Anda di halaman 1dari 19

TEKNOLOGI ASAP CAIR DAN APLIKASINYA

PADA PANGAN DAN HASIL PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


dalam Bidang Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian
pada Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Dr. Ir. E. Purnama Darmadji, M.Sc.

TEKNOLOGI ASAP CAIR DAN APLIKASINYA


PADA PANGAN DAN HASIL PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


dalam Bidang Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian
pada Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 28 April 2009
Di Yogyakarta

Oleh
Prof. Dr. Ir. E. Purnama Darmadji, M.Sc.

3
TEKNOLOGI ASAP CAIR DAN APLIKASINYA
PADA PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
Teknologi pengasapan telah digunakan secara luas dalam
bidang pengolahan pangan dan hasil pertanian. Pada pangan, teknologi
pengasapan digunakan sebagai upaya pengeringan sekaligus sebagai
penghasil aroma dan rasa pangan seperti: daging asap, ikan asap, sale
pisang, mangut lele, produk bebakaran seperti sate, ikan bakar dan lain
sebagainya. Saat ini konsumen produk berasa dan beraroma asap
semakin meningkat seperti meningkatnya produk bebakaran atau
barbeque sampai ke produk jadah bakar, nasi bakar dan lain
sebagainya. Di bidang hasil pertanian, pengasapan digunakan juga
untuk proses pengeringan sekaligus pengawetan seperti bawang
merah, jagung dan lain sebagainya dengan cara menempatkan atau
menyimpan di para-para diatas tungku dapur dengan bahan bakar
kayu. Di bidang perkebunan, teknologi pengasapan digunakan secara
tradisional yaitu pada pengolahan karet sheet, pengolahan kopra dan
pengomprongan tembakau. Pengasapan dengan tujuan utama untuk
pengurangan kadar air ini juga berefek positif terhadap keawetan
produk yang diasapi, bahkan kayu yang berada diatas dapur tungku
akan lebih awet dibanding kayu dibagian bangunan lain yang tidak
terkena asap. Proses pengawetan ini terjadi karena adanya senyawasenyawa phenol, karbonil dan asam serta komponen lain yang
jumlahnya ratusan yang merupakan antimikrobia, antioksidan, dan
disinfektan.
Pengertian asap dan pengasapan
Asap merupakan dispersi uap asap dalam udara, yang dihasilkan
dari proses distilasi kering atau pirolisa biomasa seperti kayu, kulit
kayu, tempurung, sabut, bambu, daun, dan lain sebagainya. Proses
pirolisa ini berjalan secara bertahap diawali dari tahap pertama
penghilangan air biomasa pada suhu 120150oC, diikuti tahap kedua
proses pirolisa hemiselulosa pada suhu 150-200oC, kemudian tahap
ketiga proses pirolisa selulosa pada suhu 250300oC, dilanjutkan
tahap ke empat proses pirolisa lignin pada suhu 400oC. Pada tahap

4
lebih lanjut proses pirolisa akan menghasilkan senyawa-senyawa baru
hasil pirolisa produk kondensasi seperti fenol, tar dan senyawa
Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang terjadi pada suhu >500
o
C (Girrard, 1992; Young Hun-Park, dkk., 2008).
Hemiselulosa tersusun dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan
(C6H10O5)n. Pirolisa pentosan akan menghasilkan furfural, furan dan
derivatnya bersama-sama dengan rantai panjang asam karboksilat
sedangkan pirolisa heksosan bersama-sama dengan selulosa
membentuk asam asetat dan homolognya (Girrard, 1992; Young HunPark, dkk., 2008).
Selulosa merupakan rantai panjang lurus dari molekul gula atau
polisakarida yang tersusun dari unit glukosa sebagai polimer selulosa.
Pirolisa selulosa tahap pertama menghasilkan glukosa, dan reaksi
kedua adalah pembentukan asam asetat dan homolognya, bersamasama dengan air dan kadang-kadang bersama-sama lignin membentuk
furan dan fenol.
Lignin terdiri dari sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit
fenilpropana. Pirolisa lignin cukup penting karena menghasilkan
flavor yang dihasilkan oleh adanya senyawa-senyawa derivat yang
termasuk fenol dan ester fenolik seperti guaikol dan siringol bersamasama dengan homolog dan derivatnya.
Dari hasil pirolisa hemiselulusa, selulosa dan lignin tersebut
didapatkan lebih dari 400 senyawa, diantara senyawa tersebut terdapat
48 jenis asam, 21 jenis alkohol, 131 jenis karbonil, 22 jenis ester, 46
jenis furan, 16 jenis keton, dan 71 jenis penol (Maga 1988)
Asap sebagai Pemberi Flavor
Senyawa asap memberikan flavor asap (smoky) khas yang tidak
dapat digantikan dengan cara lain. Fenol merupakan senyawa yang
paling bertanggung jawab pada pembentukan aroma spesifik yang
diinginkan pada produk asapan, terutama fenol dengan titik didih
medium seperti guaikol, eugenol dan siringol (Guillen dan Ibargotta,
1996). Fenol dalam hubungannya dengan sifat sensoris mempunyai
bau pungent kresolik, manis, smoky dan seperti terbakar (Daun, 1979.
Meskipun senyawa fenol memegang peranan penting dalam flavor
tersebut, namun diperlukan senyawa lain seperti karbonil, lakton, dan

5
furan agar flavor karakteristik asap dapat muncul. Ada senyawa minor
yang memegang peranan penting juga dalam asap yaitu karbonil dan
lakton titik didih tinggi, meliputi homolog 1,2-siklopentadion dan 2butanoic yang mempunyai bau karamel. Furfural dan asetofenon
memunculkan aroma sugary dan flowery yang menyenangkan dan
membantu mengurangi flavor dari senyawa fenol. (Kim, dkk., 1972).
Asap sebagai Pembentuk Warna
Opini umum pembentukan warna pada pengasapan adalah
bahwa warna dihasilkan langsung oleh tar yang terdeposit pada
permukaan makanan selama proses pengasapan. Namun deposit tar
pada permukaan inert seperti pada selongsong sosis terbuat dari
selulosa tidak menghasilkan warna dengan intensitas yang sama
dengan yang terdapat pada permukaan bahan makanan berprotein. Hal
ini membawa pada dugaan bahwa ada reaksi kimia antara komponen
yang terdapat pada asap dan protein dalam makanan. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa reaksi karbonil-amino penting dalam
pembentukan warna (Ruiter, 1979).
Pewarnaan khas produk asapan berasal dari interaksi antara
konstituen karbonil asap dengan gugus amino protein produk
menghasilkan warna produk ke kuning keemasan sampai coklat gelap.
Pewarnaan ini berkaitan erat dengan parameter teknologi yang
digunakan selama pengasapan (Girrard, 1992). Pada pengasapan
menggunakan asap cair, warna produk asapan dapat dioptimalkan
dengan mengubah komposisinya. Metil glioksal dan glioksal
merupakan senyawa karbonil dalam destilat asap tempurung kelapa
yang penting dalam pembentukan warna coklat (Riha dan Wendorff,
1993).
Asap sebagai Pengawet
Potensi asap dapat memperpanjang masa simpan produk dengan
mencegah kerusakan akibat aktivitas bakteri pembusuk dan patogen.
Senyawa yang mendukung sifat antibakteri dalam destilat asap cair
adalah senyawa fenol dan asam (Girrard, 1992). Senyawa fenol dapat
menghambat pertumbuhan populasi bakteri dengan memperpanjang

6
fase lag secara proporsional di dalam produk, sedangkan kecepatan
pertumbuhan dalam fase eksponensial tetap tidak berubah kecuali
konsentrasi fenol yang tinggi. Fraksi fenol yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri adalah fenol dengan titik didih rendah (BarylkoPikeilna, 1979)
Asam lebih kuat menghambat pertumbuhan bakteri dari pada
senyawa fenol, namun apabila keduanya digabungkan akan
menghasilkan kemampuan penghambatan yang lebih besar daripada
masing-masing senyawa. Selain senyawa fenol masih ada senyawa
lain yang berperanan menghambat pertumbuhan bakteri yaitu
urotropin sebagai derivat dari piridin dan senyawa pirolignin
(Fretheim, dkk., 1980).
Komponen antioksidatif asap adalah senyawa fenol yang
bertindak sebagai donor hidrogen dan biasanya efektif dalam jumlah
sangat kecil untuk menghambat reaksi oksidasi (Girrard, 1992). Sifat
antioksidatif asap disebabkan oleh fenol titik didih tinggi terutama 2,6
dimetoksifenol, 2-6 dimetoksi-4-metilfenol dan 2-6-dimetoksi-4etilfenol. Fenol bertitik didih rendah menunjukkan sifat antioksidatif
yang lemah (Daun, 1979). Derivat senyawa fenol dalam asap cair
yang juga bersifat antioksidatif adalah pirokatekol, hidroquinon,
guaikol, eugenol, isoeugenol, vanilin, salisildehid, asam 2hidroksibenzoat dan asam 4-hidroksibenzoat (Pszczola, 1995).
Keamanan Produk Asap
Pirolisa lanjut bahan biomasa yang terjadi pada suhu tinggi akan
mengakibatkan terbentuknya senyawa-senyawa baru hasil pirolisa
produk kondensasi seperti fenol, tar, dan senyawa polyciclic aromatic
hydrocarbon (PAH). Senyawa PAH merupakan salah satu golongan
polutan karena sifatnya yang karsinogenik, mutagenik, dan sitigenik.
Dari 100 lebih senyawa PAH yang telah diketahui, hanya 16 jenis
senyawa yang dinyatakan sebagai polutan utama. Salah satu dari 16
jenis ini, benzo(a)pyrene dilaporkan sebagai senyawa PAH dengan
efek karsinogenik yang paling berbahaya (Maga, 1988), sehingga
benzo(a)pyrene dijadikan indikator adanya PAH dan digunakan
sebagai indeks kuantitatif adanya senyawa karsinogen dalam pangan.

7
Benzo[a]pyrene, C20H12, adalah lima cincin PAH yang bersifat
mutagen, sangat karsinogen, berbentuk padatan kristal kuning yang
merupakan senyawa hasil pembakaran tidak sempurna pada suhu
antara 350 dan 600 C.
Keamanan produk asapan sangat bervariasi tergantung pada
metoda serta tujuan pengasapan. Pengasapan yang bertujuan untuk
pengawetan perlu dicermati karena memerlukan intensitas pengasapan
yang cukup lama agar senyawa pengawet dalam asap terdifusi cukup
ke dalam produk asapan, namun deposit senyawa karsinogen dan
toksik juga akan tinggi, serta aroma dan rasa asap yang sangat kuat.
Pengasapan yang bertujuan menghasilkan cita rasa asap pada produk,
relatif sedikit terpapar oleh senyawa toksik dan karsinogen karena
intensitas pengasapan yang lebih ringan.
Tingkat pencemaran senyawa karsinogen juga tergantung pada
kayu yang digunakan sebagai bahan asap. Produk asapan yang diasap
menggunakan kayu apel akan terpapar PAH dengan konsentrasi yang
rendah sedangkan produk asapan yang diasap dengan kayu cemara
akan terkontaminasi PAH dalam bentuk benzo(a)pyrene pada
konsentrasi yang tinggi sampai 35.07 g/kg, demikian juga kayu yang
bergetah, pada proses pembakaran akan menghasilkan asap dengan
cemaran benzo(a)pyrene yang tinggi. Untuk produk-produk asapan
yang diasap secara tradisional, juga produk-produk yang kontak
langsung dengan nyala api pada suhu yang tinggi menunjukkan
tingkat cemaran benzo(a) pyrene yang tinggi seperti, ayam, ikan bakar
serta sate bakar (Darmadji, 1996; 2004). Dilaporkan dari total 44
sampel produk asapan 23 sampel terpapar benzo(a)pyrene sebesar
lebih 5.9 microgram per kg melebihi dari persyaratan yang ditetapkan
FAO/ WHO maksimum sebesar 1 microgram/ kg. (Yabiku, dkk.,
1993).
Teknologi Pembuatan Asap Cair
Dengan semakin merebaknya isu keamanan pangan dan
lingkungan yang berhubungan dengan proses pengasapan pangan dan
hasil pertanian, maka Profesor Tranggono (alm) dkk., (1995)
menginisiasi sebuah inovasi pemanfaatan limbah tempurung kelapa
yang demikian melimpah untuk perbaikan proses pengasapan

8
tradisional, dilain pihak sebagai upaya memperbaiki proses
pengasapan yang tidak ramah lingkungan. Inovasi tersebut berupa
pemikiran bagaimana mengubah uap asap berwarna hitam yang tidak
dapat dikendalikan serta membahayakan kesehatan tersebut menjadi
produk kondensat cair yang lebih dapat dikendalikan untuk proses
pengasapan, pengawetan dan pengolahan produk pangan dan hasil
pertanian. Berbasis pada pembuatan arang aktif dengan cara pirolisa
yang yang dilakukan FMIPA Kimia UGM maka teknologi proses
distilasi kering atau pirolisa dan kondensasi merupakan teknologi
yang dapat digunakan untuk mengubah asap jadi produk cair. Berbasis
pada inisiasi inovasi tersebut maka dirancanglah sebuah reaktor
pirolisa sederhana untuk produksi asap cair (Darmadji, 1996), dan
selanjutnya dikembangkanlah alat produksi asap cair skala lebih besar
yang dilengkapi dengan pengatur suhu dan waktu serta digunakan
untuk identifikasi asap cair dari berbagai macam kayu (Tranggono,
dkk., 1996). Dengan reaktor ini tempurung kelapa dan berbagai
macam kayu diubah menjadi asap cair, dan bahan sisa berupa arang
dan tar dengan persentase berturut-turut 45%, 45 % dan 10 %. Adapun
komponen utama penyusun asap cair adalah asam, fenol dan karbonil.
Inovasi Aplikasi Teknologi Asap Cair dalam Bidang Pangan
Dalam pengembangan produk dan proses pengawetan pangan
penggunaaan teknologi asap cair terus dilakukan dalam rangka
menghasilkan produk yang mempunyai cita rasa asap, awet serta aman
untuk dikonsumsi. Untuk itu teknologi proses pemurnian asap cair
telah dikembangkan. Salah satu pengembangan proses pemurnian
yaitu dilakukan proses pemisahan tar yang dilakukan dengan proses
pengendapan maupun sentrifugasi. Proses pengendapan sangat efektif
karena dapat mengendapkan tar sampai 90% dalam waktu 6 jam.
Namun demikian di dalam asap cair terdapat senyawa tar yang
mempunyai berat jenis yang mendekati berat jenis air bahkan lebih
rendah dari air. Proses pemurnian selanjutnya dilakukan dengan
proses redistilasi. Proses redistilasi ini dimaksudkan untuk
memisahkan sisa tar sekaligus untuk mengeliminir senyawa
benzo(a)pyrene yang mempunyai titik didih sekitar 350oC. Untuk
mencapai tujuan redistilasi maka didapatkan kondisi optimum proses

9
redistilasi satu tingkat pada suhu 125oC (Darmadji, 2001). Pada
kondisi ini asap cair yang didapat berwarna putih kekuningan, jernih
dan tidak terlihat adanya senyawa tar. Senyawa benzo(a)pyrene pada
redistilat asap cair ini ternyata masih tinggi yaitu sekitar 0.196 ppm
atau 196 ppb jauh dari yang dipersyaratkan FOA/WHO sebesar 10
ppb pada asap cair dan 1 ppb pada produk pangan. Apabila redistilasi
ini dilakukan kembali terhadap redistilat asap cair pada suhu yang
sama maka akan terjadi penurunan kadar benzo(a)pyrene namun tidak
signifikan. Untuk menentukan konsentrasi asap cair yang aman untuk
perendaman ikan maka dilakukanlah aplikasi dan simulasi
perendaman ikan dalam asap cair pada berbagai konsentrasi dan lama
perendaman terhadap kadar benzo(a)pyrene berdasar pada model
difusi asap cair dalam ikan tongkol (Iwan Setyawan, dkk., 1997).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada perendaman ikan dengan
asap cair konsentrasi 16% selama 15 menit perendaman, maka kadar
benzo(a) pyrene yang terdifusi dalam ikan sebesar 1 ppb. (Darmadji
dan Huda Triyudianto, 2006). Sehingga dapat direkomendasikan
konsentrasi redistilat asap cair yang diperkenankan untuk proses
perendaman ikan adalah konsentasi maksimum 16% dan waktu
perendaman maksimum 15 menit.
Untuk melihat efek pengawetan redistilat asap cair pada produk
pangan telah dilakukan bebagai uji antimikrobia dan antioksidan, yang
menunjukkan pada konsentrasi 1% asap cair dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pembusuk, patogen dan bakteri pembentuk
histamin, pertumbuhan jamur serta menghambat proses oksidasi
(Darmadji, 1996; Darmadji dan Sri Rahardjo, 2002; Darmadji, dkk.,
2005;). Asap cair juga dapat menghambat pertumbuhan Listeria
monocytogenes (Guilbaud, dkk., 2008) serta meningkatkan daya awet
dan citarasa produk fillet ikan (Dimitriadou dan Taylor, 2008).

Inovasi Pembuatan Tepung Asap


Untuk mempermudah penanganan dan aplikasi redistilat asap
cair, telah dikembangkan inovasi teknologi pembuatan tepung asap
menggunakan maltodekstrin sebagai media pembawanya. Dengan
berbagai perbandingan redistilat asap cair dan maltodekstrin serta

10
kombinasi metode pengeringan menggunakan kabinet, spray maupun
freeze drier akan diperoleh tepung asap cair yang siap untuk
dipergunakan sebagai bahan pengawet maupun pemberi flavor produk
asap. Tepung asap cair dapat dihasilkan dengan perbandingan
perbandingan 3 bagian redistilat asap cair dan 1 bagian maltodekstrin
(Darmadji, 2002). Dengan berbasis pada tepung asap ini
dikembangkanlah produk bumbu-bumbu siap saji seperti bumbu
mangut, saus barbeque serta table smoke siap pakai.
Di Bidang Perkebunan
Inovasi Pembuatan Permen Berflavor Asap Rokok
Melihat arti pentingnya rokok, efek yang serius bagi perokok
serta efek serius terhadap orang lain dan lingkungannya, maka telah
dikembangkan penelitian berbasis teknologi asap cair yaitu optimasi
produksi permen rokok dengan asap cair rokok sebagai saos permen
dan juga menggunakan asap cair tembakau dicampur dengan saus
rokok sebagai saus permen. Asap cair rokok ataupun tembakau yang
dihasilkan, dimurnikan untuk mengeliminasi senyawa toksik tar dan
senyawa karsinogen benzopyrene. Permen bercitarasa asap rokok
dapat digunakan sebagai pengganti rokok yang aman serta ramah
lingkungan karena tidak menghasilkan asap yang mencemari orang
lain (Kuntyahyawati dan Darmadji 2005).
Bagi perokok, permen rokok ini dapat membantu para perokok
untuk mengendalikan diri tidak merokok ditempat umum dengan
hanya menghisap permen rokok. Permen rokok juga dapat digunakan
sebagai sarana untuk mengurangi ketergantungan merokok serta
membantu usaha berhenti merokok. Permen rokok juga mengurangi
resiko keamanan bagai perokok dan jaminan keamanan terhadap asap
rokok bagi orang disekitar dan bagi lingkungan.
Inovasi Teknologi Asap Cair sebagai Koagulan Lateks Sheet
maupun Lateks Beku
Dalam menanggapi kebijakan Zero Waste di Industri
Perkebunan sesuai dengan ISO 14000, khususnya di Perkebunan
Karet, telah dilakukan inovasi penelitian pemanfaatan limbah kayu

11
karet tua hasil peremajaan kebun untuk bahan baku pembuatan asap
cair serta memanfaatkan asap cair tersebut sebagai pengganti
pengasapan karet sheet tradisional sekaligus untuk meningkatkan
kualitas produk karet. Penelitian ini diawali dengan optimasi proses
produksi asap cair dari kayu karet dengan meggunakan Response
Surface Methodology, evaluasi anti bakteri dan anti jamur karet,
evaluasi sebagai koagulan lateks dan karakteristik karet sheet yang
dihasilkan. Hasil uji asap cair kayu karet terhadap pertumbuhan jamur
pada karet, dilaporkan bahwa pada konsentrasi asap 2% dapat
menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan bakteri yang diisolasi
pada karet sheet, ruang sortasi, ruang penyimpanan dan bidang sadap.
(Darmadji, 1998). Penggunaan asap cair kayu karet untuk proses
pembekuan lateks pada industri perkebunan karet sheet didapatkan
dengan penggunaaan optimum pada konsentrasi 4.45 %, jumlah
120.12 ml dan waktu koagulasi 4,12 jam. Pada kondisi optimum
tersebut karet sheet yang dihasilkan mempunyai elongasi, kekerasan
dan plastisitas (PRI) yang baik. Secara fisik karet sheet ini setara
dengan kualitas karet sheet RSS I. (Darmadji dan Suhardi, 1998).
Karet sheet yang dihasilkan berwarna coklat keemasan pada produk
yang diakibatkan oleh reaksi pencoklatan non enzimatis oleh senyawa
karbonil pada asap cair terhadap protein lateks dan karet (Darmadji,
dkk.,1999).
Penelitian tersebut juga dilakukan dengan menggunakan asap
cair kayu karet dan cangkang sawit sebagai koagulan dan pengawet
lateks beku rakyat (Bokar). Hasil pengamatan dari aspek teknis asap
cair mampu sebagai koagulan dan pengawet koagulum lateks dilihat
dari pengamatan sifat fisik koagulum lateks seperti warna, bau, tekstur
permukaan, jamur dan lain sebagainya. Pengamatan terhadap
vulkanisat karet yang dihasilkan memberikan hasil yang sangat baik
pada parameter kekerasan, PRI, tegangan putus dan perpanjangan
putus, sekaligus asap cair ini dapat mengurangi bau busuk bokar yang
sangat mengganggu lingkungan
Dalam keterpaduan industri perkebunan karet, asap cair kayu
karet tua ternyata juga dapat berfungsi sebagai anti jamur pada kayu
karet serta dapat juga sebagai anti rayap. Dengan metode perendaman
kayu karet dalam asap cair, dihasilkan olahan kayu karet yang awet
dengan warna yang kuning keemasan sampai coklat sehingga

12
kualitasnya lebih baik (Darmadji, dkk., 2005; Adi Pazman, 2009).
Arang hasil samping produksi asap cair juga mempunyai potensi yang
sangat besar untuk arang aktif dan aplikasinya untuk pemurnian asap
cair, dan sebagai filler yang baik kompon karet yang selanjutnya
digunakan sebagai bahan pembuatan sol sepatu dan ban (Suhardi,
dkk., 1998; Darmadji, dkk., 2005).
Inovasi Teknologi Asap Cair pada Pembuatan Perekat Phenol
Kebutuhan fenol dan turunannya di Indonesia cukup besar dan
terus meningkat dari tahun ke tahun. Data BPS tahun 2008
menunjukan bahwa selama tahun 2007 impor terhadap fenol dan
turunannya mencapai 372 ton. Salah satu penggunaan fenol tersebut
adalah sebagai perekat melalui proses polimerisasi antara
formaldehida dan senyawa fenolik.
Penggunaan asap cair dalam proses polimerisasi sangat
dimungkinkan karena selain mengandung fenol, asap cair terdiri pula
dari bermacam-macam senyawa yang dapat terpolimerisasi. Berdasar
hipotesa ini telah dikembangkan pembuatan perekat phenol dari
berbagai asap cair seperti asap cair kulit kayu jati, serbuk gergaji kayu
glugu, sampah daun, serta sekam padi. Asap cair tersebut dapat
mensubtitusi fenol dalam pembuatan perekat fenol formaldehida
dengan kondisi terbaik pada konsentrasi 50 %, pH 9 dan nisbah fenol
formaldehida 1.75 : 1 dengan kekuatan rekat 101.5 Kg/cm2, kadar
padatan 46.66 %, pH 8.71, berat jenis 1.19 g/cm3, viskositas 0.8
poise dan waktu gelatinasi 35 menit. Kondisi ini menyamai dengan
kualitas perekat penol yang ada di pasaran (Darmadji, dkk., 2005;
2008).
Teknologi Asap cair dalam bidang Energi
Asap cair atau bio-oil yang dihasilkan dari proses pirolisa cepat
mengandung energi sebesar separuh energi minyak diesel dan dapat
dikembangkan menjadi bahan bakar untuk transportasi dengan proses
catalytic hidrotretment atau catalytic cracking. Bio-oil ini juga dapat
digunakan sebagai fuel enhancher untuk memperpanjang masa bakar
ethanol. Berbagai penelitian aplikasi asap cair sebagai fuel enhancer

13
telah dilakukan di laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Fakultas
Teknologi Pertanian UGM. Asap cair tempurung kelapa, mewakili
kayu keras, memiliki kekuatan fuel enhancer sebesar 80,25% dan asap
cair kayu randu, mewakili kayu lunak, memiliki kekuatan fuel
enhancer sebesar 31,07% (Darmadji, dkk., 2005). Saat ini juga sedang
dilakukan penelitian catalytic cracking dari asap cair tempurung
kelapa hasil pirolisa lambat maupun cepat serta dari tar hasil samping
proses pirolisa. Sejalan dengan penelitian ini Departemen Energi
Amerika juga telah dan sedang dikembangkan energi bio-oil berbasis
pirolisis. Proyek penelitian yang saat ini telah dan sedang
dikembangkan adalah: Produksi bio oil dari switchgrass yang dipanen
pada berbagai tingkat kemasakan (Boateng, dkk,. 2006), Produksi bio
oil switchgrass dengan metoda fluidized bed pyrolysis (Boateng, dkk.,
2007), Karakterisasi konversi termal dari arang hasil pirolisa
switchgrass (Boateng, dkk., 2007), Komposisi bio oil hasil fast
pirolisa (Mullen dan Boateng, 2008), Produksi bio oil dari batang
alfafa dengan fluidized bed pirolisa (Boateng dkk., 2008), dan yang
sedang dilakukan saat ini adalah feasibility study untuk produksi bio
oil skala industri.
Seiring dengan kesadaran akan energi yang ramah lingkungan
dengan emisi asap rendah, di negara maju, kebutuhan arang yang
ramah lingkungan atau White charcoal sebagai bahan bakar untuk
perapian, pemanggangan sampai pembangkit listrik mulai diatur
dengan regulasi mengenai ambang batas emisi bahan bakar. White
Charcoal adalah arang yang keras, terbakar lebih lama, berkalori
tinggi, tidak berasap dan tidak berbau, tidak meninggalkan jelaga
ditangan maupun pada tungku. Arang ini secara tradisionil dibuat
dalam kiln pembuat arang pada suhu yang tinggi (1000 oC) dalam
waktu kurang lebih 30 hari namun keberhasilannnya masih rendah.
Menggunakan inovasi teknologi pirolisa, dengan mengatur rasio udara
dan bahan baku serta suhu dan waktu pirolisa maka dalam waktu 24
jam akan didapatkan asap cair sekaligus White Charcoal yang
mempunyai sifat-sifat sesuai dengan white charcoal di pasaran.
(Darmadji, dkk, 2008). Sehingga dengan teknologi ini dapat
mengurangi waktu produksi white charcoal sangat signifikan.

14
Teknologi Asap Cair di masa depan
1. Di bidang Pangan
Biopreservatif asap cair yang aman sebagai alternatif pengganti
pengawet kimia, perlu dikembangkan dengan penuh kehati-hatian.
Tingkat keamanan dan toksisitas pada dosis tertentu telah ditetapkan
aman (Darmadji, 2008), namun masih perlu terus dikaji dan dipantau
pada berbagai faktor. Faktor pertama, adalah bahan reaktor, pipa serta
patri untuk pirolisator harus betul-betul bahan yang aman untuk
pangan yang tidak menimbulkan cemaran pada suhu tinggi dan
suasana asam. Faktor kedua, adalah jenis bahan baku perlu dicermati,
bahan baku kayu tertentu akan menghasilkan asap cair yang sangat
toksik dan karsinogen. Faktor ketiga, suhu dan waktu pirolisa sangat
berpengaruh terhadap terbentuknya senyawa polimerisasi lanjut yang
toksik dan karsinogen. Faktor keempat, proses pemurnian baik proses
pengendapan, sentrifugsi, redistilas dan proses adsorbsi perlu
dilakukan dengan seksama untuk menghasilkan asap cair yang tanpa
atau rendah benzo(a)pyren. Faktor kelima, dosis pemakaian baik
sebagai pengawet dan pemberi flavor perlu dicermati, Konsentrasi dan
lama waktu perendaman perlu ditentukan sehingga kandungan
senyawa toksik dan benzopyren pada produk awetan dan produk
bercitarasa asap harus tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan.
2. Dibidang Non Pangan
Limbah biomasa hasil pertanian dan perkebunan telah banyak
diteliti penanganan dan pemanfaatannya. Limbah biomasa yang
sampai saat perlu penanganan yang lebih serius adalah sampah kota.
Sampah kota ini merupakan problem regional di daerah tingkat satu
maupun tingkat dua yang sangat serius dikarenakan jumlahnya perhari
yang sangat besar dan potensinya sebagai pencemar lingkungan yang
cukup berat. Jumlah sampah perhari pada setiap pembuangan sampah
akhir (TPA) sangat bervariasi tergantung pada luas daerahnya.
Sebagai contoh volume sampah di TPA Gresik, Yogyakarta dan
Jakarta berturut-turut 576, 1.700 dan 10.200 m3 per hari (Adisucipto,
2007). Adapun sampah tersebut berasal dari rumah tangga sebesar

15
73%, hotel 14%, pasar 5% dan 8% berasal dari pusat perbelanjaan,
stasiun, terminal, rumah sakit, rumah makan, kantor dan lain
sebagainya. Berdasarkan komposisi makro sampah kota terdiri dari:
biomasa 58.3%, kertas 9.7%, plastik 22.9%, bahan tak terbakar 4.8%
dan lainnya 4.7% (Darmadji, 2005).
Teknologi pengomposan merupakan teknologi alami yang dapat
dipercepat dengan meggunakan peranan mikrobia. Teknologi ini
cukup ramah lingkungan serta mempunyai daya guna dalam
meningkatkan kesuburan tanah, namun diperlukan areal yang luas dan
jauh dari penduduk sekitar, juga untuk volume yang sangat besar sulit
tertangani, sehingga menimbulkan cemaran bau. Teknologi
pembakaran, cukup efisien untuk sampah kering, untuk sampah basah
akan menghasilkan asap tebal dan waktu pembakaran yang lama,
sehingga menimbulkan cemaran asap yang cukup mengganggu
kesehatan. Teknologi incenerator cukup baik dan efisien, namun
kapasitasnya terbatas. Sehingga timbunan sampah juga akan
mengganggu dan menghasilkan cemaran bau.
Inovasi teknologi asap cair, dengan teknologi pirolisa lambat,
cepat, maupun gasifikasi dilengkapi dengan teknologi kondensasi
sehingga asap yang dihasilkan tidak dibuang di udara bebas namun
dikondensasi atau didinginkan akan menghasilkan asap cair. Hasil
samping dari teknologi asap cair ini berupa arang yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar yang tanpa asap cukup efisien dan
sebagai bahan baku arang aktif dan filler yang berdaya guna tinggi.
Asap cair yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku
industri non pangan seperti phenol glue, fuel enhancer, insektisida dan
pestisida, serta diproses lagi menjadi minyak bakar yang dapat juga
untuk menggerakkan turbin penghasil listrik. Di luar negeri teknologi
pembuat minyak bakar dari asap cair atau bio-oil hasil pirolisis telah
dikembangkan (Holmgren., 2008 ; Rui Li, dkk., 2008; Boateng, et
all., 2008). Penanganan sampah terpadu perlu dilakukan, teknologi
asap cair juga merupakan salah satu upaya dalam penanganan sampah
terpadu. Dengan keterpaduan berbagai disiplin ilmu di UGM ini,
diyakini akan menghasilkan solusi penanganan sampah yang efektif
dan bernilai tambah tinggi serta ramah lingkungan.

16
DAFTAR PUSTAKA
Adi Pazman, (2009). Asap Cair Kayu Karet dan aplikasinya untuk
perbaikan warna dan pengawetan kayu karet. Thesis S-2
Teknologi Hasil Perkebunan , 2009
Adi Sucipto, (2007). Penanganan sampah regional terpadu butuh
waktu 20 tahun. Kompas Cyber Media, 30 Januari 2007.
Barylko-Pikeilna N., (1979). Contribution of smoke compound to
sensory, bacteriostatic and antioxidative effect in smoked food.
Pure and Appl. Chem. 49(11)1667-1671
Boateng, A. A.; Hicks, K. B.; Vogel, K. P., (2006). Pyrolysis of
switchgrass harvested at several stages of maturity. J. Anal.
Appl. Pyrolysis, 55 64.
Boateng, A. A.; Daugaard, D. E.; Goldberg, N. M.; Hicks, K. B.,
(2007) Bench-Scale Fluidized-Bed Pyrolysis of Switchgrass for
Bio-oil Production. Ind. Eng. Chem. Res., 46, 1891 1897.
Boateng, A. A., (2007). Characterization and Thermal Conversion of
Charcoal Derived from Fluidized-Bed Fast Pyrolysis Oil
Production of Switchgrass. Ind. Eng. Chem. Res. 2007, 46, 8857
8862.
Boateng, A.A.,. Mullen, C.A., Goldberg, N., and and Hicks , K.B.
(2008). Production of Bio-oil from Alfalfa Stems by FluidizedBed Fast Pyrolysis. Ind. Eng. Chem. Res., 47 (12), pp 4115
4122
Darmadji, P. (1996). Kadar benzopyren produk-produk asapan
tradisional. Proceeding Seminar Nasional Makanan Tradicional.
Hotel Jayakarta, Yogyakarta, 1996.
Darmadji, P. (1996). Aktivitas antibakteri asap cair yang diproduksi
dari bermacam-macam limbah pertanian. Agritech 16 (4) : 19-22
Darmadji, P., Sri Rahardjo dan Haryadi (1998, 1999). Production of
liquid smoke from Hevea rubber wood for better preservative
qualities of rubber product. 1st and 2nd Year Research Report
Project URGE, World Bank.
Darmadji, P. dan Suhardi. (1998). Produksi karet sheet dengan
menggunakan asap cair sebagai koagulannya. Prosiding Seminar
Nasional PATPI p188

17
Darmadji, P. (2001). Optimasi pemurnian asap cair dengan metoda
redistilasi. Prosiding Seminar Nasional PATPI
Darmadji, P. (2002). Optimasi proses pembuatan tepung asap.
Agritech 22 (4) : 172-177
Darmadji, P. dan Sri Rahardjo, (2002). Production and purification of
liquid smoke from waste of coconut shell and its potential as
antimicrobial, antioxidant, browning and coagulating agents
Proc. on International Conference on Innovations in Food
Processing technology and Engineering. Bangkok.
Darmadji, P. (2004) Benzopyrene of liquid smoke from coconut shell
during production, purification and powdering.. Asean Food
Conference. Bali
Darmadji, P. (2005). Perancangan pengolahan sampah kota berbasis
Teknologi Asap Cair. Agritech, 2005. vol 25 (4)
Darmadji, P., Zuheid Noor dan Pramana Gentur Sutapa, (2005).
Produksi bio-preservatif dari limbah cangkang kelapa sawit dan
aplikasinya untuk pengawetan pangan hasil perkebunan dan
kehutanan. Laporan Penelitian Hibah Tim Pascasarjana.
Darmadji, P.dan H. Triyudianto (2006). Kadar Benzopyren selama
proses pemurnian asap cair dan simulasi akumulasinya pada
proses perendaman ikan. Agritech,26 (2): 94-103
Darmadji, P., Y. Pranoto, R. Rahmat. (2007;2008). Produksi Phenol
Glue dan White Charcoal dari limbah sekam padi. Laporan
Penelitian Kerjasama Litbang Deptan dan dan Universitas
Gadjah Mada, 2007-2008.
Darmadji, P., Y.Marsono dan Suparmo, (2007; 2008). Pembuatan
prototipe biopreservatif asap cair, evaluasi kemanan dan profil
industri sebagai pengawet alami pengganti formalin. Laporan
Penelitian Insentif Terapan. Kementerian Ristek.
Daun, H., (1979). Interaction of Wood Smoke Components and
Foods, Food Technology (32): 66-71.
Dimitriadou, A. Z., D. Petridis., and A.K.D. Taylor, (2008).
Improvement in the Production of Smoked Trout Fillets (Salmo
Gairdnerii) Steamed with Liquid Smoke, Food Science and
Technology International 14: 67-77.
Girard, J.P., (1992). Smoking In Technology of Meat Products.
Clermont Ferrand, Ellis Horwood, New York.

18
Guillen, Md dan M.I. Ibargoita, (1996). Relationship between the
maximum temperature reached in the smoke generation process
from Vitis viniera L Shoot sawdust and composition of the
aquaeus smoke flavoring preparation obtained. J. Agric. Food.
Chem. 44:1302-1307
Guilbaud, M., Chafse, I., Pilet, M., Leroi, Francoise. Prevost, H,
Hebraud, M., Dousset,X., (2008). Response of Listeria
monocytogenes to liquid smoke. Journal of Applied
Microbiology, 06, Volume 104, Issue 6,
Herlina dan Darmadji, (2001). Pembuatan asap cair cangkangsawit
dan aplikasinya untuk pembekuan lateks rakyat (Bokar).
Laporan Penelitian Domestic Collaborative Grant. URGE.
World Bank, 2000.
Holmgren. J., (2008). Hydroprocessing of pyrolysis bio-oil to fuel and
chemical. Smaal Woods. NPRA. National Meeting. Madison,
Wisconsin, 13-15 March 2008
Iwan Setyawan, Budi Rahardjo dan Darmadji, (1997). Difusi asap cair
dalam ikan tongkol. Prosiding Seminar Nasional PATPI p90
Kuntyahyawati dan Darmadji, (2005). Purification and Identification
of volatile compound of liquid smoke from tobacco leaf
Agritech Vol 24 N0 1.
Kim, K., Kuruta, T., and Fujimaki, M., (1972), Identification of
Flavor Costituens in Carbonyl, Non- Carbonyl, Neutral, and
Basic Fractions of Aqueous Smoke Condensates, Agric. Biol.
Chem. 38 (1):53-64.
Maga, J.A., (1988). Smoke in Food Processing. CRC Press, Inc Boca
Raton, Florida.
Mullen, C. A., Boateng, A. A., (2008). Chemical Composition of Biooils Produced by Fast Pyrolysis of Two Energy Crops. Energy
and Fuels, In Press.
Pszczola, D.E., (1995). Tour Higlights Production and Users of
Smoke Based Flavors. Food Technology. (1); 70-74.
Riha, W.E. and W.F. Wendorf, 1993. Browningpotential of liquid
smoke solution. J. Food Sci. 58(3): 671-674

19
Rui Li, Baosheng Jin, Xiangru Jia, Zhaoping Zhong, Gang Xiao,
Xufeng Fu, (2008). Research on combustion characteristics of
bio-oil from sewage sludge. Frontiers of Chemical Engineering
in China
Ruiter, A., (1979). Colour of Smoke Foods. Food Tech., 33 (5): 54-63.
Suhardi, Darmadji, P., Supranto, Herminiwati dan Rofig R Zulhari,
(1998). Optimasi pembuatan arang aktif dari limbah kayu kering
sebagai filler barang karet. Prosiding Seminar Nasional PATPI
p80.
Tranggono, Suhardi, Bambang Setiadji, Darmadji, P., Supranto dan
Sudarmanto, (1996). Identifikasi Asap Cair dar Berbagai Jenis
Kayu dan Tempurung Kelapa, Jurnal Ilmu dan Teknologi
Pangan I (2); 15-24. 117-123Vazques, G. Antorrena, G,
Gonzales & Mayor. 1995. Bioresource Technology Journal 51.
Elsevier Ltd.
Yabiku, H.Y., Martins, M.S. and Takahashi, M.Y., (1993). Levels of
benzo [a] pyrene and other polycyclic aromatic hydrocarbons in
liquid smoke flavour and some smoked foods. Author: Citation:
Food-addit-contam. London ; Philadelphia : Taylor : & :
Francis, c1984-. July/Aug 1993. v. 10 (4) p. 399-405.
Young-Hun Park, Jinsoo Kim, Seung-Soo Kim and Young-Kwon
Park, (2008). Pyrolysis Characteristics and Kinetics of Oak
Trees using Thermogravimetric Analyzer and Micro-tubing
reactor. Bioresource Technology 100: 400405.

Anda mungkin juga menyukai