Anda di halaman 1dari 7

1.

Pendidikan Nilai
a. Konsep Pendidikan

nilai

adalah

pendidikan

yang

mensosialisasikan

dan menginternalisasikan nilai-nilai dalam diri seseorang. Nilai, dalam Kamus


Besar Bahasa Indonesia, (1994: 690) adalah harga (dalam arti taksiran harga).
Endang

Sumantri (1993: 18-20), Nilai-nilai berakar pada bentuk kehidupan

tradisional dan keyakinan agama, bentuk-bentuk kehidupan kontemporer dan


keyakinan agama-agama yang datang berkembang serta aspek politik yang
berpengaruh dalam perubahan sikap penduduk, banyaknya kegelisahan, gejolak
terhadap nilai dalam realita pendidikan pada umumnya
Secara aksiologis, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak dan nilai relatif, nilai intrinsik
(dasar), dan nilai instrumental. Nilai mutlak bersifat abadi, tidak mengalami perubahan
dan tidak tergantung pada kondisi dan situasi tertentu. Nilai relatif tergantung pada
situasi dan kondisi oleh karenanya selalu berubah. Nilai intrinsik ada dengan sendirinya
dan tidak menjadi prasarat bagi nilai yang lain, misalnya adalah kebahagiaan, tetapi
ukurannya tergantung pada masing-masing orang. Nilai instrumental berupa kebaikan
dengan indikator amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan, kemanusiaan, etos kerja, dan
disiplin yang dalam praktik kehidupan paling banyak dihadapi oleh manusia (Ahmadi
2005: 121-122) . Menurut Gordon M. Hart, dalam disposisi jiwa seseorang terdapat
tingkatan lapisan yang terkait dengan nilai; pertama, tingkah laku; kedua, sikap; ketiga,
nilai; dan keempat, kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Di sini nilai (yang
terletak di bawah keyakinan) berada dalam dunia rohaniah/batiniah, spiritual, tidak
berwujud, dan tidak empirik, tetapi sangat kuat pengaruh dan peranannya dalam setiap
perbuatan dan penampilan seseorang. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai menjadi
standar tingkah laku yang bersifat tetap dan abadi.
b. Implikasi pendidikan nilai, pendidikan merupakan sebuah proses pembangunan
kerangka berpikir manusia sejak berada di permukaan bumi Nilai-nilai itu bukanlah
ciptaan manusia, melainkan datang dari Sang Pencipta sebagai Nilai Tertinggi
(Summum Bonum) dan menjadi sumber segala nilai. Manusia memiliki tugas untuk
memahami, menyadari, merasakan, menemukan, dan mewujudkan dalam kenyataan.
Proses pemahaman dan penemuan nilai ini tidak dapat dilakukan hanya dengan budipikiran saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman nyata. Ketika
seseorang ingin menghayati nilai cinta kasih, tidak cukup hanya dengan berpikir,
memahami, dan menyetujui di kepala saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam
1

pengalaman nyata mencintai dan dicintai.


Pendidikan nilai merupakan upaya pembentukan sikap dan tingkah laku
seseorang, hal ini seperti dikemukakan oleh Smith dan Spranger, bahwa nilai-nilai
mewarnai sikap dan tindakan individu karena ia harus senantiasa untuk dimiliki.
Senada dengan Smith dan Spranger, menurut Max Scheler, manusia perlu terusmenerus berusaha mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi tingkatannya. Berkait dengan
tingkatan nilai itu, Hadiwardoyo menyatakan bahwa perlu ada pedoman untuk
menentukan tinggi rendahnya nilai; semakin tahan lama, semakin tinggi, semakin tidak
tergantung pada nilai-nilai lain, semakin membahagiakan, dan semakin tidak tergantung
pada kenyataan tertentu. Proses internalisasi nilai membutuhkan kemahiran dalam
menangkap nilai lewat pengalaman nyata, di antaranya perlu keterbukaan hati-budi,
keheningan, ketenangan, dan disposisi batin yang mendukung; terbuka, percaya, jujur,
rendah hati, bertanggung jawab, berniat baik, setia, dan taat. Pendidikan nilai hendaknya
bukan hanya sekadar tambahan (pelengkap), melainkan merupakan sesuatu yang hakiki
dalam seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai menjadi kian penting ketika arus
materialisme dan konsumerisme secara global terus mengikis nilai-nilai luhur dari
kehidupan manusia, tidak hanya yang tinggal di kota-kota besar, bahkan sudah
menyentuh desa-desa yang terpelosok sekalipun.
c. Bagaimana penerapan pendidikan nilai, menurut saya Terdapat beberapa strategi
alternatif (model) yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai- nilai kepada peserta
didik, antara lain sebagai berikut.
Pertama, menurut Khairan, penanaman nilai-nilai dapat dilakukan dengan;
1. model pewarisan; adalah dengan menggunakan cara indoktrinasi mekanistik,
pemaksaan, latihan, dan pengulangan;
2. model pengembangan kesadaran nilai, artinya bahwa nilai itu akan ditemukan oleh
anak ketika mereka mengalaminya sendiri;
3. model pengembangan nilai etika swasta, anak didik tumbuh dan berkembang melalui
tahap- tahap perkembangan dalam suatu seri tahap-tahap yang secara kualitatif
berbeda satu sama lain.
Kedua, menurut A.M. Saifudin, internalisasi nilai paling strategis dilakukan lewat
universitas dan civitas akademika. Dalam pandangannya, kejatuhan sains di dunia
modern karena terlalu mengagungkan potensi nalar tanpa memberikan sedikit pun
untuk halhal yang bersifat metanalar. Sementara realitas kehidupan yang ada

membuktikan bahwa justru realitas kehidupan yang digeluti sekarang ini banyak yang
tidak rasional, artinya banyak ditentukan oleh asumsi manusia dalam bentuk keyakinan.
Ketiga, menurut A. Atmadi dan Setyaningsih, pendidikan nilai akan lebih efektif
jika dikembangkan lewat jalur non-formal karena disposisi peserta didik terbangun
dengan baik. Disposisi ini sangat ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal yang menentukan disposisi antara lain; niat, motivasi, dan arah
konsentrasi perhatian murid. Sementara itu, faktor eksternalnya adalah sikap badan atau
posisi duduk, tata ruang, dan dinamika hubungan antarsubjek yang terlibat.
2. Pendidikan Budi Pekerti
a. Konsep, Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara
yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan
warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.

b. Implikasi pendidikan budi pekerti telah diamanatkan dalam GBHN Dimana


disebutkan bahwa visi dari bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan
sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh
manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Salah satu misi
bangsa Indonesia adalah peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dalam kehidupan dan mantapnya persaudaraan umat beragama
yang berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai. Dalam Undang-undang No 20
tahun

2003 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat


dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mengacu pada aturan-aturan dasar tersebut, secara formal upaya-upaya menyiapkan
3

pendidikan,

kondisi,

sarana/prasarana,

kegiatan,

dan

kurikulum yang

mengarah kepada pembentukan akhlak dan budi pekerti generasi muda


bangsa memiliki landasan hukum yang kuat.
c . Bagaimana penerapan pendidikan budi pekerti, menurut saya terdapat beberapa
strategi yaitu Penerapan pendidikan budi pekerti dapat dilakukan dengan berbagai
strategi pengintegrasian. Strategi yang dapat dilakukan adalah:
1. Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari.
Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui:
a. Keteladanan/contoh
Kegiatan pemberian contoh/teladan yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
pengawas, kepala sekolah, staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan
model bagi peserta didik.
b. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat
itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui
sikap/tingkah laku

peserta didik yang kurang baik, seperti meminta sesuatu

dengan berteriak, mencoret dinding.


c. Teguran
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan
mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru
dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.
d. Pengkondisian lingkungan
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa dengan penyediaan sarana
fisik. Contoh

penyediaan

tempat

sampah,

jam dinding,

slogan-slogan

mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, aturan/tata
tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga setiap
peserta didik mudah membacanya.
e. Kegiatan rutin
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara
terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris
masuk ruang kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan
salam bila bertemu dengan orang lain, membersihkan kelas/belajar.
3. Pendidikan Moral
a. Konsep, moral/moralitas adalah suatu tuntutan perilaku yang baik yang dimiliki

oleh individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap,


dan tingkah laku. Menurut Suseno (1998) adalah ukuran baik buruk seseorang,
4

baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara.
Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak
manusia bermoral baik dan manusiawi. Sedangkan menurut Ouska dan
Whellan (1997), moral adalah prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam
diri individu/seseorang. Walaupun moral itu berada di dalam diri individu, tetapi
moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan. Moral dan moralitas ada
sedikit perbedaan, karena moral adalah prinsip baik buruk sedangkan moralitas
merupakan kualitas pertimbangan baik buruk. Dengan demikian, hakekat dan
makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam
mematuhi maupun menjalankan aturan.
b. Implikasi pendidikan moral, Menurut Djohar (2006: 89) Untuk mengembangkan
strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan
pendekatan terpadu, diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment)
siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya
serangkaian kegiatan, antara lain:(1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang
bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam
proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai,
(2)

mengidentifikasi

dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran

pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu


kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3)
mengidentifikasi dan menganalisis masalah- masalah dan kendala-kendala
instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di
tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta
berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan
mengklarifikasi

nilai-nilai

digunakan sebagai

bahan

moral

yang

kajian

dalam

inti

dan

proses

universal
pendidikan

yang
moral,

dapat
(5)

mengidentifikasi sumber- sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar


pendidikan moral.
c. Penerapan pendidikan moral
1. Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan perbedaan
perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan
identifikasi
yang berujung pada sebuah pengertian mengenai
kondisi perkembangan moral dari peserta didik.
2. Nilai-nilai (moral) berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral
manusia maka perlu di ketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik.
Dengan demikian harus difahami pula proses pemahaman peserta didik
berdasar pada tingkat kesadaran dan tingkat kekuatan nilai kesadaran itu
sendiri
5

3. Guru Sebagai fasilitator, fasilitator dalam memberikan kemungkinan bagi


siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu.
4. Pendidikan Watak/Karakter
a. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah
kemauan,

yang

meliputi

komponen

pengetahuan,

kesadaran

atau

dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Menurut T.

Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang
baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter
dalam konteks pendidikan

di

Indonesia

adalah

pedidikan

nilai,

yakni

pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia


sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
b. Implasi pendidikan Watak/karakter Dalam Undang-undang No 20 tahun 2003
disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
membentuk

watak

serta

peradaban

bangsa

yang

dan

bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik


agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Mengacu pada aturan-aturan dasar tersebut, secara
formal upaya-upaya menyiapkan pendidikan, kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, ,
dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan akhlak dan budi pekerti
generasi muda bangsa memiliki landasan hukum yang kuat.

c. Penerapan Pendidikan Watak/Karater, menurut saya ada beberapa hal yang bisa menjadi
indikator penenaman nilai watak yaitu:

1. Mengembangkan sikap peduli di dalam dan di luar kelas


2. Guru berperan sebagai pembimbing (caregiver), model, dan mentor
3. Menciptakan komunitas kelas yang peduli
4. Memberlakukan disiplin yang kuat
5. Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis
6. Mengajarkan karakter melalui kurikulum
7. Memberlakukan pembelajaran kooperatif
8. Mengembangkan keprigelan suara hati
9. Mendorong dilakukannya refleksi moral
10. Mengajarkan cara-cara menyelesaikan konflik.
6

11. Menjadikan orang tua/wali siswa dan masyarakat sebagai patner dalam
pendidikan karakter.
12. Menciptakan budya karakter yang baik di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai