INDAH ZAHRATUNNISA
09/283127/PA/12451
SKRIPSI
INDAH ZAHRATUNNISA
09/283127/PA/12451
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
FAKTORISASI-U PADA RING KOMUTATIF DENGAN ELEMEN SATUAN
YANG MEMUAT PEMBAGI NOL
Penguji
Penguji
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
INDAH ZAHRATUNNISA
iii
PRAKATA
Alhamdulillahirobilalamin syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis atas terselesaikannya skripsi ini. Sholawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan, suri teladan yang mulia,
Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan tuntunan yang sangat bijaksana pada kehidupan umat manusia umumnya dan pada penulis khususnya.
Suatu hal yang luar biasa pastinya dapat menyelesaikan tugas akhir ini,
dengan perjuangan yang tidak mudah, membutuhkan keteguhan hati, kesabaran,
dan keikhlasan sehingga tertuntaskan sudah tugas akhir ini. Naik turunnya iman
seorang hamba pun sempat menghinggapi diri penulis, sehingga tersendat-sendat
dalam penyelesaiannya. Alhamdulillah atas karunia-Nya di hati selalu menggugah
untuk maju.
Terlepas dari itu semua, tak bisa dielakkan bahwa penyusunan tugas akhir
ini tak bisa lepas dari berbagai pihak atas semangatnya, kebersamaannya, serta kesediaannya untuk berbagi dan melepas sejenak kejenuhan di hati.
Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak
yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan semangatnya kepada penulis.
1. Ayah, Ibu serta adikku tercinta, atas seluruh doa, materi, kasih sayang dan
pengalaman hidup yang luar biasa, sehingga penulis bisa banyak memetik
hikmah dari setiap garis hidup yang ditentukan dan menjalaninya dengan
penuh rasa syukur.
2. Bapak Drs. Pekik Nurwantoro, M.S.,Ph.D selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.
3. Ibu Prof.Dr.Sri Wahyuni,M.S selaku Ketua Jurusan Matematika dan Bapak
Dr. Budi Surodjo, M.S selaku Ketua Program Studi Matematika Fakultas
MIPA Universitas Gadjah Mada.
vi
vii
4. Ibu Dr. Christiana Rini Indrati, M.Si selaku dosen wali akademik penulis.
Terimakasih atas segala pengarahan dan semangat yang selalu Ibu berikan
selama penulis belajar di Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.
5. Bapak Sutopo S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis. Terima
kasih atas bimbingan, arahan, dan nasihat bapak selama ini. Seluruh bantuan
yang bapak berikan sangat berarti untuk penulis.
6. Seluruh Dosen di FMIPA UGM yang telah memberikan ilmu-ilmunya kepada
penulis.
7. Lisa, Vina, Hesti, Putri, Bintang, Happy, Etna selaku sahabat - sahabat penulis.
Terima kasih atas semua pengalaman, cerita, dan kebersamaanya selama ini.
8. Regi, Eko, Yudis, Joni, Dany, Adi, Edy selaku teman sepermainan penulis.
Terima kasih atas pertemanan dan canda tawa selama ini.
9. Made Tantrawan selaku tempat bertanya penulis dalam menyusun skripsi ini.
10. Oyik, Dyah, Ayu, Novi, Dwi, Danik, Nasa, Retno, Rina, Vero, Fatma, Desi
selaku teman kos penulis yang telah menemani hari - hari selama penulis di
Yogyakarta.
11. Teman - teman Program Studi Matematika UGM angkatan 2009, BEM KM
FMIPA UGM, HIMATIKA UGM, dan IPPSA Yogyakarta yang telah bersama
- sama penulis menuntut ilmu formal maupun informal. Semoga kita bisa
berjumpa lagi dilain waktu.
12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah secara langsung maupun tidak memberikan pelajaran hidup kepada penulis.
Banyak kesalahan pastinya dalam penulisan tugas akhir ini. Masukan, saran,
dan kritik demi kemajuan, dan kesempurnaan tulisan ini, demi kemaslahatan yang
membangun, demi kehidupan yang lebih sempurna dimasa yang akan datang sangat
diharapkan oleh penulis.
viii
Terakhir, hanya milik Allah SWT segala kesempurnaan. Terimakasih dan
mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga berguna.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HALAMAN PERNYATAAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HALAMAN PERSEMBAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HALAMAN MOTTO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
PRAKATA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR LAMBANG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
INTISARI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ABSTRACT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.1. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.2. Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.3. Maksud dan Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.4. Tinjauan Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.5. Metodologi Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.6. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
II DASAR TEORI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.1. RING KOMUTATIF DENGAN ELEMEN SATUAN, RING IDEAL UTAMA , DAN DAERAH IDEAL UTAMA. . . . . . . . . .
2.2. FAKTORISASI PADA RING KOMUTATIF . . . . . . . . . . . .
III FAKTORISASI-U . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.1. DEFINISI DAN EKSISTENSI FAKTORISASI-U . . . . . . . . .
3.2. PEMBENTUKAN FAKTORISASI-U . . . . . . . . . . . . . . .
3.3. RING PRESIMPLIFIABLE DAN HUBUNGANNYA DENGAN
BENTUK FAKTORISASI-U TANPA ELEMEN INESENSIAL .
IV PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.1. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.2. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ix
.
i
. ii
. iii
. iv
. v
. vi
. ix
. x
. xi
. xii
. 1
. 1
. 2
. 2
. 3
. 4
. 4
. 6
.
.
.
.
.
6
21
34
34
39
.
.
.
.
62
66
66
67
DAFTAR LAMBANG
xA
: x anggota A.
x
/A
: x bukan anggota A.
aR
bR
: Terdapat b anggota R.
AX
AX
Z+
R+
Q+
C
U (R)
a1
n
\
i=1
m
Y
Ai
Ri
i=1
a|b
: a membagi habis b.
ab
: a associate dengan b.
<a>
< a1 .a2 ...an > : Ideal yang dibangun oleh (a1 .a2 ...an ).
INTISARI
xi
ABSTRACT
Let R be a commutative ring with unity. The set of units of R will be donated
as U (R). If a R is a nonunit then by a factorization of a mean a = a1 .a2 ...an
where a1 , a2 , ..., an
/ U (R). Here defined an alternate method of factorization,
called a U f actorization where an element of factorization are classified into
two types of element namely essensial elements and inessensial elements. This
method is more efficient than usual factorization especially factoring idempotent
element in commutative ring with zero divisors. Otherwise it will be explained
the rules of exchange elements U f actorization consisting of two ,three or four
elements. The next will be introduced pr
esimplif iable ring where in this ring any
U f actorization do not have the essensial element and this applies also to the
finite product of ring.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
2
tukar tempat. Apakah masih terbentuk F aktorisasi U dan apa akibatnya. Untuk
itu pada skripsi ini juga dijelaskan aturan - aturan pembentukan F aktorisasi U
suatu elemen mulai dari faktorisasi yang terdiri dari dua buah elemen sampai empat
buah elemen.
Hal lain yang tak kalah penting adalah tentang bagaimana hubungan metode
F aktorisasi U ini jika dilakukan pada jenis ring yang berbeda. Misalnya pada ring pr
esimplif iable sebagai ring yang memiliki kedekatan definisi dengan
daerah integral. Oleh karena itu, pada skripsi ini juga diperkenalkan definisi ring
pr
esimplif iable dan keterkaitannya dengan metode F aktorisasi U .
3
1. Dapat mengetahui kelebihan dari metode F aktorisasiU dibanding metode
faktorisasi biasa.
2. Dapat mengetahui dan memahami definisi metode F aktorisasi U dan
memahami ketentuan - ketentuan yang berlaku didalamnya.
3. Dapat memastikan eksistensi metode F aktorisasi U pada setiap pemfaktoran suatu elemen.
4. Dapat mengetahui dan memahami konsep - konsep dasar F aktorisasi U
yang terdiri dari tiga buah elemen sampai empat buah elemen.
5. Dapat mengetahui dan memahami definisi ring pr
esimplif iable dan hubungannya dengan bentuk F aktorisasi U .
4
Pada skripsi ini juga dijelaskan tentang definsi ring pr
esimplif iable yang
dibahas oleh jurnal lain selain jurnal utama di atas. Jurnal tersebut karangan A.G.
Agargun (2005) dengan judul Some Properties of Associate and Priesimplifiable
Rings karangan Manal Ghanem (2000).
PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, maksud dan tujuan, tinjauan
pustaka, metodologi penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II
DASAR TEORI
Pada bab ini diberikan definisi, teorema, lemma, dan contoh - contoh yang menjadi
dasar pembahasan pada bab selanjutnya.
BAB III FAKTORISASI-U
Pada Bab ini diberikan definisi dan konsep - konsep dasar metode F aktorisasiU .
Diberikan pula keterkaitan bentuk F aktorisasi U dengan ring pr
esimplif iable
serta contoh - contoh terkait.
5
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini diberikan kesimpulan yang diperoleh dari materi yang dibahas pada
bab-bab sebelumnya serta saran - saran untuk penelitian lebih lanjut nantinya.
BAB II
DASAR TEORI
Pada bab ini akan dibahas tentang konsep yang mendasari pembahasan di
bab berikutnya. Konsep dasar yang dibahas pada bab ini antara lain ring komutatif
, unit, ideal,dan faktorisasi ring.
2.1. RING KOMUTATIF DENGAN ELEMEN SATUAN, RING IDEAL UTAMA , DAN DAERAH IDEAL UTAMA.
Pada subbab ini akan dijelaskan beberapa jenis ring, mulai dari ring komutatif dengan elemen satuan , ring ideal utama sampai daerah ideal utama. Dijelaskan
juga definisi - definisi terkait dengan ring - ring tersebut sebagai dasar pembahasan
subbab berikutnya. Dimulai dari definisi umum grup sebagai dasar definisi ring
sebagai berikut.
Definisi 2.1.1 Himpunan tak kosong G disebut grup jika pada G didefinisikan operasi biner () yang memenuhi :
(1) (a, b G) a b G (Sifat tertutup terhadap operasi biner).
(2) (a, b, c G)a (b c) = (a b) c (Sifat asosiatif).
(3) (e G)(a G)a e = e a = a (Eksistensi elemen netral).
(4) (a G)(b G)a b = b a = e (Eksistensi invers setiap elemen).
(Untuk selanjutnya b = a1 yang disebut sebagai invers dari a).
Jika untuk setiap elemen a, b G berlaku :
(5) a b = b a maka G disebut grup komutatif.
Selanjutnya grup G atas operasi biner () dinotasikan sebagai (G, ).
6
7
Contoh 2.1.2 Berikut beberapa contoh grup.
(i). (Z, +) merupakan grup atas operasi penjumlahan bilangan bulat biasa karena
untuk setiap a, b Z memenuhi :
(a) a + b Z (Tertutup terhadap operasi penjumlahan).
(b) a + (b + c) = (a + b) + c (Sifat asosiatif penjumlahan ).
(c) terdapat elemen netral 0 sehingga a + 0 = 0 + a = a.
(d) terdapat invers a1 = (a) sehingga a + (a) = (a) + a = 0, dan
(e) merupakan grup abelian karena a + b = b + a.
(ii). (R+ , )merupakan grup terhadap operasi perkalian bilangan real positif ()
karena untuk setiap a, b R memenuhi :
(a) a b R (Tertutup terhadap operasi perkalian).
(b) a (b c) = (a b) c (Sifat asosiatif penjumlahan).
(c) terdapat elemen netral 1 sehingga a 1 = 1 a = a.
(d) terdapat invers a1 = (1/a) sehingga a (1/a) = (1/a) a = 1, dan
(e) merupakan grup abelian karena a b = b a.
Selanjutnya akan diberikan definisi ring, ring komutatif, dan ring komutatif
dengan elemen satuan sebagai berikut.
Definisi 2.1.3 Himpunan tak kosong R dengan dua buah operasi penjumlahan (+)
dan perkalian () disebut ring jika memenuhi :
(1) (R, +) grup komutatif.
(2) (a, b, c R) (a b)c = a(b c) (Sifat asosiatif perkalian).
(3) (a, b, c R) a(a + b) = (a b) +(a c) dan (a + b)c= (a c)+(b c)
(Sifat distributif kiri dan kanan).
8
Jika pada operasi perkalian () berlaku :
(4) (a, b R) a b = b a maka R memenuhi sifat komutatif .
(5) (a R) (1R )1R a = a1R = a maka R memiliki elemen satuan (identitas).
Untuk selanjutnya, suatu ring R atas operasi penjumlahan (+) dan perkalian
() dinotasikan sebagai (R, +, ). Suatu himpunan R yang memenuhi sampai empat aksioma di atas disebut sebagai ring komutatif, dan jika himpunan R tersebut
memenuhi sampai lima aksioma di atas maka R disebut sebagai ring komutatif dengan elemen satuan.
Selanjutnya akan diberikan contoh ring komutatif sebagai berikut.
Contoh 2.1.4 Berikut contoh ring yang termasuk ring komutatif maupun tidak.
(i). Contoh 2.1.1 telah menerangkan bahwa (Z, +) grup komutatif, selain itu operasi perkalian bilangan pada Z juga memenuhi sifat asosiatif dan distributif untuk setiap elemennya. Lebih lanjut pada Z juga berlaku sifat komutatif terhadap operasi perkalian dan memiliki elemen satuan 1 Z, sehingga
(Z, +, ) merupakan ring komutaif dengan elemen satuan.
(ii). Himpunan matriks ukuran 2 2 atas bilangan bulat Z M22 (Z) bukan merupakan ring komutatif karena sifat komutatif dari operasi perkalian dua buah
matriks tidak berlaku.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenangi definisi elemen idempoten, unit,dan
teorema-teorema yang terkait lainnya.
Definisi 2.1.5 Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan. Suatu x R
disebut elemen idempoten jika x2 = x.
Contoh 2.1.6 Elemen 3 Z6 merupakan elemen idempoten karena 32 = 3 Z6 ,
lebih lanjut 3n = 3 Z6 untuk setiap n N.
9
Definisi 2.1.7 Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan 1R . Elemen r R
disebut unit jika terdapat s R sedemikian sehingga
r s = s r = 1R
Contoh 2.1.8 Pada Contoh 2.1.1 telah diterangkan bahwa (R+ , ) merupakan grup
abelian dan lebih lanjut (R+ , +, ) merupakan ring komutatif dengan elemen satuan.
Dari sini didapat juga bahwa (Q+ , +, ) merupakan ring komutatif dengan elemen
satuan. Dapat dilihat bahwa untuk setiap bilangan rasional positif a Q+ terdapat
b Q+ sedemikian sehingga a b = 1, maka setiap elemen di Q+ disebut unit.
Selain definisi dari unit, beberapa hal terkait dan berhubungan dengan materi
faktorisasi ring ini akan dijelaskan pada teorema - teorema berikut.
Teorema 2.1.9 Diberikan R ring dengan elemen satuan. U (R) disebut grup atas
operasi perkalian di R atau dapat disebut juga grup unit atas R.
Perhatikan bahwa yang dimaksud dengan U (R) grup atas operasi perkalian
di R adalah :
(i). U (R) memenuhi sifat tertutup terhadap operasi perkalian.
(ii). U (R) memiliki elemen satuan terhadap operasi perkalian.
(iii). Untuk setiap elemen U (R) memiliki invers terhadap operasi perkalian.
Bukti. Untuk membuktikan torema tersebut, akan lebih mudah jika kita memulainya dari sifat ketiga, yaitu
(iii). Diambil sebarang a U (R) dan misalkan a1 merupakan invers dari a di R.
Diperoleh bahwa
a1 a = 1R = aa1 .
Jadi, a juga merupakan invers dari a1 dan a1 U (R).
(ii). U (R) memilki 1R sebagai elemen satuan terhadap operasi perkalian.
10
(i). Diambil sebarang a, b U (R), maka terdapat invers a1 , b1 U (R) sehingga diperoleh,
(ab)(b1 a1 ) = a(bb1 )a1
= a1R a1
= aa1
= 1R
dan
(b1 a1 )(ab) = b1 (aa1 )b
= b1 1R b
= b1 b
= 1R
Dari kedua bentuk di atas, maka (b 1a 1) merupakan invers dari ba dan ab.
Dengan begitu ba, ba U (R).
Contoh 2.1.10 Berikut beberapa contoh grup unit ada suatu ring.
1. U (Z) = {1, 1} merupakan grup unit dari ring bilangan bulat Z.
2. Pada ring matriks atas bilangan real Mn (R), terdapat grup unit yaitu seluruh
matriks atas bilangan real R berukuruan n n yang invertibel.
3. Grup unit pada ring bilangan rasional Q didenotasikan dengan Q? yang berisi
semua bilangan rasional tak nol.
Selanjutnya diperlukan definisi pembagi nol untuk mendapatkan definisi
ring komutatif dengan elemen satuan yang memuat pembagi nol sebagai berikut.
Definisi 2.1.11 Suatu elemen tak nol a atas ring R disebut:
11
(i). pembagi nol kiri jika terdapat elemen tak nol b R sedemikian sehingga
a b = 0R .
(ii). pembagi nol kanan jika terdapat elemen tak nol b R sedemikian sehingga
b a = 0R .
(iii). pembagi nol jika a merupakan pembagi nol kiri dan kanan.
Contoh 2.1.12 Diberikan Z6 ring terhadap operasi penjumlahan dan perkalian pada
bilangan bulat modulo 6 dengan 0 merupakan elemen netral di Z6 dan 1 merupakan
elemen satuan di Z6 . Diperhatikan bahwa 0 6= 2 Z6 dan 0 6= 3 Z6 namun
2.3 = 0 Z6 . Artinya, 2 merupakan pembagi nol kiri dan 3 merupakan pembagi
nol kanan.
Lebih lanjut karena (Z6 , +, ) ring komutatif, maka 2, 3 Z6 merupakan
elemen pembagi nol di Z6 sehingga (Z6 , +, ) merupakan ring komutatif dengan
elemen satuan yang memuat pembagi nol.
Dari sini dapat diperoleh definisi ring komutatif dengan elemen satuan yang
tidak memuat pembagi nol sebagai berikut.
Definisi 2.1.13 Suatu ring komutatif R dengan elemen satuan 1R yang tidak memuat
pembagi nol disebut daerah integral (Integral Domain).
Contoh 2.1.14 Berikut contoh himpunan yang merupakan daerah integral maupun
tidak.
(i) Dapat dilihat bahwa ring bilangan bulat Z merupakan daerah integral karena
ring tersebut merupakan ring komutatif dengan elemen satuan dan tidak dapat
ditemukan dua buah elemen tak nol di Z yang hasil kalinya sama dengan nol.
(ii) Dapat diselidiki juga bahwa himpunan matriks berukuran 2 2 di M22 (Z)
bukan merupakan daerah integral karena M22 (Z) tidak memenuhi sifat komutatf dari operasi perkalian dua buah matriks. Selain itu dapat juga ditemukan
12
1 0
0 0
0 1
0 0
1 0
0 0
0 1
0 0
0 0
0 0
Selanjutnya diberikan salah satu sifat yang dimiliki daerah integral namun
tidak dapat ditemukan pada ring komutatif dengan elemean satuan yang memuat
pembagi nol.
Teorema 2.1.15 Diberikan R suatu ring. Jika R tidak memiliki pembagi nol maka
memenuhi hukum kanselasi, yaitu untuk setiap a, b, c R, a 6= 0 dengan ab = ac
berakibat b = c (hukum kanselasi kiri) dan ba = ca berakibat b = c (hukum
kanselasi kanan). Jika salah satu hukum kanselasi berlaku maka R tidak memiliki
pembagi nol.
Bukti. () Diketahui R ring yang tidak memuat pembagi nol. Misalkan a, b, c R
dengan ab = ac dan a 6= 0, maka berlaku
ab ac = 0 atau a(b c) = 0
Karena R daerah integral dan a 6= 0, maka diperoleh
b c = 0 atau b = c
Jadi terbukti bahwa R memenuhi hukum kanselasi kiri. Analog untuk bentuk ba =
ca dengan a 6= 0 yang menghasilkan
ba ca = 0 atau (b c)a = 0
sehingga diperoleh
b c = 0 atau b = 0.
() Diberikan suatu ring R yang memenuhi salah satu hukum kanselasi.
Misalkan R memenuhi hukum kanselasi kiri, yaitu jika a, b, c R dengan a 6= 0
maka ab = ac berakibat b = c. Misalkan ab = 0 maka ab = a0 menghasilkan b = 0
dari proses kanselasi a, dan jika ba = 0 dengan b 6= 0 maka ba = b0 menghasilkan
13
a = 0 dari proses kanselasi a. Hal ini kontradiksi dengan yang diketahui di atas
bahwa a 6= 0. Artinya yang berlaku adalah b = 0. Dengan begitu R tidak memuat
pembagi nol, yang disebut juga sebagai daerah integral.
14
Contoh 2.1.18 Diberikan ring bilangan bulat Z . Untuk suatu n Z didefinisikan
I = {nk | k Z}. Jelas bahwa I 6= karena terdapat n = 1 Z sehingga
I = {1.k | k Z} dan I R. Akan dibuktikan I merupakan ideal di R dengan
menggunakan Teorema 2.1.17.
(i). (a, b I) a b I.
Diambil sebarang a, b I maka a, b dapat dinyatakan sebagai a = n1 k dan
b = n2 k utnuk suatu n1 , n2 , k Z. Diperhatikan bahwa,
a b = n1 k n2 k
= (n1 n2 )k
= n3 k I untuk suatu n3 Z
(ii). (a I) (r R) ab dan ba I.
Diambil sebarang a I dan b Z, diperoleh
ab = n1 kr = n1 (kr) = n1 s I
dan
ba = rn1 k = n1 (rk) I
Dari (i) dan (ii) terbukti bahwa I ideal di Z.
Akibat 2.1.19 Diberikan {Ai |i I} himpunan ideal di ring R, maka
Ai juga
iI
merupakan ideal.
Bukti. Diketahui {Ai |i I} =
6 himpunan ideal di ring R. Jelas bahwa himpunan
\
\
Ai 6= karena untuk setiap Ai berlaku 0 Ai . Akan dibuktikan
Ai ideal
iI
iI
\
menggunakan teorema (2.1.17). Diambil sebarang a, b
Ai , maka a, b Ai
iI
iI
15
Selanjutnya diberikan definisi ideal yang dibangun oleh suatu elemen sebagai berikut.
Definisi 2.1.20 Diberikan X subset ring R. Diberikan {Ai |i I} himpunan ideal
\
yang memuat X. Maka Ai disebut ideal yang dibangun oleh X yang dinotasikan
iI
Selanjutnya akan dijelaskan dua buah jenis ideal, yaitu ideal prima dan ideal
maksimal serta teorema - teorema terkait sebagai berikut.
16
Definisi 2.1.23 Suatu ideal P atas ring R disebut prima jika P 6= R dan untuk
setiap ideal A, B R berlaku
AB P A P atau B P
Definisi di atas dapat dijelaskan dengan lebih mudah sebagai definisi ideal
prima oleh teorema berikut.
Teorema 2.1.24 Diberikan R ring komutatif. Suatu ideal P di R merupakan ideal
prima jika dan hanya jika untuk semua a, b R berlaku
ab P a P atau b P
Contoh 2.1.25 Berikut contoh ideal yang memenuhi definisi ideal prima maupun
tidak.
(i). Pada ring atas bilangan bulat Z dapat dilihat bahwa P = {3k|k Z} merupakan ideal prima, karena untuk setiap a, b P berlaku ab habis dibagi 3.
Perhatikan bahwa 3 merupakan bilangan prima di Z maka a habis dibagi 3
atau b habis dibagi 3, dengan kata lain a atau b merupakan bilangan kelipatan
3, sehingga a P atau b P .
(ii). Tetap pada ring bilangan bulat Z, J = {6k|k Z} bukan merupakan ideal
prima karena terdapat 3.2 = 6 J namun 3
/ J dan 2
/ J.
Selanjutnya akan diberikan salah satu sifat dari ideal prima pada teorema
berikut. Namun sebelumnya akan diberikan definisi elemen pembagi habis dan
elemen prima sebagai berikut.
Definisi 2.1.26 Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan.
(i). Suatu elemen tak nol a R disebut membagi habis b R (notasi : a|b ) jika
terdapat x R sedemikian sehingga ax = b.
(ii). Suatu elemen p disebut prima jika p tak nol dan bukan unit dan jika p|ab,
dengan a, b R maka p|a atau p|b.
17
(iii). Dua buah elemen a, b R disebut relatively prime jika hanya elemen unit
yang merupakan faktor persekutuan dari a, b.
Contoh 2.1.27 Berikut contoh elemen - elemen di atas.
(i) Pada ring bilangan bulat Z elemen 20 dapat dituliskan dengan 20 = 2.2.5 =
2(2.5) = 2.10. oleh karena itu 2 dan 10 disebut membagi habis 20. Lebih
lanjut, 20 = (2.2)5 = 4.5 sehingga 4 dan 5 dapat disebut membagi habis 20.
(ii) Dari Contoh (i) di atas dapat dilihat bahwa 2|20 = 2|4.5 dan walaupun 2 - 5,
2 merupakan elemen prima sebab 2|4.
(iii) Masih pada ring bilangan bulat Z, elemen 2 dan 3 disebut sebagai relatively
prime sebab hanya elemen unit 1 Z yang membagi habis 2 dan 3.
Selain itu ,diberikan juga definsi faktor pesekutuan terbesar (F P B) yang
akan digunakan pada beberapa pembuktian teorema selanjutnya.
Definisi 2.1.28 Diberikan R ring komutatif dan a1 , a2 , ..., an elemen di R dengan
tidak semua ai = 0. Suatu elemen d R disebut faktor persekutuan (common
divisor) dari a1 , a2 , ..., an jika d|ai untuk semua i = 1, 2, ..., n. Suatu elemen
d R disebut faktor persekutuan terbesar (FPB) (greatest common divisors) dari
a1 , a2 , ..., an jika:
(i). d merupakan persekutuan terbesar dari a1 , a2 , ..., an , dan
(ii). Jika c R faktor persekutuan dari a1 , a2 , ..., an maka c|d.
Contoh 2.1.29 Pada ring himpunan bilangan bulat Z elemen 75 dan 60 dapat dinyatakan sebagai 75 = 3.5.5 = 15.5 dan 60 = 2.2.3.5 = 4.15. Dapat dilihat bahwa
3|75 dan 3|60, sehingga 15 disebut faktor persekutuan dari 75 dan 60. Lebih lanjut,
dapat ditemukan 5 yang juga berlaku 3|75 dan 3|60. Selain itu 3|15 karena terdapat
5 R sehingga 3.5 = 15. Dari sini 15 merupakan FPB dari 75 dan 60.
18
Selanjutnya diberikan teorema yang menyatakan bahwa pasangan elemen di
ring ideal utama memiliki faktor persekutuan terbesar.
Teorema 2.1.30 Diberikan R ring ideal utama dan a, b R yang tidak keduaduanya sama dengan nol. Berlaku bahwa d merupakan FPB dari a dan b. Untuk
setiap d FOB dari a dan b terdapat s, t R sedemikian sehingga d = sa + tb.
Bukti. Diberikan R ring ideal utama, didefinisikan < a, b >= {ra+sb | r, s R}.
Karena R ring ideal utama, maka berlaku < a, b >=< d > untuk suatu d R. Dari
sini a dan b dapat dinyatakan sebagai a = ud dan b = vd untuk suatu u, v R,
artinya d merupakan faktor persekutuan dari a dan b. Diperhatikan bahwa karena
d < a, b >, maka terdapat s, t R sehingga d = sa + tb. Misalkan c merupakan
faktor persekutuan dari a dan b, maka terdapat u0 , v 0 R sehingga a = u0 c dan
b = v 0 c. Dari sini diperoleh
d = sa + tb = su0 c + tv 0 c = (su0 + tv 0 )c
sehingga c|d, dan dengan begitu d merupakan FPB dari a dan b. Selanjutnya diambil
sebarang d0 FPB dari a dan b, maka berlaku d|d0 dan d0 |d atau dengan kata lain
< d0 >=< d >=< a, b >. Artinya terdapat s0 , t0 R dengan d0 = s0 a + t0 b.
Dari defnisi ideal prima dan elemen prima yang telah dijelaskan, selanjutnya
akan diberikan hubungan antara keduanya sebagai berikut.
19
Teorema 2.1.32 Diberikan D Daerah Ideal Utama dan P ideal tak nol di R. P
ideal prima jika dan hanya jika P dibangun oleh elemen prima.
Bukti. () Diberikan D daerah ideal utama. Misalkan P =< p > ideal prima tak
kosong di R. Jelas bahwa p 6= 0, dan karena P 6= D maka p bukan unit. Selanjutnya
akan dibuktikan bahwa p elemen prima. Diambil sebarang a, b D dengan p|ab
maka dapat dituliskan ab = pc untuk suatu c D, artinya ab P . Perhatikan
bahwa P ideal prima, maka berlaku a P atau b P atau dengan kata lain p|a
atau p|b, sehingga terbukti bahwa p merupakan elemen prima.
() Misalkan P =< p > ideal tak kosong dengan p elemen prima. Jelas bahwa
p bukan unit, sehingga P 6= D. Selanjutnya diambil sebarang a, b D dengan
ab P , maka p|ab dan berlaku p|a atau p|b dikarenakan p elemen prima. Dari sini
didapat bahwa a P atau b P sehingga P memenuhi definisi ideal prima.
Selanjutnya jenis ideal yang kedua adalah ideal maksimal yang akan didefinisikan sebagai berikut.
Definisi 2.1.33 Diberikan ring R dan M ideal di R. M disebut ideal maksimal di
R jika M 6= R dan tidak ada ideal I di R sedemikian sehingga M I R
Contoh 2.1.34 Contoh ideal maksimal yang sederhana dapat dilihat pada ring bilangan bulat Z, yaitu ideal utama yang dibangun oleh elemen 2 Z, < 2 > merupakan ideal maksimal di Z karena kita tidak dapat membuat ideal yang lebih besar
dari < 2 > namun tidak sama dengan Z, sedangkan kita masih bisa menemukan
ideal yang lebih kecil seperti < 6 >, < 9 >.
Kedua jenis ideal ini memiliki hubungan antara satu sama lain sebagaimana
akan dijelaskan pada teorema - teorema berikut.
Teorema 2.1.35 Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan. Setiap ideal
maksimal di R merupakan ideal prima di R.
Bukti. Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan. Diketahui I ideal maksimal di R, misalkan a, b dua elemen di R dengan ab I dan a
/ I . Selanjutnya
20
didefinisikan
< I, a >= {u + ra | u I, r R}
sebagai ideal yang dibangun oleh I {a}. Jelas bahwa I < I, a >, karena a I.
Telah diketahui bahwa I ideal maksimal, maka < I, a >= R, sehingga terdapat
u I dan r R sehingga 1 = u + ra dengab begitu berlaku b1 = (u + ra)b =
ub + rab I. Oleh karena itu terbukti bahwa I ideal prima.
21
ideal I di D dengan P I. Jelas bahwa P 6= I dan untuk setiap x I terdapat
elemen a I dengan a
/ P . Dari sini diperoleh bahwa a, p merupakan relatively
prime dan dengan Teorema 2.1.31 maka terdapat s, t D sedemikian sehingga
1 = sa + tp. Karena sa I dan tp P I maka 1 I, dengan begitu I = D.
Jadi, terbukti bahwa P ideal maksimal di daerah ideal utama D.
() Pada Teorema 2.1.35 sebelumnya telah dibuktikan untuk sebarang R
ring komutatif dengan elemen satuan berlaku bahwa setiap ideal maksimal di R
merupakan ideal prima. Hal ini juga berlaku pada daerah ideal utama D karena
daerah ideal utama dibentuk dari daerah integral D yang merupakan salah satu jenis
ring komutatif dengan elemen satuan.
22
Elemen prima yang telah didefinisikan pada subbab sebelumnya memiliki
keterkaitan terutama pada elemen iredusibel. Berikut diberikan hubungan kedua
elemen tersebut pada jenis ring yang berbeda-beda.
Teorema 2.2.3 Untuk setiap elemen prima di daerah integral D merupakan iredusibel.
Bukti. Diketahui p elemen prima di daerah integral D. Misalkan p = bc untuk
suatu b, c R. Akan dibuktikan b unit atau c unit di D. Diperhatikan bahwa untuk
p = bc berakibat p|bc. Telah diketahui bahwa p elemen prima, maka berlaku p|b
atau p|c. Terdapat dua kemungkinan, yaitu :
(i). Jika p|b maka terdapat q D sehingga b = pq. Dari sini diperoleh
p = bc = pqc
atau
p(1 qc) = 0.
Karena D daerah integral dan p 6= 0, maka p(1 qc) = 0 mengakibatkan
(1 qc) = 0 qc = 1
Dengan kata lain c merupakan unit di D.
(ii). Jika p|c maka terdapat r D sehingga c = pr. Dari sini diperoleh bahwa
p = bc = bpr = pbr
atau
p(1 br) = 0.
Karena D daerah integral dan p 6= 0, maka p(1 br) = 0 mengakibatkan
(1 br) = 0 br = 1
Dengan kata lain b merupakan unit di D.
23
Terbukti bahwa p elemen iredusibel.
Teorema di atas tidak berlaku sebaliknya. Hal ini dapat dilihat pada contoh
berikut
3 = (a + bi 5)(c + di 5) Z[i 5]
dan dengan b = 0 dan d = 0 maka berlaku
3 = 3 = (a bi 5)(c di 5)
sehingga
9 = (a2 + 5b2 )(c2 + 5d2 )
Karena a, b, c, d Z, maka salah satu bentuk dibawah ini pasti terjadi, yaitu
(a2 + 5b2 ) = 3 dan (c2 + 5d2 ) = 3
(2.1)
(2.2)
(2.3)
atau
atau
Pada ketiga bentuk di atas, jelas tidak ada a, b, c, d Z yang memenuhi bentuk
merupakan unit. Begitu juga pada bentuk (2.3) yang menghasilkan (c + di 5).
24
3a = 1. Artinya tidak ada a Z yang memenuhi persamaan tersebut. Begitu juga
Akibat 2.2.6 Diberikan D daerah ideal utama dan p D. p elemen iredusibel jika
dan hanya jika p elemen prima.
Apabila R diperluas menjadi ring komutatif dengan elemen satuan yang
memuat pembagi nol, maka terdapat definisi lain untuk elemen iredusibel seperti
yang akan sebagai berikut.
25
Definisi 2.2.7 Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan yang memuat pembagi nol.
(i). Dua buah elemen a, b R disebut associate jika a|b dan b|a dan dinotasikan
sebagai a b.
(ii). Suatu elemen bukan unit di a R disebut iredusibel jika untuk a = bc
berakibat a b atau a c.
Selanjutnya terdapat beberapa sifat untuk elemen terkait definisi di atas sebagai berikut.
Teorema 2.2.8 Diberikan a, b R ring komutatif dengan elemen satuan.
(i). a|b jika dan hanya jika < b >< a >.
(ii) a dan b associate jika dan hanya jika < a >=< b >.
(ii). a b merupakan relasi ekuvalensi di R.
Bukti.
(i). () Diketahui a|b untuk suatu a, b R, artinya terdapat x R sehingga
ax = b. Diambil sebarang p < b >, maka p dapat dinyatakan sebagai
p = by, sehingga diperoleh
p = by = axy = aq
untuk suatu q R. Artinya p < a >, dengan kata lain < b >< a >.
() Diketahui < b >< a > maka b dapat dinyatakan sebagai b = b.1 <
b >< a >, sehingga b < a >. Artinya b dapat nyatakan pula sebagai
b = ar unutk suatu r R, dengan kata lain a|b.
(ii) () Diketahui a b maka a|b dan b|a, artinya terdapat r, s R sedemikian
sehingga a = rb dan b = sa. Selanjutnya diambil sebarang x < a >
maka dapat dinyatakan sebagai x = pa untuk suatu p R sehingga diperoleh
26
x = pa = p(rb) = (pr)b untuk suatu pr R dengan kata lain x < b >.
Sebaliknya juga untuk sebarang x < b > dapat dinyatakan sebagai x = qb
untuk suatu q R sehingga diperoleh x = qb = q(sa) = (qs)a untuk suatu
qs R,artinya x < b > dan berlaku < a >=< b >.
() Diketahui < a >=< b > artinya a = bx dan b = ay untuk suatu
x, y R sehingga memenuhi definisi a|b dan b|a atau a b.
(iii). a b memenuhi sifat relasi ekuivalensi yaitu,
(a). Simetris, karena untuk setiap a R jelas berlaku a = 1R .a yang artinya
a a.
(b). Refleksif, karena untuk setiap a, b R dengan a b artinya a = bx
dan b = ay untuk suatu x, y R, dengan kata lain a, b R memenuhi
sifat b a
(c). Transitif, karena untuk setiap a, b, c R dengan a b dan b c dapat
dinyatakan sebagai a = bx, b = ay, b = cp, dan c = bq untuk suatu
x, y, p, q R sehingga diperoleh bentuk
a = bx = (cp)x = c(px)
dan
c = bq = (ay)q = a(yq)
yang memenuhi definisi a c.
Selanjutnya akan dijelaskan konsep faktorisasi yang terjadi pada ring komutatif dengan elemen satuan yang memuat pembagi nol. Berikut diberikan teoremateorema yang berhubungan dengan hal tersebut.
Definisi 2.2.9 Suatu elemen tak nol a dan bukan unit atas daerah integral D disebut
memiliki faktorisasi jika dapat dinyatakan sebagai :
a = p1 .p2 ...pn
27
dengan p1 , p2 , ..., pn merupakan elemen irredusibel di D dan p1 .p2 ...pn disebut sebagai bentuk faktorisasi dari a.
Contoh 2.2.10 Pada Z, 12 memiliki faktorisasi diantaranya 12 = 3.4 = 2.6. Diperhatikan bahwa (1.12) atau (1. 12) bukan merupakan faktorisasi dari 12 karena
1 dan 1 merupakan unit di Z.
Suatu daerah integral D dikatakan daerah faktorisasi (Factorization Domain) jika untuk setiap elemen tak nol dan bukan unit di D memilki faktorisasi.
Selanjutnya, jika dilihat dari jenis elemennya, suatu elemen a D selalu dapat
dibagi oleh elemen yang ber-associate dengan a serta dapat dibagi dengan unit di
D. Elemen - elemen yang ber-associate dengan a dan elemen unit di D ini yang
disebut dengan faktor trivial dari a. Sedangkan elemen lainnya disebut faktor nontrivial dari s.Contohnya pada ring himpunan bilangan bulat Z, 6 Z memiliki
faktor nontrivial 2, 2, 3, 3.
Sebelum diberikan definisi daerah faktorisasi tunggal, terlebih dahulu diberikan terkait dengan daerah faktorisasi sebagai berikut.
Definisi 2.2.11 Suatu daerah integral D memenuhi kondisi rantai naik atas ideal
utama (Ascending Chain Condition for Principal Ideal(ACCP)) jika untuk setiap
himpunan ideal utama < a1 >, < a2 >, < a3 > ... dengan
< a1 >< a2 >< a3 > ...,
terdapat bilangan bulat positif n sedemikian sehingga < an >=< at > untuk
semua t n.
Definisi di atas menjelaskan bahwa suatu ring komutatif memenuhi ACCP
jika untuk setiap ideal utama < a1 >< a2 >< a3 > ... terbatas, artinya
terdapat ideal utama maksimal pada ring tersebut.
Teorema 2.2.12 Diberikan R ring komutatif dengan elemen satuan. Untuk setiap
ideal sejati I R, I termuat di dalam suatu ideal maksimal di R.
28
Pembuktikan teorema ini akan lebih mudah menggunakan Zorns Lemma
sebagai berikut:
Lemma 2.2.13 (Zorns Lemma)
JL
29
(iii). Diperhatikan bahwa I J ML untuk setiap J L, maka jelas bahwa ML
memuat I.
Dari (i), (ii), (iii) terbukti bahwa P memenuhi Zorns Lemma, artinya utnuk setiap
ideal sejati I R dapat ditemukan ML maksimal ideal (sejati) di R yang memuat
I.
Lemma 2.2.14 Untuk setiap D Daerah ideal utama memenuhi ACCP.
Bukti. Diberikan < a1 >< a2 >< a3 > ... merupakan rantai ideal utama di
S
D. Jelas bahwa I = iN < ai > ideal di D. Karena D merupakan daerah ideal
utama maka terdapat elemen a D dengan I =< a >. Dari sini diperoleh bahwa
a < an > untuk suatu bilangan bulat positif n, sehingga berlaku bahwa
I < an > I
dengan kata lain berlaku I =< an >. Diperhatikan bahwa untuk t n berlaku
< at > I =< an >< at >, sehingga < an >=< at > untuk t n. Terbukti
bahwa Daerah ideal utama memenuhi ACCP .
Teorema 2.2.15 Suatu daerah integral yang memenuhi ACCP merupakan daerah
faktorisasi.
Bukti. Andaikan D bukan merupakan daerah faktorisasi, artinya terdapat a D
elemen tak nol dan bukan unit di D yang tidak memenuhi definisi faktorisasi. Karena a tidak memenuhi definisi faktorisasi, maka a bukan elemen iredusibel dan jika
a = a1 b1 dengan a1 , b1 faktor nontrivial dari a berakibat bahwa salah satu dari a1
atau b1 tidak memenuhi definisi faktorisasi juga. Misalkan a1 yang tidak memenuhi
definisi faktorisasi, maka a dan a1 tidak associate, sehingga diperoleh
< a >< a1 > .
Selanjutnya jika a1 tidak memenuhi definisi faktorisasi, maka a1 dapat dinyatakan
sebagai a1 = a2 b2 dengan a2 , b2 faktor nontrivial dari a2 . Sekali lagi diperoleh
30
bahwa salah satu dari a2 atau b2 tidak memenuhi definisi faktorisasi. Dengan begitu
a2 dan a1 tidak associate, sehingga terbentuk
< a >< a1 >< a2 > .
Begitu seterusnya hingga terbentuk rantai berhingga ideal utama di D, dengan kata
lain D merupakan daerah faktorisasi. Hal ini kontradiksi dengan hipotesa awal,
sehingga yang benar adalah daerah integral D merupakan daerah faktorisasi.
31
Teorema 2.2.18 Pada Daerah Faktorisasi Tunggal, setiap elemen iredusibel merupakan elemen prima.
Bukti. Diberikan daerah integral D yang merupakan daerah faktorisasi tunggal.
Misalkan diketahui p elemen iredusibel di D dan p|ab D dengan a, b D. Akan
dibuktikan jika p|ab berlaku p|a atau p|b. Diasumsikan a, b D elemen tak nol dan
bukan unit di D, maka terdapat c D sehingga ab = pc. Misalkan d = pc = ab.
Karena a, b bukan unit, maka d bukan unit. Jika c unit dan d iredusibel, maka salah
satu dari a, b merupakan unit. Hal ini kontradiksi dengan asumsi di atas bahwa
a, b bukan unit sehingga pernyataan yang benar adalah c bukan unit. Diperhatikan
bahwa daerah intgral D yang merupakan daerah faktorisasi tunggal mengakibatkan
terdapat c, a, b D yang memiliki faktorisasi c = c1 c2 ...cn , a = a1 a2 ...am , dan
b = b1 b2 ...br dimana semua ci , bi , ai elemen iredusibel. Dari sini diperoleh bahwa
bentuk d = pc = ab menjadi
d = pc1 c2 ...cn = a1 a2 ...am b1 b2 ...br
Hal ini menyatakan bahwa d memiliki dua buah bentuk faktorisasi. Selanjutnya,
karena D merupakan daerah faktorisasi tunggal maka p pasti associate dengan salah
satu elemen
a1 , a2 , ..., am , b1 , b2 , ..., br .
Dari sini diperoleh bahwa jika p associate dengan salah satu a1 , a2 , ..., am maka
berlaku p|a, sedangkan jika p associate dengan salah satu b1 , b2 , ...br maka berlaku
p|b. Terbukti bahwa p elemen prima.
32
torisasi dari a dengan pi , qi elemen iredusibel. Diperhatikan bahwa p1 .p2 ...pn =
q1 (q2 .q3 ...qm ) berakibat q1 |(p1 .p2 ...pn ), dan karena q1 elemen iredusibel maka q1
elemen prima. Artinya, untuk q1 |(p1 .p2 ...pn ) berlaku paling tidak salah satu dari
p1 , p2 , ..., pn habis dibagi oleh q1 . Misalkan q1 |p1 , karena p1 , q1 elemen iredusibel,
maka terdapat unit u1 sehingga p1 = u1 q1 . Dari sini diperoleh
u1 q1 p2 ...pn = q1 q2 ...qm
dan dengan proses kanselasi elemen q1 diperoleh
u1 p2 ...pn = q2 ...qm = q2 (q3 ...qm ).
Terlihat bahwa q2 |(u1 p2 ...pn ), dan karena q2 elemen prima maka q2 tidak membagi
habis u1 , sehingga jelas q2 membagi habis salah satu dari p2 , p3 , ..., pm . Misalkan
q2 |p2 , maka terdapat unit u2 sehingga p2 = u2 q2 dan terbentuk
u1 u2 q2 p3 ...pn = q2 a3 ...qm
Selanjutnya proese kanselasi elemen q2 diperoleh
u1 u2 p3 ...pn = q3 ...qm
Analog dilakukan pada elemen q3 , q4 , ..., qm .
Diperhatikan tiga keadaan berikut:
(i). Jika n > m maka terbentuk
u1 u2 ...um pm+1 ...pn = 1
Hal ini berakibat bahwa pm+1 ...pn merupakan unit. Kontradiksi dengan keterangan bahwa pi elemen iredusibel.
(ii). Jika n < m maka berlaku bahwa
u1 u2 ...un = qn+1 qn+2 ...qm
Hal ini berakibat bahwa qn+1 , qn+2 , ..., qm membagi habis unit. Hal ini juga
kontradiksi dengan pernyataan bahwa qi elemen prima.
33
(iii). Jika n = m maka berlaku relasi associate pada elemen pi , qi untuk i =
1, 2, ..., n.
Dari pernyataan (iii) inilah maka D memenuhi definisi definisi daerah faktorisasi
tunggal.
Selain itu dapat ditemukan juga hubungan antara daerah ideal utama dengan
daerah faktorisasi tunggal berikut.
Teorema 2.2.20 Untuk setiap daerah ideal utama merupakan daerah faktorisasi
tunggal.
Bukti. Telah dibuktikan pada Lemma 2.2.14 bahwa setiap daerah ideal utama
memenuhi sifat ACCP , dan dari Teorema 2.2.15 telah dijelaskan juga bahwa setiap daerah ideal utama merupakan daerah faktorisasi. Selanjutnya Teorema 2.2.5
telah menyatakan bahwa setiap elemen iredusibel di daerah ideal utama merupakan
elemen prima, dan dengan bukti Teorema 2.2.19 di atas terbukti bahwa untuk setiap
elemen iredusibel di daerah faktorisasi merupakan elemen prima sehingga daerah
faktorisasi merupakan daerah faktorisasi tunggal.
BAB III
FAKTORISASI-U
Pada bab ini akan dijelaskan tentang definisi F aktorisasi U sebagai sebuah metode baru dalam hal pemfaktoran suatu elemen. Ring yang digunakan pada
metode ini merupakan komutatif dengan elemen satuan yang memuat pembagi nol.
Dijelaskan juga keunggulan dari metode ini dibanding faktorisasi yang biasa digunakan hingga aturan - aturan dalam pembentukan F aktorisasi U tersebut.
35
(2) bj < b1 .b2 ...bj ...bm >6=< b1 .b2 ...bj ...bm > untuk 1 i m
Elemen bj didenotasikan sebagai elemen yang dipindahkan
Pada definisi di atas, elemen ai disebut sebagai elemen inesensial dan bj
sebagai elemen esensial.
Selanjutnya untuk a R didefinisikan himpunan sebagai berikut.
U (a) = {r R| s R dengan rsa = a}
= {r R|r < a >=< a >}
sehingga untuk (a1 .a2 ...an ) R berlaku
U (a1 .a2 ...an ) = {r R| s R dengan rs(a1 .a2 ...a3 ) = (a1 .a2 ...an )}
= {r R|r < a1 .a2 ...an >=< a1 .a2 ...an >}
dan dengan definisi tersebut, maka Definisi (3.1.1) dapat dituliskan juga sebagai
berikut:
Diberikan elemen bukan unit r R, jika r = a1 .a2 ...an .b1 .b2 ...bm dengan ai , bj
bukan unit di R, maka r = a1 .a2 ...an db1 .b2 ...bm e adalah F aktorisasi U jika :
(1). ai U < b1 .b2 ...bm > untuk 1 i n, dan
(2). bj
/ U < b1 .b2 ...bj ...bm > untuk 1 i m.
Selain itu dijelaskan juga beberapa ketentuan-ketentuan yang berlaku pada
bentuk F aktorisasi U sebagai berikut :
(1). Panjang sebuah F aktorisasiU ditentukan oleh banyaknya elemen esensial,
misalnya pada R = Z6 Z8 , r = (0, 3) dapat dibentuk F aktorisasi U
yaitu r = (2, 1)d(4, 3)(3, 1)e dengan panjang dua.
(2). Pada F aktorisasi U sebuah elemen, diperbolehkan tidak memiliki elemen
inesensial, sehingga bentuk F aktorisasi U menjadi r = db1 .b2 ...bm e.
36
Dari Definisi (3.1.1) di atas, kini 3 Z6 dapat difaktorkan menjadi 3 =
3n d3e dengan panjang satu. Dengan panjang elemen esensial satu ini akan lebih
efisien dan mudah dalam menerapkan sifat-sifat keberhinggaan ring Z6 dibanding
faktorisasi biasa yang memiliki elemen relatif panjang.
Selain itu, dari definisi F aktorisasi U di atas dapat dihasilkan informasi
tambahan dibanding bentuk faktorisasi biasa, dimana dengan mengelompokkan elemen menjadi dua jenis, yaitu elemen esensial dan elemen inesensial, dapat diketahui bahwa ideal yang dibangun oleh hasil kali seluruh elemen esensial akan sama
dengan ideal yang dibangun oleh elemen yang difaktorisasikan tersebut.
Definisi 3.1.2 Diberikan r = a.b1 .b2 ...bn dengan r, a, b1 , b2 , ..., bn R elemen tak
nol dan bukan unit. Untuk suatu bentuk F aktorisasiU r = a1 .a2 ...an db1 .b2 ...bn e
berlaku < r >=< b1 .b2 ...bn >.
Contoh 3.1.3 Pada Z6 Z8 , elemen (0, 3) dapat dibentuk menjadi F aktorisasiU
(0, 3) = (4, 3)d(2, 1)(3, 1)e. Dapat dilihat bahwa
< (0, 3) > = {(0, 3)(a, b) | (a, b) Z6 Z8 }
= {(0, 3b) | b Z8 }
= {(0, 0), (0, 3), (0, 6), (0, 1), (0, 4), (0, 7), (0, 2), (0, 5)}
= {(0, 0), (0, 1), (0, 2), (0, 3), (0, 4), (0, 5), (0, 6), (0, 7)}
= {(0, 1)(a, b) | (a, b) Z6 Z8 }
= {(2, 1)(3, 1)(a, b) | (a, b) Z6 Z8 }
=< (2, 1)(3, 1) >
Setelah mengetahui definisi dan kegunaan metode F aktorisasi U ini,
selanjutnya akan diselidiki eksistensi bentuk F aktorisasi U tersebut pada setiap
faktorisasi yang telah umum digunakan.
Lemma 3.1.4 Setiap faktorisasi dari a R dapat dibentuk menjadi F aktorisasi
U.
Bukti. Diberikan a = a1 .a2 ...an adalah faktorisasi dari a. Terdapat dua kemungkinan bentuk F aktorisasi U , yaitu
37
(1). Jika untuk setiap i berlaku ai < a1 .a2 ...ai ...an >6=< a1 .a2 ...ai ...an > maka
a = da. a2 ...an e merupakan F aktorisasi U yang tidak memiliki elemen
inesensial.
(2). Jika terdapat i dengan ai < a1 .a2 ...ai ...an >=< a1 .a2 ...ai ...an > maka akan
dibuktikan terdapat bentuk F aktorisasi U yang terdiri dari elemen inesensial dan elemen ensensial. Digunakan metode induksi metematika pada
bentuk faktorisasi biasa di atas.
Untuk n = 1 berlaku a = a1 , maka terbentuk F aktorisasi U a =
da1 e.
Diasumsikan benar untuk n = k, yaitu a = a1 .a2 ...ak . Dari sini terbentuk F aktorisasi U a = a1 ...as das+1 ...ak e untuk suatu s k 1 Z.
Akan dibuktikan benar untuk n = k + 1, yaitu a = a1 .a2 ...ak+1 . Tanpa
mengurangi keumumannya, misalkan terdapat i = 1 sehingga diketahui
a1 < a2 ...ak+1 >=< a2 ...ak+1 >. Diperhatikan bahwa menurut hipotesis sebelumnya
a2 ...ak+1 = a2 ...as das+1 ...ak+1 e
maka akan dibuktikan bahwa
a = a1 .a2 ...ak+1
= a1 (a2 ...ak+1 )
= a1 (a2 ...as )das+1 ...ak+1 e
= a1 .a2 ...as das+1 ...ak+1 e
merupakan F aktorisasi U dari a. Dari hipotesis sebelumnya, telah
berlaku a = a2 ...as das+1 ...ak+1 e, sehingga untuk membuktikan
a = a1 .a2 ...as das+1 ...ak+1 e
merupakan F aktorisasi U hanya dengan membuktikan
a1 < as+1 ...ak+1 >=< as+1 ...ak+1 >
38
Dari yang diketahui di atas a1 < a2 ...ak+1 >=< a2 ...ak+1 > sehingga
diperoleh,
a1 < a2 ...ak+1 > =< a2 ...ak+1 >
= a2 ...as < as+1 ...ak+1 >
= a2 ...as1 .as < as+1 ...ak+1 >
= a2 ...as1 < as+1 ...ak+1 >
= ...
=< as+1 ...ak+1 >
dari sini < a1 .a2 ...ak+1 >=< as+1 ...ak+1 > atau dengan kata lain
berlaku a1 < as+1 ...ak+1 >=< as+1 ...ak+1 >. Jadi, terbukti bahwa untuk setiap faktorisasi a = a1 .a2 ...an dapat dibentuk suatu F aktorisasi
U yaitu a = a1 .a2 ...as das+1 ...ak+1 e.
Contoh 3.1.5 Pada Z6 Z8 , r = (0, 3) = (2, 1)(4, 3)(3, 1) dapat dibentuk menjadi
F aktorisasi U r = (2, 1)d(4, 3)(3, 1)e dan r = (4, 3)d(2, 1)(3, 1)e.
Contoh 3.1.6 Pada Z, 12 = 2.6 = 3.4 dapat dibentuk F aktorisasi U yaitu
12 = d2.6e = d3.4e.
Pada Contoh (3.1.5) di atas dapat terlihat bahwa terdapat penukaran elemen
inesensial dengan elemen esensial dari suatu F aktorisasi U sehingga terbentuk
F aktorisasi U yang baru, artinya bentuk faktorisasi ini tidak tunggal. Namun
lain halnya saat F aktorisasi U tidak memiliki elemen inesensial seperti pada
Contoh (3.1.6), bentuk F aktorisasi U yang terbentuk tersebut adalah tunggal.
Perlu diperhatikan bahwa ketunggalan yang dimaksud adalah tidak ada bentuk F aktorisasi U yang terdiri dari elemen inesensial dan elemen esensial yang
dapat dibentuk jika diketahui F aktorisasi U tersebut hanya memiliki elemen
esensial. Ketunggalan dan aturan pembentukan F aktorisasi U tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut pada subbab berikut.
39
(3.1)
(3.2)
dan
diperhatikan bahwa,
b1 < b3 .b4 ...bm >=< b1 .b3 .b4 ...bm >
dan
b2 < b3 .b4 ...bm >=< b2 b3 .b4 ...bm >
Dari (3.1) dan (3.2) diperoleh,
b1 < b2 .b3 ...bm > = b1 < b3 .b4 ...bm >
=< b1 .b3 .b4 ...bm >
=< b3 .b4 ...bm >
< b1 .b2 ...bm >= b1 < b2 .b3 ...bm >
maka b1 < b2 .b3 ...bm > b1 < b2 .b3 ...bm > (Tidak mungkin terjadi).
Analog untuk semua elemen esensial lainnya. Artinya pengandaian salah
dan harus diingkar yaitu r = b1 .b2 db3 .b4 ...bm e bukan U F aktori
40
sasi. Terbukti jika Jika r = db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U , maka F aktorisasi U
yang terbentuk adalah tunggal.
Setelah mengetahui ketunggalan bentuk F aktorisasi U yang tidak memiliki elemen inesensial. Selanjutnya akan diselidiki aturan pembentukan F aktorisasi
U yang terdiri dari elemen esensial dan elemen inesensial. Dimulai dengan lemma
yang menyatakan bahwa suatu elemen esensial maupun inesensail dapat dinyatakan
sebagai hasil perkalian elemen - elemen tersebut dan bentuk F aktorisasi U lain
yang terjadi jika hal tersebut dilakukan.
Lemma 3.2.2 Pernyataan berikut benar untuk ring komutatif dengan elemen satuan:
(1). r = a1 .a2 ...an db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U jika dan hanya jika
r = (a1 .a2 )a3 ...an db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U .
(2). jika r = adb1 .b2 ...bm e F aktorisasi U maka r = ad(b1 .b2 )b3 ...bm e
F aktorisasi U .
(3). Jika r = ad(b1 .b2 )...bm e F aktorisasi U maka salah satu pernyataan
berikut pasti berlaku :
(i). r = adb1 .b2 ...bm e F aktorisasi U .
(ii). r = a.b1 db2 .b3 ...bm e F aktorisasi U .
(iii). r = a.b2 db1 .b3 ...bm e F aktorisasi U .
Bukti.
(1). Diketahui r = a1 .a2 ...an db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U , menurut definisi, untuk 1 i n, ai < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm > . Artinya untuk i = 1, 2
berlaku,
a1 < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >
a2 < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >
41
sehingga diperoleh,
a1 < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >= a2 < b1 .b2 ...bm >
artinya,
(a1 a2 ) < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >
atau
r = (a1 a2 )db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U
Sebaliknya, jika diketahui r = (a1 a2 )db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U , maka
menurut definisi,
(a1 a2 ) < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >
perhatikan bahwa,
< b1 .b2 ...bm >= (a1 a2 ) < b1 .b2 ...bm > a1 < b1 .b2 ...bm >< b1 .b2 ...bm >
dan
< b1 .b2 ...bm >= (a1 a2 ) < b1 .b2 ...bm > a2 < b1 .b2 ...bm >< b1 .b2 ...bm >
maka,
a1 < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >
a2 < b1 .b2 ...bm >=< b1 .b2 ...bm >
artinya, r = a1 .a2 ...an db1 .b2 ...bm e F aktorisasi U
(2). Diketahui adb1 .b2 ...bm e F aktorisasi U , maka menurut definisi,
bj < b1 .b2 ...bm >6=< b1 .b2 ...bm >, untuk 1 j m
akan dibuktikan r = ad(b1 .b2 )...bm e F aktorisasi U atau
(b1 b2 ) < b3 b4 ...bm >6=< b3 b4 ...bm >
andaikan
(b1 b2 ) < b3 b4 ...bm >=< b3 b4 ...bm >
42
dari bukti (1) di atas maka diperoleh,
b1 < b3 b4 ...bm >=< b3 b4 ...bm >
(3.3)
(3.4)
perhatikan bahwa,
< b2 b3 ...bm > = {b2 b3 ...bm .r|r R}
= b2 {b3 b4 ...bm .r|r R}
= b2 < b3 b4 ...bm >
maka dari (3.3),(3.4) dan (3.5) diperoleh,
< b2 b3 ...bm > = b2 < b3 b4 ...bm >
=< b3 b4 ...bm >
= b1 < b3 b4 ...bm >
= b1 b2 < b3 b4 ...bm >
= b1 < b2 b3 ...bm >
dengan kata lain,
b1 < b2 b3 ...bm >=< b2 b3 ...bm > .
Analog unutk b2 didapat,
b2 < b1 b3 ...bm >=< b1 b3 ...bm > .
Hal ini kontaradiksi dengan yang diketahui diawal bahwa
bj < b1 .b2 ...bm >6=< b1 .b2 ...bm >, untuk 1 j m
sehingga pengandaian salah dan harus diingkar. Dengan kata lain,
(b1 b2 ) < b3 b4 ...bm >6=< b3 b4 ...bm >
atau
r = ad(b1 b1 )b3 ...bm e F aktorisasi U
(3.5)
43
(3). Diketahui bahwa r = ad(b1 .b2 ).b3 ...bm e F aktorisasiU dari r, maka menurut definisi berlaku
(b1 .b2 ) < b3 .b4 ...bm >6=< b3 .b4 ...bm > .
Akan dibuktikan bahwa salah satu bentuk F aktorisasi U dibawah ini pasti
berlaku yaitu
(i). r = adb1 .b2 ...bm e.
(ii). r = a.b1 db2 .b3 ...bm e.
(iii). r = a.b2 db1 .b3 ...bm e.
Bila dilihat dari definisi elemen esensialnya, lemma ini menerangkan
bahwa suatu elemen esensial yang dapat dinyatakan sebagai hasil kali dua
buah elemen, tidak langsung berakibat bahwa keduanya merupakan elemen
esensial, dengan kata lain salah satu elemennya bisa merupakan elemen inesensial. Diperhatikan bahwa jika salah satu bentuk di atas berlaku maka bukti selesai. Dalam hal ini jika bentuk (i) merupakan F aktorisasi U , maka
bukti selesai, sehingga diandaikan bentuk (i) tersebut bukan F aktorisasi
U , artinya berlaku
b1 < b2 .b3 ...bm >=< b2 .b3 ...bm >
(3.6)
(3.7)
atau
(3.8)
(3.9)
44
sehingga diperoleh
a < b2 .b3 ...bm > = a < b1 .b2 .b3 ...bm >
=< b1 .b2 .b3 ...bm >
(3.10)
(3.11)
(3.12)
Dengan begitu klaim terbukti, yaitu terbentuk r = a.b1 db2 .b3 ...bm e yang
merupakan F aktorisasi U . Analog untuk bentuk (3.7) yang akan menghasilkan bentuk F aktorisasi U r = a.b2 db1 .b3 ...bm e.Jadi, terbukti bahwa
satu dari tiga kemungkinan bentuk F aktorisasi U di atas pasti terjadi.
Penggunaan teorema di atas dapat dijelaskan dengan lebih sederhana pada
contoh berikut.
45
Contoh 3.2.3 Pada Z30 , 10 = 2.4.5 memiliki F aktorisasi U 10 = 2d4.5e.
diperhatikan bahwa 10 juga dapat dinyatakan sebagai 10 = 2.(2.2)5, namun 10 =
2d(2.2)5e bukan F aktorisasi U karena melanggar syarat (ii) dari definisi bentuk
F aktorisasi U , yaitu
2 < 2.5 >=< 20 > = {20.r|R Z30 }
= {0, 10, 20}
= {10.r|r Z30 }
=< 10 >
=< 2.5 > .
Namun menggunakan Lemma 3.2.2 (3.i) dan (3.iii), dapat dibuat F aktorisasi U
lain untuk 10, yaitu 10 = 2.2d2.5e = 4d2.5e.
Teorema dan contoh di atas menggambarkan bahwa F aktorisasi U yang
baru dapat dibentuk dengan menukar elemen esensial dengan elemen inesensial.
Selanjutnya akan diselidiki syarat perlu dan cukup penukaran elemen esensial dengan elemen inesensial tersebut. Diawali dengan syarat perlu dan cukup penukaran
elemen suatu F aktorisasi U yang terdiri dari dua buah elemen berikut.
Lemma 3.2.4 Diberikan 0 6= r = adbe di R. r = bdae jika dan hanya jika terdapat
elemen idempoten e R dengan < a >=< b >=< r >=< e >.
Bukti. () Diberikan r = adbe . Diketahui r = bdae, diasumsikan r = adbe =
bdae, maka dari Definisi 3.1.2 diperoleh bahwa < r >=< a >=< b > dan dengan
r = ab didapat,
< a >=< r >=< ab >=< a >< b >=< a >< a >=< a >2
Selanjutnya, karena < a >=< a >2 maka terdapat s, t R dengan as, at < a >
dan a = as.at < a >2 . Dari sini dapat dibentuk
sat = s(as.at)t = (sat)2
dengan kata lain sat elemen idempoten di R. Selanjutnya akan dibuktikan berlaku
< sat >=< a >=< r >. Untuk setiap a < a > maka dapat dituliskan sebagai
46
a = a.sat untuk suatu sat R, sehingga a < sat >, begitu juga sebaliknya,
untuk setiap sat < sat > dapat dituliskan sebagai sat = a.st untuk suatu st R
yang artinya sat < a >. Maka terbukti bahwa terdapat e = sat elemen idempoten
dengan < r >=< a >=< b >=< sat >. Dan karena r R elemen tak nol dan
bukan unit, maka sat adalah elemen idempoten tak nol.
() Diberikan 0 6= r = adbe dan < a >=< b >=< r >=< e > dengan e
elemen idempoten. Perhatikan bahwa,
b < a >=< ba >=< b >< a >=< e >< e >=< e >2 =< e >=< a >
maka berlaku,
b < a >=< a >
artinya, r = bdae F aktorisasi U
47
(1). Jika r = dabce maka F aktorisasi U yang terbentuk adalah tunggal.
(2). Diberikan r = adbce. r = bcdae jika dan hanya jika terdapat e R elemen
idempoten dengan < a >=< bc >=< r >=< e > .
Bukti.
(1). r = dabce adalah bentuk khusus dari r = db1 .b2 .b3 ...bm e yang telah dibuktikan pada 3.2.1, sehingga bentuk r = dabce juga berlaku.
(2). Lemma 3.2.2 telah menjelaskan bahwa elemen esensial dan elemen inesensial
dapat dinyatakan sebagai sebuah elemen yang didapat dari hasil kali elemen elemen esensial maupun inesensial tersebut, dan dengan menggunakan lemma 3.2.4 di atas, diambil b = bc, sehingga bukti analog dengan pembuktian
lemma 3.2.4.
Akibat 3.2.6 (2) di atas telah menerangkan aturan penukaran tiga buah elemen saat r = bcdae = adbce. Namun diperhatikan bahwa Akibat 3.2.6 di atas
tidak menjelaskan semua aturan penukaran yang mungkin terjadi, misalnya saat
r = adbce = bdace.
Contoh 3.2.7 Berikut contoh elemen yang memenuhi bentuk F aktorisasi U r =
adbce = bdace.
(1). Pada Z24 terdapat dua buah elemen yang dapat dibuat menjadi bentuk r =
adbce = bdace, yaitu
(i). 16 = 21 d22 .4e = 22 d21 .4e.
(ii). 8 = 4d2.4e = 2d4.4e.
(2). Pada Z6 Z8 juga terdapat dua buah elemen yang dapat dibuat menjadi bentuk
r = adbce = bdace, yaitu
(i). (4, 2) = (2, 1)1 d(2, 1)2 (1, 2)e = (2, 1)2 d(2, 1)1 (1, 2)e.
48
(ii). (3, 4) = (3, 1)d(3, 3)(1, 4)e = (3, 3)d(3, 1)(1, 4)e.
Terdapat dua perbedaan mendasar pada Contoh 3.2.7 (1) dan (2) di atas,
dimana pada Contoh 3.2.7 (1.ii) berlaku
< 8 > = {8r | r Z24 }
= {0, 8, 16}
= {0, 16, 8}
=< 16 >
dan 8, 16 Z24 merupakan elemen idempoten karena 162 = 16 Z24 dan 82 =
8 Z24 . Contoh ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa lemma 3.2.4 juga
merupakan syarat perlu dan cukup bentuk F aktorisasiU r = adbce = bdace, namun hal ini dibantah oleh Contoh 3.2.7 (2.i), karena pada contoh tersebut diperoleh
bahwa walaupun berlaku
< 4, 2 > = {(4, 2)(a, b) | (a, b) Z6 Z8 }
= {(4a, 2b) | a Z6 , b Z8 }
= {(0, 0), (4, 2), (2, 4), (0, 6), (4, 0), (2, 2), (0, 4), (4, 6)
(2, 0), (0, 2), (4, 4), (2, 6)}
= {(2, 1)(1, 2)(a, b) | (a, b) Z6 Z8 }
=< (2, 1)(1, 2) >
namun (4, 2)2 = (4, 4) 6= (4, 2) bukan merupakan elemen idempoten di Z6 Z8 .
Dari sini disimpulkan bahwa Lemma 3.2.4 bukan merupakan syarat perlu dan cukup
pembentukan F aktorisasi U r = adbce = bdace. Oleh karena itu selanjutnya
diselidiki syarat perlu dan cukup bentuk F aktorisasi U r = adbce = bdace.
Dimulai dengan syarat cukup bentuk F aktorisasi U tersebut.
Lemma 3.2.8 Jika r = adbce dan a < b > maka r = bdace atau r = bcdae.
Bukti. Diketahui r = adbce dan a < b >. Dari definisi F aktorisasi U
diperoleh bahwa < r >=< bc > dan karena a < b > maka a dapat dinyatakan
49
sebagai a = bd untuk suatu d R sehingga untuk < ac > berlaku
< ac >=< bdc >< bc > .
Diperhatikan bahwa saat < ac >=< bc > maka berlaku < r >=< bc >=< ac >,
sehingga terbentuk r = bdace. Namun saat < ac >< bc > diperoleh bahwa
< r >=< bc >< ac > b < ac >=< abc >=< r > .
dengan kata lain < r >< r >. Hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu
yang berlaku adalah
< r >=< bc >=< ac >
Diasumsikan bahwa r = abc dan < r >6=< c >, maka terdapat dua kemungkinan,
yaitu
i. Jika < r >6=< a > maka terbentuk r = bdace.
ii. Jika < r >=< a > maka terbentuk r = bcdae.
Lemma 3.2.8 di atas memberikan aturan sederhana dalam membentuk F akto
risasi U r = bdace atau r = bcdae, namun contoh berikut akan menjelaskan bahwa saat r = adbce dan b < a > tidak selalu berakibat r = bdace.
Contoh 3.2.9 Pada Z36 , 18 dapat dibuat F aktorisasiU yaitu 18 = 3d9.2e dengan
9 < 3 >, namun dapat dilihat bahwa 18 = 9d3.2e = 9d6e bukan merupakan
F aktorisasi U dari 18 karena
9 < 6 > =< 18 >
= {18r | r Z36 }
= {0, 18}
6= {0, 6, 12, 18, 24, 30}
= {6r | r Z36 }
=< 6 >
Hal ini melanggar definisi elemen inesensial dari bentuk F aktorisasi U .
50
Lemma 3.2.8 memberikan kondisi ketika r = adbce untuk dapat menghasilkan r = bdace. Selanjutnya diberikan syarat perlu untuk kondisi r = adbce =
bdace.
Lemma 3.2.10 Jika r = adbce = bdace maka terdapat ideal tak kosong I R
dengan a, b I.
Bukti. Diketahui r = adbce = bdace. Didefinisikan himpunan bagian < a, b >
sebagai berikut,
< a, b >= {ax + by | x, y R}
Dapat terlihat bahwa a, b < a, b > karena a, b dapat dinyatakan sebagai
a = a.1R + b.0R < a, b > dan b = a.0R + b.1R < a, b > .
Akan dibuktikan < a, b >= I ( R. Dengan menggunakan syarat perlu dan cukup
suatu ideal, akan dibuktikan terlebih dahulu bahwa < a, b > ideal.
(i). ( p, q < a, b >) p q < a, b > .
Diambil sebarang p, q < a, b > maka p = ax + by dan q = as + bt untuk
x, y, s, t R. Perhatikan bahwa,
p q = (ax + by) (as + bt)
= (ax as) + (by bt)
= a(x s) + b(y t)
= am + bn untuk suatu m, n R
(ii). (r R)pr, rp < a, b > . Diambil sebarang r R, p < a, b > maka
p = ax + by untuk x, y R. Diperoleh,
pr = (ax + by)r
= (axr + byr)
= a(xr) + b(yr)
= am + bn untuk suatu m, n R
51
dan
rp = r(ax + by)
= (rax + rby)
= a(rx) + b(ry)
= am + bn untuk suatu m, n R
Dengan begitu pr, rp < a, b >. Dari (i) dan (ii) maka < a, b > Ideal.
Selanjutnya akan ditunjukkan < a, b >= I ( R. Andaikan < a, b >= R, karena R
Ring dengan elemen satuan, maka terdapat s, t R dengan as + bt = 1, dan untuk
suatu c R diperoleh c(as + bt) = c.1 atau acs + bct = c. Telah diketahui di atas
bahwa r = adbce = bdace berlaku < r >=< bc >=< ac >, sehingga rm = ac
dan rn = bc untuk suatu m, n R. Dari sini diperoleh,
c = (ac)s + (bc)t = (rm)s + (rn)t = r(ms + nt)
dan berakibat r|c. Telah diketahui bahwa r = abc = (ab)c, dengan begitu berlaku
bahwa c|r, sehingga bersama - sama dengan r|c berakibat r c atau < r >=< c >.
Hal ini bertentangan dengan bentuk F aktorisasiU r = adbce = bdace yang tidak
pernah menghasilkan bentuk < r >=< c >, sehingga pengandaian salah. Artinya
< a, b >= I R. Jadi, terbukti bahwa jika r = adbce = bdace maka terdapat ideal
< a, b >= I R.
52
merupakan ideal utama < x > dengan x R. Dari sini terdapat d R dengan
I =< a, b >=< d >. Pada dasar teori telah dijelaskan bahwa untuk sebarang
ideal utama bertingkat I1 I2 I3 ...di R ring ideal utama panjangnya pasti
terbatas, artinya untuk setiap ideal di R pasti terdapat ideal maksimal. Misalkan
< d > M 6= R dengan M ideal maksimal di R, karena R ring ideal utama, maka
M =< m > untuk suatu m R. Lebih lanjut karena M ideal maksimal di R
maka m merupakan elemen iredusibel. Dari sini diperoleh a, b < m > sehingga
terdapat x, y R dengan mx = a dan my = b. Dengan kata lain m|a dan m|b atau
a, b disebut juga sebagai elemen yang dibagi habis oleh elemen iredusibel m.
53
dengan kata lain (sbt) elemen idempoten di R. Selanjutnya akan dibuktikan berlaku
< sbt >=< b >=< r >=< c >. Untuk setiap b < b > maka dapat dituliskan
sebagai b = b.sbt untuk suatu sbt R sehingga b < sbt > dan sebaliknya untuk
b < sbt > maka dapat dituliskan sbt = b.st untuk suatu st R sehingga sbt <
b >. Jadi terbukti < b >=< sbt >. Dengan kata lain terbukti bahwa terdapat
elemen idempoten e = (sbt) R dengan < sbt >=< b >=< r >=< c >. Dan
karena r R elemen tak nol dan bukan unit, maka (sbt) adalah elemen idempoten
tak nol.
() Diberikan 0 6= r = abdce. Diketahui < b >=< c >=< r >=< e >
dengan e R elemen idempoten. Menurut definisi r = abdce diperoleh bahwa
a < c >=< c > dan karena < b >=< c >, maka berlaku
a < c >=< c > a < b >=< b > .
Selain itu, dari < b >=< c >=< r >=< e > diperoleh
c < b >=< cb >=< c >< b >=< e >< e >=< e >2 =< e >=< b >
sehingga berlaku a < b >=< b > dan c < b >=< b > dengan begitu terbentuk
F aktorisasi U yaitu r = acdbe.
Seluruh lemma di atas akhirnya menjadi satu teorema besar yang berisi konsep dasar pembentukan F aktorisasi U dari tiga buah elemen sebagai berikut.
Teorema 3.2.13 Diberikan r, a, b, c R dan r = abc :
(1) Jika r = dabce maka Faktorisasi-U yang terbentuk adalah tunggal.
(2) Jika r = adbce maka selain bentuk tersebut, pernyataan - pernyataan dibawah
ini salah satunya pasti berlaku:
(i). r = bcdae jika dan hanya jika terdapat e R elemen idempoten dengan
< bc >=< a >=< r >=< e >, atau
(ii). r = bdace dan terdapat ideal I ( R dengan a, b I.
54
(3). Jika r = abdce maka selain bentuk tersebut, pernyataan - pernyataan dibawah
ini salah satunya pasti berlaku:
(i). r = acdbe jika dan hanya jika terdapat e R elemen idempoten dengan
< c >=< a >=< r >=< e >, atau
(ii). r = cdabe jika dan hanya jika terdapat e R elemen idempoten dengan
< c >=< ab >=< r >=< e >.
Bukti.
(1). Pada Lemma 3.2.1 telah dibuktikan bahwa bentuk r = db1 .b2 ...bm e merupakan F aktorisasi U dengan bentuk tunggal, sehingga Lemma 3.2.13(1)
ini jelas terbukti.
(2). Diberikan r = adbce. Selain bentuk tersebut, terdapat dua buah bentuk
F aktorisasi U yang salah satunya pasti terjadi, yaitu:
(i). r = bcdae jika hanya jika terdapat elemen idempoten e R dengan
< bc >=< a >=< r >=< e > yang telah dibuktikan pada Akibat
3.2.6.
(ii). r = adace dan terdapat ideal I ( R dengan a, b I yang telah dibuktikan pada Lemma 3.2.10 .
(3). Diberikan r = abdce. Selain bentuk tersebut, terdapat dua buah bentuk
F aktorisasi U yang salah satunya pasti terjadi, yaitu:
(i). r = acdbe jika dan hanya jika terdapat elemen idempotenan e R
dengan < c >=< b >=< r >=< e > yang telah dibuktikan pada
Lemma 3.2.12.
(ii). r = adabe jika dan hanya jika terdapat elemen idempoten e R dengan
< c >=< ab >=< r >=< e > yang telah dibuktikan pada Akibat
3.2.6.
55
Lemma 3.2.13 di atas telah menerangkan semua kemungkinan F aktorisasi
U yang dapat dibentuk dari tiga buah elemen. Selanjutnya dapat diperluas lagi untuk bentuk F aktorisasi U dari empat buah elemen.
Lemma 3.2.14 Diberikan r, a, b, c, d R dan r = abcd :
(1). Jika r = adbcde maka selain bentuk tersebut, pernyataan - pernyataan dibawah
ini salah satunya pasti berlaku:
(i). r = bcddae jika dan hanya jika terdapat e R elemen idempoten dengan < a >=< bcd >=< r >=< e >, atau
(ii). r = bdacde dan terdapat ideal I ( R dengan a, b I, atau
(iii). r = bcdade dan terdapat ideal I ( R dengan a, bc I.
(2). Jika r = abdcde maka selain bentuk tersebut, pernyataan - pernyataan dibawah
ini salah satunya pasti berlaku:
(i). r = cddabe jika dan hanya jika terdapat e R elemen idempoten dengan < cd >=< ab >=< r >=< e >, atau
(ii). r = cdabde dan terdapat ideal I ( R dengan ab, c I, atau
(iii). r = acdbde dan terdapat ideal I ( R dengan b, c I.
Bukti.
(1). Diberikan r = adbcde. Terdapat empat bentuk U F aktorisai yang salah
satunya pasti terjadi, yaitu:
(i). () Diketahui r = bcddae. Diasumsikan r = adbcde = bcddae, dari
sini diperoleh bahwa < r >=< bcd >=< a >. dan dengan r = abcd
didapat
< a >=< r >=< abcd >=< a >< bcd >=< a >< a >=< a >2 .
56
Selanjutnya karena berlaku < a >=< a >2 maka terdapat s, t R
dengan as, at < a > dan a = as.at < a >2 . Dari sini dapat
dibentuk
sat = s(as.at)t = (sat)2
dengan kata lain sat elemen idempoten di R. Selanjutnya akan dibuktikan berlaku < sat >=< a >=< r >. Untuk setiap a < a >
maka dapat dituliskan sebagai a = a.sat untuk suatu sat R, sehingga a < sat >, begitu juga sebaliknya, untuk setiap sat < sat >
dapat dituliskan sebagai sat = a.st untuk suatu st R yang artinya
sat < a >. Maka terbukti bahwa terdapat e = sat elemen idempoten
dengan < r >=< a >=< bcd >=< sat >. Dan karena r R elemen
tak nol dan bukan unit, maka sat adalah elemen idempoten tak nol.
() Diberikan 0 6= r = adbcde dan < a >=< bcd >=< r >=< e >
dengan e suatu elemen idempoten. Diperhatikan bahwa,
bcd < a >=< bcda > =< bcd >< a >
=< e >< e >
=< e >2
=< e >
=< a >
Dari sini terlihat bahwa bcd merupakan elemen inesensial dan menurut Lemma 3.2.2(1) maka berlaku b, c, d merupakan elemen inesensial,
dengan begitu terbentuk F aktorisasi U r = bcddae.
(ii). Pada Lemma 3.2.10 telah dijelaskan bentuk r = adbce = bdace yang
menghasilkan dengan suatu ideal < a, b >= I ( R, maka dengan
menambahkan elemen d sehingga bentuk F aktorisasi U tersebut
menjadi r = adbcde = bdacde tidak mempengaruhi ideal yang terbentuk yaitu < a, b >= I ( R karena elemen d hanya ditambahkan tanpa
dioperasikan (dalam hal ini ditukar tempat menjadi elemen inesensial).
57
(iii) Analog dengan Lemma 3.2.10. Diketahui bahwa r = adbcde = bcdade.
Didefinsikan himpunan bagian < a, bc > berikut,
< a, bc >= {ax + bcy|x, y R}
Terlihat bahwa a, bc < a, bc > karena a, bc dapat dinyatakan sebagai
a = a.1R + bc.0R < a, bc > dan bc = a.0R + bc.1R < a, bc > .
Akan dibuktikan < a, bc >= I ( R. Dengan menggunakan syarat perlu
dan cukup suatu ideal, akan dibuktikan terlebih dahulu bahwa < a, bc >
ideal.
(i) ( p, q < a, bc >) p q < a, bc > .
Diambil sebarang p, q < a, bc > maka p = ax + bcy dan q =
as + bct untuk x, y, s, t R. Perhatikan bahwa,
p q = (ax + bcy) (as + bct)
= (ax as) + (bcy bct)
= a(x s) + bc(y t)
= am + bcn untuk suatu m, n R
ii (r R)pr, rp < a, bc > . Diambil sebarang r R dan p <
a, bc > maka p = ax + bcy untuk x, y R. Diperoleh,
pr = (ax + bcy)r
= (axr + bcyr)
= a(xr) + bc(yr)
= am + bn untuk suatu m, n R
dan
rp = r(ax + bcy)
= (rax + rbcy)
= a(rx) + bc(ry)
= am + bcn untuk suatu m, n R
Maka pr, rp < a, bc >. Dari (i) dan (ii) maka < a, bc > Ideal.
58
Selanjutnya akan ditunjukkan < a, bc >= I ( R. Andaikan < a, bc >=
R, karena R Ring dengan elemen satuan, maka terdapat s, t R dengan
as + bct = 1, dan untuk suatu d R diperoleh d(as + bct) = d.1 atau
ads + bcdt = d. Telah diketahui di atas bahwa r = adbcde = bcdade
berlaku < r >=< bcd >=< ad >, sehingga berlaku rm = ad dan
rn = bcd untuk suatu m, n R. Dari sini diperoleh,
d = (ad)s + (bcd)t = (rm)s + (rn)t = r(ms + nt)
dan berakibat r|d. Telah diketahui bahwa r = abcd = (abc)d, dengan begitu berlaku bahwa d|r, sehingga bersama - sama dengan r|d
berakibat r d atau < r >=< d >. Hal ini bertentangan dengan
bentuk F aktorisasi U r = adbce = bdace yang tidak pernah menghasilkan bentuk < r >=< d >, sehingga pengandaian salah. artinya
< a, bc >= I R. Jadi, terbukti bahwa jika r = adbcde = bcdade
maka terdapat ideal < a, bc >= I R.
(2). Jika r = abdcde maka selain bentuk tersebut, pernyataan - pernyataan dibawah
ini salah satunya pasti berlaku:
(i). r = cddabe jika dan hanya jika terdapat elemen idempoten e R dengan < cd >=< ab >=< r >=< e >. Pembuktian ini analog dengan
pembuktian Lemma 3.2.4 dimana elemen b, c pada lemma tersebut dinyatakan sebagai b = ab dan c = cd.
(ii). Analog dengan Lemma 3.2.10. Diketahui bahwa r = abdcde = cdabde.
Didefinisikan himpunan bagian < ab, c > berikut,
< ab, c >= {abx + cy|x, y R}
Terlihat bahwa ab, c < ab, c > karena ab, c dapat dinyatakan sebagai
ab = ab.1R + c.0R < ab, c > dan c = ab.0R + c.1R < ab, c > .
Akan dibuktikan < ab, c >= I ( R. Dengan menggunakan syarat perlu
dan cukup suatu ideal, akan dibuktikan terlebih dahulu bahwa < ab, c >
ideal.
59
(i). ( p, q < ab, c >) p q < ab, c > .
Diambil sebarang p, q < ab, c > maka p = abx + cy dan q =
abs + bt untuk x, y, s, t R. Perhatikan bahwa,
p q = (abx + cy) (abs + ct)
= (abx as) + (cy ct)
= ab(x s) + c(y t)
= abm + cn untuk suatu m, n R
(ii) (r R)pr, rp < ab, c >. Diambil sebarang r R dan p <
ab, c > maka p = abx + cy untuk x, y R. Diperoleh,
pr = (abx + cy)r
= (abxr + cyr)
= ab(xr) + c(yr)
= abm + bn untuk suatu m, n R
dan
rp = r(abx + cy)
= (rabx + rcy)
= ab(rx) + c(ry)
= abm + cn untuk suatu m, n R
Maka pr, rp < ab, c >.Dari (i) dan (ii) maka < ab, c > Ideal.
Selanjutnya akan ditunjukkan < ab, c >= I ( R. Andaikan < ab, c >=
R, karena R Ring dengan elemen satuan, maka terdapat s, t R dengan
abs + ct = 1, dan untuk suatu d R diperoleh d(abs + ct) = d.1 atau
abds + cdt = d. Telah diketahui di atas bahwa r = abdcde = cdabde
berlaku < r >=< cd >=< abd >, sehingga berlaku rm = abd dan
rn = cd untuk suatu m, n R. Dari sini diperoleh,
d = (abd)s + (cd)t = (rm)s + (rn)t = r(ms + nt)
60
dan berakibat r|d. Telah diketahui bahwa r = abcd = (abc)d, dengan
begitu berlaku bahwa d|r, sehingga bersama - sama dengan r|d berakibat r d atau < r >=< d >. Hal ini bertentangan dengan bentuk F aktorisasi U r = abdcde = cdabde yang tidak pernah menghasilkan bentuk < r >=< d >, sehingga pengandaian salah. artinya
< ab, c >= I R. Jadi, terbukti bahwa jika r = adbcde = cdabde
maka terdapat ideal < ab, c >= I R.
(iii). Analog dengan Lemma 3.2.10. Diketahui bahwa r = abdcde = acdbde.
Diperhatikan himpunan bagian < b, c > berikut,
< b, c >= {bx + cy|x, y R}
Terlihat bahwa b, c < b, c > karena b, c dapat dinyatakan sebagai
b = b.1R + c.0R < b, c > dan c = b.0R + c.1R < b, c > .
Akan dibuktikan < b, c >= I ( R. Dengan menggunakan syarat perlu
dan cukup suatu ideal, akan dibuktikan terlebih dahulu bahwa < b, c >
ideal.
(i). ( p, q < b, c >) p q < b, c > .
Diambil sebarang p, q < b, c > maka p = bx + cy dan q = bs + ct
untuk x, y, s, t R. Perhatikan bahwa,
p q = (bx + cy) (bs + ct)
= (bx bs) + (cy ct)
= b(x s) + c(y t)
= bm + cn untuk suatu mn, n R
(ii). (r R)pr, rp < b, c > . Diambil sebarang r R, p < b, c >
maka p = bx + cy untuk x, y R. Diperoleh,
pr = (bx + bcy)r
= (bxr + cyr)
= b(xr) + c(yr)
= bm + cn untuk suatu m, n R
61
dan
rp = r(bx + cy)
= (rbx + rcy)
= b(rx) + c(ry)
= bm + cn untuk suatu m, n R
maka pr, rp < b, c >.Dari (i) dan (ii) maka < b, c > Ideal.
Selanjutnya akan ditunjukkan < b, c >= I ( R. Andaikan < b, c >=
R, karena R Ring dengan elemen satuan, maka terdapat s, t R dengan
bs + ct = 1, dan untuk suatu d R diperoleh d(bs + ct) = d.1 atau
bds + cdt = d. Telah diketahui di atas bahwa r = abdcde = acdbde
berlaku < r >=< cd >=< bd >, sehingga berlaku rm = cd dan
rn = bd untuk suatu m, n R. Dari sini diperoleh,
d = (bd)s + (cd)t = (rn)s + (rm)t = r(ns + mt)
dan berakibat r|d. Telah diketahui bahwa r = abcd = (abc)d, dengan
begitu berlaku bahwa d|r, sehingga bersama - sama dengan r|d berakibat r d atau < r >=< d >. Hal ini bertentangan dengan bentuk F aktorisasi U r = abdcde = acdbde yang tidak pernah menghasilkan bentuk < r >=< d >, sehingga pengandaian salah. artinya
< b, c >= I R. Jadi, terbukti bahwa jika r = abdcde = cddabe maka
terdapat ideal < b, c >= I R.
Dari Lemma 3.2.14 kita dapat perluas lagi bentuk F aktorisasi U sampai
n buah elemen. Dapat dilihat bahwa dasar penukaran elemen untuk pembentukan
suatu F aktorisasiU yang berbeda didasari oleh empat dasar cara yaitu, menukar
elemen inesensial dengan elemen inesensial, elemen inesensal dengan elemen esensial, elemen esensial dengan elemen inesensial dan elemen esensial dengan elemen
esensial. Selain itu, dari dasar lemma - lemma yang telah diberikan, pembuktikan
62
untuk setiap F aktorisasi U yang terdiri dari n buah elemen tersebut menjadi
lebih mudah, karena pada Lemma 3.2.2 telah dijelaskan bahwa elemen - elemen
esensial maupun inesensial dapat dikelompokkan menjadi satu buah elemen yang
didapat dari hasil kali kumpulan masing - masing elemen tersebut.
63
Alasan digunakannya ring pr
esimplif iable disini adalah untuk membuat ring yang memiliki karakteristik sedekat mungkin dengan daerah integral, namun tidak menutup kemungkinan kita dapat menggunakan ring lain selama ring
tersebut memiliki pembagi nol. Selanjutnya akan diberikan hubungan antara ring
pr
esimplif iable tersebut dengan bentuk F aktorisasi U .
Lemma 3.3.3 Suatu ring R disebut ring pr
esimplif iable jika dan hanya jika untuk
setiap elemen nonzero a, b R dengan < a >=< b > dan a = bc maka c U (R).
Bukti. () Diketahui R ring pr
esimplif iable, artinya untuk setiap a R a = bc
berakibat a = 0 atau c U (R). Misalkan diketahui pula < a >=< b >, maka
terdapat d R dengan ad = b, sehingga di peroleh
a = bc = (ad)c = a(dc)
karena R pr
esimplif iable, maka a = a(dc) mengakibatkan dc U (R) dengan
begitu d, c U (R). Jadi terbukti bahwa pada R ring pr
esimplif iable dengan
< a >=< b > dan a = bc berakibat c U (R).
() Diketahui 0 6= a, b R dengan < a >=< b > dan a = bc yang
berakibat c U (R). Dengan mengambil b = a, maka terbentuk a = ac c
U (R) hal ini memenuhi definisi bahwa R ring pr
esimplif iable.
Teorema 3.3.4 Setiap F aktorisasi U dari elemen tak nol dan bukan unit di R
tidak memiliki elemen inesensial jika dan hanya jika R ring pr
esimplif iable.
Bukti. () Diketahui R ring pr
esimplif iable dan r elemen tak nol dan bukan
unit. Akan dibuktikan untuk setiap F aktorisasi U yang terbentuk tidak memiliki elemen inesensial. Diperhatikan bentuk (1) dan (2) Lemma 3.2.2, elemen inesensial maupun elemen esensial dapat dinyatakan sebagai satu buah elemen yang
didapat dari hasil kali elemen - elemen yang dikumpulkan tersebut, sehingga bentuk
F aktorisasi U tanpa elemen inesensial dapat dinyatakan sebagai r = dabe dengan r = ab untuk suatu a, b R. Andaikan r = adbe, maka < r >=< b >. Lemma
64
3.3.3 menerangkan bahwa untuk sebarang c R jika r = bc dengan < r >=< b >
maka berakibat c U (R), sehingga untuk r = ab dengan < r >=< b > berakibat
a U (R). Hal ini kontradiksi denga definisi F aktorisasi U r = adbe dimana
berlaku a
/ U (R). Jadi, terbukti bahwa untuk setiap F aktorisasi U elemen tak
nol dan bukan unit di R ring pr
esimplif iable tidak memiliki elemen inesensial.
() Diketahui untuk setiap F aktorisasi U elemen tak nol dan bukan unit
di R tidak memiliki elemen inesensial. Misalkan sebarang r R elemen tak nol
dan bukan unit di R dengan r = ra untuk suatu a R. Jelas bahwa < r >=< r >.
Diperhatikan bahwa jika a
/ U (R), maka terbentuk r = adre. Hal ini kontradiksi dengan pernyataan awal bahwa setiap F aktorisasi U yang terbentuk tidak
memiliki elemen inesensial, sehingga yang berlaku adalah a U (R). Jadi, terbukti
untuk setiap r R elemen tak nol dan bukan unit dengan r = ra mengakibatkan
a U (R) yang memenuhi definisi dari ring pr
esimplif iable.
Selanjutnya akan diseliki konsistensi teorema di atas bila ring diperluas lagi
menjadi perkalian berhingga (cross product) ring pr
esimplif iable.
Teorema 3.3.5 Diberikan R =
n
Y
Ri dengan Ri ring pr
esimplif iable untuk 1
i=1
i n. Suatu r = (r1 , r2 , ..., rn ) elemen tak nol dan bukan unit tidak memilki elemen
inesensial jika dan hanya jika ri 6= 0 untuk 1 i n.
n
Y
Bukti. () Diberikan R =
Ri dengan Ri ring pr
esimplif iable untuk 1
i=1
i n. Diketahui r = (r1 , r2 , ..., rn ) R elemen tak nol dan bukan unit dan ri 6= 0
untuk 1 i n. Seperti yang telah dijelaskan pada Teorema 3.3.4, akan dibuktikan
bahwa bentuk r = adbe bukan merupakan F aktorisasi U . Diperhatikan bahwa
untuk r = adbe dengan a = (a1 , a2 , ..., an ) dan b = (b1 , b2 , ..., bn ) maka berlaku
< ri >=< bi > untuk 1 i n. Diperhatikan dua keadaan berikut :
(i) Jika ri bukan unit, maka ri = ai bi dan berlaku < ri >=< bi >. Dari Teorema
3.3.4 diperoleh bahwa ai U (Ri ).
(ii) Jika ri unit maka ri = ai bi mengakibatkan ai , bi U (Ri ).
65
Dari kedua keadaan tersebut terbukti bahwa semua ai unit (karena ri 6= 0 untuk
1 i n), atau dengan kata lain a U (R). Hal ini kontradiksi dengan definisi
r = adbe dimana a R elemen bukan unit. Jadi, terbukti bahwa F aktorisasi U
yang terjadi pada R tidak memiliki elemen inesensial.
() Diketahui r = (r1 , r2 , ..., rn ) R elemen bukan unit. Digunakan pembuktikan kontraposisi dimana diketahui terdapat ri = 0 untuk suatu a i n.
Tanpa mengurangi keumumanannya, dimisalkan r1 = 0 dan 1i dinotasikan sebagai
unit di Ri , maka terbentuk
r = (0, r2 , r3 , ..., rn ) = (0, 12 , 13 , ..., 1n )d(0, r2 , r3 , ..., rn )e.
dengan (0, 12 , 13 , ..., 1n )
/ U (R), sehingga terbukti r = (r1 , r2 , ..., rn ) R memiliki elemen esensial.
BAB IV
PENUTUP
Pada bab ini akan diberikan kesimpulan dan saran-saran yang dapat diambil
berdasarkan materi-materi yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya.
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil penulis setelah menyelesaikan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Metode F aktorisasiU merupakan alternatif metode faktorisasi yang memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode faktorisasi biasa khususnya
pada ring komutatif dengan elemen satuan yang memuat pembagi nol.
2. Metode F aktorisasi U membedakan faktor dari suatu elemen menjadi dua
jenis yaitu elemen esensial dan elemen inesensial. Penukaran kedua elemen
tersebut dapat menghasilkan bentuk faktorisasi baru, sedangkan bentuk tunggal F aktorisasi U suatu elemen didapat jika F aktorisasi U tersebut
hanya terdiri dari elemen esensial.
3. Jika suatu elemen r = abc dengan r, a, b, c R dapat dibentuk F aktorisasi
U , yaitu r = dabce, maka tidak ada bentuk F aktorisasi U lain yang dapat
terjadi.
4. Jika suatu elemen r = abc dengan r, a, b, c R dapat dibentuk F aktorisasi
U yaitu r = adbce, maka selain dirinya sendiri, salah satu bentuk F aktorisasi
U berikut pasti terjadi :
(i) r = bcdae jika dan hanya jika terdapat elemen idempoten e R dengan
< bc >=< a >=< r >=< e >.
66
67
(ii) r = bdace dan terdapat ideal tak kosong I dengan a, b I ( R.
5. Jika suatu elemen r = abc dengan r, a, b, c R dapat dibentuk F aktorisasi
U yaitu r = abdce, maka selain dirinya sendiri, salah satu bentuk F aktorisasi
U berikut pasti terjadi :
(i) r = acdbe jika dan hanya jika terdapat elemen idempoten e R dengan
< c >=< b >=< r >=< e >.
(ii) r = cdabe jika dan hanya jika terdapat elemen idempoten e R dengan
< c >=< ab >=< r >=< e >.
6. Untuk setiap F aktorisasiU suatu elemen tak nol dan bukan unit di R tidak
memiliki elemen inesensial jika dan hanya jika R ring pr
esimplif iable.
4.2. Saran
Setelah pembahasan metode F aktorisasi U serta keterkaitannya dengan
ring pr
esimplif iable, berikut diberikan saran yang dapat dijadikan acuan pengembangan materi selanjutnya.
(1). Pada skripsi ini hanya dijelaskan penerapan F aktorisasi U pada ring komutatif dengan elemen satuan yang memuat pembagi nol, maka tidak menutup kemungkinan metode ini dapat diterapkan pada jenis ring yang berbeda.
(2). Selain dengan ring presimplifiable yang telah dijelaskan pada skripsi ini, dapat dikembangkan lagi hubungan bentuk F aktorisasi U dengan jenis ring
yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Agargun, A.G, Anderson, D.D, Valdes-Leon, S., 2001, Factorization in Commutative Rings with Zero divisors, III, Journal of Mathematics, Volume 31, Number
1.
Anderson, D.D, Valdes-Leon, S., 1996, Factorization in Commutative Rings with
Zero Divisors, Journal of Mathematics, Volume 26, Number 2.
Axtell, M., 2002, U-Faktorization in Commutative Rings with Zero Divisors, Communication in Algebra, 1241-1255.
Fraleigh, J. B, 2002, A First Course in Abstract Algebra 7th ed, Pearson Education
Asia Pte Ltd., Singapore.
Galovich, S., 1978, Unique Factorization with Zero Divisors , Matheamtics Magazine, 276-283.
Herstein,I.N, 1999, Abstract Algebra, John Wiley & Sons, Inc., USA.
Hungerford, T.W, 2000, Algebra, Springer., New York.
Malik, D.S, Mordeson, J.N, Sen, M.K, 1997, Fundamental of Abstract Algebra,
The McGraw-Hill Companies, Inc., Singapore.
Roersma, N., 1991, U-Faktorization in Commutative Rings with Zero Divisors,
Mathematics Subject Classification, 13A99.
Woodroofe, R., 2008, Zorns Lemma and Maximal Ideals, Journal of Washington
University in St.Louis, Math 430.
68