Anda di halaman 1dari 19

RELATIVITAS BAHASA DAN RELATIVITAS BUDAYA

Abstract: Linguistic relativity and linguistic universality relate to each


other as two opposite poles in the world of linguistics. They depend on
each other for their respective existence, and they are both absolutely
necessary for giving adequate description of a great variety of linguistic
phenomena. The recent re-emergence of linguistic relativity has been a
reaction against excessive formalism in Generative Linguistics,
particularly in its ambitious attempts to explain the nature of Universal
Grammar. The re-emergence of linguistic relativity is thus best seen as a
balancing effort in the latest development of linguistic theory. In its
connection with cultural relativity, linguistic relativity may well be
explained, on the one hand, by referring back to the Sapir-Whorf
hypothesis, which states that the way we perceive reality is in part
determined by the language we speak. On the other hand, linguistic and
cultural relativity may also be explained by going back to the Saussurean
ideas of signifier vs. signified , and by adding to them the newly
coined linguistic concepts of lexicalization , grammaticization , and
verbalization .
Key words: linguistic relativity, cultural relativity, lexicalization,
grammaticization, verbalization.
1. PENDAHULUAN
Relativitas bahasa dan relativitas budaya adalah topik tua yang tetap menarik.
Dalam dua bab terakhir dari bukunya Language, Sapir (1921) membahas kaitan tak
langsung antara bahasa dan budaya, serta kekhasan bentuk sastra yang tergantung pada
kekhasan struktur bahasa yang menjadi wahananya. Di masa kejayaan aliran
Strukturalisme Amerika, relativitas bahasa dinyatakan oleh Joos (1957: 96) sebagai
berikut, Languages could differ from each other without limit and in unpredictable ways .
Secara lebih ringkas, Moulton (lihat Rivers 1981: 43) menyarikannya, Languages are
different . Dalam aliran Strukturalisme Amerika, perbedaan lintas-bahasa yang dinyatakan
oleh Joos maupun Moulton terutama meliputi perbedaan struktur bahasa pada tingkat
fonetik, fonemik, morfemik, dan sintaktik. Kuatnya keyakinan terhadap relativitas bahasa
tersebut mendorong munculnya gagasan tentang analisis kontrastif dalam pengajaran
bahasa asing, yang dipelopori oleh Fries (1945) dan kemudian dipopulerkan oleh Lado
(1964). Artinya, relativitas bahasa, yang merupakan kesimpulan analisis linguistik murni,
jadi menonjol secara amat jelas di bidang linguistik terapan: every language is structurally
unique.
Keterkaitan antara relativitas bahasa dan relativitas budaya nampak pada hasil
kajian antropologi budaya, misalnya tentang tingkat tutur bahasa Jawa. Meskipun
Uhlenbeck (1978) telah meneliti berbagai aspek bahasa Jawa sejak dasawarsa1950an,
tingkat tutur bahasa Jawa dikenal oleh para pakar sosiolinguistik dan pragmatik (lihat
Brown dan Levinson 1987, Levinson 1983, dan Trudgill 1983) terutama melalui karya
Geertz (1960), The Religion of Java. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa demikian pula
dalam bahasa Bali, Madura, dan Sunda merupakan sebuah contoh: bagaimana nilai
kesantunan budaya secara eksplisit terungkap pada kesantunan bahasa (Poedjosoedarmo et

2
al. 1979: 8). Tingkat tutur bahasa Jawa akan dibahas lebih lanjut di bawah sub-topik
leksikalisasi. Pakar sosiolinguistik Hudson (1980: 80-94) menjelaskan bahwa bahasa
tercakup dalam budaya. Oleh karena itu, tuturan dalam komunikasi verbal sering
mencerminkan, secara langsung maupun tak langsung, nilai-nilai budaya yang dianut oleh
penutur suatu bahasa. Model yang dikemukakan oleh Hudson adalah gambaran tentang
langue konsep Saussurean yang terkenal itu, dilingkupi oleh ranah budaya.
Berbicara tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya di awal abad ke-21
adalah meninjau topik lama dengan cara pandang yang baru. Kini gagasan tentang
relativitas bahasa muncul kembali sebagai reaksi terhadap ide universalitas bahasa yang
ditonjolkan secara berlebihan melalui pendekatan formal (Gumperz and Levinson 1996).
Paham tentang universalitas bahasa dipicu oleh istilah Gramatika Semesta atau
Universal Grammar (UG), yang secara eksplisit dikemukakan oleh Chosmky dalam
Aspects (1965). Dalam teori generatif klasik ini, UG masih ditafsirkan sebagai sejumlah
prinsip kebahasaan yang bersifat umum, yang terdapat pada setiap bahasa. UG is a set of
general linguistic principles available in particular grammars. Bersamaan dengan
terjadinya pekembangan dan perubahan teoritis dalam aliran Linguistik Generatif,
penjelasan tentang UG menjadi tujuan utama. Dalam Teori GB (Chomsky 1981) maupun
Teori Minimalis (Chomsky 1995), UG adalah nama baru bagi LAD (language acquisition
device). UG is the set of linguistic principles we are endowed with at birth in virtue of
being human (Smith 1999: 42). Dalam paradigma Chomskyan, universalitas bahasa
terutama bertumpu pada formal universals, yaitu prinsip-prinsip kebahasaan yang diklaim
bersifat universal dan secara bersama-sama membentuk UG. Perlu diingat, dalam teori
Chomsky, sintaksis bersifat sentral. Maka tidak mengejutkan jika formal universals
sebagaian besar merupakan kaidah-kaidah sintaksis.
Bagi Chomsky, language is a mirror of the mind. Linguistik Generatif adalah
linguistik bebak-konteks, pendekatannya bersifat mentalistik-formal, dan tujuannya adalah
mencari dan merumuskan kaidah-kaidah universal. Sebaliknya, bagi pakar linguistik yang
memperhatikan pentingnya konteks dan aspek sosial dan kultural, language is a mirror of
the society atau a mirror of the culture. Dalam tarik-ulur ini, menarik sekali bagaimana
Lavandera (1988:1) melihat paradoks yang mendorong pertumbuhan kembali relativitas
bahasa.
It does not seem far-fetched to hold Chomsky indirectly responsible for the
accelerated development in sociolinguistics and ethnolinguistics at the end of the
1960s and for the emphasis laid upon pragmatics and discourse analysis in the mid
1970s. Paradoxical as it may seem, his revival of the Saussurean langue-parole
dichotomy (under the name competence and performance ), and even more
important, his assertion of the auto-nomy of syntax, sparked renewed interest in the
study of language in its sociocultural context.
Karena ketegaran Chomsky dalam mempertahankan sentralitas dan otonomi sintaksis,
maka muncullah pragmatik, analisis wacana, sosiolinguistik, dan etnolinguistik yang
seluruhnya tertarik untuk mempelajari bahasa dalam konteks interpersonal ataupun
sosiokultural.
Makalah ini membicarakan relativitas bahasa dan relativitas budaya dengan dua
pendekatan. Pertama, pendekatan Sapir-Whorf, yang hipotesisnya menyatakan bahwa
persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki. Kedua,
pendekatan Hudson, yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan
tercermin dalam tingkah-laku kebahasaan kita. Kedua pendekatan ini dikaitkan dengan

3
pemikiran Saussurean tentang penanda (signifier) dan petanda (signified), dengan
menambahkan konsep mutakhir berupa leksikalisasi, gramatisasi, dan verbalisasi. Untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya,
akan digunakan contoh-contoh dari beberapa bahasa yang diketahui oleh penulis (yaitu,
bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan Arab), dan contoh-contoh tersebut akan
diproyeksikan pada lanskap sosiokultural.
2. LEKSIKALISASI DAN GRAMATISASI LINTAS-BAHASA
Bagi pendekatan yang melihat bahasa sebagai cermin masyarakat atau cermin
budaya, definisi bahasa yang sesuai adalah paduan antara definisi Sapir (1921: 8) dan
definisi Francis (1958: 13).
Language is a system of arbitrary vocal or visual symbols used by people of a given
culture as a means to carry on their daily affairs. (Bahasa adalah sistem verbal
atau visual bersifat manasuka, yang digunakan oleh sekelompok penutur dengan
budaya tertentu, sebagai alat komunikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari.)
Definisi ini menegaskan bahwa bahasa adalah entitas budaya, dan menyarankan bahwa
konsep-konsep budaya mungkin sekali bersifat khusus dan muncul secara jelas lewat
ekspresi bahasa. Sejak kita mengenal pemikiran de Saussure (1916 [1959]), kita setuju
bahwa bahasa bukanlah name-giving. Artinya, berbahasa bukan berarti memberikan namanama pada benda-belum-bernama. Setiap kata, menurut de Saussure, adalah sebuah tanda
yang arbitrer (arbitrary sign), yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified).
Dalam istilah yang lebih kita kenal, penanda berarti bentuk dan petanda berarti makna.
Dalam konteks ini, istilah leksikalisasi berarti kehadiran makna dan bentuk secara
serempak sebagai kata (misalnya, kata ayah, yang terdiri dari bentuk atau bunyi [ayah] dan
makna orang tua laki-laki ); dan gramatisasi berarti kehadiran konsep dan bentuk
gramatikal secara serempak sebagai penanda gramatik (misalnya, sufiks -s pada kata books, yang berarti lebih dari satu ). Berikut akan dibicarakan leksikalisasi dan gramatisasi,
yang keduanya diproyeksikan pada wacana sosiokultural masing-masing.
2.1. Dari Leksikalisasi sampai Tingkat Tutur dan Sastra Pentas (Verbal Art)
Leksikalisasi lintas-bahasa dapat dikategorikan menjadi tiga jenis: leksikalisasi
sepadan, leksikalisasi tak-sepadan, dan leksikalisasi timpang. Leksikalisasi sepadan pada
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris nampak pada kata-kata berikut: bumi = earth, langit
= sky, baik = good, jelek = bad, berjalan = (to) walk, berlari = (to) run. Padanan
semacam ini lebih merupakan perkecualian daripada norma. Bahayanya segera nampak
ketika kita temukan kalimat-kalimat aneh , yang dihasilkan oleh pembelajar bahasa asing
yang mencari padan kata dengan merujuk kamus saku, seperti contoh-contoh1 pada butir
(1).
(1)
a. ?I like concubine.
b. *The book pregnant many interesting things.
c. ?Sir, if you are not too heavy, ...

Ketiga contoh tersebut saya peroleh dari tiga nara sumber yang berbeda: contoh (1a) dari Bapak
Soeyoso, guru bahasa Inggris di kota kediri pada tahun 1970an; contoh (1b) dari Dra. Furaidah,
M.A., dosen pada Jurusan Sastra Inggris FS UM, dan contoh (1c) dari Dr. Gloria Poedjosoedarmo,
dalam penyajian makalahnya di Konferensi TEFLIN ke-52 di Palembang pada bulan Oktober
2004.

4
Bahkan, jika kita kembali pada padanan di atas, setiap kata akan kehilangan padanannya
ketika ia mengalami proses morfologis atau menjadi bagian dari sebuah idiom: membumi =
down to earth, membaik = to recover, berjalan-jalan = (to) take a walk; atau sebaliknya
earthly = duniawi, (to) sky-rocket = melangit, (to) run out of = kehabisan.
Leksikalisasi tak-sepadan nampak, misalnya, pada kata-kata padi, gabah, beras,
nasi = rice; atau sebaliknya pada kata cara = way, manner, method, teknique, mechanism.
Contoh pertama menunjukkan keakraban masyarakat Indonesia terhadap makanan
pokoknya; sedangkan contoh kedua menunjukkan pesatnya perkembangan sain dan
teknologi pada masyarakat berbahasa Inggris. Jika penutur bahasa Indonesia melakukan
pembahasan ilmiah, kemungkinan besar dia harus meminjam kata-kata dari bahasa Inggris
metode, teknik, dan mekanisme untuk dapat mempertahankan makna setiap kata secara
utuh. Di antara leksikalisasi tak-sepadan, yang menarik adalah adanya kreasi leksikal
dalam bahasa Inggris2, seperti tercantum pada butir (2).
(2)
a. belimbing = star-fruit (fruit, if cut into two halves, looks like a star)
b. terong = egg-plant (plant that looks like an egg)
c. kecipir = wing-plant (plant that has wings)
d. kemiri = candle-nut (nut that looks like candle)
e. serai = lemon-grass (grass that tastes like lemon)
f. sukun = bread-fruit (fruit that looks like bread)
Analisis ini tentu menarik bagi penutur bahasa Indonesia. Pertanyaannya: apakah analisis
seperti ini juga pernah terlintas dalam pikiran penutur bahasa Inggris? Jangan-jangan yang
terjadi adalah sebaliknya. Ketika penutur bahasa Inggris mempelajari bahasa Indonesia,
mungkin dia akan melakukan analisis yang sama terhadap kata-kata seperti matahari =
mata bagi hari, mata air = mata yang mengeluarkan air, mata-mata = orang yang
menyelidik seperti mata.
Leksikalisasi timpang berarti tanda (sign) yang ada dalam bahasa A tidak memiliki
padanan dalam bahasa B. Hal ini terlihat dengan jelas, misalnya, pada kemajuan teknologi
komputer, yang mengakibatkan peminjaman kosakata secara besar-besaran dalam bahasa
Indonesia lisan: CPU, monitor, printer, printout, disket, file, games, di-enter, di-save, diblock, di-delete. Sebaliknya, penelitian antropologi yang memasuki ranah kepercayaan
lokal akan menemukan sejumlah obyek budaya yang bersifat lokal pula. Misalnya, pada
Daftar Isi dari buku Geertz (1960) yang disebutkan di atas, terdapat sejumlah kata bahasa
Jawa yang disertai terjemahan Inggrisnya.
(3)
a. memedis = frightning spirits
b. lelembuts = possessing spirits
c. thuyuls = familiar spirits
d. dhanyangs = guardian spirits
e. petungan = the Javanese numerological system
Penjelasan ini adalah penjelasan menurut perspektif emik, yakni perspektif subyek yang
diteliti. Tentang thuyul, misalnya, Geertz (1960: 16-17) memberikan penjelasan lebih
lanjut sebagai berikut:
[T]he thuyuls are spirit children, children who are not human beings. ... They don t
upset and frighten people or make them sick; quite the contrary they are very much
liked by human beings, because they help them become rich. ...
2

Sewaktu belajar di Universitas Hawaai, saya biasanya berbelanja ke Asian Groceries dan
China Town di Honolulu, dan sering dikejutkan oleh kreasi leksikal dalam bahasa Inggris
tersebut.

5
Di antara ketiga jenis leksikalisasi di atas, jenis kedua sangat menarik jika
dikaitkan dengan bahasa Jawa. Mengapa? Karena nilai kesantunan budaya Jawa masuk
dan menembus ke dalam sistem leksikon bahasa Jawa, yang berakibat pada timbulnya
tingkat tutur. Secara singkat, dapat dikemukakan perbandingan sebagai berikut.
Pronomina kedua atau you dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan dengan tiga
kemungkinan: kowe, sampeyan, atau panjenengan. Dalam komunikasi verbal, masingmasing dari ketiga pronomina ini akan diproyeksikan pada tingkat tutur ngoko (rendah),
madya (sedang), dan krama (tinggi).
Tabel 1. Perbandingan antara Pronomina ke-2 dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa.

Pron-2 Bhs Inggris


you

Pron-2 Bhs Jawa


kowe
sampeyan
panjenengan

Tingkat Tutur
ngoko
madya
krama

Pertanyaan dalam bahasa Inggris Have you got a letter? akan diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa menjadi tiga tingkat tutur yang berbeda, tergantung pada siapa orang kedua
yang menjadi mitra bicara.
(4)
a. ngoko:
Kowe
wis
oleh
layang?
b. madya:
Sampeyan
empun
angsal
serat?
c. krama:
Panjenengan sampun
pikantuk
serat?
you
PERF
get
letter
Telah banyak bahasawan yang membahas tingkat tutur bahasa Jawa (lihat, misalnya,
Poedjosoedarmo et al. 1979, Sudaryanto 1991, Suharno 1982). Oleh karena itu, saya lebih
tertarik membicarakan tingkat tutur yang dikaitkan dengan sastra pentas atau verbal art.
Di samping tiga tingkat tutur di atas yang lazim digunakan dalam pergaulan sehari-hari,
kosakata bahasa Jawa juga diperkaya oleh sastra pentas atau bahasa Jawa ragam panggung
(Poedjosoedarmo et al. 1986). Sebagai gambaran, contoh (4) di atas, yang merupakan
bahasa sehari-hari (BS), dapat diperkaya dengan ragam panggung (RP) dalam bentuk
ngoko dan krama.
(5)
a. BS ngoko:
Kowe
wis
oleh
layang?
b. BS madya:
Sampeyan
empun
angsal
serat?
c. BS krama:
Panjenengan sampun
pikantuk
serat?
d. RP ngoko:
Sira
wus
antuk
nawala?
e. RP krama:
Paduka
sampun
pikantuk
nawala?
you
PERF
get
letter
Bahasa Jawa ragam panggung didominasi oleh oleh varian (5d) dan (5e), dan diperkaya
juga oleh Bahasa Jawa sehari-hari, yaitu varian (5a), (5b) dan (5c). Bahasa Jawa ragam
panggung yang multi-level itu lazim dipakai pada pagelaran wayang kulit atau ketoprak
dulu juga pada pagelaran wayang orang, tetapi kini sudah semakin jarang. Bagi
penggemar wayang kulit dan ketoprak, bahasa Jawa ragam panggung memiliki rasa bahasa
yang khas. Ia membawa pendengarnya pada suasana masa lampau yang klasik dan
elegan. Rasa bahasa ini masih diperkaya lagi oleh kekhasan suara dan watak masingmasing tokoh wayang, serta kekhasan cara bicara mereka. Misalnya, Bima bersuara
bariton dan hanya berbicara pada tingkat ngoko; Arjuna berbicara dengan nada rendah,
dengan sangat halus dan santun; Kresna berbicara dengan nada agak tinggi, kaya diplomasi
yang dibumbui humor. Akibatnya, ketika wayang kulit atau kethoprak dipentaskan dalam
bahasa Indonesia yang mono-level, keindahan rasa bahasa itu hilang dan pertunjukan terasa

6
hambar. Secara semantik, makna leksikal dan proposisional setiap ujaran tidak berbeda,
tetapi secara estetik rasa kulturalnya telah hilang.
2.2. Dari Gramatisasi dan Variasi Pronomina sampai Demokratisasi
Di depan telah dikemukakan bahwa gramatisasi berarti kehadiran konsep dan
bentuk gramatikal sebagai penanda gramatik. Misalnya, setiap nomina terbilang
(countable nouns) dalam bahasa Inggris harus dinyatakan dalam bentuk tunggal atau
jamak. Kalimat bahasa Indonesia Kuda makan rumput, yang memiliki referensi umum,
dapat diungkapkan dengan dua cara dalam bahasa Inggris.
(6)
a. A horse eats grass
b. Horses eat grass.
Begitu juga setiap kalimat pernyataan dalam bahasa Inggris selalu mengandung kala
(tense) yang dilekatkan pada verba, seperti ketiga contoh pada butir (7).
(7)
a. I am a teacher.
b. I was a teacher.
c. I used to be a teacher.
Kalimat (7a) dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Saya guru. Tetapi kalimat
(7b) dan (7c) sulit dibedakan dalam bahasa Indonesia, sehingga kedua-duanya terpaksa
diterjemahkan menjadi Saya dulu guru. Kesulitan menerjemahkan kata bantu used to ke
dalam bahasa Indonesia dapat dilihat melalui humor pada butir (8).
(8)
Wife
: I don t think I look thirty five, do you?
Husband
: No, I don t. But you used to.
Berkaitan dengan gramatisasi dan variasi pronomina, saya tertarik untuk meninjau
pronomina pertama jamak kami vs. kita serta pronomina kedua Anda, dikaitkan sepintas
dengan sejarah, sastra, dan perkembangan demokratisasi di Indonesia. Dalam percakapan
sehari-hari, penggunaan kami dan kita, sebagai exclusive we dan inclusive we , sering
saling-tukar, tanpa mengakibatkan kerancuan makna. Mari kita perhatikan percakapan via
telpon berikut.
(9)
Guru
: Kalian sekarang ada di mana?
Ket. rombng. : Kita menunggu di dekat gerbang kebon binatang, Pak.
Dalam jawaban ketua romboingan tersebut, kami tentu lebih benar daripada kita. Namun
penggunaan kita, meskipun salah secara gramatikal, tidak mengacaukan maksud si
penutur. Sebaliknya, dalam karya sastra, terutama puisi, pertukaran penggunaan kami dan
kita akan mengakibatkan perbedaan makna yang amat besar. Ambillah beberapa baris dari
Krawang-Bekasi , karya Chairil Anwar yang monumental itu.
(10) Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa berteriak Merdeka dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
...
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Dalam puisi tersebut, kami tidak mungkin diganti dengan kita, karena kami adalah arwah
para pejuang yang sedang berbicara dengan manusia Indonesia yang masih hidup. Tetapi
terjemahan Krawang-Bekasi dalam bahasa Inggris, yang dikerjakan oleh Burton Raffel

7
(1993: 123-5), hanya dapat memberikan we (dan juga us dan our) sebagai padanan kami,
karena bahasa Inggris tidak membedakan antara we exclusive dan we inclusive.
Artinya, perbedaan realisasi pronomina pada kedua bahasa tersebut telah mengakibatkan
pemiskinan dalam terjemahan. Gema perjuangan dari pronomina kami (dibandingkan
dengan kita) juga terdengar nyaring dalam naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
(11) Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. ...
Dengan diwakili oleh Soekarno-Hatta, kami di sini adalah bangsa Indonesia yang sedang
memproklamirkan diri kepada dunia. Jika kami diganti dengan kita, maka proklamasi itu
akan kehilangan maksudnya yang esensial.
Pronomina kedua Anda memiliki arti istimewa dalam kaitannya dengan
perkembangan demokratisasi di tanah air. Dalam pertumbuhan bahasa Indonesia,
pronomina Anda muncul sebagai padanan you dalam bahasa Inggris, sebagai sarana untuk
menciptakan bahasa Indonesia yang lebih demokratis (Moeliono dan Dardjowidjojo 1988:
175). Mengapa? Karena pronomina kedua yang telah ada, yaitu kamu dan engkau,
terdengar kurang santun untuk digunakan terhadap mitra tutur yang dihormati.
Penggunaan Anda sebagai pronomina demokratis menunjukkan tahap-tahap
keberhasilan yang menarik. Pada awalnya, Anda terdengar enak dan nyaman sebagai
sapaan dalam bahasa pers: surat redaksi kepada pembaca, sapaan penyiar radio terhadap
pendengar, dan sapaan penyiar TV terhadap pemirsa. Di sini, pembaca, pendengar, dan
pemirsa adalah orang kedua yang tak dikenal dan tak diketahui. Dalam konteks ini,
penggunaan Anda terasa sangat pas. Sebelum masa reformasi, pers masih sungkan untuk
ber-Anda terhadap pejabat tinggi negara. Tetapi setelah reformasi, nilai-nilai kesetaraan
semakin meluas dan semakin diterima oleh masyarakat Indonesia. Pada saat ini,
wawancara dengan menteri, ketua DPR atau MPR, bahkan Wakil Presiden dan Presiden,
pers tidak merasa segan lagi menggunakan Anda. Dalam wawancara Tempo (no. 50,
Pebruari 2005) dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya, pertanyaan pertama adalah:
(12) Bagaimana Anda menilai hasil pertemuan RI dan GAM di Helsinki, Finlandia?
Penggunaan Anda dalam wawancara ini mengisyaratkan bahwa pers dan wapres memiliki
equal footing atau kesetaraan sosial. Hal ini nampak lebih jelas ketika dalam deskripsi
singkat tentang Jusuf Kalla, Tempo menggunakan pronomina ketiga ia, dan bukan beliau.
(13) a. Ia releks dan dikenal mudah ditemui wartawan.
b. Telepon seluler selalu ia pegang sendiri.
c. Sebelumnya ia sibuk bertelepon kepada tim negosiator RI dengan GAM ...
Dengan adanya kesetaraan sosial tersebut, pewawancara juga lebih berani untuk
menanyakan isu-isu yang sensitif, tanpa membuat wapres merasa tersinggung atau
tersudutkan. Simaklah pertanyaan-pertanyaan berikut:
(14) a. Apakah Anda merasa menjadi pesaing Presiden?
b. Berapa uang yang dihabiskan untuk proyek pemenangan Anda (sebagai Ketua
Umum Golkar)?
c. Kira-kira pada akhir 2009 nanti Anda akan makin kaya atau tidak?
Sebagai bandingan, selama rezim Soeharto berkuasa, pers tidak memiliki keberanian untuk
ber-Anda dan mengajukan pertanyaan sensitif kepada pejabat tinggi negara. Bahkan,
menjelang jatuhnya dari kekuasaan, Soeharto pernah mengatakan, Lengser keprabon
madeg pandhito (Mundur dari kedudukan raja, meneguhkan diri sebagai pendeta.) Apa
artinya? Selama lebih dari tiga dekade, walaupun resminya seorang presiden, Soeharto
lebih merasa sebagai Raja Jawa. Singkatnya, perubahan sosial-politik menuju tata

8
pemerintahan yang lebih demokratis dapat dilihat, antara lain, dengan meluasnya
penggunaan pronomina yang demokratis , seperti Anda dan ia.
Bagaimana uraian di atas terkait dengan tesis Sapir-Whorf dan tesis Hudson?
Bahasa bisa memaksa penuturnya tanpa memberikan pilihan, sebagaimana nampak pada
penggunaan kala (tense) dalam bahasa Inggris, atau penggunaan salah satu tingkat tutur
dalam bahasa Jawa. Ini membuktikan kebenaran tesis Sapir-Whorf: cara penutur
menangkap dan mengungkapkan realitas ditentukan oleh bahasa pertama yang ia miliki.
Sedangkan tesis Hudson didukung, antara lain, oleh fakta sosial-politik Indonesia:
tumbuhnya demokratisasi politik memungkinkan tumbuhnya demokratisasi dalam
berbahasa.
3. VERBALISASI LINTAS-BUDAYA
Budaya atau kebudayaan, sebagai padanan culture dalam bahasa Inggris, memiliki
cakupan yang luas dan pengertian beragam, serta merupakan entitas yang cair sehingga
tidak mudah didefinisikan. Duranti (1997), dalam bukunya Linguistic Anthropology,
menyediakan satu bab khusus (Bab 2, Theories of Culture ) untuk membicarakan teoriteori kebudayaan. Kebudayaan dapat dilihat sebagai agregat pengetahuan, modus
komunikasi, atau sistem partisipasi sosial. Meskipun ada berbagai teori yang menjelaskan
makna kebudayaan, satu hal adalah jelas: budaya berbeda dengan alam, atau culture is
different from nature. Dalam konteks ini, bahasa yang merupakan bagian terpenting dari
kebudayaan dipandang oleh Duranti (1997: 1) sebagai alat sosial, modus berpikir, dan
praktek budaya. Untuk keperluan pembahasan budaya dan bahasa, makalah ini memilih
jalan pintas, dengan mengambil definisi kebudayaan yang tercantum dalam kamus Webster
(1989: 314).
Culture [is] the integrated pattern of human knowledge, belief, and behavior that
depends upon man s capacity for learning and transmitting knowledge to
succeeding generations (Budaya adalah pola terpadu dari pengetahuan,
kepercayaan, dan tingkah laku manusia yang tergantung pada kemampuanya untuk
mempelajari dan mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya.)
Berkaitan dengan definisi di atas, bahasa memiliki dua fungsi utama: pertama, memadukan
sistem pengetahuan dan kepercayaan sebagai dasar tingkah-laku budaya; dan kedua,
menjadi sarana transmisi dan juga transformasi budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Perlu diingat bahwa bahasa dan budaya saling terkait erat-lekat, dan hubungan
keduanya bersifat dinamis dan saling mempengaruhi. Menurut tesis Sapir-Whorf, bahasa
pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal. Dengan kata
lain, bahasa ikut menentukan modus budaya. Pada sisi lain, berlaku pula tesis Hudson:
kepercayaan dan nilai budaya sering bersifat lokal, dan terungkap secara khas pada bahasa
setempat. Atau, culture-specific values often get revealed through language-specific
expressions. Misalnya, kata tujuhbelasan dalam bahasa Indonesia berarti perayaan
kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus . Maka kata tersebut tidak mungkin
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris, sehingga terjemahan terdekatnya
adalah the elebration of the independence day . Sebagai bandingannya, salah satu cerpen
O Henry (1984) berjudul The Fourth in Salvador . Setelah saya baca cerpen itu, the
fourth di sini ternyata kependekan dari the fourth of July, yaitu hari kemerdekaan Amerika
Serikat. Maka terjemahan yang wajar dari judul tersebut adalah Empat Juli di San
Salvador .

9
Dua contoh tersebut merupakan ilustrasi dari postulat bahasa adalah cermin
budaya . Dan keterjemahan atau translatability merupakan salah satu tes untuk melihat
apakah suatu ungkapan bersifat khas, dalam arti sebagai culture-specific and languagespecific expression. Untuk itu, saya memilih istilah verbalisasi , yang berarti
pengungkapan konsep budaya via bahasa. Sub-judul Verbalisasi Lintas-budaya di atas
mengisyaratkan dua hal. Pertama, sebuah konsep universal mungkin sekali diungkapan
secara verbal dengan cara yang berbeda, karena perbedaan konvensi budaya. Kedua,
sebuah konsep memang bersifat lokal, dan dengan demikian ungkapan verbalnya bersifat
khas dalam budaya dan bahasa setempat. Dalam bagian ketiga dari makalah ini, saya akan
membicarakan verbalisasi yang terkait, pertama, dengan waktu dan ucapan selamat, dan
kedua, dengan mitos dan kearifan.
3.1. Waktu dan Ucapan Selamat
Manusia, sebagai makhluk sosial, berbagi kesejahteraan dengan saling
mengucapkan selamat yang dikaitkan dengan waktu. Di sini akan nampak verbalisasi
yang berbeda karena perbedaan konvensi budaya. Misalnya, selamat malam dalam
bahasa Indonesia bisa menjadi good evening atau good night dalam bahasa Inggris,
tergantung apakah kita baru bertemu atau akan berpisah. Dalam konteks pembelajaran
bahasa asing, perbedaan greetings tersebut terkadang mengakibatkan negative transfer.
Seorang kawan Indonesia, yang sedang bertugas belajar di Ohio, Amerika Serikat, tiba di
sebuah pesta pada pukul 7 malam. Dengan wajah ceria dia berteriak, Good night
everybody! Maka salam perpisahan itu membuat semua orang terheran-heran, namun
segera dipahami oleh kawan-kawan Indonesia lainnya sebagai negative transfer (dari
selamat malam ) dan disambut dengan tawa lepas.3
Berkaitan dengan hari dan minggu , bahasa Inggris memiliki salam
perpisahan Have a nice day dan Have a nice weekend. Salam perpisahan yang pertama
tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Maka, ketika seorang mahasiswa Amerika
di Malang mengirim sms dalam bahasa Indonesia dan mengakhirinya dengan Punya hari
baik , penerima pesan, seorang kolega di UM4, berpikir cukup lama untuk menemukan
bahwa itu adalah terjemahan dari Have a nice day. Ini memang berbeda dengan Have a
nice weekend, yang dapat diterjemahkan menjadi Selamat berakhir pekan . Namun,
dalam bahasa Indonesia, ucapan Selamat berakhir pekan tetap terdengar translationese,
dan mungkin hanya digunakan oleh orang kota.
Berkaitan dengan bulan tidak ada ucapan selamat, khususnya dalam kalender
Gregorian yang kita pakai sehari-hari. Tidak ada, umpamanya, * Selamat Mei atau
*Selamat Datang Mei . Begitu juga dalam kalender Saka yang digunakan orang Jawa,
tidak ada bulan istimewa yang disambut, umpamanya, dengan ucapan *Sugeng Sapar
(Selamat Sapar) atau *Sugeng Rejeb (Selamat Rajab).. Tetapi dalam kalender Hijriah,
bulan Ramadlan merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam. Ucapan bahasa Arab
Marhaban yaa Ramadlaan (Selamat datang, wahai Ramadlan) merupakan ucapan yang
lazim beredar bukan saja di antara orang Islam penutur bahasa Arab, tetapi juga orang
Islam penutur bahasa Indonesia. Setiap menjelang Ramadlan, telepon seluler saya selalu
dihujani oleh puluhan sms berisi Marhaban yaa Ramadlaan .
3

Anekdot tersebut saya dapatkan dari Dra. Furaidah, M.A., yang rajin mengamati transfer yang
terjadi di antara kawan-kawan Indonesia yang belajar di Universitas Ohio.
4
Yang saya maksud sebagai kolega di sini adalah Aulia Apriana, S. S., dosen muda di Jurusan
Sastra Inggris FS UM dan mahasiswa Program Magister Pendidikan Bahasa Inggris PPS UM.

10
Setiap menjelang berakhirnya bulan Desember, dan dengan demikian berakhirnya
sebuah tahun, semua stasiun televisi di Indonesia menggelar acara menyambut tahun
baru . Juga Unit Gawat Darurat di setiap rumah sakit harus bersiap-siap menyambut
kecelakaan baru. Di antara ucapan selamat yang dikaitkan dengan waktu, Selamat
Tahun Baru merupakan ucapan yang paling wah dan paling meriah. Dilihat dari
gebyarnya, ini adalah season s greeting yang paling dikenal oleh manusia sejagad.
Apakah dengan demikian Selamat Tahun Baru merupakan ucapan yang universal?
Jawabnya adalah ya , jika dikaitkan dengan kalender Gregorian. Tetapi untuk sistem
kalender lain, tahun baru disambut dengan ucapan yang berbeda, atau bahkan tanpa
ucapan apa-apa.
Pergantian tahun Saka tidak disambut oleh orang Jawa dengan saling mengucapkan
Sugeng Warsa Enggal (Selamat Tahun Baru), tetapi disambut dengan tirakatan
(berprihatin) atau melekan (berjaga sampai larut malam). Para pemilik pusaka misalnya,
keris atau tombak yang dianggap bertuah lazimnya melakukan jamas pusaka atau
memandi-keramaskan pusaka pada awal bulan Sura, yaitu bulan pertama tahun Saka.
Ada pula yang menyambut tahun baru dengan selamatan kecil, membagi-bagikan jenang
Sura. Mungkin secara historis keprihatinan Sura ini ada kaitannya dengan Asyuraa (hari
kesepuluh bulan Muharram), yang diyakini sebagai hari keselamatan para Nabi dari
berbagai musibah, tetapi juga hari dipenggalnya kepala Sayyidina Husein putra
Sayyidina Ali dan juga cucu Nabi Muhammad s.a.w. di padang Kerbala, yang termasuk
wilayah Iraq sekarang.
Datangnya tahun baru Hijriah juga tidak disambut dengan ucapan Fie kulli aamin
wa antum bikhair, yang secara harfiah berarti Di setiap pergantian tahun, semoga Anda
selalu sejahtera , sebagai padanan Selamat Tahun Baru dalam bahasa Arab. Pergantian
tahun Hijriah direnungi dengan doa yang tidak terlalu populer, Nad ullaaha an yaj alahu
aama khairin wa barakatin wa izzin lil-islaam wal muslimien, yang artinya Kita
bermohon kepada Allah, semoga menjadikan tahun baru ini tahun kebajikan, keberkahan,
dan kemuliaan bagi agama Islam dan kaum muslimin .5
Tahun baru Cina atau Imlek juga tidak disambut dengan ucapan Xin Nian Kuai Le
(Selamat Tahun Baru), tetapi dengan ucapan yang kini sangat populer di Indonesia
Gong Xi Fa Cai, yang berarti Semoga rejeki selalu datang berlimpah .6 Imlek juga
dirayakan dengan berbagai dekorasi dan kostum tradisional Cina dengan warna merah
menyala, karena merah dalam kebudayaan Cina adalah lambang kesejahteraan dan
kebahagiaan . Ini adalah makna lokal dari warna merah. Dalam konteks sosial-budaya
yang berbeda, merah pada golongan merah bisa berarti komunis , pada sang merahputih berarti berani , pada lampu merah berarti berhenti , tetapi pada warung lampu
merah berarti pelacuran .
Dari uraian tentang ucapan selamat yang dikaitkan dengan waktu dapat
disimpulkan tiga hal penting. Pertama, satuan waktu hari, minggu, bulan, tahun dapat
dihayati sebagai parameter universal, tanpa menafikan adanya penafsiran lokal. Kedua,
secara lintas-budaya, ucapan selamat yang dikaitkan dengan hari, minggu, dan bulan
5

Doa menjelang pergantian tahun baru Hijriah tersebut saya dapatkan dari Dr. Nurul Murtadho,
dosen pada Jurusan Sastra Arab FS UM, berdasarkan penjelasan yang beliau peroleh dari penutur
asli bahasa Arab, yang saat ini menjadi dosen luar biasa di Jurusan Sastra Arab FS UM.
6
Penjelasan tentang Xin Nan Kwai Le dan Gong Xi Fa Cai beserta artinya masing-masing saya
dapatkan dari Nancy Perdanasari, dosen bahasa Mandarin pada Lambaga Bahasa, Universitas
Merdeka Malang.

11
bersifat sangat lokal. Ketiga, ucapan selamat menjelang atau pada pergantian tahun sangat
variatif, dari Selamat Tahun Baru yang paling populer bagi kalender Gregorian, diikuti
oleh kemeriahan Gong Xi Fa Cai untuk Imlek, kemudian oleh doa bagi tahun Hijriah,
dan akhirnya oleh diam dan tirakatan untuk tahun Saka. Kesimpulan ketiga atau
terakhir ini menunjukkan kuatnya tesis Hudson: dalam konteks yang sama, muncul
verbalisasi yang berbeda-beda sebagai pengejawantahan dari nilai budaya yang berbedabeda pula.

12
3.2. Mitos dan Kearifan: Endapan Budaya dalam Bahasa
Bahasa sebagai langue (the abstract linguistic system existing within the collective
mind of the speech community) berinteraksi secara dinamis dan terus-menerus dengan
budaya yang melingkupinya. Maka melalui sejarahnya yang panjang, kepercayaan lama
yang dulu merupakan bagian dari suatu sistem budaya bisa terus terbawa oleh arus
bahasa; dan kini, dengan tinjauan kritis, kepercayaan lama tersebut lebih layak disebut
mitos. Masih berkaitan dengan waktu, nama-nama hari di dalam bahasa Inggris ternyata
penuh mitos. Seperti tercatat dalam kamus Webster (1989), mitos tersebut dapat dijelaskan
secara ringkas sebagai berikut:
(15) a. Sunday = the day of the Sun
b. Monday = the day of the Moon
c. Tuesday = the day of Tiw, the god of war
d. Wednesday = the day of Odin, the supreme god and the creator
e. Thurday = the day of the Thunder
f. Friday = the day of Friga, the wife of Odin
g. Saturday = the day of Saturn
Berdasarkan nama-nama hari tersebut, dapat dikemukakan uraian berikut: tiga hari dalam
seminggu (Wednesday, Friday, Tuesday) adalah milik tiga dewa: Odin, Friga, Tiw; tiga
hari lainnya (Sunday, Saturday, Monday) adalah milik bintang dan dua planet: the Sun, the
Saturn, the Moon; dan satu hari sisanya (Thursday) adalah milik kekuatan alam: the
Thunder. Jadi, tujuh hari dalam seminggu tersebut mutlak dikuasai oleh kekuatan langit ,
bukan dalam pengertian astronomi melainkan dalam pengertian astrologi atau bahkan
lebih primitif daripada astrologi.
Sadarkah penutur bahasa Inggris bahwa nama-nama hari dalam kebudayaan mereka
penuh dengan mitos yang tak masuk akal? Mungkin sekali tidak. Seperti halnya ketika
orang menyebut Amerika tidak lagi mengingat Amerigo Vespucci, atau menyebut
Washington, D.C. tidak langsung ingat pada George Washington dan Christopher
Columbus. Setelah orang Inggris tahu dan menyadari bahwa nama-nama hari mereka
penuh dengan mitos, akankah mereka berusaha menggantinya dengan nama-nama yang
lebih logis? Mungkin sekali tidak. Nama-nama itu telah mendarah-daging dalam sistem
budaya mereka, tidak mungkin lagi untuk dibuang dan diganti. Seandainya jawabnya
adalah ya , bisa kita tawarkan nama-nama hari yang kita miliki, yang kita dapatkan dari
kebudayaan Arab. Setidak-tidaknya Ahad, Senin, Selasa, Rabo, Kamis jelas berkaitan
dengan kata-kata ahad, itsnain, tsalaats, arba , khams , yang berarti satu, dua, tiga,
empat, lima . Dari tinjauan etimologis ini, orang Indonesia boleh tersenyum bangga,
sambil mengangguk hormat kepada orang Arab yang telah meminjami nama-nama hari
yang lebih logis.
Tetapi senyum bangga itu mungkin harus ditahan dulu, karena orang Indonesia
juga berbagi mitos dengan orang Inggris atau orang Barat pada umumnya. Di antara
nama-nama bulan dalam kalender Gregorian, Januari berasal dari Janus, dewa bermuka
dua menghadap ke depan dan ke belakang, yang tugasnya menjaga gerbang waktu.
Maret berasal dari Mars, sang dewa perang; dan Mei berasal dari Maius, sang dewi
kecantikan kedua dewa-dewi tersebut adalah bagian dari kepercayaan Romawi kuno.
Masih ada lagi nama-nama bulan yang tidak logis. Terkait dengan bahasa Latin, kata-kata
septem, octo, novem, decem berarti tujuh, delapan, sembilan, sepuluh . Tapi apa yang
ada sekarang? September, Oktober, Nopember, Desember merujuk pada bulan ke-9, 10,
11, 12. Apakah orang Barat dan juga manusia moderen sedunia, termasuk kita sudah

13
sedemikian tololnya, sehingga tidak mampu menghitung sampai dengan 12? Menurut
Greg Trevanovitch (kuliah umum di East-West Center, Hawaii, bulan Juli 1988), dulu
hanya ada 10 bulan dalam kalender Gregorian. Syahdan, Kaisar Julius ingin selalu
dikenang, lalu mencantumkan namanya, dan jadilah bulan Juli . Begitu juga Kaisar
Augustus, namanya diabadikan oleh bulan Agustus . Akibatnya, bulan ke-7, 8, 9, 10
tergeser menjadi bulan ke-9, 10, 11, 12 tanpa perubahan nama. Ini bukan mitos, tetapi
kebodohan yang telah mengakar dalam sistem kalender internasional.
Dengan memperhatikan mitos yang mengendap dalam nama-nama hari dan bulan,
tidak mengherankan jika ramalan perbintangan muncul setiap minggu di koran atau
majalah non-ilmiah di Indonesia. Masyarakat pada umumnya masih suka membaca
ramalan perbintangan, dengan sikap boleh percaya boleh tidak. Tidak aneh pula bila
sebagian orang Jawa, yang kini hidup di zaman serba moderen, masih berpegang pada
petungan, atau the Javanee numerological system (Geertz 1960: 30-37). Sewaktu Soeharto
berkuasa dan Golkar menjadi partai pemerintah, orang mungkin masih ingat bahwa awal
kampanye pemilu selalu dijatuhkan pada hari Sabtu Paing. Mengapa? Karena menurut
primbon Jawa, misalnya Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (cetakan ke-52, 1993: 7),
masing-masing hari dan pasaran memiliki nilai atau bobot. Bobot tertinggi adalah 9, yang
dimiliki oleh hari Sabtu dan pasaran Paing . Jadi Sabtu Paing bernilai paling tinggi:
18.
Berkaitan dengan mitos yang ada pada sistem penanggalan, apa perbedaan antara
orang Inggris dan orang Jawa? Bagi orang Inggris, mitos yang tersisa pada nama-nama
hari dan bulan hanya tinggal kulit tanpa isi. Tak dikenal lagi siapa itu dewa Odin, Friga,
dan Twi. Begitu pula the Sun, the Saturn, dan the Moon bukan lagi dianggap sebagai
penguasa langit, tetapi sekedar nama-nama bagi heavenly bodies. Sebaliknya, untuk
sebagian orang Jawa, kitab-kitab primbon, yang penuh dengan petungan waktu
(penanggalan) dan ruang (arah), masih sering dianggap sebagai pedoman hidup . Dalam
konteks ini, bahasa Jawa bukan sekedar berfungsi sebagai wadah, tetapi juga juga sebagai
daya-hidup yang memelihara keberlangsungan kepercayaan tersebut.
Dari mitos, marilah kita bergerak menuju kearifan. Yang saya maksud sebagai
kearifan adalah semacam cultural maxims, yaitu aspek atau nilai budaya yang dihargai
oleh masyarakat, bisa berupa kata bijak, karya sastra, atau cerita yang mengakar. Yang
terakhir ini bisa mencakup kisah keagamaan, lakon wayang, dongeng atau legenda yang
merakyat. Sebagaimana mitos, kearifan juga merupakan endapan budaya dalam bahasa.
Bedanya, kearifan, sebagai cultural maxims, berfungsi sebagai rujukan atau prior text
(Foley (1995: xi). Dalam Analisis Wacana (Thornbury 2005: 137-8), terutama dalam
pembahasan dan analisis terhadap teks sastra atau semi-sastra, sering terdapat hubungan
antara present text (teks kini) dan prior text (teks pendahulu), yang disebut intertextuality
(intertekstualitas). Hubungan ini bisa bersifat ekspisit, dan bisa pula bersifat implisit.
Sebagai ilustrasi dari hubungan yang eksplisit, Tempo (no. 46, Januari 2005)
menyajikan laporan utama pasca tsunami, Aceh: Anak-anak yang Hilang . Laporan
utama ini terdiri dari empat artikel. Artikel pertama berjudul Yang Terampas dan Yang
Putus . Sebagai teks kini , artikel ini membicarakan penderitaan anak-anak Aceh pasca
tsunami, dengan menggunakan judul yang merujuk teks pendahulu , yaitu kumpulan puisi
Chairil Anwar yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus.
Pemahaman tuntas atas sebuah teks sangat bergantung pada pengetahuan pembaca atau
pendengar tentang teks pendahulu. Sejumlah judul artikel lain di majalah Tempo, sebagai
teks yang terkait dengan teks pendahulu, disajikan pada Tabel 2.

14
Menyimak Tabel 2, dapat kita simpulkan dua hal penting. Pertama, penulis berita
bukan hanya dituntut untuk menyajikan berita secara lengkap, cerdas, dan menarik, tetapi
juga memiliki pengetahuan umum yang luas, terutama teks pendahulu yang sesuai untuk
dijadikan rujukan. Kedua, penulis juga harus witty, dalam arti pintar bermain kata dan
logika. Teks pertama dalam Tabel 2, Tiga Penguak Tabir , adalah hasil pelesetan fonetis
dan leksikal dari teks pendahulu Tiga Menguak Takdir . Sedangkan tiga teks
selanjutnya, Duduk Sama Tinggi , Badai Pasti Belum Berlalu , dan Robohnya Penjara
Kami ,7 adalah hasil pelesetan logika dengan menggeser, menambah, atau mengganti kata
yang ada pada teks pendahulu.
Tabel 2. Keterkaitan antara Teks Kini dan Teks Pendahulu
Tempo
no. 44,
Januari 2005

no. 47,
Januari 2005
no. 48,
Januari 2005

Teks Kini: Judul dan Isi Artikel


Tiga Penguak Tabir (ttg. senirupawan
Handiwarman Saputra, penulis A. S.
Laksana, dan Arsitek Adi Purnomo)
Duduk Sama Tinggi (ttg. perundingan
antara RI dan IMF)
Badai Pasti Belum Berlalu (ttg..
kerusakan lingkungan bawah laut di
Aceh pasca tsunami)
Robohnya Penjara Kami (ttg. bangunan
penjara di Aceh yang roboh karena
tsunami)

Teks Pendahulu

Keterangan

Tiga Menguak Takdir

Kumpulan puisi Chairil


Answar, Asrul Sani,
Rivai Apin

Berdiri sama tinggi duduk


sama rendah

peribahasa

Badai pasti berlalu

Judul filem tahun


1970an

Robohnya Surau Kami

Judul cerpen, karya A.


A. Navis.

Selain peribahasa atau judul karya sastra, cerita wayang juga sering dirujuk secara
implisit sebagai teks pendahulu, terutama oleh para sastrawan atau penulis Indonesia
moderen berlatar-belakang Jawa. Cerita wayang merupakan salah satu sumber inspirasi: ia
bisa dikembangkan secara imajinatif, direka-ulang secara kreatif, dan bahkan dipelesetkan
dengan semena-mena. Sajak Goenawan Muhamad Pariksit , misalnya, merupakan
penafsiran puitis yang sangat indah dan menggetarkan terhadap rasa gamang-dan-pasrah
Raja Astina itu dalam menghadapi kematian yang berupa kutukan. Sajak Abimanyu
Gugur karya Rendra memberikan napas yang lebih heroik terhadap lakon kematiannya di
padang kurusetra. Cerpen Bakdi Soemanto Karna adalah rekayasa ulang yang secara
cerdik menjungkir-balikkan alur cerita lakon Karna Tandhing . Novel Arjuna Mencari
Cinta, karya Yudhistira Ardi Noegraha yang terbit hampir tiga dekade yang lalu, adalah
ledekan habis-habisan terhadap dunia wayang. Di koran Jawa Pos, beberapa tahun yang
lalu ejekan terhadap dunia wayang muncul setiap hari Minggu di bawah rubrik Wayang
Opo Maneh? (Wayang Apa Lagi?), yang ditulis oleh Ki Sunu. Saat ini, tradisi
mempermainkan dunia wayang di Jawa Pos ditulis setiap Minggu oleh Ki Slametg, yang
tak lain adalah seniman kondang Slamet Gundono, di bawah rubrik Wayang Lindur .
Ada permainan fonologis di sini: Wayang Lindur sama ucapannya dengan wayang
nglindur , yang berarti wayang mengigau . Rubrik ini menyarankan bahwa ki dalang
tidak sedang bercerita, tetapi sedang ngelindur.

Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd., dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FS UM dan kandidat
doktor pada PPS UM, membantu memberikan kelengkapan referensi untuk Robohnya Surau
Kami , karya A. A. Navis, dan juga mengoreksi judul rubrik Wayang Opo Maneh di Jawa Pos,
Minggu.

15
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa tokoh atau lakon wayang bisa muncul sebagai
karya sastra atau pelesetan kultural. Karya sastra serius misalnya, puisi, cerpen, dan
novel di atas merupakan kekaguman kreatif terhadap dunia wayang, sedangkan pelesetan
kultural tersebut bisa dilihat sebagai outlet dari kejenuhan cinta terhadap wayang. Baik
kekaguman maupun kejenuhan, kedua-duanya bersumber dari kondisi psiko-sosial yang
satu: dominasi wayang dalam budaya Jawa (Keeler 1992: 38-48, Magnis-Suseno 1984:
114-6). Artinya, bagi manusia Jawa, wayang merupakan teks pendahulu yang tergurat
tajam dalam ingatan kolektif mereka. Sebagai teks pendahulu, wayang telah mendorong
munculnya narasi pengantin Jawa sebagai seni pentas sejak tahun 1970an. Dulu orang
Jawa merayakan pesta perkawinan dengan nanggap wayang; sekarang merekalah yang
jadi wayang , dengan MC yang bernarasi sebagai dalangnya (Kadarisman 1999). Ditinjau
dari sudut universalitas dan relativitas budaya, wayang dalam budaya Jawa adalah contoh
dari entitas kultural yang khas Jawa. Maka seperti dalam pembicaraan tentang primbon,
bahasa Jawa dan dunia wayang saling terkait erat-lekat seperti dua sisi dari mata uang yang
sama. Yang lebih menarik, wayang mengandung mitos dan kearifan budaya, yang tidak
menyusut dan mengendap dalam bahasa, melainkan menghidup-suburkan kreativitas
bahasa dan sastra Jawa, dan juga sastra Indonesia yang berlatar Jawa.
4. PENUTUP: KEMBALI KE PARADIGMA SAUSSUREAN
Dalam perkembangan ilmu bahasa, ada tradisi Bloomfieldian yang tak berubah
dalam tradisi Chomskyan, yaitu pandangan bahwa linguistik adalah matematika bahasa.
Ini nampak jelas pada pendekatan mentalistik-formal yang diperkenalkan oleh Chomsky
(1957, 1965), terutama menggunakan re-write rules yang mampu menjelaskan kreativitas
bahasa dengan sangat baik. Dalam sintaksis generatif, phrase structure rules yang bersifat
recursive adalah penjelasan matematis yang cerdas: bagaimana frasa atau kalimat dapat
diperpanjang terus menerus tanpa batas. Seperti halnya tak ada angka terbesar dalam
matematika, tak ada pula frasa atau kalimat terpanjang dalam bahasa. Language is
fundamentally creative. Ketika kita berbicara atau menulis, kita menciptakan kalimatkalimat baru; dan ketika kita mendengar atau membaca, kita memproses pemahaman
kalimat-kalimat baru pula. Hal ini dimungkinkan oleh linguistic competence (Radford
1997: 2) atau kompetensi bahasa, yaitu a specific mental ability that enables us to create
and interprete novel grammatical utterances.
Sampai di sini, pendekatan formal yang mengisyaratkan linguistik adalah bagian
dari sain nampak sangat logis dan menyakinkan. Tambahan lagi, pendekatan ini jadi
semakin menarik ketika berusaha menemukan dan merumuskan formal universals. Seperti
dikemukakan di awal tulisan ini, formal universals yang berupa principles and
parameters dianggap sebagai kaidah-kaidah universal yang membentuk Universal
Grammar (Chomsky 1995). Universalitas bahasa adalah istilah yang memiliki daya pikat
tersendiri. Tetapi ketika universalitas bahasa itu dirumuskan melalui pendekatan deduktifteoritis dengan formalisme berlebihan, hasilnya tidak selalu memuaskan. Kaidah-kaidah
dalam linguistik generatif mungkin memadai untuk menjelaskan mengapa sebuah kalimat
berterima atau tak-berterima pada tataran sintaktis. Tetapi kaidah-kaidah itu tidak bisa
menjelaskan, misalnya, kenapa seorang direktur tersinggung ketika ditanya sekretarisnya,
Suratnya sudah Anda tanda-tangani? Dalam konteks ini, penggunaan pronomina
Anda sebagai salah satu pronomina kedua dalam bahasa Indonesia kurang memenuhi
kesantunan berbahasa. Sebaliknya, dalam konteks yang sama, pertanyaan Have you
signed the letter? adalah pertanyaan yang santun dalam bahasa Inggris, karena orang

16
kedua selalu disapa dengan you tanpa kecuali. Ini adalah contoh kecil dari relativitas
bahasa.
Universalitas bahasa dapat diterima jika betul-betul terbukti secara empirik.
Meminjam istilah kaum generatif, substantive universals lebih mudah dibuktikan
kebenarannya daripada formal universals. Satuan bahasa seperti fonem, morfem, kategori
leksikal (misalnya, N, V, A), dan kategori frasal (misalnya, NP, VP, AP) merupakan satuan
bahasa yang bersifat universal. Universalitas ini dapat berfungsi sebagai poros untuk
menjelaskan relativitas bahasa. Semua bahasa memiliki fonem, yang terdiri atas konsonan
dan vokal. Tetapi bahasa Hawaii hanya memiliki 8 konsonan dan 5 vokal, sementara
bahasa Inggris memiliki 22 konsonan dan 12 vokal. Semua bahasa memilki fonem bebas
dan fonem terikat, yang lazimnya berupa afiks. Bahasa Inggris hanya memiliki prefiks dan
sufiks, sedangkan bahasa Indonesia memiliki prefiks, sejumlah infiks, sufiks, dan
simulfiks. Bahasa Inggris dan Indonesia adalah bahasa berpola S-V-O. Tetapi konstruksi
object-focus hanya ada dalam bahasa Indonesia, dan tak ada dalam bahasa Inggris.
Bergerak ke ranah budaya, kesantunan ada dalam setiap budaya, tetapi
aktualisasinya mungkin berbeda secara lintas-bahasa. Dalam budaya Jawa, kesantunan
menembus sistem leksikon, sehingga sebuah kata dapat terbelah menjadi bentuk ngoko,
madya, dan krama. Fenomena ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris. Dalam poros
paradigmatik, pronomina kedua you dalam bahasa Inggris tegak sendirian; sebaliknya
dalam bahasa Jawa ia terbelah menjadi tiga: kowe, sampeyan, panjenengan. Maka, ketika
leksis diproyeksikan pada poros sintagmatik, kalimat bahasa Inggris bersifat mono-level
sedangkan kalimat bahasa Jawa bersifat multi-level. Pada seni pentas, varian bahasa
Inggris Shakespeare mungkin memiliki kemiripan dengan varian bahasa Jawa pedalangan.
Tetapi karya Shakespeare tidak menjadi inti budaya Inggris, sedangkan wayang adalah inti
budaya Jawa. Dalam bahasa Indonesia, pronomina kedua Anda yang berdiri di tengahtengah antara pronomina kamu yang [-hormat] dan pengganti-pronomina Bapak/Ibu yang
[+hormat] mengisyaratkan kesetaraan dalam komunikasi verbal. Karena itu, meluasnya
penggunaan Anda dalam konteks sosial-politik di Indonesia dapat dilihat sebagai indikator
berkembangnya egalitarianisme dan demokratisasi. Sebaliknya, pronomina kedua you
yang tegak sendirian tidak mungkin dijadikan indikator yang sama oleh masyarakat
berbahasa Inggris.
Waktu adalah konsep yang unversal, tetapi secara lintas-budaya ucapan selamat
yang berkaitan dengan waktu sangat beragam. Begitu pula cara manusia menghargai
waktu bervariasi secara kultural. Ini nampak pada peribahasa yang merupakan cultural
maxims. Orang Inggris mengatakan, time is money; tapi orang Jawa bilang, alon-alon
waton kelakon (perlahan-lahan asalkan sampai.) Musik rock adalah irama ombak beringas
menghantam cadas yang terjal; langgam Jawa adalah lagu air sungai yang menyusuri
lembah dengan sabar dan tenang. Budaya dan bahasa mengalir bersama arus waktu,
meninggalkan endapan mitos dan mutiara kearifan. Manusia modern adalah manusia yang
tahu bagaimana membebaskan diri dari mitos dan menghiasi diri dengan kearifan.
Seluruh uraian tentang relativitas bahasa dan budaya dalam makalah ini dapat
disimpulkan dalam postulat neo-Bloomfieldian: every language is unique, structurally and
culturally. Sebagai alat-analisis, gramatisasi , leksikalisasi , dan verbalisasi , yang
masing-masing terkait dengan bentuk dan makna bahasa, bersifat universal. Tetapi ketika
ketiganya diproyeksikan secara lintas-bahasa dan lintas-budaya, muncullah berbagai
perbedaan. Maka setiap bahasa, yang tak bisa lepas dari lingkup budayanya, muncul di
depan kita dengan kekhasan masing-masing. Jelasnya, analisis struktural cukup memadai

17
untuk membedah relativitas bahasa, baik yang lepas dari maupun terkait dengan relativitas
budaya. Analisis struktural ini dikembangkan berdasarkan paradigma Saussurean: bahasa
adalah langue yang dilingkupi dan juga melingkupi ranah budaya, sehingga signifier dan
signified mendapatkan pengertiannya yang lebih lengkap ketika keduanya diproyeksikan
pada tingkat kata, frasa, kalimat, maupun wacana dengan mengacu pada lanskap sosialbudaya.

18
Catatan:
Saya sangat berterima kasih kepada Drs. Indawan Syahri, M.Pd., dosen Universitas Muhamadiyah
Palembang dan kandidat doktor pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris PPS UM, yang
telah membaca-cermat dan memberikan saran perbaikan pada draf awal makalah ini. Saya juga
berterima kasih kepada para nara sumber, yang secara langsung maupun tak langsung telah
membantu memberikan data dan melengkapi referensi yang sangat berharga bagi penulisan
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Penelope & Levinson, Stephen C. 1987. Politeness: Some Universals in
Language Use. Cambridge: Cambridge University Press
Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton.
Chomsky, Noam. 1965. Aspects of Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: The
MIT Press.
Chomsky, Noam. 1981. Lectures on Government and Binding. Mouton: The Gruyter.
Chomsky, Noam. 1995. The Minimalist Program. Cambridge, Massachusetts: The MIT
Press.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Eneste, Pamusuk (ed.). 1986. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta:
P. T. Gramedia
Foley, John Miles. 1995. The Singer of Tales in Performance. Bloomington,
Indianapolis: Indiana University Press.
Francis, W. Nelson. 1958. The Structure of American English. Ronald Press: New York.
Fries, Charles C. 1945. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Ann
Arbor: The University of Michigan Press.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago and London: The University of
Chicago Press.
Gumperz, John J. & Levinson, Stephen C. 1996. Rethinking Linguistic Relativity.
Cambridge University Press
Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Jawa Pos, Minggu, 6, 13, dan 20 Maret 2005.
Joos, Martin. 1957. Readings in Linguistics. New York: American Council of Learned
Societies.
Kadarisman, A. Effendi. 1999. Wedding Narratives as Verbal Art Performance:
Explorations in Javanese Poetics. Disertasi Ph.D. (tidak dipublikasikan).
University of Hawaii at Manoa, Honolulu, Hawaii, USA.
Kadarisman, A. Effendi. 2004a. Keterbatasan Teori Minimalis Chomsky. Dalam
Linguistik Indonesia, Tahun ke 22, No. 2, hlm. 185-207.
Kadarisman, A. Effendi. 2004b. Linguistic Relativity, Cultural Relativity, and Foreign
Language Teaching. Makalah disajikan pada Seminar Internasional TEFLIN di
Palembang, Desember 2004.
Keeler, Ward. 1992. Javanese Shadow Puppets. Singapore: Oxford University Press.
Lado, Robert. 1964. Language Teaching: A Scientific Approach. New York: McGrawHill, Inc.
Lavandera, Beatriz R. 1988. The Study of Language in its Sociocultural Context. Dalam
Newmeyer, Frederick J. (ed.). Linguistics: The Cambridge survey, vol. IV: Language: The
socio-cultural context, hlm. 1-13. Cambridge: Cambridge University Press.

19
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa (Javanese ethics). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Moeliono, Anton M. dan Dardjowidjojo, Soenjono (ed.). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mohamad, Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.
Navis, A. A. 2002. Robohnya Surau Kami (Kumpulen Cerpen). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,
Newmeyer, Frederick J. 1986. Linguistic Theory in America (second edition). San Diego:
Academic Press, Inc.
Noegroho, Yudhistira Ardi. 1977. Arjuna Mencari Cinta. Jakarta: Cypress.
Poedjosoedarmo, S., Th. Kundjana, G. Soepomo, Alip, & Suharso. 1979. Tingkat Tutur
Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Poedjosoedarmo, S., G. Soepomo, Leginem, & A. Suharno. 1986. Ragam Panggung
dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Raffel, Burton (ed.). 1984. 41 Stories by O. Henry. New York: A Signet Classic, New
American Library.
Raffel, Burton. 1993. The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil
Answar. Ohio University: Monographs in Indonesian Studies, Southeast Asia
Series, No. 89.
Rendra, W. S. 1977. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Gramedia.
Rivers, Wilga M. 1981. Teaching Foreign-Language Skills (Second Edition). Chicago
and London: The University of Chicago Press.
Sapir, Edward. 1921. Language: An Introduction to the Study of Speech. San Diego, New
York, London: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in General Linguistics (English translation by
Baskin, W.). New York, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.
Soemanto, Bakdi. 2002. Doktor Plimin (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Soemodidjojo, R. 1993. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (Cetakan ke-52).
Yogyakarta: Penerbit Soemodidjojo Mahadewa.
Sudaryanto (ed.). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Suharno, Ignatius. 1982. A Descriptive Study of Javanese. (Pacific linguistics, series D.
no. 45.) Canberra: Australia: Department of Linguistics, Research School of
Pacific Studies, The Australian National University.
Smith, Neil. 1999. Chomsky: Ideas and Ideals. Cambridge: Cambridge University Press.
Tempo, no. 44, 46, 47, 48 - Januari 2005; no. 50, Februari 2005.
Trudgill, Peter. 1983. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society.
(Revised edition.) Penguin Books.
Uhlenbeck, E. M. 1978. Studies in Javanese Morphology. The Hague: Martinus Nijhoff.
Webster's Ninth New Collegiate Dictionary. 1989. Springfield, Massachusetts: Merriam
Webster Inc., Publishers.
Wojowasito, S. 1982. Kamus Inggeris-Indonesia. Tanpa Kota: Penerbit C. V. Pengarang.

Anda mungkin juga menyukai