PROBLEM SOLVING
A. Sekilas Tentang John Hurley Flavell
Tokoh Teori Metakognisi: John Hurley Flavell
Lahir pada tanggal 9 Agustus 1928 di Rockland,
Massachusetts, Amerika Serikat.
Setelah lulus sekolah tinggi pada tahun 1945,
Flavell bergabung dengan Tentara
tahun. Dia kemudian masuk
di
selama dua
Northeastern
meneliti
dapat melibatkan hal-hal yang di masa lalu atau di masa sekarang, nyata atau
imajiner. Mereka membedakan berpikir dari aktivitas lain seperti berbicara,
merasa, melihat, atau mengetahui. Pada tahun 1976, ia menjadi profesor
psikologi di Stanford University. Di sana ia melanjutkan keterlibatannya
dengan organisasi profesional. Ia menjabat sebagai presiden Society for
Research de Child Development 1979-1981. Pada tahun 1986 Flavell
menerima penghargaan Award G. Stanley Hall dari APA (American
Psychological Association).
B. Pengertian Metakognisi
Secara harfiah, metakognisi bisa diterjemahkan secara bebas sebagai
kesadaran berfikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses
berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah
terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu.
John Hurley Flavell pertama kali menggunakan istilah kata "metakognisi"
yang merujuk pada pengetahuan seseorang tentang proses kognisi sendiri atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah kognisi, misalnya, belajar
sesuatu yang relevan dari informasi atau data. Metakognisi mengacu pada
control yang benar-benar sadar akan aktivitas kognisinya (Brown, 1980).
Apa itu metakognisi? Biasanya secara luas dan agak longgar
didefinisikan sebagai semua pengetahuan atau aktivitas kognisi yang terjadi
seperti obyeknya, atau mengatur semua aspek dari semua upaya kognisi.
Disebut metakognisi karena pengertian intinya adalah kognisi seputar
kognisi. Ketrampilan metakognisi dipercaya memainkan peran penting
dalam banyak jenis aktivitas kognisi termasuk komunikasi oral, informasi,
persuasi oral, komprehensi oral, komprehensi membaca, menulis, akuisisi
bahasa, persepsi, perhatian, memori; penyelesaian masalah, kognisi sosial,
dan berbagai bentuk instruksi diri dan control diri (Flavell, 1985 : 104).
J.H. Flavell (1976 : 232), dalam teorinya, salah satu dari teori Piaget
perkembangan kognisi, menggunakan hypercognition istilah untuk merujuk
kepada diri monitoring, self-representasi, dan proses pengaturan diri, yang
dianggap sebagai komponen integral dari pikiran manusia. Selain itu,. dengan
2
metakognisi
merujuk
pada
kajian
memori-monitoring
dan
pengaturan diri, metapenalaran, kesadaran dan auto-consciousness/selfawareness. Dalam prakteknya kapasitas ini digunakan untuk mengatur kognisi
sendiri, untuk memaksimalkan potensi seseorang untuk berpikir, belajar dan
evaluasi aturan etika/moral yang tepat.
Metakognisi
terbagi
menjadi
dua
rangkaian
ketrampilan
yang
bagaimana menganggarkan
ketrampilan metakognisi
Kuhn (1999)
tersusun dari bahan yang biasa dipakai (Baker dan Brown, 1984). Dermitzaki
(2005) menemukan bahwa
Aktivitas monitoring
diterapkan lebih sering oleh anak lebih tua dan orang dewasa daripada oleh
anak kecil, namun anak lebih tua dan orang dewasa tidak selalu memonitor
komphrensinya (kecakapannya)
tindakan
Ini secara
Cognitive
Strategies
Metacognitive
Strategies
Metacognitive
Knowledge
Cognitive
Goals
Leaner
Variables
Task
Variables
Strategy
Variable
sd
dengan orang yang belajar, tugas-tugas dan strategi (Duel, 1986; Flavell dan
Wellman, 1977).
perkembangan
pembelajar
mempengaruhi
metakognisi
kemampuan memori.
Kemampuan pembelajar memonitor seberapa baik mereka sudah
menyelesaikan tugas memori juga bervariasi. Anak lebih tua lebih akurat
dalam menilai apakah mereka sudah mengingat kembali semua item yang
mereka ingat dan apakah mereka dapat mengingat kembali informasi.
Wellman (1977) menyajikan anak-anak dengan gambar-gambar obyek
dan meminta mereka memberi nama obyeknya. Jika anak tidak dapat
memberi nama semuanya, mereka diminta apakah mereka dapat mengenali
namanya. Dibandingkan dengan anak usia taman kanak-kanak, akan kelas
tiga lebih akurat memprediksi nama obyek yang mana yang mereka bisa
kenali.
2. Variabel Tugas
Mengenali
dalam
Anak lebih tua lebih sering percaya bahwa cerita yang tersusun dengan
baik lebih mudah diingat dariapda bagian informasi yang tidak tersusun
dengan baik.
Berkaitan dengan tujuan pembelajaran, anak kelas enam tahu lebih
baik daripada anak kelas dua di mana siswa seharusnya memanfaatkan
strategi membaca ang berbeda yang tergantung pada apakah tujuannya
adalah untuk mengingat kembali kata-kata dalam cerita atau kata mereka
sendiri (Myers dan Paris, 1978).
Beberapa tugas sekolah tidak membutuhkan metakognisi karena semua
dapat ditangai secara rutin. Bagian isu tersebut dalam scenario pembukaan
aldaah memanfaatkan lebh banyak tugas yang membutuhkan metakognisi
dengan penurunan yang terkait dalam pembelajaran level rendah yang
dapat dibentuk dengan mudah.
3. Variabel Strategi
Metakognisi tergantung pada strategi-strategi yang diterapkan
pembelajar. Anak-anak seusia 3 dan 4 tahun dapat menggunakan strategi
memori untuk mengingat informasi, tetapi kemampuannya untuk
menggunakan strategi meningkat menurut perkembangannya. Anak yang
lebih tua
berpikir seputar
perkembangan
(Duell, 1986).
Meski banyak siswa mampu menggunakan strategi metakognisi,
mereka tidak bisa mengetahui strategi yang mana membantu pembelajaran
dan diungkap dari
Flavell, (1976)
meminta anak usia TK, kelas tiga dan mahasiswa mengingat kembali
seluruh daftar item/barang yang menjelaskan property tertentu (misalnya
7
barang yang mudah pecah). Meski anak kecil dilaporkan sering merespon
bahwa melaksanakan seluruh pencarian informasi menjadi hal penting
(Duell, 1986), hanya mahasiswa secara spontan mengingat kembali
masing-masing item dan memutuskan apakah ini menjelaskan property
tertentu.
Hanya
menghasilkan
sebuah
strategi
tidak
menjamin
pemanfaatannya.
Kekurangan pemanfaatan ini lebih umum pada anak lebih kecil
(Justice, Baker-Ward, Gupta dan Jannings, 1997), dan muncul melekat
dari
pemahaman
anak-anak
bagaimana
sebuah
strategi
bekerja.
parsial hubungan antara niat, aksi dan hasil. Pemahaman tersebut dapat
berkembang antara umur 3 dan 6 tahun (Wellman, 1990).
Variabel tugas, strategi dan pembelajar secara khusus berinteraksi
ketika siswa tersatukan
Pembelajar
dengan aktivitas
bisa tidak dibutuhkan karena materialnya tidak mudah dipelajari atau dapat
diproses secara otomatis. Pembelajar juga mungkin tidak ingin menanamkan
upaya mengerahkan aktivitas metakognisi.
mengatasinya tetapi ada faktor lain, seperti waktu yang dihabiskan dalam
pembelajaran atau upaya-upaya yang dikerahkan, menjadi hal yang lebih
penting untuk pembelajaran (Borkowski dan Cavanaugh, 1979).
Fakta bahwa aktivitas metakognisi meningkatkan prestasi tetapi siswa
tidak bisa secara otomatis memanfaatkannya memberikan hambatan bagi
pendidik. Siswa perlu diajarkan sebuah menu aktivitas seputar
dari
hingga
penerapan
pada
situasi
khusus
(misalnya
monitornya kurang pas jika mereka tidak memahami apa ide utamanya atau
bagaimana menemukannya.
strategi metakognisi,
manfaat,
dan
strategi
berpikir.
Holler,
dkk.
(2002)
bahasa
kedua
'atau
pengetahuan
metakognisi.
Selain
Chamot,
2005;
Zhang,
2010).
Upaya
ini
bertujuan
untuk
pertanyaan (misalnya "Apa yang saya sudah tahu tentang topik ini,
bagaimana saya dapat memecahkan seperti
pemecahan
masalah
didefinisikan
merujuk
pada
dipahami dan
percaya tentang subjek atau tugas, dan penilaian serta dia membuat dalam
12
SUPPORT
TASK
PLANNING
PROVIDE
ORIENTATION
METACOGNITIVE
PROBLEM
SOLVING
SUPPORT
STRATEGY
DEVELOPMENT
SUPPORT
REFLECTION
Apa itu problem solving? Istilah problem solving sering digunakan dalam
berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula.
Tetapi pengertian problem solving memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis
13
menetapkan
problem
solving
sebagai
salah
satu
tujuan
mencoba
untuk
mendapatkan,
menghasilkan
atau
14
Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari
suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan
dan
usaha-usaha
untuk
menyelesaikannya
sampai
memperoleh
15
bagaimana
seseorang mengajarkannya
tidak
sepenuhnya
dapat
dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang
pemrosesan informasi atau proses problem solving telah banyak dilakukan.
Semua ini memberikan beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar
problem solving dan aplikasi dalam pembelajaran. Problem solving sebagai
proses meliputi :
a. Langkah-langkah Pembelajaran Problem Solving
Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru di dalam
pembelajaran problem solving menurut John Dewey dalam Wina Sanjaya
(2010 : 217) menjelaskan ada 6 langkah yang dinamakan metode
pemecahan masalah (problem solving) yaitu sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menetukan masalah yang
akan dipecakan.
2. Menganalis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa berbagai kemungkinan
pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilkinya.
4. Mengumpulkan
data,
yaitu
langkah
siswa
mencari
dan
hipotesis,
yaitu
langkah
siswa
mengambil
atau
hipotesis:
cakap
menelaah
dan
membahas
data,
menginterpretasi,
dan
mencoba
mengkonstruksi
penyelesaiannya.
4. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.
5. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaanpertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
6. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur
membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.
18
19
keberhasilan
memecahkan
masalah
ditunjukkan
oleh
kemampuan :
a. Menunjukkan pemahaman masalah.
b. Menyajikan masalah secara sistematik dalam berbagai bentuk.
c. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam
pemecahan masalah.
d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.
e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah.
20
F. Daftar Pustaka
Asri Budiningsih C. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta
Dale H. Schunk. (2009). Learning Theories An Educational Perspective. New
Jersey: Pearson Education, Upper Sadlle River.
Gredler, M. E. (1997). Learning and Instruction, Theory into Practice. New
Jersey: Merrill, Prentice Hall.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan pembelajaran Matematika.
Malang : JICA.
Robert B. Sund. (1976). Piaget for Educators. Columbus, Ohio: Charles E.
Merril
Schoenfeld, A. H. (1985). Mathematical Problem Solving. New York,:
Academic Press.
Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah dalam Pengajaran Matematika dengan
Menggunakan Penyelesaian Masalah. Dalam Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya. Malang : JICA.
Vye, N. J., Schwartz, D. L., Bransford, J. D., Barron, B. J., & Zech, L.
(1998). SMART environments that support monitoring, reflection and
revision. In D. J. Hacker, J. Dunlosky, & A. C. Graesser (Eds),
Metacognition in Educational Theory and Practice (pp. 305-346).
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Woodcock, D. (1995). Problem Solving in Chemistry , The A thru E
Approach. [unknown 16 Mar 2001] http://oksw01.okanagan.bc.ca/
chem/ probsol/ps_A-E.html.
http://en.wikipedia.org/wiki/Metacognition,
10 Nopember 2010.
yang diakses
pada
tanggal
21