Anda di halaman 1dari 13

Diare Kronis dan Diare Persisten

Definisi
Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama. Ghishan
menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi
serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh Walker-Smith et al.
didefinisikan sebagai diare persisten. Di lain pihak, dasar etiologi diare kronis yang berbeda
diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological Association. Definisi
diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar
disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The
American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari
4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan
persisten di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di
negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitianmaupun pembahasan lebih
didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare
bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.
Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan
pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan di lingkungan
masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare
yang berlangsung > 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi,
serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan
tersebut yang akan dipakai dalam diskusi topik ini.
Epidemiologi
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare
persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan
menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari seluruh kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Di Indonesia, prevalensi diare
persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11
bulan.

Etiologi
Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju, sebagain
besar membahas penyebab non-infeksi, umunya meliputi intoleransi protein susu sapi/kedeai
(pada anak usia < 6bulan, tinja sering disertai dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive
enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian global seringkali tertuju pada diare
berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini
banyak terjadi di negara-negara berkembang.
Patogenesis / Patofisiologi
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan
Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN)
menghasilkan suatu konsep pathogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan
berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian
proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis.
Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa
referensi hanya menggunakan salah stau istilah untuk menerangkan kedua jenis diare
tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun,
kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi.
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor intralumen dan faktor mucosal.
Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen termasuk gangguan
pankreas, hepar, dan brush border membrane. Faktor mucosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses
yang mengakibatkan perubahan integritas membrane mukosa usus, ataupun gangguan pada
fungsi transport protein. Perubahan integritas membrane mukosa usus dapat disebabkan oleh
proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapid an intoleransi laktosa.
Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukaran ion NatriumHidrogen dan Klorida-Bikarbonat.
Secara umum, patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh Ghishan,
dengan membagi menjadi lima mekanisme, yakni:

1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat
mediator intraseluler cAMP, cGMP, dan ca2+. Mediator tersebut juga mencegah terjadinya
perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairang tidak dapat
terserap dan terjadi pengeluaran cairansecaramasif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme
ini memiliki tanda khas yaotu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja
sangat cair, konsentrasi Ba= dan cl- > 70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian
makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana bakteri
mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan
sebelumnya.
2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjasi kegagalan proses pencernaan
dan/atau penyerapan nutrient dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung
memasuki kolon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus
sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada
faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses
pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai
dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan
absorbs nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa.
Absennya enzim lactase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat
(sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam
keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan
difermentasikan oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini
menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi,
dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion
Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus uleo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi
Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis

metabolic dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar
Cl- dan Na+ yangtinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik.
Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi
polihidramnion, kelahiran premature dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum
rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai
daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur
Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi
pada penukar Na+/H+ dan Na+-protein pengangkut asam empedu.
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu se[erti necrotizing
enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn, dan lain-lain, diperlukan
pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudia menyebabkan short bowel
syndrome. Diare dengan pathogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit
yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti, malnutrisi, scleroderma, obstruksi usus,
dan diabetes mellitus mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihanmenyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan
gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf
adrenergic, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan atau proabsortif
cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjasinya diare.
Manifestasi Klinis (Komplikasi)
Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak
menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi
merupakan gambaran umum anak-anak dengan diarepersisten. Studi kohort di Amerika
menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam
tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare

akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya.
Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten, meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menjelaskan perjalanan penyakit diare, antara lain saat mulainya
diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi penampakan konsistensi, adanya darah atau
lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, failure to
thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu atau makanan
tambahan, buah-buahan (defisiensi sukrase-isomerase), hubungan dengan serangan sakit
perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon
syndrome), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya (antibiotic associated diarrhea)
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang cermat keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen,
ekskoriasi pada bokong, manifestasi kulit, juga penting untuk mengukur berat badan, tinggi
badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan
berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, ureum
darah, tes fungsi hati, vitamin B12 folat, kalsium, feritin, laju endap darah, dan protein Creaktif.
b. Pemeriksaan tinja
i. Makroskopis : warna , konsistensi, adanya darah, lendit
ii. Mikroskopis :
1. Darah samar dan leukosit yang positif (>10/lpb) menunjukkan kemungkinan adanya
peradangan pada kolon bagian bawah.

2. pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi karbihidrat di


dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada di dalam kolon
3. Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample tinja yang masih baru,
yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat
4. Breath hydrogen test digunakan untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat
5. Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak, merupakan
skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan adanya malabsorbsi lemak
6. Biakan kuman dalam tinja untuk mendapat informasi tentang flora usus dan kontaminasi
7. Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing)
c. Pemeriksaan radiologi/endoskopi:
Pada saluran gastrointestinal membantu mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi, stenosis)
dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory bowel disease, penyakit
Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.
Terapi
Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap meliputi:
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare
persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit,
khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotic spectrum luas harus
dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau
infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
2. Pemberian nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
Kebutuhan energy dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar
100kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energy
1kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi:

i. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam amino kristalin
atau protein hidrosilat, mono- atau disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai panjang atau
sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak
enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan
pipa nasogastrik untuk mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental
mayoritas hanya digunakan di negara maju.
ii. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam mengatasi
dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam jumlah yang mencukupi,
kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100 gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8
gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap oleh system pencernaan bayi, serta membantu
pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung
lebih cepat dibandingkan susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH
rendah, dengan demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI
juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung
epidermal growth factors.
iii. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar, dan lebih
murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa pemberian diet berbahan dasar unggas pada
diare persisten memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM dengan single blind, randomized-controlled
trial menunjukkan durasi diare yang mendapat bubur ayam dibandingkan yang mendapat
bubur tempe (1,920,66 vs 2,64 0,89, p 0,034). Namun demikian, mengingat harga bubur
refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur
tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.
b. Pemberian mikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A, dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan nutrisi
yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi
multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily
Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam folat

50mikrogram, zinc 10mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak
berusia 6 bulan sebesar 10 mg ( tablet) dan untuk anak berusia > 6 bulan sebesar 20 mg (1
tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari. Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigor
Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas
pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar
42%.
c. Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung Lactobacillus
casei, Lactobacillus acidophilus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten
selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah yang menyertai.
Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian
probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-associated diarrhea.
d. Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah 2,39
0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat bahan makanan
campuran beras-susu (rata-rata 2,94 0,33 hari). Sebuah studi uji klinis randomized
controlled double-blind yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut
serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare akut.
Nutrisi enteral
o Kandungan formula yang ditetapkan meliputi
i. Karbohidrat
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili menjadi monosakarida
yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4 enzim oligosakaridase yang berbeda
dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa), amylase (glukosa a-dekstrinase), lactase, dan
trehalase. Semua enzim ini berkurang pada penyakit yang mengenai mukosa usus halus.
Lactase merupakan enzim yang paling peka dan paling akhir pulih apabila terjadi kerusakan
mukosa.

ii. Lemak
Lemak merupakan mikronutrien yang paling padat kandungan kalorinya. Pemberian lemak
pada penderita diare kronik sangat penting karena sering disertai keterbatasan pemasukan
kalori.
iii. Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein utuh, protein
hidrosilat, asam amino, atau gabungan.
iv. Vitamin dan mineral
Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kedatipun dan pemasukan kalori
yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak atau terjadi interaksi obat/nutrient dengan
diet yang sangat khusus
o Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung glukosa
primer, bebas laktosa mengandung protein hidrolisat, medium chain triglyceride, osmolaritas
kurang sedikit dari 600 mOsm/l dan bersiat hipoalergik atau yang mengandung short chain
peptide
o Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan, mula-mula dianjurkan konsentrasi
1/3 IV, selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral : 1/3 IV dan bila keadaan sudah cukup baik
(kenaikan BB minimal 1kg) diberikan pregestimil dalam konsentrasi penuh
o Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu atau tidak
mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran gastrointestinalnya masih
berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan meningkatkan kecepatan dan kadar formula
secara bertahap sampai mencapai kebutuhan nutrisi anak.
o Komplikasi nutrisi enteral:
i. Hidrasi berlebih
ii. Hiperglikemia
iii. Azotemia (konsumsi protein berlebih)
iv. Hipervitaminosis K
v. Dehidrai sekunder karena diare
vi. Gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare)
vii. Gagal tumbuh sekunder akibat pemasukan energy tidak cukup

viii. Aspirasi
ix. Defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula
Nutrisi parenteral
o Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh melalui jalan
intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino, emulsi lemak, mineral,
vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila penderita masih mempunyai saluran
gastrointestinal yang masih berfungsi serta masih dimungkinkan pemberian secara peroral,
enteral, ata gastrostomi. Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.
o Indikasi nutrisi Ament ME, 1993:
Tabel

11

Indikasi

nutrisi Penyakit

yang

diperkirakan

Disfungsi Usus
Intractable vomiting
Diare

berlangsung 7 hari
Pankreatitis berat
Penyakit usus beradang berat,

Ileus
Obstruksi usus halus

intoleransi
Makanan enteral
Karena trauma / pembedaan

Malabsorbsi

berat atau sepsis


Kanker
pseudo-obstruksi

Penghentian makanan

intestinal
Kerusakan

Peroral > 7 hari

sindroma usus pendek enteritis


Fistula
enterokutan,
ileus

mukosa

parah,

transplantasi
iii. Karbohidrat
o Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang memberikan 3,4 kkal/gram
dalam bentuk monohidrat.
o Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10-12,5%
o Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan respon tubuh dalam
memproduksi insulin endogen dan mencegah terjadinya glikosuria.
iv. Asam amino

Tabel

14 Kebutuhan

Mulai pemberian

Kebutuhan asam (gr


amino

menurut protein/kg/hari)

usia (Ament ME,


1993) Umur
Bayi prematur

2,5 3

0,5

gram

protein/kg/hari
dinaikan 0,5 gram
Bayi 0-1 tahun

protein/kg/hari
1
gram

2,5 3

protein/kg/hari
dinaikan 0,5 gram
protein/kg/

hari

per hari
Anak 2-13 tahun
Remaja Dewasa

1,5 2
1 1,5

o Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonates dalam 2 hari dengan tanda
kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik, pertumbuhan rambut berkurang,
trombositopeni, peka terhadap infeksi dan gangguan penyembuhan luka.
vi. Elektrolit
Tabel

15 Dosis anak

Kebutuhan

Dosis Bayi

(mEq/kg/24 jam)

(mEq/kg/24 jam)

34
23
24
0,5 1
2
0,25 0,5

28
26
06
0,9 2,3
1 1,5
0,25 0,5

elektrolit
intravena
(Ament

ME,

1993): Elektrolit
Na
K
Cl
Ca
Fosfat
Mg

v. Lemak

o Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam lemak essensial untuk
pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang perkembangan yang normal.
o Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml) dan 20% (2 kkal/ml)
o Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak intravena untuk
menghindari terjadinya defisiensi asam lemak yang dapat dicapai dengan penggunaan 0,5 1
gram emulsi lemak/kg/hari

a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak satupun
yang memberikan efek positif
b. Kortikosteroid
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal memberikan
respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan steroid sistemik
c. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila pengobatan
konvensional tidak mungkin.
d. Kolesteramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama malabsorbsi asam
empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
e. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit
Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Namun hanya dilakukan setelah keadaan umum
membaik.
4. Follow up
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau
perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi
diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan
intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung 2 minggu di mana 50% kebutuhan
cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara

maju, dan berhubungan dengan kelainan genetic. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai
dengan adanya peningkatan frekuensi berat badan dalam waktu 7 hari.
Faktor Risiko dan Pencegahan
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama
terjadinya diare persistensi.
Tabel

16

Faktor-faktor

risiko Bayi berusia < 12 bulan

terjadinya diare persisten Faktor Berat badan lahir rendah (<2500


bayi

gram0
Bayi atau anak dengan malnutirsi
Anak-anak dengan gangguan imunitas

Faktor maternal

Riwayat infeksi slauran nafas


Ibu berusia muda dengan pengalaman
yang terbatas dalam merawat bayi
Tingkat pendidikan dan pengetahuan
ibu mengenai higienis, kesehatan dan
gizi, baik menyangkut ibu sendiri
ataupun bayi
Pengetahuan,

sikap,

dan

perilaku

dalam pemberian ASI serta makanan


pendamping ASI
Pemberian susu pada bayi

Pengenalan susu non-ASI

Riwayat infeksi sebelumnya

Penggunaan botol susu


Riwayat diare akut dalam waktu dekat
(khususnya pada bayi < 12 bulan)

Penggunaan obat sebelumnya

Riwayat diare persisten sebelumnya


Obat antidiare, karena berhubungan
dengan

menurunnya

motilitas

gastrointestinal
Antimikroba, termasuk antibiotic dan
anti-parasit

Anda mungkin juga menyukai