Ikterus Neonatorum
Ikterus Neonatorum
IKTERUS NEONATORUM
Oleh
Andik Sunaryanto (0402005114)
Pembimbing
dr. I Nyoman Suciawan Sp. A
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nyalah maka tinjauan pustaka dan laporan kasus yang berjudul Ikterus Neonatorum
ini dapat selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan tinjauan pustaka dan laporan
kasus ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik madya di
bagian/SMF Ilmu Kesehatan anak FK UNUD/RSUD Singaraja.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas ini banyak mendapat bantuan dari
bergagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan rasa
terima kasih kepada:
1. Dr. Ketut Budiyasa Sp.A selaku kepala bagian di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Singaraja.
2. Dr. I Nyoman Suciawan Sp.A selaku pembimbing dalam penulisan responsi kasus ini.
3. Dr. Ketut Alit Sp. A dan semua staf medis bagian ilmu kesehatan anak RSUD Singaraja.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan sehingga dapat dihasilkan tinjauan
pustaka dan laporan kasus yang lebih baik di kemudian hari.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................2
2.1. Definisi ......................................................................................2
2.2. Epidemiologi ..............................................................................2
2.3. Metabolisme Bilirubin................................................................3
2.4. Etiologi, Faktor Risiko, Klasifikasi............................................3
2.5. Penegakan Diagnosis..................................................................7
2.6. Penatalaksanaan 10
2.7. Komplikasi..................................................................................13
BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................................15
3.1. Identitas 15
3.2. Anamnesis...................................................................................15
3.3. Pemeriksaan Fisik ......................................................................16
3.4. Usulan Pemeriksaan.................................................................... 17
3.5. Hasil Laboratorium 18
3.6. Diagnosa 19
3.7. Problem List .. 19
3.8. Penatalaksanaan.......................................................................... 19
3.9. Riwayat Perjalanan Penyakit Selama di RS .. 19
BAB IV. PEMBAHASAN 22
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB 2
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus
adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Atau
disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. 1,2
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena
jumlah
eritosit
pada
neonatus
lebih
banyak
dan
usianya
lebih
pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR
(Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah
karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi
usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati
bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit
disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. 1,2,3
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12
mg/dL pada minggu pertama kehidupan.4 RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup
bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di
atas 13 mg/dL.5 Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar
bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi
cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal
(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data
yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
5
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.4
2.3 Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari
hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang
mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air
tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah
melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut
kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme
ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati.
Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z
dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya
proses konjugasi.1
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar
tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini
dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini
terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun
kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi
cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian
bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul
apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi
6
di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel
tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian. 5,6
2.4. Etiologi, Faktor Risiko, Klasifikasi
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
a. Meningkatnya produksi bilirubin:
- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.
b. Penurunan ekskresi bilirubin
- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) sehingga terjadi penurunan uptake
dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati.
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya
enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
2. Faktor Risiko 4
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI.
b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
3. Klasifikasi 4,5,6
Ada 2 macam ikterus neonatorum:
1. Ikterus Fisiologis 4,5,6
Infeksi
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada
NKB)
4. Infeksi
5. Neonatal hepatitis
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Pemeriksaan penyaring G6PD
d. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya
tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
icterus.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut: 9
-
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
(tabel 1)
Kuning
terlihat
pada:
Bagian tubuh
manapuna
Lengan dan
Tungkaia
Tangan dan
Kaki
Tingkat
Keparaha
n Ikterus
Berat
11
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan
kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya.
Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .
diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila
kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.4
Penjelasan
h
ikterus
1
Kepala dan leher
48
5 12
5 12
7 15
8 16
9 18
11 18
> 10
> 15
pergelangan tangan
5
12
telapak tangan
2.6 Penatalaksanaan
1). Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum
kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut: 4
-
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.
2. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti
dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum
transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin
dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah
dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar
sebagai sumber energi.
3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi
tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca
transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah:11
a. bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.
b. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat
diberikan dosis kedua selama 24 jam.
4. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :11
a.Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c.Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Tabel 2.2 Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubin
serum
(mg/dL)
<5
5-9
10-14
15-19
>20
<24 jam
<2500 >2500
24-48 jam
<2500 >2500
49-72 jam
<2500 >2500
>72 jam
<250 >2500
0
Transfusi tukar
bila hemolisis
Transfusi tukar
Terapi sinar
Transfusi tukar
Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Sanglah, Denpasar, cetakan II
14
3) Monitoring 12
Monitoring yang dilakukan antara lain:
1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi
mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila
sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.
4) Strategi Pencegahan 4
Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
Pencegahan Sekunder
Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.
2.7 Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin
adalh sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin
tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern
15
icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan
oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan
suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan
rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda
hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain:1
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes,
keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),
gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut
sebagai berikut: 1
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
16
BAB III
LAPORAN KASUS
: By. DS
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Alamat
Tanggal Lahir
: 13 September 2009
MRS
: Lemah
Frekuensi napas
: 38 kali/menit
HR
Temperatur
: 36,70 C
Berat Badan
: 2520 gram
Status general
Kepala
Mata
Hidung
Tenggorokan :
Inspeksi
benjolan (-)
Palpasi
simetris
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Inspeksi
Distensi (-)
Auskultasi
Perkusi
timpani
Palpasi
Leher
Thorak
Jantung
Paru
Abdomen
Extremitas
deformitas (-)
Kramer V
3.4 Usulan Pemeriksaan
Neu
Lym
Mo
Eo
Ba
RBC
: 47,6 %
(36,0-56,0)
MCV : 109 fL
(60-100)
MCH : 35 pg
(27-32)
(32-36)
PLT
Lym
Mo
Eo
Ba
RBC
: 43,9 %
(36,0-56,0)
MCV : 109 fL
(60-100)
MCH : 34,7 pg
(27-32)
(32-36)
PLT
: 246 (103/L)
(120-380)
Nampak kuning
Sepsis
3.8 Penatalaksanaan
IVFD Kaen 4A 8 tetes/menit
Cefotaxim 2x 200mg
Ampicillin 2x150mg
Aminofilin 2x150mg
Sonde ASI 10-15 cc
3.9 Riwayat Perjalanan Penyakit Selama di RS
Tanggal
24/9/200
Subjektif/Objektif
BBL: 2500 gr BBS: 2400 gr
Tax: 37 C
tetes/menit
Cefotaxime 2x 150mg
keluhan
Cek
panas,
tidak
Assessment
Obs. Febris
mau
Planning
IVFD Kaen 4A 8
kemampuan
menetek
Cek DL
lemah,
gerak/tangis
(+)
menetek (+)
Darah lengkap, tanggal 24
September 2009
WBC : 14,5 K/L (4,0 9,0)
RBC
: 47,6 %
(36,0-56,0)
25/9/200
tetes/menit
Cefotaxime 2x 150mg
Sepsis
IVFD Kaen 4A 8
21
26/9/200
Sepsis
ASI
Tx/ lanjut
Sepsis
Tx/ lanjut
Sepsis
Fototerapi
28/9/200
10-15 cc/jam.
ikterus (+)
IVFD Kaen 4A 8
tetes/menit
Cefotaxime 2x 150mg
29/9/200
Pukul
07.30
bayi
Sepsis
IVFD Kaen 4A +
glukosa 40% 50 cc
15 tetes/menit
resusitasi berhasil.
Cefotaxime 2x 200mg
Aminofilin 2x150mg
Bilirubin
Pukul 12.15
Cefotaxim 2x 200mg
Ampicillin 2x150mg
Tx/lain lanjut.
HCT 43,9
PLT 246 (103)
Bil. Total 15,14 (0,0-1,6) mg/dl
22
Sepsis
Tx/ lanjut
Minum oral
menghisap kuat
1/10/200
Sepsis
KAEN 4A 6 tetes
Cefotaxim 2x200mg
minum kuat
Ampicillin 2x150mg
Stop fototerapi
ASI
BAB 4
PEMBAHASAN
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
23
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah
keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. Ikterus neonatorum, pada umumnya fisiologis,
kecuali:
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
b. Bilirubin total untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan > 10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/hari
d. Bilirubin direk > 2 mg/dL
e. Ikterus menetap pada bayi cukup bulan > 1 minggu atau pada bayi kurang bulan > 2
minggu
f. Terdapat faktor risiko
Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan dengan:
Dapat digunakan cara visual (sesuai panduan WHO), atau derajat kramer. Dan didukung dengan
pemeriksaan serum bilirubin. Pendekatan penegakkan diagnosis dan menentukan kemungkinan
penyebab pada pasien ini adalah menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan
oleh Harper dan Yoon yaitu:7
kemungkinan penyebab ikterus pada pada akhir minggu pertama dan selanjutnya adalah: (1)
obstruksi (2) Hipotiroidisme (3)Breast milk jaundice (4)Infeksi/sepsis (5)Neonatal hepatitis
Pada kasus ini pasien didapatkan ikterus neonatorum + hiperbilirubinemia + sepsis, hal
ini didukung dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Penyebab ikterus pada bayi ini
adalah sepsis. Pasien dikeluhkan panas badan sejak pagi tanggal 24/09/09. Pasien dikatakan tidak
mau menetek, padahal sebelumnya dikatakan netek kuat, kemudian siang hari pasien dikatakan
panas badan, lalu dibawa ke bidan. Puyer belum sempat diberikan oleh orangtua pasien, hanya
sirup yang diberikan ke pasien, setelah minum sirup, panas menurun. Ketika dibidan, oleh
bidan dikatakan bahwa bayi layu sehingga akhirnya dirujuk ke RS pada malam harinya. Keluhan
lain pasien pilek sejak dari lahir sampai saat SMRS (umur 11 hari), pilek dikatakan tersumbat,
tidak meler. Sudah dibawa berobat kebidan pada usia 5 hari dan diberi sirup (obatnya lupa
namanya, sirup yang diberikan sama dengan sirup penurun panas), namun belum sembuh juga
sampai dengan pasien dibawa ke RS. Bayi baru kelihatan kuning pada tanggal 28/9/09 (umur 15
hari).
24
38kali/menit,
HR 134 kali/menit, regular, isi cukup, suhu 36,70 C, berat badan 2520 gram. Didapatkan ikterus,
penampakan fisik kramer V. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Dari pemeriksaan penunjang 24/9/09 didapatkan kelainan leukositosis, WBC 14,5 K/L
RBC 4,37 HGB 15,3 (g/dL) HCT 47,6 %
2009, WBC
: 21,8 K/L, RBC 4,03, HGB 13,9 (g/dL), HCT 43,9 %, PLT 246 (103/L).
Bilirubin total 15,14 (0,0-1,6) mg/dl, Bilirubin direct 2,74 (0,0-1,6) mg/dl.
Pada kasus ini dari anamnesis diketahui bahwa tubuh pasien berwarna kuning mulai dari
kepala hingga telapak kaki sehingga sampai termasuk daerah ikterus no.5. Daerah ikterus no.5
pada bayi prematur menunjukkan kadar bilirubin > 10 mg/dL. Hal ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan lab di mana kadar bilirubin total sebesar 15,14 mg/dL sehingga cara Kramer
kemungkinan masih relevan untuk dipakai, walaupun pengalaman membuktikan bahwa derajat
intensitas ikterus tidak selalu sama dengan tingginya kadar bilirubin darah.1
Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum adalah Fototerapi atau transfusi tukar.
Bilirubin
serum
(mg/dL)
<5
5-9
10-14
15-19
>20
<24 jam
<2500 >2500
24-48 jam
<2500 >2500
49-72 jam
<2500 >2500
>72 jam
<250 >2500
0
Transfusi tukar
bila hemolisis
Transfusi tukar
Terapi sinar
Transfusi tukar
Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Sanglah, Denpasar, cetakan II
Pada kasus ini, jika dilihat dari bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya
dan kadar bilirubin maka pasien ini seharusnya mendapat terapi terapi sinar (fototerapi) di mana
indikasi terapi pada pasien ini telah terpenuhi dimana Indikasi terapi sinar adalah bayi kurang
bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL. 11
Mekanisme kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang
larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi
cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi
25
isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui
empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada
manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole
yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya
dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang
bisa diekskresikan lewat urin.
Terapi suportif, antara lain Pemberian ASI dan infus cairan dengan dosis rumatan.
Pada pasien ini diberikan IVFD Kaen 4A ~ 15 tetes/menit, Sonde ASI 10-15 cc. Pemberian
Cefotaxime 2x 200mg untuk penanganan sepsis. Pada pasien juga diberikan Aminofilin
2x150mg dimana sebelumnya pasien memiliki riwayat apneu (29/9/09) pada pukul 07.30.
Perkembangan pasien saat dirawat selanjutnya menunjukkan perbaikan, sudah tidak pernah
apneu, suhu badan sudah menurun, mampu minum ASI kuat, kuning menghilang, sehingga pada
tanggal 1/10/09 fototerapi dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelpia: WB Saunders
Company.
2. Liawati R. 2008. Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir pada bayi Ny D
dengan Ikterik grade IV. Padang: Poltekes Depkes.
26
3. Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
4. Sudigdo dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta: HTA Indonesia.
5. Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI
6. Arianti, R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985.
Perinatologi, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
8. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 114:297316.
9. WHO. 2003. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives.
Departement of Reproductive Health and Research. Geneva: World Health Organization.
10. Martin
CR, Cloherty JP. 2004. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins.
11. Hamid, H.A. 2000. Ikterus Neonatorum, dalam: Suraatmaja, S., Soetjiningsih (eds),
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II,
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah.
12. Kosim, M.S., Santosa, G.I., dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I,
27