Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN TUTORIAL

BLOK RESPIRASI SKENARIO I


BATUK SAYA TAK SEMBUH-SEMBUH

KELOMPOK A1
ANGGITA DEWI

G0012015

ASTRID ASTARI AULIA

G0012033

DARMA AULIA HANAFI

G0012051

EMA NOVALIA DEWI K S

G0012069

LADYSA ASHADITA

G0012111

SABILA FATIMAH

G0012199

GILANG YUKA S.

G0012083

KHAIRUNNISA N. HUDA

G0012107

PARADA JIWANGGANA

G0012159

ZAKKA ZAYD Z.

G0012241

LD MUHLIS A.

G0012113

UTARI NUR ALIFAH

G0012225
NAMA TUTOR :

Amandha Boy Timor Randita, dr.


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB I

PENDAHULUAN
SKENARIO I
Laki-laki, 52 tahun datang ke poliklinik Paru RS. Dr Moewardi dengan keluhan utama
batuk berdahak bercampur darah. Keluhan batuk berdahak sejak lebih dari 2 minggu
yang lalu, batuk darah terjadi dua hari sebelum datang ke poliklinik. Pasien juga
mengeluh sering berkeringat malam, badan terasa mudah capai, lemah dan berat badan
terus menurun. Pasien perokok aktif, sehari kurang lebih 10 batang rokok.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 110/80 mmHg, RR:26x/menit, suhu 38 0C. Pada
auskultasi kedua lapang paru, didapatkan suara amforik, lainnya dalam batas normal.
Kemudian pasien diakukan pemeriksaan radiologis thoraks PA, didapatkan gambaran
nodular bisa di segmen apikal lobus paru atas. Oleh dokter, pasein dimainta untuk
melakukan pemeriksaan sputum dan hematologi rutin. Selain itu pasien diberikan
konseling untuk penyakit yang dideritanya.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
A. Suara amforik : suara auskultatorik bernada tinggi tertentu menyerupai suara
yang timbul ketika meniup botol (Dorland, 2011).
B. Hematologi Rutin : penilaian dasar komponen sel darah dengan menentukan
jumlah sel darah, trombosit dan presentase dari setiap jenis sel darah putih dan
kandungan HB, meliputi pemeriksaan Hb, eritrosit, leukosit,trombosit, dan
hematokrit (Sylvia, 2010).
C. Sputum : bahan yang dikeluarkan dari saluran napas melaui mulut (Dorlan,
2011).
D. Batuk : reflex pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeobronkial (Dorlan, 2011).
E. Gambaran noduler : gambaran khas pada tumor tapi tidak spesifik apakah itu.
F. Pemeriksaan radiologis thorax PA : foto thorac PA : suatu reaksi radiologis
dari thorax untuk mendiagnosis thorax isi dan strukturnya. PA
posteroanterior : sinar X nya masuk dari posterior ke anterior.
G. Perokok aktif : orang yang merokok minimal 1 batang setiap hari.
(WHO,2000)
2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
A. Bagaimana anatomi, fisiologi, histologi dari sistem respirasi ?
B. Mengapa pasien mengalami gejala-gejala seperti berkeringat malam, mudah
lelah dan berat badan turun?
C. Apakah ada hubungan antara perokok aktif dengan keluhan yang dialaminya ?
Usia dan jenis kelamin ?
D. Bagaimana patofisiologis dan pathogenesis dari pasien ?
E. Konseling apa yang diberikan ke pasien ?
F. Menagapa dokter meminta pasien malakukan pemeriksaan sputum dan
hematologi ?
G. Apakah selalu batuk berdahak yang lebih dari 2 minggu nantinya disertai
batuk darah ?
H. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan radiologi thorax PA nya ?

I. Bagaimana diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui kelainan lebih


J.
K.
L.
M.

lanjut yang diderita pasien ?


Bagaimana penatalaksanaan pasien ?
Bagaimana mekanisme dari pemeriksaan sputum dan nilai rujukannya ?
Bagaimana kaitan gejala dengan hasil pemeriksaan fisik ?
Apa saja gejala respiratorik yang menyartai pasien ?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara


mengenai permasalah
A. Anatomi Sistem Respirasi
1) Trachea
Merupakan lanjutan dari larynx. Trachea berupa saluran tubular untuk
saluran udara, panjang 12 cm, diameter 2,5 cm. Terletak di anterior
esophagus. Membentang dari larynx hingga tepi superior VTh. V, yang
kemudian bercabang menjadi brochus primarius primer dexter et sinister.
Trachea terdiri dari cincin cartilago hyaline, berbentuk seperti huruf C,
tersusun bertingkat, dihubungkan oleh jaringan pengikat padat. Terdapat di
linea mediana, dapat diraba di bawah kulit di sebelah inferior dari larynx
berlanjut hingga incisura jugularis saat masuk ke mediastinum superius.
Bagian yang terbuka menghadap ke posterior, ditutupi oleh membran
fibromuscular. Pada membran tersebut terdapat serabut otot polos yaitu M.
trachealis dan jaringan pengikat elastis yang memungkinkan perubahan
diameter trachea selama inspirasi atau ekspirasi. Bagian pada berupa
cartilago berbentuk huruf C berfungsi sebagai penyokong untuk mencegah
kolaps.
2) Bronchi
Setinggi tepi superior VTh V, trachea bercabang menjadi brochus
primarius primer dexter et sinister. Tiap bronchus primarius memasuki
radix pulmonis dan berjalan melalui hilus pulmonis ke dalam pulmo.
Bronchus primarius primer dexter lebih lebar dan vertikal

daripada

bronchus primarius primer sinister infeksi dan benda asing lebih sering
mengenai pulmo dexter. Bronchus primarius bercabang menjadi bronchus
secundus (bronchus lobaris), menuju ke tiap lobus pulmonis. Bronchus
lobaris selanjutnya bercabang menjadi bronchus tersius (bronchus
segmentalis), menuju ke segmen bronchopulmonaris.

Di dalam tiap segmen bronchopulmonalis, bronchus segmentalis


bercabang terus berulang kali akhirnya menjadi bronchioli, yang akan
bercabang lebih lanjut dan mensuplai area permukaan respirasi. Dinding
bronchi tetap terbuka dengan adanya cartilago, namun tidak pada
bronchioli.
Segmen bronchopulmonalis merupakan area pulmo yang ang disuplai
oleh bronchus segmentalis yang disertai percabangan A. Pulmonalis.
Percabangan Vv. Pulmonalis berjalan intersegmental diantara dan
mengelilingi pinggiran tiap segmen. Tiap segmen bronchopulmonalis
berbentuk seperti kerucut irreguler dengan bagian apexnya terdapat di
bagian asal bronchus segmentalis dan bagian basisnya menuju ke
permukaan pulmo. Tiap segmen bronchopulmonalis merupakan area
fungsional independen terkecil, dan merupakan area terkecil yang dapat
diisolasi dan diambil tanpa mempengaruhi regio di dekatnya. Terdapat 10
segmen bronchopulmonalis di tiap pulmo, sebagian bergabung di pulmo
sinistra.
3) Pulmo
Merupakan organ esensial dari sistem respirasi yang terdapat sepasang
pulmo di dalam cavitas thoracis. Keduanya dipisahkan oleh mediastinum.
Pulmo berbentuk setengah kerucut. Membentang dari diaphragma hingga
di atas clavicula. Tiap pulmo dibungkus dan dilindungi oleh dua lapis
membran serosa, disebut membran pleura.
Tiap pulmo mempunyai basis, apex, 2 facies dan 3 margo. Basis
pulmonis terletak di atas diaphragma. Apex pulmonis terletak di atas costa
I dan mesuk ke dasar leher. Facies costalis pulmonis menempel pada costa
dan spatium intercostalis dari dinding thorax. Facies mediastinalis
pulmonis berbatasan dengan mediastinum di anterior dan columna
vertebralis di posterior, pada facies ini terdapat hilus pulmonis
Struktur yang menyusun radix pulmonis di dalam hilus pulmonis
adalah a. Pulmonalis, Vv. Pulmonalis, bronchus primer, a/v bronchialis,
nervi dan vasa lymphatica.
a. Pulmo dexter
Pulmo dexter mempunyai 3 lobi dan 2 fissura. Fissura oblique
memisahkan lobus inferior dari lobus superior dan lobus medius.
Fissura horizontalis memisahkan lobus superior dengan lobus medius.

b. Pulmo sinister
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, lobus superior et inferior,
dipisahkan oleh fissura oblique. Pada bagian medial, pulmo sinistra
membentuk cekungan : incisura cardiaca pulmo sinistra lebih kecil
10% dibandingkan pulmo dextra.
4) Pleura
Pleura terdiri 2 lapis membran yaitu : pleura parietalis (melapisi
dinding cavitas thoracis) dan pleura visceralis (langsung menutupi pulmo).
Diantara pleura parietalis dan visceralis terdapat ruang kecil disebut
cavitas pleuralis. Pleura membentang 5 cm di bawah basis pulmonis dari
cartilago costa VI hingga costa XII di posterior
Pulmo tidak mengisi seluruh ruangan pleura di tempat ini. Jika ada
cairan berlebih di pleura dapat dikeluarkan dengan memasukkan jarum di
anterior melalui SIC VII thoracocentesis. Jarum dimasukkan di tepi atas
costa untuk menghindari kerusakan nervi dan vasa darah.
a. Pleura parietalis
Melapisi permukaan dalam dinding thorax dan mediastinum. Terdiri
dari pars costalis, diaphragmatica, mediastinalis dan cervicalis. Pleura
parietalis membentuk semacam kubah yang menonjol di atas costa I,
disebut cupula pleura.
b. Pleura visceralis
Melekat erat dengan pulmo, mengikuti ke dalam fissura pulmonis.
Cavitas pleuralis. Merupakan ruangan potensial diantara pleura parietalis
dan visceralis. Berupa kantong tertutup, tidak terdapat hubungan bagian
dextra et sinistra. Berisi cairan film untuk lubrikasi permukaan pleura dan
membantu gerakan pulmo. (dr. Nanang Wiyono, 2013)
B. Tahap Respirasi
Ventilasi pulmonari: keluar masuknya udara, terjadi pertukaran udara
1)
2)

antara atmosfer dan paru


Respirasi eksternal: pertukaran gas antara alveolus dengan darah dalam

3)

kapiler. Proses ini darah kapiler mendapat O2 dan membuang CO2


Respirasi internal pertukaran gas antara darah di kapiler dengan sel di
jaringan. Proses ini menyebabkan darah melepas O2 dan mendapat

CO2 (G Tortora, 2012).


C. Patofisiologi Umum Penyakit Paru (Longo et al, 2013)
Penyakit paru secara mayor dibagi tiga, obstruktif, restriktif, dan
vaskuler. Hal ini berkaitan dengan kelainan fisiologis paru yang dibagi tiga,

fungsi ventilasi, sirkulasi paru, dan pertukaran gas. Secara detail, dibagi
menjadi:
Obstruktif
Asma
PPOK
Bronkiektasis
Fibrosis Kiostik
Bronkiolitis
Restriktif Parenkimal
Sarkoidosis
Fibrosis Paru Idiopatik
Pneumonitis interstisial deskuamatif
Pneumoconiosis
Penyakit paru interstitial diinduksi obat/radiasi
Asbestosis
Restriktif Ekstraparenkimal
Neuromuskuler (Paralisis/Kelemahan Diafragma, Myasthenia gravis, GBS, Distrofi otot,
Kerusakan spina servikal, Sklerosis lateral amiotropik)
Dinding Dada (Kifoskoliosis, Obesitas, Ankylosing Spondilitis, Efusi pleura kronis)
Penyakit paru vaskuler
Emboli paru
Hipertensi arteri paru
Keganasan
Sarkoma bronkogenik (Small cell/ Non-Small cell)
Metastasis kanker ke paru
Penyakit infeksius
Pneumonia
Tracheitis
Bronkitis
Tabel 1. Pembagian penyakit paru (Longo et al, 2013).

Obstruktif
Restriktif
Parenkim Paru
Ekstraparenkim
Kelemahan
Neuromuskuler

TLC
Normal - Naik

RV
Naik

VC
Turun

FEV1/FVC
Turun

Turun
Turun

Turun
Bervariasi

Turun
Turun

Normal Naik
Bervariasi

Ekstraparenkim

Turun

Bervariasi

Turun

Normal

Deformitas
dinding thorax
Tabel 2. Kelainan pada fungsi ventilasi pada beberapa kategori penyakit paru
(Longo et al, 2013)
4. Langkah IV: Mengeinventarisir permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.
Hipotesis

dari skenario ini adalah TBC, sedangkan differensial diagnosisnya

adalah PPOK sehingga perlu diketahui lebih lanjut mengenai kedua penyakit
tersebut.
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
A.
B.
C.
D.
E.

Mengetahui lebih dalam tentang fisiologis system pernapasan.


Mengetahui mekanisme batuk berdarah.
Mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin terhadap penyakit pasien.
Mengetahui patofisiologis dan pathogenesis TB, PPOK, Ca paru.
Mengetahui perangkat diagnosis (penunjang, anamnesis, pemeriksaan,

laboratorium) dan interpretasinya.


F. Mengetahui tatalaksana dan konseling kepada pasien.
G. Mengetahui gejala dan tanda respiratorik.
6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
A. Gejala dan Tanda Respiratorik
1) Batuk
Batuk adalah refleks protektif yang disebabkan oleh iritasi pada cabang
trakeobronkial akibat rangsangan mekanik, kimia atau peradangan. Batuk
adalah mekanisme fisiologis untuk membersihkan sekresi berlebih dan
melindungi pernapasan dari makanan atau benda asing yang masuk saluran
pernapasan. Batuk biasanya ditandai dengan sputum yang produktif atau
tidak produktif. Batuk merupakan gejala tersering saluran pernapasan
(Price, 2006).
2) Sputum berlebih

Produksi sputum yang berlebihan sering timbul pada penyakit


pernapasan yang menyebabkan peradangan akut atau kronik. Warna dan
bau pada sputum dapat menjadi pertanda yang berguna (Price, 2006).
Karakterisasi Sputum
Warna:
Jernih/ Putih: Adanya peradangan
Kuning/Hijau: Adanya nanah (Dapat menjadi purulen pata pseudonomia
virus dan bronkovirus)
Hijau terang: Pseudomonas
Coklat/ Merah: Darah, Kerusakan jaringan
Konsistensi:
Kental: Fibrosis Kistik, namun banyak keadaan dapat menyebabkan hal
ini
Sekresi berlebih: Bronkorea (Karsinoma sel bronkoalveolus)
Agar-agar: Proteinosis alveoli pulmonalis
Bau:
Tidak Dibenarkan Sengaja Mencium Bau
Seperti feses: Infeksi destruktif anaeerob jaringan
Seperti anggur: pseudomonas (Ringel, 2009).
3) Hemoptisis
Hemoptisis adalah batuk berdarah atau sputum dengan sedikit darah
yang berasal dari saluran pernapasan (Price, 2006).
4) Dispnea
Perasaan sulit napas secara subjektif. Tanda obejektif sesak napas
adalah penggunaan otot otot pernapasan tambahan (Price, 2006).
5) Nyeri dada

Nyeri dada penyakit paru bermula pada dinding dada, pleura parietal,
saluran napas yang lebar atau struktur mediastinum karena parenkim paru
dan pleura visceral tidak sensitif terhadap nyeri (Price, 2006).
Tanda-tanda suara napas normal:

Vesikular

Bronkovaskuler

Bronkial

Durasi Bunyi

Intensitas

Pitch Suara

Lokasi Normal

Suara inspirasi

suara ekspirasi
Lembut

Ekspirasi
Relatif rendah

Kebanyakan

lebih lama

dikedua

dibanding

lapangan paru

ekspirasi
Suara inspirasi

Intermediate

Intermediate

Umumnya pada

dan ekspiral

sela iga 2 dan 3

equal

anterior dan

Suara ekspirasi

Keras

Relatif tinggi

lebih lama

antara skapula
Di atas
manubrium

dibanding
Trakeal

inspirasi
Suara inspirasi

Sangat keras

Relatif tinggi

dan ekspirasi

Di atas trakhea
dan leher

seimbang
Tabel 2. Suara Napas Dasar
(Buku Pedoman Keterampilan Klinis FK UNS, 2013).

Tanda-tanda suara napas tambahan:


1) Ronki basah (crackles atau rales)
Ronki basah berupa suara napas dikontinyu/intermiten,
nonmusikal dan pendek. Ronki basah juga bisa dijumpai pada awal
inspirasi, akhir inspirasi dan pertengahan inspirasi dan ekspirasi. Ronki
basah terjadi karena abnormalitas pada jaringan paru )pneumonia,
fibrosis, gagal jantung kongestif tahap awal) atau pada jalan napas
(bronkitis, bronkiektasis). Adanya ronki merupakan petunjuk adanya

peningkatan

sekresi

disaluran

napas

besar

(Buku

Pedoman

Keterampilan Klinis FK UNS, 2013).


2) Wheezing (Mengi)
Wheezing berupa suara napas tambahan yang bersifat kontinyu,
musikal, nada tinggi dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi
bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar
atau menyempit/ hampir tertutup (Buku Pedoman Keterampilan Klinis
FK UNS, 2013).
Wheezing yang terdengar menyeluruh di lapangan paru
disebabkan oleh asma, bronkitis kronik, PPOK (Penyakit Paru
Obstruksi Kronik) dan penyakit jantung kongestif (cardiac asthma).
Wheezing ini bisa terjadi pada saat inspirasi, ekspirasi, atau keduanya
(Buku Pedoman Keterampilan Klinis FK UNS, 2013).
3) Stridor
Stridor adalah wheezing yang terdengar pada saat inspirasi dan
menyeluruh. Suara ini umumnya terdengar lebih keras di leher
dibandingkan di dinding dada. Ini menandakan terdapat obstruksi
parsial pada laring atau trakea dan membutuhkan perhatian (Buku
Pedoman Keterampilan Klinis FK UNS, 2013).
4) Pleural rub
Pleurl rib atau disebut juga pleural friction rub timbul akibat
permukaan pleura yang mengalami inflamasi dan kasar saling
bergesekan satu sama lain (Buku Pedoman Keterampilan Klinis FK
UNS, 2013).
5) Suara napas transmisi
a. Bronkofoni
Secara normal, bunyi yang ditransmisikan melalui dinding dada
tidak jelas terdengar. Tetapi di bronkofoni, suara yang ditransmisikan
terdengar lebih jelas dan lebih keras (Buku Pedoman Keterampilan
Klinis FK UNS, 2013).
b. Egofoni
Keadaan ini umunya dijumpai pada pneumonia. Kualitas
bunyinya seperti berasal dari hidung (Buku Pedoman Keterampilan
Klinis FK UNS, 2013).
c. Whispered pectoriloquy
Secara normal, suara yang ditransmisikan melalui dinding dada
tidak jelas terdengar, bahkan tidak terdengar sama sekali. Bila suara

bisikan ditransmisikan terdengar lebih jelas dan lebih keras, hal ini
disebut whispered pectoriloquy. (Buku Pedoman Keterampilan Klinis
FK UNS, 2013).
B. Fisiologi Pernapasan
Perubahan yang terjadi selama satu siklus pernapasan, yaitu satu
tarikan napas (inspirasi) dan satu pengeluaran napas (ekspirasi) adalah
sebagai berikut.
Sebelum inspirasi dimulai, otot-otot pernapasan melemas, tidak ada
udara yang mengalur dan tekanan intraalveolus setara dengan tekanan
atmosfer. Pada awitan inspirasi, otot-otot inspirasi, diafragma dan otot
antariga eksternal, terangsang untuk berkontraksi, sehingga terjadi
pembesaran rongga toraks. Otot inspirasi utama adalah diafragma, suatu
lembaran otot rangka yang membentuk dasar rongga toraks dan dipersarafi
oleh saraf frenikus. Otot antariga diaftifkan oleh saraf interkostalis.
Diafragma yang melemas berbentuk kubah yang menonjol ke atas ke
dalam rongga toraks. Sewaktu berkontraksi karena stimulasi saraf frenikus,
diafragma bergerak ke bawah dan memperbesar volume rongga toraks
dengan menambah panjang vertikalnya.
Pada saat rongga toraks mengembang, paru juga dipaksa mengembang
untuk mengisi rongga toraks yang membesar. Sewaktu paru mengembang,
tekanan intraalveolus menurun karena molekul dalam jumlah yang sama
kini menepati volume ruang yang lebih besar. Pada inspirasi biasa, tekanan
intraalveolus menjadi 759 cmHg. Karena tekanan intraalveolus sekarang
lebih rendah dari tekanan atmosfer, udara mengalir masuk ke paru
mengikuti penurunan gradient tekanan dari tekanan tinggi ke rendah.
Udara terus mengalir ke dalam paru sampai tidak lagi terdapat gradient.
Dengan

demikian,

pengembangan

paru

bukan

disebabkan

oleh

perpindahan udara ke dalam paru, melainkan udara mengalir ke dalam


paru karena turunnya tekanan intraalveolus akibat paru yang mengembang.
Selama inspirasi, tekanan intrapleura turun ke 754 mmHg akibat
pengembangan toraks.
Pada akhir inspirasi, otot-otot inspirasi melemas. Saat melemas,
diafragma kembali ke bentukny seperti kubah. Sewaktu otot antariga
eksternal melemas, sangkar rusukyang terangkat turun karena adanya
gravitasi, dan dinding dada dan paru yang teregang kembali menciut ke

ukuran prainspirasi karena adanya sifat elastik, seperti membuka balon


yang sebelumnya sudah ditiup. Sewaktu paru menciut dan berkurang
volumenya, tekanan intraalveolus meningkat, karena jumlah molekul
udara yang lebih besar yang terkandung di dalam volume paru yang besar
pada akhir inspirasi sekarang terkompresi ke dalam volume yang lebih
kecil. Pada ekspirasi istirahat, tekanan intraalveolus meningkat menjadi
761 mmHg. Udara sekarang keluar paru mengikuti penurunan gradien
tekanan dari tekanan intraalveolus yang tinggi ke tekanan atmosfer yang
lebih rendah. Aliran keluar udara berhenti jika tekanan intraalveolus
menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan tidak lagi terdapat gradien
tekanan.
Dalam keadaan normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif karena
terjadi akibat penciutan elastik paru saat otot-otot inspirasi melemas tanpa
memerlukan kontraksi otot atau pengeluaran energi. Sebaliknya inspirasi
selalu aktif karena hanya ditimbulkan oleh kontraksi otot inspirasi dan
menggunakan energy (Sherwood, 2011).
Pada dasarnya fungsi paru adalah ventilasi dan respirasi dimana
ventilasi yaitu pergerakan udara dari atmosfer masuk dan keluar paru
secara bulk flow yaitu perpindahan dari tekanan tinggi ke rendah sehingga
faktor-faktor yang memengaruhi ventilasi antara lain tekanan. Pada
inspirasi maka volume dalam paru akan naik dan tekanannya turun karena
volume selalu berbanding terbalik dengan tekanan, sehingga udara akan
mengalir dari atmosfer ke paru. Sedangkan saat ekspirasi volume udara di
paru akan turun dan tekananannya naik sehingga udara mengalir dari
dalam paru ke atmosfer. Faktor lainnya yang memengaruhi yaitu resistensi
bronkus. Resistensi bronkus adalah jika jalan napas mengalami konstriksi
khususnya bronkus , maka resistensi terhadap aliran udara akan naik
yangmana ditentukan oleh sistem saraf parasimpatik dan simpatik yang
mempersarafi otot polos bronkus.
Fungsi paru selanjutnya adalah respirasi merupakan difusi gas antara
alveolus dan kapiler yang melakukan fungsi perfusi. Faktor-faktor yang
memengaruhinya adalah :
a. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam atmosfer dan kapiler
b. Luas permukaaan alveolus dan kapiler untuk difus gas
c. Jarak antara alveolus dan kapiler untuk difusi

d. Suhu. Jika suhu naik maka proses kecepatan difusi juga ikut naik
karena sebanding. (Corwin et al, 2006)
C. Mekanisme Gejala yang Dialami Pasein
1) Keringat malam
Keringat malam adalah suatu keluhan subyektif berupa
berkeringat pada malamhari yang diakibatkan oleh irama temperatur
sirkadian normal yang berlebihan. Suhu tubuh normal manusia
memiliki irama sirkadian di mana paling rendah pada pagi harisebelum
fajar yaitu 36.1C dan meningkat menjadi 37.4 C atau lebih tinggi
pada sorehari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant, 1991,
Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/ keringat malam
mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini.
Variasi antara suhu tubuh terendah dan tertinggi dari setiap
orang berbeda- beda tetapi konsisten pada setiap orang. Belum
diketahui dengan jelas mengapa tuberkulosis menyebabkan demam
pada malam hari. Ada pendapat keringat malam pada pasien
tuberkulosis aktif terjadi sebagai respon salahsatu molekul sinyal
peptida yaitu tumour necrosis factor alpha (TNF-) yang dikeluarkan
oleh sel-sel sistem imun di mana mereka bereaksi terhadap bakteri
infeksius (M.tuberculosis). Monosit yang merupakan sumber TNF-
akan

meninggalkan

alirandarah

menuju

kumpulan kuman

M.tuberculosis dan menjadi makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini


tidak dapat mengeradikasi bakteri secara keseluruhan, tetapi pada
orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya akan
mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran
bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya.TNF- yang dikeluarkan
secara berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam,
keringat malam, nekrosis, dan penurunan berat badan di mana semua
ini merupakan karakteristik dari tuberkulosis (Tramontana et al, 1995).
Demam timbul sebagai akibat respon sinyal kimia yang
bersirkulasi yang menyebabkan hipotalamus mengatur ulang suhu
tubuh ke temperatur yang lebih tinggi untuk sesaat. Selanjutnya suhu
tubuh akan kembali normal dan panas yang berlebihan akan
dikeluarkan melalui keringat. Untuk lebih jelasnya berikut adalah fase
demam. Pertama yaitu fase inisiasi dimana vasokonstriksi kutaneus

akan menyebabkan retensi panas dan menggigil untuk menghasilkan


panas tambahan. Ketika set point baru tercapai maka menggigil
akan berhenti. Dengan menurunnya set point menjadi normal,
vasodilatasi kutaneus menyebabkan hilangnya panas ke lingkungan
dalam bentuk berkeringat (Young, 1988;Boulant, 1991, Dinarello and
Bunn, 1997)
2) Berat Badan Turun
Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Aktifasi makrofag oleh IFN- produksi pirogen endogen


IL -1, IL-4, IL-6, TNF-

Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk


hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus


menyebabkan produksi prostaglandin.

Prostaglandin merangsang cerebral cortex


( respon behavioral) nafsu makan menurun & leptin meningkat
menyebabkan stimulasi dari hipotalamus nafsu makan disupresi

Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada pasien TB karena
peningkatan penggunaan energi metabolik.

Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan


penurunan BB
3) Hemoptosis
Hemoptosis (batuk darah) diklasifikasikan berdasarkan berat
ringannya/jumlah darah yang dibatukkan :
1. Bercak (streaking)

Darah bercampur dengan sputum hal yang sering terjadi,


paling umum pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15 20
ml/24 jam (Amin, 2007).
2. Hemoptisis
Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang
dibatukkan 20 600 ml/ 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk
penyakit tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah
yang lebih besar dan biasanya karena kanker paru, pneumonia
(necrotizing pneumonia), TB, atau emboli paru (Amin, 2007).
3. Hemoptosis massif
Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 ml
biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis
(Amin, 2007).
4. Pseudohemoptosis
Batuk darah dari struktur saluran pernafasan bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini
dapat berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan terakhir
biasanya karena luka disengaja di mulut, faring, atau rongga
hidung (Amin, 2007).
Pada pasien TBC batuk pada awalnya hanya bersifat nonproduktif karena merupakan refleks protektif yang disebabkan oleh
iritasi pada cabang trakeobronkial akibat rangsangan mekanik,
kimia atau peradangan pada sistem respirasi, lalu jika iritan
terpapar secara terus menerus, dalam skenario dapat dihubungkan
dengan kebiasaan merokok pasien, akan menimbulkan perubahan
seperti pada sel-sel penghasil mukus dimana akan mengalami
metaplasia dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan
berlebihan hal ini disertai dengan menurunnya / disfungsi dari
pergerakan silia sehingga menimbulkan mukus kental dan apabila
dibatukkan menjadi bersifat batuk produktif. Pada keadaan batuk
produktif kronik jika berkembang lebih lanjut akan menekan dan
menimbulkan pembuluh darah pecah sehingga apabila dibatukkan
darah akan keluar bersama sputum.

4) Pengaruh Rokok Pada Pertahanan Respirasi


Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi dan imunosupresif
pada sistem kekebalan tubuh. Makrofag mempunyai peran yang strategis di
alveolar. Makrofag alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan
mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi. Rokok
meningkatkan

jumlah

makrofag

alveolar

juga

sel

epitelial

dan

mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi


paru, Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian
memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan inflamasi
dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini merokok berpengaruh terhadap
kemampuan makrofagalveolar untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis.
Pada saat yang sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan alamiah
yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik (DCs), dan sel natural
killer (NK) sehingga meningkatkan risiko, keparahan dan durasi infeksi.
Pengaruh rokok dalam hubungannya dengan peningkatan penyakit hingg
menjadi lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag untuk
membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuan untuk membersihkan
sel-sel mati, degradasi dan modifikasi secara kimiawi dari matriks
ekstraseluler, peningkatan retensi sel T CD8 dan induksi Interleukin-17 (IL17) sebagai efektor sekresi sel T. Setelah pajanan rokok jangka panjang,
daerah agregasi limfosit dengan sel T dan sel B bisa terbentuk pada sisi
tersebut, membantu produksi antibodi patogen dan menyebabkan penyakit
autoimun. Hilangnya pertahanan mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi
bakteri seperti yang terjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK
(Stampfli & Anderson, 2009).
Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran dalam pertahanan
bawaan dalam melawan agen microbial dan proteksi ant i tumor. Hal ini
dilakukan dengan sitotoksisitas langsung yang mencetuskan apoptosis, sitokin
pro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studi menunjukkan pada
perokok dapat menurunkan jumlah dan aktivasinya berkurang pada perokok
dibandingkan bukan perokok. Pajanan asap rokok melemahkan aktivitas
sitotoksik danproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengan

demikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatan risiko infeksi dan


kanker. Pada paru sel dendritik (DCs) merupakan sel antigen paling poten dan
sangat diperlukan untuk inisiasi sel Tdan diduga memiliki kerentanan yang
tinggi terhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan berada langsung
dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkan bahwa jumlah DCs berkurang
pada sebagian besar jalan napas pasien ppok yang merokok. Setelah berhenti
merokok jumlah DCs makin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehat
yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan terdapatnya penurunan
jumlah DCs tergantung pada tipe sistem pajanan rokok. Proses otoimun
berperan pada timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok. Merokok
juga dapat menurunkan level semua kelas imunoglobulin kecuali Ig E. Pada
studi dengan hewan coba didapatkan respons antibodi terhadap berbagai
antigen berkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok (Stampfli &
Anderson, 2009).
D. Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin
i) Umur
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Variabel umur
berperan

dalam

kejadian

penyakit

tuberkulosis

paru.

Risiko

untuk

mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal


terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga
dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik.
Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau
kelompok menjelang usia tua. Infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara
bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB

Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Smith, 2004).
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB Paru, yaitu :
Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,
perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita,
Puncak sedang pada usia lanjut
Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda,walau
tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan
penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi.
ii)
Jenis Kelamin

Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Tuberculosis terutama menyerang laki-laki. Jumlah 23 penderita TB Paru lakilaki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita,
yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9% pada wanita. TB paru lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian
besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
paru.
E. Patogenesis Tuberkulosis
a.

Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik,


yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Efek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :

Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan


maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini


juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, adrenal, genitalia dan sebagainya
(PDPI, 2006).

b.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun
kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis post- primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.Nasib
sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kavitas sklerotik) (PDPI, 2006).

Patogenesis PPOK
Secara umum PPOK yang paling sering terjadi adalah Emfisema dan
Bronkitis kronis.
a. Emfisema
Merupakan PPOK dengan karakteristik penurunan elastisitas
paru dan luas permukaan alveolus yang berkurang akibat destruksi
pada dinding alveolus dan pelebaran ruang distal udara ke
bronkiolus terminal. Elastisitas yang menurun ini disebabkan oleh
destruksi kolagen dan serabut elastik di selururh paru dari produk
yang dihasilkan lewat aktivasi makrofag. Lebih dari 80 % kasus
emfisema mucul setelah bertahun-yahun merokok sehingga faktor
risiko primer untuk emfisema adalah merokok dan pejanan
berulang terhadap asap rokok. Gejala klinis yang ditimbulkan
antara lain : terperangkapnya udara pernafasan yang sulit untuk
diekspirasikan sehingga dada tampak mengembanag (barrel chest),
bunyi napas tidak terdenganr saat auskultasi, penggunaan otot-otot
aksesoria pernapasan, peningkatan frekuensi pernapasan, depresi

sistem saraf pusat karena kadar karbondioksida yang tinggi.


(Corwin et al, 2009)
b. Bronkitis Kronis
Merupakan gangguan PPOK yang ditandai dengan produksi
mukus berlebihan di saluran napas bawah sehingga terdapat batuk
kronis selama kurang lebih tiga bulan dalam satu tahun selama dua
tahun berturut-turut. Risiko utamanya adalah asap rokok yang
dapat menjadikan sel-sel penghasil mukus hipertrofi dan hiperplasi
serta silianya mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Hal ini akan menyebabkan sistem pernapasan
terhambat oleh mukus kental yang terperangkap dan meimbulkan
gejala klinis seperti batuk yang sangat produktif, purulen, serta
mudah memburuk, lalu dapat juga ditemukan sesak napas dan
dispnea. (Corwin et al, 2009)
F. Perangkat diagnostik TBC
1. Anamnesis lengkap meliputi sacred seven dan fundamental four.
2. Pemeriksaan tanda vital lengkap pada skenario didapatkan hasil TD:110/80
mmHg, RR: 26X/menit, suhu 38 derajat celcius, dan denyut nadi 88x/
menit. Jika diinterpretasikan maka semua dalam batas normal kecuali laju
pernafasanpasien agak cepat karena normalnya 16-20 x/menit.
3. Pemeriksaan fisik lengkap. Dalam skenario didapatkan hasil suara
amforik. Pada pasien TBC tempat paling tersering yang terserang adalah
bagian apeks pulmo berkaitan dengan mycobacterium tuberculosis yang
merupakan bakteri aerob sehingga membutuhkan tegangan oksigen yang
tinggi pada bagian tersebut, kemudian jika infiltratnya meluas maka pada
pekusi akan terdengan redup dan pada auskultasi suara napas bronkial
serta tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring akan terdenganr
pula. Bila infiltrat diikuti dengan penebalan pleura maka suara napas
vesikuler yang ditemukan akan lemah. Jika terdapat kavitas yang cukup
besar dan berisi udara maka perkusi akan menunjukkan hipersonor atau
bahkan timpani dan timbullah suara amforik pada auskultasi. (Buku Ilmu
Penyakit Dalam)
4. Pemeriksaan radiologis thoraks Pa. Pada skenario gambaran yang
ditemukan adalah gambaran noduler di segmen apikal lobus paru atas. Hal

ini mungkin ada kaitannya dengan respons imun tubuh terhadap TBC
dimana karena basil TBC sangat sulit dimatikan akhirnya sistem imun
tubuh hanya bertujuan untuk mengepung dan mengisolasi basil tersebut.
Respons selular imun melibatkan makrofag yang akan membungkus basil
kemudian Sel T dan jaringan fibrosa akan melingkupi kompleks basil
makrofag tadi. Kompleks basil makrofag sel T ini disebut dengan tuberkel
yang nantinya dapat mengalami kalsifikasi lanjut menjadi kompleks Ghon.
Kompleks Gohn dapat dilihat pada pemeriksaan radiografi. Pada dasarnya
pemeriksaan radiografi ditujukan untuk menemukan lesi TBC.
a. Pada awal penyakit, lesi berupa sarang-sarang pneumonia yang berupa
bercak-bercak seperti awan dengan batas yang tidak tegas. Jika sudah
diliputi oleh jaringan ikat, maka bayangan akan berupa bulatan dengan
batas tegas dikenal dengan tuberkuloma.
b. Pada kavitas maka bayangannya akan berupa cincin berdinding tipis
yang lama kelamaan akan menjadi sklerotik dan terlihat menebal, dan
apabila terdapat fibrosis maka akan terlihat bayangan yang bergarisgaris.
c. Pada kalsifikasi bayang akan tampak sebagai corak-corak padat
berdensitas tinggi.
d. TBC milier gambaran radiologisnya berupa bercak-bercak halus yang
tersebar merata pada seluruh lapang paru
5. Pemeriksaan Sputum. Sputum yang diperiksa adalah sputum sewaktu, pagi
dan sewaktu mengantar sputum pagi. Pemeriksaan sputum BTA adalah
gold standard untuk diagnosis TBC. Sputum diperiksa dan dinyatakan
positif apabila ada sekurang-kurangnya 3 batang kuman pada 1 sediaan
atau dibutuhkan 5000 kuman dalam 1 ml sputum. Pemeriksaan sputum
untuk memastikan lebih lanjut dapat dengan cara dibiakkan tau kultur jadi
setelah 4-6 minggu dikultur di media biakan, kuman akan mulai tampak,
tetapi jika sampai 8 minggu tidak tampak maka dinyatakan negatif.
G. Tatalaksana dan konseling Pasien
a. Tatalaksana atau pengobatan TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai


berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin

kepatuhan

pasien

menelan

obat,

dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh


seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
i) Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu dua minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
ii) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
1. Paduan OAT yang digunakan

oleh

Program

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:


a. Kategori 1 = 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 = 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
c. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
d. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat

badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
3. Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan Peruntukannya
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a.
Pasien baru TB paru BTA positif.
b.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c.
Pasien TB ekstra paru
2. Kategori-2
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati
sebelumnya:
a.
Pasien kambuh
b.
Pasien gagal
c.
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
3. OAT Sisipan
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif

kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Penggunaan OAT lapis


(misalnya kanamisin) dan

kedua

misalnya
golongan

diberikan kepada pasien baru tanpa

golongan
kuinolon

aminoglikosida
tidak

dianjurkan

indikasi yang jelas karena potensi

obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama.Disamping


itu, dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis
kedua.
B. Konseling Pasien.
Menurut Putra Prabu dalam buku Kesehatatan Lingkungan Soemirat, 2000
luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya

luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya
agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan
kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit
infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam
m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan
dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang,
untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang26.
Kondisi pencahayaan merupakan faktor resiko yang cukup signifikan hal ini
dapat dilihat dari penelitian diatas, dengan pencahayaan yang kurang maka perkembangan kuman TB Paru akan meningkat karena cahaya matahari merupakan salah satu
faktor yang dapat membunuh kuman TB Paru, sehingga jika pencahayaan bagus maka
penularan dan perkembangbiakan kuman bisa dicegah.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan data-data yang didapatkan dari scenario 1 blok Respirasi, meliputi :

Jenis Kelamin : Laki-laki


Usia
: 52 tahun
Keluhan utama
: Berdahak bercampur darah (batuk sejak 2 minggu yang lalu,

batuk darah sejak 2 hari sebelum periksa)


Keluhan penyerta
: sering berkeringat malam, badan terasa mudah capai, lemah,

dan berat badan terus menerus.


Kebiasaan
: Perokok aktif, sehari kurang lebih 10 batang.
Pemeriksaan fisik
: TD : 110/80 mmHg, RR : 26x/menit, suhu : 38 C, denyut

nadi : 88kali/menit. Lapang Paru suara amforik.


Pemeriksaan penunjang
:
1. Pemeriksaan Radiologis Thoraks PA : gambaran noduler di segmen apical
Berdasar pada data-data di atas dan penjelasan pada bab sebelumnya, pasien

memberikan gejala-gejala pada penyakit TBC (Tubercullosis) yang disebabkan bakteri


Mycobacterium Tubercullosis yang meruapakan bakteri tahan asam. Untuk penanganan pada
pasien dapat diberi perlakuan melalui antibiotic dengan cara pemberian yang khusus. Untuk
pencegahannya sendiri dapat dilakukan dengan mempertahankan status gizi yang normal,
meningkatkan daya imunitas tubuh dalam kondisi normal, dan bagi penderita TB tidak
membuang sputum sembarangan yang dapat menularkan bakteri.

BAB IV
SARAN

Setelah melakukan diskusi tutorial untuk skenario I Blok Respirasi, kami mengalami
beberapa hambatan, antara lain, kurang memahami tujuan pembelajaran dan menentukan LO,
mengalami kendala dalam memahami artikel/referensi yang didapat sehingga menimbulkan
bias, kurang dapat mengatur waktu dalam diskusi tutorial, dan banyak pendapat yang pada
dasarnya sama namun tetap disampaikan tanpa menyeleksinya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, kami memiliki beberapa saran agar dalam diskusi tutorial selanjutnya
hambatan-hambatan di atas dapat diperbaiki, antara lain, lebih memahami maksud dan tujuan
pembelajaran dari skenario, sehinga lebih mudah menentukan LO (Learning Objective),
membiasakan mencari arti kata-kata dalam Bahasa Inggris yang belum diketahui artinya
dalam kamus, membuat batas-batas waktu pada setiap tahap dalam pelaksanaan diskusi
tutorial., dan menyeleksi pendapat sebelum disampaikan sehingga data yang didapat tidak
ganda atau lebih simple.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
digilib.unimus.ac.id/files/disk1/130/jptunimus-gdl-fauziadyty-6473-3-babii.pdf
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta: Internapublishing
Corwin J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Dorland, W.A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
G Tortora, B Derrickson (2012). Principles of Anatomy and Physiology 13th ed. USA: John
Wiley & Sons, Inc.
PDPI (2006). Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia.:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html - Diakses Oktober 2013.s
Price, Sylvia A, Lorraine M.Wilson. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ringer, Edward. (2009). The Little Black Book of Pulmonary Medicine. Sudbury: Jones and
Bartlett Publishers.
Sherwood, Lauralee (2011). Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Edisi ke 6. Jakarta: EGC
Stmpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews immune responses topromote infection,
lung disease and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9
WHO.2000. Guidelines for Controlling and Monitoring the Tobacco Epidemic.

Anda mungkin juga menyukai