Anda di halaman 1dari 30

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Tuna


2.1.1. Deskripsi Ikan Tuna
Tuna adalah ikan yang ekonomis penting, dagingnya lunak berlemak
tinggi, tekstur yang baik, berlapis dan empuk. Ikan tuna ditemukan di seluruh
lautan di dunia dengan pengecualian di daerah kutub, tuna pada habitatnya di
lapisan atas dan tengah dari air laut sampai kedalaman 1600 kaki atau lebih (500
m). Tuna adalah jenis ikan penjelajah jarak yang jauh (highly migratory species)
dan pemangsa yang tangkas. Sering menjadi pemangsa pada kelompok ikan
ikan kecil seperti herring, menhaden, hake, cod, mackerel, cumi cumi, dan jenis
jenis crustacean seperti udang (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006).
Ditambahakan oleh Cahyono,A. (2008), ikan tuna termasuk dalam
keluarga Scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat, bertubuh seperti
cerutu dengan kondisi badan yang kuat dan kekar. Memiliki dua sirip punggung,
sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, pada bagian
punggung berwarna biru kehitaman dan berwarna keputih-putihan pada bagian
perut. Ikan ini juga termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis besar dan
sebagian besar memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang punggung dan
dubur berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap. Sirip dada
terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan
jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Sirip-sirip punggung, dubur,
perut dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh. Sirip-sirip
tersebut dapat dilipat masuk ke dalam lekukan itu, sehingga dapat memperkecil
daya gesekan air pada saat ikan sedang berenang dengan kecepatan penuh.

Dijelaskan oleh Murniyati dan Sunarman (2000), bahwa ikan tuna


(Thunnus Sp) termasuk ikan pelagis yaitu ikan yang hidup di permukaan laut.
Tuna merupakan ikan buas pemakan daging dan sifat hidupnya bergerombol.
Secara fisik ikan tuna mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
-

Badan

ikan

tuna

berbentuk

cerutu,

menandakan

kecepatan

dalam

pergerakannya.
-

Bagian dadanya langsing, sedangkan bagian berlebar di tengah-tengah.

Penampang lintang badan ditutupi oleh sisik kecuali bagian dada mengeras
dan seperti perisai.

Warna punggung biru tua kadang-kadang hampir hitam yang cepat sekali
berubah bila ikan mati, sedangkan bagian perut bawah berwarna putih.

Tuna terdapat di perairan mana saja terutama yang mempunyai kadar air
garam tinggi dan dapat berpindah-pindah dengan jarak yang sangat jauh.

2.1.2. Klasifikasi Ikan Tuna


Menurut Daman (2009), klasifikasi ikan tuna adalah :
Phylum

: Chordata

Sub Phylum

: Vertebrata

Class

: Teleostei

Sub class

: Actinopterygii

Ordo

: Perciformes

Sub ordo

: Scombroidae

Family

: Scombroidae

Genus

: Thunnus

Species

: Thunnus alalunga, Thunnus albacores, Thunnus obesus,

Hal ini ditambahkan oleh Opieg (2009), bahwa ikan tuna termasuk marga
thunnus, terdiri dari bermacam-macam jenis, antara lain: Yellowfin tuna (Thunnus

albacores), Bigeye tuna (Thunnus obesius), Bluefin tuna (Thunnus thynnus dan
Thunnus maccoyii), Albacore (Thunnus alalunga). Begitu banyak jenis thunnus
sehingga masih ada lagi jenis lain selain yang telah disebutkan diatas.
2.1.3. Jenis-Jenis Ikan Tuna
a. Albakora (Thunnus alalunga)
Ikan ini dikenal di dunia perdagangan dengan nama Albacore. Ikan ini
hidup pada kisaran suhu 10-300C dan lebih menyukai suhu sedang dari pada
suhu tinggi, menyebar secara luas di bagian utara Samudera Pasifik, bagian
Barat Daya Samudera Hindia sampai Selatan Nusa Tenggara, daerah
Mediterania dan sekitar teluk Meksiko di Samudera Atlantik.
Tuna Albakora mempunyai ciri-ciri badannya relatif pendek dibandingkan
dengan tuna besar lainnya seperti abu-abu, madidihang, dan mata besar.
Permulaan sirip dada terletak di belakang lubang insang, panjang dan
melengkung ke arah ekor hingga di belakang ujung sirip punggung kedua. Sirip
dada yang panjangnya mencapai sepertiga dari seluruh panjang badannya,
merupakan ciri khas dalam pengenalannya. Siripnya berwarna hitam. Warna
putih pada pinggir ekor sering menyulitkan untuk membedakannya dengan mata
besar yang masih muda. Pada bagian punggung badannya berwarna biru tua
dan berwarna perak yang semakin memudar kedalam perut. Tuna Albakor
sebagaimana pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan Tuna Albakor (Thunnus alalunga)


Sumber : Opieg, 2009

b. Madidihang (Thunnus albacores)


Madidihang atau Yellowfin tuna ditangkap sepanjang tahun pada perairan
dengan suhu 10o-31oC. Pada bagian Timur Samudera Pasifik dan Samudera
Atlantik, jenis tuna ini sudah tereksploitasi seluruhnya. Badannya besar gemuk
dan kuat dengan sumber kekuatannya pada pertemuan ekor dan badan.
Madidihang diangap sebagai proyektil laut yang terbaik dari semua jenis tuna.
Linea lateralis berombak. Sirip punggung kedua dan sirip duburnya melengkung
panjang ke arah ekor yang ramping dan runcing berbentuk sabit. Hal inilah yang
merupakan ciri khas dari madidihang. Ujung sirip dada berakhir pada permulaan
sirip dubur. Ini merupakan salah satu ciri yang membedakannya dari albakora
yang sirip dadanya melewati permulaan sirip dubur. Semua sirip berwarna kuning
keemasan yang cerah, dengan pinggir yang berwarna hitam, dengan ujung yang
tajam yang mana biasanya tidak terdapat pada tuna lain. Bagian atas badan
berwarna kehijauan dan semakin ke bawah berwarna keperakan. Madidihang
dari daerah tropis berwarna lebih cerah dari pada madidihang yang ditangkap
pada lintang tinggi. Tuna Madidihang sebagaimana pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacores)


Sumber : Opieg, 2009
c. Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)
Tuna mata besar atau Bigeye tuna banyak ditemukan di perairan
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada daerah laut tropis maupun daerah
subtropis. Di Indonesia jenis ini ditemukan di Laut Banda, perairan Sumatera

bagian Barat serta perairan Selatan Jawa sampai pada 10 o LS. Hidup pada
kedalaman laut 20-120 m dengan suhu rata-rata 10-23 oC. Sirip punggung
berwarna keabu-abuan dengan jari-jari sirip berwarna kuning dengan pinggiran
berwarna coklat tua yang tidak teratur. Sirip dada atas hitam dengan bagian
bawah keabu-abuan. Sirip dubur putih dengan ujung kuning dengan jari-jari yang
berwarna abu-abu. Pada umumnya badan bagian atas berwarna biru tua dan
bagian bawah berwarna keperakan dengan batas yang jelas. Tuna mata besar
sebagaimana pada Gambar 3.

Gambar 3. Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)


Sumber : Opieg, 2009
d. Tuna Sirip Biru (Thunnus Thynnus)
Tuna sirip biru atau dikenal dengan nama Bluefin tuna di dunia
perdagangan. Pada waktu musim dingin tuna ini bergerak ke daerah yang lebih
panas. Dan sebaliknya pada waktu musim panas bergerak kembali menuju
daerah lintang tinggi. Suhu optimal air laut bagi abu-abu adalah sekitar 11-20 oC.
Karena itulah jenis tuna ini jarang ditemukan di perairan Indonesia. Badannya
berbentuk oval, tinggi, tebal dan padat berisi sekitar dada dan lonjong ke arah
ekor yang kuat. Letak siripnya yang tepat sangat berguna dalam kesempurnaan
peluncuran dan pergerakannya. Sirip punggung kedua, sirip dada, dan sirip
duburnya pendek. Tuna sirip biru sebagaimana pada Gambar 4.

10

Gambar 4. Ikan Tuna Sirip Biru (Thunnus Thynnus)


Sumber : Opieg, 2009
e. Tuna Sirip Hitam (Blackfin Tuna)
Bagian atas badan berwarna hitam dan semakin ke bawah berwarna
keperakan. Banyak ditemukan di perairan Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia pada daerah laut tropis maupun daerah subtropis. Di Indonesia jenis ini
ditemukan di Laut Banda, perairan Sumatera bagian Barat serta perairan Selatan
Jawa sampai pada 10o LS. Hidup pada kedalaman laut 20-120 m dengan suhu
rata-rata 10-23oC. Tuna sirip hitam sebagaimana pada Gambar 5.

Gambar 5. Ikan Tuna Sirip Hitam (Blackfin Tuna)


Sumber : Opieg, 2009

f. Tongkol (Longtail tuna)


Di beberapa daerah di Indonesia ikan ini dikenal juga dengan nama
komo. Tongkol terdapat banyak pada Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
sepanjang katulistiwa pada suhu air 16-31oC. Bentuk kepala tajam serta matanya
besar. Badan padat, berisi pada dada yang lonjong secara bertahap, terus
sampai ujung ekor yang berdiri tegak lurus. Terdapat keel atau penyangga yang
kuat pada pertemuan badan dan ekor. Linea lateralis hampir lurus. Adanya garisgaris hitam yang melengkung pada bagian punggung mulai dari batas bawah

11

bagian tengah sirip punggung pertama merupakan ciri untuk membedakan


dengan tuna yang lain. Sirip punggung pertama tinggi pada bagian depan dan
pendek pada bagian belakang. Sirip punggung kedua dan sirip dubur kecil. Sirip
dada agak pendek. Ikan Tongkol sebagaimana pada Gambar 6.

Gambar 6. Ikan Tongkol (Longtail tuna)


Sumber : Opieg, 2009
2.1.4. Komposisi Kimia Daging Ikan Tuna
Komposisi kimia daging ikan tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin,
dan musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan
sesudah memijah. Kandungan lemak juga berbeda nyata pada bagian tubuh
yang satu dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak di bawah kulit berubah
menurut umur atau musim. Lemak yang paling banyak terdapat di dinding perut
yang berfungsi sebagai gudang lemak. Sebagai salah satu komoditas laut, ikan
tuna kaya akan asam lemak omega-3.
Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti ikan tuna adalah 28 kali
lebih banyak daripada ikan air tawar. Omega-3 dapat menurunkan kadar
kolesterol

darah

dan

menghambat

proses

terjadinya

aterosklerosis

(penyumbatan pembuluh darah). Konsumsi ikan 30 gram sehari dapat mereduksi


risiko kematian akibat penyakit jantung hingga 50 persen. Asam lemak omega-3
juga mempunyai peran penting untuk proses tumbuh kembang sel-sel saraf,
termasuk sel otak (Murniyati dan Sunarman, 2000).

12

Dijelaskan pula oleh Murniyati dan Sunarman (2000), bahwa Ikan tuna
merupakan

sumber

yang

baik

untuk

vitamin

dan

vitamin

B6

kandungan vitamin pada ikan tuna, terutama jenis sirip biru sangat tinggi, yaitu
mencapai 2,183 IU. Konsumsi 100 gram ikan tuna sirip biru cukup untuk
memenuhi 43,6 persen kebutuhan tubuh akan vitamin A setiap hari. Vitamin A
sangat baik untuk pemeliharaan sel epitel, peningkatan imunitas tubuh, World's
Health Rating dari The George Mateljan Foundation menggolongkan kandungan
vitamin B6 tuna ke dalam kategori sangat bagus karena mempunyai nutrient
density yang tinggi, yaitu mencapai 6,7 (batas kategori sangat bagus adalah 3,46,7). Vitamin B6 bersama asam folat dapat menurunkan level homosistein.
Homosistein merupakan komponen produk antara yang diproduksi selama
proses metilasi. Homostein sangat berbahaya bagi pembuluh arteri dan sangat
potensial untuk menyebabkan terjadinya penyakit jantung. Meskipun ikan tuna
mengandung kolesterol, kadarnya cukup rendah dibandingkan dengan pangan
hewani lainnya. Kadar kolesterol pada ikan tuna 38-45mg per 100gr daging.
sebagaimana pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (dalam % berat)
Spesies
Air
Protein
Lemak

Karbohidrat

Abu

Bluefin

68,70

28,30

1,40

0,10

1,50

Southern Bluefin

65,60

23,60

9,30

0,10

1,40

Yellow Fin

74,20

22,20

2,10

0,10

1,40

Skipjack

70,40

25,80

2,00

0,40

1,40

Marlin

72,10

25,40

3,00

0,10

1,40

Mackerel

62,50

19,80

16,50

0,10

1,10

Sumber : Murniyati dan Sunarman, 2000

13

2.1.5. Mutu Ikan Tuna


Bahan baku ikan tuna yang digunakan harus bermutu. Indikasi mutu dari
ikan adalah dilihat dari tingkat kesegaranya. Ikan dikatakan mempunyai
kesegaran yang maksimal apabila sifat-sifatnya masih sama dengan ikan hidup
baik rupa, bau, cita rasa, maupun teksturnya. Apabila penanganan ikan kurang
baik maka mutu atau kualitasnya akan turun (Junianto, 2003).
Untuk lebih jelasnya, ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk dapat dilihat pada
Tabel 2. sebagai berikut :
Tabel 2. Perbedaan ikan segar dan ikan busuk
No Bagian Tubuh
Ciri Ikan Segar
1
Mata
Cerah, bening, cembung,
dan menonjol
2
Insang
Merah, berbau segar, dan
tertutup lendir bening
3
4
5

Warna
Bau
Daging

Terang dan lendir bening


Segar seperti bau laut
Putih, padat/kenyal, bila
ditekan bekasnya akan
segera lenyap

6
7

Sisik
Dinding perut

Menempel kuat pada kulit


Utuh dan elastis

Ciri Ikan Busuk


Pudar, tenggelam,
berkerut,dan cekung
Coklat atau kelabu,
berbau asam, tertutup
lendir keruh
Pudar dan lendir kelabu
Asam dan berbau busuk
Kemeran, terutama
disekitar tulang
punggung bekas
tekanan jari tidak hilang
Mudah lepas
Menggelembung, pecah,
isi perut keluar, dan
lembek

Sumber : Junianto, 2003


Selain hal di atas, ditambahkan lagi syarat mutu dan keamanan pangan
produk tuna loin beku sesuai dengan SNI 01-4104.1-2006 seperti pada Tabel 3 di
bawah ini :
Tabel 3. Syarat mutu dan keamanan pangan tuna loin beku
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
1
2
3
a. Sensori
Angka (1-9)
Minimal 7
b. Cemaran mikroba* :
- ALT
Koloni/g
Maksimal 5,0 x 105
- Escherichia coli
APM/g
Maksimal < 2
1

14

- Salmonella
- Vibrio choleraea
c. Cemaran kimia
- Raksa (Hg)
- Timbal (Pb)
- Histamin
- Kadmium (Cd)
d. Fisika :
- Bobot tuntas
e. Parasit
CATATAN *) bila diperlukan
Sumber : SNI 01-4104.1:2006

APM/g
APM/g

Negatif
Negatif

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Maksimal 1
Maksimal 0,4
Maksimal 100
Maksimal 0,5

C
ekor

Maksimal -18
Maksimal 0

2.2. Ruang Lingkup Pembekuan


2.2.1. Pengertian Pembekuan
Pengertian pembekuan ikan menurut Murniyati dan Sunarman (2000),
adalah menyiapkan ikan untuk disimpan di dalam suhu yang rendah (cold
storage). Pembekuan berarti mengubah kandungan cairan menjadi es. Ikan
mulai membeku pada suhu antara -0,6 sampai dengan -20C, rata-rata pada -10C.
yang mula-mula membeku adalah free water, kemudian disusul oleh bound
water. Pembekuan dimulai dari bagian luar dan bagian tengah manjadi beku
paling akhir. Pembekuan dimaksudkan untuk mengawetkan sifat-sifat alami ikan,
pembekuan menggunakan suhu yang lebih rendah yaitu jauh dibawah titik beku
ikan. Keadaan beku menyebabkan bakteri dan enzim terhambat kegiatanya
sehingga daya awet ikan beku lebih besar dibandingkan dengan ikan yang
didinginkan. Pada suhu -120C, kegiatan bakteri telah dapat dihentikan tetapi
proses-proses kimia enzimatis masih berjalan terus. Pembekuan secara garis
besar adalah merupakan suatu cara pengambilan panas dari produk-produk
yang dibekukan untuk selanjutnya diikuti oleh turunannya suhu sampai dibawah
00C sehingga sebagian kadar air yang terdapat atau berubah menjadi es
(membeku).

15

Di jelaskan pula oleh Rohanah (2002), bahwa pembekuan merupakan


suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada
suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian
kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun),
maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga
dapat mempertahankan mutu bahan pangan.
2.2.2. Prinsip Pembekuan
Prinsip pembekuan menurut Murniyati dan Sunarman (2000), yaitu
menurunkan suhu ikan sampai jauh di bawah titik bekunya sehingga sebagian
besar cairan berubah menjadi kristal es yang menyatakan proses pembekuan
dapat dihentikan. Suhu dimana cairan itu membeku seluruhnya disebut eutectic
point, terletak antara -550C dan -650C. Pada umumnya pembekuan sampai -120C
atau -300C dianggap telah cukup, tergantung pada jangka waktu penyimpanan
yang direncanakan.
2.2.3. Metode Pembekuan
Murniyati dan Sunarman (2000), menjelaskan berdasarkan panjang
pendeknya waktu pembekuan, metode yang digunakan dapat dibedakan menjadi
dua yaitu :
a. Pembekuan Cepat (Quick Freezing).
Pembekuan dengan thermal arrest time tidak lebih dari 2 jam.
Pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil sehingga akan
meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang dibekukan. Dijelaskan Moeljanto
(1992) macam pembekuan cepat diantaranya :
Contact Plate Freezing
Pembekuan dengan cara produk dijepit diantara dua plat atau lempengan
logam yang didalamnya dialiri bahan pendingin. Pembekuan dengan plate

16

freezing berjalan cepat dan efisien, khususnya untuk produk-produk yang


dikemas.
Immersion Freezing
Pembekuan dengan cara mencelupkan ikan ke dalam larutan garam
(NaCl) bersuhu -170C. Ikan yang hendak dicelup ditaruh dalam keranjang atau
peti, sedangkan larutan garam ditampung dalam tangki pembekuan yang
dindingnya dilingkari pipa-pipa pendingin yang berfungsi sebagai evaporator.
IQF Freezer
Pembekuan dengan IQF (Individually Quick Frozen) Freezer bertujuan
agar tiap potongan ikan atau udang menjadi beku tanpa menempel satu sama
lain.
Fluidized Bed Freezer
Freezer ini menggunakan udara untuk memindahkan panas dan
transportasi. Produk yang dibekukan bergerak di dalam freezer dengan alas
udara dingin secara sempurna menyelimuti produknya secara efisien.
b. Pembekuan Lambat (Slow Freezing atau Sharp Freezing).
Pembekuan dengan thermal arrest (suhu pembekuan) lebih dari 2 jam.
Pada pembekuan lambat menghasilkan kristal yang besar besar, kristal es ini
mendesak dan merusak susunan jaringan daging. Selain itu pembekuan lambat
juga menyebabkan pengumpulan dari garam dan enzim menjadi lebih aktif dan
membuat perubahan perubahan tekstur dan rasa yang tidak dikehendaki.
Adapun jenis dari pembekuan lambat sebagai berikut :

Sharp Freezer
Merupakan cara paling tua dan bisa digolongkan pada pembekuan
lambat. Pembekuan dengan sharp freezer dilakukan dengan meletakkan ikanikan pada rak-rak yang terdiri dari pipa-pipa pendingin (cooling pipe).
Blast Freezer

17

Merupakan sebuah ruangan atau kamar (tunnel). Udara dingin didalamnya


disirkulasikan ke sekitar produk yang dibekukan dengan bantuan fan. Udara
menjadi dingin, setelah lebih dahulu melewati evaporator.

2.3.

Bentuk Olahan Ikan Tuna


Dijelaskan oleh Murniyati dan Sunarman (2000), bahwa, ikan tuna beku

dapat dibedakan menjadi beberapa bagian sesuai dengan bentuknya yang


diinginkan.
1. Pembekuan bentuk whole adalah pembekuan ikan tuna yang dilakukan
secara utuh, dimana pembekuan dilakukan secara individual (satu-persatu).
Pembekuan ini biasanya dilakukan setelah ikan tuna itu ditangkap
(pembekuan dikapal). Adapu bentuk whole dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Ikan Tuna Bentuk Whole


Sumber : http://www.manufacturer.com
2. Pembekuan Bentuk Gill dan Gutted adalah pembekuan ikan tuna baik secara
individu maupun blok dimana ikan tersebut sebelumnya terlebih dahulu
disiangi (dibersihkan isi perut dan perutnya).
3. Pembekuan bentuk fillet adalah pembekuan ikan tuna yang terlebih dahulu
diiris dan diambil dagingnya menjadi dua bagian sama besar. Arah irisan
sejajar dengan tulang punggung. Adapun untuk bentuk fillet dapat dilihat pada
Gambar 8 di bawah ini :

18

Gambar 8. Ikan Tuna Bentuk Fillet


Sumber: www.asmarine.in/html/gallery.htm
4. Pembekuan loin adalah pembekuan ikan tuna yang terlebih dahulu diiris lagi
menjadi dua bagian, sehingga didapat seperempat bagian dari daging ikan.
Apabila ukuran fillet relatif panjang biasanya dipotong melintang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini :

Gambar 9. Ikan Tuna Bentuk Loin


Sumber: http://www.tropicanaworldtrade.com
5. Pembekuan Bentuk Steak adalah pembekuan ikan tuna yang terlebih dahulu
dibetuk loin kemudian diiris-iris secara melintang dan tegak lurus dengan
ketebalan tertentu, sehingga hasil irisan berentuk lembaran-lembaran daging.
Selain itu juga yang diiris dalam bentuk segitiga sesuai dengan keadaan ikan
dan ukuan yang telah dituntuan. Adapun bentuk steak dapat dilihat pada
Gambar 10 di bawah ini :

19

Gambar 10. Bentuk Steak


Sumber: www.easyrecipeclub.com
6.

Pembekuan Bentuk Saku Adalah pembekuan ikan tuna yang awalnya bentuk
loin, selanjutnya dilakukan trimming dan skinning kemudian disortir dan
dibentuk seperti jajaran genjang. Adapun bentuk saku dapat dilihat pada
Gambar 11 di bawah ini :

Gambar 11. Ikan Tuna Bentuk Saku


Sumber: http://www.1stworldtradeportal.com

2.4.

Proses Pembekuan Ikan Tuna Bentuk Loin


Menurut SNI 01-4104.3-2006 Bahan Baku Tuna Loin Beku adalah semua

jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa tuna loin mentah
beku. Bentuk bahan baku tuna loin mentah beku adalah berupa tuna segar/beku
yang telah disiangi atau tidak disiangi. Dan bahan baku harus berasal dari
perairan yang tidak tercemar..
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.3-2006), alur
proses pengolahan tuna loin adalah sebagai berikut :
Penerimaan bahan baku
Pemotongan kepala, sirip dan ekor

20

Pencucian
Pemotongan daging (Pembuatan Loin)

Pembuangan kulit dan perapihan


Sortasi mutu
Pembungkusan

Pembekuan
Penimbangan
Pengepakan dan pelabelan
Penyimpanan
Gambar 12. Alur Proses Pengolahan Tuna Loin Mentah Beku
Sumber :SNI 01-4104.3-2006
a. Penerimaan bahan baku
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,
untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati,
cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.
b. Penyiangan (pemotongan kepala, sirip dan ekor)
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi
dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap
berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.
c. Pencucian
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir

21

secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk
maksimal 4.4C.
d. Pembuatan loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat
bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat
dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4C.
e. Pengulitan dan Perapihan
Tulang, daging merah/gelap dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga
bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan
tetap mempertahankan suhu produk 4,4C.
f. Sortasi mutu
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat
tulang, duri, daging merah/gelap dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan
secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal
4,4C.
g. Pembungkusan
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara
individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan
dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu
pusat produk maksimal 4,4C.
h. Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku
(freezer) seperti ABF, CPF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal
-18C dalam waktu maksimal 4 jam.
i. Penimbangan

22

Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang


sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter
serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C.
j.

Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan

plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.

2.5. Konsepesi Hazard Analisys Critical Control Point (HACCP)


2.5.1. Pengertian HACCP
Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) adalah suatu sistem
kontrol pangan yang berbasis pada usaha pencegahan. Dalam rangkaian proses
produksi harus ditetapkan titik-titik proses yang kemungkinan menimbulkan
bahaya. Pengawasan dan usaha pencegahan akan terjadinya bahaya perlu
ditetapkan pada titik-titik kritis tersebut. Hal ini akan menjamin kestabilan kualitas
produk, meringankan pekerjaan dalam hal inspeksi dan pengujian produk akhir
(Mortimore dan Wallace, 2005).
Standar

HACCP

yang

dikembangkan

pada

SNI

01-4852-1998

dipengaruhi oleh kerangka berfikir ISO seri 9000 sehingga sejumlah peristilahan
diarahkan kepada Standar Internasional (SI) tersebut (Thaheer, 2005). Meskipun
demikian, beberapa peristilahan kunci tidak dapat dipisahkan dengan prinsip
pangan dan memerlukan interpretasi tersendiri.
2.5.2. Tujuan HACCP
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk
mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu
pangan guna memenuhi tuntutan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem
pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir

23

diproduksi masal dan didistribusikan. Oleh karena itu dengan diterapkannya


sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada
suatu produk pangan. Selain itu, HACCP juga dapat berfungsi sebagai promosi
perdagangan di era pasar global yang memiliki daya saing kompetitif (Thaheer,
2005).
Kemungkinan terjadinya bahaya pada titik-titik pengendalian yang telah
diidentifikasi

selama

proses

produksi.

Darwanto

dan

Murniyati

(2003),

menyatakan tujuan HACCP adalah untuk menunjukkan letak potensi bahaya


yang berasal dari makanan yang berhubungan dengan jenis bahan pangan yang
diolah oleh perusahaan pengolahan makanan dengan tujuan untuk melindungi
konsumen.
2.5.3. Tujuh Prinsip HACCP
Prinsip 1 : Analisa Bahaya
Analisa hazard atau bahaya merupakan bagian dari kajian HACCP, yaitu
tim mengamati setiap langkah dalam proses, mengidentifikasi hazard yang
kemungkinan ada, mengevaluasi signifikansi, dan memastikan bahwa tindakan
yang tepat untuk pengendaliannya memang sudah siap tersedia.
Hazard dinyatakan sebagai sesuatu yang signifikan jika kemungkinan
dapat membahayakan konsumen kecuali memang dikendalikan dengan tepat.
Semua hazard yang signifikan dikelola melalui HACCP sedangkan hazard yang
tidak signifikan dikontrol melalui sistem yang lain (Mortimore dan Wallace, 2005).
Menurut SNI 01-4852-1998 proses identifikasi atas kemungkinan
terjadinya bahaya di dalam suatu proses atau pengolahan produk yang meliputi 3
aspek:
1. Keamanan pangan (Food Safety)
2. Mutu produk / keutuhan pengolahan (Wholesomeness)

24

3. Penipuan ekonomi (Economi Fraud)


Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya,
penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori
resiko atau signifikan suatu bahaya (Food science and technology,2005).
Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient
yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi serta
deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta
cara konsumsinya, cara penyimpanan dan lain sebagainya
Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau
resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada menusia. Bahaya bahaya tersebut
dapat dikategorikan menurut jenis dan karakteristiknya yang tersaji pada Tabel 4
dan 5.
Tabel 4. Jenis Jenis Bahaya
Jenis Bahaya
Contoh
1
2
Biologi
Sel Vegetatif : Salmonella sp, Escherichia coli
Kapang
: Aspergillus, Penicillium, Fusarium
Virus
: Hepatitis A
Parasit
: Cryptosporodium sp
Spora bakteri : Clostridium botulinum, Bacillus cereus
Kimia
Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diizinkan,
residu pestisida, logam berat dan bahan allergen
Fisik
Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau
kerikil, rambut, kuku dan perhiasan, serpihan logam
Sumber : Bogor Agriculture University, 2005

Adapun karakterisitik bahaya disajikan pada tabel 5 di bawah ini :


Tabel 5. Karakteistik Bahaya
Kelompok
Karakteristik bahaya
bahaya
1
2
Bahaya A
Produkproduk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk
konsumsi
kelompok
beresiko
(lansia,
bayi,
immunocompromised

25

Bahaya B

Produk mengandung ingredient sensitif terhadap bahaya


biologi, kimia atau fisik
Bahaya C
Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali
yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau
menghilangkan bahaya kimia atau fisik
Bahaya D
Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah
pengolahan sebelum pengemasan
Bahaya E
Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama
distribusi atau konsumen yang menyebabkan produk
berbahaya
Bahaya F
Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan
atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir
atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan
sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak
ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi,
menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atai
fisik
Sumber : Bogor Agriculture University, 2005
Tindakan pencegahan (preventive measure) adalah kegiatan yang dapat
menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman.
Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan
prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GMP (Good Manufacturing
Practices), SSOP (Sanitation Standart Operational Procedures) dan sistem
pendukung lainnya.
Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya,
maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko seperti terlihat pada tabel 6 di
bawah :

Tabel 6. Penetapan Kategori Resiko


Kategori Bahaya Kategori Resiko
0
0
(+)
I
(+ +)
II
(+ + +)
III
(+ + + +)
IV
(+ + + + +)
V
A+ (kategori
VI

Jenis Bahaya
Tidak mengandung bahaya A sampai F
Mengandung satu bahaya B sampai F
Mengandung satu bahaya B sampai F
Mengandung satu bahaya B sampai F
Mengandung satu bahaya B sampai F
Mengandung satu bahaya B sampai F
Kategori resiko paling tinggi (semua

26

Khusus) dengan
atau tanpa
produk yang mempunyai behaya A)
bahaya B F
Sumber : Bogor Agriculture University, 2005
Selain itu, bahaya yang ada dapat juga dikelompokkan berdasarkan
signifikansinya.

Signifikansi

bahaya

dapat

diputuskan

oleh

tim

dengan

mempertimbangkan peluang terjadinya (reasonably likely to occur) dan


keparahan (saverity) suatu bahaya. Untuk lebih jelasnya tentang signifikansi
bahaya dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini :
Tabel 7. Signifikansi Bahaya

L
M
(Reasonably likely to occur)
H
Keterangan : L=l= low, M=m= Medium, H=h= High
Sumber : Bogor Agriculture University, 2005
Peluang Terjadi

Tingkat Keparahan
(Saverity)
L
M
H
Ll
Ml
Hl
Lm
Mm
Hm
Lh
Mh
Hh

Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau
beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya
yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan
dalam penetapan critical control point.
Upaya pencegahan (preventive measures) merupakan tindakan atau
prosedur untuk menghambat terjadinya atau masuknya bahaya (hazard) pada
suatu produk. Kategori bahaya yang termasuk food safety dibagi menjadi 3, yaitu
1. Biologis, meliputi : mikroorganisme yang bersifat patogen, virus, dan parasit
2. Kimiawi, meliputi : natural toxin, bahan makanan tambahan, histamin, residu
obat-obatan, bahan kimia, dan pestisida
3. Fisika, meliputi : logam, serpihan kaca, batu, dan pasir.

27

Prinsip 2 : Identifikasi Titik-titik Kritis (Critical Control Point)


Identifikasi CCP adalah suatu upaya untuk menentukan titik/tahapan
tertentu dalam proses produksi yang sangat menentukan jaminan mutu produk
yang dihasilkan (Darwanto dan Murniyati, 2003).
Menurut

SNI

01-4852-1998

untuk

menentukan

titik-titik

kritis

(Critical Control Points / CCP) ini dapat digunakan Decision Tree, seperti
disajikan pada Gambar 13.

P1

TDK=Bukan CCP

Apakah ada tindakan pencegahan pada


tahap ini atau berikutnya terhadap
hazard yang telah di identifikasi?

YA=CCP

TDK=Lanjut P3

YA= Lanjut P2

P2
Apakah tahap ini dapat menghilangkan atau
mengurangi kemungkinan terjadinya hazard
sampai tingkat yang diterima ?

P3
Apakah kontaminasi dari hazard yang telah
diidentifikasi
telah
melewati
tingkat
yang
diperkenankan atau dapat meningkat sehingga
melebihi batas yang diperbolehkan ?

TDK=Bukan CCP

YA= Lanjut P4

YA=Bukan CCP

TDK=CCP

P4
Apakah proses selanjutnya akan dapat
menghilangkan
bahaya
atau
mampu
mengurangi bahaya sampai batas yang telah
ditentukan ?.

28

Gambar 13. Decision Tree


Sumber: SNI 01-4852-1998
Prinsip 3 : Penetapan Batas Kritis (Critical Limit)
Menurut Sudarmaji (2012), Critical limit (CL) adalah batasan kritis adalah
suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang
ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman.
Batas ini akan memisahkan antar yang di terima dan ditolak berupa kisaran
toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ini ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP
dapat dikendalikan dengan baik. Batas-batas limit harus ditetapkan secara
spesifik dan divalidasi apabila mungkin untuk setiap titik kendali kritis. Dalam
beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan pada suatu tahap
khusus. Penentuan batas kritis berdasarkan parameter harus dapat divalidasi
sesuai dengan persyaratan serta dapat dukur. Penentuan batas kritis ini
biasanya dilakukan berdasarkan literatur, regulasi pemerintah, para ahli dibidang
mikrobiologo maupun kimia, CODEX dan sebagainya. Kriteria yang sering
digunakan mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat
kelembaban, pH, Aw, keberadaan klorine dan parameter-parameter sensori
seperti kenampakan visual dan tekstur. ( Departement of Food Science and
Tecnology Bogor, 2012).

29

Sara dan Carol (2002), menyebutkan ada beberapa hal yang dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan batas kritis :
a.

Batasan kritis adalah kriteria yang membedakan antara AMAN dan

b.

kemungkinan TIDAK AMAN.


Batasan kritis ditetapkan berdasarkan

c.

keamanan dan nilai-nilai yang telah diuji secara ilmiah.


Batasan tersebut merupakan parameter terukur yang dapat ditentukan dan

d.

dipantau melalui pengujian dan observasi.


Batasan operasional kerap ditetapkan pada tingkat yang lebih tegas

perundang-undangan,

standar

sehingga dapat dijadikan zona tindakan untuk manjemen proses.


Batas-batas kritis harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila
mungkin untuk setiap CCP (Critical Control Point).
Prinsip 4 : Penetapan Prosedur Pemantauan (Monitoring)
Menurut Nurhidayati (2009), prosedur pemantauan merupakan salah satu
metode observasi yang bertujuan untuk mengetahuai bahwa critical control
points (CCP) benar terkendali. Pemantauan merupakan pengukuran atau
pengamatan terjadwal dari titik kendali kritis yang dibandingkan terhadap batas
kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali
pada titik kendali kritis. Selanjutnya pemantauan selayaknya secara ideal
memberi informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian untuk
memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis.
Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil
pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada
suatu titik kendali kritis. Penyesuaian seharusnya dilaksanakan sebelum terjadi
penyimpangan. Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang
yang diberi tugas, berpengetahuan dan berwenang untuk melaksanakan
tindakan perbaikan yang diperlukan.

30

Menurut Kusuma (2012), untuk melakukan prosedur pemantauan untuk


melihat apakah CCP memenuhi persyaratan dan tidak melampaui batas toleransi
penolakan yang ditetapkan perlu adanya beberapa pertanyaan yang perlu
dijawab sebagai berikut :
1.

Apa saja yang dipantau

2.

Cara pemantauan

3.

Waktu dan frekuensinya

4.

Siapa yang melakukan pemantauan

5.

Dimana dipantau

Sedangkan tujuan pemantauan adalah :


1.

Untuk mengawasi CCP agar tidak melewati batas kritis yang

ditetapkan
2.

Untuk mengetahui apakah suatu proses harus dirubah atau

disesuaikan
3.

Untuk mengidentifikasi penyimpanan yang terjadi pada suatu

CCP
4.

Untuk menyediakan dokumen tertulis dari sistem pengendalian

proses
Prinsip 5 : Penetapan Tindakan Koreksi (Corrective Action)
Tindakan perbaikan atau koreksi dapat didefinisikan sebagai semua
tindakan yang harus diambil ketika hasil pengawasan pada CCP menunjukkan
kegagalan pengendalian (Yamin, 2004). Tindakan perbaikan tertentu harus
dikembangkan untuk masing CCP dalam sistem HACCP agar dapat mengatasi
penyimpangan apabila ada. Tindakan-tindakan ini harus dapat menjamin bahwa
CCP telah

dikendalikan.

Tindakan-tindakan

yang

dilakukan

juga

harus

31

melibatkan penyingkiran produk. Penyimpangan dan prosedur pembuangan


produk harus didokumentasikan dalam sistem pencatatan HACCP.
Sesuai dengan SNI 01-4852-1998, tindakan perbaikan yang spesifik
harus dikembangkan untuk setiap titik kendali kritis dalam sistem HACCP agar
dapat

menangani

penyimpangan

yang

terjadi.

Tindakan-tindakan

harus

memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus


mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan
dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
Menurut Thaheer (2005), tujuan dari penetapan tindakan koreksi adalah :
Untuk mengoreksi dan menghilangkan penyebab penyimpangan dari
pengembalikkan kontrol proses.
Untuk mengidentifikasi produk yang

dihasilkan

selama proses yang

menyimpang dan menentukan disposisinya


Tahap identifikasi produk dan disposisinya adalah :
Tahap I
: Tentukan apakah produk mengandung hazard keamanan
1.
Berdasarkan evaluasi dari para ahli
2.
Berdasarkan pengujian secara Fisik, Kimia dan
Mikrobiologi
Tahap II

: Jika berdasarkan evaluasi pada tahap I tidak ditemukan hazard


maka produk boleh dikeluarkan

Tahap III

: Jika hazard ditemukan berdasarkan evaluasi pada tahap I,


tentukan apakah produk dapat :
1.
2.

Tahap IV

Diproses kembali
Dialihkan untuk penggunaan yang aman

: Jika produk mengandung hazard tidak terdapat ditangani


sebagaimana tahap III, maka harus dihanguskan.

Prinsip 6 : Prosedur Verifikasi

32

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.


19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan, verifikasi adalah aplikasi metode, prosedur, pengujian, assasment
dan evaluasi lainnya untuk memastikan bahwa rencana Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) dan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan telah dilaksanakan sesuai dengan standard nasional dan internasional
yang berlaku.
Metode

audit

dan

verifikasi,

prosedur

dan

pengujian,

termasuk

pengambilan contoh secara acak dan analisa, dapat dipergunakan untuk


menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi
harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara
efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup :
Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya
Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi produk
Mengkonfirmasi apakah Titik Kendali Kritis dalam kendali
Pemeriksaaan catatan penyimpanan dan disposisi inspeksi visual terhadap
kegiatan untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan
Pengambilan contoh secara acak
Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian
dengan rencana HACCP atau penyimpangan dari rencana dan tindakan
koreksi yang dilakukan.
Apabila memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan untuk
mengkonfirmasi kemanjuran semua elemen-elemen rencana HACCP (BSN.
1998).
Menurut

Darwanto

dan

Murniyati

(2003),

untuk

menjamin

dan

memastikan bahwa program HACCP dilaksanakan sesuai dengan rencana dan

33

dilakukan secara efektif dan konsisten, lebih baik bila verifikasi dilakukan secara
internal dan eksternal.
Internal apabila audit dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan sendiri,
misalnya anggota manajemen atau tim verifikasi yang ditunjang oleh uji
laboratoris sebagai pendukung.
Eksternal apabila audit dilakukan oleh pihak pemerintah yang dilakukan
secara wajib dan rutin.
Prinsip 7 : Penetapan Sistem Pencatatan (Record Keeping)
Menurut Gunawan (2009), penyimpanan data merupakan bagian penting
pada HACCP. Penyimpanan data akan meyakinkan bahwa informasi yang
dikumpulkan secara instalasi, modifikasi, dan sistem operasi akan di peroleh oleh
siapapun yang terlibat proses, juga dari pihak luar (auditor). Pencatatan dan
pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem
HACCP.
Tujuan dari pencatatan menurut Thaheer (2005) adalah :
a. Bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur yang ada.
b. Jaminan pemenuhan peraturan
c. Kemudahan pelacakan dan peninjauan catatan
d. Dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen mengenai
keamanan produk
e. Merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan apabila ada audit
f.

Catatan HACCP memusatkan pada isu keamanan pangan untuk dapat cepat
mengidentifikasi masalah.

g. Membantu mengidentifikasi low ingredient , bahan pengemas, dan produksi


akhir apabila masalah keamanan yang timbul memerlukan penarikan dari
pasar.

34

Sutarno

(2009),

menyebutkan

bahwa

prosedur

HACCP

harus

didokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat dan ukuran operasi. Sistem
pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah penting untuk aplikasi yang
efisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif.
Ada 3 hal yang termasuk dalam dokumen :
1) Semua studi tentang dokumen HACCP yang berisi rincian tentang
pertimbangan ilmiah CCP ( titik-titik pengendalian Kritis), batas kritis, sistem
pengawasan dan tindakan perbaikan.
2) Dokumentasi tentang sistem : prosedur, cara operasi, instruksi kerja yang
mengacu pada setiap titik dalam metode tersebut. Dokumen-dokumen ini
menyusun rencana HACCP.
3) Penyimpanan catatan (studi laporan HACCP, hasil penerapan sistem,
pengambilan keputusan) sehingga dapat menggambarkan penerapan
permanen sistem HACCP.
Dokumen-dokumen ini harus terus diperbaharui dan ada disetiap tempat
yang memerlukan. Sistem pendokumentasian ini juga harus menjelaskan
bagaimana orang orang yang ada di pabrik dilatih untuk menerapkan rencana
HACCP dan harus memasukkan bahan-bahan yang digunakan dalam pelatihan
pekerja.

Anda mungkin juga menyukai