Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Fasa adalah bagian dari sistem yang komposisi kimia dan sifat
sifat fisiknya seragam, yang terpisah dari bagian system lainnya oleh
adanya bidang batas. Perilaku fasa yang dipunyai suatu zat murni adalah
sangat beragam dan rumit, akan tetapi data-datanya dapat dikumpulkan
dan kemudian dengan termodinamika dapat dibuat ramalan-ramalan.
Pemahaman mengenai perilaku-perilaku fasa berkembang dengan adanya
aturan fasa Gibbs.
Kesetimbangan fasa adalah suatu keadaan dimana suatu zat dimilki
komposisi yang pasti pada kedua fasanya pada suhu dan tekanan tertentu,
biasanya pada fasa cair dan uapnya. Selama ini pembahasan perubahan
mutual antara tiga wujud materi difokuskan pada keadaan cair. Dengan
kata lain, perhatian telah difokuskan pada perubahan cairan dan padatan,
dan antara cairan dan gas dalam membahas keadaan kritis zat akan lebih
cepat menangani tiga wujud zat secara simultan, bukan membahas dua dari
tiga wujud zat.
Untuk system satu komponen, persamaan Clausius dan Clausisus
Clapeyron menghubungkan perubahan tekanan kesetimbangan dengan
perubahan suhu.
Sedangkan pada system dua komponen, larutan ideal mengikuti
hukum Raoult. Larutan non elektrolit nyata (real) akan mengikuti hukum
Henry.

1.2 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan penulisan makalah

ini

adalah

untuk

menambah

pengetahuan tentang kesetimbangan fasa dan diharapkan dapat bermanfaat


bagi kita semua.
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

1.3 Metode Pemecahan Masalah


Metode pemecahan masalah yang digunakan pada pembuatan
makalah ini sebagai berikut:
1. Metode kajian buku yang dilakukan dengan cara mengumpulkan datadata yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Melakukan Browsing internet untuk mengumpulkan data-data yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
1.4 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam makalah ini hanya dibatasi pada
system kesetimbangan fasa dua komponen.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fasa

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

Fasa adalah bagian sistem yang komposisi kimia dan sfat-sifat fisiknya
seragam, yang terdapat dari bagian sistem lainnya oleh adanya bidang batas.
Perilaku fasa yang dipunyai suatu zat murni adalah sangat beragam dan rumit,
akan

tetapi

data-datanya

dapat

dikumpulkan

dan

kemudian

dengan

teermodinamika dapat dibuat ramalan-ramalan. Pemahaman mengenai perilaku


fasa berkembang dengan adanya aturan fasa Gibbs. Persamaan Claussius dan
persamaan

Clausius-Clapeyron

menghubungkan

perubahan

tekanan

kesetimbangan dengan pengaruh suhu.


2.2.Definisi Komponen
Jumlah komponen dalam suatu system merupakan jumlah minimum dari
spesi yang secara kimia independen yang diperlukan untuk menyatakan komposisi
setiap fasa dalam system tersebut.
Jumlah komponen dalam suatu sistem merupakan jumlah minimum dari
spesi yang secara kimia independen yang diperlukan untuk menyatakan komposisi
setiap fasa dalam sistem tersebut. Cara praktis untuk menentukan jumlah
komponen adalah dengan menentukan jumlah total spesi kimia dalam system
dikurangi dengan jumlah-jumlah reaksi kesetimbangan yang berbeda yang dapat
terjadi antara zat-zat yang ada dalam sistem tersebut. Contoh:
CaCO3

CaO + CO2

komponen reaksi diatas dapat dihitung dengan menggunakan rumus :


C=SR =31=2

2.3. Definisi Derajat Kebebasan


Dalam membicarakan kesetimbangan fasa, kita tidak akan meninjau
variabel ekstensif yang bergantung pada massa dari setiap fasa tetapi meninjau
variabel-variabel intensif seperti suhu, tekanan, dan komposisi (fraksi mol).

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

Jumlah variabel intensif independen yang diperlukan untuk menyatakan keadaan


suatu system disebut derajat kebebasan dari sistem tersebut.
Derajat kebebasan f,(kadang-kadang disebut varians, v ) dari suatu system
setimbang merupakan jumlah variable intensif independen yang diperlukan untuk
menyatakan keadaan system tersebut.
2.4. Aturan Fasa
Pada tahun 1876, Gibbs menurunkan hubungan sederhana antara jumlah
fasa setimbang, jumlah komponen, dan jumlah besaran intensif bebas yang dapat
melukiskan keadaan sistem secara lengkap. Menurut Gibbs,
c p

dimana

..........................................

(3.1)

= derajat kebebasan
c = jumlah komponen
p = jumlah fasa
= jumlah besaran intensif yang mempengaruhi sistem (P, T)
Derajat kebebasan suatu sistem adalah bilangan terkecil yang

menunjukkan jumlah variabel bebas (suhu, tekanan, konsentrasi komponen


komponen) yang harus diketahui untuk menggambarkan keadaan sistem. Untuk
zat murni, diperlukan hanya dua variabel untuk menyatakan keadaan, yaitu P dan
T, atau P dan V, atau T dan V. Variabel ketiga dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan gas ideal. Sehingga, sistem yang terdiri dari satu gas
atau cairan ideal mempunyai derajat kebebasan dua ( = 2).
Bila suatu zat berada dalam kesetimbangan, jumlah komponen yang
diperlukan untuk menggambarkan sistem akan berkurang satu karena dapat
dihitung dari konstanta kesetimbangan. Misalnya pada reaksi penguraian H2O.
H2O(g) H2(g) + O2(g)

KP

P P

P
H2

O2

1/ 2

.............................................

(3.2)

H 2O

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

Dengan menggunakan perbandingan pada persamaan 3.2, salah satu konsentrasi


zat akan dapat ditentukan bila nilai konstanta kesetimbangan dan konsentrasi
kedua zat lainnya diketahui.
Kondisi fasa fasa dalam sistem satu komponen digambarkan dalam
diagram fasa yang merupakan plot kurva tekanan terhadap suhu.

Gambar 3.1. Diagram fasa air pada tekanan rendah


Titik A pada kurva menunjukkan adanya kesetimbangan antara fasa fasa
padat, cair dan gas. Titik ini disebut sebagai titik tripel. Untuk menyatakan
keadaan titik tripel hanya dibutuhkan satu variabel saja yaitu suhu atau tekanan.
Sehingga derajat kebebasan untuk titik tripel adalah nol. Sistem demikian disebut
sebagai sistem invarian.

2.5. Diagram Fasa


Diagram fase adalah sejenis grafik yang digunakan untuk menunjukkan
kondisi kesetimbangan antara fase-fase yang berbeda dari suatu zat yang sama.
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

Dalam matematika dan fisika, diagram fase juga mempunyai arti sinonim dengan
ruang fase.
Komponen-komponen umum diagram fase adalah garis kesetimbangan
fase, yang merujuk pada garis yang menandakan terjadinya transisi fase.
2.6. Kesetimbangan Fasa Dua Komponen
2.6.1. Sistem Dua Komponen
Sistem

dua

komponen

disebut

sistem

biner.Untuk

sistem

dua

komponen,c=2, sehingga aturan fasa f=c-p+2 menjadi f=4-p.Untuk sistem satu


fasa p=1 dan f menjadi sama dengan 3,jadi ada 3 variabel intensif independen
yang di perlukan untuk menyatakan keadaan sistem tersebut,yakni T,P dan fraksi
mol.Biasanya,satu dari ketiga variabel tersebut dibuat tetap ,sehingga kedua
variabel sisanya dapat digambarkan dalam diagram fasa dua dimensi.Variabel
yang biasa dipilih tetap adalah P atau T.
2.6.1.1.Kesetimbangan Uap Cair dari Campuran Ideal Dua Komponen
Jika campuran dua cairan nyata (real) berada dalam kesetimbangan
dengan uapnya pada suhu tetap, potensial kimia dari masing masing komponen
adalah sama dalam fasa gas dan cairnya.
i ( g ) i (l )

.............................................

(3.20)

Jika uap dianggap sebagai gas ideal, maka

i ( g ) io( g ) RT ln

Pi
Po

.....................................

(3.21)

dimana Po adalah tekanan standar (1 bar). Untuk fasa cair,


i (l ) io( l ) RT ln ai .........................................

(3.22)

Persamaan 3.20 dapat ditulis menjadi

io( g ) RT ln

Pi
io(l ) RT ln ai ..................................
Po

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

(3.23)

Dari persamaan 3.23 dapat disimpulkan bahwa

RT ln

Pi
RT ln ai ...........................................
Pi o

ai

Pi
Pi o

..................................................

(3.24)

(3.25)

Persamaan 3.25 menyatakan bahwa bila uap merupakan gas ideal, maka aktifitas
dari komponen i pada larutan adalah perbandingan tekanan parsial zat i di atas
larutan (Pi ) dan tekanan uap murni dari zat i (Pio).
Pada tahun 1884, Raoult mengemukakan hubungan sederhana yang dapat
digunakan untuk memperkirakan tekanan parsial zat i di atas larutan (Pi ) dari
suatu komponen dalam larutan. Menurut Raoult,
Pi xi Pi o

................................................

(3.26)
Pernyataan ini disebut sebagai Hukum Raoult, yang akan dipenuhi bila
komponen komponen dalam larutan mempunyai sifat yang mirip atau antaraksi
antar larutan besarnya sama dengan interaksi di dalam larutan (A B = A A = B
B). Campuran yang demikian disebut sebagai campuran ideal, contohnya
campuran benzena dan toluena. Campuran ideal memiliki sifat sifat
Hmix = 0
Vmix = 0
Smix = - R ni ln xi
Tekanan uap total di atas campuran adalah:
P P1 P2

x1 P1o x 2 P2o

....................................

(3.27)
Karena x2 = 1 x1, maka
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

P P2o P1o P2o x1 .........................................

(3.28)

Persamaan di atas digunakan untuk membuat garis titik gelembung (bubble


point line). Di atas garis ini, sistem berada dalam fasa cair. Komposisi uap pada
kesetimbangan ditentukan dengan cara:
xi'

Pi
P

...................................................

(3.29)

Keadaan campuran ideal yang terdiri dari dua komponen dapat digambarkan
dengan kurva tekanan tehadap fraksi mol berikut.

Gambar 3.3. Tekanan total dan parsial untuk campuran benzena toluena
pada 60oC

Gambar 3.4. Fasa cair dan uap untuk campuran benzena toluena pada
60oC
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

Garis titik embun (dew point line) dibuat dengan menggunakan persamaan

P1o P2o
P1o P2o P1o x1o

.......................................

(3.30)

Di bawah garis ini, sistem setimbang dalam keadaan uap.


Pada tekanan yang sama, titik titik pada garis titik gelembung dan garis
titik embun dihubungkan dengan garis horisontal yang disebut tie line (lihat
gambar 3.4). Jika diandaikan fraksi mol toluena adalah x, maka jumlah zat yang
berada dalam fasa cair adalah
C cair

xv
l v

..........................................

(3.31)

Sedangkan jumlah zat yang berada dalam fas uap adalah


C uap

lx
l v

..........................................

(3.32)

Penentuan jumlah zat pada kedua fasa dengan menggunakan persamaan 3.31 dan
3.32 disebut sebagai Lever Rule.
2.6.1.2. Tekanan Uap Campuran Non Ideal
Tidak semua campuran bersifat ideal. Campuran campuran non ideal
ini mengalami penyimpangan / deviasi dari hukum Raoult. Terdapat dua
macam penyimpangan hukum Raoult, yaitu
a. Penyimpangan positif
Penyimpangan positif hukum Raoult terjadi apabila interaksi dalam
masing masing zat lebih kuat daripada antaraksi dalam campuran zat
( A A, B B > A B). Penyimpangan ini menghasilkan entalpi
campuran (Hmix) positif (bersifat endotermik) dan mengakibatkan
terjadinya penambahan volume campuran (V mix > 0). Contoh
penyimpangan positif terjadi pada campuran etanol dan n hekasana.

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

Gambar 3.5. Penyimpangan positif hukum Raoult

b. Penyimpangan negatif
Penyimpangan negatif hukum Raoult terjadi apabila antaraksi dalam
campuran zat lebih kuat daripada interaksi dalam masing masing zat
( A B > A A, B B). Penyimpangan ini menghasilkan entalpi
campuran (Hmix) negatif (bersifat eksotermik) mengakibatkan
terjadinya pengurangan volume campuran (Vmix < 0).. Contoh
penyimpangan negatif terjadi pada campuran aseton dan air.

Gambar 3.6. Penyimpangan negatif hukum Raoult

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

10

Pada gambar 3.5 dan 3.6 terlihat bahwa masing masing kurva memiliki
tekanan uap maksimum dan minimum. Sistem yang memiliki nilai maksimum
atau minimum disebut sistem azeotrop. Campuran azeotrop tidak dapat
dipisahkan dengan menggunakan destilasi biasa. Pemisahan komponen 2 dan
azotrop dapat dilakukan dengan destilasi bertingkat. Tetapi, komponen 1 tidak
dapat diambil dari azeotrop. Komposisi azeotrop dapat dipecahkan dengan cara
destilasi pada tekanan dimana campuran tidak membentuk sistem tersebut atau
dengan menambahkan komponen ketiga.
2.6.1.3. Hukum Henry
Hukum Raoult berlaku bila fraksi mol suatu komponen mendekati satu.
Pada saat fraksi mol zat mendekati nilai nol, tekanan parsial dinyatakan dengan
Pi xi K i

................................................

(3.33)
yang disebut sebagai Hukum Henry, yang umumnya berlaku untuk zat terlarut.
Dalam suatu larutan, konsentrasi zat terlarut (dinyatakan dengan subscribe 2)
biasanya lebih rendah dibandingkan pelarutnya (dinyatakan dengan subscribe 1).
Nilai K adalah tetapan Henry yang besarnya tertentu untuk setiap pasangan pelarut
zat terlarut.
Tabel 3.1. Tetapan Henry untuk gas gas terlarut pada 25oC (K2 / 109 Pa)

Gas

Pelarut
Air

Benzena

H2

7,12

0,367

N2

8,68

0,239

O2

4,40

CO

5,79

0,163

CO2

0,167

0,0114

CH4

4,19

0,569

C2H2

0,135

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

11

C2H4

1,16

C2H6

3,07

Kelarutan gas dalam cairan dapat dinyatakan dengan menggunakan


tetapan Henry. Hukum Henry berlaku dengan ketelitian 1 3% sampai pada
tekanan 1 bar. Kelarutan gas dalam cairan umumnya menurun dengan naiknya
temperatur, walaupun terdapat beberapa pengecualian seperti pelarut amonia cair,
lelehan perak, dan pelarut pelarut organik. Senyawa senyawa dengan titik
didih rendah (H2, N2, He, Ne, dll) mempunyai gaya tarik intermolekular yang
lemah, sehingga tidak terlalu larut dalam cairan. Kelarutan gas dalam air biasanya
turun dengan penambahan zat terlarut lain (khususnya elektrolit).

2.6.1.4. Sifat Koligatif Larutan


Sifat koligatif (colligative properties) berasal dari kata colligatus (Latin)
yang berarti terikat bersama. Ketika suatu zat terlarut ditambahkan ke dalam
pelarut murni A, fraksi mol zat A, xA, mengalami penurunan. Penurunan fraksi mol
ini mengakibatkan penurunan potensial kimia. Sehingga, potensial kimia larutan
lebih rendah daripada potensial pelarut murninya. Perubahan potensial kimia ini
menyebabkan perubahan tekanan uap, titik didih, titik beku, serta terjadinya
fenomena tekanan osmosis. Sifat koligatif diamati pada larutan sangat encer,
dimana konsentrasi zat terlarut jauh lebih kecil dari pada konsentrasi pelarutnya
(x2 <<< x1). Perubahan sifat sifat koligatif tersebut dapat dilihat pada gambar
3.7.

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

12

pelarut

larutan

Po

P
P

Tfo

T bo

Tf
Tf

Tb
Tb

Gambar 3.7. Sifat koligatif larutan

2.6.1.5. Penurunan Tekanan Uap (P)


Bayangkan suatu larutan yang terdiri dari zat terlarut yang tidak mudah
menguap (involatile solute). Kondisi ini umumnya berlaku untuk zat terlarut
berupa padatan, tetapi tidak untuk zat cair maupun gas. Tekanan uap larutan (P)
kemudian akan bergantung pada pelarut saja (P1). Sehingga penurunan tekanan
uap dapat dinyatakan sebagai:
P = P1o P1 ...

(3.34)

Jika nilai P1 disubstitusi dengan persamaan 3.26, maka


P P1o x1 .P1o

.....

(3.35)
P1o (1 x1 )

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

13

P P1o .x 2

(3.36)
dimana:

x1 = fraksi mol pelarut


x2 = fraksi mol zat terlarut

Fraksi mol (xi) adalah perbandingan jumlah mol zat i (ni) terhadap jumlah mol
total (ntotal) dalam larutan. Untuk larutan yang sangat encer, n2 << n1. Sehingga,
n2
n
2
n1 n 2 n1

..........................................

(3.37)

Dengan demikian,
P = P1o .

n2
n1 n2

P = P1o .

n2
n1

(3.38)

.....

(3.39)

2.6.1.6. Kenaikan Titik Didih (Tb) dan Penurunan Titik Beku (Tf)
Titik didih (boiling point / Tb) normal cairan murni adalah suhu dimana
tekanan uap cairan tersebut sama dengan 1 atm. Penambahan zat terlarut yang
tidak mudah menguap menurunkan tekanan uap larutan. Sehingga, dibutuhkan
suhu yang lebih tinggi agar tekanan uap larutan mencapai 1 atm. Hal ini
mengakibatkan titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarut
murninya.
Dari persamaan 3.36, penurunan tekanan uap (P) dapat dinyatakan
P1o P1 = P1o . x2

sebagai

....................................

(3.40)
x2

P1o P1
P1o

(3.41)
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

14

Menurut persamaan Clausius Clapeyron,


ln

P2
P1

HV T2 T1
RT1T2

....

(3.42)
Bila :

P2 = P1

dan

T2 = Tb

P1 = P1o

T1 = Tbo

maka persamaan Clausius Clapeyron dapat ditulis menjadi


ln

P1
HV (Tb Tbo )
=
P1o
RTboTb

..

(3.43)

P1o P1

ln 1
o
P1

HV
Tb
RT1T2

.......

(3.44)

P1o P1
Pada larutan encer,
sangat kecil, sehingga
P1o
ln

P1o P1
P1o

P1o P1
P1o

= -

...........

(3.45)
Karena Tb sangat kecil, maka Tb Tbo

P1o P1
P1o

HV

R Tbo

Tb

...

(3.46)
- x2 =

HV

R Tbo

Tb

......

(3.47)

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

15

n2
n1

HV

R Tbo

= -

Tb

..

(3.48)
n2
w M
2 x 1
n1 M 2 w1

..............................

(3.49)

dengan w1 dan M1 masing masing adalah berat dan massa molar pelarut, serta w2
dan M2 adalah berat dan massa molar zat terlarut. Jika w1 dianggap 1000 gram,
n2
m2 .M 1
n1

.....

(3.50)
m2 . M1 = -

HV

R Tbo

Tb

....

. m2

......................................

(3.51)
Tb = -

R Tbo M 1
H v

(3.52)
Tb = Kb . m2 ..........................................

(3.53)

Penambahan zat terlarut juga mengakibatkan terjadinya penurunan titik


beku (freezing point / Tf). Dengan menggunakan cara yang sama, didapat
Tf = Kf . m2 ...........................................

(3.54)

2.6.1.7. Tekanan Osmosis ()


Pendekatan tekanan osmosis dapat dijelaskan sebagai berikut. Suatu
larutan terpisah dari pelarut murninya oleh dinding semi permiabel, yang dapat
dilalui oleh pelarut, tetapi tidak dapat dilalui oleh zat terlarutnya. Karena potensial
kimia larutan lebih rendah, maka pelarut murni akan cenderung bergerak ke arah
larutan, melalui dinding semi permiabel.
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

16

pelarut
murni

larutan

dinding semi
permiabel

Gambar 3.8. Tekanan osmosis

Pada kesetimbangan, tekanan di bagian kiri adalah P dan tekanan di


bagian kanan adalah P + . adalah perbedaan tekanan dari kedua sisi yang
dibutuhkan untuk menghindari terjadinya aliran spontan melalui membran ke
salah satu sisi.
Menurut hubungan Maxwell,
dG = - S dT + V dP .............................................
d

G
n

= -

S
n

dT +

V
n

dP

(3.55)

...

(3.56)
d = - S dT +

dP

.....

(3.57)

= , maka

Karena

dP

d =

..

(3.58)
Bila V dianggap tidak bergantung pada tekanan, maka

(3.59)
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

17

Menurut kesetimbangan kimia,

= o + RT ln

P
Po

..

P
Po

......

(3.60)

- o = RT ln
(3.61)

= - RT ln

P
Po

(3.62)
dimana P = P1 = tekanan uap larutan
Po = P1o = tekanan uap pelarut murni
Jika persamaan 3.59 disamakan dengan persamaan 3.62, maka
- RT ln

P1
o
P1

...

(3.63)
Menurut Hukum Raoult:
x1 =

P1
P1o

......

(3.64)
x1 = (1 x2)

(3.65)

Sehingga, persamaan 3.63 menjadi


- RT ln

P1
o =
P1

...

(3.66)
- RT ln x1 =

...

(3.67)
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

18

= -

RT

ln (1 x2)

.........................

(3.68)
Pada larutan sangat encer, x2 sangat kecil sehingga ln (1 x2) - x2.

= -

RT

(- x2)

.....................................

n2
n1

...

(3.69)

RT
V
n1

(3.70)

R.T.C2

.............................................

(3.71)
dimana C2 adalah konsentrasi zat terlarut.

2.6.1.8. Sistem Dua Komponen dengan Fasa Padat Cair


Sistem biner paling sederhana yang mengandung fasa padat dan cair
ditemui bila komponen komponennya saling bercampur dalam fas cair tetapi
sama sekali tidak bercampur pada fasa padat, sehingga hanya fasa padat dari
komponen murni yang akan keluar dari larutan yang mendingin. Sistem seperti itu
digambarkan dalam diagram fasa Bi dan Cd berikut.

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

19

Gambar 3.9. Kurva pendinginan dan diagram fasa suhu persen berat
untuk sistem Bi Cd

Bila suatu cairan yang mengandung hanya satu komponen didinginkan,


plot suhu terhadap waktu memiliki lereng yang hampir tetap. Pada suhu
mengkristalnya padatan yang keluar dari cairan, kurva pendingina akan mendatar
jika pendinginan berlangsung lambat. Patahan pada kurva pendinginan
disebabkan oleh terlepasnya kalor ketika cairan memadat. Hal ini ditunjukkan
pada bagian kiri gambar 3.9, yaitu cairan hanya mengandung Bi (ditandai dengan
komposisi Cd 0%) pada suhu 273oC dan cairan yang hanya mengandung Cd
(ditandai dengan komposisi Cd 100%) pada suhu 323oC.
Jika suatu larutan didinginkan, terjadi perubahan lereng kurva pendinginan
pada suhu mulai mengkristalnya salah satu komponen dari larutan, yang
kemudian memadat. Perubahan lereng ini disebabkan oleh lepasnya kalor karena
proses kristalisasi dari padatan yan gkeluar dari larutan dan juga oleh perubahan
kapasitas kalor. Hal ini dapat terlihat pada komposisi 20% dan 80% Cd. Untuk
komposisi 40% Cd pada suhu 140oC, terjadi pertemuan antara lereng kurva
pedinginan Bi dan Cd yang menghasilkan garis mendatar. Pada suhu ini, Bi dan
Cd mengkristal dan keluar dari larutan, menghasilkan padatan Bi dan Cd murni.
Kondisi dimana larutan menghasilkan dua padatan ini disebut titik eutektik, yang
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

20

hanya terjadi pada komposisi dan suhu tertentu. Pada titik eutektik terdapat tiga
fasa, yaitu Bi padat, Cd padat dan larutan yang mengandung 40% Cd. Derajat
kebebasan untuk titik ini adalah 0, sehingga titik eutektik adalah invarian.
Eutektik bukan merupakan fasa, tetapi kondisi dimana terdapat campuran yang
mengandung dua fasa padat yang berstruktur butiran halus.
2.6.1.9. Sistem Dua Komponen Cair-Cair

Dua cairan dikatakan misibel sebagian jika A larut dalam jumlah yang
terbatas, dan demikian pula dengan B, larut dalam A dalam jumlah yang terbatas.
Bentuk yang paling umum dari diagram fasa T-X cair-cair pada tekanan tetap,
biasanya 1 atm (seperti gambar diatas). Diagram diatas dapat diperoleh secara
eksperimen dengan menambahkan suatu zat cair ke dalam cairan murni lain pada
tekanan tertentu dengan variasi suhu.
Cairan B murni yang secara bertahap ditambahkan sedikit demi sedikit
cairan A pada suhu tetap (T1). Sistem dimulai dari titik C (murni zat B) dan
bergerak kea rah kanan secara horizontal sesuai dengan penambahan zat A. Dari
titik C ke titik D diperoleh satu fasa (artinya A yang ditambahkan larut dalam B).
Di titik D diperoleh kelarutan maksimum cairan A dalam cairan B pada suhu T1.
Penambahan A selanjutnya akan menghasilkan sistem dua fasa (dua
lapisan), yaitu lapisan pertama (L1) larutan jenuh A dalam B dengan komposisi
XA,1 dan lapisan kedua (L2) larutan jenuh B dalam A dengan komposisi XA,2.
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

21

Kedua lapisan ini disebut sebagai lapisan konyugat ( terdapat bersama-sama di


daerah antara D dan F). Komposisi keseluruhan ada diantara titik D dan F. Di titik
E komposisi keseluruhan adalah XA,3. Jumlah relatif kedua fasa dalam
kesetimbangan ditentukan dengan aturan lever. Di titik E lapisan pertama lebih
banyak dari lapisan kedua. Penambahan A selanjutnya akan mengubah komposisi
keseluruhan semakain ke kanan, sementara komposisi kedua lapisan akan tetap
XA,1 dan XA,2.
Perbedaan yang terjadi akibat penambahan A secara terus menerus terletak
pada jumlah relative lapisan pertama dan kedua. Semakin ke kanan jumlah
relative lapisan pertama akan berkurang sedangkan lapisan kedua akan bertambah.
Di titik F cairan A yang ditambahkan cukup untuk melarutkan semua B dalam A
membentuk larutan jenuh B dalam A. Dengan demikian sistem di F menjadi satu
fasa. Dari F ke G, penambahan A hanya merupakan pengenceran larutan B dalam
A. Untuk mencapai titik G di perlukan penambahan jumlah A yang tak terhingga
banyaknya atau dengan melakukan percobaan mulai dari zat A murni yang
kemudian di tambah zat B sedikit demi sedikit sampai di capai titik F dan
seterusnya.
Jika percobaan dilakukan pada suhu tinggi akan di peroleh batas kelarutan
yang berbeda. Semakin tinggi suhu, kelarytan masing-masing komponen satu
sama lain meningkat, sehingga daerah fasa semakin menyempit. Kurva kelarutan
pada akhirnya bertemu disuatu titik pada suhu konsolut atas, atau disebut juga
suhu kelarutan kritis (Tc). Di atas titik Tc cairan saling melarut sempurna dalam
berbagaikomposisi.

2.6.1.10. Pembentukan Senyawa


Komponen komponen pada sistem biner dapat bereaksi membentuk
senyawa padat yang berada dalam kesetimbangan dengan fas cair pada berbagai
komposisi. Jika pembentukan senyawa mengakibatkan terjadinya daerah
maksimum pada diagram suhu komposisi, maka disebut senyawa bertitik lebur
sebangun (congruently melting compound). Contoh senyawa ini dapat dilihat
pada diagram fas Zn Mg pada gambar 3.10.
Kimia Fisik III |Kelompok VIII

22

Gambar 3.10. Diagram fasa Zn Mg

Selain melebur, senyawa juga dapat meluruh membentuk senyawa lain dan
larutan yang setimbang pada suhu tertentu. Titik leleh ini disebut titik leleh tak
sebangun (incongruently melting point) dan senyawa yang terbentuk disebut
senyawa bertitik lebur tak sebangun. Hal ini terjadi pada bagian diagram fasa
Na2SO4 H2O yang menunjukkan pelelehan tak sebangun dari Na2SO4.10H2O
menjadi kristal rombik anhidrat Na2SO4.

Gambar 3.11 Bagian diagram fasa Na2SO4 H2O


Kimia Fisik III |Kelompok VIII

23

2.6.1.11. Larutan Padat


Pada umumnya, padatan murni bisa didapatkan pada saat larutan
didinginkan. Tetapi, pada beberapa sistem, bila larutan didinginkan, maka larutan
padatlah (solid solution) yang akan keluar. Contoh sistem yang membentuk
larutan padat adalah sistem Cu Ni.

Gambar 3.12. Diagram fasa Cu Ni

Pada gambar 3.12, terlihat adanya daerah dimana terdapat fasa cair
(larutan) dan fasa padat (larutan padat) yang berada dalam kesetimbangan. Garis
yang berbatasan dengan fasa cair disebut sebagai garis liquidus, sedangkan garis
yang berbatasan dengan fasa padat disebut garis solidus. Larutan padat pada
sistem ini disebut sebagai fasa . Komposisi masing masing fasa dapat
ditentukan dengan menggunakan lever rule. Kondisi fasa fasa yang ada dalam
sistem pada berbagai suhu dapat dilihat pada gambar 3.13.

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

24

Gambar 3.13. Kondisi fasa fasa dalam sistem Cu Ni pada berbagai suhu

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

25

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Adapun dari pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Fasa adalah bagian yang serbasama dari suatu sistem yang dapat
dipisahkan secara mekanik, serbasama dalam hal komposisi kimia dan
sifat sifat fisika.
2.

Penentuan jumlah komponen adalah dengan menentukan jumlah total


spesi kimia dalam sistem dikurangi dengan jumlah reaksi reaksi
kesetimbangan yang berbeda yang dapat terjadi antara zat zat yang ada
dalam sistem tersebut.

3.

Derajat kebebasan didefinisikan sebagai jumlah minimum variabel


intensif yang harus dipilih agar keberadaan variabbel intensif dapat
ditetapkan.

4. Sistem dua komponen disebut sistem biner.Untuk sistem dua komponen,c=2,


sehingga aturan fasa f=c-p+2 menjadi f=4-p.

4.2 SARAN
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat membantu memberikan
informasi tentang kesetimbangan fasa. Apabila terdapat kekurangan dalam
makalah ini kami berharap makalah ini dapat lebih disempurnakan lagi untuk
selanjutnya.

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

26

DAFTAR PUSTAKA
Atkin, PW. 1999. Kimia Fisika Jilid 1 ( Terjemahan Irma I. Kartomiharjo), Edisi
Keempat. Jakarta : Erlangga.
Atkin, PW. 1999. Kimia Fisika Jilid 2 ( Terjemahan Irma I. Kartomiharjo), Edisi
Keempat. Jakarta : Erlangga.
Findley, A., The Phase Rule. Chapter 7, Dover Publications, New York
( 1951).
Rohman, Ijang.2000.Kimia Fisika I.Bandung : UPI.

Kimia Fisik III |Kelompok VIII

27

Anda mungkin juga menyukai