Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kehendak-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas kesenian tentang Pakaian Masyarakat Surabaya Jaman
Dahulu ini.
Masyarakat Surabaya memiliki keunikan dalam hal pakaian tradisional. Berbeda
dengan pakaian di daerah lain yang menonjolkan ciri khas sebagai simbol dan identitas
pakaian tersebut, Surabaya memiliki kecenderungan mengalkulturasikan kebudayaan daerahdaerah maupun negara lain yang pernah transit di Surabaya sebagai pakaian keseharian
masyarakat. Sehingga terciptalah keanekaragaman dalam berpakaian. Selain itu Surabaya
tidak menggunakan sistem stratifikasi sosial dalam pengelompokan kasta dalam masyarakat
sehingga tidak ada unsur pembeda dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang menjadi
Surabaya disebut sebagai kota yang dinamis dalam hal penerimaan budaya baru meskipun
masih konteks jaman dahulu.
Kami berharap makalah kami ini memenuhi tugas seperti yang diharapkan dan dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Namun, kami masih mengharapkan saran dan masukan demi
perbaikan tugas kami. Akhirnya, kami ucapkan terima kasih.

Surabaya, Maret 2013

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pakaian rakyat atau pakaian adat sangat erat hubungannya dengan masyarakat tertentu

pada daerah tertentu yang mengenakannya. Pakaian rakyat semakin lama semakin tergeser
dengan adanya keberadaan pakaian modern yang kian marak beredar. Pakaian rakyat sudah
tidak lagi menjadi pilihan pertama rakyatnya. Walaupun pada dasarnya memang tidak benarbenar ditinggalkan, namun hanya sedikit dari masyarakat yang tau betul pakaian rakyat atau
pakaian adat nya seperti apa.
Begitu pula pakaian rakyat Surabaya yang semakin hari juga semakin berkurang
peminatnya. Hanya sebagian kecil masyarakat Surabaya yang benar-benar mengenal pakaian
adat Surabaya. Itu saja orang-orang tua yang masih hidup hingga kini. Sedangkan untuk
masyarakat umum seperti anak muda, mungkin hanya beberapa saja yang hanya sekedar tau.
Padahal pakaian adat merupakan pakaian yang mencerminkan dan bisa menjadi icon suatu
rakyat pada daerah tertentu. Pakaian adat juga bisa dijadikan sumber penghasilan masyarakat
seandaikan mereka mau berkecimpung dan memanfaatkannya dalam perekonomian kreatif di
bidang fashion. Namun hal ini sangat disayangkan mengingat sedikitnya masyarakat yang
melestarikannya. Terutama pada generasi muda yang cenderung menganggap pakaian adat
tidak menarik sehingga tidak mau tau dengan pakaian adat. Padahal generasi muda sangat
dibutuhkan dalam hal pelestarian karena siapa lagi yang akan melestarikan pakaian adat kalau
bukan mereka. Untuk melestarikan suatu budaya, masyarakat harus mengenalnya terlebih
dahulu. Setelah mengenalnya lah mereka bisa mencintai dan pada akhirnya melestarikannya.
Perlunya pengenalan pakaian adat ke masyarakat sangatlah penting agar nantinya masyarakat
bisa mengenalnya lebih jauh dan pada akhirnya tertarik untuk melestarikan. Anggapan bahwa
pakaian adat tidak menarik juga perlu untuk dihapuskan dari pemikiran masyarakat.
Berdasarkan hal ini kami tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui
pakaian adat seperti apa yang ada di Surabaya. Hal ini diharapkan akan memberikan
informasi kepada masyarakat tentang pakaian adat dan dapat membuat meningkatnya minat
masyarakat pada pakaian adat.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang judul yang diambil penulis, maka rumusan masalah yang

akan dibahas adalah :


1. Bagaimana bentuk dan jenis pakaian rakyat asli Surabaya?
2. Apakah karakteristik khusus dari pakaian asli rakyat Surabaya?
3. Bagaimana fisolofi pakaian rakyat Surabaya?
1.3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah:
1. Mengetahui tentang pakaian asli rakyat Surabaya
2. Mengetahui kegunaan pakaian asli rakyat Surabaya
1.4

Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian di atas, maka diharapkan

pen
1. Memberikan wawasan pada setiap individu mengenai baju adat/keseharian rakyat
Surabaya pada jaman dahulu.
2. Membantu setiap pembaca untuk mempelajari lebih dalam tentang baju
adat/keseharian rakyat Surabaya pada jaman dahulu

1.5

Tinjauan Kepustakaan
Pakaian

adalah

kebutuhan

pokok

manusia

selain

makanan

dan

tempat

berteduh/tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan


menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga
digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya.
Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya
yang memiliki ciri khas masing-masing. (Wikipedia)
Rakyat adalah

bagian

dari

suatu negara atau elemen penting

dari

suatu

[pemerintahan]. Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi sama dan
tinggal di daerah/pemerintahan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama
yaitu

untuk

membela

negaranya

bila

diperlukan.Elemen

rakyat

terdiri

dari wanita , pria , anak-anak , kakek dan nenek.Rakyat akan dikatakan rakyat jika telah
disahkan oleh negara yang ditempatinya dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai
rakyat/warga

negara

Rakyat

diambil

dari

kata

Rahayat..artinya

yang

mengabdi,pengikut,pendukung.Konotasinya sangat merendahkan karena dianggap sebagai


"hamba,budak dan sejenisnya". (Wikipedia)
Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan
kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, dengan jumlah penduduk metropolisnya
yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan
pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan
karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan
bangsa Indonesia dari penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran
antara sura (ikan hiu) dan baya (buaya) dan akhirnya menjadi kota Surabaya.(Wikipedia)
Menurut Sensus Penduduk Tahun 2010, Kota Surabaya memiliki jumlah penduduk
sebanyak 2.765.908 jiwa. Dengan wilayah seluas 333,063 km, maka kepadatan penduduk
Kota Surabaya adalah sebesar 8.304 jiwa per km. (Wikipedia)
Suku Jawa adalah suku bangsa mayoritas di Surabaya. Dibanding dengan masyarakat
Jawa pada umumnya, Suku Jawa di Surabaya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras
dan egaliter. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya dari kraton yang dipandang
sebagai pusat budaya Jawa. (Wikipedia)

Meskipun Jawa adalah suku mayoritas (83,68%), tetapi Surabaya juga menjadi tempat
tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%),
Arab (2,04%), dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado,
Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, dan Aceh atau warga asing. (Wikipedia)
Sebagai pusat pendidikan, Surabaya juga menjadi tempat tinggal mahasiswa dari
berbagai daerah dari seluruh Indonesia, bahkan di antara mereka juga membentuk wadah
komunitas tersendiri. Sebagai pusat komersial regional, banyak warga asing (ekspatriat) yang
tinggal di daerah Surabaya, terutama di daerah Surabaya Barat. (Wikipedia)
Surabaya memiliki dialek khas Bahasa Jawa yang dikenal dengan Boso Suroboyoan.
Dialek ini dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya, dan memiliki pengaruh di bagian
timur Provinsi Jawa Timur. Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan, dan tidak mengenal
ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa standar pada umumnya. Masyarakat Surabaya
dikenal cukup fanatik dan bangga terhadap bahasanya. Tetapi oleh peradaban yang sudah
maju dan banyaknya pendatang yang datang ke Surabaya yang telah mencampuradukkan
bahasa Suroboyo, Jawa Ngoko dan Madura, bahasa asli Suroboyo sudah punah. Contoh
Njegog:Belok, Ndherok:Berhenti, Gog:Paklek/Om, Maklik:Bulek/tante. (Wikipedia)
Surabaya dikenal memiliki kesenian khas:

Ludruk, adalah seni pertunjukan drama yang menceritakan kehidupan rakyat seharihari.

Tari Remo, adalah tarian selamat datang yang umumnya dipersembahkan untuk tamu
istimewa

Kidungan, adalah pantun yang dilagukan, dan mengandung unsur humor

Selain kesenian khas di atas, budaya panggilan arek (sebutan khas Surabaya) diterjemahkan
sebagai Cak untuk laki-laki dan Ning untuk wanita. (Wikipedia)

BAB II
METODE DAN ALAT PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian pertama dilaksanakan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya, Jl.
Adityawarman no.101 tanggal 23 Maret 2013 dan penelitian kedua dilakukan di
Rumah Bapak Dukut Imam Widodo yang terletak di Jalan Wiguna, Rungkut,
Surabaya.
2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku catatan, alat tulis dan
kamera digital.
3. Metode
Pencarian Informasi
Pencarian informasi dilakukan dengan mencari data-data/informasi dari internet
agar mendapatkan informasi dengan lingkup yang lebih luas. Selain itu bertanya
pada narasumber yang dirasa mampu dalam menambah materi dan data-data yang
kuat untuk mendukung hasil penelitian.
Teknik Wawancara
Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan
dengan data yang dibutuhkan. Narasumber berasal dari bidang kebudayaan di
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya serta Bapak Dukut Imam Widodo,
penulis buku Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe yang mengetahui seluk beluk
Surabaya pada zaman dahulu serta mempunyai banyak buku mengenai sejarah dan
perkembangan rakyat Surabaya terutama mengenai pakaiannya.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah lokasi penelitian ditetapkan dan wawancara
dilaksanakan. Data dan informasi yang dicatat adalah sejarah Surabaya zaman dahulu
serta pengaruhnya terhadap pakaian rakyat Surabaya, ciri pakaian rakyat Surabaya
yang membedakannya dengan pakaian masyarakat daerah lain, filosofi pakaian rakyat
Surabaya, proses pembuatan pakaian rakyat Surabaya, dan pelestarian pakaian rakyat
tersebut di jaman sekarang.

5. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul disusun secara keseluruhan sehingga data dapat
dikelompokkan secara sistematis. Setelah itu didiskusikan dengan anggota kelompok
bagian mana yang kiranya digunakan atau tidak dapat digunakan dengan kata lain
tahap penyeleksian. Setelah itu disusun dan dibuat makalah.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian dan wawancara dengan beberapa narasumber yang sudah ahli
dan mengetahui tentang seluk beluk kota Surabaya terutama mengenai pakaian rakyat
Surabaya yang telah kami lakukan, didapatkan perbedaan yang cukup mengejutkan yang
kami dapatkan saat mewawancarai pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya
dengan hasil yang kami dapatkan saat kami mewancarai Bapak Dukut Imam Widodo. Hasil
yang kami dapatkan setelah melakukan wawancara dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Surabaya adalah masyarakat Surabaya tidak memiliki ciri khas dalam hal pakaian
karena

kedinamisan

masyarakat

terhadap

banyaknya

budaya-budaya

yang

turut

mengalkulturasi. Masyarakat Surabaya pada jaman dahulu tidak menanamkan sistem


stratifikasi sosial dalam penataan strata masyarakat, berbeda dengan kondisi di Jogja atau
Solo yang masih memberlakukan kondisi tersebut hingga sekarang. Contoh konkret terjadi
kesenjangan akibat sistem keraton di Jogja dan di Solo dalam hal pakaian priyayi/ bangsawan
(pemimpin, penguasa) dan rakyat sebagai abdi dalem. Para priyayi mengenakan batik dengan
motif parang. Namun abdi dalem (pembantu di keraton) tidak boleh mengenakan batik
dengan motif parang. Hal ini menunjukkan adanya pelapisan pada masyarakat dalam hal
berpakaian berbeda dengan kondisi masyarakat Surabaya yang tidak ada aturan atau
pelarangan tertentu.
Karena kondisi masyarakat yang fleksibel inilah memberikan dampak pada
banyaknya turis atau pedagang luar negeri jaman dahulu untuk transit di Surabaya.
Masyarakat Surabaya yang memiliki sifat mudah menerima budaya baru mendapat banyak
akulturasi dari bangsa Arab, Madura, China dan banyak lagi. Sehingga terbentuk kebudayaan
yang heterogen. Contoh yang ditimbulkan karena masuknya kebudayaan bangsa asing adalah
dengan ditemukannya pakaian yang digunakan Manten Pegon. Deskripsi menonjol dari
pakaian ini adalah dipakainya jubah untuk mempelai pria, dampak dari kebudayaan Arab dan
penggunaan cadar oleh wanita yang mendapat budaya dari China. Selain itu dapat dibuktikan
dari busana yang dikenakan saat acara pernikahan. Di Surabaya, terdapat busana pengantin
yang sangat unik karena merupakan akulturasi dari beberapa etnik budaya, yaitu budaya
Surabaya, Arab, Madura, China dan Belanda. Paduan budaya itu dapat dilihat pada rias
busana pengantin pria yang diambil dari budaya Arab, yaitu memakai Jubah dan Sorban.

Sedangkan budaya Jawa dengan memakai Rok Panjang. Sedangkan Slayer mengikuti budaya
Barat. Jamang (Mahkota) -nya diambil dari budaya Jawa, dan bahan Sutra diambil dari
budaya Cina.
Pada zaman dahulu, di Surabaya pernah ada sebuah kadipaten yang dinamakan
Kadipaten Surabaya. Namun hingga kini belum diketahui secara pasti (belum ditemukan
sumber-sumber sejarah seperti prasasti atau gulungan sejarah) bagaimana sistem
kemasyarakatan yang terdapat di kadipaten tersebut (bagaimana cara berpakaian, apa ada
perbedaan cara berpakaian antara bangsawan dengan rakyat biasa). Ditambah lagi karena
Surabaya merupakan kota yang terkenal dengan masyarakatnya multikultural di mana terdiri
dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, dan agama. Suku Jawa adalah suku mayoritas
(83,68%) di Surabaya. Selain Suku Jawa, suku Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab
(2,04%), seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, dan
Aceh serta warga negara asing juga bertempat tinggal di Surabaya. Tak heran apabila
kebudayaan yang sekarang ada, tumbuh, dan berkembang di Surabaya merupakan alkulturasi
dari

berbagai

suku

bangsa

yang

mendiami

Surabaya.

Beranjak ke abad 20 masyarakat mulai mengalami perubahan pesat dalam hal


pakaian. Di awal abad 20 tepatnya 1940 masyarakat Surabaya yang bergender pria mulai
menggunakan celana panjang serta kaos untuk keseharianya sedangkan masyarakat wanita
mulai banyak yang meninggalkan jarik dan berganti dengan rok yang sifatnya lebih mudah
dalam hal penggunaan dan lebih variatif dalam hal desain.
Kondisi inilah yang membuat seakan-akan masyarakat Surabaya kurang memiliki
identitas yang mudah dikenali sebagai ciri khas pakaian masyarakat sendiri. Maka pemerintah
kota Surabaya menetapkan pakaian Cak dan Ning sebagai betuk kepedulian pada pelestarian
pakaian asli masyarakat Surabaya.
Fungsi pakaian Cak dan Ning di jaman dahulu adalah pakaian resmi pejabat kota dan
hanya digunakan pada saat acara formal saja, bukan untuk kegiatan sehari-hari utuk menjaga
estetikanya. Hingga sekarang kebiasaan ini tetap dilakukan. Contohnya seperti publikasi pada
event-event seperti kunjungan kenegaraan yang dilaksanakan di Jakarta. Bahkan di kancah
internasional manekin dengan pakaian Cak dan Ning milik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
akan diperkenalkan di Korea Selatan pada bulan April 2013 mendatang.
Produksi pakaian Cak dan Ning ini tidak sembarangan diperbanyak. Dengan kata lain
hanya diproduksi apabila ada event tertentu. Salah satu bisnis yang bergerak di bidang ini

adalah usaha milik Bu Shanti dan Bu Ida yang menyediakan jasa pembuatan pakaian Cak dan
Ning. Mereka bergerak secara independen.
Pemerintah Surabaya juga ikut andil dalam usaha pelestarian pakaian Cak dan Ning
ini. Hal ini ditempuh dengan cara kontes Cak dan Ning yang diselenggarakan tiap tahun
untuk mempeingati Hari Jadi Kota Surabaya tiap tanggal 31 Mei. Selain itu, wanita nomor
satu di Surabaya, Bu Risma selaku walikota juga mengenakan pakaian Cak dan Ning dalam
tiap event yang beliau datangi sebagai bentuk pemeloporan penggunaan pakaian ini. Bahkan
di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga terbentuk Paguyuban Pariwisata Cak Ning, yaitu
organisasi nonformal yang dibentuk untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai
pakaian Cak dan Ning pada sekolah SMP maupun SMA di Surabaya.
Namun setelah melakukan wawancara dengan Bapak Dukut Imam Widodo diperoleh
hasil bahwa ada ciri khas pada pakaian asli rakyat jelata di Kota Surabaya pada zaman
dahulu.
Rakyat Laki-laki mengenakan udeng yang berbeda dengan udeng yang biasa dikenakan oleh
rakyat laki-laki di Bali pada umumnya. Yang membedakannya adalah ikatan udeng di bagian belakang
lebih panjang. Mereka juga mengenakan sarung/jarit yang bermotif batik atau sering kali pada saat
bersantai dengan keluarga, mereka mengenakan celana . Untuk atasannya, mereka mengenakan baju
potong gulon (sejenis baju koko) atau terkadang mereka bertelanjang dada untuk mengatasi kepenatan
dan beradaptasi dengan cuaca kota Surabaya yang panas.
Sedangkan untuk rakyat perempuan biasanya mengenakan kebaya dengan jarit atau terkadang
mengenakan kemben.
Hampir semua pakaian rakyat Surabaya menggunakan kain blaco (kain putih kekuningan dan
kasar) sebagai bahan pembuatan pakaian mereka karena pada dasarnya mereka tidak mampu membeli
pakaian dengan kualitas bahan yang lebih baik. Berbeda dengan kaum bangsawan yang mengenakan
baju beludru hitam yang halus.
Selain warna putih kekuningan dan kasar, kebanyakan warna pakaian mereka adalah warna putih
karena putih merupakan warna dasar dan untuk membuatnya dibutuhkan biaya yang lebih murah dan
terjangkau daripada membuat pakaian yang berwarna selain putih (misalnya merah, biru, hijau, dll).
Pakaian rakyat surabaya tidak berubah meskipun penjajah datang dan menjajah Indonesia selama
lebih dari 3 abad. Namun perubahan terhadap pakaian rakyat Surabaya terjadi setelah Indonesia
merdeka. Rakyat laki-laki mengenakan kemeja dan celana sebagai simbol adanya pengaruh
modernisasi yang masuk ke Indonesia. Sedangkan untuk penduduk wanita di Surabaya masih ada

yang mengenakan kebaya dan jarit tapi sudah jarang sekali. Mereka lebih banyak mengenakan blus
dan rok yang dianggap lebih modern dan praktis.
Saat ini pakaian asli rakyat surabaya yang sudah dijelaskan sebelumnya sudah tidak ada dan
sudah tidak diproduksi lagi. Mungkin masih ada beberapa orang yang menyimpannya sebagai
peninggalan kakek dan nenek mereka namun kebanyakan dari pakaian itu sudah musnah. Pakaian
rakyat Surabaya ini tidak dimuseumkan mungkin karena sudah jarang sekali yang mempunyai
pakaian itu sehingga jarang sekali dari masyarakat Surabaya sendiri yang mengetahui bagaiamana
bentuk pakaian rakyat Surabaya pada zaman dahulu secara nyata.
Sedangkan pakaian cak ning surabaya bukan merupakan pakaian rakyat surabaya asli baru
diciptakan 15 th lalu, tidak menggunakan pakaian masy. Surabaya asli karena mungkin dianggap
kampungan.

BAB IV
PENUTUP
4.1

Simpulan

4.2

Lampiran

4.3

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai