BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Trauma abdomen
dengan hati-hati. Setelah trauma, perut mungkin suatu tempat untuk perdarahan
okultisme itu, jika tidak ditemukan dan diperbaiki secepatnya, dapat
mengakibatkan konsekuensi buruk. Secara tradisional cedera ini diklasifikasikan
sebagai trauma tumpul, yang sebagian besar berasal dari tabrakan kendaraan
bermotor, dan trauma tajam, yang sebagian besar adalah sekunder untuk tembakan
atau tikaman. Pasien dengan trauma abdomen harus memperoleh penilaian cepat,
stabilisasi, dan konsultasi bedah dini untuk memaksimalkan peluang hasil yang
sukses.1
Trauma tajam adalah hasil dari senjata api tinggi atau kecepatan rendah,
cedera tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh. Senjata api menyebabkan
insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera organ solid yang serius, dengan
tingkat kematian 10-30%. Dua pertiga dari luka tusukan menembus peritoneum,
dengan 50-75% dari pasien ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid
yang signifikan. Kematian telah dilaporkan pada 5% dari cedera tusukan serius.
Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan kanan) dan di
kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk perut, ada 30% diiringi penetrasi rongga
toraks. Cedera diafragma menjadi perhatian khusus dalam kasus ini.2
Pada hakekatnya, pengenalan, penilaian cepat, dan tatalaksana awal yang
baik pada trauma tajam abdomen sangat diperlukan karena hal ini menentukan
outcome dan tatalaksana lanjutan terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi atau kematian yang tidak diharapkan.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma
abdomen.
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai trauma abdomen yang berlandaskan Advanced Trauma Life Support
(ATLS) sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus trauma abdomen
di klinik sesuai kompetensi dokter umum.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Abdomen
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan
Rongga abdomen meluas ke atas sampai mencapai rongga toraks setinggi sela iga
kelima. Jadi sebagian rongga abdomen terletak atau dilindungi oleh dinding
toraks. Sebagian dari hepar, gaster dan lien terterdapat di dalamnya.
Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ
sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula
suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan
membrane serosa dari sistem digestivus. Kadang-kadang ada organ sistem
digestivus yang sebagian atau sementara terletak di dalam rongga pelvis, misalnya
ileum dan sebaliknya kadang-kadang organ genitalia terdapat di dalam rongga
abdomen, misalnya uterus yang membesar.
Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri,
pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi sembilan
region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang subcostalis dan bidang
transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui linea midklavikularis
kanan dan kiri.
Regio abdomen tersebut adalah:3
Atas: hipokondrium kanan-epigastrium-hipokondrium kiri
Tengah: lateralis kanan-umbilikalis-lateralis kiri
Bawah: inguinal kanan-hipokondrium-inguinal kiri
Hipokondrium kanan
Lobus kanan dari hepar
Kantung empedu
Sebagian dari duodenum
Fleksura hepatik dari
kolon
Sebagian dari ginjal
kanan
Kelenjar suprarenal
kanan
Lumbal kanan
Kolon asendens
Bagian bawah dari ginjal
kanan
Sebagian daru duodenum
dan jejunum
Inguinal kanan
Sekum
Apendiks
Bagian akhir dari ileum
Ureter kanan
2.2
Trauma Abdomen
2.2.1
Pendahuluan
Epigastrium
Pilorus gaster
Duodenum
Pankreas
Sebagian dari hepar
Umbilikal
Omentum
Mesenterium
Bagian
bawah
dari
duodenum
Jejunum dan ileum
Hipogastrium
Ileum
Kandung kemih
Uterus (pada kehamilan)
Hipokondrium kiri
Lambung
Limpa
Bagian kaudal dari
pankreas
Fleksura lienalis dari
kolon
Kutub atas dari ginjal kiri
Kelenjar suprarenal kiri
Lumbal kiri
Kolon desendens
Bagian bawah dari ginjal
kiri
Sebagian jejunum dan
ileum
Inguinal kiri
Kolon sigmoid
Ureter kiri
Ovarium kiri
Ekstensi Abdomen.4
dan depresan, stimulan, dan halusinogen sistem saraf pusat lainnya dapat
membuat pemeriksaan klinis tidak reliabel. Kehadiran masalah medis yang
mendasari dan penyakit kejiwaan lebih lanjut dapat membingungkan evaluasi
trauma. 2
Abdomen sering cedera baik setelah trauma tumpul dan tajam. Sekitar
25% dari semua korban trauma akan membutuhkan eksplorasi abdomen. Evaluasi
klinis abdomen dengan cara pemeriksaan fisik tidak memadai untuk
mengidentifikasi cedera intra-abdomen karena tingginya jumlah pasien dengan
perubahan status mental sekunder terhadap trauma kepala, alkohol, atau obatobatan, dan karena tidak dapat diaksesnya pelvis, abdomen bagian atas, dan organ
retroperitoneal untuk palpasi. Untuk alasan ini, beberapa modalitas diagnostik
telah berevolusi selama 3 dekade terakhir, termasuk diagnostic peritoneal lavage
(DPL), ultrasonography (USG), computed tomography (CT), dan laparoskopi,
yang semuanya memiliki kelebihan, kekurangan, dan keterbatasan.5
Abdomen adalah kotak hitam diagnostik. Untungnya, dengan beberapa
pengecualian tidak perlu untuk menentukan organ intra-abdomen yang cedera,
hanya apakah laparotomi eksplorasi diperlukan. Pemeriksaan fisik abdomen tidak
dapat diandalkan dalam membuat penentuan ini. Namun, sebagian besar ahli
setuju bahwa kehadiran rigiditas abdomen atau distensi abdominal pada pasien
dengan trauma abdomen merupakan indikasi untuk bedah eksplorasi segera. 6
Perkembangan teknologi, pengalaman, dan invasi yang lebih modern telah
menjadi penentu yang paling penting dari penggunaan metode diagnostik untuk
trauma abdomen. Di pusat-pusat trauma modern di abad ke-21, teknologi noninvasif lebih baik membantu penggunaan USG dan CT dalam evaluasi korban
trauma.5
2.2.2
1) Trauma Tumpul
Trauma tumpul paling sering terjadi pada kasus kecelakaan kendaraan
bermotor. Cedera terjadi sekunder terhadap geser, robek, atau kekuatan dampak
langsung. Kehadiran tanda sabuk pengaman merupakan indikasi cedera intra-
Trauma Tajam
2.3.1
pasien ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Luka
tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan
kolon (20%). Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan
kanan) dan di kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk perut, ada 30% diiringi
penetrasi rongga toraks. Cedera diafragma menjadi perhatian khusus dalam kasus
ini. Kematian telah dilaporkan pada 5% dari cedera tusukan serius. 2,7
Senjata api menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera
organ solid yang serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%), dan pembuluh
darah abdominal (25%).2,7
10
Kerusakan akibat dari cedera senjata api terutama disebabkan oleh dampak
kecepatan proyektil. Senjata dengan kecepatan moncong lebih besar dari 2000 ft /
detik dianggap berkecepatan tinggi , menyebabkan luka parah, dan memiliki
angka kematian 50%. Kebanyakan pistol memiliki kecepatan moncong kurang
dari 1000 ft / detik dan berkecepatan rendah. Dua pertiga dari cedera senjata api
kecepatan rendah memiliki peluru yang tersisa dalam tubuh. Organ yang terluka
oleh dampak langsung dari proyektil dan oleh efek concussive menghamburkan
energi kinetik. Proyektil primer bisa menyerang tulang, memproduksi proyektil
sekunder, dan menimbulkan kerusakan jaringan tanpa penetrasi organ langsung.
Jalur luka proyektil bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk
menentukan cedera organ. 2
Manajemen trauma darurat berfokus pada golden hour , 60 menit pertama
setelah cedera apapun, ketika dampak terbesar pada morbiditas dan mortalitas
dapat diwujudkan. Hal ini terutama berlaku dalam trauma abdomen. Kematian
dini seringkali merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkontrol dari organ
padat atau cedera pembuluh darah, sehingga stabilisasi dini, diagnosis, dan
intervensi operatif dapat menyelamatkan nyawa. Penyebab kematian akhir
termasuk sepsis, perdarahan yang belum diakui, cedera okultisme (misalnya,
ruptur diafragma dengan herniasi isi perut), cedera organ berongga (usus, kandung
empedu, dan kandung kemih), dan pankreas atau cedera ginjal.2
2.3.3
11
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena
12
B. Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang
penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di
retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang
mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk
dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk
memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising
usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada
trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan
selanjutnya. Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra,
maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera
intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk
trauma intraabdominal.7
C. Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan
tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani
karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi
redup bila ada hemoperitoneum.2 Adanya darah dalam rongga perut dapat
ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan
dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang.7
D. Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien)
mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna.
Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang
bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas
sesudah tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan
13
peritonitis,
yang
bisanya
oleh
kontaminasi
isi
usus,
maupun
2.3.5
Primary Survey
A. Airway
14
Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita trauma abdomen.
Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt, chin lift atau jaw
thrust, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya
jalan napas. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks bertahak (gag
reflex) dapat dipakai oropharyngeal tube. Bila ada keraguan mengenai
kemampuan menjaga airway, lebih baik memasang airway definitif. Jika
ada disertai dengan cedera kepala, leher atau dada maka tulang leher
(cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.7,8
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang airway
terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada
gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakeal. Setiap penderita
trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya diberikan dengan
face mask. Pemakaian pulse oximeter baik untuk menilai saturasi O2 yang
adekuat.7,8
C. Circulation
Resusitasi pasien dengan trauma abdomen penetrasi dimulai segera setelah
tiba. Cairan harus diberikan dengan cepat. NaCl atau Ringer Laktat dapat
digunakan untuk resusitasi kristaloid. Rute akses intravena adalah penting,
pasang kateter intravena perifer berukuran besar (minimal 2) di
ekstremitas atas untuk resusitasi cairan. Pasien yang datang dengan
hipotensi sudah berada di kelas III syok (30-40% volume darah yang
hilang) dan harus menerima produk darah sesegera mungkin, hal yang
sama berlaku pada pasien dengan perdarahan yang signifikan jelas. Upaya
yang harus dilakukan untuk mencegah hipotermia, termasuk menggunakan
selimut hangat dan cairan prewarmed.7,8
D. Disability
15
16
17
9. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi transfusi; ini
sering
16. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi
peritonium pada kasus luka tusuk.
17. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
18. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri
eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan
terapeutik (infeksi nosokomial).
19. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,
kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau
hematuria.
2.3.6
Pemeriksaan Diagnostik
18
bisa
mengkonfirmasi
dan
menyingkirkan
tembusnya
19
terutama
untuk
deteksi
cedera
retroperitoneal
maupun
waktu
serta
2.3.7
cairan dan transfusi darah jika perlu. Pasien harus dilakukan pemeriksaan fisik
serial dan jika adanya tanda peritoneal, pasien diindikasikan untuk dilakukan
laparatomi.
Biasanya pasien diobservasi 12 48 jam sebelum dibenarkan pulang.
Pasien dibenarkan pulang jika:10
20
2.3.8
Prognosis
Kadar kematian dari trauma tajam abdomen tergantung pada cedera yang
dialami. Pasien yang mengalami cedera pada dinding facia abdominal anterior
tanpa cedera peritoneal mempunyai kadar mortaliti 0% dan kadar morbidity yang
minimal dan pasien dengan cedera kompleks multiorgan dengan hipotensi, base
deficit kurang dari -15 mEq/L HCO3, temperatur kurang dari 35C dan adanya
koagulopati dapat meningkatkan kadar mortality.
Faktor faktor yang mempengaruhi mortality pada trauma tajam
abdominal adalah:10
DAFTAR PUSTAKA
1. Stone, CK, 2003. Current Diagnosis & Treatment Emergency Medicine.
6th edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Fermann, GJ, 2003. Emergency Medicine-An Approach to Clinical
Problem Solving. In: Hamilton, et al., Emergency Medicine-An Approach
to Clinical Problem Solving.
Company.
21
3. Wibowo, D.S., dan Paryana, W., 2007. Dinding Abdomen. Anatomi Tubuh
Manusia. Graha Ilmu. Yogyakarta: 273-279.
4. Williams, et al., 2008. Bailey & Loves Short Practice of Surgery. 25th
edition. UK: Edward Arnold Ltd.
5. Beauchamp, et al., 2008. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery. 18th
edition. USA : Elvesier, Inc.
6. Brunicardi, FC, 2007. Schwartzs Principles of Surgery. 8th edition. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
7. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk
Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
8. Offner,
P.,
2013.
Penetrating
Management.
Abdominal
Available
Trauma Treatment
from
&
:
http://emedicine.medscape.com/article/2036859-treatment [Accessed 26
June 2013]
9. Wilkinson, D.A, 2000. Primary Trauma Care. Available from :
http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_ENG
.pdf [Accessed 26 June 2013]
10. Isenhour J.L., Marx J., 2007. Advances in abdominal trauma. Emerg Med
Clin
N Am
25
(2007),
pg
713733. Available
from:
http://
http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview