Anda di halaman 1dari 21

TEORI METAKOGNISI DAN

PROBLEM SOLVING
A. Sekilas Tentang John Hurley Flavell
Tokoh Teori Metakognisi: John Hurley Flavell
Lahir pada tanggal 9 Agustus 1928 di Rockland,
Massachusetts, Amerika Serikat.
Setelah lulus sekolah tinggi pada tahun 1945,
Flavell bergabung dengan Tentara
tahun. Dia kemudian masuk

di

selama dua
Northeastern

University di Boston pada bidang program sarjana


psikologi dan lulus pada tahun 1951.
Kemudian Flavell melanjutkan ke di Universitas Clark di Worcester,
Massachusetts, Beliau memperoleh gelar MA pada tahun berikutnya dan gelar
Ph.D. pada tahun 1955. Posisi Flavell pertama adalah sebagai seorang
psikolog klinis di Veteran Administration Hospital di Colorado. Namun
setahun kemudian pindah di University of Rochester di New York, pertama
sebagai rekan klinis, kemudian sebagai asisten profesor psikologi, dan
dipromosikan menjadi profesor pada tahun 1960.
Pada tahun 1965, ia pindah ke Institut Perkembangan Anak di University
of Minnesota sebagai seorang profesor psikologi. Di sana ia melanjutkan
pekerjaannya pada pengembangan kognisi anak. Flavell

meneliti

pengembangan keterampilan memori pada anak-anak, menemukan bahwa


anak-anak perlu memahami konsep memori sebelum mereka dapat
mengembangkan keterampilan untuk memanfaatkan dan meningkatkan
memori. Ia menyebut pengetahuan ini sebagai "metamemory. Kemudian
Flavell meneliti dan mengembangkan teorinya tentang "metakognisi" atau
disebut juga "metaconsciousness," yang merupakan pemahaman anak tentang
cara kerja pikiran manusia dan proses berpikir sendiri.
Dalam penelitiannya telah menemukan bahwa anak-anak prasekolah
memahami berpikir merupakan kegiatan mental manusia dan bahwa hal itu

dapat melibatkan hal-hal yang di masa lalu atau di masa sekarang, nyata atau
imajiner. Mereka membedakan berpikir dari aktivitas lain seperti berbicara,
merasa, melihat, atau mengetahui. Pada tahun 1976, ia menjadi profesor
psikologi di Stanford University. Di sana ia melanjutkan keterlibatannya
dengan organisasi profesional. Ia menjabat sebagai presiden Society for
Research de Child Development 1979-1981. Pada tahun 1986 Flavell
menerima penghargaan Award G. Stanley Hall dari APA (American
Psychological Association).

B. Pengertian Metakognisi
Secara harfiah, metakognisi bisa diterjemahkan secara bebas sebagai
kesadaran berfikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses
berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah
terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu.
John Hurley Flavell pertama kali menggunakan istilah kata "metakognisi"
yang merujuk pada pengetahuan seseorang tentang proses kognisi sendiri atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah kognisi, misalnya, belajar
sesuatu yang relevan dari informasi atau data. Metakognisi mengacu pada
control yang benar-benar sadar akan aktivitas kognisinya (Brown, 1980).
Apa itu metakognisi? Biasanya secara luas dan agak longgar
didefinisikan sebagai semua pengetahuan atau aktivitas kognisi yang terjadi
seperti obyeknya, atau mengatur semua aspek dari semua upaya kognisi.
Disebut metakognisi karena pengertian intinya adalah kognisi seputar
kognisi. Ketrampilan metakognisi dipercaya memainkan peran penting
dalam banyak jenis aktivitas kognisi termasuk komunikasi oral, informasi,
persuasi oral, komprehensi oral, komprehensi membaca, menulis, akuisisi
bahasa, persepsi, perhatian, memori; penyelesaian masalah, kognisi sosial,
dan berbagai bentuk instruksi diri dan control diri (Flavell, 1985 : 104).
J.H. Flavell (1976 : 232), dalam teorinya, salah satu dari teori Piaget
perkembangan kognisi, menggunakan hypercognition istilah untuk merujuk
kepada diri monitoring, self-representasi, dan proses pengaturan diri, yang
dianggap sebagai komponen integral dari pikiran manusia. Selain itu,. dengan
2

rekan-rekannya, ia menunjukkan bahwa proses-proses ini berpartisipasi dalam


kecerdasan umum, bersama dengan efisiensi pengolahan dan penalaran.
Berbagai

metakognisi

merujuk

pada

kajian

memori-monitoring

dan

pengaturan diri, metapenalaran, kesadaran dan auto-consciousness/selfawareness. Dalam prakteknya kapasitas ini digunakan untuk mengatur kognisi
sendiri, untuk memaksimalkan potensi seseorang untuk berpikir, belajar dan
evaluasi aturan etika/moral yang tepat.
Metakognisi

terbagi

menjadi

dua

rangkaian

ketrampilan

yang

berhubungan. Pertama, orang harus memahami ketrampilan, strategi dan


sumber daya apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah tugas. Termasuk dalam
kluster ini adalah menemukan ide-ide utama, mengungkapkan informasi,
membentuk asosiasi atau citra, penggunaan teknik memori, pengorganisasian
material, penggunaan catatan atau penekanan, dan penggunaan teknik uji
(tes).
Kedua, orang harus tahu bagaimana dan kapan menggunakan
ketrampilan-ketrampilan dan strategi ini guna menjamin tugas yang
diselesaikan dengan berhasil.

Aktivitas monitoring ini termasuk level

pengecekan pemahaman, memprediksi hasil, mengevaluasi keefektivan


usaha, perencanaan aktivitas, memutuskan

bagaimana menganggarkan

waktu, dan memperbaiki atau berganti ke aktivitas lain untuk mengatasi


kesulitan (Baker dan Brown, 1984). Secara kolektif, aktivitas metakognisi
merefleksikan aplikasi strategi pengetahuan deklaratif, procedural dan
kondisional pada tugas (Schraw dan Moshman, 1995).
berargumentasi bahwa

ketrampilan metakognisi

Kuhn (1999)

adalah kunci pada

perkembangan berpikir kritis.


Ketrampilan metakognisi berkembang secara perlahan. Anak kecil tidak
secara penuh sadar akan kognisi yang mana memproses berbagai tugas yang
terlibatkan. Misalnya, semua secara khusus buruk dalam memperkenalkan hal
yang telah mereka pikirkan dan mengingat apa yang mereka pikirkan (Flavell,
Green dan Flavell, 1995). Mereka tidak memahami bahwa alur yang tidak
tersusun baik lebih sulit dipahami daripada yang tersusun dengan baik atau
alur yang mengandung bahan yang tidak umum lebih sulit daripada yang
3

tersusun dari bahan yang biasa dipakai (Baker dan Brown, 1984). Dermitzaki
(2005) menemukan bahwa

orang peringkat kedua menggunakan strategi

metakognisi tetapi pemanfaatannya mengggunakan sedikit hubungan dengan


aktivitas regulasi diri anak-anak yang sebenarnya.

Aktivitas monitoring

diterapkan lebih sering oleh anak lebih tua dan orang dewasa daripada oleh
anak kecil, namun anak lebih tua dan orang dewasa tidak selalu memonitor
komphrensinya (kecakapannya)

dan sering buruk dinilai seberapa baik

mereka sudah memahami sebuah teks (Baker, 1989).


Sebaliknya, anak kecil secara kognisi mampu memonitor aktivitas merka
dalam tugas yang sederhana (Kuhn, 1999). Secara umum, pembelajar lebih
sering memonitor aktivitas tugas mereka dengan kesulitan yang biasa saja
daripada tugas-tugas yang mudah (di mana memonitor tidak dibutuhkan) atau
terhadap tugas yang sangat sulit (di mana orang tidak tahu apa yang akan
dikerjakan atau bisa berhenti bekerja).
Kemampuan metakognisi mulai berkembang sekitar usia 5 sampai 7
tahun dan terus melewati masa anak-anak sekolah, meski di dalam semua
kelompok usia ada banyak variabilitasnya (Flavell, 1985). Anak pra sekolah
mampu memeplajari beberapa perilaku strategis (Kail dan Hagen , 1982),
tetapi sebagai hasil dari sekolah, anak berkembang kesadaran yang dapat
mereka kendalikan apa yang mereka pelajari melalui strategi yang mereka
gunakan (Duell, 1986). Flavell dan Wellman (1977) membuat hipotesis
bahwa anak-anak membentuk generalisasi seputar bagaimana

tindakan

mereka mempengaruhi lingkungan ; misalnya mereka belajar apa yang


dikerjaan bagi mereka untuk meningkatkan prestasi sekolah.

Ini secara

khusus benar bersama dengan strategi memori, mungkin karena banyak


keberhasilan di sekolah tergantugn pada infomrasi memori.
Flavell (1976) menjelaskan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang
tentang seseorang kognisi sendiri proses dan produk atau apapun yang
berhubungan dengan pengawasan aktif peraturan konsekuen dan orkestrasi
dari proses ini. Definisi ini menekankan peran eksekutif metakognisi sebagai
proses regulasi. Eksekutif proses mengacu pada proses-proses yang
bertanggung jawab untuk pengolahan tujuan-diarahkan informasi dan
4

pemilihan tindakan. Dalam karyanya, Flavell (1976) mengusulkan bahwa


basis pengetahuan metakognisi terdiri dari apa yang telah kita pelajari,
melalui pengalaman, tentang kegiatan kognisi. Dia lebih jauh menyebutkan
bahwa hal itu bisa dibagi menjadi tiga variabel pengetahuan yang berbeda dan
sangat interaktif; yaitu variabel pembelajar, variabel tugas, dan variabel
strategi. Flavell menyarankan bahwa peran pengetahuan dasar metacognitive
sangat penting untuk belajar sukses dan pembelajar yang baik adalah salah
satu yang memiliki banyak pengetahuan metakognisi tentang diri sebagai
seorang pembelajar, tentang sifat tugas kognisi, dan tentang strategi yang
tepat untuk mencapai tujuan akademik. Gambar 1 menjelaskan komponen
metakognisi seperti yang dinyatakan oleh Flavell.

Cognitive
Strategies

Metacognitive
Strategies

Metacognitive
Knowledge

Cognitive
Goals

Leaner
Variables

Task
Variables

Strategy
Variable
sd

Gambar 1. Flavells Model of Metacognition

Variabel-variabel yang Mempengaruhi Metakognisi


Kesadaran metakognisi

dipengaruhih oleh variabel-variabel yang terkait

dengan orang yang belajar, tugas-tugas dan strategi (Duel, 1986; Flavell dan
Wellman, 1977).

1. Variabel Pembelajar (Orang Yang Belajar)


Level

perkembangan

pembelajar

mempengaruhi

metakognisi

mereka. Anak lebih tua memahami kemampuan memori diri mereka


sendiri dan keterbatasan mereka daripada anak kecil (Flavel, Friedrich dan
Hoyt, 1970). Flavell dkk (1970) menyajikan anak-anak dengan bahan dan
menceritakan kepada mereka untuk mempelajarinya sampai mereka
berpikir mereka dapat secara akurat mengingat kembali informasinya.
Anak berusia 7 sampai 10 lebih akurat dalam menilai kesiapan mereka
mengingat daripada anak berusia 4 sampai 6.

Anak lebih tua juga lebih

sadar bahwa kemampuan memori mereka berbeda dalam satu konteks


dengan yang lain.

Anak dari usia sama menunjukkan variasi dalam

kemampuan memori.
Kemampuan pembelajar memonitor seberapa baik mereka sudah
menyelesaikan tugas memori juga bervariasi. Anak lebih tua lebih akurat
dalam menilai apakah mereka sudah mengingat kembali semua item yang
mereka ingat dan apakah mereka dapat mengingat kembali informasi.
Wellman (1977) menyajikan anak-anak dengan gambar-gambar obyek
dan meminta mereka memberi nama obyeknya. Jika anak tidak dapat
memberi nama semuanya, mereka diminta apakah mereka dapat mengenali
namanya. Dibandingkan dengan anak usia taman kanak-kanak, akan kelas
tiga lebih akurat memprediksi nama obyek yang mana yang mereka bisa
kenali.

2. Variabel Tugas
Mengenali

kesulitan relative bentuk-bentuk pembelajaran yang

berbeda dan mengungkatkan dari berbagai tipe informasi memori menjadi


bagian dari kesadaran metakognisi. Meski anak usia taman kanak-kanak
dan kelas tiga percaya bahwa barang yang biasa diberi nama atau mudah
diberi nama lebih mudah diingat,

anak lebih tua lebih baik

dalam

memprediksi bahwa barang yang dikategorisasi dengan mudah diingat


daripada barang yang secara konseptual tidak berhubungan (Duell, 1986).

Anak lebih tua lebih sering percaya bahwa cerita yang tersusun dengan
baik lebih mudah diingat dariapda bagian informasi yang tidak tersusun
dengan baik.
Berkaitan dengan tujuan pembelajaran, anak kelas enam tahu lebih
baik daripada anak kelas dua di mana siswa seharusnya memanfaatkan
strategi membaca ang berbeda yang tergantung pada apakah tujuannya
adalah untuk mengingat kembali kata-kata dalam cerita atau kata mereka
sendiri (Myers dan Paris, 1978).
Beberapa tugas sekolah tidak membutuhkan metakognisi karena semua
dapat ditangai secara rutin. Bagian isu tersebut dalam scenario pembukaan
aldaah memanfaatkan lebh banyak tugas yang membutuhkan metakognisi
dengan penurunan yang terkait dalam pembelajaran level rendah yang
dapat dibentuk dengan mudah.

3. Variabel Strategi
Metakognisi tergantung pada strategi-strategi yang diterapkan
pembelajar. Anak-anak seusia 3 dan 4 tahun dapat menggunakan strategi
memori untuk mengingat informasi, tetapi kemampuannya untuk
menggunakan strategi meningkat menurut perkembangannya. Anak yang
lebih tua

mampu menyatakan lebih banyak hal yang dapat mereka

kerjakan untuk membantunya mengingat. Terkait umur, anak-anak lebih


sering berpikir hal-hal dunia luar (eksternal) misalnya menulis sebuah
catatan daripada

yang berasal dari dalam (misalnya

berpikir seputar

mengerjakan sesuatu). Penggunaan strategi memori oleh siswa seperti


pengungkapan dan kesungguhan juga meningkatkan

perkembangan

(Duell, 1986).
Meski banyak siswa mampu menggunakan strategi metakognisi,
mereka tidak bisa mengetahui strategi yang mana membantu pembelajaran
dan diungkap dari

mereka, tidak bisa menerapkan strategi tersebut

menjadi hal yang sangat membantu (Flavell, 1985).

Flavell, (1976)

meminta anak usia TK, kelas tiga dan mahasiswa mengingat kembali
seluruh daftar item/barang yang menjelaskan property tertentu (misalnya
7

barang yang mudah pecah). Meski anak kecil dilaporkan sering merespon
bahwa melaksanakan seluruh pencarian informasi menjadi hal penting
(Duell, 1986), hanya mahasiswa secara spontan mengingat kembali
masing-masing item dan memutuskan apakah ini menjelaskan property
tertentu.

Hanya

menghasilkan

sebuah

strategi

tidak

menjamin

pemanfaatannya.
Kekurangan pemanfaatan ini lebih umum pada anak lebih kecil
(Justice, Baker-Ward, Gupta dan Jannings, 1997), dan muncul melekat
dari

pemahaman

anak-anak

bagaimana

sebuah

strategi

bekerja.

Pembelajar lebih tua memahami bahwa perhatian untuk memanfaatkan


sebuah strategi membawa pada pemanfaatan strategi, yang menghasilkan
sebuah hasil.

Anak kecil secara khusus hanya memiliki pemahaman

parsial hubungan antara niat, aksi dan hasil. Pemahaman tersebut dapat
berkembang antara umur 3 dan 6 tahun (Wellman, 1990).
Variabel tugas, strategi dan pembelajar secara khusus berinteraksi
ketika siswa tersatukan

dalam aktivitas metakognisi.

Pembelajar

mempertimbangkan tipe dan lama material yang akan dipelajari


(tugas/task), potensi strategi yang akan dipakai (strategi) dan ketrampilan
mereka memanfaatkan berbagai strategi (pembelajar). Jika pembelajar
berpikir bahwa penggunaan catatan dan penekanan (menggarisbawahi)
adalah strategi yang baik untuk mengidentifikasi poin utama artikel teknik
dan jika mereak percaya bahwa mereka baik dalam memberikan garis
bawah/menekankan ini tetapi buruk dalam penggunaan catatan, mereka
sering akan memutuskan menggaris bawahi. Sebagaimana Schraw dan
Moshman (1995) mencatatkan, pembelajar membuat teori metakognisi
yang termasuk pengetahuan dan strategi yang mereka percaya akan efektif
dalam situasi tertentu.

C. Metakognisi dan Perilaku


Memahami ketrampilan dan strategi yang mana bisa membantu kita
belajar dan mengingat informasi yang dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk
memajukan prestasi kita. Bahkan siswa yang sadar akan apa yang membentu
8

mereka belajar tidak secara konsisten tersatukan


metakognisi dengan berbagai alasan.

dengan aktivitas

Dalam beberapa kasus, metakognisi

bisa tidak dibutuhkan karena materialnya tidak mudah dipelajari atau dapat
diproses secara otomatis. Pembelajar juga mungkin tidak ingin menanamkan
upaya mengerahkan aktivitas metakognisi.

Yang disebut belakangan

merupakan tugas dengan hak mereka sendiri, mereka memanfaatkan waktu


dan upaya. Pembelajar tidak bisa memahami secara penuh bahwa strategi
metagkognisi

meningkatkan kinerja mereka,

atau percaya mereka tidak

mengatasinya tetapi ada faktor lain, seperti waktu yang dihabiskan dalam
pembelajaran atau upaya-upaya yang dikerahkan, menjadi hal yang lebih
penting untuk pembelajaran (Borkowski dan Cavanaugh, 1979).
Fakta bahwa aktivitas metakognisi meningkatkan prestasi tetapi siswa
tidak bisa secara otomatis memanfaatkannya memberikan hambatan bagi
pendidik. Siswa perlu diajarkan sebuah menu aktivitas seputar

dari

penerapan pembelajaran secara umum (misalnya penentuan tujuan dalam


pembelajaran)

hingga

penerapan

pada

situasi

khusus

(misalnya

menggarisbawahi poin penting dalma teks) dan didorong memanfaatkannya


dalam berbagai konteks (Belmont, 1989). Meski komponen pembelajaran
apa saja yang penting, sehingga menjadi kapan, dimana dan mengapa strategi
dimanfaatkan. Pengajaran apa tanpa yang disebut belakangan akan hanya
membingungkan siswa dan dapat membuktikan demoralisasi, siswa yang
tahu apa yang akan dikerjakan tetapi tidak tahu kapan, dimana atau mengapa
mengerjakannya mungkin memegang efikasi diri yang rendah untuk
berprestasi dengan baik di sekolah.
Pembelajar yang baik sering perlu diajarkan pengetahuan deklaratif atau
prosedural dasar bersama dengan ketrampilan metakognisi (Duell, 1986).
Siswa perlu memonitor pemahaman mereka

pada ide-ide utama, tetapi

monitornya kurang pas jika mereka tidak memahami apa ide utamanya atau
bagaimana menemukannya.
strategi metakognisi,

Guru perlu mendorong siswa menerapkan

ini menjadi salah satu implikasi diskusi, dan

menyediakan peluang bagi mereka menerapkan apa yang telah mereka


pelajari di luar konteks pengajaran. Siswa juga perlu umpan balik tentang
9

seberapa baik mereka menerapkan sebuah strategi dan bagaimana


pemanfaatan strategi meningkatkan kinerja mereka (Schunk dan Rice, 1993).

D. Teori Metakognisi dalam Pembelajaran


Dalam domain ilmu saraf kognisi, metakognisi pemantauan dan
pengendalian telah dilihat sebagai fungsi dari korteks prefrontal, yang
menerima (monitor) sinyal sensorik dari daerah korteks lainnya dan melalui
umpan balik menerapkan kontrol. Metakognisi telah digunakan, meskipun
dari definisi asli, untuk menggambarkan pengetahuan itu sendiri.
Komponen Metakognisi diklasifikasikan ke dalam tiga komponen:
1. Pengetahuan metakognisi (juga disebut kesadaran metakognisi) adalah apa
yang orang tahu tentang diri sendiri dan orang lain sebagai prosesor
kognisi.
2. Regulasi metakognisi adalah peraturan kognisi dan pengalaman belajar
melalui serangkaian kegiatan yang membantu orang mengendalikan
pembelajaran mereka.
3. Pengalaman metakognisi adalah

pengalaman yang ada hubungannya

dengan upaya kognisi saat ini, secara terus-menerus.


Metakognisi merujuk kepada tingkat pemikiran yang melibatkan
kontrol yang aktif selama proses berpikir yang digunakan dalam belajar
situasi. Perencanaan cara untuk mendekati tugas belajar, pemantauan
pemahaman, dan mengevaluasi kemajuan terhadap penyelesaian tugas: ini
adalah keterampilan yang metakognisi di alam mereka. Demikian pula,
mempertahankan motivasi untuk melihat tugas untuk penyelesaian juga
merupakan keterampilan metakognisi. Kemampuan untuk menjadi sadar akan
mengganggu rangsangan - baik internal maupun eksternal - dan
mempertahankan usaha dari waktu ke waktu juga melibatkan fungsi
metakognisi atau eksekutif. Teori bahwa metakognisi memiliki peran penting
dalam belajar berhasil artinya adalah penting bahwa itu ditunjukkan oleh para
siswa dan guru. Siswa yang menunjukkan berbagai keterampilan metakognisi
berperforma lebih baik pada ujian dan bekerja lebih lengkap efisien. Mereka
adalah pelajar diatur sendiri yang menggunakan "alat yang tepat untuk
10

pekerjaan" dan mengubah strategi belajar dan keterampilan berdasarkan


kesadaran mereka efektivitas. Individu dengan tingkat tinggi pengetahuan
metakognisi dan keterampilan mengidentifikasi blok untuk belajar sedini
mungkin dan mengubah "alat" atau strategi untuk memastikan pencapaian
tujuan. metacognologist menyadari kekuatan dan kelemahan mereka sendiri,
sifat dari tugas di tangan, dan tersedia "tools" atau keterampilan. Sebuah
repertoar yang lebih luas dari "alat" juga membantu dalam pencapaian tujuan.
Ketika "alat" bersifat umum, generik, dan konteks independen, mereka lebih
mungkin berguna dalam berbagai jenis situasi belajar.
Proses metakognisi seperti yang di mana-mana, terutama, ketika datang
ke diskusi tentang pembelajaran, yang terlibat dalam metakognisi adalah fitur
penting dari diri pelajar. Groups (kelompok) memperkuat diskusi kolektif
metakognisi adalah fitur penting dari kelompok sosial sendiri dan mengatur
diri sendiri. Kegiatan seleksi strategi dan aplikasi termasuk mereka yang
peduli dengan upaya berkelanjutan untuk merencanakan, cek, monitor, pilih,
merevisi, mengevaluasi, dll. Metakognisi adalah 'stabil' dalam keputusan awal
peserta didik berasal dari fakta yang bersangkutan tentang kognisi mereka
melalui pengalaman belajar. Secara bersamaan, ia juga 'terletak' dalam arti
bahwa itu tergantung pada peserta didik keakraban dengan tugas, motivasi,
emosi, dan sebagainya. Individu perlu untuk mengatur pikiran mereka tentang
strategi yang mereka gunakan dan menyesuaikannya berdasarkan situasi yang
strategi sedang diterapkan.
Kemampuan metakognisi setiap individu akan berlainan, tergantung dari
variabel meta kognisi, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan,
pengalaman,

manfaat,

dan

strategi

berpikir.

Holler,

dkk.

(2002)

mengemukakan bahwa aktivitas metakognisi tergantung pada kesadaran


individu, monitoring, dan regulasi. Komponen meta kognisi menurut Sharples
& Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognisi, strategi, prediksi, koneksi,
pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang
komponen metakognisi, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognisi tinggi karena
memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh
11

kembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan


pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan
metakognisi ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
Metakognisi peserta didik didefinisikan dan diselidiki dengan memeriksa
orang tentang pengetahuan, pengetahuan tugas dan pengetahuan strategi.
Wenden (1991) telah mengusulkan dan menggunakan kerangka dan Zhang
(2001) telah mengadopsi pendekatan ini dan diselidiki metakognisi
pembelajar

bahasa

kedua

'atau

pengetahuan

metakognisi.

Selain

mengeksplorasi hubungan antara metakognisi pelajar dan kinerja, peneliti


juga tertarik pada efek instruksi strategis metakognisi yang berorientasi pada
pemahaman bacaan (misalnya, Garner, 1994, dalam konteks bahasa pertama,
dan

Chamot,

2005;

Zhang,

2010).

Upaya

ini

bertujuan

untuk

mengembangkan otonomi pelajar, kemandirian dan self-regulasi.


Metakognisi membantu orang untuk melakukan tugas-tugas kognisi lebih
efektif..

Strategi untuk mempromosikan metakognisi meliputi diri-

pertanyaan (misalnya "Apa yang saya sudah tahu tentang topik ini,
bagaimana saya dapat memecahkan seperti

sebelumnya. Berpikir keras

ketika melakukan tugas, dan membuat representasi grafis (misalnya peta


konsep, diagram alir) dari pikiran seseorang dan pengetahuan. Carr, 2002,
berpendapat bahwa tindakan fisik menulis memainkan peranan besar dalam
pengembangan keterampilan metakognisi (seperti dikutip dalam Gammil,,
2006 p.754).

E. Metakognisi dan Problem Solving


Metakognisi
pengetahuan

pemecahan

masalah

didefinisikan

siswa tentang proses kognisi

merujuk

pada

dan kemampuan untuk

mengendalikan dan memantau proses-proses sebagai fungsi dari umpan balik


siswa menerima melalui hasil pembelajaran (Metcalfe & Shimamura, 1994).
Jadi, dua komponen penting metakognisi terdiri: pengetahuan dan kontrol.
Pengetahuan metakognisi siswa mengacu pada apa yang

dipahami dan

percaya tentang subjek atau tugas, dan penilaian serta dia membuat dalam

12

mengalokasikan sumber daya kognisi sebagai hasil dari pengetahuan (Flavell,


1976; Brown, 1987). Kontrol metakognisi mengacu pada pendekatan dan
strategi siswa merencanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
spesifik dan tingkat kemampuan siswa, monitor, dan memodifikasi operasi
mereka untuk memastikan bahwa belajar adalah efektif (Jacobs & Paris,
1987).
Berkenaan dengan kontrol metakognisi, sumber daya perhatian, strategi
kognisi, dan kesadaran dalam pemahaman, ditingkatkan oleh pengetahuan
metakognisi dan keterampilan (Schraw & Dennison, 1994). Oleh karena itu,
metakognisi adalah penting untuk pemahaman pembelajaran dalam ilmu
karena peserta didik harus mengatur taktik dan strategi kognisi mereka dalam
rangka untuk membangun makna dari bacaan, ceramah, dan pengalaman
laboratorium. Metakognisi sangat diperlukan dalam pemecahan masalah
(problem solving) dalam pembelajaran, seperti digambarkan dalam diagram
berikut:

SUPPORT
TASK
PLANNING

PROVIDE
ORIENTATION

METACOGNITIVE
PROBLEM
SOLVING
SUPPORT
STRATEGY
DEVELOPMENT

SUPPORT
REFLECTION

Figure 2 : Support features for metacognitive training


(Sumber: Australian Journal of Educational Technology)

Apa itu problem solving? Istilah problem solving sering digunakan dalam
berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula.
Tetapi pengertian problem solving memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis

13

besar terdapat tiga macam interpretasi istilah problem solving dalam


pembelajaran, yaitu (1) problem solving sebagai tujuan (as a goal), (2)
problem solving sebagai proses (as a process), dan (3) problem solving
sebagai keterampilan dasar (as a basic skill).
1. Problem solving sebagai tujuan
Para pendidik, dan pihak yang menaruh perhatian pada pendidikan
seringkali

menetapkan

problem

solving

sebagai

salah

satu

tujuan

pembelajaran. Bila problem solving ditetapkan atau dianggap sebagai tujuan


pembelajaran maka ia tidak tergantung pada soal atau masalah yang khusus,
prosedur, atau metode, dan juga isi pembelajaran. Anggapan yang penting
dalam hal ini adalah bahwa pembelajaran tentang bagaimana menyelesaikan
masalah (solve problems) merupakan alasan utama (primary reason) dalam
pembelajaran.
Suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah jika seseorang tidak
mempunyai aturan tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk
menemukan jawaban pertanyaan tersebut.
Munurut George Polya (dalam Hudojo, 2003:150), terdapat dua macam
masalah :
a. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau
konkret, termasuk teka-teki. Kita harus mencari variabel masalah tersebut,
kemudian

mencoba

untuk

mendapatkan,

menghasilkan

atau

mengkonstruksi semua jenis objek yang dapat dipergunakan untuk


menyelesaikan masalah tersebut. Bagian utama dari masalah adalah
sebagai berikut.
(1) Apakah yang dicari?
(2) (Bagaimana data yang diketahui?
(3) Bagaimana syaratnya?
b. Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu
pertanyaan itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya.Kita harus
menjawab pertanyaan : Apakah pernyataan itu benar atau salah ?.

14

Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari
suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan
dan

usaha-usaha

untuk

menyelesaikannya

sampai

memperoleh

penyelesaian. Sedangkan pengajaran penyelesaian masalah merupakan


tindakan guru dalam mendorong siswa agar menerima tantangan dari
pertanyaan bersifat menantang, dan mengarahkan siswa agar dapat
menyelesaikan pertanyaan tersebut (Sukoriyanto, 2001:103).
Tujuan Pembelajaran Problem Solving
Berhasil tidaknya suatu pembelajaran bergantung kepada suatu
tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem solving
adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Hudojo (2003:155), yaitu
sebagai berikut.
(1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan
kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
(2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik
bagi siswa.
(3) Potensi intelektual siswa meningkat.
(4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui
proses melakukan penemuan.

2. Problem solving sebagai proses


Pengertian lain tentang problem solving adalah sebagai sebuah proses
yang dinamis. Dalam aspek ini, problem solving dapat diartikan sebagai
proses mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang
baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi ini, yang perlu diperhatikan adalah
metode, prosedur, strategi dan heuristik yang digunakan siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah. Masalah proses ini sangat penting dalam
belajar matematika dan yang demikian ini sering menjadi fokus dalam
kurikulum matematika.

15

Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan proses problem solving


dan

bagaimana

seseorang mengajarkannya

tidak

sepenuhnya

dapat

dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang
pemrosesan informasi atau proses problem solving telah banyak dilakukan.
Semua ini memberikan beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar
problem solving dan aplikasi dalam pembelajaran. Problem solving sebagai
proses meliputi :
a. Langkah-langkah Pembelajaran Problem Solving
Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru di dalam
pembelajaran problem solving menurut John Dewey dalam Wina Sanjaya
(2010 : 217) menjelaskan ada 6 langkah yang dinamakan metode
pemecahan masalah (problem solving) yaitu sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menetukan masalah yang
akan dipecakan.
2. Menganalis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa berbagai kemungkinan
pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilkinya.
4. Mengumpulkan

data,

yaitu

langkah

siswa

mencari

dan

mengambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.


5. Pengujian

hipotesis,

yaitu

langkah

siswa

mengambil

atau

merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan


hipotesis yang diajukan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa
menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan
hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Sedangkan menurut Hudojo dan Sutawijaya (dalam Hudojo,
2003:162), menjelaskan bahwa langkah-langkah yang diikuti dalam
penyelesaian problem solving yaitu sebagai berikut.
(1) Pemahaman terhadap masalah.
(2) Perencanaan penyelesaian masalah.
(3) Melaksanakan perencanaan.
16

(4) Melihat kembali penyelesaian.

b. Strategi Pembelajaran Problem Solving


Strategi belajar mengajar penyelesaian masalah adalah bagian dari strategi
belajar mengajar inkuiri. Penyelesaian masalah menurut J. Dewey (dalam
Hudojo, 2003:163), ada enam tahap:
(1) Merumuskan masalah: mengetahui dan menemukan masalah secara
jelas.
(2) Menelaah masalah: menggunakan pengetahuan untuk memperinci,
menganalisis masalah dari berbagai sudut.
(3) Merumuskan hipotesis: berimajinasi dan menghayati ruang lingkup,
sebab akibat dan alternatif penyelesaian.
(4) Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian
hipotesis: kecakapan mencari dan menyusun data, menyajikan data
dalam bentuk diagram, gambar.
(5) Pembuktian

hipotesis:

cakap

menelaah

dan

membahas

data,

menghitung dan menghubungkan, keterampilan mengambil keputusan


dan kesimpulan.
(6) Menentukan pilihan penyelesaian: kecakapan membuat alternatif
penyelesaian, kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan
akibat yang akan terjadi pada setiap langkah.

3. Problem solving sebagai keterampilan dasar


Problem solving sebagai keterampilan dasar (basic skill). Pengertian
problem solving sebagai keterampilan dasar lebih dari sekedar menjawab
tentang pertanyaan: apa itu problem solving?
Ada banyak anggapan tentang apa keterampilan dasar dalam
pembelajaran. Beberapa yang dikemukakan antara lain keterampilan
berhitung, keterampilan aritmetika, keterampilan logika, keterampilan
memahami/menghafal, keterampilan mengungkapakan ide atau jawaban dan
lainnya. Satu lagi yang baik secara implisit maupun eksplisit sering
diungkapkan adalah keterampilan problem solving. Beberapa prinsip penting
17

dalam problem solving berkenaan dengan keterampilan ini haruslah dipelajari


oleh semua siswa, seperti yang dikemukakan oleh George Polya tahun 1945.
Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru adalah mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama
adalah karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap
orang) setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau
tidak. Karena itu pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar
siswa dapat menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas
maupun sempit. Problem solving sebagai konteks menekankan pada
penemuan tugas-tugas atau masalah yang menarik dan yang dapat membantu
siswa memahami konsep atau prosedur.
Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi
pembelajaran pemecahan masalah, namun sesungguhnya ada dua dimensi
atau dua materi yaitu: (1) pembelajaran

melalui model atau strategi

pemecahan masalah, dan (2) pembelajaran pemecahan masalah itu sendiri.


Yang pertama pemecahan masalah sebagai model atau strategi/ pendekatan
pembelajaran, sedang yang kedua pemecahan masalah sebagai materi
pembelajaran.
Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving
approach), berikut merupakan karakteristik khusus pendekatan pemecahan
masalah (dalam Taplin, 2000).
1. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.
2. Adanya dialog dan konsensus antar siswa.
3. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa
mengklarifikasi,

menginterpretasi,

dan

mencoba

mengkonstruksi

penyelesaiannya.
4. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.
5. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaanpertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
6. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur
membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.
18

7. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat


menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep,
sebuah proses sentral dalam pembelajaran.
Bagaimana tahap-tahap pembelajaran dengan pendekatan problem solving
berbeda-beda menurut pendapat para ahli.
Ada kalanya kita kurang memahami karakteristik seorang pemecah
masalah (problem solver) yang baik, sehingga seringkali identifikasi kita
hanya terfokus pada hasil (apa yang ditemukan siswa, jawaban siswa), atau
pada kecocokan proses penyelesaian. Dengan mengenali karakteristik
pemecah masalah, maka kita dapat melihat potensi apa yang dimiliki oleh
siswa serta apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah.
Ada banyak literatur dan pendapat mengenai ciri-ciri seorang pemecah
masalah (yang baik). Suydam (1980:36) telah menghimpun dan menyaring
ciri-ciri pemecah masalah yang baik dengan mengacu pada berbagai sumber
(Dodson, Hollander, Krutetskii, Robinson, Talton dan lain-lain) menjadi 10
macam ciri. Berikut ini kesepuluh macam ciri pemecah masalah tersebut:
1. Mampu memahami istilah dan konsep.
2. Mampu mengenali keserupaan, perbedaan, dan analogi.
3. Mampu mengindentifikasi bagian yang penting serta mampu memilih
prosedur dan data yang tepat.
4. Mampu mengenali detail yang tidak relevan.
5. Mampu memperkirakan dan menganalisis.
6. Mampu memvisualkan dan mengintepretasi fakta dan hubungan yang
kuantitatif.
7. Mampu melakukan generalisasi dari beberapa contoh.
8. Mampu mengaitkan metode-metode dengan mudah.
9. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, dengan tetap
memiliki hubungan baik dengan rekan-rekannya.
10. Tidak cemas terhadap ujian atau tes.

19

Kita seyogyanya dapat mengidentifikasi ciri-ciri tersebut pada peserta


didiknya, dan selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan
perbaikan pada proses pembelajaran secara terus menerus.
Penilaian terhadap kemampuan siswa dalam pemecahan masalah
disarankan mencakup kemampuan yang terlibat dalam proses memecahkan
masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah,
menyelesaikan masalah (melaksanakan rencana pemecahan masalah),
menafsirkan hasilnya. Dari hasil karya siswa dalam memecahkan masalah ,
dapat dilihat seberapa jauh kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
ditinjau dari kemampuan-kemampuan tersebut. Penilaian dapat dilakukan
secara holistik (keseluruhan) atau analitik (perbagian). Pada kenyataannya,
siswa sering terhalang dalam memecahkan masalah karena lemahnya (tidak
terbiasa) mengembangkan strategi pemecahan masalah dan kurangnya
pemahaman konsep atau prosedur yang terkandung dalam penyelesaian
masalah.
Indikator

keberhasilan

memecahkan

masalah

ditunjukkan

oleh

kemampuan :
a. Menunjukkan pemahaman masalah.
b. Menyajikan masalah secara sistematik dalam berbagai bentuk.
c. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam
pemecahan masalah.
d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.
e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

f. Membuat dan menafsirkan model dari suatu masalah, menyelesaikan


masalah yang tidak rutin.

20

F. Daftar Pustaka
Asri Budiningsih C. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta
Dale H. Schunk. (2009). Learning Theories An Educational Perspective. New
Jersey: Pearson Education, Upper Sadlle River.
Gredler, M. E. (1997). Learning and Instruction, Theory into Practice. New
Jersey: Merrill, Prentice Hall.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan pembelajaran Matematika.
Malang : JICA.
Robert B. Sund. (1976). Piaget for Educators. Columbus, Ohio: Charles E.
Merril
Schoenfeld, A. H. (1985). Mathematical Problem Solving. New York,:
Academic Press.
Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah dalam Pengajaran Matematika dengan
Menggunakan Penyelesaian Masalah. Dalam Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya. Malang : JICA.
Vye, N. J., Schwartz, D. L., Bransford, J. D., Barron, B. J., & Zech, L.
(1998). SMART environments that support monitoring, reflection and
revision. In D. J. Hacker, J. Dunlosky, & A. C. Graesser (Eds),
Metacognition in Educational Theory and Practice (pp. 305-346).
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Woodcock, D. (1995). Problem Solving in Chemistry , The A thru E
Approach. [unknown 16 Mar 2001] http://oksw01.okanagan.bc.ca/
chem/ probsol/ps_A-E.html.
http://en.wikipedia.org/wiki/Metacognition,
10 Nopember 2010.

yang diakses

pada

tanggal

http://special.lib.umn.edu/findaid/xml/uarc00482.xml, diakses pada tanggal


10 Nopember 2010.

21

Anda mungkin juga menyukai