Anda di halaman 1dari 15

PP5102

Elemen dan Sistem Pariwisata


Program Magister Perencanaan Kepariwisataan, Institut Teknologi Bandung, 2010

Pariwisata sebagai Sistem:


Model Sistem Pariwisata di Kabupaten Klaten,
Propinsi Jawa Tengah
Ruwaida Fajriasanti

AbstrakPariwisata disadari sebagai fenomena yang


multisektoral dan multidimensional, sehingga perlu
dipandang sebagai suatu sistem. Sebagai sistem,
pariwisata (1) terdiri dari berbagai elemen yang saling
berkaitan menurut alur, hierarki, dan pola hubungan
tertentu dan (2) merupakan bagian dari sistem atau
lingkungan yang lebih luas; di mana terdapat
hubungan saling mempengaruhi antara pariwisata
dengan lingkungan di sekitarnya. Mengingat
banyaknya elemen yang terlibat dan pola hubungan
yang terjadi, tidaklah selalu mudah untuk mengurai
dan memahami kompleksitas di dalam suatu sistem
pariwisata. Dalam hal ini, berpikir model dapat
digunakan sebagai suatu alat bantu untuk memahami
sistem pariwisata secara lebih sederhana tanpa
bermaksud
mengesampingkan
kerumitan
dan
kompleksitas sistem itu sendiri. Dalam tulisan ini,
metode tersebut diaplikasikan terhadap sistem
kepariwisataan di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah. Sebuah model yang diadaptasi dari model
sistem Leiper (1979, 2003) digunakan untuk
menganalisis elemen-elemen dan sistem pariwisata di
Kabupaten Klaten, terutama dalam kaitannya dengan
tarikan dan dorongan kegiatan pariwisata dari dua
daerah penggerak wisatawan yaitu Solo dan
Yogyakarta. Dari hasil analisis dan pemodelan sistem
pariwisata, dapat diketahui beberapa hal yang
mempengaruhi kepariwisataan Kabupaten Klaten
secara signifikan, yaitu (1) kedudukan Klaten sebagai
daerah antara, (2) keberadaan Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), dan (3) daya tarik Candi
Prambanan. Proses analisis dan pembentukan model
dijabarkan melalui 8 bab dalam tulisan ini, meliputi:
Bab I Pendahuluan, Bab II Analisis Sistem dan
Sistem Pariwisata, Bab III Profil Daerah dan Kondisi
Pariwisata Kabupaten Klaten, Bab IV Tinjauan
Elemen-elemen Sediaan, Bab V Tinjauan Elemenelemen Permintaan, Bab VI Tinjauan Faktor-faktor
Eksternal, Bab VII Sistem Pariwisata Kabupaten
Klaten, dan Bab VIII Kesimpulan.

I.

PENDAHULUAN

Pariwisata
merupakan
fenomena
yang
melibatkan banyak kepentingan dan banyak bidang.
Selama ini, kegagalan perencanaan pariwisata kerap
disebabkan oleh cara pandang yang parsial terhadap
pariwisata. Dalam beberapa kasus, pembangunan
pariwisata tidak dapat maksimal karena hanya
mengutamakan satu sektor atau kepentingan tertentu,
dan mengabaikan sektor-sektor lainnya; padahal
sektor-sektor tersebut hanyalah sebagian elemen saja
dari lingkup kepariwisataan yang luas. Terkait dengan
hal ini, suatu cara pandang terhadap pariwisata
sebagai suatu sistem sangatlah diperlukan dalam
menganalisis dan merencanakan kepariwisataan di
suatu tempat.
Selain
untuk
efektivitas
dan
efisiensi
perencanaan pariwisata, pendekatan sistem memiliki
manfaat-manfaat lain. Pendekatan sistem dapat
digunakan untuk mengidentifikasi elemen-elemen
sediaan (supply), permintaan (demand), industri, dan
pemangku kepentingan dalam pariwisata beserta
hubungan saling mempengaruhi di antara elemenelemen tersebut. Hal ini dapat menjadi modal untuk
memetakan potensi, peluang, dan permasalahan
pengembangan pariwisata di suatu daerah. Selain itu,
dapat diketahui secara lebih spesifik sektor-sektor
yang mana saja yang memerlukan prioritas
pembangunan dan pengembangan. Dengan demikian,
pembangunan pariwisata dapat lebih terfokus dan
terarah sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
masing-masing daerah.
Meskipun demikian, pada kenyataannya, tidaklah
mudah mengurai dan memahami kompleksitas dari
suatu sistem pariwisata. Untuk menganalisis sistem
pariwisata secara lebih mudah tanpa bermaksud
mengesampingkan kompleksitasnya, suatu model
sistem pariwisata dapat digunakan. Pemodelan sistem
pariwisata untuk setiap daerah dapat berbeda,
tergantung karakteristik dan potensi masing-masing
daerah.
Tulisan ini merupakan upaya mengkaji elemenelemen dan sistem pariwisata di Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah. Secara geografis, Kabupaten Klaten

Kata Kunci : Sistem pariwisata, elemen-elemen pariwisata,


model, pariwisata Kabupaten Klaten
Ruwaida Fajriasanti, 95710005, rf.santihasan@yahoo.com

menurut istilah asalnya, system thinking (Carson dan


Macbeth 2005). Teori sistem paling awal
dikembangkan oleh Ludwig von Bertalanffy (1972),
dengan cara mengurai elemen-elemen yang menyusun
kompleksitas suatu sistem, menganalisis elemenelemen tersebut, dan mempelajari kedudukan dan
kaitan antarelemen dalam sistem. Teori sistem
selanjutnya dapat didefinisikan sebagai suatu struktur
penjelasan yang menjadi dasar pembentukan kerangka
berpikir untuk memahami suatu sistem berdasarkan
metodologi tertentu.
System theories can be described as
explanatory structures that provide the
framework for a specific systems methodology.
(Skyttner 2001).
Dalam system thinking, suatu sistem dipandang
sebagai jaringan antara bagian-bagian yang saling
terkait secara sinergis, di mana keseluruhan (jaringan
tersebut) memiliki makna lebih besar dibandingkan
jumlah dari bagian-bagiannya.
A system is considered to be an interlinked
network of parts exhibiting synergistic properties
where the whole is greater than the sum of its
parts. (Flood dan Jackson 1991: IV)
Secara lebih sederhana, sistem dapat diartikan
sebagai sekelompok komponen yang saling berkaitan
dan bergantung satu sama lain sehingga membentuk
suatu kesatuan yang utuh dan kompleks (Anderson
dan Johnson 1997). Komponen atau elemen yang
membentuk suatu sistem dapat bersifat fisik dan dapat
dihitung (tangible), dapat pula berupa aspek-aspek
nonfisik yang tidak dapat dihitung (intangible). Yang
termasuk ke dalam elemen nonfisik suatu sistem
antara lain: proses; pola hubungan; kebijakan; alur
informasi; interaksi intrapersonal; dan kondisi-kondisi
internal alam pikiran manusia seperti perasaan
(feelings), konsep nilai (values), dan kepercayaan
(beliefs) (ibid).
Menurut Anderson dan Johnson, sistem dapat
didefinisikan melalui karakter-karakter fundamental
sebagai berikut:

Suatu sistem memerlukan keberadaan seluruh


bagian atau komponennya untuk dapat
menjalankan fungsinya secara optimal.

Bagian-bagian dari sistem harus diatur menurut


kaidah-kaidah tertentu agar fungsi sistem dapat
berjalan dengan baik.

Suatu sistem memiliki peranan dan fungsi khusus


dalam kaitannya dengan sistem yang lebih luas.

Sistem mempertahankan kestabilannya melalui


proses adaptasi dan penyesuaian secara terusmenerus di antara komponen-komponennya,
maupun dengan sistem lainnya yang terkait, atau
dengan lingkungan eksternalnya.

Sistem memiliki umpan balik (feedback) berupa


pengiriman dan transmisi kembali informasi.
Fungsi terpenting dari suatu umpan balik

terletak di perbatasan Propinsi D.I. Yogyakarta dan


Propinsi Jawa Tengah. Selama ini, kabupaten ini baru
dikenal karena keberadaan Candi Prambanan saja.
Padahal, Kabupaten Klaten juga terdapat banyak daya
tarik potensial lainnya, yang didukung oleh lokasi
wilayah yang strategis di jalur selatan Jawa Tengah
yang menghubungkan dua kota besar, Yogyakarta dan
Surakarta (Solo). Oleh karenanya, menarik mengkaji
sistem pariwisata Kabupaten Klaten dalam kaitannya
dengan pariwisata Yogyakarta dan Solo, serta Candi
Prambanan sebagai daya tarik pariwisata bertaraf
internasional.
Analisis
sistem
terhadap
kepariwisataan
Kabupaten Klaten dapat digunakan untuk mengetahui
posisi (positioning) pariwisata di daerah ini, terutama
dalam hubungannya dengan dua kutub pariwisata di
Kota Solo dan Yogyakarta (Propinsi D.I. Yogyakarta).
Lebih lanjut lagi, hasil analisis tersebut dapat
digunakan untuk mengambil langkah-langkah
strategis dalam memanfaatkan dan memaksimalkan
berbagai potensi kepariwisataan di Kabupaten Klaten.
Dengan pendekatan sistem, dapat diketahui pula
sektor-sektor mana saja yang menjadi faktor penentu
utama dan yang memerlukan penguatan lebih lanjut
dalam pengembangan sektor pariwisata yang pada
gilirannya dapat berkontribusi untuk kemajuan daerah
Kabupaten Klaten itu sendiri. Dalam lingkup yang
lebih luas, pengembangan pariwisata di Kabupaten
Klaten sebagai daerah penghubung penting antara
Yogyakarta-Solo akan berkontribusi terhadap
peningkatan pengalaman pariwisata lintas batas di
wilayah-wilayah tersebut.
Pada akhirnya, sebuah model diusulkan sebagai
suatu alat untuk menggambarkan kondisi aktual
sistem kepariwisataan Kabupaten Klaten. Untuk
menyusun model tersebut, terlebih dulu diperlukan
pemahaman mengenai sistem, sistem pariwisata
serta berbagai bentuk pemodelan sistem pariwisata
yang sudah ada. Selanjutnya, dilakukan analisis
terhadap elemen-elemen pokok kepariwisataan serta
faktor-faktor eksternal yang mampu mempengaruhi
pengembangan pariwisata di Kabupaten Klaten.
Dengan analisis ini pula, dapat diketahui pola
hubungan yang terjadi di antara elemen pariwisata
dengan lingkungan eksternal. Secara umum, metode
analisis yang digunakan dalam tinjauan dan
pemodelan sistem pariwisata Kabupaten Klaten
bersifat kualitatif; dengan memanfaatkan data-data
sekunder berupa data literatur dan statistik.
II.

PENGERTIAN SISTEM, PARIWISATA SEBAGAI


SISTEM DAN BERBAGAI MODEL SISTEM
PARIWISATA

2.1. Teori dan Pengertian Sistem


Teori sistem bermula pada era 1930-an dan
1940-an sebagai suatu upaya untuk merumuskan dan
mengembangkan metode berpikir sistem atau,
2

dan menganalisis pariwisata sejak beberapa dekade


terakhir (Carson dan Macbeth 2005).
Pada 1986, misalnya, McIntosh dan Goeldner
mengusulkan perlunya suatu pendekatan sistem untuk
memahami konteks pariwisata yang sangat luas dan
kompleks. Pendapat yang sama dikemukakan pula
oleh para ahli lainnya. Jafari (1990) menyatakan
pentingnya memandang pariwisata sebagai suatu
kesatuan sistem dalam upaya untuk memajukan
keilmuan pariwisata itu sendiri. Pendekatan sistem
juga digunakan oleh Getz (1987) sebagai suatu konsep
dalam perencanaan pariwisata. Di sisi lain, Laws
(1995, 2003) menggunakan pendekatan sistem sebagai
kerangka kerja untuk menjelaskan kompleksitas
dalam sistem pelayanan pariwisata (tourism service
system). Pembahasan lebih jauh tentang berbagai
penerapan pendekatan sistem terhadap pariwisata
akan disajikan dalam subbab 2.3 Berbagai Model
Sistem Pariwisata.
Pariwisata sebagai suatu sistem dapat
diidentifikasi menurut karakter-karakter fundamental
sistem yang dirumuskan oleh Anderson dan Johnson
(1997). Pertama, pariwisata digerakkan oleh berbagai
elemen dan melibatkan sektor-sektor yang berbeda.
Kedua, fenomena pariwisata terjadi melalui interaksi
antarelemen tersebut menurut alur dan hierarki
tertentu. Ketiga, sistem pariwisata merupakan bagian
dari sistem lain yang lebih luas. Pariwisata, misalnya,
dapat dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi.
Keempat, pariwisata sangat dipengaruhi oleh
dinamika yang terjadi secara cepat baik di lingkungan
tempatnya berada; dalam hal ini pariwisata merupakan
sistem yang bersifat terbuka. Kelima, sistem
pariwisata memerlukan umpan balik (feedback)
berupa upaya-upaya kontrol dan evaluasi untuk
memastikan bahwa kegiatan pariwisata yang berjalan
di suatu daerah telah mampu memberikan manfaat
seperti yang diharapkan serta tidak menimbulkan
dampak-dampak di luar yang dapat ditoleransi oleh
lingkungan sekitarnya.

terhadap sistem adalah tersedianya katalis untuk


perubahan perilaku atau kebijakan.
Dapat disimpulkan bahwa perspektif sistem tidak
hanya ditujukan untuk mempelajari elemen-elemen
tertentu dalam suatu sistem, tetapi juga untuk
menganalisis kerumitan interaksi di antara elemenelemen tersebut. Selain itu, perspektif sistem juga
melibatkan kajian tentang pengaruh-pengaruh
lingkungan eksternal terhadap suatu sistem (Carson
dan Macbeth 2005). Secara sederhana, suatu sistem
terbentuk oleh hubungan internal antara elemenelemennya dan hubungan antara elemen-elemen
tersebut dengan lingkungan eksternalnya (von
Bertalanffy 1972:29).
Leiper (2003) melakukan analisis lebih jauh lagi
dan menyimpulkan bahwa di dalam suatu sistem yang
besar, terdapat sistem-sistem lain yang lebih kecil.
Analisis terhadap sistem oleh karenanya dapat
dilakukan pula untuk memisahkan sistem-sistem
yang saling bertautan berdasarkan hierarki
tertentu, sehingga pada akhirnya setiap sistem
memiliki subsistem dan supersistemnya masingmasing.
2.2. Aplikasi Teori Sistem ke dalam Pariwisata
Cornelissen (2005), dengan merujuk kepada teori
Britton (1991), menyatakan bahwa pariwisata pada
dasarnya berkaitan dengan pergerakan manusia dari
satu lokasi geografis ke lokasi geografis lainnya
dengan tujuan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas
leisure dan/atau bisnis; dan juga dalam transaksitransaksi ekonomi yang menyertai aktivitas-aktivitas
tersebut. Pariwisata, berdasarkan pengertian tersebut,
dipandang sebagai suatu bentuk kegiatan jasa yang
melibatkan aliran-aliran modal, keuangan, barang,
pengetahuan, dan manusia. Dalam hal ini, pariwisata
memiliki baik elemen produksi maupun elemen
konsumsi. Sebagai bentuk kegiatan produksi,
pariwisata
bersifat
multisektoral
dan
multidimensional, melibatkan berbagai aktivitas dan
pelaku dalam bidang ekonomi (Debbage dan Daniels
1998). Sebagai bentuk kegiatan konsumsi, pariwisata
memiliki keunikan tersendiri, di mana produknya
bersifat tetap dan tidak dapat berpindah tempat. Oleh
karena itu, untuk dapat menikmati produk pariwisata,
konsumen (wisatawan) harus menempuh jarak
tertentu dan melakukan perjalanan ke suatu destinasi.
Hal terpenting yang dapat dipahami dari
pengertian di atas adalah pariwisata sebagai fenomena
yang kompleks dan multisektoral; terdiri dari dan
dipengaruhi oleh banyak kepentingan serta elemen.
Lebih jauh lagi, elemen-elemen tersebut tidaklah
berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu
sama lain. Hal inilah yang mendasari berkembangnya
inisiatif-inisiatif dari para akademisi dan pakar untuk
menggunakan pendekatan sistem dalam mempelajari

2.3. Berbagai Model Sistem Pariwisata


Berdasarkan pembahasan sebelumnya, telah
disepakati bahwa pariwisata merupakan fenomena
yang multidimensional dan multisektoral yang harus
dilihat dalam satu kesatuan sistem. Cara pandang
terhadap pariwisata sebagai suatu sistem dapat
dilakukan dari dua sisi. Pertama, dilihat dalam
hubungan output-input, sistem pariwisata berada
dalam lingkungan yang lebih luas, output-nya akan
tergantung bukan hanya kepada input, tetapi juga
kepada kinerja faktor-faktor strategis lingkungan dan
instrumen-instrumen kelembagaan seperti terlihat
pada Gambar 1 (Naskah Akademik Undang-undang
Kepariwisataan 2006).

Termasuk ke dalam
m permintaan adalaah
keragaman motivasi daan kemampu
uan wisatawaan
untuk melaakukan perjallanan;
sediaaan
Termasuk
ke
dalam
adalaah

pengembanngan-pengem
mbangan program daan
lingkungann fisik di destinasi pariiwisata untuuk
melayani kebutuhan wisatawan;
Pariwisata meliputi berrbagai dimeensi geografiis,

ekonomi, liingkungan, ssosial, dan po


olitik;
Pariwisata bukanlah ssuatu industri, melainkaan

terdiri dari berbagai enntitas sebagaaimana halnyya


sektor bisniis.
Model parriwisata Guunn menekaankan bahw
wa
wisata tidak dapat direnccanakan tanp
pa memaham
mi
pariw
hubu
ungan-hubunngan saling mempengarruhi di antarra
elem
men-elemen sediaan (suppply) pariwissata, terutam
ma
jika mengingat elemen-elem
e
men sediaan teersebut sangat
terkaait dengan permintaan (demand) pasar.
p
Melaluui
mod
del pariwisaatanya, Gunnn menggarisbawahi siisi
perm
mintaan dann sisi sediiaan pariwiisata sebagai
peng
ggerak utam
ma pariwisatta; di manaa sisi sediaaan
pariw
wisata terbenntuk oleh innteraksi antarra komponennkom
mponen dayya tarik, trransportasi, jasa/layanann,
informasi, dan promosi. Model Gu
unn tersebuut
dipaandang sebaggai salah sattu cara untuk
k menjelaskaan
sisteem fungsionaal dari pariw
wisata (functioning tourism
systeem) (Gunn 2002).
2

ENVIRO
ONMENTAL
DIME
ENSIONS
Economics, political, social,
technologic
cal, geographical

INPUTS

The influencce of
its environm
ment
over the
tourism systtem

OUTPUTS

T
THE
TOURISM
SY
YSTEM

The impacts off


the tourism
system on its
environment

THE ENV
VIRONMENT
OF THE
E TOURISM
SY
YSTEM

Gam
mbar 1. Salah Satu
S Model Paariwisata.
(Sumber: Z.
Z H. Liu dalaam A. V. Seaton, dkk. 19944)

Kedua, sistem pariiwisata dapaat dilihat seecara


leebih sederhaana dari saatu atau lebbih dimensi atau
sektor
sajaa,
yang
pada
daasarnya
h
hanya
m
menggambark
kan bagian atau subsisstem dari siistem
p
pariwisata
yaang kompleeks. Berbagaai cara panndang
teerhadap sisstem pariw
wisata tersebut selanjuutnya
d
diterjemahkan
n ke dallam modell-model siistem
p
pariwisata
sedderhana sebaagai berikut.
A Model Sisstem Pariwisata Mill daan Morrison
A.
n
(1985)
Model Mill dan Morrison
M
terrdiri dari em
mpat
e
elemen
utam
ma, yaitu (1) pasar attau market,, (2)
p
perjalanan
a
atau
travell, (3) desttinasi, dan (4)
p
pemasaran
a
atau
marketting. Interaksi antareleemen
teersebut dapaat dilihat dallam diagram
m sistem Milll dan
M
Morrison
(19985) (Gambarr 2).
Kritik teerhadap moddel sistem parriwisata Mill dan
M
Morrison
addalah berattnya penekaanan pada sisi
p
pemasaran,
sehingga menimbulkan
m
n persepsi yang
salah bahwaa semua asspek dari pariwisata
p
d
dapat
d
dipasarkan.
Selain itu, model Milll dan Morrrison
b
bersifat
sangat linear dann tertutup; menepikan
m
p
posisi
sistem pariwiisata sebagaii bagian dari lingkungan yang
leebih luas yang dappat berpengaruh terhhadap
p
pariwisata,
d sebaliknyya, juga meendapat penggaruh
dan
d pariwisatta.
dari

Gambbar 2. Model Pariwisata Meenurut


Mill dan Moorrison (1992)..
(S
Sumber:The T
Tourism System
m)

B Model Sisstem Pariwissata Gunn (1972)


B.
(
Gunn (1972; 20002) menyim
mpulkan baahwa
e
elemen-eleme
en kunci dari
d
model pariwisata yang
m
menyeluruh
m
meliputi
hal-hal sebagai berikut:
b

Pariwisaata merupakaan bidang yaang multidisipplin;

Pariwisaata digerakkaan oleh dua kekuatan uttama,


yaitu elemen permiintaan (demaand) dan eleemen
sediaan (supply);

melalui rute perjalanan tertentu, (4) ke suatu daerah


tujuan, (5) di mana wisatawan tersebut menggunakan
dan mengonsumsi jasa industri pariwisata (Leiper
2003).
Secara singkat, terdapat lima elemen yang
menyusun WTS menurut Leiper (2003), yaitu:
(1) wisatawan (tourist),
(2) daerah asal wisatawan (tourism generating
regions),
(3) rute transit (transit routes),
(4) daerah tujuan wisatawan (destination regions),
dan
(5) industri pariwisata (tourism industry).
The elements of the system are tourists,
generating regions, transit routes, destination
regions and a tourist industry. These five
elements are arranged in spatial and functional
connections. (Leiper 2003).
Lebih jauh lagi, Leiper (2003) mendeskripsikan
WTS sebagai suatu sistem yang terbuka (open system)
di mana lingkungan juga berinteraksi dengan dan
memiliki pengaruh terhadap elemen-elemen di dalam
sistem. Lingkungan tersebut dapat berupa aspek-aspek
fisik, budaya, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan
teknologi, yang membentuk pariwisata, namun juga
pada giliran selanjutnya, dipengaruhi oleh pariwisata.
Leiper menyatakannya sebagai berikut:
Having the characteristics of an open system,
the organization of five elements operates within
broader environments: physical, cultural, social,
economic, political, technological with which it
interacts. (Leiper 2003).
Argumen Leiper tentang sifat terbuka sistem
pariwisata tersebut merupakan krtitik terhadap
pendapat-pendapat
yang
memodelkan
sistem
pariwisata sebagai suatu sistem linier dan tertutup
seperti yang dilakukan oleh Mill dan Morrison (1985)
dan Gunn (1972).
Secara sederhana, model Whole Tourism System
(WTS) Leiper diperlihatkan dalam Gambar 4.

Gambar 3. Model Sistem Pariwisata Menurut


Clare A. Gunn.
(Sumber: Gunn 2002)

Model sistem pariwisata Gunn tersebut


disusun melalui pendekatan sediaan pariwisata, tapi
tidak menggambarkan keseluruhan sistem pariwisata.
Menilik kaitan antara sisi sediaan-permintaan
pariwisata, model tersebut masih bersifat linear,
sementara sistemnya sendiri digambarkan sebagai
sistem yang tertutup (closed system). Selain itu, dari
model ini, belum terlihat adanya hubungan saling
mempengaruhi antara sistem dan elemen-elemen
pariwisata dengan lingkungan dan sistem lain yang
lebih luas. Meskipun demikian, model yang
dikembangkan Gunn dapat digunakan dalam
menganalisis elemen-elemen vital sumber daya tarik
pariwisata terutama yang terdapat di daerah tujuan
atau destinasi pariwisata.
C. Whole Tourism System oleh Leiper (2003)
Leiper merupakan salah satu pakar yang pertama
mengadaptasi pendekatan sistem ke dalam studi
pariwisata (Hall dan Page 2010). Leiper (1979)
mendefinisikan pariwisata sebagai berikut:
the system involving the discretionary travel
and temporary stay of persons away from their
usual place of residence for one or more nights,
excepting tours made for the primary purpose of
earning remuneration from points en route.
Berdasarkan
pengertian
tersebut,
Leiper
mengusulkan suatu model pendekatan sistem yang
menyeluruh terhadap pariwisata. Model ini disebut
dengan Whole Tourism System atau WTS. Dalam
mengidentifikasi elemen-elemen sistemnya, Leiper
hanya mempertimbangkan hal-hal mendasar yang
benar-benar
berperan
dalam
menggerakkan
pariwisata. Menurut Leiper, terjadinya pariwisata
dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari fenomena
berikut: (1) adanya satu orang saja wisatawan, (2)
yang memulai perjalanan dari suatu daerah asal, (3)

Gambar 4. Model Sederhana Keseluruhan Sistem


Pariwisata (Whole Tourism System) Menurut Leiper
(2003).
(Sumber: Carson dan Macbeth 2005)

Dalam gambar tersebut, area yang diarsir


menggambarkan posisi masyarakat dan organisasiorganisasi yang terlibat dalam industri pariwisata
(Leiper 2003).

ekonomi Jawa Tengah, yaitu Joglosemar (Yogyakarta,


Solo, Semarang). Ibukota kabupaten ini berada pada
jalur utama jalan raya Yogyakarta-Solo. Candi
Prambanan, yang merupakan komplek candi Hindu
terbesar di Indonesia, terletak di tepi jalur darat
tersebut, berbatasan dengan wilayah Propinsi D.I.
Yogyakarta.
Sumbangan sektor pariwisata terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Klaten
cukup signifikan, yaitu sekitar 64,36% berdasarkan
harga konstan dan 26,18% berdasarkan harga berlaku
pada tahun 2000 (Laporan Kemajuan RIPP Kabupaten
Klaten 2002). Setiap tahunnya, pendapatan pariwisata
tersebut diperkirakan naik hingga mencapai 10% pada
tahun 2008 (Kantor Dinas Pariwisata Kabupaten
Klaten 2008) seiring dengan peningkatan kualitas
berbagai daya tarik pariwisata dan infrastruktur
daerah. Daya tarik utama pariwisata Kabupaten
Klaten terletak pada potensi pariwisata budaya seperti
Candi Prambanan, Candi Plaosan, Museum Gula Jawa
Tengah, serta berbagai kegiatan budaya dan kesenian

2.4. Perbandingan Model-Model Sistem


Pariwisata

Secara singkat, perbandingan antara ketiga


model sistem pariwisata di atas dapat dilihat
dalam Tabel 1 di bawah ini.
Pada dasarnya, tidak ada satu pemodelan yang
lebih unggul dibandingkan pemodelan lainnya.
Penerapan model tersebut ke dalam penelitian
pariwisata sangat tergantung pada hasil apa yang ingin
diketahui melalui penelitian tersebut. Model Mill dan
Morrison, misalnya, dapat digunakan untuk
menganalisis sistem pasar dalam keseluruhan sistem
pariwisata. Model Gunn dapat digunakan sebagai alat
untuk mengkaji daya tarik suatu destinasi pariwisata.
Model Leiper, di sisi lain, menawarkan pendekatan
untuk memahami kompleksitas pariwisata secara
menyeluruh, hubungan antarelemennya, dan kaitan
sistem pariwisata dengan lingkungan.

Tabel 1. Perbandingan Model-model Sistem pariwisata Menurut Para Ahli


Mill dan Morrison (1985)
Gunn (1972; 2002)
Sistem pariwisata sebagai fungsi
Sistem pariwisata sebagai fungsi
interaksi antara pasar, perjalanan,
interaksi antara permintaan dan
destinasi, dan pemasaran
elemen-elemen sediaan pariwisata
yang terdiri dari daya tarik,
transportasi, jasa pelayanan,
informasi, dan promosi
Mengedepankan sisi pemasaran
Mengedepankan sisi sediaan
pariwisata
Sistem tertutup

Sistem tertutup

Leiper (1979; 2003)


Sistem pariwisata sebagai satu kesatuan
yang utuh dari berbagai elemen
penggeraknya (wisatawan, daerah asal
wisatawan, rute perjalanan, daerah
tujuan, dan industri pariwisata)
Memasukkan unsur humanisme
(wisatawan) sebagai elemen penting
terjadinya pariwisata
Sistem terbuka, mempertimbangkan
pengaruh-pengaruh lingkungan dan
kedudukan sistem dalam sistem yang
lebih luas lagi.

(Sumber: Gunn 2002; Carson dan Macbeth 2005)

tradisional. Potensi lainnya mencakup kondisi alam


dan lingkungan yang beragam, baik berupa alam
pegunungan, hutan, perkebunan, serta area perairan
atau rawa dengan keragaman flora dan faunanya
(ibid).
Peluang utama pariwisata Kabupaten Klaten
hingga saat ini masih terletak pada Kawasan Candi
Prambanan dan Plaosan yang sudah dikenal luas
sebagai daya tarik pariwisata unggulan baik bagi
segmen pasar wisatawan nusantara maupun
wisatawan mancanegara. Selain itu, terdapat peluang
lain pengembangan pariwisata yang berasal dari
berbagai produk dan daya tarik pariwisata budaya
maupun alam yang relatif belum tergarap secara
maksimal. Meskipun demikian, pengembangan
pariwisata Kabupaten Klaten masih menemui
hambatan-hambatan. Di antaranya adalah kegiatan
pariwisata yang masih sangat mengandalkan Candi
Prambanan sebagai daya tarik utama (Prambananminded). Akibatnya, pengembangan dan pemasaran
produk-produk pariwisata lainnya menjadi tidak

III. SEKILAS PROFIL DAERAH DAN KONDISI


PARIWISATA KABUPATEN KLATEN, PROPINSI
JAWA TENGAH
Klaten merupakan kabupaten yang terletak di
Propinsi Jawa Tengah; berbatasan dengan Propinsi
D.I. Yogyakarta di sebelah selatan dan barat,
Kabupaten Boyolali di utara, serta Kabupaten
Sukoharjo di timur. Ibukota kabupaten ini terletak di
Klaten. Ditinjau dari topografinya, sebagian besar
wilayah Kabupaten Klaten berupa dataran rendah dan
tanah bergelombang. Adapun bagian barat lautnya
merupakan pegunungan, bagian dari sistem Gunung
Merapi. Ditinjau dari sisi demografi, penduduk
Kabupaten Klaten berjumlah sekitar 1.121.000 jiwa
(Survei BPS 2003), dengan matapencaharian sebagian
besar penduduk di bidang pertanian.
Klaten memiliki kedudukan strategis dalam
kaitannya dengan kota-kota di sekitarnya. Posisi
Kabupaten Klaten termasuk dalam persimpangan jalur
utama dan lingkup kawasan segitiga pertumbuhan
6

utamanya mengunjungi Klaten, 2% untuk berziarah,


dan hanya 12% saja untuk kegiatan bisnis. Umumnya,
wisatawan menilai bahwa kondisi fasilitas, sarana, dan
prasarana yang baik, kemudahan akses, serta
higienitas makanan-dan minuman sangatlah penting
dimiliki oleh setiap ODTW di Kabupaten Klaten
(opcit).

maksimal (ibid). Selain itu, terdapat ancaman berupa


pemberitaan yang kurang proporsional terkait kondisi
pariwisata pegunungan di area Gunung Merapi di
barat laut Klaten, terutama pada saat dan pasca terjadi
bencana. Pemberitaan yang tidak proporsional
tersebut kerap menimbulkan citra yang kurang baik
terhadap destinasi pariwisata.

Tabel 2. Persentase Wisatawan Nusantara Kabupaten


Klaten Menurut Kelompok Umur
Kurang dari 18 tahun
6%
18-24 tahun
50%
25-34 tahun
22%
35-44 tahun
16%
45-55 tahun
4%
55 tahun ke atas
2%
Sumber: Laporan Kemajuan RIPP Kab. Klaten Tahun 2002

4.2. Asal Wisatawan Kabupaten Klaten


Wisatawan nusantara yang berkunjung ke
Kabupaten Klaten berasal dari berbagai daerah,
khususnya yang masih berada dalam lingkup Pulau
Jawa. Wisatawan asal Jawa Tengah mendominasi
jumlah kunjungan dengan persentase 48%, diikuti
wisatawan Jawa Timur 22%, wisatawan Jakarta dan
D. I. Yogyakarta masing-masing 10%, wisatawan
Jawa Barat dan Banten 6%, dan sisanya 4% berasal
dari daerah lainnya (RIPP Kabupaten Klaten 2002).
Komposisi asal wisatawan mancanegara yang
berkunjung ke Kabupaten Klaten dikelompokkan ke
dalam 6 region besar, yaitu Eropa, Asia, Australia,
Oseania, Amerika, dan ASEAN; di mana wisatawan
asal Eropa mendominasi jumlah kunjungan dengan
persentase 59.17%. Dari jumlah tersebut, wisatawan
Belanda tercatat sebagai yang terbanyak mengunjungi
daerah Klaten dengan persentase 34% (RIPP
Kabupaten Klaten tahun 2002). Secara berturut-turut,
yang termasuk ke dalam lima besar negara sumber
pasar mancanegara Kabupaten Klaten adalah Belanda,
Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia
(ibid).

Gambar 5. Lokasi Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa


Tengah
Sumber: Wikipedia (2008)

IV. TINJAUAN SISI PERMINTAAN PARIWISATA


(DEMAND) KABUPATEN KLATEN
4.1. Profil Wisatawan Kabupaten Klaten
Data aktual terkait jumlah kunjungan wisatawan
ke daerah Klaten tidaklah mudah diperoleh. Data
terakhir, berdasarkan RIPP Kabupaten Klaten tahun
2002, menyatakan bahwa terdapat jumlah wisatawan
sebesar 230.916 orang pada tahun 2000, yang
melonjak menjadi 483.433 orang pada tahun
berikutnya (2001). Selanjutnya, menurut data Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga
(Disbudpar PO) Kabupaten Klaten, jumlah total
wisatawan untuk Klaten diperkirakan terus meningkat,
dengan rata-rata sebesar 10% tiap tahunnya
(Disbudpar PO 2009).
Dari jumlah total kunjungan, wisatawan
nusantara masih mendominasi kunjungan pariwisata
ke Kabupaten Klaten. Hal ini, misalnya, dapat dilihat
dari jumlah kunjungan wisatawan nusantara ke Candi
Prambanan yang mencapai 856.029 orang pada tahun
2008, sementara jumlah kunjungan mancanegara
hanya 114.951 orang. Ditinjau dari aspek demografis,
kelompok usia wisatawan nusantara yang berkunjung
ke objek wisata di Kabupaten Klaten didominasi oleh
kelompok usia 18-24 tahun (50%) dengan mayoritas
berlatarbelakang pendidikan SMA (56%). Selain itu,
sebagian besar pengunjung ODTW Klaten berasal dari
golongan pelajar dan karyawan swasta, dengan jumlah
pendapatan antara 400.000-800.000 per bulan (RIPP
Kabupaten Klaten 2002).
Sebagian besar wisatawan (70%) melakukan
kunjungan ke wilayah Kabupaten Klaten untuk alasan
berlibur atau rekreasi. Sebanyak 8% lainnya
menyatakan kunjungan keluarga merupakan motivasi

4.3. Pola Kunjungan Wisatawan ke Kabupaten


Klaten
Pola kunjungan wisatawan ke Kabupaten Klaten
meliputi pola perjalanan (jalur yang dilalui, moda
transportasi yang digunakan, rute transit, serta cara
mengatur perjalanan), pola kunjungan (ODTW yang
dikunjungi dan lama waktu kunjungan), serta pola
menginap (lama waktu tinggal dan pilihan tempat
untuk menginap).
A. Pola Perjalanan Wisatawan
Untuk berkunjung ke Kabupaten Klaten, dapat
melalui jalur darat maupun udara. Rute jalur darat
menuju Klaten adalah sebagai berikut:

Dengan kendaraan pribadi/bus:

Wisatawan dari Jawa Timur atau asal Solo,


datang melalui Solo; menempuh jalur SoloSukoharjo-Klaten.
Wisatawan dari Jakarta dan Jawa Barat, datang
melalui Semarang atau Yogyakarta. Wisatawan
yang datang melalui Semarang dapat menempuh
jalur
Semarang-Magelang-Yogyakarta-Klaten
atau Semarang-Salatiga-Boyolali-Klaten.

Dengan kereta api:


Dari Semarang, jalur kereta Semarang-SoloKlaten-Yogyakarta.
Dari Solo maupun Yogyakarta, dengan kereta
cepat Prameks jurusan Solo-Yogyakarta.

Dengan bus, dari Yogyakarta sudah ada rute bus


TransJogja langsung ke Prambanan, dengan tarif
3000 Rupiah dan jarak tempuh sekitar 30 menit.
Rute udara melalui dua pintu gerbang utama,
yaitu:

Bandara Internasional Adisumarmo, Solo, dan

Bandara Internasional Adisucipto, Yogyakarta.


Kedua bandara internasional tersebut menjadi gerbang
masuk bagi sebagian besar wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke wilayah Klaten. Adapun Bandara
Adisucipto telah sejak lama menjadi pintu masuk
penting bagi wisatawan nusantara dan mancanegara
yang datang setelah melalui rute Jakarta atau BaliLombok (RIPP Kabupaten Klaten 2002).
Melihat rute perjalanan di atas, tampak jelas
peran penting Kota Solo dan Yogyakarta bagi
kepariwisataan Klaten. Sebagian besar wisatawan,
baik wisman maupun wisnus, yang mengunjungi
Klaten berasal dari kedua kota ini. Menurut RIPP
Kabupaten Klaten Tahun 2002, wisatawan yang pergi
ke Klaten umumnya juga berkunjung ke kota-kota
lainnya, baik sebelum maupun sesudah dari Klaten.
Kota yang paling banyak dikunjungi sebelum ke
Kabupaten Klaten adalah Yogyakarta, dengan
persentase sebesar 54%, sedangkan kota yang paling
banyak dikunjungi setelah dari Kabupaten Klaten
adalah Solo (46%). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pola perjalanan utama wisatawan
Kabupaten Klaten adalah dari Yogyakarta-KlatenSolo. Dalam hal ini, Klaten masih dipandang sebagai
daerah transit antara Yogyakarta dan Solo. Rata-rata
wisatawan belum menganggap Klaten sebagai
destinasi utama, karena daya saing objek
pariwisatanya
yang
masih
kalah
menarik
dibandingkan Solo dan Yogyakarta.
Dari sisi manajemen perjalanan, mayoritas
wisatawan (66%) mengatur sendiri perjalanan mereka
ke Kabupaten Klaten (RIPP Kabupaten Klaten 2002).
Sebanyak 14% diatur oleh instansi atau sekolah dan
12% melalui Biro Perjalanan Wisata. Dapat dilihat
bahwa wisatawan lebih suka mengatur perjalanannya
sendiri ke Kabupaten Klaten; umumnya mereka
datang sendiri-sendiri atau dalam rombongan kecil
(ibid). Beberapa asumsi yang dapat ditarik dari
fenomena ini adalah:

Proporsi wisatawan jarak pendek yang lebih


besar. Umumnya, karena kedekatan lokasi
geografis, sebagian besar wisatawan tidak
merasa perlu melakukan persiapan khusus untuk
berkunjung ke Kabupaten Klaten.
Kunjungan wisatawan yang menggunakan jasa
Biro Perjalanan pada umumnya merupakan
bagian dari paket tur dari Yogyakarta menuju
destinasi lainnya (Solo, Bromo, Bali) yang transit
di Klaten (Prambanan).

B. Pola Kunjungan Wisatawan


Dilihat dari proporsi kunjungan wisatawan ke
berbagai objek dan daya tarik wisata (ODTW) di
Kabupaten Klaten, secara umum dapat dikatakan
bahwa persebaran kunjungan wisatawan ke ODTW
budaya, alam, dan buatan relatif merata. Pada tahun
2001, sebanyak 37% wisatawan tercatat mengunjungi
ODTW budaya, 35% ODTW alam, dan sisanya 28%
teralokasi ke ODTW buatan (Tabel 3) (RIPP
Kabupaten Klaten 2002). Meskipun demikian, Candi
Prambanan, beserta Komplek Candi Sewu yang
berada tidak jauh, masih menjadi tujuan utama
kedatangan wisatawan, baik nusantara maupun
mancanegara, ke Klaten. Lokasi Taman Wisata Candi
(TWC) Prambanan di tepi jalur utama YogyakartaSolo menjadikan objek wisata ini strategis sebagai
lokasi transit utama wisatawan dari Yogyakarta yang
menuju Solo.
Selain
Candi
Prambanan,
tujuan-tujuan
pariwisata utama lainnya di Kabupaten Klaten adalah
Rawa Jombor, Sumber Air Ingas, dan Makam Sunan
Pandanaran. Di samping itu, event budaya dan
tradisional seperti upacara tradisional Yaqowiyu
menjadi daya tarik yang banyak diminati wisatawan
lokal (ibid).
Walaupun wisatawan mengunjungi lebih dari
satu ODTW, lama kunjungan mereka di masingmasing ODTW masih sangat singkat. Sebanyak 36%
wisatawan hanya menghabiskan 2-4 jam di setiap
ODTW, sementara 30% lainnya bahkan lebih singkat
lagi, yaitu sekitar 1-2 jam (ibid). Hal ini dapat menjadi
indikasi tidak variatifnya daya tarik pariwisata ODTW
Kabupaten Klaten, sehingga berimbas terhadap
tingginya tingkat kejenuhan wisatawan. Akibatnya,
lama waktu kunjungan wisatawan pun cenderung
pendek.
C. Pola Menginap Wisatawan
Kemudahan akses serta tingginya proporsi
wisatawan jarak pendek berdampak kepada rendahnya
lama waktu tinggal wisatawan (length of stay) di
Kabupaten Klaten. Berdasarkan data tahun 2002, lama
waktu tinggal rata-rata wisatawan nusantara maupun
mancanegara adalah kurang dari 24 jam. Khusus
wisatawan nusantara, karena daerah asal yang tidak
terlalu jauh, sebanyak 50% melakukan kunjungan one
day trip (tidak menginap). Adapun bagi wisatawan

Surakarta (Solo) dan Propinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta. Ditinjau dari perspektif kedua daerah
tersebut, wilayah Klaten, terutama Kota Klaten
sebagai ibukota kabupaten, merupakan wilayah
transit. Namun, ditinjau dari perspektif internal,
Kabupaten Klaten pun sesungguhnya memiliki
sejumlah potensi daya tarik yang dapat dikembangkan
untuk mempromosikan Klaten sebagai destinasi
pariwisata unggulan.
Berdasarkan Laporan Kemajuan Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata (RIPP) Kabupaten Klaten
tahun 2002, daya tarik pariwisata Kabupaten Klaten
dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu objek dan
daya tarik wisata (ODTW) budaya, ODTW alam, dan
ODTW buatan. Persentase ketersedian ODTW
tersebut adalah sebagai berikut: ODTW budaya
merupakan yang terbanyak dengan persentase 75%,
diikuti ODTW alam 17%, dan ODTW buatan 8%.

yang menginap, Yogyakarta menjadi pilihan utama


sebagai tempat menginap (28%). Pilihan lainnya
adalah di rumah kerabat (18%), itu pun hanya untuk
satu malam (18%).
4.4. Kesimpulan Tinjauan Sisi Permintaan
(Demand) Pariwisata Kabupaten Klaten
Dari berbagai tinjauan sisi permintaan terhadap
pariwisata di Kabupaten Klaten, dapat disimpulkan
bahwa pasar wisatawan bagi Kabupaten Klaten
tersedia dan potensinya terbuka lebar. Setidaknya
terdapat tiga kelompok wisatawan di Kabupaten
Klaten, yaitu wisatawan lokal (masyarakat Klaten),
wisatawan nusantara (datang dari daerah di luar
wilayah Kabupaten Klaten), serta wisatawan
mancanegara. Sejauh ini, wisatawan nusantara masih
menjadi pasar utama bagi beberapa destinasi seperti
Candi Prambanan, Komplek Candi Sewu, dan Sumber
Air Ingas, dan pasar potensial untuk destinasidestinasi lainnya. Adapun wisatawan mancanegara
dapat dipandang sebagai pasar potensial pariwisata
Kabupaten Klaten.
Beberapa kesimpulan lainnya yaitu:

Wisatawan umumnya belum melihat Klaten


sebagai suatu destinasi mandiri dengan berbagai
daya tarik unik, bukan hanya Candi Prambanan
saja. Klaten masih diposisikan sebagai daerah
antara dan alternatif tujuan pariwisata terhadap
Propinsi/Kota Yogyakarta dan Solo.

Ketergantungan citra pariwisata Klaten terhadap


Candi Prambanan.

Peran penting D.I. Yogyakarta dan Kota Solo


bagi kepariwisataan Kabupaten Klaten. Kedua
daerah ini bukan saja merupakan daerah asal
wisatawan
(tourist
generating
region),
melainkan juga berperan sebagai rute transit
wisatawan nusantara dan mancanegara menuju
Kabupaten Klaten.

Persepsi
wisatawan
terhadap
pariwisata
Kabupaten Klaten berdampak langsung terhadap
pola kunjungan dan pola menginap wisatawan.
Dalam hal ini, daya tarik pariwisata di
Kabupaten Klaten dipandang masih kalah
bersaing terutama dengan Solo dan Yogyakarta,
sehingga wisatawan cenderung tidak tertarik
untuk memperpanjang waktu kunjungannya di
kabupaten ini.
V.

Tabel 3. Proporsi ketersediaan ODTW di kabupaten Klaten


dan jumlah kunjungan wisatawan terhadap masing-masing
ODTW (2002)
Jenis ODTW
Proporsi
Proporsi kunjungan
ketersediaan (%)
wisatawan (%)
Budaya
75
37
Alam
17
35
Buatan
8
28
Sumber: Laporan Kemajuan RIPP Kab. Klaten Tahun 2002

Dari sejumlah daya tarik pariwisata tersebut,


disusun lagi sebuah pengelompokan ODTW
berdasarkan peringkat penilaian tingkat daya tarik dan
daya saingnya. Daya tarik-daya tarik pariwisata di
Kabupaten Klaten selanjutnya dibagi menjadi tiga,
yaitu ODTW Unggulan, ODTW Menonjol, dan
ODTW Potensial. Terdapat empat ODTW Unggulan
Kabupaten Klaten, yaitu Taman Wisata Candi
Prambanan, Makam Sunan Pandanaran, Sumber Air
Ingas, dan Komplek Candi Sewu. Pengelompokan
daya tarik pariwisata lainnya di Kabupaten Klaten
disajikan dalam Tabel 4.

TINJAUAN SISI SEDIAAN (SUPPLY) PARIWISATA


KABUPATEN KLATEN

Dengan luas wilayah hanya 655.56 km2,


Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah memiliki
kedudukan yang penting dalam pariwisata regional.
Seperti telah disinggung dalam bab terdahulu,
Kabupaten Klaten terletak di antara dua daerah
penting di wilayah Jawa bagian tengah: Kota

Gambar 6. Candi Prambanan di Perbatasan Kabupaten


Klaten dan Propinsi DI Yogyakarta
Sumber: GoogleImage

Tabel 4. ODTW Kabupaten Klaten Berdasarkan Penggolongan Tingkat Daya Saing


ODTW Unggulan
ODTW Menonjol
ODTW Potensial
Taman Wisata Candi Prambanan
Makam Ki Ageng Gribig
Sekitar 36 ODTW, di antaranya:
Makam Sunan Pandanaran
Makam Ki Ageng Ronggowarsito
Pemandian Lumban Tirto
Sumber Air Ingas
Pemandian Jolotundo
Pemandian Tirto Mulyono
Candi Sewu
Museum Gula Jawa Tengah
Makam Ki Ageng Perwito
Deles Indah
Pesanggrahan Paku Buwono X
Jombor Permai
Monumen PERPORA
Desa Wisata Pemancingan Janti
Candi Merak
Candi Plaosan
Candi Lumbung
Agrowisata Tembakau Vorstenlanden Candi Bubrah
Goa Jepang
Candi Sojiwan
Candi Asu
Monumen Juang 1945
Gunung Watu Prau
Goa Soran
(Sumber: RIPP Kabupaten Klaten Tahun 2002)

yang berdekatan secara geografis (Gambar 7).


Masing-masing adalah cluster Deles, Janti, Jatinom,
Wonosari, Ceper, Bayat, Rawa Jombor, Klaten, dan
Prambanan (ibid). Sebagian besar di antaranya
terletak di kawasan sepanjang jalur utama
Yogyakarta-Solo. Cluster-cluster pariwisata dengan
intensitas kegiatan pariwisata tinggi terletak di daerah
berdekatan dengan Propinsi D.I. Yogyakarta, seperti
cluster Prambanan, Klaten, Rawa Jombor, dan Deles.
Sayangnya, kesembilan cluster pariwisata tersebut
masih cenderung berdiri sendiri-sendiri karena belum
adanya sistem penghubung (linkage) yang jelas.
Dari uraian di atas, diperoleh beberapa catatan
penting mengenai sistem sediaan pariwisata di
Kabupaten Klaten sebagai berikut:

Kegiatan pariwisata Kabupaten Klaten masih


terpusat di Kawasan Candi Prambanan dan
sekitarnya.

Jalur utama Yogyakarta-Solo memegang peranan


penting dalam kepariwisataan Kabupaten Klaten.

Terdapat pengaruh kuat Propinsi D.I. Yogyakarta


terhadap kepariwisataan Kabupaten Klaten.
Indikasi ini terlihat dari tingginya intensitas
kegiatan pariwisata di kawasan selatan dan barat
laut Klaten yang berdekatan dengan wilayah D.I.
Yogyakarta (Kabupaten Gunung Kidul dan
Sleman).

Beberapa asumsi terkait pengaruh Propinsi D.I.


Yogyakarta terhadap kepariwisataan Klaten
yaitu: (1) proporsi wisatawan asal D.I.
Yogyakarta cukup besar di Kabupaten Klaten;
(2) kedekatan lokasi dengan daerah asal
wisatawan dan akses yang lebih baik (kondisi
jalan, infrastruktur dsb.) di kawasan Kabupaten
Klaten yang berbatasan dengan D.I. Yogyakarta,
(3) tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih
baik di daerah yang berbatasan dengan D.I.
Yogyakarta.

Persebaran daya tarik dan intensitas pariwisata


memperlihatkan
bahwa
masih
terdapat
kesenjangan kegiatan pariwisata di Kabupaten

Di Kabupaten Klaten, keberadaan berbagai


potensi ODTW tersebut belum didukung oleh
ketersediaan fasilitas penunjang pariwisata yang
merata. Sebagai contoh, fasilitas akomodasi hanya
terdapat di tujuh kecamatan dan persebarannya masih
terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Prambanan.
Tabel 5. Persentase Persebaran Fasilitas Akomodasi di
Kabupaten Klaten
Kecamatan Prambanan
55.17%
Kecamatan Klaten Tengah
20.69%
Kecamatan Jogonalan,
10.34%
Kemalang, Klaten Selatan
Kecamatan Klaten Utara
6.90%
Kecamatan Sidorejo
6.90%
Sumber: Laporan Kemajuan RIPP Kab. Klaten Tahun 2002

Angka sebaran fasilitas tersebut menunjukkan


bahwa kawasan Taman Wisata candi (TWC)
Prambanan di Kecamatan Prambanan masih
merupakan magnet kegiatan di bidang pariwisata di
Kabupaten Klaten. Keberadaan TWC Prambanan
sebagai daya tarik unggulan daerah ini mampu
menarik aktivitas-aktivitas atau unit-unit kegiatan
ekonomi di sekitarnya yang dapat memberikan
dampak positif kepada masyarakat sekitar.
Selain itu, untuk fasilitas makan-minum,
sebagian besar berlokasi di jalur jalan utama
Yogyakarta-Solo serta di area-area pusat pertumbuhan
seperti Delanggu, Kota Klaten, dan sebagian kawasan
Prambanan (RIPP Kabupaten Klaten 2002). Kondisi
tersebut
semakin
mempertegas
kesenjangan
antarwilayah maupun antar-ODTW di Kabupaten
Klaten khususnya jika ditinjau dari tingkat
kelengkapan daya dukung amenitas kegiatan
kepariwisataan.
Permasalahan lain dalam pengembangan
kepariwisataan di Kabupaten Klaten berkaitan dengan
belum adanya strategi-strategi nyata untuk
menghubungkan 9 cluster pariwisata yang tersebar di
seluruh wilayah Klaten. Kesembilan cluster tersebut
dibentuk dengan mengelompokkan beberapa ODTW
10

CLUSTER DELES
CLUSTER JANTI

CLUSTER
JATINOM
CLUSTER
WONOSARI

CLUSTER CEPER

CLUSTER BAYAT
CLUSTER
PRAMBANAN
CLUSTER KLATEN
CLUSTER RAWA
JOMBOR

Gambar 7. Lokasi Objek Wisata dan Cluster Pariwisata di Kabupaten Klaten


(besarnya lingkaran mengindikasikan besarnya intensitas pariwisata di masing-masing cluster).
(Sumber Peta: Pariwisataklaten.com 2010)

Klaten. Kepariwisataan dan pembangunan


daerah secara umum lebih berkembang di
kawasan Klaten bagian selatan dibandingkan
dengan kawasan-kawasan lainnya

A. Investasi
Investasi yang dimaksud di sini adalah investasi
dalam hal penyediaan fasilitas dan infrastruktur
(terutama
akomodasi,
transportasi,
dan
telekomunikasi), baik yang bersifat umum maupun
yang khusus untuk pariwisata. Pelaku investasi dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Kondisi umum investasi pariwisata di
Kabupaten Klaten:

Rencana investasi cenderung mengalami


peningkatan setiap tahun, meskipun tidak secara
signifikan. Rencana investasi secara umum lebih
banyak diarahkan kepada investasi skala kecil
dan menengah dalam sektor jasa dan industri.
Terkait dengan hal ini, pariwisata sebagai salah
satu sektor perekonomian yang sangat bertumpu
pada layanan jasa memiliki peluang cukup besar
dalam menarik minat investor.

Kawasan sepanjang jalur jalan


utama
Yogyakarta-Solo merupakan kawasan yang
paling menarik bagi investor. Hal ini
memberikan peluang untuk mengembangkan
kawasan tersebut sebagai pusat pelayanan jasa
dan fasilitas pendukung pariwisata.

Investasi pariwisata masih didominasi oleh


pemerintah, sementara peran swasta masih

VI. FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP


KEPARIWISATAAN DI KABUPATEN KLATEN
Gunn (2002) menyatakan bahwa elemen-elemen
inti dalam sistem pariwisata sangatlah dipengaruhi
oleh berbagai faktor eksternal. Oleh karena itu,
perencanaan
pariwisata
juga
harus
mempertimbangkan
keberadaan
sektor-sektor
eksternal yang dapat memberikan pengaruh signifikan
terhadap bagaimana kepariwisataan di suatu daerah
berkembang.
Beberapa
hal
yang
dapat
dipertimbangkan sebagai faktor eksternal bagi sistem
pariwisata adalah kebijakan pemerintah, kondisi
finansial, ketersediaan tenaga kerja (sumber daya
manusia), struktur organisasi, dan kompetisi
antardestinasi (Gunn 2002).
Untuk Kabupaten Klaten, faktor eksternal yang
berpengaruh terhadap kepariwisataan di antaranya
adalah investasi, kelembagaan, peran sumber daya
manusia, dan kondisi di daerah penggerak wisatawan.

11

terbatas. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan


sejumlah hambatan birokrasi dalam pengurusan
perizinan. Misalnya, proses yang berbelit dan
tidak jelas menimbulkan keengganan investor
untuk
benar-benar
mewujudkan
rencana
investasinya di Kabupaten Klaten. Akibatnya,
pengembangan fasilitas di beberapa tempat pun
menjadi terhambat karena terlalu bergantung
kepada kemampuan dan ketersediaan finansial
pemerintah daerah yang terbatas.
Investasi pemerintah masih didominasi oleh
pengembangan sektor-sektor fisik; sedangkan
investasi swasta umumnya berorientasi kepada
kepentingan ekonomi. Belum ada investasi yang
bersifat jangka panjang, terlebih dalam aspekaspek nonfisik seperti edukasi dan penanaman
kesadaran bagi masyarakat untuk turut
berpartisipasi dalam pelestarian aset-aset
pariwisata yang ada.

negara/publik oleh beberapa pihak dengan dasar


mencari keuntungan, (3) pemanfaatan aset
negara/publik oleh pemangku kepentingan yang
lain dengan motivasi tertentu namun tanpa
adanya kesepakatan yang jelas, dan (4)
pengelolaan aset negara oleh instansi pemerintah
dengan kepentingan pelestarian tanpa anggaran
pemeliharaan yang memadai.
Ketidakjelasan organisasi di beberapa ODTW
dan tingkatan daerah (kabupaten, kecamatan,
desa) menyebabkan sulitnya pemantauan
pengelolaan pariwisata, ketimpangan dalam
pembangunan pariwisata, serta tidak efektifnya
pengelolaan penerimaan pariwisata yang
berdampak
terhadap
tidak
maksimalnya
kontribusi
pendapatan
pariwisata
bagi
kepentingan pembangunan daerah.

C. Peran Sumber Daya Manusia


Secara umum, kepariwisataan di Kabupaten
Klaten belum didukung oleh sumber daya manusia
yang memadai. Hal ini tecermin dari sejumlah
masalah kelembagaan sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Selain itu, banyak inisiatif-inisiatif
pengembangan dari daerah atau masyarakat lokal
yang belum dapat diwujudkan karena ketiadaan
tenaga ahli. Selama ini, pada umumnya tenaga ahli
pariwisata masih didatangkan dari tingkat Propinsi
Jawa Tengah atau D.I. Yogyakarta.

B. Kelembagaan
Kondisi umum kelembagaan dalam pariwisata di
Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut:

Kelembagaan pariwisata di Kabupaten Klaten


menurut RIPP Kabupaten Klaten tahun 2002
terdiri
dari
unsure
pemerintah,
unsur
nonpemerintah (swasta), dan unsur masyarakat.
Struktur kelembagaan yang melibatkan ketiga
pemangku kepentingan tersebut dijabarkan
dalam Tabel 6.

Masih ada beberapa ODTW dan daya tarik


potensial pariwisata yang dikelola secara mandiri
oleh pemerintah desa dan masyarakat lokal,
namun belum ada arahan dan kontrol dari
pemerintah daerah.

Beberapa opsi pengelolaan aset pariwisata di


kabupaten Klaten yang sudah berjalan yaitu (1)
pemanfaatan aset negara/publik oleh beberapa
pihak sekaligus tanpa ada organisasi pengelolaan
dan kontribusi yang jelas, (2) pengelolaan aset

D. Kondisi di Daerah Penggerak Wisatawan


Sebagai daerah satelit Propinsi D.I. Yogyakarta
dan
rute
transit
antara
Yogyakarta-Solo,
kepariwisataan Klaten sangat tergantung kepada
kondisi di D.I. Yogyakarta. Dalam empat tahun
terakhir ini, isu bencana alam menjadi isu yang
signifikan dalam kepariwisataan di Jawa Tengah
maupun D.I. Yogyakarta. Gempa yang terjadi tahun
2006 dan letusan Gunung Merapi pada OktoberNovember 2010 telah menyebabkan kelesuan kegiatan

Tabel 6. Matriks Kelembagaan Pariwisata di Antara Para Pemangku Kepentingan


Jenis
Pemerintah Daerah
Swasta
Masyarakat
Sasaran
Pengelolaan 1. Dinas Pariwisata
Pemerintah Desa/masyarakat
Aset/Area
2. Kerjasama antardinas lain di Kab.
Publik
Klaten
Pengelolaan 1. Dinas Pariwisata sebagai pengelola 1. Dikelola penuh oleh
1. Dikelola sendiri oleh desa
ODTW
penuh
swasta
atau masyarakat
2. Kerjasama Dinas Pariwisata, dinas 2. Dikelola oleh swasta dan 2. Kerjasama dan bagi hasil
dan instansi pemerintah terkait
bagi hasil antara swasta
pihak pemerintah
lainnya, dan masyarakat dengan
dengan pemerintah
kabupaten dengan
sistem bagi hasil
kelompok masyarakat/desa
Pengelolaan 1. Dinas Pariwisatasebagai pengelola 1. Dikelola penuh oleh
Fasilitas
penuh
swasta
Komersial
2. Dikelola oleh pemerintah dan
2. Dikelola oleh swasta dan
dimanfaatkan oleh swasta dengan
bagi hasil antara swasta
sistem bagi hasil
dengan pemerintah
(Sumber: RIPP Kabupaten Klaten Tahun 2002)

12

sistem. Terkait dengan kepariwisataan Kabupaten


Klaten, model Leiper dapat digunakan untuk
menganalisis elemen-elemen pokok dalam sistem
pariwisata Klaten, positioning Klaten di antara
daerah-daerah lainnya, serta hubungan antara elemenelemen dalam inti sistem dengan faktor-faktor
eksternal. Sistem pariwisata Kabupaten secara
sederhana digambarkan dalam Gambar 8. Sistem
pariwisata terkait pergerakan wisatawan dari daerah
asal menuju destinasi dan kembali lagi ke daerah asal
secara lebih rinci digambarkan dalam gambar 9.

pariwisata di D.I. Yogyakarta, yang secara langsung


maupun tak langsung berdampak pula terhadap
pariwisata di Kabupaten Klaten.
Secara langsung, Kabupaten Klaten juga menjadi
daerah yang termasuk rawan bahaya dan mengalami
kerusakan parah akibat bencana alam. Secara tidak
langsung, berkurangnya minat kunjungan wisatawan
ke D.I. Yogyakarta, ditutupnya akses udara, serta
rusaknya infrastruktur pariwisata di Yogyakarta akibat
bencana alam berdampak pula pada menurunnya
kunjungan ke Kabupaten Klaten. Sebagai contoh,
kerugian pariwisata yang ditimbulkan letusan Merapi
tahun 2010 ditaksir mencapai total Rp13,3 triliun
lebih di tiga kabupaten: Magelang, Sleman dan Klaten
(metrotvnews.com).
VII. SISTEM PARIWISATA KABUPATEN KLATEN
Dalam pembahasan terdahulu, terlihat bahwa
model sistem pariwisata Leiper (1979, 2003),
dibandingkan dengan Gunn (1972, 2002) serta Mill
dan Morrison (1985), menganalisis pariwisata melalui
pendekatan yang lebih menyeluruh. Sistem Leiper
memperlihatkan pariwisata sebagai suatu sistem yang
terbuka, di mana lingkungan eksternal memiliki
pengaruh tertentu terhadap elemen-elemen penyusun

Gambar 8. Model Sistem Sederhana Pariwisata Kabupaten


Klaten, Jawa Tengah
(Sumber: Modifikasi terhadap model sistem Neil Leiper)

Gambar 9. Detail Core System Pariwisata Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.


13

(4) Di sisi daerah tujuan wisatawan (traveler


generating region), Candi Prambanan masih
merupakan daya tarik pariwisata utama bagi
Kabupaten Klaten. Candi Prambanan berperan
sebagai magnet utama penarik wisatawan,
sekaligus distributor wisatawan ke daya tarikdaya tarik lainnya.
(5) Pergerakan wisatawan sangat terbatas di wilayah
Kabupaten Klaten. Ini menggambarkan kondisi
aktual di mana sebagian besar wisatawan
Kabupaten Klaten merupakan jenis wisatawan
jarak pendek dengan lama waktu tinggal kurang
dari 24 jam. Umumnya wisatawan segera
kembali ke daerah asal masing-masing setelah
selesai melakukan kunjungan ke Kabupaten
Klaten.
Adapun hubungan antara sistem pariwisata
Klaten dengan faktor-faktor eksternal digambarkan
secara sederhana dalam diagram sistem berikut:

Secara keseluruhan, sistem pariwisata Kabupaten


Klaten terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:

Elemen sediaan, terletak di sisi kiri sistem


(traveler generating region). Elemen sediaan di
sini meliputi segala daya tarik pariwisata,
amenitas, dan infrastruktur yang terdapat di
Kabupaten Klaten.
Elemen permintaan, terletak di sisi kanan sistem

(tourist generating region). Elemen permintaan


dalam hal ini meliputi wisatawan dari berbagai
daerah asal, baik dalam maupun luar negeri,
dengan beragam karakteristik, preferensi, pola
perjalanan, dan pola kunjungannya.
Elemen perantara, dapat ditemukan di sepanjang

rute transit yang menghubungkan dua kutub


sediaan dan permintaan, serta di daerah tujuan
dan di daerah asal wisatawan. Yang termasuk
elemen perantara adalah segala komponen dan
sektor dalam industri pariwisata, seperti
akomodasi, penyedia jasa transportasi, operator
pariwisata (biro perjalanan, tour and travel
agent), dan penyedia jasa makan-minum.
Faktor eksternal, berada di luar inti sistem namun

memiliki pengaruh terhadap hubungan ketiga


elemen di atas.
Meskipun demikian, model di atas tidak secara
khusus ditujukan untuk menganalisis setiap elemen
serta hubungan antarelemen hingga mendetail. Sesuai
dengan prinsip Leiper (2003), model pariwisata yang
diusulkan hanya meliputi elemen-elemen pokok yang
berperan dalam menggerakkan pariwisata, yaitu (1)
daya tarik pariwisata di daerah tujuan, (2) rute transit,
dan (3) wisatawan dari berbagai daerah asal beserta
pola perjalanan dan pola kunjungannya di destinasi
pariwisata di Kabupaten Klaten.
Model
tersebut
secara
sederhana
menggambarkan
alur perjalanan dan kunjungan
pariwisata ke Kabupaten Klaten, kaitan kegiatan
kunjungan ke Kabupaten Klaten dengan daerahdaerah sekitarnya, serta pengaruh faktor-faktor
eksternal terhadap kepariwisataan Kabupaten Klaten.
Hal-hal pokok terkait dengan kondisi kepariwisataan
di Kabupaten Klaten yang dapat dibaca dalam model
ini antara lain:
(1) Daerah asal wisatawan utamanya dari
mancanegara dan daerah-daerah di lingkup Pulau
Jawa. Wisatawan mancanegara umumnya datang
mealalui 4 pintu gerbang utama, yaitu Jakarta,
Bali, Yogyakarta, dan Solo. Adapun wisatawan
nusantara datang melalui jalur Yogyakarta dan
Solo (jalur utama), dan juga Semarang.
(2) Yogyakarta dan Solo merupakan daerah asal
wisatawan (tourist generating region) sekaligus
rute transit penting bagi Kabupaten Klaten.
(3) Industri pariwisata berkembang paling pesat
justru di daerah transit, terutama di wilayah D.I.
Yogyakarta (Kota Yogyakarta).

Gambar 10.
Diagram Sistem Kepariwisataan di
Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Dari tiga diagram sistem di atas, sekali lagi,


terlihat jelas kedudukan pariwisata Kabupaten Klaten
terhadap lingkup kepariwisataan yang lebih luas.
Pemosisian Kabupaten sebagai daerah antara atau kota
satelit bagi D.I. Yogyakarta dan Solo tidaklah selalu

14

Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa pendekatan


sistem tidak hanya bermanfaat dalam mengidentifikasi
dan menganalisis elemen serta hubungan antarelemen
yang berperan dalam kepariwisataan di suatu daerah;
tetapi juga dapat digunakan sebagai alat mengenali
potensi-potensi, ciri khas, dan kekuatan suatu daerah
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.

berkonotasi negatif. Sebaliknya, kondisi ini dapat


memunculkan beberapa peluang bagi pengembangan
kepariwisataan di Kabupaten Klaten, misalnya sebagai
berikut:

Pengembangan
zonasi/rencana
spasial
pengembangan pariwisata dengan memerhatikan
pola perjalanan wisatawan dan posisi jalur jalan
utama Yogyakarta-Solo sebagai pusat pergerakan
wisatawan.

Penguatan peran Candi Prambanan sebagai


distributor wisatawan ke objek-objek daya tarik
wisata lainnya. Hal ini perlu didukung dengan
pengembangan sistem linkage dan programprogram
kunjungan
wisata
untuk
menghubungkan antardestinasi di wilayah
Kabupaten Klaten.

Sinergi dengan daerah sekitarnya, misalnya


Yogyakarta dan Solo, untuk menciptakan suatu
produk pariwisata regional yang menawarkan
pengalaman pariwisata lintas batas administratif.
Kerjasama dengan wilayah-wilayah transit dan

daerah asal wisatawan dalam hal promosi dan


penyebaran informasi.

REFERENSI
Anderson, Virginia dan Lauren Johnson. Systems Thinking Basics: From
Concepts to Causal Loops. Massachusetts: Pegasus Communication,
Inc., 1997.
Badan Perencana Daerah Kabupaten Klaten. Laporan Kemajuan Rencana
Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Kabupaten Klaten. Klaten:
Pemerintah Kabupaten Klaten, 2002.
Carson, Dean dan Jim Macbeth, ed. Regional Tourism Cases: Innovation
in Regional Tourism. Australia: Common Ground Publishing Pty.
Ltd., 2005.
Cornelissen, Scarlett. The Global Tourism System: Governance,
Development, and Lessons from South Africa. Aldershot: Ashgate
Publishing Ltd., 2005. Edisi Google Books.
Gunawan, Myra P. Rancangan Naskah Akademik Undang-undang
Kepariwisataan. 2006.
Gunn, Clare A. dan Turgut Var. Tourism Planning: Basics, Concepts,
Cases, Edisi ke-4. London: Routledge, 2002.
Hall, C. Michael dan Stephen J. Page. The Contribution of Neil Leiper to
Tourism Studies. 2010. Diakses 12 Desember 2010.
http://academia.edu.documents.s3.amazonaws.com/807221/leiper_2r
ev.pdf
Page, Stephen J. dan Connell, Joanne. Tourism: A Modern Sysnthesis.
London: Thomson Learning, 2006.
www.pariwisataklaten.com.
------. www.metrotvnews.com. Diakses 10 Desember 2010.

VIII. KESIMPULAN
Pariwisata merupakan fenomena yang kompleks,
melibatkan banyak sektor dan dimensi. Oleh
karenanya, pariwisata perlu dipandang sebagai suatu
sistem. Terdapat beberapa cara memandang pariwisata
sebagai sistem. Pertama, pariwisata merupakan suatu
kesatuan dari berbagai elemen yang saling berkaitan.
Kedua, pariwisata dapat dipandang juga sebagai suatu
sistem yang luas yang mencakup sistem-sistem yang
lebih spesifik lagi subsistem dan supersistem. Atau,
ketiga, pariwisata dipandang sebagai subsistem dari
lingkungan yang lebih luas, di mana input dari
lingkungan tersebut akan mempengaruhi pariwisata,
dan sebaliknya, output dari pariwisata akan
berpengaruh pula terhadap lingkungan tempatnya
berada.
Pemodelan sistem pariwisata di Kabupaten
Klaten, Propinsi Jawa Tengah, merupakan upaya
untuk menganalisis kepariwisataan di daerah tersebut
sesuai dengan cara pandang yang kedua. Dari analisis
tersebut, terlihat bahwa Kabupaten Klaten hingga
sejauh ini belum dapat berdiri sendiri sebagai suatu
destinasi unggulan. Pariwisata di wilayah ini masih
sangat bergantung kepada daerah sekitarnya, terutama
D.I. Yogyakarta, dan cenderung mengandalkan satu
objek wisata, yaitu Candi Prambanan, sebagai daya
tarik utama.
Pemosisian Kabupaten sebagai daerah antara atau
kota satelit bagi D.I. Yogyakarta dan Solo tidaklah
selalu berkonotasi negatif. Sebaliknya, kondisi ini
dapat memunculkan beberapa peluang bagi
pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Klaten.

Word count: 7351

15

Anda mungkin juga menyukai