Anda di halaman 1dari 5

ISU-ISU KEWARGANEGARAAN KONTEMPORER

Nama : Umi Nur Alimah

NIM : 43040220063

Prolog

Kewarganegaraan dalam pengertian umum merupakan kajian ilmu politik (algemene


staatsleer), secara khusus mempelajari keadaan suatu negara tertentu, kewarganegaraan
sebagai unsur negara adalah studi tentang Konstitusi. Kewarganegaraan adalah keanggotaan
yang mewakili hubungan antara negara dan warga negara. Konsep kewarganegaraan saat ini
merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep kewarganegaraan pasca-Perang Dunia II,
seiring dengan konsep negara modern menuju demokrasi. Pada akhir abad ke-20, perhatian
diarahkan pada pentingnya kewarganegaraan. Hal ini disebabkan urgensi keadaan negara-
bangsa saat ini dengan paham nasionalisme yang berbenturan dengan isu etnis dan tantangan
globalisasi.

Perkembangan konsep kewarganegaraan juga dipengaruhi oleh pesatnya persaingan


global untuk sumber daya ekonomi dunia. Juga menyentuh bidang-bidang motivasi untuk
tindakan nyata dalam pengamalan ideologi, nilai-nilai dan kewarganegaraan, serta
mencirikan masyarakat saat ini dalam bentuk persaingan dan perang pengaruh yang sengit
dari tingkat dasar hingga tingkat paling praktis. Untuk memahami konsep kewarganegaraan,
disarankan untuk memahami sifat hubungan antara warga negara dan negaranya sendiri.
Terlepas dari bentuk dan sifat teori kewarganegaraan yang ada di dunia, hal ini merupakan
upaya untuk menciptakan keharmonisan dalam komponen negara, hubungan yang harmonis
antara warga negara dan pemerintah. Hal ini terlihat dari partisipasi warga dalam kegiatan
pemilihan kepala daerah (Boangmanalu & Armisella, 2022).

Warga Negara dan Masalah Kontemporer Dalam Paradigma Pembangunan

Kemiskinan mempunyai definisi yang beragam. Indikator yang digunakan oleh World
Bank adalah ukuran daya beli. Sedangkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengartikan
kemiskinan berdasarkan pada garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yaitu kebutuhan
minimum yang dibutuhkan seseorang. Kebutuhan minimum seseorang adalah 2100 kalori per

1
kapita. Kemudian ditambah dengan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan berupa non-makan
seperti: sandang, papan, sekolah, kebutuhan rumah tangga, transportasi. Menurut BPS
mereka yang mempunyai pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan dapat dikatakan
miskin. Sedangkan Bappenas (2004) mendefinisikan “kemiskinan sebagai kondisi dimana
seseorang atau sekelompok laki dan perempuan yang tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat”. “Hak-
hak dasar tersebut meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa
aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial politik”.

inti dari masalah kemiskinan adalah karena adanya perangkap kemiskinan


(deprivation trap) yang terdiri dari 5 (lima) mata rantai yang sering disebut sebagai lingkaran
setan atau sindrom kemiskinan, yaitu: 1. Kemiskinan, merupakan satu faktor yang paling
menentukan. Kekurangan makan mengakibatkan kelemahan jasmani kemudian karena tidak
mempunyai kekayaan ini mengakibatkan tidak berdaya dan kehilangan kesejahteraan dan
pada akhirnya orang yang miskin tidak mempunyai suara. 2.Kelemahan jasmani, Tubuh
yang lemah mengakibatkan orang menjadi tidak berdaya. jasmani yang lemah akan
menjadikan terbatasnya kemampuan seseorang. 3.Isolasi, kurangnya pendidikan dikarenakan
tempat tinggal yang jauh dan terpencil mengakibatkan terisolasi dari masyarakat sekitar dan
terhambatnya komunikasi.. Isolasi bergandengan dengan kelemahan jasmani: rumah tangga
yang hidup jauh terpencil mungkin ditinggal pergi oleh anggota keluarga dewasa untuk
mencari kerja ke kota. Isolasi memperkuat kerentanan karena bantuan tidak dapat segera
didatangkan apabila terjadi hal yang darurat seperti kelaparan atau wabah penyakit. Orang
yang buta huruf juga mudah ditipu. Isolasi juga bermakna kurangnya hubungan dengan
pemimpin politik dan bantuan hukum. 4.Kerentanan, hal ini berkaitan dengan kemiskinan.
Seseorang terpaksa menukar waktu dan tenaga dengan uang. Kaitannya dengan isolasi berupa
sikap-sikap menyingkirkan diri. Menyingkirkan diri baik secara fisik maupun sosial.
Kaitannya dengan ketidakberdayaan dicerminkan dengan ketergantungan terhadap majikan.
5.Ketidakberdayaan, ketidakberdayaan adalah ketidakmampuan melakukan suatu tindakan.
Kemudian akibat dari ketidakerdayaan tersebut akhirnya akan menjadi beban bagi orang lain
disekitarnya. Orang yang tidak berdaya seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses
terhadap bantuan pemerintah. Faktor ini pun mendorong kelemahan jasmani karena bantuan
pangan tidak sampai ke tujuannya. Isolasi berkaitan dengan ketidakberdayaan mental.

2
Paradigma Pembangunan

Kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah bagian penting dalam pembangunan


masyarakat. Korten (dalam Sulistiyani, 2004: 37-39) menyatakan bahwa: “ada dua
pendekatan dalam pembangunan selama ini, yaitu top-down dan bottom-up. Pendekatan
topdown dilaksanakan dengan blueprint strategy (cetak biru) yang bersumber dari pemerintah
dengan masyarakat hanyalah sebagai sasaran atau obyek pembangunan saja. Sebaliknya,
pendekatan bottom-up adalah pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai pusat
pembangunan atau pusat perubahan sehingga masyarakat terlibat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi atau sering juga disebut dengan people centered development.”

pendekatan top-down sudah banyak dikritik karena memiliki banyak kelemahan.


Kelemahan yang paling menonjol adalah mematikan inisiatif dan kreativitas masyarakat.
Bentuk penyeragaman dalam pendekatan ini juga menimbulkan banyak masalah. Cara
pandang yang kaku juga telah mengabaikan kekhususan dan potensi tiap wilayah. Pendekatan
ini tidak memperhatikan aspek sosial budaya, perbedaan potensi wilayah, kemampuan
sumber daya manusia sehingga program pembangunan sampai dengan bentuk kegiatan dibuat
seragam untuk semua wilayah. Akibat buruknya adalah produk-produk pembangunan
seringkali tidak atau kurang bermanfaat untuk masyarakat.

Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan yang ideal karena mempertimbangkan


inisiatif, kreativitas dan mengakomodasi wilayah, potensi dan permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat. Pendekatan ini sesungguhnya merupakan visualisasi dari pemberdayaan
masyarakat (Sulistiyani, 2004:39). Akan tetapi karena sangat ideal, tentu menjadi sangat sulit
ketika harus menunggu tumbuhnya inisiatif dari masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia
belum seluruhnya memiliki perilaku peduli, inisiatif dan kemampuan yang memadai.
Sebagian besar dari masyarakat Indonesia menunggu perintah, sehingga tinggal menjadi
pelaksana saja bukan konseptor. Untuk benar-benar melaksanakan pembangunan bottom-up /
pemberdayaan murni, dibutuhkan tipologi masyarakat yang lebih terbuka, demokratis,
inovatif dan bersedia untuk bekerja keras.

Paradigma Baru Pendidikan Pancasila

Dalam buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025


(Pemerintah RI, 2010) dikatakan bahwa pembangunan karakter bangsa seharusnya menjadi
arus utama pembangunan nasional. Artinya, setiap upaya pembangunan harus selalu
dipikirkan keterkaitan dan dampaknya terhadap pengembangan karaker. Pembangunan

3
nasional memosisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna
mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005- 2025 (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), yaitu terwujudnya karakter bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan
watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks (2010: 2-3).

Adapun tujuan pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk membina dan


mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan
Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (2010:4).

Oleh karena karakter bangsa adalah berdasar nilai-nilai Pancasila, maka Pancasila
jelas menjadi sumber bagi pendidikan karakter di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila juga
menjadi tujuan dari pembangunan karakter bangsa. Dengan demikian, pendidikan Pancasila
menempati posisi yang strategis dan penting bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan landasan utama pendidikan karakter bangsa. Sebagai landasan,
Pancasila merupakan rujukan, acuan, dan sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter
bangsa. Dalam konteks yang bersifat substansial, pembangunan karakter bangsa memiliki
makna membangun manusia dan bangsa Indonesia yang berkarakter Pancasila. Berkarakter
Pancasila berarti manusia dan bangsa Indonesia memiliki ciri dan watak religius, humanis,
nasionalis, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai fundamental ini
menjadi sumber nilai luhur yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa (2010:9).

Sebagai proses pembelajaran, pendidikan Pancasila hendaknya terintegrasi pada


semua mata pelajaran dan/atau mata kuliah. Bahwa pembelajaran suatu mata kuliah atau mata
pelajaran bukan hanya aspek pengetahuan, tetapi juga pengembangan nilai-nilai karakter
siswa atau mahasiswa. Salah satu sumber nilai karakter tersebut adalah Pancasila. Dengan
mengintegrasikan dan turut menanamkan nilai karakter Pancasila, secara tidak langsung
pendidik telah melakukan proses pendidikan Pancasila pada diri peserta didik. Jadi, sebagai
proses pembelajaran, pendidikan Pancasila merupakan konsep yang generik (umum), harus

4
diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran mata pelajaran atau mata kuliah, tidak
hanya pada mata kuliah Pendidikan Pancasila atau mata pelajaran ppkn.

Sebagai upaya sistematis proses nation's and character building, pendidikan Pancasila
berperan dalam proses pendidikan nasional Indonesia. Pancasila merupakan dasar sekaligus
tujuan dari sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional bertolak dan bermuara
pada konsepsi sistematik kehidupan yang Berketuhanan Yang Maha Esa berkemanusiaan
yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Boangmanalu, Samadam & Armisella Br Sembiring, “DINAMIKA KONTEMPORER


KEWARGANEGARAAN INDONESIA (STUDI ETNISITAS DALAM
PEMILIHAN BUPATI PAKPAK BHARAT).” Jurnal Kewarganegaraan 19, 2 (2022).

Hermawati, Yuni & Bella Putri Maharani Lubis, “WARGA NEGARA DAN MASALAH
KONTEMPORER DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN.” Jurnal pancasila dan
kewarganegaraan 6, 1(2018): 71-78

Sulistayani, Ambar Teguh. (2004). “Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.”


Yogyakarta : Gava Media.

Winarno. (2016). Paradigma baru pendidikan pancasila. Bumi medika.

Anda mungkin juga menyukai