Perbaikan My Skripsi
Perbaikan My Skripsi
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Sapi Perah
Ternak sapi perah adalah ternak yang menghasilkan susu melebihi
kebutuhan anak anaknya. Produksi susu tersebut dapat dipertahankan sampai
waktu tertentu atau selama masa hidupnya walaupun anak anaknya sudah
disapih atau tidak disusui lagi. Dengan demikian, susu yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Jenis ternak perah yang ada antara lain sapi perah,
kambing perah, dan kerbau perah yang dipelihara khusus untuk diproduksi
susunya. Sapi perah Fries Holland (FH) berasal dari propinsi Belanda Utara dan
propinsi Friesland Barat. Bangsa sapi FH terbentuk dari nenek moyang sapi liar
(Bos Taurus) typicus primigenius yang ditemukan di negeri Belanda sekitar 2000
tahun yang lalu (Sudono, 1999).
Sapi Fries Holland atau FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian
atau disingkat Holstein. Sedangkan di Europa disebut Friesian. Sapi FH adalah
sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi
perah lainya, dengan kadar lemak susu yang rendah (Sudono dkk, 2003).
Sapi perah yang paling banyak dikembangkan di Indonesia khususnya di
Kabupaten Sinjai adalah sapi perah Fries Holland (FH) (Anonim, 2011 b). Sapi
perah FH mulai dimasukkan di Indonesia pada tahun 1891-1892 di daerah
Pasuruan Jawa Timur dan sejak tahun 1900 masuk ke daerah Lembang Jawa Barat
(Siregar, 1989). Untuk lebih mengembangkan sapi perah di Indonesia maka pada
tahun 1434 didatangkan 22 ekor pejantan FH dari negeri Belanda dan ditempatkan
di Grati dan Pasuruan. Survei pada tahun 1964 menunjukkan produksi susu sapi
Grati mencapai 6,61% atau berkisar 2,02 kg/hari dengan panjang laktasi 8,73
bulan (Rahma, 2006). Pada tahun 1962 didatangkan sapi FH dari Denmark, tahun
1964 didatangkan dari negara Belanda sebanyak 1354 ekor sapi FH, dan pada
tahun 1979 didatangkan lagi sapi FH dari Australia dan Selandia Baru sehingga
lama periode 1979-1984 jumlah sapi perah yang tersebar di Indonesia adalah
67.000 ekor (Muljana, 1985). Ciri-ciri dari sapi FH, yaitu:
1.
2.
3.
4.
segitiga
5. FH mempunyai sifat jinak, dengan demikian mudah dikuasai juga tentang
pembawaannya
6. Mempunyai ambing yang kuat dan besar
7. Tidak tahan panas
8. Lambat dewasa dapat dikawinkan umur 18 bulan
9. Berat badan sapi jantan 850 kg betina 625 kg
10. Produksi susu perahannya 4500-5500 liter dalam satu masa laktasi dengan
kadar lemak 3,7%
11. Tubuhnya tegap.
B. Manajemen Reproduksi
Pubertas
Alat reproduksi sapi dara telah terbentuk jauh sebelum dilahirkan. Sesudah
dilahirkan organ tersebut berkembang tahap demi tahap sampai hewan mencapai
dewasa kelamin dan mampu untuk mengandung dan melahirkan anak. Sesudah
akil balik, alat reproduksi berkembang terus, sampai tercapai pertumbuhan yang
sempurna sesuai dengan perkembangan badannya (Muljana, 1985). Pubertas dapat
didefinisikan sebagai umur atau waktu saat organ-organ reproduksi mulai
berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada hewan betina
ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1985).
Pertumbuhan pubertas yang cepat pada sapi dara Holstein dimulai selama
bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh pertumbuhan cepat
saluran kelamin terhenti dan pertumbuhan umum mulai melambat. Dengan
makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur
10 sampai 15 bulan sesudah mencapai berat kira-kira 340 kg (Toelihere, 1985).
Bila pubertas telah tercapai, pertumbuhan tenunan folikel disertai dengan
pelepasan substansi hormon, yang disebut estrogen, menyebabkan sapi dara
menunjukkan tanda-tanda berahi. Satu ovum biasanya dilepaskan segera sesudah
berahi, dan ovum memasuki tuba fallopii, dimana kemungkinan ovum tersebut
akan bertemu dan dibuahi oleh spermatozoa (Muljana, 1985).
Umur Beranak Pertama
Sapi dara yang dipelihara dengan baik pada umur 13 sampai 15 bulan
sudah mencapai berat yang cukup untuk dikawinkan, sehingga pada umur sekitar
dua tahun sapi betina telah dapat berproduksi. Menurut Lindsay dkk, (1982)
bahwa pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan
maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil
pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak
betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan
pada saat pubertas (Nuryadi, 2000). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih
berperan terhadap pemunculan pubertas daripada umur ternak.
Umur dan bobot badan pubertas dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik.
Walaupun umur dari sapi dara sudah cukup untuk dikawinkan atau dengan kata
lain sudah mengalami dewasa tubuh tidak berarti mengalami dewasa kelamin.
Alasan bahwa sapi dara harus mengalami dewasa kelamin adalah membantu
dalam proses kelahiran, karena kelahiran yang tidak normal banyak terdapat pada
sapi-sapi yang baru pertama kali melahirkan (Purba, 2008).
Deteksi Berahi
Deteksi berahi yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan suatu
perkawinan selain ketepatan dan kecepatan saat melakukan perkawinan,
pemeriksaan berahi yang efektif memerlukan pengetahuan yang lengkap tentang
tingkah laku sapi yang berahi baik normal ataupun tidak. Deteksi berahi paling
sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari.
Dalam pelaksanaan deteksi berahi bagi para inseminator maupun peternak sukar
untuk dapat mengetahui saat yang tepat awal terjadinya estrus (berahi). Terjadinya
berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada
pagi hari sampai sore hari mencapai 40% (Lubis, 2006). Menurut Ihsan (1992)
deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan
keadaan vulva.
Secara fisiologis, berlangsungnya siklus berahi ini melibatkan aktivitas
sistem syaraf dan sistem hormonal dalam tubuh sapi, sehingga dapat dikatakan
bahwa reproduksi sapi berlangsung secara neuro hormonal. Jika sapi tersebut
masuk dalam pengecekan satu siklus berahi (rata-rata 18-23 hari), tanda chalking
orange pada pangkal ekor menghilang, vulva terlihat bengkak, panas, dan merah
maka sapi tersebut dapat dikawinkan, untuk memastikan estrus lebih tepat lagi,
cervic dapat diraba, jika agak keras (tegang) maka sapi tersebut positif estrus dan
harus segera dikawinkan sebelum terlambat (Purba, 2008).
Sistem Perkawinan
Sistem
perkawinan
merupakan
gambaran
dari
beberapa
metode
2. Perkawinan Buatan
Perkawinan buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau
Artificial Insemination (AI) yaitu dengan memasukkan sperma kedalam saluran
perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak
sekitar 13 bulan (Fricke dkk, 1998).
Menurut Bahari (2007) selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran
efisiensi reproduksi. Selang beranak yang ideal berkisar antara 12 sampai 15
bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor
manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik.
Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi
susu.
Umur Sapih
Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet
tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sampai dengan disapih, yakni pada saat
pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh
lebih cepat dan kuat (Muljana, 1985). Ditambahkan oleh Siregar (1989), pedet
sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak
sapi perah yang menyapih pedetnya pada umur lebih dari 11minggu.
C. Gangguan Reproduksi
Tinggi rendahnya produksi ternak tergantung bagaimana reproduksinya.
Secara keseluruhan penurunan daya reproduksi dan kematian merupakan masalah
reproduksi yang belum ditangani secara baik. Umur melahirkan pertama kali
dapat dipengaruhi oleh pakan, sehingga membuat siklus berahi selanjutnya tidak
normal (lebih panjang/pendek). Beberapa gangguan reproduksi secara umum
dipengaruhi oleh lingkungan, hormonal, genetik (anatomi), dan penyakit/infeksi.
Lingkungan
10
Khususnya dalam hal pemberian pakan, harus diupayakan dengan baik dan
seimbang terutama pada umur muda (Herwiyanti, 2006). Pakan yang kurang
otomatis akan membuat perkembangan alat reproduksi juga terhambat, dan
sekresi hormon terganggu. Begitu juga saat pakan yang berlebih menyebabkan
obesitas, pada sapi dara akan mengganggu perkembangannya sedangkan pada sapi
dewasa mengganggu ovulasi. Defisiensi vitamin A menyebabkan abortus,
defisiensi vitamin AD3E menyebabkan anestrus. Saat defisiensi mineral Phosfor
(P) akan terjadi hipofungsi ovari, dan lambat untuk pubertas. Mineral Cuprum
(Cu), Ferum (Fe), Cobalt (Co) dapat menyebabkan kegagalan berahi, begitu juga
dengan induk yang kekurangan iodium maka pedet akan premature dan kondisi
lemah saat kelahiran. Saat sapi masuk dalam tahap menyusui akan menghambat
hormon GnRH. Iklim juga menjadi salah satu faktor, panas yang berlebih dalam
jangka waktu yang lama membuat sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi.
Lingkungan juga berhubungan dengan senilitas/ketuaan, gigi yang aus sehingga
sapi tidak nafsu makan akibatnya defisiensi (Purba, 2008).
Hormonal
Silent heat bisa disebabkan kekurangan hormon estrogen, sapi yang sudah tua,
atau berahi setelah melahirkan. Diantara hewan ternak, silent heat banyak
dijumpai pada hewan betina yang masih dara, artinya berahi pertama pada hewan
betina yang baru mencapai dewasa kelamin sering dalam bentuk silent heat.
Demikian juga apabila hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan
normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari dua
kali dalam sehari. Akan tetapi, kasus silent heat ini paling sering terjadi pada
induk yang berahi pertama kali setelah melahirkan. Kasus ini juga rentan terjadi
11
pada hewan yang mengalami defisiensi mineral terutama fosfor dan selenium
(Anonim, 2004c). Kasus silent heat dapat mencapai 77% pada ovulasi pertama
setelah melahirkan, 54% pada ovulasi kedua, dan 30% pada ovulasi ketiga pasca
melahirkan pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Menurut Hopkin (1986),
tidak adanya korpus luteum pada siklus berahi sebelumnya menyebabkan
konsentrasi progesteron sangat rendah dalam darah saat ovulasi pertama setelah
melahirkan, hal ini menyebabkan ovarium kurang responsif terhadap hormon
yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada siklus berahi
berikutnya menyebabkan silent heat (Hardjopranjoto, 1995).
Berahi pendek adalah induk sapi yang berahinya berjalan sangat cepat (2-3
jam) disertai ovulasi. Kedua keadaan ini disebabkan oleh karena korpus luteum
dari ovulasi pertama menghasilkan sedikit progresteron, sehingga ovarium kurang
respontif terhadap LH. Berahi pendek/subestrus adalah suatu keadaaan pada
hewan betina yang menunjukan gejala berahi secara klinis hanya beberapa jam
saja, disertai terjadinya ovulasi pada ovariumnya. Waktu berahinya pendek dan
kadang-kadang muncul pada malam hari. Oleh karena itu, lama berahinya hanya
3-5 jam saja, sering tidak dapat dideteksi oleh pemiliknya sehingga ternak tersebut
diduga menderita anestrus. Terlebih apabila deteksi berahi hanya dilakukan sekali
dalam sehari, ada kemungkinan sub estrus tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan pada saat ovulasi, induk hewan tidak dapat dikawinkan, akibatnya
satu kesempatan hewan betina bunting terlewatkan. Penyebab kasus berahi
pendek/subestrus ini dapat diterangkan mirip dengan pada kasus silent heat.
Kasusnya banyak terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu pasca
melahirkan. Penanggulangannya adalah dengan menggunakan pejantan pengusik
12
dengan libido yang tinggi, sehingga keadaan berahi pendek dapat dikenali oleh
pejantan (Hardjopranjoto, 1995).
Hipofungsi ovarium adalah suatu keadaan dimana ovarium mengalami
penurunan fungsinya dari normal, dapat muncul pada saat yang beragam, sering
terjadi pada sapi dara menjelang pubertas dan sapi dewasa partus atau setelah
inseminasi tapi tidak terjadi konsepsi. Ovarium yang mengalami hipofungsi
berbentuk agak bulat, rata, licin dan agak kecil dibandingkan dengan normal.
Toelihere (1981), menyatakan bahwa berbagai gangguan post-partum seperti
retensio sekumdinae, distokia, paresis purpuralis, ketosis, mastitis dan kelahiran
kembar dapat menyebabkan penundaan berahi. Anestrus karena hipofungsi
disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk dari sapi yang bersangkutan. Pada sapi
sapi yang demikian pengobatan umumnya kurang bermanfaat sebelum gizinya
diperbaiki. Aktivitas ovarium secara tidak langsung tertekan oleh penyakit
penyakit yang menimbulkan kelemahan kronis dan keadaan yang demikian sering
kali penyebabnya tidak terlihat terutama pada kasus kasus yang sporadis. Faktor
yang diduga kuat sebagai penyebab sistik ovari adalah kegagalan hipofisa untuk
melepaskan LH yang cukup untuk ovulasi dan perkembangan corpus luteum,
meskipun mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti. Dugaan adanya
defisiensi LH itu timbul karena pemberian LH penderita sistik ovari memberikan
efek kuratif yang baik.
Genetik
13
14
1985). Penyebabnya adalah kegagalan lepasnya vilia kotiledon fetus dari kripta
karankula maternal karena dorongan myometrium yang lemah. Uterus akan terus
berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat
berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta
karankula berdilatasi. Retensio secundinae sebenarnya adalah suatu proses
kompleks yang meliputi pengurangan suplai darah diikuti oleh penciutan strukturstruktur plasenta maternal dan fetal, perubahan-perubahan degeneratif dan
kontraksi uterus yang kuat (Toelihere, 1985). Plasenta tersebut harus keluar,
karena akan mempengaruhi proses reproduksi selanjutnya. Bakteri yang
menempel pada plasenta akan masuk kedalam organ reproduksi. Jasad-jasad renik
seperti Brucella abortus, Tuberculosis, Campylobacter fetus dan berbagai jamur
menyebabkan placentitis.
3. Endometritis (Lendir Infeksi)
Infeksi endometrium merupakan peradangan pada bagian uterus yang
paling ringan. Pada umumnya disebabkan oleh infeksi jasad renik yang masuk ke
dalam uterus melalui cervic dan vagina. Kuman-kuman yang sering masuk
melalui cervic dan vagina adalah Strepthococcus, Staphylococcus, Coli (berasal
dari feses, mungkin pada waktu inseminasi buatan, atau pertolongan distokia
maupun retensio). Endometritis penyebab utama kemajiran (Toelihere, 1985).
4. Metritis
Metritis atau peradangan seluruh bagian uterus meliputi semua lapisan
dinding uterus. Kejadiannya berlangsung dua minggu setelah beranak. Sifat
toksiknya terjadi dalam waktu 3-5 hari setelah melahirkan. Metritis umumnya
disertai septicemia berat atau toksemia (metritis septika). Penyebab infeksi yang
15
16
kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus
ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak
ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak teraba dan tidak
ditemukannya fetus dalam uterus. Beda halnya jika sapi tersebut bunting, melalui
eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang hanya tumbuh pada salah satu
koruna, dan koruna lainnya tetap kecil. Dinding uterus menipis, mengikuti
pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan karunkulapun teraba pada
dinding uterus.
6. CL Persisten
Corpus luteum persisten terjadi karena adanya atau pernah terjadi
kelainan-kelainan di dalam uterus berupa endometritis, pyometra, retensio
secundinae, maserasi dan mumifikasi fetus dan kelainan lain yang mengganggu
fungsi endometrium. Anestrus yang berhubungan dengan patologi uterus dan
corpus luteum yang fungsional, disebabkan oleh kegagalan pelepasan bahan
luteolitik dari endometrium, sehingga corpus luteum gagal beregresi dan siklus
berahi terganggu. Karena corpus luteum yang menetap umumnya berhubungan
dengan patologi atau pengembangan uterus misalnya pada keadaan pyometra,
mumifikasio dan maceratio foetalis, mukometra, retensio secundinae atau dengan
kematian embryonal dan penyakit-penyakit lain. Corpus luteum persisten
umumnya menetap selama ada gangguan patologi tersebut, sampai waktu yang
cukup lama. Selama itu pula hewan tidak menunjukkan tanda-tanda berahi.
Apabila corpus luteum persisten. Setelah pelaksanaan inseminasi yang tidak fertil,
biasanya hewan betina tersebut disangka bunting, setelah pemeriksaan rektal
ternyata hewan betina tidak bunting dan ovariumnya mengandung corpus luteum
17
persisten. Untuk mendiagnosa adanya corpus luteum persisten, selain gejala klinis
dan eksplorasi rektal, suatu sejarah reproduksi ternak yang bersangkutan akan
sangat membantu. Pada palpasi rektal, corpus luteum persisten dapat dirasakan
berupa benjolan pada permukaan ovarium yang konsistensinya kenyal dan dapat
dibedakan dengan konsistensi folikel matang yang berfluktuasi. Apabila corpus
luteum berlangsung beberapa bulan, maka corpus luteum tersebut akan terletak di
dalam ovarium dan makin sulit didiagnosa. Tanpa diagnosa kebuntingan secara
teratur, corpus luteum persisten dapat bertahan sampai 6 bulan sesudah
perkawinan (Roberts, 1971). Penanggulangan terhadap adanya corpus luteum
persisten harus didasarkan pada diagnosa perbandingan yang teliti, memerlukan
pencatatan yang sempurna dan beberapa eksplorasi rektal. Penyingkiran corpus
luteum persisten dapat dilakukan secara manual melalui rektum (Enukleasi) atau
penyuntikan preparat hormon prostaglandin (PGF 2.) intra uterin atau preparatpreparat analognya secara intra muscular seperti pada penyerentakan berahi. Pada
umumnya dipilih cara manual karena prostaglandin cukup mahal harganya.
Penyingkiran corpus luteum persisten dengan cara manual merupakan metode
yang paling sederhana dan praktis, namun demikian penggunaannya harus
sejarang mungkin. Corpus luteum harus dilepaskan seluruhnya dan dijatuhkan ke
dalam rongga perut dan tidak dalam bursa ovarium, dimana ia dapat menyebabkan
adhesi. Adhesi karena manipulasi yang kasar terhadap ovarium adalah sebab
umum dari kemajiran yang permanen (Dowson, 1961). Salah satucara untuk
menghilangkan corpus luteum persisten adalah dengan memberikan prostaglandin
(PGF 2), karena selain dapat menyerentakkan berahi juga dapat dipergunakan
18
19
20
A. Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan 44 ekor sapi perah FH betina pada
pengembangan kelompok tani Pattiroang, unit kandang induk di Desa Barania
Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai. Dalam peneilitian ini peralatan dan
bahan yang digunakan adalah vaginoscopy, senter, kapas, alkohol, iodium 2%,
tissue, plastic sheats dan tissue.
B. Metode Penelitian
1. Vaginoscopy
Seluruh ternak diperiksa dengan menggunakan vaginoscopy yang telah
disterilkan dengan menggunakan alcohol. Vaginoscopy
dimasukkan kedalam
21
22
Jumlah Ternak
1
7
13
13
8
2
44
2,3
15,9
29,5
29,5
18,2
4,5
100
37
7
44
84,0
15,9
100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 44 ekor ternak sapi perah yang
digunakan dalam penelitian ini, terdapat 21 ekor atau 47,8% dengan BCS 2.5 atau
kurang dan sebanyak 13 ekor atau 29,6% menunjukkan BCS sedang atau 2,75.
Sedangkan sebanyak 10 ekor atau 22,7% menunjukkan BCS baik 3,00 atau di
atasnya.
Rendahnya kondisi tubuh sapi perah di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten
Sinjai mungkin disebabkan karena kekurangan nutrisi. Hal tersebut dapat dilihat
dari skor kondisi tubuh sapi perah yang rendah (BCS<2.75). Kondisi tubuh yang
tidak ideal pada sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti manajemen
pemeliharaan teutama asupan nutrisi. Selain itu kondisi sapi tersebut dipengaruhi
oleh penyakit. Kondisi sapi yang demikian akan mempengaruhi alat vital yang
lain misalnya alat reproduksi. Metode Body Condition Score adalah suatu metode
23
pengukuran kritis terhadap keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah,
bertujuan untuk mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh
yang akan mempengaruhi dalam penampilan produksi susu, efisiensi reproduksi
dan herd longevity. Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada bibit sapi perah
diperoleh melalui estimasi penilaian secara visual terhadap kuantitas jaringan
lemak kulit, perhitungan nilai BCS sebesar 5 poin (1 sampai 5) dengan
penambahan nilai 0,25 (Quarter point) dihitung berdasarkan kondisi subcutan
lemak tubuh pada pangkal ekor dan sekitar tulang belakang, hips,ribs, pin bone.
Langkah pertama dalam menjelaskan masuk sistem penentuan nilai, maka apabila
garis dari tulang hook, ke thurl sampai ke tulang pin berbentuk sudut
runcing/lancip (V) atau berbentuk bulan sabit (U). Biasanya langkah ini sering
paling sulit untuk membuat penilaian, khususnya jika sapi memiliki nilai BCS
dekat 3,0 atau 3,25. Jika ragu-ragu apakah berbentuk V atau U maka penilaian
dapat dilanjutkan dengan langkah-langkah, melihat badan sapi dari bagian
belakang. Amati jaringan kulit lemak sampai bagian hook dan tulang pin dan
pangkal ekor dan jaringan pengikat pangkal ekor. Dari poin ini penilaian biasanya
dapat untuk menentukan nilai yang tepat.
24
Jumlah Ternak
12
%
27,3
15
17
44
34,1
38,6
100
26
Diagnosis
Uterus
Normal
Endometritis
Endometritis + Pyometra
Endometritis+Urovagina
Ovarium
Inaktif
Kista
CL Persisten
Total
Jumlah Ternak
13
2
1
1
38,2
5,8
2,9
2,9
13
3
1
17
38,2
8,8
2,9
100
27
Uraian
Interval antara
melahirkan
dan kembali
bunting
Interval antara
melahirkan
dan IB
pertama
Fungsi (fx)
N
Mean dan
STDev
Minimum
Maximum
Mean dan STDev
Minimum
Maximum
Bunting
12
509,5196,1
154
856
Tidak Bunting
Normal
Kelainan
15
17
532,8
65,1
581,226,
9
508
549
691
581
Satu siklus berahi adalah jarak antara berahi yang satu sampai dengan
berahi berikutnya (Partodihardjo 1980). Arthur (1975) menjelaskan, bahwa
terjadinya siklus berahi berhubungan dengan keadaan ovarium, yang sebagian
besar pada mamalia rnencapai puncak berahi pada saat terjadi pelepasan satu atau
lebih ovum. Ternouth (1983) menyatakan, bahwa panjang siklus berahi pada sapi
dibedakan antara sikIus pendek yang terjadi kurang dari 18 hari, dan siklus
panjang yang berkisar antara 25 - 48 hari. Sedangkan pada sapi perah siklus
berahi berkisar antara 17 - 24 hari, dengan rata-rata 21 hari (Hawk and Bellows
dalam Hafez, 1980). Toelihere (1981) membagi siklus berahi dalam dua tahap,
yaitu tahap folikuler yang meliputi proestrus dan estrus; dan tahap luteal yang
meliputi metestrus dan diestrus. Sedangkan Arthur (1975) dan Fincher (1956)
28
membagi siklus berahi dalam lima tahap, yaitu tahap proestrus, estrus, metestrus,
diestrus dan anestrus. Selain itu Ternouth (1983), Partodihardjo (1980) dan
Toelihere (1981) juga menyatakan, bahwa secara umum sikIus berahi meliputi
tahap proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah tahap sebelum
estrus, dimana folikel De Graaf bertumbuh (Toelihere 1981). Pertumbuhan folikel
tersebut terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH), dengan
menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah (Baker dalam
Ternouth, 1983). Pada tahap ini keadaan uterus meluas, mukosa uterus padat dan
udemat, dan kelenjar menjadi aktif (Arthur 1975). Disamping itu vagina menjadi
hiperemis, serviks mulai mengalami relaksasi dan sekresi serviks menjadi lebih
cair dan berlebihan (Baker dalam Ternouth, 1983). Pada tahap ini hewan rnulai
rnenampakkan gejala berahi, walaupun pejantan belum mau untuk mengadakan
kopulasi (Partodihardjo 1980). Estrus sering diartikan sebagai tahap penerimaan
pejantan (Arthur 1975). Pada tahap ini serviks dalam keadaan relaksasi, vagina
meluas, vulva merah dan bengkak (Baker dalam Ternouth, 1983 dan Partodihardjo
1980). Ditambahkan oleh Arthur (1975), bahwa kelenjar serviks dan kelenjar
uterus banyak mengeluarkan cairan lendir yang kental. Dengan palpasi rektal
terhadap ovarium diternukan adanya folikel yang matang. Ovarium terasa sedikit
menonjol, licin dan halus pada salah satu permukaannya. Pada sapi perah estrus
terjadi selama 12 - 24 jam, dan ovulasi terjadi di 10 - 11 jam setelah akhir estrus,
sedangkan estrus pertama setelah partus terjadi sesudah 32 - 69 hari. Menurut
pendapat Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980), estrus pada sapi perah terjadi
selama 13 - 17 jam dan ovulasi terjadi 25 - 32 jam setelah mulai estrus, sedangkan
jarak estrus pertama dengan kelahiran berkisar antara 20 - 70 hari. Metestrus
29
adalah tahap segera setelah estrus, dimana korpus luteum tumbuh secara cepat
dari sel-sel granulose folikel yang telah pecah (Arthur 1975 dan Toelihere 1981).
Tahap metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron
yang dihasilkan oleh korpus luteum (Toelihere 1981). Selain itu Partodihardjo
(1980) menambahkan, bahwa pada tahap ini sapi telah menolak pejantan untuk
aktivitas kopulasi. Ditambahkan juga oleh Arthur (1975), bahwa pada tahap ini
pembuluh darah dan kelenjar mukosa uterus menjadi sangat aktif, sedangkan
sekresi dari vagina menjadi berkurang. Serviks mulai menutup, kadang-kadang
disertai dengan sedikit perdarahan yang mengalir dari uterus ke vagina
(Partodihardjo 1980). Pendapat ini diperkuat oleh Baker, 1983 yang menyatakan,
bahwa dalam tahap ini 30% kejadian yang menunjukkan terjadinya perdarahan
pada sapi. Toelihere (1981) menambahkan, bahwa tahap ini berlangsung selama 3
- 5 hari.
Interval antara IB adalah jarak antara IB pertama dan IB selanjutnya
(Yusuf dkk, 2010). Untuk mencapai hasil inseminasi yang maksimum, maka
ternak sapi harus secara regular diinseminasi apabila ternak tersebut belum
bunting pada inseminasi sebelumnya dan kembali menunjukkan tanda tanda
berahi pada siklus berikutnya. Secara umum dan normalnya bahwa ternak sapi
secara regular bersiklus dengan rata-rata 21 hari (Peters dan Ball, 1987).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Sinjai interval antara
melahirkan sampai IB terakhir yang normal 595,5 dan yang mengalami kelainan
595,6. Hasil tersebut menunjukkan tingginya angka ketidaknormalan siklus
ovarium yang diakibatkan oleh gangguan reproduksi pada ternak sapi yang pada
akhirnya menurunkan penampilan reproduksi dengan memperpanjang jarak antara
30
melahirkan dan kembali bunting serta jarak kelahiran. Oleh karena itu diperlukan
kontrol reproduksi sebelum IB dilaksanakan dalam upaya mengefektifkan
pelaksanaan IB ini yang pada akhirnya dapat memperbaiki tingkat reproduksi.
Terdapat dua variabel penting dalam kontrol reproduksi sebelum
inseminasi dilakukan, yakni : deteksi berahi, dan ketepatan waktu pelaksanaan
inseminasi buatan. Kontrol reproduksi dimaksudkan sebagai tindakan pengawasan
yang dilakukan oleh peternak pada keadaan berahi ternak betina termasuk sejauh
mana dan metode yang peternak lakukan dalam mendeteksi berahi. Pengetahuan
tentang gejala berahi ini ikut menentukan keberhasilan program IB yang
dilakukan. Dengan kemampuan untuk mendeteksi berahi maka peternak akan
sangat terbantu untuk memastikan waktu untuk pelaksanaan IB.
31
DAFTAR PUSTAKA
32
33
Angkasa, Bandung.
Fricke, P. M., J. N. Guenther, and M. C. Wiltbank. 1998. Effect of decreasing the
dose of GnRH used in a protocol for synchronization of ovulation and
timed AI in lactating dairy cows. Theriogenology 50:12751284
Yusuf, M., Nakao, T., Ranasinghe, R.M.S.B.K. Gautam, G., Long, S.T., Yoshida,
C., Koike, K., Hayashi, A. 2010. Reproductive performance of repeat
breeders in dairy herds. Theriogenology 73: 1220-1229
35