a. Isim murab zhahir, sebagaimana pada contoh-contoh yang telah lalu/ tadi.
b. Syibhi jumlah (yang menyerupai jumlah seperti zharaf dan jr majrr)
Contoh: ( pada waktu subuh air embun di atas bunga)
: zharaf (makan/ tempat) sebagai mudhaf dan mudhaf ilaih (syibhi
jumlah) dan juga khabar kna.
Contoh: ( guru-guru pada waktu sore ada di rumah)
: jar majrur (syibhi jumlah), khabar .
c. Jumlah (jumlah ismiyyah dan jumlah filiyyah)
Contoh: ( musim dingin itu terasa sangat dingin)
: jumlah ismiyyah (mubtada dan khabar) khabar kna, pada kedudukan
nashab.
Contoh: ( orang yang sedih itu masih menangis)
: jumlah filiyyah (fiil dan fail) khabar pada kedudukan nashab.
3. Boleh mendahulukan khabar kana jika berupa syibhi jumlah serta isim
merupakan isim makrifat.
Contoh: ( jadilah pemalas itu dalam keadaan bingung)
: jar majrur, khabar yang didahulukan sedangkan ialah isim
yang diakhirkan (karena lafazh isim makrifat)
# Dan bisa Wajib (harus) didahulukan khabar kaana jika syibhi jumlah yang
isimnya nakirah.
Contoh: ( air itu dalam gelas)
: jar majrur, khabar kaana yang didahulukan, lafazh isim kaana yang
diakhirkan (karena lafazh nakirah).
Catatan:
Jika huruf nafyi/ menyangkal ( , , , )memasuki mubtada dan khabar, maka
huruf-huruf tadi beramal seperti laisa (teman kaana) yakni merafakan mubtada
dan menashabkan khabar dengan ketentuan:
a. Isim maa didahulukan dari khabarnya dan makna nafyi (menyangkal) tidak
hilang dengan dimasuki illa.
Contoh: ( hak itu tidak hancur)
: huruf nafyi beramal laisa, isim maa marfu dengan dhammah, khabar
maa manshub dengan fathah.
b. Di dalam amal laa dalam hubungannya dengan yang telah lalu (termasuk
mempunyai amal seperti laisa) khabarnya harus nakirah (bukan makrifat).
Contoh: jalan itu tidak macet/ penuh
: huruf nafyi beramal laisa, isim maa marfu dengan dhammah, khabar
maa manshub dengan fathah. (isim laa dan khabarnya nakirah)
pada dasarnya adalah laa nafyi yang dibubuhi ta`tanits yang difathahkan.
Laata dalam bahasa Arab sering terjadi isimnya dibuang dan khabarnya
diadakan (dalam tulisan).
Contoh: ( tidak ada waktu penyesalan)
Asalnya: .
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
: isim maushul (kata sambung) mabni dengan fathah pada kedudukan
nashab isim inna.
Contoh : sesungguhnya kitab ini bermanfaat bagi kami
: isim isyarah (kata tunjuk) mabni dengan sukun pada kedudukan nashab isim
inna.
3. Isim laa yang menafyikan jenis
Laa yang menafyikan jenis termasuk teman inna. Yang dimaksud menafyikan
jenis adalah menafyikan/ menyangkal khabar laa dari seluruh bagian jenis isim.
Berbeda dengan haraf laa biasanya menafyikan satu/ sebuah atau lebih, bukan
menafyikan jenis.
Laa yang menafyikan jenis bisa berawal seperti inna jika terpenuhi tiga syarat
yaitu isim laa harus makrifat, isim laa harus bersambung secara langsung
dengan laa (tidak terpisah oleh pemisah apapun), laa tidak disertai oleh haraf jar.
a. Isim laa manshub jika berupa mudhaf atau menyerupai mudhaf.
Contoh: tidaklah orang yang mengerjakan kebaikan dibenci.
: isim laa manshub dengan fathah karena isim mufrad berupa mudhaf.
Contoh: tidaklah orang yang mengerjakan kejelekan terpuji
: isim laa manshub dengan fathah, karena ia isim mufrad berupa kalimat
yang menyerupai mudhaf
Syabihun bil mudhaf ialah isim nakirah yang disambung dengan kata untuk
melengkapi maknanya.
b. Apabila isim laa bukan dari mudhaf atau syabihun bil mudhaf harus
dimabnikan atas tanda nashab kalimat yang menjadi isim laa itu (isim mufrad
mabni fatah, mutsannna mabni yaa, jamak mudzakar salim atas yaa, jamak
taksir mabni fatah dan jamak muannats salim mabni kasrah)
Contoh: tidak ada laki-laki di rumah
: isim laa mabni fathah, karena mudhaf atau syabihun bil mudhaf, berupa
isim mufrad.
Contoh: tidak ada dua orang laki-laki di samping kita.
: isim laa mabni yaa, karena mutsanna, dan bukan mudhaf atau syabihun bil
mudhaf.
Contoh: tidak ada orang-orang yang tercela di kelas
: isim laa mabni yaa karena jamak mudzakar salim, bukan mudhaf ataupun
syabihun bil mudhaf.
Contoh: tidak ada tamu-tamu di rumah
: isim laa mabni fathah karena jamak taktsir, bukan mudhaf atau syabihun
bil mudhaf.
Contoh: tidak ada wanita-wanita tercela itu disukai
: isim laa mabni kasrah, karena ia jamak muannats salim, dan bukan
mudhaf atau syabihun bil mudhaf.
Catatan:
a. Apabila isim laa itu makrifat, maka amal itu hilang dan laa mesti diulang
(dibaca dua kali atau lebih).
Contoh: kaum itu bukan kaumku dan penolong itu bukan
penolongku.
: harf nafyi, : mubtada marfu dengan dhammah, : khabar mubtada
marfu dengan dhammah muqaddarah, terhalang karena adanya kasrah yang
menyesuaikan (kasrah dengan yaa).
b. Jika laa dimasuki huruf jar, maka kalimat yang sesudahnya mesti dijarkan dan
laa nya tambahan hanya untuk menafyikan (menyangkal) saja.
Contoh: tentara itu bergerak maju tanpa takut
: baa huruf jar dan laa huruf nafyi tambahan, : dijarkan dengan kasrah.
c. Jika antara laa dan isimnya terpisah oleh pemisah apapun, maka amal laa
dihilangkan (tidak beramal).
Contoh: tidak mabuk di dalamnya
: huruf nafyi, : jar majrur khabar muqaddam, : mubtada yang diakhirkan.
d. Boleh membuang khabar laa yang menafyikan jenis apabila telah diketahui
dari susunan kalam.
Contoh: ilmu itu tidak diragukan lagi adalah asas dasar.
: mubtada dirafakan dengan dhammah, : huruf nafyi, : isim laa mabni
fathah, dan khabar laa dihilangkan, asalnya , :khabar mubtada
dirafakan dengan dhammah sekaligus mudhaf, : mudhaf ilaih majrur
dengan kasrah.
4. Shigat laa siyyama dihubungkan dengan kaidah laa yang menafyikan jenis.
Isim setelah lafazh laa siyama bisa rafa, nashab, dan majrur jikalau nakirah.
Contohnya sebagai berikut
saya suka buah-buahan terutama jeruk
: nafiyah lil jinsi, : isim laa mansub dengan fathah karena isim mufrad
sekaligus mudhaf, dan khabar laa wajib dihilangkan tetapi pada asalnya ada.
Terdapat 3 keadaan bagi lafazh tersebut:
a. Ma itu zaidah, dalam hal ini isim yang ada setelah lasiyama dijarrkan, dibaca
al-burqali, dianggap sebagai mudhaf ilaih.
b. Atau ma itu isim maushul yang menjadi mudhaf ilaih, dalam hal ini isim yang
ada setelah lasiyama dirafakan dibaca la-burtuqalu dianggap sebagai khabar
dari mubtada yang dibuang yaitu huwa (tidak jelas dalam tulisan)
c. Atau maa itu adalah isim yang dijadikan mudhaf ilaih, dalam hal ini isim yang
ada setelah lasyiama dinashabkan sebagai tamyiz. Dibaca al-butuqalan dengan
syarat bahwa isim tersebut adalah nakirah.
6. Pada asalnya maf`ul bih terletah setelah fi`il dan fa`il , kadang-kadang
mashdar dan isim fa`il beramal seperti fi`ilnya dan masing-masing menasabkan
maf`ul bih.
Contoh : ( Tinggalkanlah pengangguran)
: maf`ul bih untuk masdar, mansub dengan fatah.
Contoh : ( Saya berterimakasih atsa kebaikan anda)
: maf`ul bih untuk isim fa`il, mansub dengan fatah.
Contoh: kapal terbang bertolak pada malam hari. (lafazh lailan merupakan zharaf
zaman dinasabkan dengan fathah).
Contoh: guru berdiri di depan kelas. (lafazh amaama merupakan zharaf makan
dinasabkan dengan fathah).
2. Beberapa zharaf zaman yang paling penting ialah;
Saat, sejam (sah), hari (yaum), seminggu (usb), sebulan (syahr), setahun
(sanatan), pagi-pagi (shabahan), zhuhur, malam (lailan), besok (ghadan),
sebentar (lahzhah), sejenak (burhatan), selama, waktu (muddatan), sore hari
(masaa`an), ketika (hiina), setelah, tengah (itsnaa), selamanya/ abadi (Abadan),
waktu kosong, sebelum (qabla), selama (khilaali), tengah (jauf).
3. Beberapa zharaf makan yang paling penting diantaranya:
Di depan, dibelakang (wara`a/ khalafa), sebelah kanan (yamiin), sebelah kanan
(yasaar/ syimaal), di tengah-tengah (wastun), di atas (fauq), di bawah (tahta),
dekat, disamping (qarb), disamping (inda/ jaanib), di antara (baina), di dekat
(laday), bertepatan dengan (tilqaa`a), arah, seputar, sekitar (haula), dibawah,
mil (mailan), kilo meter.
Zharaf zaman dan makan terbagi ke dalam dua macam
a. Zharaf munsharifah adalah zharaf yang bisa dipakai sebagai zharaf
(dinasabkan) dan bisa pula dijadikan bukan sebagai zharaf dan di Irabi sesuai
dengan jabatannya dalam jumlah (kalimat).
Contoh: saya akan berkunjung kepadamu pada hari jumat. (lafazh yaum/ hari:
zharaf zaman dinasabkan dengan zharaf).
Contoh: saya berjalan dalam jarak I km. (lafazh kilometer: zharaf makan
dinasabkan dengan zharaf.
Bisa juga digunakan bukan sebagai zharaf (sesuai tempatnya dalam jumlah/
kalimat)
Satu kilometer adalah seribu meter. (lafazh kilometer: mubtada dirafakan
dengan dhammah)
Contoh hari jumat telah datang. (lafazh yaum/ hari: fail dirafakan dengan
dhammah.
b. Zharaf ghair munsharifah yang hanya digunakan sebagai zharaf. Diantara
zharaf ini ialah hiiina, bada, atsnaa, khilaali, disamping (inda/ jaanib), di antara
(baina), di dekat (laday), bertepatan dengan (tilqaa`a), seputar, sekitar (haula),
arah, di bawah (duuna).
Contoh: beberapa pesawat terbang di atas awan. (lafazh fauqa/ di atas: zharaf
makan maful fiih dinasabkan dengan zharaf.
Contoh: surga itu berada di bawah telapak kaki kaum ibu. (lafazh tahta/ dibawah:
zharaf makan menjadi khabar, dinasabkan dengan fiil yang wajib dihilangkan,
asalanya ada lafazh tastaqirru (berada).
Contoh: saya bertemu dengan seorang laki-laki yang berada di dekatmu.
(didekat: zharaf makan).
4. Kebolehan menjarrkan zharaf-zharaf ghair munsharifah dengan lafazh min.
Contoh: katakanlah seluruh persoalan datang dari Allah. (min indi)
Mengalir dari bawah (surga) sungai-sungai. (min tahti)
terdapat juga zharaf-zharaf yang mabni yang tidak berubah (harakatnya)
dengan perubahan kedudukan pada kalimat. Dintaranya ialah; haisu mabni
dengan dhamah, amsaa mabni dengan fathah, al`aan mabni dengan fathah.
Kedelapan Haal
1. Hal adalah isim nakirah yang dinasabkan yang menerangkan keadaan
fa`il(pelaku) atau maf`ul bih (objek) pada waktu terjadinya pekerjaan, yakni
hal itu merupakan jawaban dari Dalam keadaan bagaimana pekerjaan itu
terjadi?. Fa`il atau maf`ul bih yang diterangkan keadaannya itu disebut
Shahibul hal dan shahibul hal ini selamanya mesti ma`rifat.
Contoh : ( Orang sakit shalat sambil duduk)
: menerangkan tentang hal/keadaan fa`il mansub dengan fathah
karena isim mufrad.
Contoh : ( Saya minum air dalam keadaan bersih)
: menerangkan tentang hal/keadaan maf`ul bih ( air) ketika waktu
meminumnya, berkedudukan sebagai hal dinasabkan dengan fathah.
2. Hal itu ada tiga macam:
a. Isim zhahir yang menjadi hal biasanya dari sifat yang nakirah (kata
keterangan keadaan umum). Sifat ini bersifat temporer/sewaktu-waktu yakni
bukan merupakan keharusan kalimah yang disifatinya melainkan hanya
menunjukan keadaan kalimah (shahibul hal) tersebut pada waktu terjadinya
pekerjaan saja. Hal mesti sama dengan shahibul hal dalam macamnya
(mudzakar dan muannats) dalam `adadnya (mufrad,mutsanna dan jamak)
Contoh : ( Kapal terbang kembali dengan selamat)
: Shahibul hal, mufrad muannats, slimah : berkedudukan sebagai hal
mufrad muannats.
Contoh : ( Duakapal terbang kembali dengan selamat)