a. Bagaimana penyesuaian fisiologis tubuh saat dilakukan pendakiaan cepat tanpa berhenti?
23
O2
jaringan. Jumlah kapiler didalam jaringan meningkat, mengurangi jarak yang harus ditempuh
O2 ketika berdifusi dari darah untuk mencapai sel. Peningkatan jumlah SDM meningkatakan
kekentalan darah sehingga resistensi terhadapa aliran darah meningkat. Akibtnya, jantung
berkerja lebih keras untuk memompa darah melewati pembuluh.
b. Bagaimana perbedaan kapasitas udara di paru-paru antara laki-laki dan perempuan? 3 2
Secara anatomis, kapasitas paru total pria lebih besar daripada kapasitas paru total wanita.
Perbedaan melalui pengujian dengan spirometer, menunjukkan bahwa pengukuran dinamik ventilasi
maksimal dan ekspirasi maksimal dalam satu detik (FEV) pada pria rata-rata menunjukkan nilai yang lebih
besar daripada wanita. Laki-laki juga memiliki diameter saluran konduksi udara yang lebih
besar (misal: trakhea), alveolus yang berjumlah lebih banyak, serta luas permukaan difusi yang
lebih besar pula.
Dalam kondisi santai, tidak ada perbedaan bermakna antara pernafasan laki-laki dan perempuan. Namun
pada kondisi ventilasi di bawah
maksimal, wanita cenderung
menunjukkan frekuensi (f) yang lebihtinggi dan volume tidal (VT) yang lebih rendah
dibandingkan pria. Hal ini mungkin dimaksudkan agar minuteventilation (VE) yang merupakan hasil
perkalian antara f dengan VT menjadi tetap.
Pemanfaatan oksigen di jaringan oleh wanita dan pria telah banyak diteliti, namun
masihmenunjukkan konsistensi yang belum bermakna. Sebagai contoh, pengukuran perbedaan
gradien a-v(perbedaan kandungan oksigen di darah arteri dengan darah vena) tidak menunjukkan perbedaan
signifikan.Sementara itu gradien A-a (perbedaan PO2 antara alveoli dengan pembuluh darah) lebih besar
pada wanita sedangkan PaO2 di wanita lebih rendah. Pada akhirnya, ventilasi alveolar (VA), udara
yang masuk dan dapat melakukan kontak dengan alveolus, bandingkan dengan VE pada wanita dan pria adalah
sama.
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi sistem respirasi? 7 3
Frekuensi pernapasan pada manusia merupakan intensitas inspirasi dan ekspirasi udara
pernapasan pada manusia yang dilakukan setiap menit. Dalm keadaan normal proses inspirasi
dan ekspirasi berlangsusng sebanyak 15 sampai dengan 18 kali per menitnya. Akan tetapi,
keadaan ini bisa berubah dan berbeda pada setiap orang dikarenakan ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses inspirasi dan ekspirasi pada
seseorang meliputi:
1. Faktor fisik seperti umur, jenis kelamin, suhu tubuh, posisi tubuh, dan aktivitas tubuh
2. Faktor Psikologi seperti emosi, kejiwaan, perasaan, energi dan aura, dan kestabilan rohani.
a.
1.
2.
3.
4.
Faktor Fisik
Umur
3. Frekuensi pernapasan pada laki-laki lebih tinggi daripada frekuensi pernapasan pada
seorang perempuan
4. Frekuensi pernapasan pada anak-anak cenderung lebih banyak jika dibandingkan
dengan frekuensi pernapasan pada orang tua
5. Frekuensi pernapasan pada orang yang aktivitas fisiknya lebih tinggi cenderung lebih
sering dibandingkan dengan orang yang aktivitas fisiknya rendah.
b.
Faktor Psikologi
Emosi
Emosi seseorang berpengaruh pada tinggi rendahnya pernapasan seseorang. seseorang
yang sedang emosi seperti marah, frekuensi pernapasannya akan cenderung tinggi
dibandingkan seseorang yang kondisi emosinya stabil atau normal.
Perasaan
Perasaan takut pada seseorang akan mempercepat frekuensi pernapasannya, hal ini
disebabkan aktivitas denyut jantung yang meningkat sehingga tubuh memerlukan asupan
energi yang lebih banyak
Kejiwaan
Kejiwaan berkaitan erat dengan sifat atau karakter seseorang. Seseorang yang
mempunyai jiwa periang cenderung mempunyai aktivitas yang lebih aktif dibandingkan
dengan seseorang yang pemalu. Dengan demikian frekuensi pernapasan pada orang yang
periang cenderung akan lebih tinggi dibanding dengan orang yang pemalu.
Kestabilan Rohani
Seseorang yang mempunyaipemahaman yang baik terhadap ilmu agam, kondisi
rohaninya cenderung akan lebih baik, hati mereka akan diliputi rasa tenang dan tenteram
sehingga jauh dari rasa cemas dan khawatir yang berlebihan.
Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga
tengah)
Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik)
Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan
distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap
stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah.
Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger
Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua
pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital
dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan
dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak,
obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ.
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan
rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries
dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui
perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat
dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah.
Reseptor sepeti 5-HT , dopamin tipe 2 (D ), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai
3
2
di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik,
dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di
rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah
mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk
melakukan refleks muntah.
f.
P O2
O2
dalam darah.
O2 -hemoglobin bergeser ke
O2
O2
yang
LEARNING ISSUES
Beberapa gejala yang bisa dilihat dari pendaki yang mengalami AMS ringan adalah sakit
kepala, mual & pusing, kehilangan nafsu makan, kelelahan, sesak napas, tidur terganggu, dan
perasaan malaise umum (Schommer, 2011). Gejala cenderung lebih buruk pada malam hari
dan ketika irama pernapasan menurun. AMS ringan tidak mengganggu aktivitas normal dan
gejala umumnya mereda dalam waktu dua sampai empat hari sebagai aklimatisasi tubuh.
Selama terjadinya gejala yang ringan, dan hanya mengganggu, pendakian dapat melanjutkan
ke tingkat menengah. Ketika hiking, adalah penting untuk segera mengkomunikasikan gejala
(ataksia).
Dalam kasus AMS berat, terdapat beberapa peningkatan keparahan gejala, seperti sesak
napas saat istirahat, ketidakmampuan untuk berjalan, penurunan status mental, dan bocor
cairan di paru-paru. AMS berat ini mengharuskan pendaki untuk turun ke tempat yang lebih
rendah secepatnya dari ketinggian sebelumnya.
Ada dua kondisi serius yang berhubungan dengan ketinggian AMS berat, yaitu High Altitude
Cerebral Edema (HACE) dan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE).
a. High altitude cerebral edema adalah hasil dari pembengkakan jaringan otak dari kebocoran
cairan. Untuk gejalanya sendiri HACE dapat dilihat dari adanya sakit kepala, rasa lemah,
disorientasi, kehilangan koordinasi, penurunan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
halusinasi & perilaku psikosis, dan koma (Schommer, 2011).
Gejala ini umumnya terjadi setelah seminggu atau lebih pada daerah yang tinggi. Kasus berat
dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Turun ke tempat yang lebih
rendah dengan segera sekitar 600 meter ke bawah adalah upaya menyelamatkan nyawa yang
diperlukan. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan di lapangan, tapi ini
memerlukan pelatihan yang tepat dalam penggunaannya (Schommer, 2011).
b. High altitude pulmonary edema adalah kasus dimana terdapat hasil dari cairan yang terbentuk
di paru-paru. Cairan ini mencegah pertukaran oksigen yang efektif. Ketika kondisi menjadi
lebih parah, tingkat oksigen dalam aliran darah berkurang, yang menyebabkan sianosis,
gangguan fungsi otak, dan kematian (Schommer, 2011).
Gejala HAPE ini meliputi sesak napas pada saat istirahat, sesak di dada, batuk terus-menerus
membesarkan cairan putih, berair, atau berbusa, adanya kelelahan dan kelemahan, perasaan
sesak napas yang akan datang di malam hari, kebingungan, dan perilaku irasional (Schommer,
2011).
Kebingungan, dan perilaku irasional adalah tanda-tanda bahwa oksigen tidak cukup mencapai
otak. Salah satu metode untuk pengujian diri sendiri untuk HAPE adalah untuk memeriksa
waktu pemulihan kita setelah pengerahan tenaga.
Klasifikasi dari HAPE dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi HAPE (Dietz, 2000)
Grade
Symptoms
Signs
Mild
HR
RR
Moderat
dusky nailbeds
HR
RR
Severe
Sesak
cyanotic nailbeds
HR
>
ekstrim,
napas,
kelelahan
sesak
ketika
berbaring (orthopnea)
Chest Xray
(rest)
(rest)
90-100
<20
90-110
16-30
RR
wajah
<
>
&
kuku
50%
pada
110
30
sianosis,
sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pendaki yang menderita alergi sulfa (Stephen,
2010).
Acute mountain sickness ini juga dapat ditangani dengan pemberian deksametason 4 mg per
oral atau intramuscular setiap 6 jam sebanyak 2 dosis. Pendaki tidak boleh melanjutkan pendakiannya
sampai membaik kurang lebih 18 jam (Fiore, 2010). Deksametason ini sendiri memiliki efek anti
inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin. Pendaki yang mengalami AMS juga
bisa diberikan terapi oksigen hiperbarik menggunakan hyperbaric bag dengan kecepatan pemberian
oksigen 4 liter/menit. Bentuk dari hyperbaric bag dapat dilihat di gambar 2 di bawah (Stephen, 2010).
mencegah atau mengobati AMS. Perlu digunakan hati-hati, karena bagaimanapun juga obat ini dapat
menyebabkan iritasi lambung. Pada orang alergi terhadap obat sulfa, deksametason juga dapat
digunakan untuk pencegahan, dengan dosis 4 mg dua kali sehari selama sekitar tiga hari. Ibuprofen
(600 mg tiga kali sehari) juga dapat diberikan dan efektif dalam menghilangkan sakit kepala akibat
ketinggian. Terapi oksigen hiperbarik juga bisa menjadi pilihan dalam menangani kasus HACE ini
(Dietz, 2000).
Tetap terhidrasi dan minum dengan baik. Aklimatisasi sering disertai dengan kehilangan cairan,
sehingga kita perlu untuk minum banyak cairan untuk tetap terhidrasi dengan baik (setidaknya 46 liter per hari). Output urin harus berlimpah dan jernih, kuning pucat.
g. Kalau bisa beraktivitaslah pada cahaya di siang hari, hal ini lebih baik daripada tidur karena
pernapasan menurun selama tidur sehingga dapat memperburuk gejala.
h. Hindari tembakau, alkohol dan obat-obatan depresan lainnya termasuk, barbiturat, penenang,
obat tidur dan opiat seperti dihydrocodeine. Ini lebih lanjut menurunkan ritme pernapasan saat
tidur yang mengakibatkan memburuknya gejala.
i.
j.
Guyton, Arthur C. 2013. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 12. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: ECG
Costanzo, Linda S.2012. Essential Fisiologi Kedokteran Edisi 5. Tangerang Selatan:
Binarupa Aksara.