Anda di halaman 1dari 43

KAJIAN GARAP KARAWITAN

UNTUK ANAK-ANAK,
(Karya Musik Gembyengan Sanggar SKI Batu)

Oleh:
S A B A R

JURUSAN SENI KARAWITAN


SEKOLAH TINGGI KESENIAN
WILWATIKTA (STKW)
SURABAYA
2011
ii

LEMBAR IDENTITAS PENGESAHAN


LAPORAN PENELITIAN DOSEN

1. Judul Karya

2. Bidang Ilmu
3. Peneliti
a. Nama
b. Jenis Kelamin
c. Pangkat/Golongan/NIK
d. Jabatan
e. Fakultas/Jurusan
f. Sekolah Tinggi
4. Biaya
5. Biaya yang diperlukan

: Kajian Garap Karawitan Untuk Anak-Anak


(Karya Musik Gembyengan, sanggar SKI
Batu)
: Seni
: Sabar, M.Sn.
: Laki-Laki
:: Asisten Ahli
: Seni Karawitan
: STK Wilwatikta Surabaya
: Mandiri
: Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)

Perpustakaan STKWS
No. Regestrasi:

Surabaya, 24 Maret 2011

Mengetahui:

Peneliti,

Dra. Tri Rusianingsih

Sabar, M.Sn.

Lembaga LP2M
STKW Surabaya
Ketua,

Trinil Windrowati, M.Sn.


NIP. 196605191993022001

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, bahwasanya penulisan kertas penelitian karya seni berjudul
Kajian Garap Karawitan Untuk Anak-Anak (Karya Musik Gembyengan sanggar
SKI Batu) ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini disajikan sebagai peningkatan karya dosen dalam wujud kajian
terhadap sebuah karya seni berjudul Gembyengan oleg Bambang Hermanto dari
sanggar SKI (Sanggar Karawitan Indonesia) kota Batu. Sasaran yang ingin dicapai
lebih ditekankan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan karawitan yang
dimainkan oleh anak serta bagaimana peningkatan volume berkesenian pada musik
tradisi karawitan.
Penulis menyadari bahwa kertas penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karenanya kritik dan saran semua pembaca diharapkan demi perkembangan di
hari mendatang. Pada kesempatan yang berbahagia ini saya sampaikan terima kasih
kepada sivitas akademika STK Wilwatikta Surabaya, kepada komponis karya musik
Gembyengan serta seluruh pendukungnya semoga amal baik kinerjanya selama ini
mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Esa. Amin.

Surabaya, Maret 2011


Penulis,

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN JUDUL

ii

LEMBAR IDENTITAS PENGESAHAN

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN:

................................

GAMELAN UNTUK ANAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

TINJAUAN PUSTAKA

................................

PENYAJIAN

................................

Pemilihan Ricikan

...............................

Rias dan Busana

...............................

11

Setting, Sound dan Lighting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

11

MATERI SAJIAN

................................

12

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Pemilihan Ricikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

17

Pemilihan Tehnik/Garap . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

20

Pemilihan Lagu/Melodi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

26

Pola Penyajian

...............................

28

................................

29

Sound dan Lighting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

29

Setting

Rias dan Busana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


KESIMPULAN

31

................................

34

................................

37

Biodata penulis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

38

Penutup

vi

KAJIAN GARAP KARAWITAN


UNTUK ANAK-ANAK,
(Karya Musik Gembyengan Sanggar SKI Batu)

PENDAHULUAN
Gamelan yang ada sekarang ini merupakan ensambel musik yang selayaknya
dimainkan oleh orang dewasa. Ketika kita melihat anak memainkan gamelan, maka dikatakan
anak bermain gamelan dan bukan gamelan untuk anak. Waridi dalam makalahnya
Pendidikan Gamelan Pada Anak-Anak & Berbagai Permasalahannya menyebutkan bahwa:
Gamelan yang ada sekarang ini didesain untuk keperluan orang dewasa, bukan
untuk keperluan anak-anak. Namun karena belum terdapat gamelan yang secara
spesifik dibuat dengan ukuran yang ideal untuk keperluan anak-anak, maka dalam
kegiatan pendidikan gamelan yang digunakan masih tetap meminjam gamelan untuk
orang

dewasa

(Pendidikan

Gamelan

Pada

Anak-Anak

&

Berbagai

Permasalahannya 1995, p.12-13).

Perhatikan seluruh ricikan yang ada pada ensambel gamelan dan perhatikan pula
tehnik memainkannya. Kita tahu bahwa gamelan yang dikatakan milik orang dewasa tersebut
dapat dimainkan secara enak dan fasih dengan berbagai tehnik, pathet, permainan melodi dan
lain sebagainya. Banyak sekali ketentuan yang perlu dipahami yang hadir ketika kita
mendalami permainan gamelan dimaksud. Bagi kita yang sudah terbiasa memainkannya,
semua itu tidaklah menjadikan sebuah masalah, apalagi bagi seorang pakar atau senimannya.
Bagi mereka yang belum mengenal apa itu gamelan, mungkin dengan sebuah ketekunan dan
waktu yang cukup banyak baru dimungkinkan untuk bisa mempelajarinya.
Kajian garap sebuah karya musik Gembyengan perlu mendapat perhatian dengan
mengingat karya dimaksud dimungkinkan ada dan terkait dengan permasalahan anak bermain
gamelan atau gamelan untuk anak. Kajian dilakukan dengan memperhatikan beberapa
pendapat dari berbagai pakar guna mendapatkan hasil, atau paling tidak nilai tambah terhadap
perkembangan dunia seni tradisi khususnya musik gamelan/karawitan dan sejauhmana anak
mampu ikut berkiprah sebagai generasi penerus di hari mendatang. Perlu kiranya dipertajam
tindakan apa yang harus kita lakukan kepada anak dalam kiprahnya terhadap seni tradisi
musik gamelan, apa dan bagaimana kita sebagai pemerhati dan pecinta seni tradisi ini?.

1.

GAMELAN UNTUK ANAK

Berbicara tentang anak dalam memainkan gamelan, maka kita harus mampu
menyelami bagaimanakah dunia anak itu. Sehingga sasaran yang hendak dicapai dalam
sebuah kekaryaan akan terwujud. Tidak hanya tentang lagu dalam bentuk vokalnya, namun
aransemen musiknyapun. Mengingat anak adalah harapan generasi penerus/pewaris seni
tradisi ini, maka berkarya seni tradisi untuk anak perlu disikapi lebih serius. Apa yang kita
berikan pada anak?
Layak dan mampukah anak memainkan seluruh ricikan yang ada?. Mampukah anak
memainkan gender, gambang, siter, rebab atau kendang?. Jawabnya tentu tidak. Ricikan yang
ada pada ensambel gamelan (musik tradisi karawitan) sekarang ini tidak semuanya dapat
dimainkan oleh anak. Hal ini menurut Suroso merupakan salah satu penyebab kurang
berkembangnya karawitan/gamelan pada kaum remaja (ibid, p.13).
Keterbatasan kemampuan dan kondisi sarana yang ada yang belum sesuai dengan anak
cukup menghambat kemauan anak dalam menggeluti dunia karawitan (gamelan). Secara
umum dikatakan bahwa anak tidak mampu bermain pada seluruh ricikan gamelan tersebut.
Namun demikian apabila terdapat anak yang mampu memainkan salah satu ricikan yang
dipandang milik orang dewasa tersebut, maka anak tersebut tergolong memiliki
kemampuan/kemahiran lebih. Kita tidak seharusnya memaksakan kehendak, akan tetapi bila
anak mampu menjangkau layaknya kemampuan orang dewasa tentu kita bimbing dengan
sebatas kemampuannya.
Kita harus mampu memilah-milahkan, mana ricikan atau pola-pola bermain gamelan
yang bisa dilakukan dan bisa disajikan oleh anak dan mana yang tidak. Upaya tersebut
amatlah penting. Kita seharusnya pula lebih bijak mengatakan bahwa memang gamelan bukan
milik anak, akan tetapi bukan berarti anak tidak boleh memainkannya karena gamelan
merupakan musik tradisi milik kita yang perlu tetap dilestarikan termasuk kehadiran anak
sebagai generasi penerusnya.
Tehnik-tehnik yang dihadirkan, pemilihan alat dan sebagainya di dalam berkarya
karawitan untuk anak perlu disesuaikan dengan kemampuan anak. Waridi menyebutkan:
Kiranya telah kita ketahui bersama bahwa di era modern saat ini, segala sesuatu
dapat berjalan dengan baik apabila ditangani oleh orang-orang yang professional
dalam bidangnya. Guru/pelatih gamelan anak-anak yang memiliki
kemampuan seperti tersebut di atas akan dapat membawa peserta didiknya kepada
situasi belajar karawitan yang dinamis. Artinya ia akan selalu memilih dan mengolah
2

materi yang akan diberikan, dengan pertimbangan kesesuaiannya terhadap karakter


anak dan situasi jamannya. (ibid, p.14).

Memanfaatkan gamelan yang sudah ada dengan mempertimbangkan batas-batas


kemampuan anak selayaknya pula disertai sebuah pemikiran bagaimana anak mampu dan
mau berkiprah lebih lanjut dalam bermain gamelan. Perlu dimunculkan sebuah karya dengan
warna, suasana segar dan tidak membosankan yang akan dituangkan pada ide garap dengan
menitikberatkan pada pemilihan materi, pemilihan instrumen/ricikan, termasuk pula di
dalamnya pemilihan rias dan busana. Kesemuanya diharapkan memiliki nuansa tidak
membosankan bagi anak sehingga sebuah kekaryaan masih dirasakan amat diperlukan,
kapanpun dan dimanapun (dalam even apapun). Hasrat dan kemauan menyajikan suasana
segar dalam sebuah kekaryaan dengan harapan anak mencintai dan tetap mau berkiprah dalam
dunia seni tradisi (gamelan) karawitan serta sesuai dengan perkembangan usia dan jamannya.
Kemampuan anak dalam berolah vokal, bermain musik dan bagaimana reaksi anak
terhadap materi yang diberikan perlu diperhatikan pula tentang luas wilayah nada, untaian
nada, daya imajinasi, pikiran dan tingkah laku; serta menggunakan kalimat yang baik sesuai
dengan kaidah kebahasan. Begitu pula pemikiran tentang pengemasan rias busana yang
selayaknya dimanfaatkan mode-mode yang sesuai dengan karakter anak. Contoh, dalam hal
ini anak tidak harus mengikuti jejak orang tua yang harus menggunakan beskap, blangkon dan
lain-lain, serta tidak menjejali rias anak yang harus menggunakan kumis tambahan seakanakan mereka sudah dewasa. Biarkan mereka tampak keluguannya dan tidak mengada-ada.
(kecuali upaya pelestarian busana tradisi Jawa). Keterkaitannya dengan anak dimaksud
menurut Rahayu Supanggah dalam makalahnya Ngamen: Musik Anak Sekarang?:
Dunia anak adalah dunia di mana dan saat kapan kita semestinya dapat meletakkan
landasan yang kuat untuk terwujudnya generasi masa depan yang ideal: untuk itulah
idealnya kepada anak-anak diberikan kesempatan untuk berkembang seluasluasnya(Makalah, Ngamen: Musik Anak Sekarang?, sarasehan Festival Nasional
Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian, DEPDIKNAS,

di Jakarta, 3-7

September 2000.p.3)

A.T. Mahmud dalam sarasehannya tentang Fungsi dan Nyanyian Anak-Anak, menyebutkan :
Seyogyanya nyanyian anak-anak memperhatikan segi formal teknis dan segi
pedagogis.

1. Segi formal teknis.


Nyanyian seyogyanya memperhatikan, antara lain yang berhubungan dengan:
a. Luas wilayah nada lagu yang sesuai dengan kemampuan alat suara anak
menurut pertumbuhan dan perkembangannya.
b. Untaian nada dengan interval yang secara wajar dapat dinyanyikan oleh anak,
sesuai dengan perolehan pengalaman musiknya.
2. Segi pedagogis.
Gagasan, pesan, tema nyanyian pada umumnya antara lain hendaknya:
a. Dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreatifitas anak.
b. Dapat mempengaruhi pengembangan pikiran dan tingkah laku, budi pekerti
anak.
c. Tersusun dalam bentuk-bentuk kalimat yang baik sesuai dengan kaidah
kebahasan. (A.T. Mahmud,Fungsi dan Nyanyian Anak-Anak. Makalah
Sarasehan Festival Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian, Jakarta,37September 2000, p.2-3.)

Dari beberapa uraian di atas, maka kiranya dapat dikatakan bahwa permasalahan
kajian garap karawitan untuk anak-anak pada karya musik Gembyengan oleh sanggar SKI
Batu kali ini adalah terletak pada beberapa pikiran-pikiran dasar yang meliputi:
1. Tentang pemilihan ricikan.
Sebuah karya musik yang berjudul Gembyengan disajikan dengan beberapa ricikan
gamelan serta dengan beberapa pertimbangan, tentu saja dimungkinkan terkait dengan
permasalahan anak.

2. Tentang pemilihan teknik/pola garap.


Sejauh mana tehnik/pola garap yang disajikan pada karya dimaksud dan lebih rinci lagi
pada tehnik masing-masing ricikan yang disajikan.

3. Tentang pemilihan lagu/melodi.


Bagaimana lagu/melodi sajiannya, termasuk tingkat faktor kesulitan yang dapat dijangkau
oleh anak.

4. Unsur-unsur lain yang mempengaruhi sebuah sajian karawitan (pola penyajian, setting,
sound, lighting, dan rias busana).
Tidak kalah pentingnya permasalahan penyajian, setting, sound, lighting dan rias busana
yang menopang di dalam membangun keberhasilan karya musik dimaksud.
Ke kempat permasalahan tersebut di atas diharapkan mampu mewakili bahan sebagai
kajian masalah karya musik Gembyengan dalam perspekstif karawitan anak.

TINJAUAN PUSTAKA

Pola penelitian yang bersumber dari sebuah kekaryaan ini menyangkut permasalahan
dunia anak, yang menjelaskan tentang bagaimana anak bermain gamelan. Rincian
permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas yaitu antara lain meliputi: pemilihan
instrument, pemilihan teknik, pemilihan materi lagu/melodi dan unsur-unsur lain yang
mempengaruhi sebuah sajian karawitan (setting, sound, lighting, dan rias busana). Oleh
karenanya pada kesempatan ini penulis merujuk pada beberapa tulisan yang juga sedikit
banyak telah penulis sajikan pada kupasan di atas untuk membahas permasalahan sajian karya
musik yang berjudul gembyengan oleh sanggar SKI Batu. Beberapa tulisan dimaksud
antara lain sebagai berikut:
1. DR. Rahayu Supanggah:
Dunia anak adalah dunia yang semestinya penuh dengan keceriaan, fantasi dan
imajinasi, yaitu dunia bermain yang penuh harapan.
Menurut DR. Rahayu Supanggah dalam makalahnya Ngamen: Musik Anak
Sekarang?:
Dunia anak adalah dunia di mana dan saat kapan kita semestinya dapat
meletakan landasan yang kuat untuk terwujudnya generasi masa depan yang
ideal: untuk itulah idealnya kepada anak-anak diberikan kesempatan untuk
berkembang seluas-luasnya. (Makalah, Ngamen: Musik Anak Sekarang?,
sarasehan Festival Nasional Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian,
DEPDIKNAS, di Jakarta, 3-7 September 2000.p.3) .
5

2. A.T Mahmud:
Dalam sarasehannya menyebutkan :
Seyogyanya nyanyian anak-anak memperhatikan segi formal teknis dan segi
pedagogis.
1). Segi formal teknis.
Nyanyian seyogyanya memperhatikan, antara lain yang berhubungan dengan:
a. Luas wilayah nada lagu yang sesuai dengan kemampuan alat suara anak
menurut pertumbuhan dan perkembangannya.
b. Untaian nada dengan imterval yang secara wajar dapat dinyanyikan oleh
anak, sesuai dengan perolehan pengalaman musiknya.

2). Segi pedagogis.


Gagasan, pesan, tema nyanyian pada umumnya antara lainnya hendaknya:
a. Dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreatifitas anak.
b. Dapat mempengaruhi pengembangan pikiran dan tingkah laku, budi pekerti
anak.
c. Tersusun dalam bentuk-bentuk kalimat yang baik sesuai dengan kaidah
kebahasan (A.T. Mahmud,Fungsi dan Nyanyian Anak-Anak. Makalah
Sarasehan Festival Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian, Jakarta,37September 2000, p.2-3.)

3. Dieter Mark: Sering kami ditanya.metode manakah yang paling benar untuk mengajar
anak-anak?, dan kami hanya bisa menjawab,tidak ada metode yang
mutlak, kecuali keyakinan bahwa tujuan utama adalah mengembangkan
semacam kompetensi musikal yang paling luas, baik melalui proses
apresiatif maupun melalui proses kreatif.
6

4. Suka Harjana:
Dunia musik (baca: karawitan) anak-anak sebaiknya dibersihkan dari konsepsikonsepsi, faham-faham dan muatan-muatan besar, agar mereka dapat kembali ke
alam dan dunia mereka sendiri, yaitu bermain dalam dunia permainan
(makalah:Permasalahan Komposisi Karawitan untuk Anak-Anak, Suka Hardjana,
1995 p.3-4)
5. Waridi:
Waridi dalam makalahnya menyebutkan bahwa:
Gamelan yang ada sekarang ini didesain untuk keperluan orang dewasa, bukan
untuk keperluan anak-anak. Namun karena belum terdapat gamelan yang secara
spesifik dibuat dengan ukuran yang ideal untuk keperluan anak-anak, maka dalam
kegiatan pendidikan gamelan yang digunakan masih tetap meminjam gamelan untuk
orang

dewasa

(Pendidikan

Gamelan

Pada

Anak-Anak

&

Berbagai

Permasalahannya 1995 p.12-13)

Hal ini menurut Suroso merupakan salah satu penyebab kurang berkembangnya
karawitan/gamelan pada kaum remaja (ibid, p.13).

Kiranya telah kita ketahui bersama bahwa di era modern saat ini, segala sesuatu
dapat berjalan dengan baik apabila ditangani oleh orang-orang yang professional
dalam bidangnya. Guru/pelatih gamelan anak-anak yang memiliki
kemampuan seperti tersebut di atas akan dapat membawa peserta didiknya kepada
situasi belajar karawitan yang dinamis. Artinya ia akan selalu memilih dan mengolah
materi yang akan diberikan, dengan pertimbangan kesesuaiannya terhadap karakter
anak dan situasi jamannya. (ibid p.14).

PENYAJIAN

Karya musik berjudul Gembyengan adalah sebuah karya musik yang dimainkan
oleh anak-anak. Sekumpulan anak yang bernaung di dalam wadah sebuah sanggar seni yang
menamakan dirinya Sanggar SKI (Sanggar Karawitan Indonesia) tepatnya beralamatkan di Jl.
Hasanudin I no. 17 Pesanggrahan kota Batu di bawah pimpinan Bambang Hermanto. Anakanak tersebut terdiri dari anak sekolah dasar, sekolah menengah dan sekolah tingkat atas
(SLTA). Walau ada yang tergolong remaja atau dewasa, namun anak-anak ini berangkat dari
ketidaktahuan tentang permasalahan gamelan (wawancara: Bambang Hermanto, Januari
2011), oleh karenanya pada kajian dan bahasannya nanti masih mengacu pada permasalahan
dunia anak. Berangkat dari sebuah pemikiran senang, semangat juang dan kebersamaan yang
tinggi akhirnya terbentuklah karya musik ini.
Menurut sang komponis, karya Gembyengan diambil dari kata gembyng dalam
bahasa sehari-hari masyarakat setempat mengandung makna ramai. Sudah layak dan wajar
jika anak-anak berkumpul sering timbul sebuah kegaduhan atau paling tidak sebuah
keramaian baik itu canda gurau, ramai dalam bermain atau sejenisnya. Secara musikal
gembyengan mengandung makna byng-byngan atau tetabuhan yang tidak begitu tertata rapi
(asal bunyi). Berikutnya permasalahan penyajian materi kekaryaan berjudul Gembyengan
antara lain meliputi: pemilihan ricikan, penuangan rias dan busana, setting, sound dan
lighting, serta sajian transkrip materi gending-gending berupa notasi yang dikemas dalam
istilah materi sajian.

Pemilihan Ricikan.
Ricikan pada karya musik Gembyengan ini adalah menggunakan gamelan Jawa
yang sedikit dimodifikasi dengan menggunakan laras Pelog dan hanya memanfaatkan 6
ricikan dari ricikan gamelan yang ada yaitu:
8

1. Gong/kempul

4. Bonang,

2. Demung,

5. Bass Drum,

3. Saron,

6. Patrol/kenthongan.

Gambar ricikan

Gambar 1: gong, kempul


Foto: Sab, 10-11-2011
Keterangan (Gambar 1) : Seperangkat gong yang terdiri dari 1 gong suwuk dan 2 kempul.
Gong suwuk bernada 1 (ji) dan kempul dengan nada 5 (lima) dan 6
(nem).

Gambar 2: Demung
Foto: Sab, 10-11-2011
Keterangan (Gambar 2): Demung terdiri dari 2 buah dengan tehnik adakalanya menggunakan
1 tabuh dan adakalanya dengan 2 tabuh (tangan kanan dan kiri).
Ricikan Demung dibuat dengan rancakan rendah.

Gambar 3: Saron
Foto: Sab, 10-11-2011

Keterangan (Gambar 3): Saron disajikan 4 buah dengan tehnik sama dengan demung yaitu
dengan menggunakan tabuh masing-masing 2 buah yaitu
disajikan/ditabuh dengan menggunakan tangan kanan dan tangan
kiri. Ricikan Saron dibuat dengan rancakan rendah pula.

Keterangan (Gambar 4):


Ricikan Bonang 1 buah yang terdiri
dari 6 pencon dengan nada ji, ro,
lu, pat, ma dan nem.

Gambar 4: Bonang
Foto: Sab, 10-11-2011

Keterangan (Gambar 5):


Alat musik ini diambil dari sebagian dari
alat musik drum (kelompok musik diatonis)
yaitu bagian bedugnya untuk difungsikan
sebagai pengganti kendang.
Gambar 5: Bass Drum/bedug
Foto: Sab, 10-11-2011

10

Gambar 6: Kenthongan
Foto: Sab, 10-11-2011

Keterangan (Gambar 6): Ricikan kenthongan disajikan 4 buah dan dibunyikan dengan
menggunakan 2 buah tangan kanan dan kiri. Kenthongan diberikan
sandaran agar bisa berdiri dan tidak dipegang oleh si penabuh.

Rias dan Busana


Busana disajikan dengan mengenakan atas
seragam batik yang terbagai dalam 2 warna, sedang
bawah menggunakan warna merah kecoklatan
identik dengan seragam sekolah, dan tampak jelas
rias yang disajikan dengan menggunakan rias
cantik dan tampan.

Gambar 7:
Busana dan penyajiannya
Foto: Sab, 10-11-2011

Setting, Sound dan Lighting


Setting.
Setting dimaksudkan disini adalah masalah letak posisi gamelan di atas panggung.
Gamelan diposisikan tidak jauh berbeda dengan sajian pertunjukan seni karawitan pada
umumnya, hanya saja jarak ricikan yang satu dengan yang lain agak diperlebar dengan
11

mengingat lokasi gamelan cukup luas. Lebih tepatnya berikut digambarkan posisinya sebagai
berikut:

1.

5
6
3

3
3

3
2

Keterangan:
1. Gong suwuk dan 2 kempul

4. Bonang

2. Demung

5. Bass Drum

3. Saron

6. Kenthongan

Sound dan Lighting


Pada pergelaran karya Gembyengan tidak menggunakan sarana sound, sedangkan
lighting/lampu hanya disajikan lampu panggung/pendapa yang pada kesempatan ini
dipergelarkan di Pendapa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, dan
dengan menggunakan sajian lampu yang ada di pendapa yaitu kondisi cukup terang. Pada
pergelaran ini tidak disediakan penerangan khusus untuk garap sajian pertunjukannya.

MATERI SAJIAN.
Pada sub bab ini disajikan uraian materi yang terkait dengan notasi/transkrip
sajiannya, sekaligus penjelasan tentang garap/tehnik sajian yaitu notasi karya Gembyengan
12

dengan menggunakan gamelan laras Pelog. Di dalam transkrip materi sajian ini, disajikan
dengan pengelompokan nomor-nomor, dan disajikan pula beberapa simbol-simbol seperti:
Dm

: Demung

()

: Gong

Sr

: Saron

// . // : Tanda Pengulangan

: Kempul

Secara beurutan berikut disajikan notasi dari materi sajian karya musik berjudul
Gembyengan:
1. Gong Titir (dengung)/menggema (lirih).
// 0 0 0 0
t

tb t

- (1)

0 0 0 0 //
(1)

v
5 3

2 (1)

5
v
3 5 //

v
-

v
3 2 (1)//4x

// -

2 (1)

2. Saron (thinthilan)
-

- (1)

// 2

// b

13

b //4x

3. Sulukan, Gong Titir (dengung)/menggema (lirih).


3 5
6 6
A -mrih u - rip

6 6 6 6 6 5 3
bi - sa ne-mo -ni ra

3 5 6
ha yu

1 1 1 1
1 1 2 3
3
2
2 2 1 2 1
A - ja kendhat nggegulang nan-dur cip - ta u - ta ma
5 6 1
1 1 6 6 6 6 5 5 5 3
56
Sa-jro-ning a - ti sa-nu- ba -ri ki -ta si nar tan
1 1
1 1
1
1
2
3 32 2 1
Pa- nyu- wu-nan kang man-teb ma-rang Gus-ti
2
3 3
Kang Ma- ha

3 34
A - sih

4 4 4 4
4 4
4
56 5 5 5
3 5 632
U - gi pi- na ri-ngan nu gra - ha bi- sa ndar-be-ni
2 2 2
1 2
2 2 2 2
3
2
3 5 6
A - ti kang we -ning lan ji - wa kang pa - ling u ta -ma

4. Saron.
-

6 (6)

// 5 3 6 5

3 6 5 3

6 5 3 6

v
5 3 5 (5)

3 2 5 3

2 5 3 2

5 3 2 5

3 2 3 (3)

2 1 3 2

1 3 2 1

3 2 3 1

3 2 1 (1)

6 (6)/2x

Ket: (ditabuh dengan tangan kanan dua nada, tangan kiri satu nada)

5. Saron Lamba.
x

// 3 5 6 3

6
v
5 6 5 2

3 5 2 x

v
x 5 (6)//2x

Ket: x ditabuh nada 3 dan 6 bersama dengan pengganti jng-jng.

14

6. Saron Krucil
// 3 5 6 3

v
5 6 5 2

3 5 2 3

v
2 3 5 (6)//2x

v
-5 5 5

v
3 2 (1)

v
-

5 (-) //

Ket: saron thinthilan/krucil.

7.

Vokal:
v
// - 1 2 1
ae

v
2 3 (5)

ae

Ket: saron mengikuti, 2x biasa, 2x thinthilan


-

// -

-b

8. Demung/Bonang/Saron:
v
Dm: // 5 3 5 5 3

b //

5 (-)

Bb: // 5 2 3 3 5 -

5 2 3 3 5 (1) //

Sr: // -

- -23 5

-32 1 //

9. SULUK :
// -

5 5 6
Ma-nungsa

5 3 6 5 //
a- me-mu- ji

Pocapan:
( saron tetap ditabuh dibarengi dengan suluk selama pocapan)
Pancen ora gampang wong ngudi bisane kasinungan cipta utama
Ngelingi menawa manungsa mono wis nyandang sipat apes lan lali
Banjur gumregah maneh pengudine dene ora kendhat ing panglantihe
Manteba ing keyakinan yen Gusti Allah bakal ngudaneni penyuwunan kita.

15

10. Saron.
// 5

- (1)
5

v
3

v
- 2 (1)//2x

v
3 2 (1)//4x

v
3 2 (1)//2x

Ket: ditabuh tidak thinthilan dengan 2 tangan.

11. Krucilan.
-

// 2

- (1)
v
2 3 2

v
5

xx x

b // . ..

Ket: ditabuh thinthilan.


12. Krucilan Pelan.
// 6

// x

xx -x

13. Patrol.

-x

xb bx xb bb

-b -b bb b

.5x

.5x

.5x

.5x

14. Bonang/Saron:
v
-Bb: // 3 2 3 5
-Sr: // 3

v
3 2 3 (-) //
3

- //

-Bb: // 5 2 3 5 2 3 5 2

3 5 3 5 2 3 - //

-Sr: // 3 5 5 2 - 2

-2 5

-Bb: // 3 2 3 3 2 3 3 2

3 3 2 3 2 3 2 3 // 4X

5 3 //

16

15. Demung tunggal.


v
// 2 3 1 2
5 6 3 5

v
2 3

v
1 2

v
2 3 (3)

6 5 6 3

5 6 3 5

6 5 6 (1)//2x

Saron thinthilan.
2

-x x

x //
1

v
32 -

- (1) //

Lagu:
Yo ayo kanca
Ayo melu aku
padha joget bebarengan

16. Jeng-Jeng.
// x
// 3

xx -x
v
1 32 -

3 2 3

lamba dan krucil

ANALISIS DAN PEMBAHASAN.


Pemilihan Ricikan
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa karya musik Gembyengan ini hanya
menggunakan ricikan bonang, gong kempul, demung, saron, drum dan kenthongan. Pada
ricikan bonang hanya digunakan 6 bilah pencon yang terdiri dari nada ji, ro, lu, pat, ma dan
nem. Dilihat dari format/posisi rancakannya tampak dibuat beda dengan rancakan bonang
pada umumnya. Hal ini menunjukan bahwa kondisi bonang dimaksud tampak lebih mudah
dapat dijangkau oleh anak sekalipun anak se usia sekolah dasar. Kondisi demikian tidak
17

berbeda dengan pemanfaatan ricikan gong dan kempul yang hanya menggunakan 1 gong
suwuk dan 2 kempul, perhatikan jangkauan anak dalam memainkan ricikan gong, kempul
dimaksud. Tampak mereka lebih leluasa dibanding jika anak memainkan ricikan gong kempul
orang dewasa. Ricikan demung dan saron dibuat dengan rancakan level rendah yang berbeda
dengan demung/saron milik orang dewasa. Kondisi inipun penulis rasakan berpengaruh dan
lebih mudah/luwes bagi anak dalam tehnik menabuh ricikan dimaksud.
Tampak dalam sajian karya musik ini drum/bedug berfungsi sebagai pengganti
kendang dalam menuntun jalannya irama (pamurba irama). Drum/bedug disertai keprak
memberikan aksen-aksen dan juga berperan sebagai pamurba irama, hanya saja kali ini drum
masih dipegang oleh sang komponis (orang dewasa). Apakah anak tidak mampu memainkan
ricikan dimaksud?. Dilihat dari tehnik memainkan dan materi yang disajikannya, penulis
merasakan bahwa tidak ada alasan bagi anak untuk tidak bisa memerankannya. Hal ini
dimungkinkan terdapat faktor lain yang menghambatnya. Dilihat dari tujuan ricikan drum di
dalam menggantikan fungsi ricikan kendang, tentu saja pijakan utama adalah agar anak
mampu memainkannya. Berbeda apabila anak dipaksakan memainkan ricikan kendang seperti
halnya kendang yang dimainkan oleh orang dewasa, dimungkinkan terlalu berat dengan
skill/kemampuan yang dimiliki oleh anak. Kondisi ini akan lebih tampak dengan tidak
disajikannya ricikan-ricikan berat lainnya seperti gender, siter, gambang, seruling, rebab dan
sebagainya. Kehadiran pemusik orang dewasa disini menunjukkan kelemahan tentang
perspektif karya musik Gembyengan sebagai salah satu musik karawitan untuk anak.
Pemilihan kenthongan sebagai salah satu ricikan gamelan pada sajian karya musik
Gembyengan ini tampak hanyalah memberikan warna bunyi yang berbeda dari ricikan
lainnya. Semua anak mengenal dan paham akan kenthongan, apalagi dalam menyajikan
ricikan pada karya ini tidak begitu diperhatikan permasalahan nada yang dihasilkan.
Perhatikan pula letak kenthongan yang diberi sejenis rancakan, sehingga anak lebih mudah
18

menyajikannya. Upaya memilih ricikan kenthongan tersebut tergolong tindakan yang bijak
dalam menempatkan posisi anak yang baru mengenal gamelan.
Kita tengok kembali bahwasanya ricikan yang ada pada gamelan Jawa pada umumnya
terdiri dari: gong-kempul, demung, saron, peking, slenthem, bonang babok/barung, bonang
penerus, kenong, kethuk kempyang, kemanak, kendang, gender, gambang, siter, rebab, dan
seruling. Kenapa karya musik Gembyengan tidak menggunakan semua ricikan yang ada
pada gamelan?.
Di lihat dari upaya pemilihan ricikan gamelan yang dimainkan pada kekaryaan musik
yang berjudul Gembyengan ini yang hanya memilih dan menggunakan 6 ricikan tersebut di
atas, maka tampak bahwa pemilihan ricikan dimaksud mengarah pada permasalahan agar
anak mampu menjangkau atau mampu memainkan ricikan yang ada. Tampak dari
upaya pengemasan bentuk ricikan dan pemilihan ricikan disesuaikan berdasarkan
skill/kemampuan anak. Pemilihan ricikan dengan upaya memodifikasi bentuk/wujud seperti
pada gong/kempul, bonang tersebut agar anak mampu menjangkau/memainkan ricikan
dimaksud tampak adanya upaya pendekatan/pembentukan ensamble baru. Tindakan ini
menunjukkan suatu harapan akan hadirnya gamelan spesifik untuk anak. Berikut
rincian ricikan dengan modifikasinya:

Modifikasi ricikan:
Ricikan
Bonang

Kondisi
Berubah

Demung

Berubah

Saron

Berubah

Ket:
Adanya upaya perubahan pada format
rancakan/letak posisi nada-nadanya, sehingga
anak lebih mudah menjangkau dari pencon
yang satu ke pencon lainnya.
Adanya upaya perubahan dengan posisi
rancakan yag tampak lebih rendah, sehingga
lebih mudah dalam menabuh ricikan dimaksud.
Kondisinya tidak jauh berbeda dengan demung,
yaitu adanya upaya perubahan dengan posisi
rancakan yag tampak lebih rendah, sehingga
lebih mudah dalam menabuh ricikan dimaksud.
19

Gong-kempul

Berubah

Drum

Tetap

Kenthongan

Berubah

Adanya upaya perubahan dari jumlah kempul


yang biasa berjumlah lebih kurang 9 hanya
menjadi 3 yaitu 1 buah gong suwuk dan 2
kempul. Jangkauan anak dalam memainkan
ricikan lebih mudah/dekat.
Kondisi tetap, hanya saja upaya mencari warna
suara yang lebih keras/menggema dengan
upaya meletakkan posisinya untuk lebih mudah
disajikan.
Upaya memberikan rancakan agar lebih mudah
dimainkan oleh anak. Kenthongan biasanya
ditabuh dengan tehnik tangan kiri memegang,
tangan kanan memukul. Namun kali ini kedua
tangan bisa memukul kenthongan dimaksud
karena posisinya berada dibawah dengan
dibuatkannya standar untuk memangku ricikan
tersebut.

Pemilihan Teknik/Garap.
Seperti disebutkan di atas bahwa tidak dipilihnya gender, siter, gambang, kendang dan
rebab atas dasar dengan pertimbangan skill/kemampuan anak. Dilihat dari tehnik atau pola
permainan dari ricikan tersebut memang sangatlah sulit bila dimainkan oleh seorang anak,
walaupun sebenarnya masih dimungkinkan untuk memainkan beberapa alat musik dimaksud
dengan memikirkan kembali tentang tehnik atau pola garap memainkannya dan selama tidak
dituntut adanya tehnik/pola garap pada materi yang sudah ada. Seperti yang pernah penulis
lakukan dengan menggunakan siter yang dimainkan identik dengan pola tabuhan ricikan
bonang barung dan bonang penerus dalam gaya Jawa Timuran, misalnya anak hanya memetik
siter dengan nada 5 (ma) dan 6 (nem) yaitu dengan pola: // 5 6 5 - 5 6 5 - //.
Pemilihan bonang, gong dan kempul tersebut di atas disertai modifikasi bentuk dan
jumlah bilahan/pencon. Tentu yang dilakukan disertai dengan pola tehnik yang berbeda
dengan pola garap yang sudah ada, misalnya tidak adanya jalinan antara bonang barung
dengan bonang penerus layaknya pada garap karawitan gaya JawaTimuran ataupun gaya
20

Surakarta yang biasa dimainkan oleh orang dewasa. Sebagai contoh pola tabuhan yang
dimainkan pada ricikan bonang:
// -

//

Contoh lain:
-Bb: // 3

- //

-Bb: // 5 2 3 5 2 3 5 2

3 5 3 5 2 3 - //

-Bb: // 3 2 3 3 2 3 3 2

3 3 2 3 2 3 2 3 //

Dari beberapa contoh tehnik/pola tabuhan bonang di atas tampak bahwa materi sajian
bonang dengan menggunakan pola-pola melodis dan bukan metris, yaitu kecenderungan
disajikan dengan menggunakan melodi-melodi panjang (ngracik) layaknya melodi
saron/demung dan tampak hanya adanya jalinan dengan saron/demung yang bersangkutan.
Tindakan yang kurang bijak dari sang komponis adalah terletak pada ricikan bonang yang
dirangkap oleh pemain saron. Menurut penulis akan sangat menguntungkan jika ricikan
dimaksud disajikan oleh anak yang berbeda (tidak merangkap), dengan demikian masih
dimungkinkan adanya pola interaksi/jalinan yang lebih rapat dan fungsi bonang tidak sekedar
memberikan warna bunyi semata. (Pada saat ini bonang sering tidak disajikan ketika si
pemusik harus menyajikan/menabuh saronnya). Fungsi garap bonang tampak lebih sedikit
dalam memberikan jalinan/interaksi dengan ricikan yang lain, dan yang tampak hanya lebih
memberikan kekuatan atau tambahan volume pada melodi sajiannya.
Pada sajian garap gong dan kempul-pun tidak tampak membentuk sebuah struktur
bentuk yang lazim disajikan oleh orang dewasa, misalnya bentuk lancaran, ketawang, sak
cokro, sak giro dan lain-lain. Garap kempul dan gong pada karya Gembyengan ini tampak
sejenis dengan pola dangdutan atau masing-masing cenderung dalam satu gongan hanya
terdiri dari 2 kempul, dengan demikian lebih sesuai dengan kondisi anak yang baru mengenal
gamelan.

21

Perhatikan beberapa contoh materi berikut:

No.1 // 2 3 5 -

v
3 - 6 -

5 - 3 -

v
5 3 2 (1) //4x

No.5 // 3 5 6 3

v
5 6 5 2

3 5 2 x

v
- x 5 (6) //2x

v
No.11//3 2 3 5

v
3 2 3 (-) //

Melihat kesederhanaan garap kempul, gong dan bonang tersebut menunjukkan


langkah positif di dalam menunjang keberhasilan agar anak mau dan mampu
berkarawitan. Langkah tersebut tidak jauh berbeda dengan diterapkannya pola tabuhan pada
ricikan bedhug/drum dan kenthongan yang juga tampak lebih sederhana. Kesederhanaan
dalam memainkan kenthongan sebagai salah satu musik perkusi sangat wajar dimainkan oleh
anak. Kenthongan disajikan hanya memberikan aksen-aksen tambahan dan lebih tampak
hanya memberikan warna bunyi yang berbeda dengan ricikan lainnya. Ricikan ini hanya
dihadirkan pada sebagian kecil dari seluruh desain yang disajikan. Sedangkan bedhug/drum
sangat kecil perannya jika dikatakan sebagai pengganti kendang, karena pada sajian ini
bedhug lebih berperan memberikan volume atau menyertai pola garap balungan, memberikan
aksen-aksen tambahan dalam memperkuat/mempertebal volume dari melodi yang dihadirkan.
Seperti pada contoh sajiannya sebagai berikut (bedug dan saron):
// -

5 1 t b -

5 1 t b -

5
t

1
b

5
t

1
b

5
t

3 2 1
t t b

5
t

5
t

5
t

1 b -

5
t

1
b

5
t

3
t

1
b

1 1 1
b b b

1
b

1 b -

1 2
b t

2
t

1
b

3 5
t b //

Tehnik yang dimainkan pada ricikan bonang, gong-kempul, drum/bedug dan kenthongan
tergolong tehnik yang mudah dan wajar bisa dimainkan oleh anak. Pemanfaatan pola tehnik
yang diberikan pada anak terkait dengan ricikan tersebut menunjukkan suatu keberhasilan.
22

Pengolahan tehnik dimaksud tergolong upaya penanganan dalam kategori professional,


sejalan dengan pendapat Waridi:
Kiranya telah kita ketahui bersama bahwa di era modern saat ini, segala sesuatu
dapat berjalan dengan baik apabila ditangani oleh orang-orang yang professional
dalam bidangnya..

Faktor kesulitan dalam memainkan ricikan pada karya musik Gembyengan tampak lebih
sederhana bila dibanding dengan pola tehnik/garap sajian karawitan yang dimainkan oleh
orang dewasa. Hal ini tampak sekali pada pola/tehnik yang disajikan oleh ricikan gongkempul, bonang, drum dan kenthongan.
Terdapat pula beberapa pola/tehnik pada sajian karya ini yang menurut penulis cukup
unik dan menarik, yaitu pada ricikan demung/saron. Ricikan saron/demung disajikan/ditabuh
dengan menggunakan dua tangan yaitu tangan kanan dan kiri dengan menggunakan tabuh
kecil sejenis tabuh karawitan Bali atau Banyuwangi. Ditabuh tanpa dipithet layaknya
menabuh balungan oleh orang dewasa, termasuk didalamnya dalam tehnik menabuh
kinthilan/thinthilan. Tindakan menabuh tanpa memanfaatkan tehnik pithetan tentu saja
dirasakan adanya pertimbangan di dalam memodifikasi ricikan demung atau saron yang
digunakan. Bunyi/suara yang dihasilkan tidak terlalu menggema sehingga tidak mengurangi
harmonisasi bunyi yang diharapkan. Untuk pola thinthilan disajikan dengan satu anak
melakukan sendiri dengan hanya memanfaatkan tangan kanan dan tangan kirinya.
Tehnik/pola thinthilan ini lebih mendominasi garap yang ada pada materi sajian
Gembyengan. Pada bagian yang tidak dengan pola thinthilan, disajikan dengan
menggunakan dua tangan pula. Baik pada pola thinthilan ataupun tidak dirasakan anak lebih
mampu dan lebih luwes dalam menyajikannya.

23

Perhatikan contoh pada bagian yang tidak thinthilan tetapi tetap menggunakan 2 tangan,
sebagai berikut:
// 6

3 1

3 //

Ket:

- notasi bergaris bawah dengan tangan kanan


- tidak bergaris bawah dengan tangan kiri
(perhatikan pula arah nada berdasarkan rangkaian nada-nada yang ada pada
bilahan: 1,2,3,4,5,6,7)

Tehnik yang dimainkan dengan 2 tangan pada contoh di atas menurut penulis merupakan
upaya tindakan kreatif terlepas dari pemikiran apakah tidak bisa dilakukan dengan satu
tangan, namun dengan 2 tangan memberikan warna tersendiri dan dimungkinkan adanya
strategi agar anak merasa lebih luwes dalam memainkannya. Upaya tersebut menurut penulis
akan lebih mengena sasaran apabila pada waktu proses anak diberi kebebasan untuk menabuh
nada yang harus menggunakan tangan kanan atau kanan kiri. Sasaran yang dituju agar anak
lebih bebas dan lebih merasa leluasa memainkannya, yang terpenting melodi yang disajikan
tidak berubah.
Pemilihan tehnik/garap pada ricikan bonang, gong-kempul, demung, saron, drum dan
kenthongan pada materi karya musik Gembyengan lebih dominan sesuai dengan
kemampuan anak. Upaya memaksakan kehendak tampaknya telah dihindari. Penulis
merasakan upaya dimaksud tidak terlepas dari pemikiran bagaimana anak tidak
mengalami kesulitan-kesulitan dan pemaksaan dalam bermain gamelan. Anak menjadi
cinta terhadap karawitan dan akhirnya dengan harapan yang tinggi anak mampu
menjadi pewaris di masa mendatang, dapat menggeluti dunia seni tradisi karawitan
yang berkelanjutan.
24

Secara global dapat disajikan bagan:


Ricikan
Bonang

Pola
Pola sederhana, tampak bahwa cenderung
disajikan pola-pola melodis, dengan
menggunakan melodi-melodi panjang
(ngracik) layaknya melodi saron/demung.

Demung

Ricikan demung ditabuh menggunakan dua


tangan yaitu tangan kanan dan kiri. Ditabuh
tanpa dipithet, termasuk pada tehnik
thinthilan yang disajikan dengan satu anak
melakukan
sendiri
dengan
hanya
memanfaatkan tangan kanan dan tangan
kirinya. Tehnik/pola thinthilan ini lebih
mendominasi garap yang ada pada materi
sajian Gembyengan. Pada bagian yang
tidak dengan pola thinthilan, disajikan
dengan menggunakan dua tangan pula.
Dirasakan bahwa anak lebih mampu dan
lebih luwes dalam menyajikannya baik pada
pola thinthilan ataupun tidak.
Sama dengan pola yang disajikan oleh
ricikan demung, bahkan pada ricikan ini
tidak adanya pola yang disajikan oleh satu
tangan.
Tidak disajikannya berdasarkan struktur
bentuk yang biasa dimainkan oleh orang
dewasa, misalnya sak cokro, sak lancaran
dan sebagainya. Tampak mereka lebih
leluasa dengan pola sederhana dibanding
jika anak memainkan ricikan gong/kempul
orang dewasa, apalagi materi sajiannya kali
ini dominan tempo cepat dengan suasana
riang/semangat.
Bedhug/drum lebih berperan memberikan
/mempertebal volume yang menyertai pola
garap balungan dari melodi yang disajikan.
Drum/bedug disertai keprak sangat kecil
perannya jika dikatakan sebagai pengganti
kendang.

Saron

Gongkempul

Drum

Kenthongan

Kenthongan disajikan hanya memberikan


aksen-aksen tambahan dan lebih tampak
hanya memberikan warna bunyi yang
berbeda dengan ricikan lainnya. Ricikan ini
hanya dihadirkan pada sebagian kecil dari
seluruh desain yang disajikan.

25

Ket:
Ditabuh dengan
merangkap saron,
tidak semua
nomor sajian
dimainkan.
Memakai tabuh
sejenis tabuh
Karawitan Bali/
Banyuwangi.
Hanya terdapat 2
nomor yang
disajikan dengan
menggunakan
satu tangan.

Menggunakan
satu gong suwuk
dan 2 kempul

Harapannya
drum/ bedug
berfungsi sebagai
pengganti
kendang dalam
menuntun
jalannya irama
(pemurba irama).

Pemilihan Lagu/Melodi
Sajian vokal meliputi materi syair/cakepan yang dihadirkan dan melodi sajiannya. Pada
materi Gembyengan sangat minim dalam menyajikan materi vokal. Terkait dengan sajian
syair pada kekaryaan ini cenderung bernuansa dewasa, hanya ada satu materi lebih mengarah
pada karakter anak seperti pada contoh 1):
1)

// -1 2 1 ae o -

1 2 3 5
a e o a

-5 5 5 3
a e a o

5 3 2 1
a e a o //

Perhatikan materi vokal yang lain (vokal dewasa: 2&3) sebagai berikut:
2).

3 5
6 6
A -mrih u - rip

6 6 6 6 6 5 3
bi - sa ne-mo -ni ra

3 5 6
ha yu

1 1 1 1
1 1 2 3
3
2
2 2 1 2 1
A - ja kendhat nggegulang nan-dur cip - ta u - ta - ma
5 6 1
1 1
Sa-jro-ning a - ti
1 1
1 1
Pa- nyu- wu-nan

6 6 6 6 5 5 5 3
56
sa-nu- ba -ri ki -ta si - nar - tan
1
1
2
3 32 2 1
kang man-theng ma-rang Gus-ti

2
3 3
Kang Ma- ha

3 34
A - sih

4 4 4 4
4 4
4
56 5 5 5
3 5 632
U - gi pi- na ri-ngan nu gra - ha bi- sa ndar-be-ni
2 2 2
1 2
2 2 2 2
3
2
3 5 6
A - ti kang we -ning lan ji - wa kang pa - ling u - ta -ma
3).

Pancen ora gampang wong ngudi bisane kasinungan cipta utama


Ngelingi menawa manungsa mono wis nyandang sipat apes lan lali
Banjur gumregah maneh pengudine dene ora kendhat ing panglantihe
Manteba ing keyakinan yen Gusti Allah bakal ngudaneni penyuwunan kita.

Dilihat dari pemberian syair yang disajikan tampak adanya pengaruh tema yang
dihadirkan yaitu sebuah keputusan hidup yang pahit dan harus dialami disertai kesedihan
dalam mengiringi sebuah perjalanannya. Tampak dari tema ini membuat syair dimaksud
kurang tepat jika disajikan untuk anak. Kondisi ini diperkuat lagi dengan penyampaian materi
26

dimaksud disampaikan pula oleh orang dewasa. Materi sajian butir 2) dan 3) di atas menurut
penulis tidak tepat untuk anak apalagi anak jaman sekarang yang kurang begitu memahami
sastra Jawa seperti di atas, dan ditambah lagi dengan makna yang terkandung pada syair
tersebut. Rasanya terlalu berat tema tersebut diangkat dengan anak sebagai pelakunya.
Sebaiknya sajian syairnya tidak mengandung makna permasalahan yang digeluti orang
dewasa. Kesemuanya itu perlu adanya pengemasan-pengemansan yang salah satu sasarannya
anak tidak merasa bosan dalam berolah vokal, anak diajak berpikir sesuai dengan kodrat dan
nalurinya, namun tidak kalah pentingnya nilai-nilai seni tradisi yang terkandung dalam dunia
seni musik tradisi karawitan sedikit demi sedikit dapat diserap oleh anak.
Permasalahan tentang melodi dari vokal yang disajikan tampaknya cukup sederhana
bila disajikan untuk anak-anak. Perhatikan melodi sajiannya, tidak menggunakan nada-nada
tinggi yang dirasakan tidak melebihi batas ambitus yang dimiliki oleh anak, perhatikan pula
materi di bawah ini:
4).

// -

5 5 6
Ma-nungsa

5 3 6 5 //
a- me-mu- ji

Dilihat dari garap melodi yang lain misalnya pada melodi bonang, demung atau saronnya
tampak tidak mempengaruhi akan kemampuan anak dalam menyajikan materi sajiannya.
Untaian nada-nada yang disajikan tidak mengarah pada lompatan-lompatan nada yang
membuat anak menjadi kesulitan. Hanya saja materi sajian karya ini cenderung disajikan
dengan tempo cepat.
Perhatikan contoh-contoh melodi demung/saron berikut ini:
1).

// 3 5 6 3

5 6 5 2

3 5 2 3

2 3 5 6 //2x

2).

// 2

1 //4x

3).

// 6

1 //2x

4).

// 2

1 //

27

Berikut disajikan bagan sederhana tentang pemilihan lagu/melodinya:


Materi
Syair vokal

Melodi
Terkait dengan sajian syair pada
kekaryaan ini cenderung bernuansa
dewasa. Adanya pengaruh tema yang
dihadirkan membuat syair dimaksud
kurang tepat jika disajikan untuk anak.

Melodi vokal

Melodi dari vokal tampak sederhana


dan sesuai untuk anak-anak, tidak
menggunakan nada-nada tinggi dan
dirasakan tidak melebihi batas ambitus
yang dimiliki oleh anak.
Melodi bonang, demung/saronnya
tidak mempengaruhi kemampuan anak
dalam menyajikan materi sajiannya.
Untaian nada-nadanya tidak mengarah
pada lompatan-lompatan nada yang
membuat anak menjadi kesulitan.

Melodi balungan

Ket.
Pada materi
Gembyengan
sangat minim
disajikan vokal,
banyak disajikan
oleh orang dewasa.

Materi sajian karya


ini cenderung
disajikan dengan
tempo cepat.

Pola penyajian.
Karya musik Gembyengan disajikan oleh anak yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana
orang dewasa menyajikannya. Posisi duduk untuk cewek dengan bersimpuh dan laki-laki
duduk bersila. Ekspresi yang dihadirkan tampak sekali menunjukan rasa kurang bergairah dan
tampaknya ada ketegangan yang menyelimutinya. Kondisi ini bisa jadi karena dipengaruhi
oleh tema yang dihadirkan sehingga sajian tersebut dirasa kurang menguntungkan. Paling
tidak keceriahan pada diri anak bisa dimunculkan pada penyajiannya, misalnya saja tentang
bentuk sajian yang menurut penulis bisa dikemas dengan lebih atraktif, menggunakan gerakgerak penyaji/pemusik yang tidak hanya diam seperti halnya sajian klenengan pada karawitan
orang dewasa. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih leluasa, lebih riang dalam penampilannya
dan dalam penyampaian materi gerak disesuaikan dengan materi lagu yang sesuai dengan
kebutuhan karakter lagu/gending. Tentu saja sesuai dengan kemampuan anak itu sendiri.

28

Setting
Penataan gamelan karya Gembyengan di atas panggung saat ini sebenarnya tampak
lebih menguntungkan, mengingat lokasi/tempat gamelan yang dipakai cukup luas dan
memadai, hanya saja tampak kurang dimanfaatkan secara maksimal. Secara penyajian tampak
sepi dengan memperhatikan pola penyajian yang disampaikan.
dipertimbangkan

bahwa

panggung

yang

luas

perlu

adanya

Kiranya perlu

strategi

yang

lebih

menguntungkan, misalnya dengan disajikannya lintasan-lintasan anak terkait dengan pola


penyajian sebagaimana sebuah seni pertunjukan atau dikondisikan sebuah strategi dengan
penyempitan ruang yang digunakan.
Sebuah seni pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh anak-anak sewajarnya jika
tidak terlalu menyamakan konsepnya dengan sajian karawitan yang disajikan oleh orang
dewasa. Seyogyanya lebih diposisikan dengan memperhatikan keleluasaan pendukung dalam
bergerak/memainkan ricikannya. Apalagi terkait dengan pola penyajian yang menampilkan
sajian pemusik dengan bergerak, melintas ataupun pindah ke ricikan yang lain dengan
harapan pola penyajiannya lebih menarik lagi.

Sound dan Lighting.


Pada pergelaran kali ini hanya digunakan sebuah mikrofon untuk kebutuhan vokal
tunggal. Tampaknya kondisi ini dihadirkan karena dengan mengingat dan mempertimbangkan
even yang ada. Pergelaran saat ini disajikan untuk keperluan ujian mata kuliah komposisi 3
pada jurusan seni karawitan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya yang disajikan di
dalam ruang pendapa. Lokasi Pendapa cukup menampung bunyi dengan tanpa disajikannya
sound dengan kapasitas besar, dan volume yang dihadirkan oleh ensambel yang dimainkan
pada karya musik Gembyengan ini dirasakan cukup keras dan masih bisa dinikmati dengan
jarak lebih kurang 10 meter. Tampak terasa lebih alami dan walaupun tidak menggunakan
29

bantuan sound yang lebih besar, tetapi masih dirasakan tidak berpengaruh terhadap kondisi
anak dalam bermain gamelan.
Sound pada sebuah seni pertunjukan sangat dibutuhkan untuk membantu mempertebal
volume bunyi yang dihasilkan agar bisa ditangkap secara jelas oleh audien, namun kita harus
tetap hati-hati dan tetap memilih/menentukan berdasarkan kebutuhan. Sound merupakan
pengeras suara yang diperlukan dalam sebuah seni pertunjukan musik akan tetapi tetap
dengan menggunakan pertimbangan yang matang, artinya pertimbangan keras lirihnya,
pertimbangan ricikan mana yang memerlukan bantuan agar bunyi yang dihasilkan antara
ricikan satu dengan yang lainnya bisa seimbang sesuai dengan harapan. Tidak sedikit bahwa
sebuah pertunjukan musik menjadi hancur/rusak dikarenakan oleh tindakan pemanfaatan
sound yang ceroboh.
Lighting/lampu

pada

kekaryaan

Gembyengan

disajikan

dengan

hanya

memanfaatkan penerangan yang sudah ada di pendapa STKWS yang terdiri dari 4 buah neon
dengan kapasitas masing-masing 40 watt. Tampaknya pada saat ini komponis tidak
memanfaatkan lampu tambahan untuk mempertegas sajian sebuah

seni pertunjukan.

Kehadiran lighting/lampu menurut penulis dalam sebuah seni pertunjukan sangat diperlukan,
karena dengan pengaturan lampu bisa membantu keberhasilan sebuah seni pertunjukan.
Lighting merupakan salah satu medium bantu yang peranannya tidak kalah pentingnya jika
dibanding dengan medium bantu lainnya, akan tetapi sama halnya dengan sound. Kita tetap
harus hati-hati dalam memanfaatkannya, kita juga harus mengerti tentang pemanfaatan
penerangan dimaksud misalnya pada permasalahan karakter warna-warna lampu yang
digunakan. Pada sebuah seni pertunjukan fungsi lighting/lampu salah satunya adalah bisa
membantu memperkuat suasana yang dikehendaki.
Permasalahan setting, sound dan lighting pada sebuah karya seni biasanya lebih
bertumpu pada situasi dan kondisi, artinya seorang komponis harus berhati-hati dengan
konsep-konsep yang dihadirkan terkait dengan permasalahan setting, sound dan lighting. Hal
30

ini dimaksudkan dengan tetap mempertimbangkan/ memperhatikan pada even yang ada. Bisa
dipastikan bahwa konsep awal belum tentu bisa terwadahi sepenuhnya pada penyajiannya
nanti, dengan mengingat penyajian karya dimaksud terkait dengan keberadaan panitia
penyelenggara. Sebagai contoh, misalnya komponis membutuhkan microfon 6 buah, pada
kenyataannya panitia penyelenggara hanya menyediakan 4 buah maka pada kesempatan ini
naluri kreatifitas sang komponis dituntut untuk berpikir dan bertindak dalam mengatasi
permasalahan dimaksud; dan lain sebagainya. Masih banyak kasus-kasus lain dan sejenis
yang memerlukan penanganan dengan serius pula, dan kita harus cepat dan tanggap terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul secara tidak disengaja.

Rias dan Busana.


Busana yang digunakan kali ini bagian atas seragam batik yang terbagai dalam 2
warna, yaitu satu warna agak kemerahan dan yang satu cenderung agak kekuningan.
Sedangkan bagian bawah menggunakan warna merah kecokelatan identik dengan seragam
sekolah, sedang rias disajikan dengan menggunakan rias cantik dan tampan.
Hadirnya penyajian busana dengan 2 warna yang berbeda menurut penulis cukup
mengganggu estetika dalam sebuah sajiannya. Coba saja kita bandingkan dengan mereka
yang mengenakan busana seragam, artinya penggunaan busana dalam sebuah seni
pertunjukan tidak seharusnya ada kesan asal pakai. Perlu kita pikirkan segi estetik, kesesuaian
terhadap peraga, bahkan selayaknya dipikirkan pula terkait dengan konsep kekaryaan yang
dihadirkan, dan lain sebagainya.
Penulis cukup setuju bahwa rias dan busana yang digunakan tidak terlalu dipaksakan
seperti layaknya orang dewasa memainkan gamelan misalnya saja dengan menggunakan
beskap, memakai kumis palsu atau sejenisnya. Hanya saja pemanfataan rias dan busana pada
pergelaran tersebut di atas perlu lebih dipertimbangkan kembali terkait dengan situasi anak
sebagai pendukungnya, misalnya saja dengan memperhatikan karakteristik anak maka rias
31

serta busananya menggunakan busana keprajuritan/perang-perangan dengan asesoris topi,


penthul dengan pernik-perniknya, tentu saja perlu dipikirkan pula terkait dengan tema yang
diangkatnya. Dari rias dan busana tersebut diharapkan muncul gairah/semangat dengan
mempertebal percaya diri akan kegagahan anak yang lugu itu. Tentu saja diharapkan
berpengaruh terhadap kepercayaan diri pribadi penyaji di dalam menyajikan sajian/materinya.

Gambaran Unsur-unsur pendukung yang lain:


Unsur-unsur lain
Pola penyajian

Setting

Pembahasan
Ekspresi yang dihadirkan tampak
sekali menunjukan rasa kurang
bergairah dan tampaknya ada
ketegangan yang menyelimutinya.
Bisa jadi karena dipengaruhi oleh
tema yang dihadirkan.
Menurut
penulis
selayaknya
dimunculkan keceriahan pada diri
anak, misalnya saja tentang bentuk
sajian yang dikemas dengan lebih
atraktif, menggunakan gerak-gerak
yang tidak hanya diam seperti
halnya sajian klenengan pada
karawitan orang dewasa. Hal ini
dimaksudkan agar anak lebih
leluasa,
lebih
riang
dalam
penampilannya.
Penataan gamelan di atas panggung
pada karya ini tampak kurang
dimanfaatkan secara maksimal,
secara penyajian tampak sepi.
Panggung yang luas perlu adanya
strategi yang lebih menguntungkan,
misalnya
dengan
disajikannya
lintasan-lintasan anak terkait dengan
pola penyajian sebagaimana sebuah
seni pertunjukan atau dikondisikan
sebuah strategi dengan penyempitan
ruang yang digunakan.

32

Keterangan
Karya musik
Gembyengan
disajikan oleh anak
dan tidak jauh
berbeda dengan
orang dewasa dalam
menyajikannya.
Posisi duduk untuk
cewek dengan
bersimpuh dan lakilaki duduk bersila.

Lokasi/tempat
gamelan yang
dipakai cukup luas
dan memadai.

Sound

Tampak terasa lebih alami walaupun


tidak menggunakan bantuan sound
yang lebih besar, dan dirasakan tidak
berpengaruh terhadap kondisi anak
dalam bermain gamelan.
Sound merupakan pengeras suara
yang diperlukan dalam sebuah seni
pertunjukan musik akan tetapi tetap
dengan menggunakan pertimbangan
yang matang. Tidak sedikit bahwa
sebuah pertunjukan musik menjadi
hancur/rusak
dikarenakan
oleh
tindakan pemanfaatan sound yang
ceroboh.

Lighting

Komponis
tidak
menggunakan
tambahan lampu untuk mempertegas
sajian seni pertunjukan, sehingga
kurang membantu akan suasana
yang dihadirkan.

Rias dan busana

Menggunakan
sebuah mikrofon
untuk kebutuhan
vokal tunggal.

Lighting/lampu
menggunakan
penerangan yang ada
di pendapa STKWS,
terdiri dari 4 buah
neon masing-masing
berkapasitas 40 watt.
Hadirnya 2 warna yang berbeda Kurang
mendapat
cukup mengganggu estetika dalam perhatian serius
penyajiannya. Bandingkan dengan
yang mengenakan busana seragam.
Perlu dipikirkan segi estetik,
kesesuaian terhadap peraga, dan
konsep kekaryaannya. Dari rias dan
busana dirasakan kurang muncul
gairah/semangat percaya diri dari
anak. Penulis cukup setuju rias dan
busana yang digunakan tidak terlalu
dipaksakan, misalnya saja dengan
menggunakan beskap, memakai
kumis palsu.

33

KESIMPULAN
Dari beberapa permasalahan kajian terhadap garap karawitan untuk anak-anak pada
karya musik Gembyengan oleh sanggar SKI Batu kali ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan
sementara dengan beberapa pikiran-pikiran dasar antara lain:
Upaya pemilihan ricikan gamelan dan dengan memodifikasi ricikan yang ada tampak
mengarah pada permasalahan agar anak mampu menjangkau atau mampu memainkan ricikan
yang ada. Pengemasan bentuk ricikan dan pemilihan ricikan dimaksud disesuaikan pula
berdasarkan

skill/kemampuan

anak.

Tindakan

secara

sengaja

agar

anak

mampu

menjangkau/memainkan ricikan dimaksud merupakan sebuah embrio mengarah pada upaya


pendekatan menuju pembentukan ensambel baru, atau dengan kata lain langkah ini
menunjukkan suatu harapan akan hadirnya gamelan spesifik untuk anak.
Pemilihan tehnik/garap pada ricikan bonang, gong-kempul, demung, saron, drum dan
kenthongan pada materi karya musik Gembyengan lebih dominan sesuai dengan
kemampuan anak. Upaya memaksakan kehendak tampaknya telah dihindari. Penulis
merasakan upaya dimaksud tidak terlepas dari pemikiran bagaimana anak tidak mengalami
kesulitan-kesulitan dan pemaksaan dalam bermain gamelan. Anak menjadi cinta terhadap
karawitan dan akhirnya dengan harapan yang tinggi anak mampu menjadi pewaris di masa
mendatang, dan dapat menggeluti dunia seni tradisi karawitan yang berkelanjutan.
Berbicara tentang melodi vokal tentu tidak bisa lepas dari pemahaman syair yang
disajikan, sedangkan syair yang digunakan biasanya sedikit banyak menyangkut
permasalahan tema yang diangkat. Oleh karenanya untuk karawitan anak sebaiknya tidak
menggunakan tema-tema yang berat, seperti kejadian-kejadian yang dialami oleh orang
dewasa. Kondisi ini lebih tampak pada karya Gembyengan yang dihadirkan lewat syairsyairnya. Pemilihan tema itu bisa dilakukan apabila kita diwajibkan untuk menyajikan
sebagaimana petunjuk pihak penyelenggara (misalnya, pada even festival atau sejenisnya).
34

Dalam menciptakan syair perlu adanya pengemasan-pengemasan agar anak tidak


merasa bosan dalam berolah vokal, anak diajak berpikir sesuai dengan kodrat dan nalurinya,
dan tetap berpijak pada pentingnya nilai-nilai seni tradisi yang terkandung didalamnya yang
sedikit demi sedikit dapat diserap oleh anak. Melodi dari vokal yang dihadirkan selayaknya
dibuat sederhana tidak menggunakan nada-nada tinggi yang dirasakan tidak melebihi batas
ambitus yang dimiliki oleh anak, serta garap melodi pada aransemen ricikannya juga
diharapkan tidak mempengaruhi akan kemampuan anak dalam menyajikan materi sajiannya.
Untaian nada-nada yang disajikan tidak mengarah pada lompatan-lompatan nada yang
membuat anak menjadi kesulitan. Kondisi demikian ini masih tampak diterapkan pada karya
musik Gembyengan, sehingga dirasa kurang tepat untuk anak.
Keceriahan pada diri anak tidak tampak pada kekaryaan Gembyengan ini.
Sebenarnya keceriaan itu bisa dimunculkan lewat pola penyajiannya, misalnya saja dikemas
dengan lebih atraktif, menggunakan gerak-gerak. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih
leluasa, lebih riang dalam penampilannya dan tidak menunjukan rasa kurang bergairah dalam
penyampaian materinya. Sebuah seni pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh anak-anak
sewajarnya jika tidak terlalu menyamakan konsepnya dengan sajian karawitan yang disajikan
oleh orang dewasa.
Sound pada sebuah seni pertunjukan sangat dibutuhkan untuk membantu mempertebal
volume bunyi yang dihasilkan agar bisa ditangkap secara jelas oleh audien, namun kita harus
tetap hati-hati dan tetap memilih/menentukan berdasarkan kebutuhan, tetap dengan
menggunakan pertimbangan yang matang. Begitu pula dengan pemanfaatan lighting, bahwa
kehadiran lighting/lampu menurut penulis dalam sebuah seni pertunjukan sangat diperlukan,
karena dengan pengaturan lampu bisa membantu keberhasilan sebuah seni pertunjukan. Tidak
jauh berbeda dengan sound, maka pada lightingpun harus hati-hati dalam memanfaatkannya.
Tidak sedikit bahwa sebuah pertunjukan musik menjadi hancur/rusak dikarenakan oleh
tindakan pemanfaatan sound dan lighting yang ceroboh.
35

Permasalahan setting, sound dan lighting pada sebuah karya seni biasanya lebih
bertumpu pada situasi dan kondisi, artinya seorang komponis harus berhati-hati dengan
konsep-konsep yang dihadirkan terkait dengan permasalahan setting, sound dan lighting. Hal
ini dimaksudkan dengan tetap mempertimbangkan/ memperhatikan pada even yang ada.
Biasanya ada kecenderungan bahwa konsep awal belum tentu bisa terwadahi sepenuhnya
pada penyajiannya nanti, dengan mengingat penyajian karya dimaksud terkait dengan situasi
dan kondisi yang ada. Naluri kreatifitas sang komponis dituntut untuk berpikir dan bertindak
dalam mengatasi permasalahan dimaksud apabila terjadi permasalahan yang memerlukan
penanganan secara serius dan mendadak. Pada karya Gembyengan tidak dimanfaatkan
secara maksimal medium sound dan ligting, sehingga hasilnyapun dirasa kurang maksimal.
Permasalahan lain yang tidak kalah menariknya adalah tentang permasalahan rias dan
busana. Sajian karya Gembyengan dirasa kurang begitu besar perhatiannya atas pentingnya
rias dan busana. Sebuah seni pertunjukan tidak seharusnya penggunaan rias dan busana ada
kesan asal pakai. Perlu pula kita pikirkan segi estetik, kesesuaian terhadap peraga, bahkan
selayaknya dipikirkan pula terkait dengan konsep kekaryaan yang dihadirkan, dan lain
sebagainya. Untuk sajian karawitan anak pemanfataan rias dan busanan selayaknya
dipertimbangkan terkait dengan situasi anak sebagai pendukungnya. Misalnya saja dari sajian
rias dan busana tersebut diharapkan muncul gairah/semangat dengan mempertebal percaya
diri. Tentu saja diharapkan berpengaruh terhadap kepercayaan diri pribadi penyaji di dalam
menyajikan sajian/materinya.
Rincian permasalahan yang disertai pula dengan pembahasannya yang meliputi
tentang: pemilihan instrument, pemilihan teknik, pemilihan materi lagu/melodi dan unsurunsur lain yang mempengaruhi sebuah sajian karawitan (setting, sound, lighting, dan rias
busana) di atas dirasa cukup bisa mengurai untuk mengetahui sejauh mana keberadaan karya
musik yang berjudul Gembyengan ini.

36

Penutup:
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa gamelan yang ada sekarang ini belum tentu bisa
terjangkau dan sesuai dengan ukuran anak atau bisa jadi pula tehnik yang dihadirkan belum
bisa dijangkau oleh kemampuan anak, maka sangatlah wajar bila ada pemikiran perlu
dihadirkan gamelan untuk anak. Tindakan beberapa seniman dalam menyikapi kegiatan
karawitan (gamelan) untuk anak-anak secara tidak sadar sebenarnya sudah mengarah pada
keinginan untuk menciptakan gamelan untuk anak.

Catatan:
Faedah dan kegunaan:
1). Untuk konsumsi batin diri penulis dan juga buat anakanak sebagai pendukung kekaryaan.
2). Untuk konsumsi pemerhati seni tradisi karawitan dalam
kapasitasnya sebagai pembaca.

Tema karya musik pada permasalahan dunia anak lebih terfokus


pada:
Sifat, karakter dan keceriaan anak dalam dunianya yang
dituangkan pada medium permainan dengan media bermain
musik
karawitan/gamelan.
Bermain
gamelan
lebih
menunjukkan kondisi sebenarnya, dengan mengingat gamelan
merupakan sebuah musik yang semestinya milik orang dewasa.
Kapasitas anak baru mencoba dan belajar gamelan yang dalam
penerapannya disesuaikan dengan kemampuan anak. Dari sinilah
muncul keinginan bermain gamelan.

Tujuan:
1. Sebagai konsumsi anak diharapkan dapat memacu
adanya kecintaan terhadap dunia karawitan dalam
kapasitasnya secara fundamental.
2. Sebagai perbendaharan garap materi-materi yang ada
dalam dunia musik karawitan.
3. Sebagai pengalaman dan perbendaharaan
penulis/komponis dalam menghadapi kekaryaan
khususnya konsumsi
anak-anak.
37

Biodata penulis:
Nama Sabar, lahir Surabaya 27 Januari 1962, domisili jl.Mojoklanggru Lor
Baru I/9 Surabaya, kampus Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya jl.
Klampis Anom II Surabaya (031) 5949945, riwayat pendidikan SD Negeri
Kedung Pengkol I Surabaya1976, SMP Negeri 9 Surabaya 1979, SMA Negeri
7 Surabaya 1984, S-1 Jurusan Seni Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta Surabaya 1995, S-2 Program Studi Penciptaan Seni Pasca Sarjana
ISI Surakarta, 2009, Karya-karya seni yang pernah diciptakan konser musik
anak Jurit Anom, konser musik sindenan Ginem, Musik Tari Gondrang,
Lagu PPST, dan lain-lain, pengalaman berkesenian hingga kini masih aktif
sebagai tenaga pengajar jurusan seni karawitan STKW Surabaya, aktif
bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Timur dan Disbudpar Propinsi
Jawa Timur, disbudpar kabupaten/kota dalam berbagai even kesenian
seperti Peserta Parade Tari Tingkat Nasional di TMII Jakarta dan yang
sejenis, dan lain-lain.

38

Anda mungkin juga menyukai