Anda di halaman 1dari 12

aANALISIS MASALAH

a. Bagaimana penyesuaian fisiologis tubuh saat dilakukan pendakiaan cepat tanpa berhenti?
23

Terjadi peningkatan ventilasi dan peningkatan curah jantung yang memungkinkan


oksigenisasi tidak adekuat ke jaringan dan pemulihan keseimbangan asam-basa tidak
normal. Pembentukan sel darah merah(SDM) meningkat, dirangsang oleh eritropoietin
sebagai respon terhadap berkurangnya penyaluran O2 ke ginjal. Peningkatan jumlah
SDM meningkatkan kemampuan darah mengangkut
BPG(bifosfogliserat)

didalam SDM sehingga

O2

O2 . Hipoksia juga mendorong sintesis


lebih mudah dibebaskan dari Hb di

jaringan. Jumlah kapiler didalam jaringan meningkat, mengurangi jarak yang harus ditempuh

O2 ketika berdifusi dari darah untuk mencapai sel. Peningkatan jumlah SDM meningkatakan
kekentalan darah sehingga resistensi terhadapa aliran darah meningkat. Akibtnya, jantung
berkerja lebih keras untuk memompa darah melewati pembuluh.
b. Bagaimana perbedaan kapasitas udara di paru-paru antara laki-laki dan perempuan? 3 2
Secara anatomis, kapasitas paru total pria lebih besar daripada kapasitas paru total wanita.
Perbedaan melalui pengujian dengan spirometer, menunjukkan bahwa pengukuran dinamik ventilasi
maksimal dan ekspirasi maksimal dalam satu detik (FEV) pada pria rata-rata menunjukkan nilai yang lebih
besar daripada wanita. Laki-laki juga memiliki diameter saluran konduksi udara yang lebih
besar (misal: trakhea), alveolus yang berjumlah lebih banyak, serta luas permukaan difusi yang
lebih besar pula.
Dalam kondisi santai, tidak ada perbedaan bermakna antara pernafasan laki-laki dan perempuan. Namun
pada kondisi ventilasi di bawah
maksimal, wanita cenderung
menunjukkan frekuensi (f) yang lebihtinggi dan volume tidal (VT) yang lebih rendah
dibandingkan pria. Hal ini mungkin dimaksudkan agar minuteventilation (VE) yang merupakan hasil
perkalian antara f dengan VT menjadi tetap.
Pemanfaatan oksigen di jaringan oleh wanita dan pria telah banyak diteliti, namun
masihmenunjukkan konsistensi yang belum bermakna. Sebagai contoh, pengukuran perbedaan
gradien a-v(perbedaan kandungan oksigen di darah arteri dengan darah vena) tidak menunjukkan perbedaan
signifikan.Sementara itu gradien A-a (perbedaan PO2 antara alveoli dengan pembuluh darah) lebih besar
pada wanita sedangkan PaO2 di wanita lebih rendah. Pada akhirnya, ventilasi alveolar (VA), udara
yang masuk dan dapat melakukan kontak dengan alveolus, bandingkan dengan VE pada wanita dan pria adalah
sama.
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi sistem respirasi? 7 3
Frekuensi pernapasan pada manusia merupakan intensitas inspirasi dan ekspirasi udara
pernapasan pada manusia yang dilakukan setiap menit. Dalm keadaan normal proses inspirasi
dan ekspirasi berlangsusng sebanyak 15 sampai dengan 18 kali per menitnya. Akan tetapi,
keadaan ini bisa berubah dan berbeda pada setiap orang dikarenakan ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses inspirasi dan ekspirasi pada
seseorang meliputi:
1. Faktor fisik seperti umur, jenis kelamin, suhu tubuh, posisi tubuh, dan aktivitas tubuh
2. Faktor Psikologi seperti emosi, kejiwaan, perasaan, energi dan aura, dan kestabilan rohani.

a.

1.
2.
3.
4.

Faktor Fisik
Umur

Frekuensi pernapasan yang dilakukan pada anak-anak berbeda denagn frekuensi


pernapasan yang dilakukan orang dewasa. Umumnya, frekuensi pernapasan yang terjadi
pada anak-anak lebih banyak. Pada orang dewasa, frekuensi pernapasan menjadi lebih
lambat dikarenakan aktivitas sel-sel di dalam tubuh mengalami penurunan.
Untuk lebih jelasnya, berikut frekuensi normal berdasarkan umur adalah sebagai berikut:
Usia baru lahir, frekuensi pernapasannya berkisar antara 35-50 kali per menit.
Usia 2-12 tahun, frekuensi pernapasannya berkisar antara 18-26 kali per menit.
Usia dewasa, frkuensi pernapasannya berkisar antara 16-20 kali per menit.
Jenis Kelamin
Pada umumnya dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan pada laki-laki lebih banyak
daripada perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki cenderung membutuhkan energi
yang lebih banyak daripada perempuan sehingga oksigen yang diperlukan pun menjadi
semakin banayk.
Suhu Tubuh
Suhu tuuh mempunyai hubungan yang erat dengan pernapasan. Semakin tinggi suhu
tubuh seseorang maka dia akan membutuhkan energi yang lebih banyak sehingga
kebutuhan akan oksigen pun akan meningkat. Oleh karene itu, frekuensi pernapasan pun
akan lebih sering dilakukan.
Posisi Tubuh
Posisi tubuh ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap frekuensi
pernapasan. Seseorang yang sedang berdiri, frekuensi pernapasannya akan lebih sering
terjadi daripada seseorang yang posisi tubuhnya sedang berbaring. Pada saat kita berdiri
aktivitas otot di dalam tubuh akan lebih sering mengalami kontraksi sehingga oksigen
yang dibutuhkan untuk proses oksidasi di dalm tubuh menjadi lebih banyak, hal ini
mengakibatkan frekuensi inspirasi dan ekspirasi menjadi lebih sering dilakukan.
Sementara itu pada saat berbaring, otot-otot dalam tubuh cenderung erelaksasi sehingga
kebutuhan akan oksigen pun tak sebanyak pada saat kita berdiri.
Aktivitas Tubuh
Seseorang yang memiliki aktivitas tubuh cukup tinggi seperti seorang petani atau atlet,
frekuensi pernapasannya akan lebih tinggi daripada seorang sekretaris yang cenderung
melakukan aktivitas pekerjaanya dengan duduk. Hal ini disebabkan energi yang
diperlukan oleh seorang petani atau atlet lebih banyak jika dibandingkan oleh seseorang
yang beraktivitas denagn cara duduk.
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Frekuensi pernapasandapat berkurang karena bertambahnya usia seseorang
2. Energi yang dibutuhkan oleh orang yang telah lanjut usia lebih sedikit dibandingkan
dengan orang yang masih muda sehingga oksigen yang dibutuhkannya pun menjadi
berkurang.

3. Frekuensi pernapasan pada laki-laki lebih tinggi daripada frekuensi pernapasan pada
seorang perempuan
4. Frekuensi pernapasan pada anak-anak cenderung lebih banyak jika dibandingkan
dengan frekuensi pernapasan pada orang tua
5. Frekuensi pernapasan pada orang yang aktivitas fisiknya lebih tinggi cenderung lebih
sering dibandingkan dengan orang yang aktivitas fisiknya rendah.
b.

Faktor Psikologi
Emosi
Emosi seseorang berpengaruh pada tinggi rendahnya pernapasan seseorang. seseorang
yang sedang emosi seperti marah, frekuensi pernapasannya akan cenderung tinggi
dibandingkan seseorang yang kondisi emosinya stabil atau normal.
Perasaan
Perasaan takut pada seseorang akan mempercepat frekuensi pernapasannya, hal ini
disebabkan aktivitas denyut jantung yang meningkat sehingga tubuh memerlukan asupan
energi yang lebih banyak
Kejiwaan
Kejiwaan berkaitan erat dengan sifat atau karakter seseorang. Seseorang yang
mempunyai jiwa periang cenderung mempunyai aktivitas yang lebih aktif dibandingkan
dengan seseorang yang pemalu. Dengan demikian frekuensi pernapasan pada orang yang
periang cenderung akan lebih tinggi dibanding dengan orang yang pemalu.
Kestabilan Rohani
Seseorang yang mempunyaipemahaman yang baik terhadap ilmu agam, kondisi
rohaninya cenderung akan lebih baik, hati mereka akan diliputi rasa tenang dan tenteram
sehingga jauh dari rasa cemas dan khawatir yang berlebihan.

d. Bagaimana mekanisme drowsiness pada skenario ini? 3 9


e. Bagaimana mekanisme vomitus pada skenario ini? 6 3
Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf saraf yang berlokasi di medulla
oblongata. Saraf saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema

Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga
tengah)

Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik)

Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)


Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari
dua tipe serat saraf aferen vagus.


Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan
distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap
stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah.
Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger
Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua
pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital
dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan
dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak,
obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ.
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan
rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries
dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui
perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat
dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah.
Reseptor sepeti 5-HT , dopamin tipe 2 (D ), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai
3
2
di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik,
dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di
rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah
mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk
melakukan refleks muntah.

f.

Bagaimana mekanisme aklimatisasi sesuai dengan skenario ini? 3 10

P O2

alveolar menurun di tempat tinggi karena tekanan barometrik mengalami penrunan.

Sebagai akibatnya, P O 2 arterial juga menurun (hipoksemia).

Hipoksemia menstimulasi kemoreseptor perifer dan meningkatkan frekuensi pernafasan


(hiperventilasi). Keadaan hiperventilasi ini akan menghasilkan alkalosis respiratorik yang
dapat diatasi dengan pemberian adetazolamid.
Kipoksemia juga menstimulasi roduksi eritropoitin oleh ginjal yang akan meningkatkan
produksi sel darah merah. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi hemoglobin,
peningkatan kapasitas darahuntuk membawa

O2

dan peningkatan kandungan

dalam darah.

Konsentrasi 2,3-DPG meningkat sehingga kurva disosiasi

O2 -hemoglobin bergeser ke

kanan. Sebagai akibatnya terjadi penurunan afinitas hemoglobin terhadap


memfasilitasi pelepasan muatan

O2

O2

yang

O2 ke dalam jaringan tubuh.

Vasokonstriksi pulmonal merupakan akibat hipoksemia yang lain (vasokonstriksi


hipoksia). Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan tekanan arterial pulmonalis, peningkatan
kerja jantung kanan terhadap resistensi yang lebih tinggi dan hipertrofi ventrikel kanan.

LEARNING ISSUES

1. Volume dan Kapasitas Paru-paru 3 10


a. volume paru
terdapat empat volume paru , bila semuanya dijumlahkan, sama dengan volume maksimal
paru yng mengembang
1. volume tidal (VT) adalah volume udara yang diinspirasikan atau diekspirasikan setiap
kali bernafas normal; besarnya kirakira 500 ml pada laki-laki dewasa
2. volume cadangan inspirasi (IRV) adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi
setelah dan diatas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat; besarnya
mencapai 3000 ml
3. volume cadangan ekspirasi (ERV) adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat
diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidal normal; jumlah
normalnya adalah sekitar 1100 ml
4. volume residu (RV) adalah volume udara yang masih tetap berada didalam paru
setelah ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200 ml
b. kapasitas paru
1. kapasitas inspirasi (IC) sama dengan volume tidal ditambah volume cadangan
inspirasi. ini adalah jumlah udara (3500 ml) yang dapat dihirup seseorang, dimulai
pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum
2. kapasitas residu fungsional (FRC) sama dengan volume cadangan ekspirasi ditambah
volume residu. ini adalah jumlah udara yang tersisa dalah paru pada ekhir ekspirasi
normal (kira-kira 2300 ml)
3. kapasitas vital (VC) sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal
dan volume cadangan ekspirasi. ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat
dikeluarkan seseorang, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan
kemudian mengeluarkan sebanyak banyaknya (kira-kira 4600)
4. kapasitas paru total (TLC) adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan
paru sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin (kira-kira 5800 ml). jumlah
ini sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu. (summasi semua volume)
volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih kecil daripada pria,
dan lebih besar lagi pada orang yang atletis dan bertubuh besar daripada orang yang
tubuh kecil dan astenis.
2. Acute Mountain Sickness (AMS) 6 3
Acute mountain sickness adalah kelainan yang sangat umum di ketinggian. Pada lebih dari 3.000
meter 75% orang akan mengalami gejala ringan. Terjadinya AMS tergantung pada elevasi, laju
pendakian, dan kerentanan individu. Banyak orang akan mengalami AMS ringan selama proses
aklimatisasi. Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba di ketinggian dan mulai penurunan
keparahan sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu ringan, sedang, dan berat
(Schommer, 2011).

Beberapa gejala yang bisa dilihat dari pendaki yang mengalami AMS ringan adalah sakit
kepala, mual & pusing, kehilangan nafsu makan, kelelahan, sesak napas, tidur terganggu, dan
perasaan malaise umum (Schommer, 2011). Gejala cenderung lebih buruk pada malam hari
dan ketika irama pernapasan menurun. AMS ringan tidak mengganggu aktivitas normal dan

gejala umumnya mereda dalam waktu dua sampai empat hari sebagai aklimatisasi tubuh.
Selama terjadinya gejala yang ringan, dan hanya mengganggu, pendakian dapat melanjutkan
ke tingkat menengah. Ketika hiking, adalah penting untuk segera mengkomunikasikan gejala

penyakit kepada teman seperjalanan.


Pada AMS sedang, akan sulit untuk beraktivitas normal, meskipun orang masih dapat berjalan
sendiri. Pada tahap ini, hanya terapi medikamentosa yang dapat membalikkan masalah. Turun
ke tempat yang lebih rendah sekitar 300 meter akan menghasilkan beberapa perbaikan, dan 24
jam pada ketinggian yang lebih rendah akan menghasilkan perbaikan yang signifikan. Orang
harus tetap di ketinggian rendah sampai semua gejala sudah reda (sampai 3 hari). Pada titik
ini, orang telah menyesuaikan dengan iklim untuk ketinggian itu dan dapat mulai mendaki
lagi. Tanda-tanda dan gejala AMS sedang meliputi sakit kepala parah yang tidak berkurang
dengan obat-obatan, mual dan muntah, kelelahan, sesak napas, serta penurunan koordinasi

(ataksia).
Dalam kasus AMS berat, terdapat beberapa peningkatan keparahan gejala, seperti sesak
napas saat istirahat, ketidakmampuan untuk berjalan, penurunan status mental, dan bocor
cairan di paru-paru. AMS berat ini mengharuskan pendaki untuk turun ke tempat yang lebih
rendah secepatnya dari ketinggian sebelumnya.

Ada dua kondisi serius yang berhubungan dengan ketinggian AMS berat, yaitu High Altitude
Cerebral Edema (HACE) dan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE).
a. High altitude cerebral edema adalah hasil dari pembengkakan jaringan otak dari kebocoran
cairan. Untuk gejalanya sendiri HACE dapat dilihat dari adanya sakit kepala, rasa lemah,
disorientasi, kehilangan koordinasi, penurunan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
halusinasi & perilaku psikosis, dan koma (Schommer, 2011).
Gejala ini umumnya terjadi setelah seminggu atau lebih pada daerah yang tinggi. Kasus berat
dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Turun ke tempat yang lebih
rendah dengan segera sekitar 600 meter ke bawah adalah upaya menyelamatkan nyawa yang
diperlukan. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan di lapangan, tapi ini
memerlukan pelatihan yang tepat dalam penggunaannya (Schommer, 2011).
b. High altitude pulmonary edema adalah kasus dimana terdapat hasil dari cairan yang terbentuk
di paru-paru. Cairan ini mencegah pertukaran oksigen yang efektif. Ketika kondisi menjadi
lebih parah, tingkat oksigen dalam aliran darah berkurang, yang menyebabkan sianosis,
gangguan fungsi otak, dan kematian (Schommer, 2011).
Gejala HAPE ini meliputi sesak napas pada saat istirahat, sesak di dada, batuk terus-menerus
membesarkan cairan putih, berair, atau berbusa, adanya kelelahan dan kelemahan, perasaan
sesak napas yang akan datang di malam hari, kebingungan, dan perilaku irasional (Schommer,
2011).

Kebingungan, dan perilaku irasional adalah tanda-tanda bahwa oksigen tidak cukup mencapai
otak. Salah satu metode untuk pengujian diri sendiri untuk HAPE adalah untuk memeriksa
waktu pemulihan kita setelah pengerahan tenaga.
Klasifikasi dari HAPE dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi HAPE (Dietz, 2000)
Grade

Symptoms

Signs

Mild

Sesak napas saat melakukan

HR

kegiatan, batuk kering

RR

Moderat

Sesak napas saat istirahat,

dusky nailbeds
HR

kelelahan, batuk serak

RR

Severe

Sesak

cyanotic nailbeds
HR
>

ekstrim,

napas,

kelelahan

sesak

ketika

berbaring (orthopnea)

Chest Xray
(rest)

(rest)

90-100
<20
90-110
16-30

RR
wajah

<

>
&

kuku

Eksudat dalam paruparu kurang dari 25%


Eksudatnya bertambah
menjadi

50%

pada

110

satu atau kedua paru


Eksudat lebih dari

30

50% pada kedua paru

sianosis,

sputum darah, koma


Dalam kasus HAPE, turun ke tempat yang lebih rendah secepatnya sekitar 600 meter ke
bawah adalah hal yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Siapapun yang menderita HAPE
harus dievakuasi ke fasilitas medis untuk tindak lanjut yang tepat pengobatan (Dietz, 2000).
Penanganan Kasus High Altitude Illness
1 Penanganan Acute Mountain Sickness (AMS)
Obat terbaik guna mencegah kerusakan lebih lanjut pada AMS adalah melakukan aklimatisasi
atau turun ke tempat yang lebih rendah. Gejala AMS ringan dapat diobati dengan pembunuh rasa sakit
untuk sakit kepala, acetazolamide dan deksametason. Hal ini membantu untuk mengurangi keparahan
gejala, tapi ingat, mengurangi gejala tidak menyembuhkan masalah dan bahkan bisa memperburuk
masalah dengan menutupi gejala lain (Fiore, 2010).
Acetazolamide memungkinkan pendaki untuk bernapas lebih cepat sehingga membantu
metabolisme dengan persediaan oksigen yang lebih banyak, sehingga meminimalkan gejala-gejala
yang disebabkan oleh miskinnya oksigenasi yang sangat membantu pada malam hari ketika
kemampuan pernapasan menurun. Dosis pemberian acetazolamide adalah 125 mg po setiap 12 jam,
dan pendaki diharuskan untuk tidak melanjutkan pendakiannya sampai gejala-gejala AMS hilang
secara total. Namun, acetazolamide tidak memproteksi sepenuhnya pendaki yang telah membaik dan
ingin melanjutkan pendakiannya. Acetazolamide ini sendiri merupakan obat sulfonamide derivative,

sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pendaki yang menderita alergi sulfa (Stephen,
2010).
Acute mountain sickness ini juga dapat ditangani dengan pemberian deksametason 4 mg per
oral atau intramuscular setiap 6 jam sebanyak 2 dosis. Pendaki tidak boleh melanjutkan pendakiannya
sampai membaik kurang lebih 18 jam (Fiore, 2010). Deksametason ini sendiri memiliki efek anti
inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin. Pendaki yang mengalami AMS juga
bisa diberikan terapi oksigen hiperbarik menggunakan hyperbaric bag dengan kecepatan pemberian
oksigen 4 liter/menit. Bentuk dari hyperbaric bag dapat dilihat di gambar 2 di bawah (Stephen, 2010).

Gambar 2. Hyperbaric Bag (Dietz, 2000)


2 Penanganan High Altitude Cerebral Edema (HACE)
High altitude cerebral edema merupakan kasus lanjutan setelah seorang pendaki
mengalami AMS. Hal ini bisa terjadi akibat kurangnya oksigen sehingga menimbulkan kebocoran
kapiler yang menyebabkan edema karena akumulasi cairan di otak (Fiore, 2010).
Dalam penanganannya, pemilihan deksametason merupakan obat yang tepat, karena
deksametason ini adalah obat steroid yang kuat dan dapat menyelamatkan jiwa pada orang dengan
HACE, dimana obat ini bekerja dengan mengurangi pembengkakan dan mengurangi tekanan dalam
rongga kepala. Obat ini membeli waktu terutama pada malam hari ketika mungkin saja terjadi
masalah untuk turun. Tidaklah bijaksana untuk naik saat menggunakan deksametason. Deksametason
dapat sangat efektif. Misalnya, banyak orang yang lesu atau bahkan koma akan membaik secara
signifikan setelah menerima deksametason baik tablet atau suntikan, dan bahkan tidak terkecuali para
pendaki yang turun dengan bantuan (Fiore, 2010).
Pemberian deksametason dengan dosis awal 8 mg IM diikuti 4 mg IM/po setiap 6 jam
adalah penanganan yang dianjurkan. Pendaki gunung juga kadang-kadang membawa obat ini untuk

mencegah atau mengobati AMS. Perlu digunakan hati-hati, karena bagaimanapun juga obat ini dapat
menyebabkan iritasi lambung. Pada orang alergi terhadap obat sulfa, deksametason juga dapat
digunakan untuk pencegahan, dengan dosis 4 mg dua kali sehari selama sekitar tiga hari. Ibuprofen
(600 mg tiga kali sehari) juga dapat diberikan dan efektif dalam menghilangkan sakit kepala akibat
ketinggian. Terapi oksigen hiperbarik juga bisa menjadi pilihan dalam menangani kasus HACE ini
(Dietz, 2000).

Gambar 3. MRI dari High Altitude Cerebral Edema (Dietz, 2000)


3 Penanganan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE)
Patofisiologi HAPE sudah jelas berbeda dari AMS ataupun HACE. HAPE diawali dengan
adanya vasokontriksi dari pembuluh darah paru yang disebabkan oleh hipoksia, sehingga terjadi
perpindahan darah dari pembuluh darah menuju paru-paru dan menghasilkan hipertensi paru-paru.
Sama seperti HACE, pendaki dengan diagnosis HAPE sangat diwajibkan untuk segera turun.
Pasien sebaiknya diangkut dengan tandu, karena berjalan dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonar
yang akan memperburuk gejala. Usahakan juga pasien dalam keadaan hangat agar tekanan arterinya
tidak kembali meningkat.
Pemberian nifedipine merupakan terapi yang dianjurkan untuk kasus ini. Pasien diharuskan
mengunyah 10 mg + 10 mg yang ditelan di awal, dan dilanjutkan dengan 10 mg po setiap 4 jam. Bila
pasien koma, hancurkan nifedipine dan diminumkan kepada pasien. Nifedipine ini bersifat
memvasodilatasikan pulmonar dan juga menghilangkan hipertensi pulmonar. Obat ini juga bisa
meningkatkan saturasi oksigen, walaupun beresiko menimbulkan hipotensi (Paralikar, 2010).
Selain nifedipine, penggunaan hyperbaric bag juga bisa dilakukan guna mempercepat waktu
perbaikan tekanan bagi tubuh pasien yang gagal beraklimatisasi. Bedrest dan pemberian furosemide
80 mg tiap 12 jam juga dapat membantu terapi untuk pasien dengan gejala HAPE (Dietz, 2000).

Gambar 4. HAPE chest X-ray (Dietz, 2000)


Pencegahan Kasus High Altitude Illness
Pencegahan high altitude illness bisa difokuskan terhadap AMS, karena HACE dan HAPE tak
akan terjadi bila tidak diawali dengan AMS. Beberapa pedoman yang dapat diikuti guna menjaga
kenyamanan dalam pendakian antara lain (Schommer, 2011):
a. Jika mungkin, jangan berlari atau mendaki terlalu cepat dalam 24 jam pertama untuk ketinggian
yang tinggi. Mulai di bawah 3.000 meter dan seterusnya.
b. Jika mendaki dimulai di atas 3.000 meter, tingkatkan ketinggian sebanyak 300 meter per hari,
dan untuk setiap 900 meter dari elevasi yang diperoleh, ambil hari istirahat untuk menyesuaikan
diri.
c. Mendaki ke tempat tinggi dan usahakan tidur di tempat yang lebih rendah! Pendaki bisa naik
lebih dari 300 meter dalam satu hari selama bisa kembali turun dan tidur di ketinggian yang lebih
rendah.
d. Jika pendakian dimulai dari ketinggian moderat, jangan dulu mendaki sampai gejala penyakit
berkurang. Jadi bila gejala malah meningkat, usahakan untuk turun ke tempat yang lebih rendah
terlebih dahulu.
e. Perlu diingat bahwa setiap orang berbeda ketahanannya pada ketinggian yang berbeda-beda pula.
Pastikan setiap orang dalam tim kita benar-benar mampu menyesuaikan dengan iklim dan
ketinggian sebelum mendaki ke tempat yang lebih tinggi.
f.

Tetap terhidrasi dan minum dengan baik. Aklimatisasi sering disertai dengan kehilangan cairan,
sehingga kita perlu untuk minum banyak cairan untuk tetap terhidrasi dengan baik (setidaknya 46 liter per hari). Output urin harus berlimpah dan jernih, kuning pucat.

g. Kalau bisa beraktivitaslah pada cahaya di siang hari, hal ini lebih baik daripada tidur karena
pernapasan menurun selama tidur sehingga dapat memperburuk gejala.

h. Hindari tembakau, alkohol dan obat-obatan depresan lainnya termasuk, barbiturat, penenang,
obat tidur dan opiat seperti dihydrocodeine. Ini lebih lanjut menurunkan ritme pernapasan saat
tidur yang mengakibatkan memburuknya gejala.
i.

Makan makanan berkalori tinggi sementara saat berada pada ketinggian.

j.

Ingat: Aklimatisasi dihambat oleh kelelahan, dehidrasi, dan alkohol.

Guyton, Arthur C. 2013. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 12. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: ECG
Costanzo, Linda S.2012. Essential Fisiologi Kedokteran Edisi 5. Tangerang Selatan:
Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai