Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Mikrobiologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme (makhluk) kecil yang tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop.
Mikrobiologi merupakan salah satu cabang ilmu dari biologi yang mempunyai berbagai macam
disiplin ilmu. Salah satu disiplin ilmu yang mempelajari tentang peranan mikroorganisme di
dalam lingkungan adalah mikrobiologi lingkungan. Lingkungan yang termasuk dalam
mikrobiologi lingkungan adalah air, tanah, dan udara.
Mikroorganisme adalah organisme hidup yang sangat kecil, yang tidak dapat dilihat tanpa
menggunakan mikroskop. Mikroorganisme dapat merasakan dan beradaptasi dengan perubahan
dalam lingkungan mereka. Ketika nutrisi yang dibutuhkan tersebut mulai habis, beberapa
mikroorganisme tersebut dapat menjadi motil untuk mencari nutrisi, atau mereka dapat
menghasilkan enzim untuk mengeksploitasi sumber daya alternatif. Bahkan untuk beberapa
mikroorganisme, dapat bertahan dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dengan cara adaptasi
yang berbeda-beda pada setiap mikroorganisme. Interaksi antara mikroorganisme, baik dari
penyebaran nya dan kemampuan beradaptasinya dengan lingkungan yang ekstrim disebut
mikrobiologi lingkungan ekstrim.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Mikrobiologi Lingkungan Ekstrim
Mikrobiologi lingkungan ekstrim merupakan interaksi antara mikroorganisme, baik dari
penyebaran nya dan kemampuan beradaptasinya dengan lingkungan yang ekstrim (Pelczar dan
Chan, 2005). Kemampuan mikroorganisme dalam beradaptasi dalam lingkungan ekstrim tersebut
sangat bervariasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari lingkungan tersebut adalah
temperatur (tinggi mendekati titik didih air dan rendah mendekati titik beku air), pH (Sangat
asam dan sangat basa), konsentrasi garam, nilai ketersediaan air, tekanan, konsentrasi nutrient,
dan kadar senyawa toksik (Gomes dan Steiner, 2004). Lingkungan dengan temperatur yang
ekstrim antara lain adalah hot springs, salt lake, dan desert soil. Mikroorganisme yang dapat
hidup pada lingkungan ekstrim disebut dengan mikroorganisme termofilik (Hartiko, 1992).
Kelompok mikroorganisme tersebut adalah algae, fungi, protozoa, cyanobacteria, eubacteria, dan
archaebacteria (Hartiko, 1992).
Pada mikroorganisme, ada beberapa jenis mikroba yang dapat bertahan hidup pada situasi
atau lingkungan yang ekstrim, yaitu termofilik, barofilik, xerofilik, dan halofilik (Gomes dan
Steiner, 2004).

2.2 Mikroorganisme Termofilik


Mikroorganisme termofilik adalah organisme, terutama mikroorganisme yang mampu
beradaptasi tumbuh optimal pada suhu tinggi. Mikroorganisme termofil telah berhasil diisolasi
dari habitat terestrial maupun perairan dengan suhu tinggi misalnya daerah gunung berapi dan
sumber air panas (Prescott et al, 2008).
Berdasarkan temperatur optimum pertumbuhannya, maka termofilik dapat dijadikan dalam 3
kategori yaitu (Kathleen, 2008):

A. Moderate thermophiles dengan temperatur pertumbuhan optimum berkisar antara 35-70C


B. Extreme thermophiles,temperatur pertumbuhan optimum berkisar 55-85C
C. Hyperthermophiles, temperatur pertumbuhan optimum berkisar 75-113C
Sedangkan pengelompokan termofil menurut Prescott (2008) adalah:
1. Obligate thermophiles, temperatur pertumbuhan optimum 65-75C, dan tidak mampu tumbuh
dibawah 40C
2. Facultative thermophiles, dapat tumbuh optimal pada temperature 50-60C,dan mampu
tumbuh pada 37C
3. Thermotolerant thermophiles, pertumbuhan maksimum pada temperatur 45-50C, mampu
tumbuh pada 30C
Studi ekologis menunjukkan berbagai spesies mikroorganisme yang terdapat dalam
lingkungan termofil adalah: Extreme thermophiles pada umumnya termasuk Bacillus,
Clostridium, Thermoanaerobacter, Thermus, Thermotoga, dan Aquifex. Hyper thermophiles
termasuk dalam domain Archaea, kingdom Crenarchacota (Sulfolobus, Pyrodictium,
Pyrolobus.), dan kingdom Euryarchaeaota (Thermococcus, Pyrococcus), Methanogenes
(Methanococcus, Methanobacterium), pereduksi sulfat dan halophiles (Prescott et al, 2008).
Salah satu karakter paling menarik dari termofil adalah kemampuannya dalam
memproduksi enzim yang mampu mengkatalis reaksi pada suhu lebih tinggi dibandingkan
organisme mesofilik (Frobisher, 1962). Properti stabilitas suhu yang lebih tinggi dan toleransi
terhadap bahan kimiawi penyebab denaturasi seperti pelarut organik (Grant, 1992). Kenaikan
temperatur dalam proses bioteknologi mempengaruhi ketersediaan dan solubitas senyawa
organik seperti poliaromatik, hidrokarbon alifatik, dan substansi polimer. Kenaikan temperatur
juga berhubungan dengan penurunan viskositas dan kenaikan koefisien difusi senyawa organik.
Hal ini berakibat kecepatan reaksi akan lebih tinggi (Scandurra et al, 1998). Enzim termofil
memiliki tingkat kontaminasi yang rendah, kecepatan reaksi lebih baik, dan stabil pada
temperatur tinggi (Brock dan Madigan, 1991). Proses-proses biologis ketika dioperasikan dengan
suhu diatas 60C akan mengurangi resiko kontaminan oleh organisme lain (Grant, 1992).
Mikroba termofil mampu menghasilkan enzim termofil sehingga reaksi enzimatis dapat berjalan

lebih cepat, mempercepat difusi, daya larut bahan semakin besar, memperkecil viskositas dan
tegangan permukaan media (Hartiko, 1992). Kebanyakan mikroba mengalami penurunan
efektivitas kerja setelah fermentasinya menghasilkan panas, tapi hal ini tidak terjadi pada
mikroba termofil (Hartiko, 1992).
Kemampuan mikroba termofilik untuk tumbuh pada temperatur tinggi, disebabkan oleh
berbagai faktor misalnya (Hartiko, 1992):
A. Memiliki kemampuan mensintesa makromolekul yang stabil terhadap panas. Perbedaan
intrinsik struktur makromolekul dan kofaktor stabilisasi termal. Perbedaan struktural
pada molekul protein, asam nukleat, lipid, dan enzim. Enzim bakteri termofil ikatannya
mempunyai tingkatan asam amino hidrofobik yang lebih tinggi daripada mikroba
mesofilik dan memiliki ion Mg2+ dengan stabilitas tinggi sehingga struktur ikatannya
lebih erat dan lebih refraktif terhadap panas, tetap aktif, dan tidak alami denaturasi
sampai temperatur lebih dari 60C. juga kemampuan mensintesa ribosom yang lebih
stabil terhadap panas. Hal ini karena titik cair RNA-nya cukup tinggi, serta keteraturan
dari pembungkusnya. Pembungkusnya terdiri atas komposisi dasar G-C dengan jumlah
yang lebih banyak dan A-U lebih sedikit. DNA termofil juga mempunyai reverse DNA
gyrase yang mampu memproduksi superkoil positif. Perbedaan kenaikan melting point
pada DNA mempengaruhi stabilitas pada temperatur tinggi.
B. Kemampuan termostabilitas pada membran sel, karena banyak mengandung lemak jenuh
sehingga mikroba tahan terhadap temperatur tinggi. Termofil memproduksi protein yang
dinamakan chaperonin yang membantu menyusun kembali bentuk awalnya seteleh
denaturasi. Komposisi membran sel termofil asam lemak jenuh yang menyediakan
linngkungan hidrofob bagi sel. Archaea yang mayoritas hipertermofil mempunyai ikatan
ether pada lipid di dinding sel.
C. Mensintesa senyawa poliamin unik, seperti thermion dan thermospermin yang
menstabilkan perangkat sintesa protein dan melindungi makromolekul terhadap
temperatur tinggi. Termofil memproduksi protein dinamakan chaperonin yang membantu
menyusun kembali bentuk awalnya seteleh denaturasi.
D. Perubahan komposisi asam amino pada protein menyebabkan peningkatan interaksi
elektrostatik, pembentukan ikatan hidrogen dan disulfida, peningkatan interaksi

hidrofobik atau kekompakan struktur. Residunya lebih sedikit dan hampir tidak
ditemukan pada enzim termofil. Inaktivasi sering disebabkan oleh oksidasi grup SH,
kandungan sistein yang lebih sedikit dapat memproteksi proses inaktivasi. Lokalisasi
residu sistein juga menentukan stabilitas protein. Contoh enzim alkohol dehidrogenase
pada Bacillus stearothermophilus mempunyai residu sistein yang sama dengan mesofilik
tetapi grup SH terletak di dalam globula protein sehingga lebih tahan terhadap suhu
tinggi.
E. Substitusi asam amino juga dapat menyebabkan kenaikan hidrofobisitas internal sehingga
lebih tahan suhu tinggi. Substitusi dalam enzim termofillik seperti Lys menjadi Arg, Ser
menjadi Ala, dan Ser menjadi Thr.

2.3 Mikroorganisme Barofilik


Mikroorganisme barofilik merupakan mikroorganisme yang hidup di ligkungan dengan
tekanan yang tinggi (Kathleen, 2008). Lingkungan yang memiliki tekanan hidrostatik tinggi pada
umumnya ditemukan di perairan dalam dan di pengeboran sumur dalam. Pada lingkungan
akuatik, tekanan nya akan meningkat +1 atm untuk setiap kedalaman 10 meter (Setter, 1996).
Pembagian mikroorganisme barofilik bedasarkan tekanan adalah (Setter, 1996):
A. Tekanan 400-500 atm: Barofilik
B. Tekanan 1- < 400 atm: Eurybaric/Baroduric (Barotolerant)
Pada lingkungan laut dalam, biomassa yang dihasilkan rendah dan keperluan O2 juga
rendah yaitu sekitar 3-4 ml/lt (Kushner, 1993). Kebanyakan mikroorganisme baroduric dicirikan
oleh sifat-sifat psikrofiliknya. Pada habitat nya tidak hanya terbatas pada laut dalam. Bakteri
baroduric yang tumbuh pada tekanan 850 atm dapat diisolasi dari tanah biasa. Contohnya adalah
bakteri Pseudomonas bathycetes yang mampu mentoleransi tekanan hingga 1000 atm (Kushner,
1993).

Di lingkungan laut dalam terdapat korelasi antara tekanan dan temperatur yaitu apabila
tekanan meningkat, pertumbuhan kisaran pada temperatur cenderung menghentikan keduanya
atau pengaruh kenaikan temperatur cenderung dihilangkan oleh kenaikan tekanan (Kathleen,
2008). Jadi dapat dilihat bahwa tekanan dan temperatur masing-masing saling berkompetisi
dalam pengaruhnya bagi mikroba. Contohnya adalah bakteri Desulfovibrio yang dapat tumbuh
pada suhu 104oC di bawah tekanan 100 atm (Kathleen, 2008).
Mikroba laut dalam mentoleransi tekanan tinggi pada kisaran temperatur jauh lebih
rendah daripada temperatur pertumbuhan minimum aslinya. Aktivitas metabolisme dalam
kisaran temperatur pertumbuhan asli suatu mikroba dihambat pada tekanan tinggi, tetapi jika
temperatur di bawah temperatur pertumbuhan minimum nya, aktivitas tersebut akan dibebaskan
dari penghambatan (Kathleen, 2008).

2.4 Mikroorganisme Xerofilik


Mikroorgannisme xerofilik adalah kelompok mikroorganisme yang menyukai lingkungan
yang memiliki kondisi yang kering (Brock dan Madigan, 1991). Jenis-jenis mikroba yang
termasuk dalam mikroorganisme xerofilik adalah bakteri, yeast, fungi, alga yang selain mikroba
halofilik ekstrim. Laju pertumbuhan mikroba xerofilik biasanya lebih lambat dan waktu
germinasi spora lebih pendek daripada mikroba non-xerofilik (Brock dan Madigan, 1991).
Contohnya adalah Torulopsis halonitratophila yang diisolasi dari fermentasi kecap merupakan
yeast halofilik yang bersifat obligat pada suhu 30 oC tetapi dia juga ditemukan halotolerant pada
suhu 20o C (Brock dan Madigan, 1991).
Dalam lingkungan dengan konsentrasi larutan yang sangat tinggi (aw rendah),
kebanyakan mikroba non-xerotolerant kehilangan air dari sitoplasma yang mengakibatkan
kehancuran aktivitas sel nya. Pada mikroba halotolerant, mereka mengakumulasi larutan spesifik
dalam selnya agar menaikkan konsentrasi garam di lingkungannya, dengan cara ini menjaga aw
intraseluler sama dengan aw ekstraseluler (Brock dan Madigan, 1991).

Larutan spesifik intraseluler tersebut memiliki dua fungsi yaitu (Zubaidah, 2000):
1. Mengatur tekanan osmotik dalam sel.
2. Pencegahan inaktivasi sel.
Kedua fungsi tersebut disebut larutan kompatibel. Contoh larutan kompatibel adalah pada
Saccharomyces rouxii dihasilkan gliserol dan arabitol. Sedangkan pada Saccharomyces
cerevisiae adalah gliserol (Zubaidah, 2000).

2.5 Mikroorganisme Halofilik


Mikroorganisme halofilik adalah mikroorganisme yang hidup di lingkungan yang sangat
asin (Frobisher, 1962). Semua mikroorganisme halofilik, kebanyakan dari mereka adalah bakteri,
sementara beberapanya merupakan eukariota primitif. Eukariota adalah organisme yang lebih
kompleks dengan inti dan organel yang terikat membran (Frobisher, 1962).
Halofilik dapat ditemukan terutama di domain Archaea, tetapi ada beberapa di bakteri
dan domain Eukarya. Domain Archaea mengandung sel tunggal mikroorganisme prokariotik
yang primitif. Ini berarti mereka semua terdiri dari satu sel dan tidak memiliki inti atau organel
membran-terikat dalam sel. Domain bakteri mengandung organisme yang lebih baru dalam
sejarah bumi dan mereka bisa dalam berbagai bentuk dan prokariotik juga. Sedangkan domain
Eukarya mengandung organisme yang paling berkembang yang memiliki nukleus dan organel
yang terikat membran. Halofilik biasanya masuk kategori sedikit, sedang, atau ekstrim
berdasarkan jumlah garam yang dapat mereka tolerir di lingkungan mereka (Kushner, 1993).
Meskipun tidak banyak spesies yang dikenal sebagai halofilik, mereka yang telah
ditemukan cukup beragam. Salah satu contoh umum dari halofilik adalah halobakterium, yang
merupakan anggota dari domain Archaea dan ditemukan di badan air dengan konsentrasi garam
yang tinggi. Bakteri ini berbentuk bulat atau berbentuk batang dan dapat diwarnai merah atau
ungu (Kushner, 1993). Halobacterium telah ditemukan di Great Salt Lake serta Laut Mati.
Astrobiologis juga mempelajari kemungkinan organisme yang ditemukan di Mars. Mereka

percaya bahwa mereka bisa bertahan hidup di sana karena banyaknya garam yang telah
ditemukan. Mereka percaya bakteri bisa bertahan jika mengelupasi dirinya dalam garam untuk
menghindari paparan ultraviolet hidup. Hal ini membuat bakteri yang primitif memberikan peran
yang signifikan dalam dunia modern (Kushner, 1993).
Contoh lain dari Halofili dapat ditemukan di danau asin Botswana. Di danau tersebut
terdapat bakteri dengan genus Nitzschia dan Diatom eukariotik. Diatom adalah jenis Protista
yang mengambang bebas, sering disebut sebagai ganggang. Studi Nitzschia telah menunjukkan
bahwa mereka tidak dapat mereproduksi dalam lingkungan yang tidak mengandung jumlah
garam yang sedang (Kushner, 1993).

DAFTAR PUSTAKA

Brock, T.D., and Madigan, M.T., 1991. Biology of Microorganism. Sixth Edition.
New Jersey: Prentice Hall International Inc, Englewoos Cliffs.
Frobisher, M.Sc.D., 1962. Fundaments of Microbiology. Seventh edition. Philadelphia, London:
W.B. Sounders Company.
Gomes, J and Steiner W., 2004. The Biocatalytic Potential of Extremophiles. USA: Food Technol
Biotechnol.
Grant, W.D. 1992. Alkaline Environments. In Lederberg, J. (Ed.). Encyclopedia
of Microbiology Volume 1. New York: Academic Press, Inc.
Hartiko, H. 1992. Biologi Mikroorganisme Termofilik. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas
Biotek UGM.
Kathleen. 2008. Foundations in Microbiology. New York: Prentice Hall.
Kushner, D.J. 1993. Microbial Life in Extreme Environments. In Ford, T.E. (Ed.).
Aquatic Microbiology an Ecological Approach. Boston: Blackwell
Scientific Publication.
Pelczar, Michael J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Prescott, et al. 2008. Microbiology 7th edition. USA: McGraw-Hill Book Company.
Scandurra, et al. 1998. Protein Thermostability in Extremophiles. Societe Francaise de Biochime
et Biologie Moleculaire. 80: 933-941.
Setter, KO. 1996. Exstremophiles and Their Adaptation to Hot Environments. Minireview.
FEBS: Letters.
Zubaidah, Siti. 2000. Bakteri: Kajian Tentang Beberapa Aspek Biologis. Malang: Universitas
Negeri Malang.

Anda mungkin juga menyukai