Anda di halaman 1dari 5

4.

Jenis-Jenis Kompos

Vermikompos (Kompos Cacing Tanah)

Vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahan-bahan


organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vemikompos merupakan campuran kotoran cacing
tanah (casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Oleh karna itu
vermikompos merupakan pupuk organik yang ramah lingkungan dan memiliki keunggulan
tersendiri dibandingkan dengan kompos lain yang kita kenal selama ini (Mahsur, 2001).

Kompos Bagase

Kompos bagase kompos yang dibuat dari ampas tebu (bagase), yaitu limbah padat
sisa penggilingan batang tebu. Kompos ini terutama ditujukan untuk perkebunan tebu. Bahan
pembuatan kompos bagase yaitu bagase dan kotoran sapi yang dimanfaatkan
sebagai bioaktivator, dengan perbandingan volume 3:1. Penambahan kotoran sapi selain
sebagai bioaktivator juga untuk menurunkan rasio C/N. Bagase dan kotoran sapi ditumpuk
berselingan dengan tebal bagase 30 cm dan tebal kotoran sapi 10 cm, lalu di tumpukan teratas
diberikan jerami sebagai penutup.

Kompos Bokashi

Bokashi adalah sebuah metode pengomposan yang dapat menggunakan starter


aerobik maupun anaerobik untuk mengkomposkan bahan organik, yang biasanya berupa
campuran molasses, air, starter mikroorganisme, dan sekam padi. Kompos yang sudah jadi
dapat digunakan sebagian untuk proses pengomposan berikutnya, sehingga proses ini dapat
diulang dengan cara yang lebih efisien. Starter yang digunakan amat bervariasi, dapat
diinokulasikan dari
material
sederhana
seperti kotoran
hewan, jamur, spora
jamur, cacing, ragi, acar, sake, miso, natto, anggur, bahkan bir, sepanjang material tersebut
mengandung organisme yang mampu melakukan proses pengomposan.

5. Cara Pengomposan
Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan
organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkendali (terkontrol) dengan
hasil akhir berupa humus dan kompos (Simamora dan Salundik, 2006 dalam Rahmaini,
2008).
Ada beberapa teknik cara pengomposan yang biasa digunakan. Pengomposan sengaja
dilakukan karena di alam jarang sekali terjadi proses pengomposan secara alami dikarenakan
suhu dan cuaca yang fluktuatif menyebabkan kondisi yang suboptimal untuk menunjang
terjadinya pengomposan.
Klasifikasi pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen yang diperlukan pada
proses pembuatannya dapat dikelompokkan menjadi aerobik (dalam prosesnya

menggunakan oksigen atau udara) dan anaerobik (dalam prosesnya tidak memerlukan adanya
oksigen). Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau,
waktu pengomposan lebih cepat, serta temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat
membunuh bakteri patogen dan telur cacing sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis
(Pustaka PU, 2015).
Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi
sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara karbohidrat dan
nitrogen yang terkandung di dalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N tanah adalah 10-12. Bahan
organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat
diserap oleh tanaman (Djuarnani dkk, 2005 dalam Rahmaini, 2008).
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat, selulosa,
hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air, 2) zat putih telur menjadi amonia, CO2,
dan air, 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan
perubahan tersebut kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa N yang larut
(amonia) meningkat. Dengan demikian C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N
tanah (Indriani, 2007 dalam Rahmaini, 2008).
a. Cara Pengomposan Secara Tradisional
- Siapkan bahan organik yang akan dijadikan kompos lalu dicacah hingga ukuran lebih
kecil
- Campurkan kotoran ternak (lebihkan 1 karung dari jumlah karung bahan organik), top
soil (1/2 karung), dan dolomit (1/2 karung
- Siram dengan air sedikit demi sedikit sambil diaduk merata dengan kadar air 40-60%
- Letakkan tumpukan bahan tersebut diatas semen
- Tancapkan bambu yang sudah dilubangi untuk memberikan sirkulasi udara
- Tumpukan harus dibalik setiap minggu dan disiram apabila bahan teralu kering.
Setelah 1,5-2 bulan kompos sudah matang, keringanginkan kemudian digiling/diayak
lalu dikemas dan kompos siap untuk dijual (Simamora dan Salundik, 2006 dalam
Rahmaini, 2008).
b. Pembuatan Kompos dengan Bantuan Aktivator
Aktivator merupakan bahan yang terdiri dari enzim, asam humat dan mikroorganisme
(kultur bakteri) yang dapat mempercepat proses pengomposan. Contoh aktivator yang
beredar di pasaran ; EM4, Orgadec, dan Stardec. Adapun teknik pembuatannya antara lain ;
-

Cacah jerami padi hingga ukurannya lebih kecil,


Campur dengan dedak (perbandingan dengan jerami 20:1) dan sekam padi
(perbandingan dengan jerami 1:1) kemudian diaduk merata
Siram campuran bahan dengan larutan em4 (500 ml) + air (20 liter) dan molase (20
sendok makan), diaduk merata sampai kadar airnya 30-40%
Tumpukkan campuran bahan di atas tempat kering dengan ketinggian 40-50 cm, lalu
tutup dengan plastik/terpal.

Suhu kompos dipertahankan 40-500c dengan cara mengaduk-aduk bahan


tersebut agar suhunya tidak tinggi - setelah 10 hari kompos sudah matang dan siap
untuk digunakan (simamora dan salundik, 2006 dalam Rahmaini, 2008).
c. Pembuatan Vermikompos
Adapun teknik pembuatannya antara lain ;
- Siapkan campuran media dan pakan jadi sebanyak 10 kg/bak serta cacing tanah
sebanyak 200 g/bak
- Masukkan media dan pakan jadi ke dalam bak produksi, lalu semprotkan air sambil
diaduk merata dengan kadar air 10-20%
- Biarkan campuran pakan dan media selama 6-12 jam sehingga menjadi dingin.
Masukkan seluruh cacing yang sudah disiapkan ke dalam media
- Semprotkan air 1-3 hari sekali agar media dan pakan selalu dalam kondisi lembab
- Dilakukan pembalikan dan pengadukan seminggu sekali
- Hentikan penyemprotan 10 hari menjelang panen dan pengadukan tetap dilakukan 2
hari sekali agar media tetap gembur
- Panen seluruh cacing dan telurnya setelah 60 hari pembudidayaan dan media siap
untuk digunakan sebagai pupuk organik (Musnamar, 2006 dalam Rahmaini, 2008).
6. Reaksi Kimia Yang Terjadi Pada Pengomposan
a. Pengomposan Secara Aerobik
Pada pengomposan secara aerobik, oksigen mutlak dibutuhkan. Mikroorganisme yang
terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan
organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan unsur lainnya
untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya (Simamora dan Salundik, 2006). Dekomposisi secara
aerobik adalah modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi bahan
organik dengan kehadiran oksigen. Dalam proses ini banyak koloni bakteri yang berperan dan
ditandai dengan perubahan temperatur (Djuarnani dkk, 2005).
Dalam sistem ini, kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan
sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan
berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi
(Sutanto, 2002 dalam Rahmaini, 2008).
Hasil dari dekomposisi bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O (air), humus,
dan energi. Proses dekomposisi bahan organik secara aerobik dapat disajikan dengan reaksi
sebagai berikut (Djuarnani dkk, 2005) :
Mikroba

Bahan Organik

CO2 + H 2 O+ Humus+ Hara+ Energi

Hasil dari proses pengomposan secara aerobik berupa bahan kering dengan kelembapan 3040%, berwarna cokelat gelap, dan remah. Selama hidupnya mikroorganisme mengambil air

dan oksigen dari udara, makanannya di peroleh dari bahan organik yang akan diubah menjadi
produk metabolisme berupa karbondioksida, air, humus, dan energi. Sebagian dari energi
yang dihasilkan digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan reproduksi, sisanya
akan dibebaskan sebagai panas (Djuarnani dkk, 2005).
b. Pengomposan Secara Anaerobik
Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur kimia
dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara). Proses ini merupakan
proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi temperatur seperti yang terjadi pada proses
pengomposan secara aerobik. Namun, pada proses anaerobik perlu tambahan panas dari luar
sebesar 30 C (Djuarnani dkk, 2005).
Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas metan (CH4), karbondioksida (CO2),
dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat, asam propionat,
asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat. Gas metan bisa dimanfaatkan sebagai bahan
bakar alternatif (biogas). Sisanya berupa lumpur yang mengandung bagian padatan dan
cairan. Bagian padatan ini yang disebut kompos. Namun, kadar airnya masih tinggi sehingga
sebelum digunakan harus dikeringkan (Simamora dan Salundik, 2006).
Sisa hasil pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak
60% dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Hasil ini biasanya terkontaminasi oleh
tanaman phytotoxin yang hadir sebagai asam, metana dan hidrogen sulfida yang bersifat
racun (Djuarnani dkk, 2005).

7. Standarisasi dan Mutu Kompos


Kandungan unsur hara di dalam kompos sangat bervariasi. Tergantung dari jenis
bahan asal yang digunakan dan cara pembuatan kompos. Ciri fisik kompos yang baik adalah
berwarna coklat kehitaman, agak lembab, gembur, dan bahan pembentuknya sudah tidak
tampak lagi. Produsen kompos yang baik akan mencantumkan besarnya kandungan unsur
hara pada kemasan. Meskipun demikian, dosis pemakaian pupuk organik tidak seketat pada
pupuk buatan karena kelebihan dosis pupuk organik tidak akan merusak tanaman (Novizan,
2005).
Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-7030-2004 dan
Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Di dalam standar ini termuat batasbatas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos, termasuk di dalamnya
batas maksimum kandungan logam berat. Untuk memastikan apakah seluruh kriteria kualitas
kompos ini terpenuhi maka diperlukan analisis laboratorium. Pemenuhan atas standar
tersebut adalah penting, terutama untuk kompos yang akan dijual ke pasaran. Standar itu
menjadi salah satu jaminan bahwa kompos yang akan dijual benar-benar merupakan kompos
yang siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan
(Isroi dan Yuliarti, 2009).\

Daftar Pustaka
Mahsur. 2001. Vermikompos (Kompos Cacing Tanah) Pupuk Organik Berkualitas Dan
Ramah Lingkungan. Mataram; Instalasi Penelitian Dan Pengkajian Teknologi
Pertanian (IPPTP) Mataram Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. (online)
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/agritek/ntbr0102.pdf.
Rahmaini, Wulan. 2008. Kandungan Co2, Nisbah C/N Dan Temperatur Pada Pengomposan
Jerami Padi Dengan Menggunakan Trichoderma Harzianum Dan Cacing Tanah.
Medan;
Univeritas
Sumatera
Utara.
(online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25149/4/Chapter%20II.pdf.
Simamora, Suhut, dan Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Jakarta; AgroMedia
Pustaka.
Djuarnani, Nan. dkk. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka; Jakarta
(online)
https://books.google.co.id/books?
id=O46HSApC94IC&pg=PR7&lpg=PR7&dq=cara+pengomposan&source=bl&ots=v
3LGpCeaeU&sig=FmAAVlFz9zzj7uOJbGvVQCTk4tI&hl=id&sa=X&ei=1rD7VPaz
CJSnuQSynoGoDw&redir_esc=y#v=onepage&q=cara%20pengomposan&f=false.
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif, Cetakan Pertama. AgroMedia Pustaka;
Jakarta.
Isroi dan N. Yuliarti. 2009. Kompos. Penerbit ANDI; Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai