Anda di halaman 1dari 12

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

DALAM PERSPEKTIF BUDAYA HUKUM


Oleh :
Dr. H. Martin Roestamy, S.H., M.H.
(Rektor Universitas Djuanda Bogor)
Disampaikan pada Acara Diskusi Publik :
EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Membangun Karakter Anak Bangsa
Demi NKRI yang Berjaya dan Bermartabat
Universitas Djuanda Bogor,
09 November 2013
A. Latar Belakang Masalah
Seri diskusi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dimaksudkan
untuk membangun kesadaran berbangsa dan bernegara bahwa bangsa Indonesia
memiliki filsafat dan pandangan hidup yaitu Pancasila, memiliki sumber hukum
formal yaitu UUD 1945 memiliki keanekaragaman sosial budaya, agama dan asalusul yaitu Bhineka Tunggal Ika yng ketiganya itu menjadi perekat dalam satu
negara yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belakangan ini
diskusi Empat Pilar menjadi model bagi pimpinanan MPR RI untuk mengokohkan
kesatuan bangsa yang sekarang ini sudah semakin rawan akan perpecahan, baik
disebabkan oleh reformasi yang sudah keluar dari relnya (bahasa populernya :
kebablasan) atau dikenal juga dengan pameo sekali merdeka, merdeka sekali.
Reformasi yang melahirkan era demokratisasi membuka ruang terhadap kebebasan
mengemukakan pendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan memilih dan bersikap
sebagai lawannya maka perilaku mempertahankan diri, memperkuat ketahanan
modal, melakukan segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan, menciptakan
dinasti politik, kartel politik, seolah-olah telah terjadi machiavelistis dalam ranah
perpolitikan Republik Indonesia dan itu saling dipertontonkan.
Tontonan pertarungan antar kekuatan politik telah menimbulkan kejemuan
dan frustasi di kalangan generasi muda melihat tingkah laku para politisi
penyelenggara negara, pengusaha yang bekerjasama dengan penguasa yang telah
memamerkan ketamakan, haus kekuasaan, kelanggengan dalam memegang
kekuasaan, power shyndrom, saling menjatuhkan sesama politisi, menggunakan

media seabagai alat penyerang lawan politik, mempertontonkan praktik politik


kasar dan kotor yang memalukan, akan tetapi sebaliknya para politisi tidak mau
menyadari (atau mungkin memang tidak sadar) tingkah laku mereka telah
mempertontonkan budaya hukum yang buruk. Setiap hari berita tentang koruptor
dimana-mana, Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kiyai terlibat korupsi dan tanpa
malu tampil dengan senyum dan sumringah di depan televisi dengan pakaian
seragam tahana KPK, membantah dan mengelak apa yang dituduhkan walaupun
sudah tertangkap tangan. Berdasarkan data KPK,1 dari 2004 sampai 2013 beberapa
kasus yang ditnagani KPK diantaranya 65 Anggota DPR, 7 Menteri dan Pejabat
stingkat menteri, 8 Gubernur, 32 Bupati dan Walikota, 7 pejabat KPU dan KPPU, 4
Duta Besar, 4 Konsulat Jenderal, 1 Gubernur BI, 5 Deputi Gubernur BI, 5 Hakim, 5
Jaksa, 1 Penyidik KPK sendiri, 107 Pejabat eselon I dan II, serta ratusan CEO
perusahan BUMN dan Swasta. Belum lagi beberapa dari kejahatan itu melibatkan
wanita sebagai salah satu alat konsumsi korupsi. Reformasi telah membuka
kesempatan orang berekspresi secara bebas, sepertinya tanpa batas tergantung siapa
yang lebih dahulu malu atau dipermalukan.
Kejadian di atas berdampak sangat buruk bagi gnerasi muda. Dalam
wawancara di salah satu stassiun televisi, Reza Rahardian (aktor pemeran Habibi)
mengatakan banyak anak muda jika ditanya kalau dilahirkan kembali ingin menjadi
apa, jawabannya ingin menjadi bangsa lain, seperti Malaysia, Amerika. Menurut
hemat penulis sikap atau jawaban ini sangat membahayakan. Ini sudah mengarah
kepada penyesalan menjadi bangsa Indonesia, kata-kata right or wrong is my
country sudah memudar di kalangan generasi muda. Ini termasuk permasalahan
bangsa yang harus disadari oleh para orang tua, Dosen, Politisi, Pejabat Negara.
Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Krakter Bangsa, sedikitnya
disebutkan 6 (enam) permasalahan bangsa saat ini yang sedang kita hadapi, yaitu :2
1. Disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila
2. Keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai
Pancasila.

Adnan Pandu Praja, Wakil Ketua KPK RI, Pemberantasan Korupsi : Pencegahan dan Penindakan,
makalah dismpaikan pada Studium General Pemeberantasan Korupsi, dilaksanakan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Djuanda Bogor, 06 Juli 2013.
2
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, hlm. 18.

3. Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara


4. Memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa.
5. Acaman disintegrasi bangsa
6. Melemahnya kemandirian bangsa

Disamping persoalan tersebut di atas, saat ini para pemuda Indonesai telah
mengidap penyakit pragmatisasi dan liberalisasi, dua penyakit baru yang timbul
karena sikap hedonisme yang dipertontonkan oleh hampir semua kalangan disemua
kesempatan, terlebih lagi media televisi menjadikannya sebagai berita hangat yang
masuk dalam prime time, dimana remaja dan pemuda pada umumnya berada di
depan televisi. Sifat hubuddunya dipertontonkan oleh para pejabat dari cara
berpakaian, cara berbicara mengemukakan pendapat, yang jika ditonton oleh
generasi muda dapat membunuh karakter, menjadi contoh yang tidak baik karena
mudah ditiru.
Pembangunan

hukum

bukan

saja

dimaksudkan

memperbaiki

dan

mengembangkan substansi hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, atau pula
melengkapi organisasi-organisasi dan struktur kelembagaan negara. Akan tetapi,
pembangunan hukum juga dimaksudkan bagaimana memberi ruang keterlibatan
seluruh komponen masyarakat untuk menciptakan kesadaran hukum yang tinggi
sebagai bagian dari pembentukan hukum nasional.3 Proses pembentukan dan
pembangunan tidak bisa terlepas dari bagaimana pemerintahan dan aparat negara
mengelola sistem hukum menghindari praktik penyalahgunaan kewenangan seperti
korupsi, ketamakan akan jabatan, dinasti politik, pamer kekayaan, menghalakan
cara, mengumbar nafsu birahi, dalam rangka memberikan contoh tauladan
dismaping proses pembentukan budaya hukum yang baik, sehingga hukum tidak
dipatuhi karena ancaman sanksi belaka dari perbuatan yang dilakukan (saat ini
ancaman bukan sesuatu yang menakutkan) akan tetapi, hukum ditaati karena
kesadaran hukum, kepatuhan yang timbul dari dalam diri masing-masing.
Budaya hukum yang jelek seperti yang digambarkan di atas, telah merusak
sendi-sendi yang ada dalam Empat Pilar Kehidupan Berbangsa, telah merusak pula
proses pembangunan karakter bangsa yang ditanamkan oleh para founding fathers.
3

Lihat Undang-undang RI Nomor : 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20052025.

Bagaimana cara bermusyawarah yang baik, dan bagaimana cara penyelenggaraan


negara yang baik tidak terlepas dari bagaimana aparat pemerintah dan
penyelenggara negara memberikan contoh yang baik utuk dapat mempercepat
proses keberhasilan tujuan negara yaitu : melindungi segenap tumpah darah
Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Bagaimana sebenarnya hubungan antara pembangunan karakter bangsa
dengan terciptanya kesadaran hukum penyelengara negara yang merupakan
intangible dari pembentukan budaya hukum yang baik ?

B. Pembangunan Karakter Bangsa


Kata karakter berasal dari kosa kata Inggris, character. Artinya perilaku.
Selain character kata lain yang berarti tingkah laku adalah attitude. Secara umum,
attitude dapat kita bedakan atas dua jenis. Attitude yang baik kita sebut karakter.
Attiutde buruk kita katakan tabiat. Karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku
baik dari seorang anak manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari
kesadaran menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengembang amanah dan
tanggung jawab. Tabiat sebaliknya mengindikasikan sejumlah perangai buruk
seseorng.4
Menurut David Elkind & Freddy Sweet, character education is deliberate
effort to help people understand, care about, and act upon core ethical value.5
Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa disebutkan karakter
adalah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata
berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam
diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari
hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau
sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang
yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam
menghadapi kesulitan dan tantangan.6
4

Eri Sudewo, Best Practice Character Building Menuju indonesia Lebih Baik, Penerbit Republika,
Jakarta, 2011, hlm. 13.
5
David Elkind & Freddy Sweet dalam Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter : Konsepsi dan Aplikasinya
dalam Lembaga Pendidikan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 15.
6
Kebijakan Nasional ...., Op., Cit.

Tujuan dari pembangunan karakter adalah untuk mengembangkan karakter


bangsa agar mampu mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila. Pembangunan karakter
ini berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar agar berbaik hati, berpikiran
baik, dan berperilaku baik; memperbaiki perilaku yang kurang baik dan
menguatkan perilaku yang sudah baik; serta menyaring budaya yang kurang sesuai
dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Ruang lingkup pembangunan karakter ini
mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik,
pemerintah, dunia usaha, dan media massa.7
Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang
mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan
fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi dalam keluarga, satuan
pendidikan serta masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat
dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan sebagai berikut :8
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER
cerdas, kritis,
kreatif, inovatif,
ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif,
berorientasi Ipteks,
dan reflektif

bersih dan sehat,


disiplin, sportif,
tangguh, andal,
berdaya tahan,
bersahabat,
kooperatif,
determinatif,
kompetitif, ceria,
dan gigih

OLAH
PIKIR

OLAH
HATI

OLAH
RAGA

OLAH
RASA/
KARSA

beriman dan bertakwa,


jujur, amanah, adil,
bertanggung jawab,
berempati, berani
mengambil resiko,
pantang menyerah, rela
berkorban, dan berjiwa
patriotik

ramah, saling
menghargai, toleran,
peduli, suka menolong,
gotong royong,
nasionalis, kosmopolit ,
mengutamakan
kepentingan umum,
bangga menggunakan
bahasa dan produk
Indonesia, dinamis,
kerja keras, dan beretos
kerja

Isu pembangunan karakter bangsa sebenarnya bukan hal baru, Bung Karno
pada waktu sidang PPKI telah menyebutkan tentang Pancasila dan hubungannya

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, Jurna Policy Brief :
Pendidikan Karakter untuk Membangun Karakter Bangsa, Edisi Juli 2011, hlm. 4.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan
Nasional, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, hlm. 9.

dengan national character building.9 Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa telah
memberikan sinyal dalam pembentukan karakter bangsa jika difahami maknamakna dan intisari yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, akan ditemukan inti
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya. Dalam nilai-nilai Pancasila yang berkontemplasi dalam Tauhid, maka
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tersebut memiliki sinergi yang kuat kepada
ayat-ayat Al-Quran mapun Hadist Rasul.10 Kontemplasi ketauhidan dalam
Pancasila adalah modal dasar dalam pembentukan karakter. Dapat saja agama
selain Islam melihat kitab suci masing-masing sebagai kontemplator dari Pancasila
sebagai national character building.
Model pendidikan karakter di Universitas Djuanda disebut Pendidikan
Karakter Berbasis Tauhid dimaksudkan untuk membentuk pribadi Insan Unida
yang rahmatan lilalamin dengan membangun perilaku-perilaku ahsan atau baik,
dengan komponen baik intelektualnya, baik emosionalnya, baik spiritualnya,
maupun baik sosialnya.
Tertib
Taat hukum
Nalar
Visioner
Smart

Jujur
Empati
Tanggungjawab
Kerjasama
Disiplin
adil
Amanah

Intelektual

Emosipnal

BERTAUHID
Spiritual
Islam
Iman
Ihsan
Ikhlas
Taqwa

Sosial
Sadar lingkungan
Kepedulian
Bela Negara
Pengorbanan
Uswatun Hasanah

Lihat, Saafroeding Bahar, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Iindonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indyonesia PPKI, 28 Mei 1945 -22 Agustus
1945, Sekretariat Negara Repubik Indonesia, Jakarta, hlm. 293-297.
10
Martin Roestamy, Kontemplasi Pancasila alam Tauhid, Universitas Djuanda Bogor, Bogor, 2011.

Di Jepang pembangunan karakter ditandai dengan mengembangkan tujuh


semangat Bushido, yaitu : Gi (Integritas) Menjaga Kejujuran, Y (Keberanian)
Berani dalam menghadapi kesulitan, Jin (Kemurahan hati) Memiliki sifat kasih
sayang, Rei (Menghormati) Hormat Kepada Orang Lain, Makoto atau (Kejujuran)
dan Tulus-Ikhlas Bersikap Tulus & Ikhlas, Meiyo (Kehormatan) Menjaga
Kehormatan Diri, Chgo (Loyal) Menjaga Kesetiaan Kepada Satu Pimpinan dan
Guru.11 Prinsip Bushido di Jepang telah dibuktikan oleh orang-ornag Jepang
dimanapun mereka berada, di tempatnya bekerja seperti di Indonesia pada
perusahaan-perusahaan Jepang, prinsip Bushido telah menjadi budaya hukum dari
level paling tinggi (disebut sebagai Mister atau Tuan) turun ke manager, super
visor, turun ke mandor dan akhirnya ke operator dan buruh kasar lainnya, maka
tidak heran jika di kota metropolitan seperti Tokyo, Osaka, Nagoya maupun kotakota lain tidak terdengar adanya pencurian atau perampokan, lalu lintasnya tertib,
kebersihan terjaga, sampah tidak terlihat, jauh sekali dibanding dengan Indonesia.
Prinsip Bushido ini didukung oleh prinsip Kaisar, yaitu tahta untuk rakyat,
bermakna seluruh kekuasaan yang dimiliki Kaisar sebesar-besarnya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

C. Budaya Hukum dalam Pembentukan Karakter Bangsa


Dalam Pembukaan UUD 1945 (sebelum amandemen) ada penjelasan
disebutkan pokok-pokok pikiran membentuk cita-cita hukum yang menguasai
hukum dasar tertulis. Adapun pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 tersebut pada hakikatnya adalah Pancasila. Menurut Padmo
Wahyono,12 ada tiga fungsi penjabaran rechtsidee sebagaimana pokok pikiran yang
ada dalam pembukaan UUD 1945 :
1. Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) bagi kehidupan bangsa, masyarakt
dan negara Indonesia, ia lebih luas daripada sekedar dasar suatu tertib hukum.
2. Pancasila bukan hanya norma dasar dari kehidupan hukum dan tertib hukum
Indonesia, tetapi adalah juga norma dasar dari norma-norma lain, seperti moral,
norma kesusilaan, norma etik, dan sebagainya.
11
12

Lihat, Boye Lafayette Mente, Samurai Strategies, Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore, 2005.
PadmGo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 193, hlm.
90.

3. Pancasila mengharuskn tertib hukum Indoensia, harus serasi dengan norma


moral, kesusiaan, etik dan sebagainya.

Melihat fungsi tersebut, tidak salah kalau dalam penjelasan Pembukaan


UUD 1945 (sebelum amandemen) disebutkan bahwa tidak masalah undangundang ini supel dan simpel, namun yang penting adalah penyelenggara negara.
Bagaimana penyelenggara negara dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara
yang memiliki kekuasaan eksekutif dapat menjalankan roda pemerintahan yang
menyadari akan cita-cita hukum kemudian menegakkan hukum sesuai dengan
prinsip keadilan, ketuhanan, menghargai kemerdekaan individu, kemerdekaan
bangsa, peri kemanusiaan, yang dilandasi prinsip ketuhanan untuk menjaga
kebhinekaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai sumber dari segala sumber hukum, pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara, harus secara konsekuen menjadikan Pancasila dan UUD
1945 sebagai landasan ideal dan yuridis, baik dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan maupun dalam proses penegakan hukum. Yang dimaksud
dengan semangat penyelenggara negara adalah kesadaran hukum terhadap cita-cita
dan tujuan negara sebagaimana yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Semangat penyelenggara negara dimulai dari Presiden sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif, misalnya dalam mengangkat para menteri sebagai pembantu
Presiden hendaknya lebih mengutamakan menteri-menteri yang berkarakter baik,
bebas dari kepentingan partai atua kepentingan koalisi yang merupakan
kepentingan sesaat. Jika pengangkatan menteri sebagai pembatu Presiden
diutamakan kepada mereka yang mampu dan memiliki ilmu yang mumpuni, maka
akan lebih mudah sumber daya alam yang merupkan modal pemberian Allah SWT
kepada rakyat Indonesia dimanfaatkan dan diguakan untuk kepentingan rakyat,
bukan untuk kepentingan asing atau investor. Lihatlah berapa sumber daya alam,
seperti minyak bumi dan gas, emas dan tembaga, batu bara, hutan dan lautan telah
dieksploitir oleh asing justru rakyat di sekitarnya menjadi korban kemiskinan,
kelaparan malah ada yang ditembak mati. Lihat kasus Freeport, sengketa tanah
perkebunan, kasus minyak bumi dan gas yang ujungnya membawa kasus hukum,

bukan untuk kemakmuran rakyat. Secara tegas konstitusi telah mengamanatkan


kepada negara antara lain Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi :
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Kata-kata dikuasai oleh negara telah melahirkan sebuah kekuasaan seolaholah mengambil alih kewenangan Tuhan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik
bumi dan air. Akibat salah penjabaran, pemerintah telah menunjukan sikap yang
tidak adil kepada rakyat mengenai pemanfaatan kekayaan alam sebagaimana
tersebut, tidak sedikit terjadi perlawanan dan hampir di seluruh daerah perlawanan
rakyat sudah mengarah kepada anarkis.
Dari kasus yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK di atas, ini juga
merupakan contoh yang buruk dari aparat penyelenggara negara dengan banyaknya
kasus dan susul menyusul antara pemerintah daerah dan partai politik saling kejar
mengejar memproduksi koruptor. Orientasi yang bersifat koruptif dari aparat
penyeenggara negara beberapa waktu belakangan ini sudah merambat kepad
Mahkamah Konstitusi, pilar utama demokrasi Republik Indonesia. Sehingga
hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara telah dirayapi oleh
perilaku koruptif.
Perilaku tersebut di atas jauh dari pembangunan karakter yang diharapkan
dan dicanangkan sistem pendidikan nasional serta yang diamanatkan founding
fathers melalui Pancasila dan UUD 1945. Menurut hemat penulis, perilaku yang
telah membentuk budaya koruptif telah menghilagkan kesadaran hukum aparat
penyelenggara negara di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk
eksamninatif. Kesemua ini sudah didemonstrasikan oleh para koruptor yang berasal
dari pilar trias politica tersebut, yang berdampak sangat buruk karena korupsi
sudah membudaya di kalangan penyelenggara negara. Bahaya yang paling dapat
dirsakan di masyarakat adalah hilangnya rasa malu dari para koruptor, karena
dengna demikian itu satu model penghancuran karakter anak bangsa.
Di negara-negara anglo saxon, antara lain Amerika, Inggris dan Australia
pembentukan hukum dapat dilakukan melalui suatu konvensi kenegaraan atau
melalui keputusan Pengadilan, ini bisa terjadi disebabkan karena sebuah tradisi
ketaatan kepada hukum adalah suatu penghormatan bagi kalangan eksekutif,

legislatif dan yudikatif. Penghormatan terhadap hukum bagi aparat penyelenggara


negara ternyata berdampak kepada masyarakat dan membentuk karakter kesadaran
hukum kemudian membentuk kebiasaan-kebiasaan dan perilaku masyarakat yang
positif. Sehingga, disiplin, ketertiban, keamanan, kenyamananan, kemudahan, dan
keindahan mengikuti perkembangan kesadaran hukum, yang berdampak kepada
kontrol sosial dan kembali kepada pembentukan harmoni perpolitikan dan
pembentukna pemerintahan yang kuat.
Pada dasarnya sinergi antara budaya hukum yang dicontohkan oleh aparat
penyelenggara

negara

di

Indonesia

dapat

saja

menjadi

suri

tauladan

masayarakatnya yang paternalistik dengan contoh yang baik dari pemimpin, maka
rakyat akan mengiukti kemana arah peimpin itu. Suri tauladan pemimpin adalah
alat paling ampuh dalam membentuk karakter anak bangsa. Semakin bobrok
budaya hukum semakain borok pula norma-norma kehidupan bermasyarakat. Tidak
heran kebobrokan dalam penegakan hukum di banyak negara akan menimbulkan
disintegrasi bangsa yang mengarah pada kegagalan suatu bangsa. Mudah-mudahan
penyelenggara negara menyadari betapa pentingnya budaya hukum yang dapat
menggerakan penegakan hukumdan sekaligus mempertahanka keutuhan bangsa dan
menjamin keamanan tegaknya empat pilar, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan
Bhineka Tunggal Ika.
dalam

hadis

Rasulullah

disebutkan

bahwa

aku

diutus

untuk

menyempurnakan ahlak manusia, dan selanjutnya dalam filsafat ilmu disebutkan


bahwa : hakikat yang paling utama dari pendidikan adalah akhlakul karimah. Dari
hadis dan pikiran filsafat tersebut dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum
merupakan bagian daripada akhlak yang memiliki nilai yang tak terlihat dan
menjadi fakto utama pembentukan budaya hukum. Perilaku positif dari aparat
penyelenggara negara adalah pengejawantahan budaya hukum dan dalam
pembentukan karakter anak bangsa adalah modal dan sekaligus model. Banyak
model yang bisa dpakai sebagai alternatif, termasuk model pementukan karakter
yang Berbasis Tauhid dengan mengutamakan sila pertama Ketuhananan YME
sebagai rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berpikir, cara pandang,
sikap dan tingkah laku, baik berbangsa maupun bernegara.

D. Simpulan
1. Semangat penyelenggara negara adalah bagian terpenting bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara dan merupakan intangible pembentukan budaya
hukum dalam rangka pengejawantahan Pancasila sebagai pandangan hidup dan
cita-cita hukum.
2. Budaya hukum yang baik dari aparat penyelenggara negara memiliki hubugan
kausalitas bagi pembentukan karakter anak bangsa, kesadaran hukum
penyelenggara negara berdampak positif bagi penegakan ketertiban pada
masyarakat bawahnya.

Referensi

Adnan Pandu Praja, Wakil Ketua KPK RI, Pemberantasan Korupsi : Pencegahan dan
Penindakan, makalah disampaikan pada Studium General Pemeberantasan
Korupsi, dilaksanakan di Sekolah Pascasarjana Universitas Djuanda Bogor, 06
Juli 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian
______________, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 2011.

Boye Lafayette Mente, Samurai Strategies, Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore,
2005.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, Jurna Policy
Brief : Pendidikan Karakter untuk Membangun Karakter Bangsa, Edisi Juli
2011
Eri Sudewo, Best Practice Character Building Menuju indonesia Lebih Baik, Penerbit
Republika, Jakarta, 2011
Martin Roestamy, Kontemplasi Pancasila alam Tauhid, Universitas Djuanda Bogor,
Bogor, 2011.
PadmGo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1993.
Saafroeding Bahar, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Iindonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indyonesia PPKI, 28 Mei 1945 -22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Repubik
Indonesia, Jakarta.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter : Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2011.
Undang-undang RI Nomor : 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) Tahun 2010-2014.

Anda mungkin juga menyukai