dengan terlihatnya akar
dan daun yang menonjol keluar dari biji. Perkecambahan benih Angsana
termasuk tipe epigeal, radikel diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara
keseluruhan dan membawa serta kotiledon yang masih menutup dan plamula
ke atas permukaan tanah, kemudian diikuti membukanya kotiledon dan
epikotil memanjang dengan empat lembar daun pertama.
perkecambahan benih Angsana (Gambar 5).

Proses

Gambar 5 Proses perkecambahan benih Angsana


Proses perkecambahan benih Angsana melewati tiga fase yaitu fase
imbibisi, fase perkecambahan dan fase pertumbuhan yang diawali dengan
munculnya radikula (Sutopo 2004), sedangkan menurut Kozlowski dan
Kldier proses perkecambahan benih meliputi tujuh tahap yaitu penyerapan
air secara imbibisi, peningkatan pernapasan, peningkatan aktifitas enzim
dan amilase oleh GA3 digerakan oleh H2O, pembelahan sel, degradasi
cadangan makanan oleh enzim dan amilase, peningkatan pembesaran
dan pertumbuhan sel dan translokasi cadangan makanan ke titik-titik
tumbuh, dan pembentukan organ makanan. Benih Angsana mulai
berkecambah pada hari ke-4, ditandai dengan munculnya radikula dan
kotiledon ke atas permukaan tanah, plamula terlihat 7 hari setelah
kotiledon terlihat dan plamula berubah menjadi daun 5 hari setelah plamula
terlihat.

Buah Angsana umumnya terdiri 1-2 benih yang sulit dihancurkan.


Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap buah
berfungsi seperti biji yang menghasilkan satu sampai dua kecambah
(Gambar 6).

Gambar 6

Kecambah benih Angsana (a) dan kecambah benih Angsana


yang menggantung (b)

Gambar 6 menunjukkan bahwa dalam 1 buah terdapat 2 benih


Angsana yang berkecambah dalam selang waktu berbeda 1-2 hari. Kedua
kecambah tersebut bertahan hidup 1-3 hari, pada hari ke 4 benih yang
berkecambah kedua mati dan akhirnya yang bertahan menjadi kecambah
normal hanya 1 kecambah yaitu benih yang berkecambah awal. Hal ini
disebabkan pertumbuhan radikula kecambah ke dua tidak secepat kecambah
yang pertama sehingga semakin jauh dari tanah dan radikula mengalami
kelayuan, kering dan akhirnya mati, sedangkan kecambah yang pertama
pertumbuhannya semakin tinggi
4.1.3 Daya berkecambah benih Angsana
Daya berkecambah adalah jumlah kecambah normal yang dapat
dihasilkan oleh benih murni pada kondisi lingkungan tertentu dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan. Hasil pengamatan daya berkecambah benih
Angsana selama 60 hari diperoleh data bahwa benih Angsana mulai
berkecambah pada hari ke-4 setelah ditanam di bak tabur dan mulai

berkecambah lebih banyak lagi pada hari-hari berikutnya. Hasil daya


berkecambah benih Angsana yang ditanam di bak tabur pada akhir
pengamatan (Gambar 7).

80

100.00

.3
3

10

10

120.00

80.00

38

.3
3
25

.3
3

20

40.00

.6
7

Daya
60.00
berkecambah (%)

20.00

0.00
B0

B1

B2

B3

B4

B5

Perlakuan pematahan dormansi

Gambar

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya


berkecambah benih Angsana

Gambar 7 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana


pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)
dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 selama 24 jam) menghasilkan
daya berkecambah yang paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 100%,
sedangkan daya berkecambah yang paling kecil diperoleh pada perlakuan
B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam
dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 20,33%.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap
daya berkecambah benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 2).

Tabel 2

Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi


terhadap daya berkecambah benih Angsana
Sumber Keragaman DF
JK
KT
F hitung
Sig

Perlakuan (B)

20520,44

4104,09

Galat
Total

12
17

284,67
20805,11

23,72

173,01
**

0,00

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi


berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah benih Angsana pada
selang kepercayaan 99%. Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik
selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap daya berkecambah benih Angsana
Perlakuan
Daya berkecambah (%)
Peningkatan daya
berkecambah (%)
B0

20.33a **
a

B1

25.33

24,59

B2

100d

391,88

B3

90,21

38.67

B4

80.33

295,13

B5

100d

391,88

Keterangan :** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan
tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 3 menunjukkan bahwa respon daya berkecambah paling kecil


pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit
kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 20,33%,
sedangkan daya berkecambah tertinggi diperoleh pada perlakuan B2
(perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama 10 menit) dan B5
(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu masing-masing
sebesar 100% atau meningkat 391,88% dibandingkan dengan B0 (kontrol)
(Gambar 8). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mampu mengatasi faktor
yang mempengaruhi perkecambahan sehingga benih Angsana tumbuh dan
berkembang menjadi kecambah normal.

B0

B2

B5

Gambar 8 Pengaruh pematahan dormansi terhadap daya berkecambah pada


perlakuan B0, B2 dan B5
4. 1. 4 Nilai perkecambahan benih Angsana
Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan
perkecambahan benih. Makin tinggi nilai perkecambahan, berarti semakin
sempurna proses perkecambahan benih.
Pengaruh perlakuan pematahan dormansi benih Angsana memberikan

1.
05

0.
93
0.
55

ab
0.
48

a
0.
40

0.80
Nilai
perkecambahan 0.60
(%/hari)2
0.40

1.00

1.
13

1.20

respon nilai perkecambahan yang berbeda-beda (Gambar 9).

0.20
0.00
B0

B1

B2

B3

B4

B5

Perlakuan
pematahan dormansi

Gambar 9

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai


perkecambahan benih Angsana

Gambar 9 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana


pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)
menghasilkan nilai perkecambahan benih Angsana yang paling tinggi yaitu
sebesar 1,13 (%/hari)2, sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh
pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit

kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,40
(%/hari)2.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap
nilai perkecambahan benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 4).
Tabel 4

Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi


terhadap nilai perkecambahan benih Angsana.
Sumber Keragaman
DF
JK
KT
F hitung
Sig

Perlakuan (B)

1,51

0,302

Galat
Total

12
17

0,04
1,55

0,003

82,48**

0,00

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi


berpengaruh sangat nyata terhadap nilai perkecambahan benih Angsana.
Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut
Duncan (Tabel 5).
Tabel 5 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap nilai perkecambahan benih Angsana.
Peningkatan nilai
Perlakuan
Nilai perkecambahan
2
perkecambahan (%)
(%/hari)
B0

0,40 a **
ab

B1

0,48

B2

1,13 d

182,5

B3

37,5

B4

0,93

132,5

B5

1,05 d

162,5

0,55

20

Keterangan:** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan
tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 5 menunjukkan respon nilai perkecambahan paling kecil


diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit
kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,40 (%
/hari)2, sedangkan respon nilai perkecambahan benih Angsana terbesar

diperoleh pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama


10 menit) yaitu sebesar 1,13 (%/hari)2 atau meningkat 182,5% dibandingkan
dengan B0 (kontrol). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2
mampu berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal
dilapangan.
4.1.5 Kecepatan tumbuh benih Angsana
Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang
tumbuh setiap hari. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan

1.
41

B4

B5

0.
91

a
0.
77

1.00
kecepatan
tumbuh 0.80
(%/hari)
0.60

1.20

1.
06

1.40

1.
39

1.
41

1.60

respon kecepatan tumbuh benih Angsana yang berbeda-beda (Gambar 10).

0.40
0.20
0.00
B0

B1

B2

B3

Perlakuan
pematahan dormansi

Gambar 10 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan


tumbuh benih Angsana
Gambar 10 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana
pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)
dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)
menghasilkan kecepatan tumbuh yang paling tinggi yaitu masing-masing
sebesar 1,41 (%/hari), sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh pada
perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian
direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,77 (%/hari).
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap
kecepatan tumbuh benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi


terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.
Sumber Keragaman
DF
JK
KT
F hitung Sig
Perlakuan (B)

1,21

Galat
Total

12
17

0,01
1,22

0,24 200,27** 0,00


0,001

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi


berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.
Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut
Duncan (Tabel 7).
Tabel 7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.
Perlakuan
Kecepatan tumbuh
Peningkatan kecepatan
(%/hari)
tumbuh (%)
B0
0,77 a**
0
B1

0,91b

18,18

B2

1,41

83,12

1,06

37,66

B4

1,39

80,52

B5

1,41d

83,12

B3

Keterangan: ** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan
tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01

Tabel 7 menunjukkan bahwa respon kecepatan tumbuh paling kecil


diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit
kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,77
(%/hari), sedangkan kecepatan tumbuh tertinggi diperoleh pada perlakuan
B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) dan B2
(perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) yaitu masing-masing
sebesar 1,41 (%/hari) atau meningkat sebesar 83,12% dibandingkan dengan
B0 (kontrol). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 berpengaruh sangat nyata
terhadap kekuatan tumbuh benih Angsana.

4.1.6 Laju perkecambahan benih Angsana


Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari
yang diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Jumlah rata-rata
hari berkecambah benih digunakan untuk mengetahui respon dari perlakuan
terhadap benih untuk berkecambah maksimal sampai dengan akhir
pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon
laju perkecambahan (Gambar 11).

47
18
.

a
18
.5
9

26
.5
6

32
19
.

20.00

ab

ab
72
20
.

25.00

23
.

48

bc

30.00

Laju
perkecambahan 15.00
(hari)
10.00
5.00
0.00
B0

B1

B2

B3

B4

B5

Perlakuan
pematahan dormansi

Gambar 11

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap laju


perkecambahan benih Angsana

Gambar 11 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana


pada perlakuan B3 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 15 menit)
menghasilkan laju perkecambahan benih Angsana yang paling lama yaitu
selama 26,56 hari atau 27 hari, sedangkan laju perkecambahan yang paling
cepat yaitu pada B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)
yaitu selama 18,29 hari atau 19 hari.
Untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi terhadap laju
perkecambahan benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 8).

Tabel 8

Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi


perhadap laju perkecambahan benih Angsana
Sumber Keragaman DF
JK
KT
F hit
Sig
B

155,89

31,177

Galat

12

75,29

6,274

Total

17

231,18

4,97*

0,01

Keterangan ** Berpengaruht nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi


berpengaruh nyata terhadap laju perkecambahan benih Angsana. Untuk
mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan
(Tabel 9).
Tabel 9 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap laju perkecambahan benih Angsana
Perlakuan
Laju perkecambahan
Peningkatan laju
(hari)
perkecambahan (%)
bc**
B0
23,48
0
B1

20,72 ab

-11,75

B2

19,32

ab

-17,72

B3

26,56

13,12

18,47

-21,34

18,59

-20,83

B4
B5

Keterangan : ** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan
tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01

Tabel 9 menunjukkan respon laju perkecambahan paling cepat


diperoleh pada perlakuan B4 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama
12 jam) yaitu 18,47 hari atau 19 hari, sedangkan respon laju perkecambahan
paling lama diperoleh pada B3 (perendaman dengan larutan H2SO4 1%
selama 15 menit) yaitu 26,56 hari atau 27 hari meningkat 13,12%
dibandingkan B0 (kontrol). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B3
memiliki kekuatan tumbuh yang rendah.
4.1.7 Batas 80% berkecambah benih Angsana

Batas 80% berkecambah adalah parameter untuk menyatakan


lamanya waktu (hari) yang dibutuhkan benih untuk dapat mencapai 80%
dari total benih yang berkecambah. Waktu untuk menyatakan batas 80%
dihitung berdasarkan jumlah benih yang berkecambah setiap hari hingga
mencapai 80% dari total benih yang berkecambah. Batas 80%
berkecambah memberikan indikasi terhadap daya tumbuh atau virgor
benih. Benih-benih yang berkecambah pada batas 80% (hari) memiliki
virgor yang baik. Benih yang berkecambah setelah batas 80% biasanya
pertumbuhan semainya kurang baik, kerdil dan bahkan mati.
Hasil perkecambahan selama 60 hari menunjukkan bahwa

batas

80% berkecambah dicapai pada hari ke-25 sampai hari ke-36 setelah
perkecambahan. Rekapitulasi batas 80% dan jumlah benih yang
berkecambah setiap perlakuan (Tabel 10).
Tabel 10 Pengaruh pematahan dormansi terhadap batas 80% dan jumlah
benih Angsana berkecambah
Perlakuan
Batas 80% berkecambah
(hari/benih)
B0
34/20
B1
30/25
B2
25/100
B3
36/39
B4
26/80
B5
25/100
Tabel 10 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana
pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)
dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) mencapai
batas 80% berkecambah yang paling cepat yaitu 25 hari setelah tanam,
sedangkan batas 80% berkecambah yang paling lama yaitu pada B3
(perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama 15 menit ) yaitu 36 hari
setelah tanam. Tingginya variasi hari batas 80% perkecambahan
menunjukkan bahwa B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10
menit) dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 selama 24 jam)
berpengaruh terhadap perkecambahan benih Angsana.

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon batas


80% benih Angsana yang berbeda-beda (Gambar 12).
120
100
80
Batas 80%
berkecambah60
(hari)
40
20
0
1

10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58
Hari ke-

B0

B1

B2

B3

B4

B5 Batas 80%

Gambar 12 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap batas 80%


berkecambah benih Angsana
Gambar 12 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih
Angsana pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1%
selama 10 menit) dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama
24 jam) lebih cepat mencapai batas 80% berkecambah yaitu masingmasing selama 25 hari dibandingkan dengan B3 (perendaman dengan
larutan H2SO4 1% selama 15 menit) yaitu

selama 36 hari. Hal ini

menunjukkan bahwa benih yang lama untuk mencapai batas 80%


berkecambah umumnya benih mengalami permasalahan (embrio kurang
masak fisiologis, adanya hambatan terapan air, dan struktur kulit yang
keras).
4.1.8 Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana
a. Tinggi bibit sapihan
Pengukuran pertumbuhan semai Angsana dilakukan pada akhir
pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon
tinggi bibit sapihan yang berbeda-beda (Gambar 13).

1.
53

1.
39

1.
33

1.45

1.
52

1.
46

1.
53

1.50

Tinggi bibit
1.40
sapihan Angsana
1.35
(cm)

1.55

1.30
1.25
1.20
B0

B1

B2

B3

B4

B5

Perlakuan
pematahan dormansi

Gambar 13 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi bibit


sapihan Angsana
Gambar 13 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana
pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)
dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)
menghasilkan tinggi bibit sapihan yang paling tinggi yaitu masing-masing
sebesar 1,53 cm, sedangkan pengaruh yang paling kecil yaitu pada B0
(perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam dengan
air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 1,33 cm.
Untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit
sapihan Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 11).
Tabel 11

Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi


terhadap tinggi bibit sapihan Angsana
Sumber Keragaman
DF
JK
KT
F hit
sig
Perlakuan (B)
5
0,11
0,02 50,22**
0,00
Galat

12

0,005

Total

17

0,115

Keterangan

**

0,0005

perlakuan berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi


berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi bibit sapihan Angsana (Gambar

14). Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji


lanjut Duncan (Tabel 12).
Tabel 12 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap tinggi bibit sapihan Angsana
Lama perendaman
Tinggi bibit sapihan
Peningkatan tinggi
(cm)
bibit sapihan (%)
a
B0
1,33 **
0
b
B1
1,39
4,51
d
B2
1,53
15,04
c
9,77
B3
1,46
d
B4
1,52
14,29
d
B5
1,53
15,04
Keterangan : **Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan
tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 12 menunjukkan respon tinggi bibit sapihan paling kecil


diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30
menit kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar
1,33 cm, sedangkan respon tinggi bibit sapihan terbesar diperoleh pada
perlakuan B2 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) dan B5
(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu masingmasing sebesar 1,53 cm atau meningkat 15,04% dibandingkan dengan B0
(kontrol). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mempengaruhi dengan
sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit sapihan Angsana.

B2

B5

B4

B3

B1

B0

Gambar 14 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi ratarata bibit sapihan Angsana pada perlakuan B0, B1, B2, B3, B4,
dan B5.

b. Diameter bibit sapihan


Diameter semai merupakan salah satu indikator pertumbuhan
tanaman ke arah radial. Pengukuran diameter bibit sapihan dilakukan pada
akhir pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan
respon diameter bibit sapihan Angsana yang berbeda-beda (Gambar 15).
b
06
.
1

1.20

b
07
.
1

b
10
.
1

1.00

a
65
0.

0.80
Diameter
bibit sapihan 0.60
Angsana (mm)
0.40

0.

a
51

a
48
0.

0.20
0.00
B0

B1

B2

B3

B4

B5

Perlakuan
pematahan dormansi

Gambar 15 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap diameter


bibit sapihan Angsana
Gambar 15 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana
pada perlakuan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)
menghasilkan diameter bibit sapihan Angsana paling tinggi yaitu sebesar
1,10 mm, sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh pada perlakuan
B1 (perendaman dengan air hasil fermentasi rebung bambu Apus selama 12
jam) yaitu sebesar 0,48 mm. Hal ini berarti perlakuan B5 mempengaruhi
pertumbuhan diameter semai.
Untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi terhadap diameter
bibit sapihan Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 13).

Tabel 13

Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi


terhadap diameter bibit sapihan Angsana
Sumber Keragaman
DF
JK
KT
Fhit
Sig
Perlakuan (B)

1,35

0,27

Galat
Total

12
17

0,37
1,72

0,03

8,71**

0,001

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 13 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi


berpengaruh sangat nyata terhadap terhadap dameter bibit sapihan Angsana.
Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut
Duncan (Tabel 14).
Tabel 14 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap diameter bibit sapihan Angsana
Perlakuan
Diameter bibit sapihan
Peningkatan diameter bibit
(mm)
sapihan (%)
B0

0,51 a **
a

B1

0,48

B2

1,06 b

B3

0,65 a

B4

1,07

1,10

B5

0
-5,88
107,84
27,45
109,80
115,69

Keterangan : **Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan
tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 14 menunjukkan respon diameter bibit sapihan paling kecil


diperoleh pada perlakuan B1 (perendaman dengan air hasil fermentasi
rebung bambu Apus selama 12 jam) yaitu sebesar 0,48 mm, sedangkan
respon diameter bibit sapihan terbesar diperoleh pada perlakuan B5
(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu sebesar 1,10
mm atau meningkat 115,69% dibandingkan dengan B0 (kontrol). Hal ini
berarti perlakuan B5 mempengaruhi dengan sangat nyata terhadap
pertumbuhan diameter bibit sapihan Angsana.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Kadar air benih Angsana
Faktor yang mempengaruhi kemampuan perkecambahan benih salah
satunya adalah kadar air benih. Benih ortodoks yaitu benih yang mengalami
desikasi secara alami pada pohon induknya, dengan kriteria benih masak
secara fisiologis.

Benih ortodoks tahan terhadap pengeringan hingga

mencapai kadar air 5%. Kelompok benih ortodoks umumnya dijumpai pada
spesies-spesies tanaman setahun, dua tahunan, dan benih-benih tanaman
kehutanan yang dibudidayakan dengan ukuran benih yang kecil. Benih
Angsana termasuk benih ortodoks karena ukuran benih kecil, tahan terhadap
pengeringan hingga kadar air 11,03% pada suhu 10320C selama 171 jam.
Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1990), penyimpanan benih ortodoks pada
kadar air yang tinggi dapat menurunkan kemampuan perkecambahan benih
dan mendukung berkembangnya cendawan.
Secara alami benih tetap melakukan respirasi yang merupakan satusatunya proses fisiologis yang masih berjalan walaupun dalam keadaan
disimpan dalam suatu wadah. Menurut Sutopo (2004), respirasi dalam benih
sangat dipengaruhi oleh kadar air benih, pada kadar air yang masih tinggi
(>8%) respirasi berjalan cepat dan juga memperbesar peluang terjadinya
cendawan. Hal ini tidak menguntungkan bagi benih karena dapat
menurunkan daya berkecambah benih. Biasanya respirasi yang terjadi pada
benih merupakan fungsi dari suhu dan kadar air benih. Peningkatan respirasi
akan menyebabkan penurunan cadangan karbohidrat sehingga kemampuan
perkecambahan benih cepat menurun. Respirasi menyebabkan terbentuknya
air dan CO2 yang menyebabkan kelembaban di sekitar benih meningkat dan
suhu bertambah sehingga memacu pertumbuhan jamur dan cendawan.
Pada benih yang berkadar air tinggi, turunnya daya berkecambah
disebabkan oleh proses respirasi yang merombak cadangan makanan baik
berupa karbohidrat menjadi energi untuk mempertahankan diri. Pada
akhirnya energi benih yang terdapat pada jaringan-jaringan meristem akan
terkuras sehingga benih tidak dapat berkecambah lagi (Sadjad et al. 1975).

4.2.2 Proses perkecambahan benih Angsana


Secara

morfologis,

sukar

ditentukan

dengan

pasti

kapan

perkecambahan berakhir dan kapan pertumbuhan dimulai. Perkecambahan


adalah proses embrio tumbuh kembali menjadi kecambah yang ditandai
dengan keluarnya bakal akar dan bakal tanaman dari kulit biji. Faktor-faktor
yang menentukan perkecambahan adalah faktor dalam dan faktor luar.
Faktor dalam terdiri dari tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dan
dormansi benih, sedangkan faktor luar terdiri dari air, temperatur, oksigen,
cahaya, dan media (Sutopo 2004).
Proses perkecambahan melewati fase imbibisi, fase perkecambahan
dan fase pertumbuhan yang diawali dengan munculnya radikula. Dalam fase
imbibisi air diserap oleh benih, baik benih dorman maupun non dorman,
proses ini berlangsung karena adanya perbedaan potensial air antara benih
dengan air yang sangat besar. Pada fase perkecambahan merupakan periode
mulai aktifnya metabolisme sebagai persiapan untuk perkecambahan pada
benih non dorman, sedangkan pada fase pertumbuhan hanya terjadi pada
benih non dorman yang viabel ditandai dengan munculnya akar dan diikuti
dengan proses pembelahan sel ekstensif, peningkatan laju penyerapan air
dan perombakan cadangan makanan.
Proses perkecambahan dibantu oleh dua proses metabolisme, yaitu
katabolisme dan anabolisme. Proses katabolisme berpengaruh terhadap
simpanan makanan sehingga menghasilkan energi pembentukan sel-sel baru
untuk pertumbuhan. Proses katabolisme dan anabolisme masing-masing
dilaksanakan dalam organ yang terpisah, yaitu katabolisme dalam
endosperma dan anabolisme dalam embrio (Sadjad et al. 1975).
Tipe

perkecambahan

benih

Angsana

termasuk

dalam

tipe

perkecambahan epigeal yaitu pertumbuhan radikula diikuti dengan


memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon
yang masih menutup dan plumula ke atas permukaan tanah. Kotiledon
kemudian terpisah satu sama lain dan menjadi daun pertama yang
berfotosintesis (paracotyledons) (Vogel 1980 diacu dalam Schmidth 2002).
Paracotyledon ini secara morfologi berbeda dengan daun sebenarnya,

paracotyledon tidak berkembang menjadi lebih besar, tidak mempunyai urat


daun dan mempunyai struktur tidak berdaging (fleshy), sejalan dengan
perkembangan epikotil dan plamula, paracotyledon kemudian gugur.
Buah Angsana umumnya terdiri 1-2 benih yang sulit dihancurkan.
Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap buah
berfungsi seperti biji yang menghasilkan satu sampai dua kecambah, akan
tetapi benih Angsana tersebut jika berkecambah dalam 1 buah terdapat 1-2
kecambah maka benih yang berkecambah kedua akhirnya mati. Hal ini
disebabkan pertumbuhan radikula kecambah ke dua tidak secepat kecambah
yang pertama sehingga semakin jauh dari tanah dan radikula mengalami
kelayuan, kering dan akhirnya mati, sedangkan kecambah yang pertama
pertumbuhannya semakin tinggi.
Menurut Choldumrongkul dan Siratanum (2005) diacu dalam
Wulandari (2006) menyatakan bahwa buah jati memiliki perkecambahan
yang rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya penghalang alami yang
terdapat dalam buah jati, yaitu berupa penghalang fisiologis, fisik, dan
morfologi. Hasil penelitian Wulandari (2006) dalam perkecambahan buah
jati Muna dan jati Malabar Muna dengan perlakuan penjemuran dan
perendaman secara bergantian selama 4 hari, dilanjutkan dengan pemeraman
dalam karung goni selama 2 hari, buah kemudian direndam dalam larutan
fungisida 0,2% dan bakterisida 0,2% selama 5 menit kemudian dibilas
dengan air. Dengan perlakuan tersebut buah jati mulai berkecambah 6 hari
setelah tanam, dan memiliki daya berkecambah untuk buah jati Jawa, jati
Muna, dan jati Malabar Muna masing-masing sebesar 13,85%, 13,5% dan
16%.

Di samping itu, menurut PROSEA (1994) buah jati berkecambah

mulai berkecambah 10 hari setelah tanam dan akan berhenti berkecambah 23 bulan setelah tanam. Perkecambahan benih jati biasanya kurang dari 50%
tetapi dapat mencapai 80%.
Selain jati, perkecambahan biji Ulin sangat lambat dan tidak teratur,
disebabkan kulit biji luar yang sangat keras sehingga sukar untuk menyerap
air dalam proses imbibisi yang diperlukan untuk perkecambahan. Waktu
yang diperlukan antara 6 12 bulan untuk perkecambahan secara alami.

Terlepasnya keping biji dapat mengakibatkan kematian tanaman muda,


sebab tanaman muda Ulin sangat membutuhkan cadangan makanan untuk
jangka waktu yang relatif lama. Dengan membuang pucuk kulit benih,
diperoleh persentase perkecambahan sebesar 70% dan tanpa dilakukan
tindakan pembuangan pucuk kulit benih hanya diperoleh persentase
perkecambahan 40% dalam waktu 24 hari Beekman (1949) diacu dalam
Kirak (2007).
Dengan demikian pengguntingan sayap pada benih Angsana juga
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan persentase berkecambah.
Menurut Siswoyo (2003) teknik penanganan benih Angsana dengan
diekstraksi menunjukkan peningkatan persentase berkecambah yang lebih
baik yaitu sebesar 66,77% dibandingkan dengan tanpa diekstraksi yaitu
sebesar 55,23%. Benih biasanya merupakan jaringan yang berlapis ganda
yang berasal dari integumen, ovulum yang berfungsi melindungi embrio dari
dehidrasi dan kerusakan mekanik juga terhadap serangan hama, serangga
serta jasad renik. Fungsi lain dari kulit benih adalah sebagai penggerek dan
pemindah

zat-zat

makanan,

zat

kimia

yang

aktif

menghalangi

perkecambahan (Kamil 1979).


4.2.3 Perlakuan pematahan Dormansi
Perlakuan pematahan dormansi dapat dilakukan dengan cara
perendaman dengan zat kimia yaitu H2SO4 dan KNO3 serta zat alami yaitu
dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus yang mengandung giberelin.
H2SO4 merupakan salah satu zat kimia yang mampu meningkatkan
persentase perkecambahan pada benih yang memiliki dormansi kulit benih
yang keras . Hal ini disebabkan oleh H2SO4 memfasilitasi kandungan lignin
pada benih sehingga benih berlubang. Hal ini menyebabkan air mudah
masuk sehingga benih mudah berkecambah. Hasil penelitian tentang
penggunaan larutan H2SO4 untuk pematahan dormansi kulit dapat
digambarkan pada Jati (Tectona grandis Linn. F.). Penelitian Rinto Hidayat
(2005) tentang pematahan dormansi Jati dengan perendaman dalam larutan
Accu Zurr 10% selama 0, 5, 6, 7, 8, dan 9 menit. Perendaman dalam larutan

Accu Zurr selama 9 menit memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
daya kecambah, nilai perkecamahan, dan kecepatan tumbuh benih jati.
Potasium

nitrat

(KNO3)

merupakan

salah

satu

perangsang

perkecambahan yang sering digunakan baik dalam hubungannya dengan


pengujian maupun dalam operasional perbanyakan tanaman karena KNO3
mampu memasakan embrio terutama embrio yang belum masak fisiologis.
KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap persentase perkecambahan
dan vigor pada perlakuan pendahuluan asam benih Acacia nilotica (Palani et
al. 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Pada konsentrasi 1% perkecambahan
meningkat dari 37% (kontrol) menjadi 79% dan pada konsentrasi 2%
meningkat menjadi 85%. Pada Casuariana equiaetifolia perkecambahan
meningkat dari 46% dalam kontrol menjadi 65% setelah perendaman dengan
1,5% KNO3 selama 36 jam. Pada percobaan ini, konsentrasi tertinggi dan
terendah

dan

lamanya

waktu

perendaman

yang

sangat

singkat

memperlihatkan perkecambahan yang sangat rendah (Maideen et al. 1990


diacu dalam Schmidth 2002).
Rebung diduga memiliki hormon giberelin (GA3) yaitu kelompok
hormon tanaman yang ada secara alami. Hormon ini berperan utama dalam
proses awal perkecambahan melalui aktivitas enzim pengangkutan cadangan
makanan. Giberelin dapat mengatasi dormansi suhu, dormansi cahaya, dan
dormansi yang diakibatkan zat-zat penghambat (Bewley dan Bleck 1982,
Villiers 1972 diacu dalam Schmidth 2002). Murthy dan Reddy (1989) diacu
dalam Schmidth (2002) menyatakan bahwa menggunakan konsentrasi 200
ppm untuk merangsang perkecambahan Ziziphus mauritiana. Benih tersebut
sesungguhnya tidak dorman, tetapi GA3 mempunyai pengaruh positif
terutama pada perkembangan tunas dan kekuatan tumbuh benih.
Dengan demikian pematahan dormansi benih Angsana dilakukan
dengan perendaman KNO3 1% selama 12, 24 jam, H2SO4 1% selama 10, 15
menit, dan fermentasi air rebung bambu Apus selama 12 jam. Parameter
yang diteliti dalam penelitian ini adalah daya berkecambah, nilai
perkecambahan, kecepatan tumbuh, laju perkecambahan, batas 80%

berkecambah, tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana. Hasil rekapitulasi


sidik ragam parameter tersebut disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Rekapitulasi sidik ragam setiap parameter yang diamati
Perlakuan
Parameter yang diamati
Perlakuan (B)

DB

NP

KCT

LP

**

**

**

**

**

Keterangan : ** perlakuan berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01


* perlakuan berpengaruh nyata pada taraf uji F0,01
Tabel 14 menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan pematahan
dormansi benih Angsana berpengaruh sangat nyata terhadap parameter daya
berkecambah, nilai perkecambahan, kecepatan tumbuh, tinggi dan diameter
bibit sapihan Angsana, sedangkan perlakuan berpengaruh nyata pada
parameter laju perkecambahan.
Daya berkecambah dan nilai perkecambahan benih merupakan
parameter yang dapat menggambarkan status kemampuan perkecambahan
benih. Benih yang masih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski
kondisi alami tidak optimum atau sub optimum disebut benih yang memiliki
virgor yang baik. Benih yang memiliki virgor yang baik akan menghasilkan
semai normal jika ditumbuhkan pada kondisi yang optimum dan dikatakan
memiliki kekuatan tumbuh. Benih yang memiliki kekuatan tumbuh yang
tinggi akan dapat menghasilkan tanaman yang tegar di lapangan meski
kondisi lapangan atau lingkungan tempat tumbuh tidak optimum. Parameter
kekuatan tumbuh benih dapat diungkapkan oleh tiga kelompok tolak ukur
yaitu laju perkecambahan, keserempakan tumbuh dan virgor spesifik
(Sadjad et al. 1999).
Daya berkecambah benih merupakan peubah utama yang dapat
memberikan gambaran status kemampuan perkecambahan benih selama
perkecambahan. Kemampuan perkecambahan

benih yang disimpan

berangsur-angsur menurun karena proses kemunduran benih. Benih yang


mengalami kemunduran ditandai dengan terlambatnya perkecambahan,
diikuti penurunan laju perkecambahan, keserempakan perkecambahan dan
daya berkecambah (Sadjad et al. 1999).

Mugnisjah dan Setiawan (1990) menyatakan bahwa salah satu proses


penting yang terjadi pada benda hidup adalah proses respirasi. Dalam proses
respirasi dihasilkan energi bebas dalam bentuk ATP dan NADH yang sangat
berguna dalam proses sintesis sel seperti asam amino, protein, lemak dan
lain-lain. Kemampuan benih untuk berkecambah tergantung dari tersedianya
energi dan senyawa-senyawa tersebut untuk sintesis sel-sel penyusun organ
kecambah yang meliputi akar dan pucuk. Semakin tinggi ketersediaan
senyawa tersebut, maka semakin tinggi pula kemampuan benih untuk
berkecambah, bearti benih tersebut memiliki kemampuan perkecambahan
tinggi.
Disamping memiliki virgor yang tinggi, benih dituntut untuk dapat
cepat tumbuh. Homogenitas perkecambahan diawali oleh keserempakan
perkecambahan benih sehingga selain cepat tumbuh benih yang virgor juga
tumbuh serempak. Keserempakan tumbuh terkait dengan kemampuan benih
memanfaatkan cadangan energi dalam masing-masing benih untuk tumbuh
menjadi kecambah atau bibit yang kuat secara serempak. Keserempakan
termasuk unsur waktu dan kinerja fisiologis (Sadjad et al. 1999).
4.2.3.1 Perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dengan keadaan
anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu
bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas
yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan
anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Air hasil fermentasi rebung bambu Apus dilakukan dengan

cara

mengambil air sari dari rebung yang didiamkan selama 3 hari. Menurut
Widjaja et al. (1994) komponen utama rebung mentah adalah air yang dapat
mencapai sekitar 91%. Selain itu rebung mengandung protein, 12 asam
amino esensial, karbohidrat, lemak, vitamin A, tiamin, riboflavin, asam
askorbat, serta unsur-unsur mineral seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium
dalam jumlah yang kecil.
Hasil uji lanjut Duncan dengan menggunakan hasil air fermentasi
rebung bambu Apus terhadap daya berkecambah yaitu sebesar 25,33%.

Hilangnya kemampuan benih untuk berkecambah berhubungan langsung


dengan kegiatan enzim. Mundurnya daya berkecambah benih terjadi karena
kekurangan enzim amilase dalam benih. Enzim ini berfungsi sebagai
katalisator dalam hidrolisa amilum yang tersimpan, sehingga kekurangan
enzim ini mempengaruhi pengiriman glukosa ke embrio (Sadjad et al. 1975).
Pengaruh perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus
pada waktu yang cukup lama dapat mengatasi dormansi mekanik yang
terjadi pada benih meningkat sebesar 25,33% dibandingkan dengan kontrol
(20,33%). Hal ini salah satunya dapat disebabkan rebung bambu Apus yang
memiliki hormon giberelin. Giberelin dapat mengembalikan virgor benih
yang telah menurun. Giberelin merupakan zat pengatur tumbuh yang
mempunyai pengaruh dalam perkecambahan benih yaitu bersifat mendorong
perkecambahan dan pembelahan sel. Giberelin mengaktifkan enzim-enzim
perkecambahan terutama enzim hidrolisis seperti amilase, protease,
fostafase, ribonuklease, dan beberapa enzim lainnya.
Giberelin disintesiskan dari asam mevelonat (MVA) di jaringan muda
di pucuk dan pada biji yang berkembang. GA3 ini terdapat pada berbagai
organ dan jaringan tumbuhan seperti akar, tunas, mata tunas, daun, bunga,
bintil akar, buah dan jaringan halus.
Menurut Fatimah (2006), perlakuan pematahan dormansi jati dengan
giberelin

10

ppm

memiliki

perkecambahan

tertinggi

40%

yang

menyebabkan batang menjadi lebih tinggi, daun yang terbentuk lebih


banyak, serta lebih panjang dan lebih lebar dibandingkan dengan kontrol dan
perlakuan yang lainnya (perendaman dengan H2SO4 pekat selama 20 menit,
KNO3 2% selama 24 jam, perlakuan fisik 2 tingkat yaitu biji direndam
dalam air panas (40C) selama 42 jam dan biji direndam dalam air selama
24 jam, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 14 hari,
penirisan kulit buah 1 tingkat, serta perlakuan kombinasi antara giberelin
dengan perlakuan fisik atau kimia (4x5 tingkat)). Hal ini disebabkan
giberelin merupakan hormon tumbuh yang mampu mengatasi dormansi biji
pada berbagai spesies dan berlaku sebagai pengganti suhu rendah, hari yang
panjang atau cahaya merah. Salah satu efek giberelin pada biji adalah

mendorong pemanjangan sel sehingga radikula dapat menembus endosperm


kulit biji atau kulit buah yang membatasi pertumbuhan (Sallisbury & Ross
1995) diacu dalam Fatimah (2006)
Nilai perkecambahan merupakan cerminan ukuran beberapa jumah
kecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal di lapangan.
Pematahan dormansi dengan perlakuan perendaman air hasil fermentasi
rebung bambu Apus memiliki nilai perkecambahan yaitu sebesar 0,48
(%/hari)2 atau sekitar 1 kecambah setiap hari atau jarang ada yang tumbuh
setiap hari selama hari pengamatan. Hal ini disebabkan oleh cadangan
makanan dalam benih kurang yang digunakan untuk proses metabolisme.
Disamping itu, kondisi fisik dan fisiologi juga semakin menurun termasuk
kandungan air, sehingga kemampuan perkecambahannya menurun.
Kemampuan perkecambahan benih Angsana juga dipengaruhi oleh
parameter kecepatan tumbuh. Kecepatan tumbuh merupakan gambaran
virgor benih. Pematahan dormansi dengan perendaman hasil air fermentasi
rebung bambu Apus selama 12 jam memiliki kecepatan tumbuh rendah yaitu
sebesar 0,91 (%/hari) atau 1 kecambah setiap hari selama pengamatan.
Sutopo (2004) menyatakan bahwa hilangnya kekuatan dan kecepatan
tumbuh karena respirasi yang cukup mempergunakan energi makanan yang
ada dalam sel-sel, tetapi tidak mengandung air yang cukup untuk
memindahkan jaringan makanan ke sel-sel yang sedang melangsungkan
respirasi sehingga terjadi kelaparan lokal pada sel-sel yang sedang
berespirasi. Selain itu kondisi fisik dan fisiologis benih juga semakin
menurun termasuk kandungan airnya sehingga kemampuan perkecambahan
juga akan menurun yang diindikasikan dengan kecepatan tumbuh yang
semakin menurun.
Laju perkecambahan merupakan salah satu parameter menghitung
kekuatan tumbuh (virgor) benih yang tujuannya untuk mengetahui jumlah
hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plamula. Laju
perkecambahan pada perlakuan perendaman dengan hasil air fermentasi
rebung bambu Apus yakni 20,72 hari atau sekitar 21 hari. Menurut Sutopo
(2004) mengatakan bahwa laju perkecambahan mencerminkan kekuatan

tumbuhnya. Semakin rendah laju perkecambahan akan menunjukkan


semakin cepat benih berkecambah dan semakin kuat pertumbuhan
kecambah.
Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana pada perendaman dengan
hasil air fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam yaitu masing-masing
sebesar 1,39 cm dan 0,48 mm. Hal ini disebabkan oleh faktor internal bibit
sapihan salah satunya hormon. Menurut Gardner et al. (1991) pertumbuhan
dapat didefinisikan sebagai pembelahan dan pembesaran sel akibat adanya
interaksi antara berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
antara lain laju fotosintesis, respirasi, pembagian hasil asimilasi dan
nitrogen, tipe letak meristem, kapasitas penyimpanan cadangan makanan,
diferensiasi, aktivitas enzim dan lain-lain. Hormon termasuk faktor internal
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, antara lain auksin,
sitokinin, dan giberelin. Hormon auksin merupakan hormon yang diproduksi
dipucuk untuk menstimulasi pertumbuhan akar, hormon sitokinin diproduksi
di akar untuk menstimulasi pertumbuhan pucuk, sedangkan giberelin untuk
diferensiasi sel. Pada pertumbuhan bibit sapihan hormon auksin akan lebih
berperan dibandingkan hormon sitokinin dan giberelin. Hormon auksin juga
akan menyebabkan terjadinya dominasi apikal, yaitu penghambatan kuncup
oleh apeks (ujung) yang aktif pada kuncup yang memanjang.
4.2.3.2 Perendaman dengan asam sulfat (H2SO4)
Pematahan dormansi dengan perendaman larutan H2SO4 1% selama 10
menit merupakan pematahan dormansi yang memiliki daya berkecambah
yaitu 100% meningkat 391,88% dibandingkan dengan kontrol hal ini dapat
disebabkan oleh adanya aktivitas asam sulfat (H2SO4) yang membuat kulit
benih menjadi lunak dan benih akan kehilangan lapisan yang permeabilitas
terhadap gas dan air, sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik.
Peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh larutnya sebagian
komponen lignin oleh kulit benih. Dengan kata lain air akan lebih mudah
masuk ke dalam benih tersebut yang diperlukan untuk merangsang
pertumbuhan embrio sehingga benih akan lebih mudah untuk berkecambah.
Menurut Sutopo (2004) faktor-faktor yang menentukan perkecambahan

adalah sifat benih yaitu tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dan
dormansi, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan benih
terdiri dari air, temperatur, oksigen, cahaya, dan media.
Pematahan dormansi perendaman dalam H2SO4 1% selama 10 menit
dapat meningkatkan daya kecambah, akan tetapi apabila terlalu berlebihan
dalam hal konsentrasi dan lama waktu pematahan dormansi tersebut akan
meyebabkan rusaknya embrio dan menyebabkan benih tersebut akan rusak
atau tidak dapat tumbuh. Seperti halnya pada pematahan dormansi
perendaman dalan H2SO4 1% selama 15 menit yang memiliki daya
berkecambah hanya sebesar 38,67%. Tingginya konsentrasi H2SO4 hanya
dibutuhkan lama perendaman yang singkat untuk mematahkan dormansi.
Lamanya perendaman lebih dari 10 menit akan mengakibatkan kerusakan
pada benih (over treatment), sehingga menyebabkan daya berkecambah,
kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan memiliki nilai yang rendah.
Umumnya dormansi mekanik terjadi pada benih-benih yang berkulit
keras seperti halnya pada benih Angsana. Kandungan lignin yang tinggi
pada benih diduga dominan dalam kulit benih sehingga menyebabkan kulit
Angsana menjadi keras. Hal ini sesuai dengan fungsi lignin pada awal
pembentuan sel, yaitu menambah kekuatan struktural sel dan berperan
sebagai pelindung polisakarida dari hidrolisis enzim selulase (Fahn 1992
diacu dalam Puspitarini 2003). Umumnya lignin adalah bahan pertama yang
muncul di bahan intraseluler dan dinding primer, kemudian bahan tersebut
akan tersebar ke arah pusat menembus dinding sekunder.
Penelitian Puspitarini (2003) stuktur benih pada benih Panggal Buaya
(Zanthoxylum

rhetsa

(Roxb)

D.C)

mengalami

perubahan

perendaman dengan H2SO4 95% selama 30 menit (Gambar 16).

setelah

Lb

Lm

A1

A2

Lm

Lb

B1

B2

Lm

Lb

C1

C2

Sumber : Puspitarini 2003


Keterangan :
Lm : Lamela
Lb: Lubang
Gambar 16 Struktur mikrokopis permukaan kulit benih Panggal Buaya
A1 (kontrol), A2 (setelah perlakuan perendaman asam
sulfat selama 30 menit), B1 (kontrol potongan arah
longitudinal), B2 (setelah perendaman asam sulfat 95%
selama 30 menit potongan arah longitudinal), C1 (Kontrol
potongan arah transversal), C2 (setelah perendaman asam
sulfat 95% selama 30 menit potongan arah transversal).

Gambar 16 menunjukkan sel-sel kulit benih Panggal Buaya yang


sebelumnya padat dan kompak dengan dinding sel yang tebal (A1, B1,
dan C1) kemudian menjadi longgar karena adanya lobang antar sel
akibat lamela tengah yang terlarut dalam asam sulfat dan dinding sel
yang menipis (A2, B2 dan C2). Kondisi ini memungkinkan bagi radikula
untuk menembus kulit benih karena kulit benih relatif menjadi lebih
lunak.
Menurut Yuniarti (1997) perlakuan pendahuluan pada benih
Merbau (Instia bijunga) dengan perendaman dalam H2SO4 pekat (100%)
selama 1-2 jam menunjukkan daya berkecambah yang cukup baik. Daya
berkecambah akan menurun apabila waktu perendaman semakin lama.
Keadaan ini disebabkan karena konsentrasi H2SO4 yang pekat dan keras
dapat membakar kulit benih sehingga menyebabkan kerusakan benih.
Kerusakan pada kulit menyebabkan zat asam dapat masuk ke
dalam benih dan merusak jaringan embrio. Hasil penelitian Muharni
(2002) tentang pematahan dormansi dengan menggunakan H2SO4 20 N
menghasilkan persentase kematian pada benih tertinggi. Hal ini terjadi
karena banyaknya benih yang pecah karena H2SO4. Jenis asam keras
seperti H2SO4, dapat merusak kulit benih atau jaringan embrio sehingga
terjadinya kemunduran metabolisme sehingga menyebabkan kematian
benih. Pengaruh lama perendaman dalam larutan H2SO4 dapat juga
menyebabkan kerusakan kulit benih dan jaringan embrio.
Pada pematahan dormansi dengan perlakuan perendaman dengan
H2SO4 1% selama 10 menit memiliki nilai perkecambahan terbesar
yaitu sebesar 1,13 (%/hari)2 atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama
pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pematahan dormansi
perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit paling efektif dalam
mematahkan dormansi benih Angsana, yaitu dengan melunakkan kulit
benih, sehingga air dapat dengan mudah masuk ke dalam benih. Namun,
apabila berlebihan dalam hal konsentrasi dan lama waktu pematahan
dormansi dapat menyebabkan kerusakan kulit benih atau jaringan embrio
seperti

halnya

nilai

perkecambahan

pada

pematahan

dormansi

perendaman H2SO4 1% selama 15 menit yaitu hanya sebesar 0,55


(%/hari) atau sekitar 1 kecambah setiap hari selama pengamatan.
Struktur kecambah penting yang diperlukan kecambah untuk
tumbuh adalah sistem perakaran, tunas aksial, kotiledon, dan kuncup
terminal. Kecambah normal adalah kecambah yang memiliki semua
struktur kecambah yang penting berkembang baik. Panjang kecambah
harus paling tidak dua kali panjang benih, dan kecambah harus dalam
keadaan sehat, sedangkan kecambah abnormal adalah kecambah yang
tidak memperlihatkan potensi untuk berkembang menjadi kecambah
normal (Sutopo 2004).
Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang
berkecambah setiap hari. Kecepatan tumbuh merupakan gambaran virgor
benih.

Pematahan dormansi dengan perendaman larutan H2SO4 1%

selama 10 menit pada bak kecambah memiliki kecepatan tumbuh sebesar


1,41 (%/hari) atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama pengamatan.
Benih yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi menunjukkan bahwa
benih tersebut memiliki virgor atau kekuatan tumbuh yang tinggi pula.
Sadjad et al. (1975) menyatakan bahwa benih yang lebih cepat tumbuh
menjadi kecambah normal mampu menghadapi kondisi lapang yang sub
optimum.
Laju perkecambahan yang diukur dengan menghitung rata-rata
hari

berkecambah

menunjukkan

kecepatan

benih

untuk

dapat

berkecambah, dalam hal ini adalah kecambah normal. Lama laju


perkecambahan benih Angsana hasil uji Duncan menunjukkan bahwa
pematahan dormansi dengan perendaman larutan H2SO4 1% selama 15
menit yaitu 26,56 hari atau sekitar 27 hari. Hal ini disebabkan oleh
denaturasi protein yang dapat mengakibatkan terhambatnya reaksi
biokimia

benih

dan

mempercepat

kemunduran

benih.

Gejala

kemunduran benih dapat berupa perubahan laju respirasi, aktivitas enzim


dan permeabilitas membran, sedangkan gejala fisiologis benih yang
mengalami kemunduran dapat berupa perubahan warna benih,
penurunan laju perkecambahan, berkurangnya laju toleransi terhadap

kondisi yang kurang baik, pertumbuhan benih lemah dan semakin


meningkatnya jumlah benih yang abnormal (Copeland diacu dalam
Murti 2000).
Benih yang bervirgor rendah akan menghasilkan kecambah yang
tidak normal yang ditunjukan oleh batang yang bengkok, kotiledon yang
relatif lama membuka sehingga daun menjadi kecil dan keriting dan
perakaran yang pendek. Perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama
10 menit memiliki waktu yang cepat untuk mencapai batas 80%
dibandingkan dengan H2SO4 1% selama 15 menit yaitu selama 25 hari.
Batas 80% perkecambahan benih menunjukkan bahwa benih-benih yang
berkecambah hingga batas 80% umumnya memiliki virgor yang baik,
sedangkan benih-benih yang berkecambah setelah periode tersebut
biasanya pertumbuhan semai yang kurang baik, kerdil bahkan mati.
Kemunduran benih berlangsung terus dengan semakin lamanya
benih dikecambahkan secara bertahap dan berakumulasi sebagai akibat
perubahan yang terjadi dalam benih. Kemunduran benih dapat
digolongkan atas kemunduran kronologis yang berkaitan dengan waktu
dan kemunduran fisiologis yang berkaitan dengan faktor lingkungan.
Akhir dari kemunduran benih adalah habisnya daya kecambah dari benih
yang bersangkutan (Sadjad et al. 1975)
Salah satu hambatan dalam perkecambahan benih Angsana adalah
adanya dormansi mekanik yang disebabkan oleh kulit biji yang keras,
sehingga tidak bisa ditembus akar. Selain itu udara dan air yang berperan
dalam proses perkecambahan terhambat untuk masuk ke dalam benih.
Hal tersebut menyebabkan turunnya kecepatan tumbuh dari benih
Angsana. Dengan diberi perendaman terlebih dahulu pada benih
Angsana sebelum ditabur dapat mempercepat perkecambahan benih
Angsana karena perendaman tersebut dapat melunakan benih, sehingga
dapat memacu kegiatan sel-sel dan enzim serta naiknya respirasi.
Dengan

demikian

proses

perombakan

bahan

makanan

dapat

berlangsung, sehingga menghasilkan energi yang dapat diuraikan ke


titik-titik tumbuh dan benih dapat berkecambah. Perendaman benih

Angsana dengan larutan H2SO4 1% selama 10 menit menyebabkan kulit


rusak dan memudahkan air masuk ke dalam benih.
Tingginya nilai tinggi dan diameter bibit sapihan pada pematahan
dormansi dengan perlakuan perendaman H2SO4 1% selama 10 menit
yaitu masing-masing sebesar 1,53 cm dan 1,06 mm. Hal ini disebabkan
oleh perkembangan embrio yang baik, sehingga memiliki kemampunan
yang tinggi dalam mengumpulkan cadangan makanan sebagai energi.
Semakin besar energi yang dimiliki maka pertumbuhan makanan lebih
besar dan semakin optimal. Benih yang besar akan mensuplai lebih
banyak makanan untuk pertumbuhan sehingga akan menghasilkan bibit
sapihan yang lebih besar pula (Sutopo 2004). Selain itu, tanaman
Angsana merupakan tanaman legum yang memiliki rhizobium (bintil
akar). Menurut Trubus (2006), rhizobium merupakan kelompok bakteri
berkemampuan sebagai penyedia hara bagi tanaman. Bila bersimbiosis
dengan tanaman legum, kelompok bakteri ini menginfeksi akar tanaman
dan membentuk bintil akar. Bintil akar berfungsi mengambil nitrogen di
atmosfer dan menyalurkannya sebagai unsur hara yang diperlukan
tanaman. Pigmen merah leghemoglobin yang berperan dalam mengambil
N di atmosfer. Pigmen ini dijumpai dalam bintil akar antara bakteroid
dan selubung membran yang mengelilinginya. Jumlah leghemoglobin di
dalam bintil akar memiliki hubungan langsung dengan jumlah nitrogen
yang difiksasi. Korelasinya positif, semakin banyak jumlah pigmen,
semakin besar nitrogen yang diikat. Rhizobium mampu menghasilkan
hormon pertumbuhan berupa IAA dan giberellin yang dapat memacu
pertumbuhan rambut akar, percabangan akar yang memperluas
jangkauan akar. Akhirnya, tanaman berpeluang besar menyerap hara
lebih banyak yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman
4.2.3.4 Perendaman dengan potassium nitrat (KNO3)
Kalium nitrat (KNO3) mengandung dua unsur penting yang
dibutuhkan oleh tanaman yaitu kalium dan nitrogen. Nitrogen berperan
dalam sintesis asam amino dan protein serta mampu meningkatkan
kemasakan fisiologis benih. Protein berperan sebagai katalisator dan

pengatur metabolisme. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar


enzim yang penting untuk fotosintesis dan respirasi. Kalium juga
mengaktifkan enzim yang diperlukan untuk pembentukan pati dan
nitrogen.
Hasil

uji lanjut Duncan pematahan dormansi terhadap daya

berkecambah pematahan dormansi perendaman dengan KNO3 1%


selama 12 jam memiliki daya berkecambah yaitu sebesar 80,33% yang
lebih kecil dibandingkan dengan pematahan dormansi perendaman
dengan KNO3 1% selama 24 jam yaitu sebesar 100%. Hal ini disebabkan
oleh perubahan pada struktur protein, berkurangnya cadangan makanan,
pembentukan asam lemak, aktifitas enzim, perubahan kromosom dan
kerusakan membran (Justice dan Bass 1990 diacu dalam Sajedhi 2002).
Perendaman benih Angsana dengan KNO3 1% selama 24 jam
dapat meningkatkan daya berkecambah benih Angsana sebesar 391,88%
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan KNO3 sebagai
pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan
benih akan O2 (Kartasapoetra 2003). Selain itu dengan penambahan N
dapat memasakan benih terutama benih yang belum masak secara
fisiologis.
Menurut

Satyanti

(2003)

diacu

dalam

Athiyah

(2008),

mengaplikasikan KNO3 dengan konsentrasi 1%, 2,5%, dan 5% dalam


usaha pematahan dormansi benih Kenanga. Persentase perkecambahan
benih dengan perlakuan KNO3 1% selama 30 menit yaitu sebesar
36,67%, sedangkan 60 menit adalah 63,33%. Perlakuan KNO3 2,5%
selama 30 menit yaitu sebesar 70%, sedangkan 60 menit adalah 60%,
dan perlakuan KNO3 5% selama 30 menit adalah 70%, sedangkan 60
menit adalah 76,67%. Bewle dan Black (1943) diacu dalam Athiyah
(2008) menyebutkan bahwa pematahan dormansi dengan KNO3 diduga
berhubungan dengan aktifitas lintasan pentosa fosfat, ketersediaan O2
yang terbatas mengakibatkan lintasan pentosa fospat menjadi non aktif,
karena O2 digunakan untuk aktifitas respirasi melalui lintasan lain.
Perlakuan benih dengan aseptor hidrogen seperti nitrat, nitrit dan

methylene blue diduga dapat membantu proses reoksidasi NADPH


sehingga mengaktifkan kembali lintasan pentosa fospat. NADH dan
NADPH merupakan koenzim yang penting untuk beberapa lintasan
metabolisme

yang

diperlukan

untuk

perkecambahan

benih,

perkembangan bibit dan organ penyimpanan. Koenzim tersebut


diantaranya berperan dalam proses respirasi, reaksi kimia, sintesis
deoxynukleotida dan katabolisme asam lemak.
Nilai perkecambahan sebagai indikator virgor benih merupakan
nilai

yang

menunjukkan

kecepatan

dan

kesempurnaan

benih

berkecambah nilai yang menunjukkan persentase benih yang dapat


tumbuh saat ditanam dilapangan. Pada pematahan dormansi dengan
perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 12 jam memiliki nilai
perkecambahan yaitu sebesar 0,93 (%/hari)2 atau sekitar 1 kecambah
setiap hari, sedangkan dengan pematahan dormansi perendaman dengan
KNO3 1% selama 24 jam yaitu sebesar 1,05 (%/hari)2 atau sekitar 2
kecambah setiap hari selama pengamatan. Nilai perkecambahan yang
tinggi menunjukkan perkecambahan yang sempurna dan cepat sebagai
indikator bahwa benih masih bagus sehingga mampu menghadapi
kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.
Sutopo (2004) mengatakan bahwa energi untuk perkecambahan
merupakan hasil asimilasi dari bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak
dan protein, yang kemudian ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh
sehingga terjadi perkecambahan dan pertumbuhan. Sementara itu daun
belum dapat berfungsi sebagai organ untuk fotosintesis, maka
pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan
yang ada dalam benih. Oleh karena itu, benih ada yang cepat
berkecambah tetapi strukturnya tidak sempurna, sehingga pertumbuhan
kecambah selanjutnya terhambat.
Benih yang lebih cepat tumbuh menjadi kecambah normal lebih
mampu menghadapi kondisi lapangan yang sub optimum (Sadjad et al.
1999). Kecepatan tumbuh benih Angsana pada perlakuan perendaman
dengan KNO3 1% selama 24 jam memiliki kecepatan tumbuh yang

tinggi yaitu sebesar 1,14 (%/hari) atau sekitar 2 kecambah setiap hari
selama pengamatan. Benih yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi
menunjukkan bahwa benih tersebut memiliki virgor kekuatan tumbuh
yang tinggi.
Laju perkecambahan perlakuan perendaman dengan

larutan

KNO3 1% selama 12 jam dan 24 jam yaitu masing-masing 18,47 hari


dan 18,59 hari atau sekitar 19 hari. Menurut Sadjad et al. (1975)
mengatakan bahwa makin kecil laju perkecambahan maka makin tinggi
kualitas dan kemampuan perkecambahan benih.
Tingginya nilai tinggi dan diameter bibit sapihan pada pematahan
dormansi dengan perlakuan perendaman dengan KNO3 1% selama 24
jam yaitu sebesar masing-masing 1,53 cm dan 1,1 mm. Hal ini
disebabkan benih mengandung bahan makanan antara lain karbohidrat,
protein, lemak dan mineral yang tersimpan dalam jaringan makanan
(Sutopo 2004). Komponen-komponen tersebut merupakan cadangan
energi benih untuk pertumbuhannya, semakin besar energi yang dimiliki
akan mendukung pertumbuhan tanaman yang lebih optimal. Menurut
Wocker dan Ruckman (1968) diacu dalam Sutopo (2004), ukuran benih
menunjukan korelasi positif terhadap kandungan protein. Semakin berat
atau besar ukuran benih maka kandungan proteinnya semakin meningkat
pula. Pada umumnya benih yang besar memungkinkan pemunculan dan
pertumbuhan bibit sapihan yang lebih baik serta memiliki potensi
fotosintesis yang lebih besar, karena memiliki suplai makanan yang lebih
banyak untuk pertumbuhan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan, hasil analisis, dan pembahasan maka dapat
disimpulkan:
1. Benih Angsana memiliki dormansi embrio dan kulit yang dapat
dipatahkan dengan perendaman KNO3 1% selama 24 jam dan H2SO4 1%
selama 10 menit dengan menghasilkan daya berkecambah masingmasing sebesar 100%.
2. Waktu tercepat perkecambahan benih Angsana selama 25 hari.
3. Kecepatan tumbuh benih tergantung kepada bahan kimia yang
digunakan untuk pematahan dormansi.
5.2 Saran
1. Dalam rangka penyediaan bibit berkualitas maka benih Angsana dapat
digunakan untuk produksi bibit setelah pematahan dormansi kulit benih.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pertumbuhan di lapangan yang
berasal dari perkecambahan benih karena selama ini menggunakan stek
batang.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad S S, M Zanzibar dan Dj Iriantono. 1992. Teknik Penanganan dan
Pengujian Mutu Benih beberapa Jenis Pohon Prioritas HTI. Bogor: Balai
Teknologi Perbenihan. Balitbang Kehutanan.
Anonim. 18 Januari 2002. Pohon Nasional Filipina itu Bernama Sonokembang.
Sinar harapan.4169. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0207/24/ipt03.html.
[2 Juni 2008]
_______ 2008.
Bambu dan Rebung. Wikimedia
http://id.wikipedia.org/wiki/Rebung [ 2 Juni 2008]

Foundation,

Inc.

Athiyah Z. 2008. Studi dormansi, kadar air kritikal dan peningkatan kecapatan
perkecmbahan benih Kenanga (Cananga odorata Lam.Hook. F&Thoms.).
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Byrd HW. 1968. Pedoman Teknologi Benih. Hamidin E, penerjemah. Jakarta:
PT Pembimbing Masa. Terjemahan dari: Seed Technology Handbook.
Direktorat Perbenihan Tanaman Kehutanan. 2002. Informasi Singkat Benih.
Bandung: Indonesia Forest Seed Project
Fatimah. 2006. Peran Hormon Giberelin dalam Pemecahan Dormansi Biji Jati
(Tectona grandis Linn. F.). http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhubgdl-res-2006-fatimah286&PHPSESSID=86813521b566df5169e868151971d8c9. [ 20 November
2008]
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Hidayat R. 2005. Pematahan dormansi benih Jati (Tectona grandis Linn. F. )
dengan perendaman dalam larutan Accu Zurr. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana
Jaya.
Kamil J. 1979. Teknologi Benih 1. Padang: Angkasa Raya
Kirak. 2007. Flora. hhtp://170008.blog.com. [20 November 2008]
Mungnisjah WQ dan Setiawan A. 1990. Pengantar Prduksi Benih. Jakarta:
Rajawali Pers
Rozi F. 2003. Pengaruh perlakuan pendahuluan dengan peretakan, perendaman
air (H2O2), asam sulfat (H2SO4), dan hormon giberelin (GA3) terhadap

viabilitas benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl) [Skripsi]. Bogor:


Fakultas kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Sajad S, Hari S, Sri SH, Jusup S, Sugihharsono dan Sudarsono. 1975. DasarDasar Teknologi Benih. Biro Penataran. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sadjad S, Endang M, Satriyas I. 1999. Parameter Pengujian Virgor Benih dari
Komperatif ke Simulatif. Jakarta: PT Grasindo dan PT Sang Hyang Seri.
Sajedhi I. 2002. Tingkat kadar air kritis benih (Agathis loranthifolia Salisb.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Schmidth L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan
Subtropis. Jakarta: Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Departemen Kehutanan.
Siswoyo H. 2003. Teknik penanganan benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)
di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. [Tugas
Akhir]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I dan Lemmens RHMJ. 1994. Plant Resources of Soth-East Asia no
5 (1). Bogor: Prosea Foundation.
Sutopo L. 2004. Teknologi Benih. Fakultas pertanian. UNBRAW
Trubus. 2006. Cendawan disisip, Produksi Melejit. Tubus Majalah Pertanian
Indonesia.http://trubusonline.co.id/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&
artid=896
Puspitarini DP. 2003. Stuktur benih dan dormansi pada benih Panggal Buaya
(Zanthoxylum rhetsa (Roxb) D.C). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Wattimena GA. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: Lab kultur
Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPB. Direktorat Jendral Pendidikn
Tinggi.
Widjaja EA, Mein AR, Bambang S, Dodi N. 1994. Strategi Penelitian Bambu
Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari.
Wulandari AS. 2006. Uji Perkecambahan Buah jati Muna dan jati Malabar Muna.
http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=jurnal/detail2JIPI&volume=12
&no=1&id=109. [20 November 2008]
Yuniarti. 2005. Pengaruh tingkat kemasakan fisiologis periode simpan dan
perlakuan pendahuluan terhadap viabilitas benih Kepuh (Sterculia foetida
Linn) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Lampiran 1. Rekapitulasi data harian perkecambahan benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)
Perlakuan
Hari ke
B01 B02 B03 B11 B12 B13 B21 B22 B23 B31 B32 B33 B41 B42
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
0
0
0
0
0
0
0
2
0
1
0
0
5
2
9
0
0
0
0
0
0
1
0
4
0
0
1
1
0
10
0
0
0
0
0
2
4
2
5
0
1
0
4
3
11
1
1
1
1
0
0
5
2
7
1
0
1
0
3
12
0
0
0
1
3
1
4
3
11
2
0
1
5
2
13
2
0
1
2
1
1
5
5
6
1
0
0
5
4
14
0
0
2
3
2
0
6
10
10
1
1
2
12
5
15
1
0
1
1
0
0
16
7
9
2
4
3
1
4
16
1
1
1
3
2
1
9
6
7
3
0
2
6
7
17
0
2
2
2
0
1
5
2
8
1
3
2
8
6
18
1
2
0
0
0
1
9
8
1
2
1
2
6
4
19
1
1
0
0
5
0
4
5
4
1
3
0
0
1
20
1
0
0
1
0
2
5
3
4
3
2
1
6
5
21
0
0
0
0
0
2
5
2
5
0
0
1
4
5
22
0
1
0
1
0
3
2
2
7
3
2
2
3
3
23
2
1
2
1
1
1
2
6
3
2
0
1
3
2
24
1
3
0
1
0
3
4
1
5
1
1
1
4
0
25
0
0
1
1
1
1
1
1
3
1
3
1
4
1
26
0
2
2
0
1
1
2
3
0
1
0
1
0
2
27
2
0
1
0
3
3
4
0
0
0
1
0
0
3
28
1
2
2
0
1
0
0
1
1
0
2
1
0
0
29
0
1
0
1
0
0
3
2
0
2
0
1
0
3
30
1
0
2
0
0
0
1
2
0
2
0
3
0
0
31
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
2
32
0
0
0
0
0
0
2
7
0
0
0
2
3
1
33
0
1
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
2
1
34
1
0
0
0
0
1
0
2
0
0
0
1
1
0
35
1
0
1
0
0
0
0
3
0
4
0
1
0
0
36
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
0
3
0
0
37
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
38
0
0
1
0
1
1
0
1
0
2
0
0
0
0
39
0
0
0
0
0
1
0
2
0
1
0
1
0
0
40
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
41
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
42
1
0
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
43
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
44
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
45
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
46
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
47
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
48
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
49
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
50
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
51
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
52
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
53
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
54
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
55
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
56
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
57
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
58
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
59
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
60
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
JUMLAH 22
18
21
24
24
27 100 100 100 45
25
37
84
69

B43
0
0
0
0
0
0
0
2
0
4
6
7
7
0
8
2
6
6
2
1
2
4
5
2
0
2
1
2
2
0
0
4
5
1
1
3
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
88

B51
0
0
0
0
0
1
0
1
3
2
6
6
6
8
6
2
13
1
3
3
7
1
7
3
2
3
0
1
4
0
0
2
1
1
0
2
2
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100

B52
0
0
0
0
0
0
0
1
2
4
5
5
6
5
10
6
7
4
1
5
7
3
3
3
0
0
1
2
1
2
4
0
3
2
0
1
1
1
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
100

B53
0
0
0
0
0
0
0
4
3
8
9
8
7
10
2
7
5
6
0
0
3
4
5
4
1
7
0
1
0
1
0
1
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100

Lampiran 2. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati sebelum ditransformasi ke Arc % x
Perakuan

Daya
berkecambah (%)

Nilai kecambah
(%/hari)2

Kecepatan
kumbuh
(%/hari)

Laju
perkecambahan
(hari)

Batas 80%
berkecambah
(hari)

Tinggi bibit
sapihan (cm)

Diameter bibit
sapihan (mm)

B01

22

0.42

0.77

27.82

42

3.64

0.86

B02

18

0.37

0.72

21.78

28

4.53

0.27

B03

21

0.41

0.80

20.86

30

4.33

0.38

B11

24

0.48

0.92

21.79

33

6.60

0.48

B12

24

0.51

0.89

21.79

28

4.50

0.54

B13

28

0.44

0.94

18.57

27

6.18

0.40

B21

100

1.19

1.41

18.94

22

26.81

1.00

B22

100

1.05

1.38

22.82

32

22.99

1.09

B23

100

1.14

1.42

16.21

21

29.52

1.10

B31

45

0.56

1.12

27.67

38

9.76

0.66

B32

34

0.57

0.99

27.82

35

7.36

0.72

B33

37

0.53

1.06

24.19

34

9.59

0.56

B41

84

1.06

1.39

17.48

23

0.01

1.35

B42

69

0.81

1.39

17.64

23

18.33

0.87

B43

88

0.93

1.38

20.31

29

24.36

1.00

B51

100

1.08

1.41

19.40

25

26.78

1.07

B52

100

1.03

1.40

19.45

28

25.29

1.02

B53

100

1.05

1.42

16.91

23

27.13

1.22

Lampiran 3. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati setelah ditransformasi ke Arc % x
Laju
Nilai
Kecepatan
Daya berkecambah
Perlakuan
perkecambahan
perkecambahan
tumbuh(%/hari)
(%)
(hari)
(%/hari)2

Batas 80%
berkecambah
(hari)

Tingi bibit
sapihan (cm)

Diameter
bibit sapihan
(mm)

B01

22

0.42

0.77

27.82

42

1.30

0.86

B02

18

0.37

0.72

21.78

28

1.35

0.27

B03

21

0.41

0.80

20.86

30

1.34

0.38

B11

24

0.48

0.92

21.79

33

1.42

0.48

B12

24

0.51

0.89

21.79

28

1.35

0.54

B13

28

0.44

0.94

18.57

27

1.41

0.40

B21

100

1.19

1.41

18.94

22

1.53

1.00

B22

100

1.05

1.38

22.82

32

1.53

1.09

B23

100

1.14

1.42

16.21

21

1.54

1.10

B31

45

0.56

1.12

27.67

38

1.47

0.66

B32

34

0.57

0.99

27.82

35

1.44

0.72

B33

37

0.53

1.06

24.19

34

1.47

0.56

B41

84

1.06

1.39

17.48

23

1.53

1.35

B42

69

0.81

1.39

17.64

23

1.52

0.87

B43

88

0.93

1.38

20.31

29

1.53

1.00

B51

100

1.08

1.41

19.40

25

1.53

1.07

B52

100

1.03

1.40

19.45

28

1.53

1.02

B53

100

1.05

1.42

16.91

23

1.53

1.22

70

Lampiran 4. Tabel sidik ragam daya berkecambah benih Angsana


General Linear Model: daya berkecambah versus perlakuan
Factor Type Levels Values
perlakuan fixed
6 B0, B1, B2, B3, B4, B5
Analysis of Variance for daya berkecambah, using Adjusted SS for Tests
Source
perlakuan
Error
Total

DF
5
12
17

Seq SS
20520.4
284.7
20805.1

Adj SS
20520.4
284.7

Adj MS
4104.1
23.7

F
P
173.01 0.000

S = 4.87055 R-Sq = 98.63% R-Sq(adj) = 98.06%


Lampiran 5. Grafik kenormalan daya berkecambah benih Angsana
Probability Plot of Daya berkecambah benih Angsana
Norm al
99

M ean
S tD ev
N
KS
P -Valu e

95
90

-2.96059E -15
4.092
18
0.175
0.148

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

-10

-5
0
5
Day a berkecambah benih A ngsana

10

Lampiran 6. Grafik kehomogenan daya berkecambah benih Angsana


Test for Equal Variances for Daya berkecambah benih Angsana
Bartlett's Test

B0

Test Statistic
P-Value

Lev ene's Test

B1

perlakuan

5.07
0.167

Test Statistic
P-Value

B2
B3
B4
B5
0

20
40
60
80
100
120
95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs

140

1.30
0.328

71

Lampiran 7 Tabel sidik ragam nilai perkecambahan benih Angsana


General Linear Model: nilai perkecambahan versus perlakuan
Factor Type
Levels Values
perlakuan fixed
6 B0, B1, B2, B3, B4, B5
Analysis of Variance for nilai perkecambahan, using Adjusted SS for Tests
Source
DF Seq SS Adj SS Adj MS F
P
perlakuan 5
1.51036 1.51036 0.30207 82.48 0.000
Error
12 0.04395 0.04395 0.00366
Total
17 1.55431
S = 0.0605180 R-Sq = 97.17% R-Sq(adj) = 95.99%
Lampiran 8 Grafik kenormalan nilai perkecambahan benih Angsana
Probability Plot of N ilai perkecambahan benih Angsana
Normal
99

Mean
StDev
N
KS
P-Valu e

95
90

1.850372E-17
0.05085
18
0.168
>0.150

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

-0.10

-0.05
0.00
0.05
0.10
Nilai perkecambahan benih A ngsana

0.15

Lampiran 9. Grafik kehomogenan nilai perkecambahan benih Angsana


T e s t for Equa l V a r ia nc e s for N il a i pe r k e c a mba ha n be nih A ngs a na
B ar tlett's T est

B0

T est S tatistic
P - V alu e

L ev en e's T est

B1

perlakuan

9.71
0.084

T est S tatistic
P - V alu e

B2
B3
B4
B5
0.0

0.5
1.0
1.5
95% Bo nfe r r o ni Co nfide nc e Int e r v a ls fo r St De v s

2.0

1.69
0.210

72

Lampiran 10 Tabel sidik ragam kecepatan tumbuh benih Angsana


General Linear Model: kecepatan tumbuh versus perlakuan
Factor Type Levels Values
perlakuan fixed
6 B0, B1, B2, B3, B4, B5
Analysis of Variance for kecepatan tumbuh, using Adjusted SS for Tests
Source
DF Seq SS
Adj SS
Adj MS F
P
perlakuan 5
1.20567 1.20567 0.24113 200.27 0.000
Error
12 0.01445 0.01445 0.00120
Total
17 1.22011
S = 0.0346989 R-Sq = 98.82% R-Sq(adj) = 98.32%
Lampiran 11 Grafik kenormalan kecepatan tumbuh benih Angsana
Probability Plot of Kecepatan tumbuh benih Angsana
Normal
99

M ean
StDev
N
KS
P -Value

95
90

-1.23358E-16
0.02915
18
0.143
>0.150

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

-0.08

-0.06

-0.04 -0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
Kecepatan tumbuh benih A ngsana

0.08

Lampiran 12 Grafik kehomogenan kecepatan tumbuh benih Angsana


Test for Equal Variances for Kecepatan tumbuh benih Angsana
Bartlett's Test

B0

Test S tatistic
P -Valu e

Lev en e's Test

B1

perlakuan

9.15
0.103

Test S tatistic
P -Valu e

B2
B3
B4
B5
0.0

0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
95% Bonferroni Confidence Int erv als for St Dev s

1.47
0.270

73

Lampiran 13 Tabel sidik ragam laju perkecambahan benih Angsana


General Linear Model: laju perkecambahan versus perlakuan
Factor Type Levels Values
perlakuan fixed
6 B0, B1, B2, B3, B4, B5
Analysis of Variance for laju perkecambahan, using Adjusted SS for Tests
Source
DF Seq SS
Adj SS
Adj MS F
perlakuan 5
155.887 155.887 31.177 4.97
Error
12 75.291
75.291
6.274
Total
17 231.177
S = 2.50484 R-Sq = 67.43% R-Sq(adj) = 53.86%

P
0.011

Lampiran 14 Grafik kenormalan laju perkecambahan benih Angsana


P robability P lot of laju perkecambahan benih Angsana
Norm al
99

M ean
S tD ev
N
KS
P -Valu e

95
90

21.19
3.688
18
0.130
>0.150

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

15

20
25
la ju pe rke ca mba ha n

30

Lampiran 15 Grafik kehomogenan laju perkecambahan benih Angsana


Test for Equal Variances for laju perkecambahan benih Angsana
Bartlett's Test

B0

Test Statistic
P-Value

Lev ene's Test

B1

perlakuan

2.69
0.748

Test Statistic
P-Value

B2
B3
B4
B5
0

10
20
30
40
50
60
95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs

0.30
0.907

74

Lampiran 16 Tabel sidik ragam tinggi bibit sapihan Angsana


General Linear Model: tinggi versus perlakuan
Factor Type Levels Values
perlakuan fixed
6 B0, B1, B2, B3, B4, B5
Analysis of Variance for tinggi , using Adjusted SS for Tests
Source
DF
Seq SS
perlakuan 5
3.0402
Error
12
5.1670
Total
17
8.2071
S = 0.656186 R-Sq = 37.04%

Adj SS
3.0402
5.1670

Adj MS F
P
0.6080 1.41 0.288
0.4306

R-Sq(adj) = 10.81%

Lampiran 17 Grafik kenormalan tinggi bibit sapihan benih Angsana


Probability Plot of tinggi bibit sapihan Angsana
Normal
99

Mean
StDev
N
KS
P-Value

95
90

4.934325E-17
0.5513
18
0.101
>0.150

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

-1.5

-1.0

-0.5
0.0
0.5
Tinggi bibit sapian Angsana

1.0

Lampiran 18 Grafik kehomogenan tinggi bibit sapihan benih Angsana


T e s t f o r E q u a l V a r i a nc e s f o r ti ng g i b i b i t s a p i h a n A ng s a n a
B ar tlett's T est

B0

T e st S tatistic
P - V alu e

L ev en e's T est

B1

perlakuan

3.55
0.616

T e st S tatistic
P - V alu e

B2
B3
B4
B5
0

2
4
6
8
10
12
9 5 % Bo n fe r r o n i Co n f id e n c e In t e r v a ls fo r S t De v s

14

0.20
0.956

75

Lampiran 19 Tabel sidik ragam diameter bibit sapihan benih Angsana


General Linear Model: diameter bibit versus perlakuan
Factor Type Levels Values
perlakuan fixed
6 B0, B1, B2, B3, B4, B5
Analysis of Variance for diameter bibit , using Adjusted SS for Tests
Source
DF
perlakuan 5
Error
12
Total
17
S = 0.175724

Seq SS
Adj SS Adj MS F
P
1.34539 1.34539 0.26908 8.71 0.001
0.37055 0.37055 0.03088
1.71594
R-Sq = 78.41% R-Sq(adj) = 69.41%

Lampiran 20 Grafik kenormalan diameter bibit sapihan benih Angsana


Probability Plot of Diameter bibit sapihan Angsana (mm)
Norm al
99

M ean
S tD ev
N
KS
P -Valu e

95
90

-3.08395E -18
0.1476
18
0.140
>0.150

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

-0.4

-0.3

-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Dia me t e r bibit sapihan A ngsa na (mm)

0.4

Lampiran 21 Grafik kehomogenan diameter bibit benih Angsana


Test for Equal Variances for Diameter bibit sapihan Angsana (mm)
Bartlett's Test

B0

Test S tatistic
P -Valu e

Lev ene's Test

B1

perlakuan

8.29
0.141

Test S tatistic
P -Valu e

B2
B3
B4
B5
0

1
2
3
4
95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs

0.78
0.581

Anda mungkin juga menyukai