Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Kambing merupakan salah satu ternak ruminansia yang banyak


dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Sulawesi
Selatan. Populasi kambing di Sulawesi Selatan dari tahun 2009 – 2016
berturutturut adalah 437.918, 477.068, 513.858, 572.587, 599.216, 650.108,
691.022, 722.878 ekor/tahun (Badan Pusat Statistik, 2017). Masyarakat Indonesia
umumnya menyukai daging kambing. Kondisi ini sangat menguntungkan para
peternak. Kambing Boer adalah pilihan yang tepat karena pertumbuhannya
yang sangat cepat serta persentase daging karkas yang tinggi.

Peningkatan produktivitas ternak kambing di Indonesia masih dengan cara


kawin alami di kalangan peternakan rakyat namun belum sepenuhnya efektif. Hal
ini disebabkan karena terbatasnya jumlah kambing pejantan yang dimiliki
peternak untuk mengawini kambing betina sehingga menyebabkan rendahnya
produktivitas. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing
dapat dilakukan dengan teknologi inseminasi buatan (IB). Teknologi ini sangat
berperan dalam sistem breeding kambing, khususnya pada sistem pemeliharaan
intensif untuk meningkatkan produksi daging, susu dan jumlah anak perkelahiran
disamping mengoptimalkan program seleksi dan sarana untuk mengontrol waktu
kelahiran (Leboeuf et. al., 2000). Keuntungan IB pada kambing yaitu untuk
meningkatkan populasinya peternak tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
pemeliharaan pejantan, mendapatkan sumber spermatozoa yang berasal dari 2
pejantan unggul dan untuk menghindari penularan penyakit terutama penyakit
kelamin (Pamungkas et. al., 2014).

Dalam teknologi IB, kualitas semen merupakan suatu hal yang sangat
penting karena menjadi penentu berhasil atau tidaknya IB pada ternak. Salah satu
permasalahan utama dalam pengolahan semen kambing adalah adanya enzim
yang terkandung di dalam plasma semen. Rendahnya kualitas semen kambing
diduga akibat keberadaan enzim phospholipase A yang disebut juga egg yolk
coagulating enzyme yang dihasilkan bulbourethral gland secretion (BUS) yang
terkandung dalam plasma semen kambing (Paulenz et. al., 2005). Enzim ini dapat
menghidrolisis fosfolipid kuning telur menjadi lysophospholipid seperti
lysolecithin yang sifatnya toksik pada spermatozoa dan dapat menyebabkan reaksi
akrosom dini sehingga spermatozoa lebih cepat rusak. Sementara itu kuning telur
dan susu mengandung fosfolipid dan lesitin dalam pengencer yang sangat
dibutuhkan karena melindungi spermatozoa dari cold shock pada saat pendinginan
ataupun pembekuan (Amirat et. al., 2004).

Oleh karena itu perlu dilakukan suatu metode yang dapat menghilangkan
plasma semen yaitu dengan cara pencucian semen. Salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pencucian semen dengan tujuan
memisahkan komponen-komponen seminal plasma dan bahan-bahan lain yang
dapat mempengaruhi potensi spermatozoa (Hafez, 2000). Pencucian semen
bertujuan untuk meminimalkan terjadinya koagulasi dengan harapan dapat
mempertahankan kualitas semen beku. Parameter yang diukur adalah
abnormalitas dan pola pergerakan spermatozoa yang terdiri 3 dari velocity
(kecepatan), linearitas, dan distance (jarak) spermatozoa. Pengukuran
abnormalitas spermatozoa penting dilakukan sebab abnormalitas yang tinggi dapat
mengganggu fertilitas jantan secara umum.

Kambing Boer disebut juga kambing pedaging sesungguhnya, sebab


pertumbuhannya yang sangat cepat. Pada umur lima hingga enam bulan,
kambing ini dapat mencapai berat 35 – 45 kg. Dibandingkan dengan kambing
lokal, persentase daging pada karkas kambing Boer jauh lebih tinggi, mencapai
40% – 50% dari berat tubuhnya. Sehingga tidak berlebihan kalau banyak
peternak tertarik membudidayakannya.

Spermatozoa yang digunakan untuk IB sedapat mungkin tidak


mengandung spermatozoa yang mempunyai kelainan atau penyimpangan
morfologi, sebab pada hakekatnya setiap penyimpangan morfologi dan struktur
dari spermatozoa yang normal dikatakan sebagai abnormalitas (Evans dan
Maxwell, 1987). Abnormalitas sperma primer termasuk diantaranya kepala tanpa
ekor, akrosom abnormal, kepala memanjang runcing, kepala besar, kepala kecil,
dan dua kepala. Abnormalitas sekunder termasuk ekor membelit atau melingkar,
patah bagian tengah dan utama ekor, ekor terputus dan dua ekor. Bentuk
cytoplasmic droplets pada leher spermatozoa terjadi selama spermiogenesis
(Bearden dan Fuquay, 1997).

Abnormalitas spermatozoa ditandai dengan kelainan pada kepala dan ekor


apabila diwarnai dengan zat pewarna eosin (Evan dan Maxwell, 1987). Semakin
tinggi abnormalitas spermatozoa maka daya fertilitasnya semakin rendah, karena
tidak mampu membuahi sel telur. Tambing et al. (2003) melaporkan bahwa
persentase abnormalitas spermatozoa kambing yang digunakan dalam program IB
kurang dari 15%. Sperma dari kebanyakan pejantan mengandung beberapa
spermatozoa abnormal. Biasanya abnormalitas spermatozoa tidak mempengaruhi
fertilitas jika abnormalitas hanya sekitar 20%, meskipun beberapa tipe
abnormalitas mempengaruhi fertilitas (Hafez, 2005).

Pencucian sperma dengan metode sentrifugasi dilakukan untuk


memisahkan spermatozoa dengan plasma sperma, sehingga dapat meningkatkan
kualitas sperma terlebih lagi jika ditambahkan dengan pengencer kuning telur.
Untuk meningkatkan kualitas sperma kambing maka harus dilakukan
penghilangan plasma sperma dengan pencucian sperma segera setelah
penampungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan pencuci
SpermRinse dan lama sentrifugasi terhadap kualitas spermatozoa kambing Boer.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pencucian


dengan metode sentrifugasi terhadap abnormalitas dan pola pergerakan
spermatozoa semen beku kambing PE.

Manfaat penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi


terkait dengan pengaruh pencucian dengan metode sentrifugasi terhadap
abnormalitas dan pola pergerakan spermatozoa semen beku kambing boer.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan yang telah
menjadi ternak yang ter-registrasi di Indonesia selama lebih dari 65 tahun. Kata
“Boer” artinya adalah petani. Ciri-ciri umum yang sering dijumpai pada kambing
Boer adalah tanduk melengkung keatas dan kebelakang, telinga lebar dan
menggantung, hidung cembung, rambut relatif pendek sampai sedang. Kambing
Boer merupakan kambing yang pertumbuhannya sangat cepat dibandingkan
dengan spesies kambing yang lain di dunia. Menurut Mason (1998) dalam Setiadi
(2003) rataan litter size kambing Boer adalah 1,7 ekor.

Kambing Boer telah mendapatkan pengakuan diseluruh dunia memiliki


konformasi tubuh yang sangat baik, pertumbuhan cepat dan kualitas daging yang
baik. Popularitasnya sebagai jenis kambing pedaging melonjak selama dekade
terakhir hingga ketersediaannya di Australia, Selandia Baru dan kemudian di
Amerika Utara dan bagian lain dunia, diantara semua sifat unggul pada kambing
Boer, pertambahan bobot tubuh dan laju pertumbuhan adalah yang paling
menonjol (Casey and Van Niekerk, 1988).

Kambing Boer merupakan salah satu ternak yang dapat digunakan sebagai
sumber kebutuhan daging bagi masyarakat serta mempunyai prospek untuk
dikembangkan karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan jenis
kambing lainnya yaitu pertumbuhannya yang cepat, ukuran tubuh yang besar dan
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kambing Boer juga sering
disilangkan dengan kambing jenis lain untuk mendapatkan hasil produktifitas
yang lebih tinggi (Suharyati dan Hartono, 2013).

5 Masyarakat peternak kecil sering membuat program pembudidayaan


kambing Boer karena didasarkan kepada kemudahannya dikembangbiakkan dan
relatif cepat dalam perputaran produksinya sehingga membantu peternak kecil
karena tidak membutuhkan modal yang besar dan mudah mendapatkan uang tunai
dalam waktu yang singkat (Azizah. 2010). Pertumbuhan kambing Boer mencapai
lebih dari 225 gr/ekor/hari, dari segi penampilan tubuhya juga kompak yang
menjadikan kambing jenis ini telah menjadi kambing yang pantas disebut sebagai
kambing pedaging (Warmington dan Kirton, 1990). Bobot lahir anak kambing
Boer berkisar 3-4 kg dengan bobot anak jantan 0,5 kg lebih berat dari pada betina.
Anak kambing yang disapih dapat memiliki berat mulai dari 20 hingga 25 kg,
tergantung pada metode dan usia penyapihan. Pada usia 7 bulan, kambing jantan
memiliki berat sekitar 40 hingga 50 kg, sedangkan betina beratnya sekitar 35
hingga 45 kg. Pada umur setahun, berat jantan mencapai 50 hingga 70 kg dan
betina beratnya mencapai 45 hingga 65 kg (Lu dan Potcoiba, 1988).

Tingkat pertambahan bobot harian yang sesuai di Jerman adalah 257, 193,
dan 182 g/hari.Pertambahan bobot harian pada anak kambing yang disapih dapat
mencapai lebih dari 250 g/ha jika mendapatkan konsumsi pakan yang baik. Ini
jauh lebih tinggi dari pada anak kambing jenis lain. Pertumbuhan yang lebih cepat
menandakan bahwa kambing Boer berpotensi dapat mencapai bobot pemasaran
lebih awal (Newman and Paterson, 1997). 2.1.1 Kambing Peranakan Boer
Kambing peranakan Boer adalah kambing persilangan antara kambing Boer murni
dengan kambing jenis lainnya

. Kambing Boer dan kambing lokal 6 secara umum akan mendapatkan


50% darah Boer dan 50% darah lokal, sehingga penampilan kambing hasil
persilangan antara kambing Boer dengan kambing lokal secara fenotip dan
genotip dapat dipengaruhi oleh pejantan dan induknya serta dipengaruhi oleh
lingkungan (Nasich, 2010).

Volume semen setiap penampungan untuk masing-masing ternak


berbedabeda menurut bangsa, umur, ukuran ternak, dan makanan (Partodihardjo,
1992). Volume semen kambing bervariasi setiap penampungan yaitu 0,5 – 1,0 ml
(Devandra dan Burns, 1994) atau 0,5 – 1,5 ml (Wildeus, 1995). Volume semen
kambing PE rata-rata 0,95 ml, konsistensi kental, warna putih sampai krem,
konsentrasi spermatozoa 2.940 juta sel/ml, pH rata-rata 7,13, gerakan massa +++,
persentase spermatozoa motil 72,79%, persentase hidup spermatozoa 82,54% dan
persentase abnormalitas spermatozoa 10,17% (Tambing, et. al., 2001).
Penilaian konsentrasi spermatozoa tiap milliliter semen sangat penting,
karena faktor ini dipakai sebagai kriteria penentu kualitas semen dan menentukan
tingkat pengencerannya (Foote, 1980). Konsentrasi yaitu jumlah spermatozoa
perunit volume (permililiter). Konsentrasi spermatozoa tiap ejakulasi berkisar
antara 1,5 – 5,0 x 109 spermatozoa / ml (Wildeus, 1995). pH rata-rata semen
kambing berkisar sekitar 7,0 (Partodihardjo, 1992). Konsistensi semen tergantung
pada rasio kandungan spermatozoa dan seminal plasma. Konsistensi adalah
derajat kekentalan yang erat kaitanya dengan konsentrasi spermatozoa (Kartina,
2014).

Kualitas semen beku merupakan salah satu faktor pembatas terhadap


keberhasilan program IB pada kambing. Permasalahan utama dari semen beku
adalah rendahnya kualitas semen setelah pengenceran kembali (thawing), yang
ditandai dengan terjadinya perubahan fungsional spermatozoa ultrastruktur, 7
kerusakan membran plasma dan tudung akrosom yang menyebabkan terjadinya
penurunan motilitas dan daya hidup yang berakibat kegagalan transpor dan
fertilisasi. Ada tiga faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya kualitas
semen beku kambing, yaitu 1) cold shock (kejutan dingin) yang berakibat
perubahan isotonis (tekanan osmotik) dari pembentukan kristal-kristal es; 2)
plasma semen mengandung egg yolk coagulating enzyme yang diduga enzim
fosfolipase A yang disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis; dan 3) triglycerol
lipase yang juga berasal dari kelenjar bulbourethralis (Pamungkas, 2009).

Pencucian Semen Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk


meningkatkan kualitas spermatozoa adalah dengan melakukan pencucian semen.
Pada spermatozoa sebelum difertilisasikan terlebih dahulu harus mengalami
pencucian untuk memisahkan spermatozoa hidup dan mati dan zat-zat toksik
lainnya, sehingga dapat meningkatkan daya fertilitasnya (Agarwal et. al., 2004).
Pencucian semen merupakan suatu cara menganalisis spermatozoa dengan
memisahkan komponenkomponen seminal plasma dan bahan-bahan lain yang
dapat mempengaruhi potensi spermatozoa. Pencucian semen dapat dilakukan
dengan beberapa cara diantaranya melalui sentrifugasi dan swim up (Handayani
et. al., 2015).
Metode ini bertujuan untuk memisahkan spermatozoa berkualitas baik dari
populasi sehingga sperma yang diperoleh merupakan hasil seleksi. Metode seleksi
spermatozoa lain yang telah dikenal adalah simple washing, swim up, teknik
migrasi ke samping, sentrifugasi gradien densitas, migration gravity
sedimentation, sephadex and glass woll collums, albumin column filtration, 8
optiprep, ixaprep, accudenz, dan silane-coated silica-based gradient (Tucker dan
Jansen, 2002). Salah satu metode pencucian semen yang paling banyak digunakan
yaitu metode sentrifugasi. Metode ini dilakukan dengan cara memutar sperma di
dalam tabung yang berisi medium isotonis dengan waktu dan kecepatan tertentu
(Hafez, 2000).

Pencucian semen dengan metode sentrifugasi dilakukan untuk


memisahkan spermatozoa dengan plasma sperma, sehingga dapat meningkatkan
kualitas sperma. Untuk meningkatkan kualitas sperma kambing maka harus
dilakukan penghilangan plasma sperma dengan pencucian semen segera setelah
penampungan (Bintara, 2010). Dengan pencucian semen memberikan motilitas,
pH, persentase sel sperma hidup dan persentase abnormalitas lebih baik
dibandingkan tanpa pencucian (Parera et. al., 2000).

Medium yang diperlukan untuk pencucian spermatozoa harus


mengandung zat makanan sebagai pengganti hilangnya plasma semen, mampu
mempertahankan pH dan tidak bersifat racun terhadap spermatozoa (Salisbury et.
al., 1985). Salah satu bahan pencuci semen yang dapat digunakan dan memenuhi
syarat tersebut adalah Andromed. Pengencer Andromed (Minitube Jerman) adalah
salah satu pengencer semen komersial yang tidak mengandung kuning telur.
Pengencer semen komersial ini selain tidak terkontaminasi mikroorganisme yang
berasal dari kuning telur juga mudah digunakan karena telah tersedia dalam paket
siap pakai (Said et. al., 2005).

Andromed mengandung protein, karbohidrat (fruktosa, glukosa, manosa,


dan maltotriosa), mineral (natrium, kalsium, kalium, magnesium, klorida, fosfor, 9
dan mangan), asam sitrat, gliserol, lemak, lesitin, dan gliserilfosforil kolin (GPC)
(Susilawati, 2011). Komposisi andromed sendiri terdiri dari Tris
hydroxyaminomethane sebagai buffer, gula sebagai sumber energi, gliserol
sebagai krioprotektan dan antibiotik untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Andromed sebagai pengencer, mengandung lesitin yang berasal dari ekstrak
kacang kedelai (Juniandri et. al., 2014).

Abnormalitas Spermatozoa Secara morfologis, spermatozoa normal terdiri


dari bagian kepala dan ekor. Bagian ekor dibagi lagi menjadi bagian leher atau
tengah, bagian utama dan bagian ujung (Austin dan Short, 1982). Kepala
spermatozoa berbentuk oval memanjang lebar dan mendatar dada satu sisi dan
sempit pada satu sisi (Yatin, 1990). Panjang dan lebar kepala spermatozoa sapi,
domba dan babi berkisar 8 - 10 mikron kali 4 – 4,5 mikron, dan tebalnya sekitar
0,5 – 1,5 mikron (Toelihere, 1993). Bagian kepala spermatozoa mengandung
materi inti yang mengandung kromosom terdiri dari DNA (deoxyribonucleic acid)
yang bersenyawa dengan protein. DNA membawa informasi genetik (Foote,
1980). Melalui pembelahan reduksi selama proses spermatogenesis, spermatozoa
hanya membawa setengah 10 DNA dari sel-sel somatik yang ada dengan kode
kromosom X sex betina dan Y sex jantan. Berikut merupakan morfologi
spermatozoa normal : Gambar 2. Morfologi Spermatozoa Normal (Claire et. al.,
2010) Spermatozoa yang digunakan untuk IB sedapat mungkin tidak mengandung
spermatozoa yang mempunyai kelainan atau penyimpangan morfologi, sebab pada
hakekatnya setiap penyimpangan morfologi dan struktur dari spermatozoa yang
normal dikatakan sebagai abnormalitas (Evans dan Maxwell, 1987).

Pengukuran abnormalitas spermatozoa penting dilakukan sebab


abnormalitas yang tinggi dapat mengganggu fertilitas jantan secara umum
(Ariantie et. al., 2014). Semakin tinggi abnormalitas spermatozoa maka daya
fertilitasnya semakin rendah, karena tidak mampu membuahi sel telur (Bintara,
2010). Tambing et. al. (2003) melaporkan bahwa persentase abnormalitas
spermatozoa kambing yang digunakan dalam program IB kurang dari 15%.
Sperma dari kebanyakan pejantan mengandung beberapa spermatozoa abnormal.
Biasanya abnormalitas spermatozoa tidak mempengaruhi fertilitas jika
abnormalitas hanya sekitar 20%, meskipun beberapa tipe abnormalitas
mempengaruhi fertilitas. Perhatian khusus mengenai spermatozoa abnormal
tertuju pada bentuk akrosom karena akrosom memainkan peranan penting dalam
11 fertilisasi (Hafez, 2005).

Kebanyakan abnormalitas struktural terjadi di dalam pengembangan


spermatozoa, sebagai hasil dari kegagalan spermatogenesis dan juga dikarenakan
penanganan semen, baik selama penampungan dan setelah penampungan semen
(Salisbury et. al., 1985) Abnormalitas pada spermatozoa dapat dibagi menjadi dua
yaitu abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer
merupakan ketidaknormalan morfologi spermatozoa yang terjadi ketika
spermatozoa masih di dalam tubuli seminiferi (spermatogenesis). Kelompok
abnormalitas ini lebih berbahaya karena sebagian bersifat genetik sebagai contoh
knobbed acrosome defect yang dapat menurunkan fertilitas sehingga
memengaruhi keberhasilan inseminasi buatan. Semen dengan persentase
abnormalitas cukup tinggi cenderung memiliki fertilitas yang rendah karena
berkaitan dengan kemampuan mengawali fertilisasi. Abnormalitas sekunder
merupakan morfologi spermatozoa tidak normal yang terjadi selama spermatozoa
melewati saluran reproduksi (Ariantie et. al., 2014) atau kelainan spermatozoa
yang terjadi akibat tekanan fisik untuk evaluasi semen, misalnya akibat mengocok
tabung terlalu keras, penurunan suhu terlalu cepat, suhu pemanasan yang terlalu
tinggi, dan atau saat pembuatan sediaan (preparat) yang tidak hati-hati

Macam-macam Abnormalitas Primer Spermatozoa (Ax et. al., 2008)


Salisbury et. al. (1985) menyatakan bahwa abnormalitas ada dua yaitu: (1)
abnormalitas sperma primer adalah abnormal yang terjadi pada saat
spermatogenesis yaitu di dalam tubulus semeniferi yang meliputi microcephalic
(kepala kecil), macrochephalic (kepala besar), kepala pendek melebar, kepala
sempit memanjang, kepala pyriformis, kepala ganda, ekor ganda, bagian tengah
membengkak, ekor melingkar dan pertautan abaksial; (2) abnormalitas sperma
sekunder adalah abnormal yang terjadi setelah sperma meninggalkan tubulus
seminiferus, selama perjalanan di epididimis, ejakulasi dan faktor-faktor lain
(suhu tinggi, tempat penampungan tidak bersih) meliputi kepala normal yang
terputus dan ekor yang terputus.
Pola Pergerakan Spermatozoa Tinggi rendahnya abnormalitas spermatozoa
sangat mempengaruhi fertilitas pejantan dalam proses fertilisasi di dalam saluran
reproduksi betina. Namun demikian, disamping abnormalitas semen pejantan,
pola pergerakan spermatozoa juga sangat menentukan fertilitas pejantan. Hal ini
sangat penting untuk proses kapasitasi di dalam saluran organ reproduksi betina.
Pola pergerakan dan jarak yang ditempuh oleh spermatozoa di dalam saluran
organ reproduksi betina, dalam menunjang fertilitas tinggi harus dapat mencapai
target tempat fertilisasi, dan mempunyai kemampuan memfertilisasi sel telur
(Haryati, 2017).
BAB III

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Materi dan Metode Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai April
2023 di Laboratorium Reproduksi Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan pra penelitian untuk
menyesuaikan ternak dengan kondisi pakan dan lingkungan sekitar, melatih
pejantan agar terbiasa dengan pengambilan sperma menggunakan vagina buatan.
Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah persentase spermatozoa hidup,
dan persentase spermatozoa abnormal.

Materi penelitian adalah 5 ekor kambing boer jantan umur dua tahun. Alat
utama yang digunakan antara lain vagina buatan, mikroskop merk Zeizz (Jerman)
dan alat sentrifus. Bahan yang digunakan antara lain gliserol, glukosa, kuning
telur, sodium sitrat, aquades dan SpermRinse (Vitrolife, Swedia). Urutan kerja
penelitian meliputi penampungan sperma, evaluasi, atau penilaian sperma,
pembuatan pengencer glukosa sitrat kuning telur, pembuatan bahan pencuci
sperma, pencucian sperma, dan pengamatan kualitas sperma.

Penampungan sperma Penampungan sperma menggunakan vagina buatan


dilakukan setiap hari pada pagi hari sekitar pukul 07.00 sampai 08.00, dilakukan
dua kali per minggu. Penilaian spermatozoa. Spermatozoa terdiri dari gerakan
massa dan individu. Gerakan massa diamati dengan meneteskan spermatozoa di
atas gelas obyek dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah
(obyektif 10x). Gerakan individu diperiksa dengan meneteskan spermatozoa pada
gelas obyek yang ditutup gelas penutup di bawah mikroskop dengan perbesaran
kuat (obyektif 40x) (Toelihere, 1985).

Persentase spermatozoa hidup dan mati. Persentase spermatozoa hidup dan


mati dilakukan dengan meneteskan sperma pada gelas obyek kemudian
dicampurkan dengan eosin dan dibuat preparat apus, dipanasi dengan lampu
spritus, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran kuat (obyektif
40x). Untuk menentukan spermatozoa yang hidup sedikitnya dihitung 100 sampai
200 sel sperma atau yang terbaik 500 sel sperma (Toelihere, 1981).

Abormalitas spermatozoa. Abnormalitas spermatozoa dihitung dengan


melihat spermatozoa pada preparat apus dengan pewarnaan eosin dilihat pada
perbesaran 40x. Spermatozoa yang abnormal antara lain spermatozoa dengan
kepala tanpa ekor, ekor putus, kepala besar, kepala kecil, kepala memanjang
runcing, akrosom abnormal, ekor membelit atau melingkar, patah pada bagian
tengah dan utama ekor. Pembuatan pengencer glukosa sitrat kuning telur
Komposisi bahan pengencer terdiri dari sodium sitrat 2,8 mg, glukosa 2,85 g
dengan penambahan aquadestilata sampai 100ml, penicillin sebanyak 100.000
IU/100 ml dan streptomycin sebanyak 0,05 g/100 ml. Bahan sodium sitrat dan
glukosa dimasukkan dalam erlenmeyer ditambah aquadestilata sampai 100 ml
kemudian dihomogenkan, setelah itu erlenmeyer dimasukkan dalam beaker glass
yang telah terisi air kemudian dipanaskan sampai air dalam beaker glass
mendidih. Setelah mendidih, erlenmeyer diangkat dan didiamkan sampai suhu
37ºC ditambahkan penicillin dan streptomycin kemudian dihomogenkan,
selanjutnya disaring dengan kertas saring. Setelah dingin dimasukkan dalam
almari es. Apabila akan digunakan untuk pengencer maka baru ditambahkan 20%
kuning telur dari volume pengencer total.

Pembuatan bahan pencuci sperma Bahan pencuci sperma yang digunakan


adalah SpermRinse dan bahan pengencer glukosa sitrat kuning telur. Larutan
pencuci sperma ada dua macam yaitu SpermRinse 90% dan SpermRinse 45%.
SpermRinse 90% dibuat dengan cara mencampur 4,5 ml SpermRinse dengan 0,5
ml sitrat kuning telur. SpermRinse 45% dibuat dengan cara mencampur 2,25 ml
SpermRinse ditambah 2,75 ml sitrat kuning telur. Pencucian sperma Pencucian
sperma dilakukan dengan menggunakan metode sentrifugasi, 1 ml larutan
SpermRinse 90% dituangkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1
ml larutan SpermRinse 45% di atasnya. Diusahakan tidak sampai tercampur,
sehingga terbentuk dua lapisan, setelah itu 0,5 ml sperma kambing Bligon
dimasukkan ke dalam tabung reaksi melalui dinding tabung. Tabung reaksi yang
sudah berisi bahan pencuci dan sperma dimasukkan ke dalam alat sentrifugasi,
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1.500 rpm (r = 5,5 cm) selama 15, 20,
dan 25 menit.

Pengambilan hasil sentrifugasi dilakukan dengan menggunakan pipet


sebanyak kurang lebih 3 tetes. Satu tetes diletakkan pada preparat apus dengan
cara dicampur eosin, satu tetes diletakkan pada preparat untuk diperiksa
motilitasnya. Metode pencucian sperma dua lapis (SpermRinse 90% dan 45%)
sesuai dengan metode yang digunakan oleh Parrish et al. (1995) yang
menggunakan bahan Percoll dua tingkat yaitu Percoll 90% pada bagian bawah
dan 45% di bagian atas. Analisis data Data karakteristik sperma segar dihitung
nilai mean dan standar deviasinya. Data motilitas, persentase hidup dan mati, dan
abnormalitas spermatozoa sesudah pencucian antara tiga perlakuan lama
sentrifugasi dianalisis dengan Duncan’s New Multiple Range Test.

Analisis data Data karakteristik sperma segar dihitung nilai mean dan
standar deviasinya. Data persentase hidup dan mati, dan abnormalitas
spermatozoa sesudah pencucian antara tiga perlakuan lama sentrifugasi dianalisis
dengan Duncan’s New Multiple Range Test.
DAFTAR PUSTAKA

Bearden, H.J. and J.W. Fuquay. 1997. Applied Animal Reproduction, 4th ed.
Prentice Hall. New York. Chemineau, P., Y. Cagnie, P. Orgeaur, and J.C. Vallet.
1991. Training Manual on Artificial Insemination in Sheep and Goats. Food and
Agricultural Organization of the United Nations. Rome.

Evans, G. and W.M.C. Maxwell. 1987. Salomon’s Artificial Insemination of


Sheep and Goats. Butterworths Pty Limited. Collingwood. Victoria.

Hafez, E.S.E. 2005. Reproduction in Farm Animal, 6th ed. Lea and Febiger.
Philadelphia.

Oktaviani, D. 2001. Pengaruh aras kuning telur dan aras gliserol terhadap
motilitas, viabilitas, dan abnormalitas spermatozoa kambing Bligon sebelum dan
sesudah pembekuan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Parrish, J.J., A. Krogrnaes, and J.L. Susko-Parrish. 1995. Effect of bovine serum
separation by either swim-up or percoll method on success of in vitro fertilization
and early embryonic development.

Theriogenology 44:859-869. Perry, E.J. 1969. The Artificial Insemination of Farm


Animals. Oxford & IBH Publishing Co. Calcuta, Bombay, New Delhi. Tambing,
S.N., M. Ghazali, dan P.

Bambang. 2001. Pemberdayaan teknologi inseminasi buatan pada ternak


kambing. Wartazoa 2(1):1-9.

Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I.K. Sutama. 2003. Pengaruh
frekuensi ejakulasi terhadap karakteristik semen segar dan kemampuan libido
Kambing Saanen. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Toeliehere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung. Toeliehere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit
Angkasa. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai