Anda di halaman 1dari 68

KERANGKA TEORITIS PEMBELAJARAN KONSEP HIMPUNAN

(Berdasarkan Theory of Didactic Situations)

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Seminar Pendidikan Matematika

Oleh
BONITA CHINDIANI N
NIM 1205853

DEPARTEMEN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
2
KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis panjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, karena atas segala karunia dan kehendak-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Seminar Pendidikan Matematika. Tak lupa pula salawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada junjunan besar kita, nabi besar kita, Muhammad SAW,
kepada keluarganya, sahabatnya, dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis menulis sebuah makalah yang berjudul
Kerangka Teoritis Pembelajaran Konsep Himpunan (Berdasarkan Theory
of Didactic Situations). Selesainya makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed. selaku dosen pembimbing atas segala ilmu,
perhatian, kesabaran, masukan, dan inspirasi yang telah diberikan.
2. Dra. Hj. Ade Rohayati, M.Pd. selaku koordinator Seminar Pendidikan
Matematika.
3. Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D. selaku ketua Departemen Pendidikan
Matematika.
4. Eyus Sudihartinih, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Seminar Pendidikan
Matematika yang telah membimbing selama ini.
5. Ayahanda dan Ibunda penulis tercinta, atas doa dan segala pengorbanan yang
telah diberikan selama ini. Semoga Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang membalas dengan balasan yang sebaik-baiknya.
6. Kakak dan adik serta saudara-saudara yang telah memberikan dukungan
moril.
7. Semua teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan
Indonesia angkatan 2012, atas dukungan dan semangatnya selama ini.
8. Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat kepada semua orang yang telah
membantu penulisan makalah ini. Semoga amal baiknya mendapatkan balasan
dari Allah SWT, amin.

1
Penulis telah menulis makalah ini dengan segala kemampuan yang penulis
miliki. Apabila pembaca menemukan kekurangan dalam isi makalah ini, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap makalah ini dapat berguna
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membacanya.

Bandung, 10 April 2015


Hormat Saya,

Bonita Chindiani N

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................................v
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah....................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3. Tujuan................................................................................................................4
1.4. Manfaat..............................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................6
KAJIAN PUSTAKA..........................................................................................................6
2.1. Theory of Didactic Situations.............................................................................6
2.2. Learning Obstacle............................................................................................12
2.3. Learning Trajectory..........................................................................................12
BAB III............................................................................................................................14
PEMBELAJARAN KONSEP HIMPUNAN DARI SUDUT PANDANG HISTORIS,
PRAKTIS SERTA POTENSI LEARNING OBSTACLE....................................................14
3.1 Pandangan Historis Dan Pandangan Praktis Dalam Pembelajaran Konsep
Himpunan.....................................................................................................................14
3.2 Potensi Learning Obstacle Didaktis Dalam Pembelajaran Konsep Himpunan.27
BAB IV............................................................................................................................28
PENUTUP.......................................................................................................................28
4.1 Kesimpulan......................................................................................................28
4.2 Saran................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30
LAMPIRAN.....................................................................................................................32

3
4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. komponen dasar dari situasi didaktis ............................................. 10

Gambar 3.1. Peta konsep materi himpunan ........................................................ 16

Gambar 3.2. Peta konsep materi himpunan pada buku sumber


kurikulum 1975 ................................................................................ 17

Gambar 3.3. Menentukan banyaknya anggota dari gabungan dua


himpunan dalam buku sumber kurikulum 2006................................. 19

Gambar 3.4. Peta konsep materi himpunan pada buku sumber


kurikulum 2013 ................................................................................. 20

5
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Satuan Pelajaran (RPP) kurikulum 1975 ......................................... 33


Lampiran 2. RPP Kurikulum 2006 ....................................................................... 43
Lampiran 3. RPP Kurikulum 2013 ....................................................................... 51
Lampiran 4. Kartu Bimbingan Seminar Pendidikan Matematika .........................58
Lampiran 5. Daftar hadir dosen dalam Seminar Pendidikan Matematika.............59

6
0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah

Berdasarkan Permendikbud Nomor 64 tahun 2013 tentang Standar Isi


Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa himpunan termasuk kedalam
muatan matematika yang diajarkan kepada siswa yang berada pada tingkat 4 atau
setara dengan kelas VII dan VIII SMP/Mts/SMPLB/Paket B. Memahami konsep
himpunan dan operasinya merupakan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa
pada tingkat tersebut. Selain itu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
himpunan termasuk kedalam indikator dalam kisi kisi ujian nasional untuk satuan
dasar pendidikan menengah pertama.

Materi himpunan merupakan materi pokok matematika yang dapat


menunjang dalam materi-materi matematika selanjutnya seperti :

1. Pada materi persamaan dan pertidaksamaan dengan satu peubah, konsep


himpunan dipakai dalam menentukan himpunan penyelesaian kalimat terbuka.
Pada bidang aljabar, himpunan menjadi suatu konsep yang tidak lepas dalam
mencari himpunan penyelesaian dari suatu masalah.
2. Pada materi relasi dan fungsi. Himpunan menjadi dasar dalam memahami
konsep tersebut.
3. Pada materi peluang, himpunan digunakan untuk mendefinisikan himpunan
sampel dan himpunan kejadian. Selain itu dalam memahami konsep maupun
operasi kejadian saling lepas dan saling bebas, konsep himpunan dan diagram
venn sangat dibutuhkan untuk memahami materi tersebut.

Betapa pentingnya konsep himpunan dalam matematika menjadikan


himpunan menjadi konsep pokok dalam matematika. Berbagai macam konsep
dasar dan cabang matematika muncul karena adanya konsep himpunan. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Eves dan Newsom (1965, hlm. 244)
bahwa konsep dasar dalam analisis seperti limit, fungsi, kekontinuan, turunan, dan
integral sekarang benar-benar diuraikan dalam istilah dari gagasan teori
himpunan.

1
Urgensi materi himpunan untuk dipelajari siswa berbanding terbalik dengan
hasil penguasaan konsep himpunan yang dimiliki oleh siswa. Siswa SMP kelas
VII dan VIII berada pada tahap perkembangan kognitif operasi formal, dimana
seharusnya siswa sudah bisa berpikir secara abstrak tanpa menggunakan bantuan
benda konkret lagi. Namun pada kenyataannya pada materi himpunan, masih
banyak siswa yang kurang memahami konsep himpunan, notasi-notasi himpunan,
menafsirkan diagram venn serta kurangnya kemampuan dalam pemodelan soal
matematika. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di SMP Al-Islam 1 Surakarta
tahun 2010/2011. Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa

... 1) siswa dapat mengklasifikasi obyek-obyek menurut sifat-sifat himpunan


sebelum diadakan tindakan kelas sebesar 17,9 % dan diakhir tindakan mencpai
71,8%, 2) siswa dapat membedakan contoh dan non-contoh dari konsep himpunan
sebelum diadakan tindakan kelas sebesar 20,5 % dan diakhir tindakan mencpai
69,2%, 3) siswa mampu menyatakan ulang konsep suatu himpunan sebelum
diadakan tindakan sebesar 12,8% dan diakhir tindakan mencapai 53,84% (Armana
dkk., 2011, hlm. 1).
Selain itu hasil wawancara dengan seorang guru yang mengajar kelas VII
disalah satu sekolah yang ada di Kabupaten Bandung Barat menyatakan bahwa
konsep materi himpunan yang cukup sulit dipelajari oleh siswa yaitu mengenai
diagram venn terutama diagram venn yang memuat tiga himpunan, oleh karena itu
diperlukan waktu yang lebih lama dalam menyampaikan materi diagram venn.

Pemaparan diatas menunjukan bahwa pemahaman konsep himpunan pada


siswa masih rendah. Pemahaman konsep himpunan pada siswa yang masih rendah
mengindikasikan adanya kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Kesulitan
belajar yang dialami oleh siswa dapat menghambat tercapainya tujuan belajar
bahkan mengakibatkan kegagalan dalam proses pembelajaran.

Adanya kesulitan belajar yang dialami siswa dalam materi himpunan dapat
dilihat dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayati pada siswa
kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta menunjukkan bahwa

...(1) kesulitankesulitan yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 16


Yogyakarta dalam menyelesaikan persoalan aljabar yang berkaitan dengan konsep
dan prinsip adalah (a) di dalam penguasaan konsep, siswa masih mengalami
kesulitan dalam menggunakan gambar dan simbol untuk mempresentasikan
konsep, dimana kesulitan tersebut berada dikategori tinggi yaitu 72% ; (b)
kesalahan yang paling banyak dilakukan siswa dalam penguasaan konsep adalah

2
ketika siswa harus menyajikan himpunan dengan diagram Venn; (c) di dalam
penguasaan prinsip, siswa masih mengalami kesulitan dalam mengapreasiasikan
peran prinsipprinsip dalam matematika, yang berada pada kategori tinggi yaitu
74%; (2) faktorfaktor yang menyebabkan kesulitan belajar siswa SMP Negeri 16
Yogyakarta dalam mempelajari aljabar berasal dari faktor ekstern, yaitu
penggunaan alat peraga oleh guru dengan kategori cukup yaitu (49 %) (Hidayati,
2010, hlm. 7).
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dalam suatu pembelajaran terdapat
hambatan belajar baik yang timbul dari dalam diri siswa ataupun dari lingkungan.
Menurut Brosseau (2002, hlm. 101), We shall thus find didactical obstacle : of
ontogenic origin, of didactical origin and of epistemological origin. Tiga faktor
penyebab munculnya kesulitan belajar (learning obstacle) khususnya hambatan
kognitif bisa berupa hambatan ontogeni, hambatan epistemologi dan hambatan
didaktis.

Agar siswa dapat memahami suatu konsep dengan benar dan mengatasi
kesulitan yang dialaminya sehingga tidak menjadi penghambat dalam memahami
materi selanjutnya, sebagai seorang guru harus dapat merancang suatu konsep
pembelajaran yang dapat mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mencoba menyelesaikan permasalah diatas.
Pramita Dewiatmini pada tahun 2010 melakukan penelitian yang berjudul Upaya
Meningkatkan Konsep Matematika Pada Pokok Bahasan Himpunan Siswa Kelas
VII A SMP Negeri 14 Yogyakarta dengan Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa.
Selain itu penelitian juga dilakukan oleh disusun oleh Angky Armana, Ariyanto
dan Masduki pada tahun 2010/2011 untuk mengetahui peningkatan pemahaman
konsep dan prestasi belajar matematika melalui metode guided note taking pada
materi himpunan (PTK pada siswa kelas VII Semester Genap SMP AL-Islam 1
Surakarta Tahun Ajaran 2010/2011) dengan hasil penelitian menunjukan bahwa
penggunaan metode guided note taking dalam pembelajaran matematika dapat
meningkatkan pemahaman konsep himpunan pada siswa.

Namun demikian penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tersebut belum


ada yang memfokuskan diri pada pembahasan pembelajaran yang berbasis theory

3
of didactic situations dimana learning obstacle dan learning trajectory menjadi
pertimbangan dalam pembelajaran, sehingga hal-hal yang belum dipertimbangkan
oleh peneliti sebelumnya bisa diperbaiki melalui pembelajaran berbasis theory of
didactic situations.

Pada teori didaktis terdapat aspek-aspek learning obstacle dan learning


trajectory yang dapat menjadi pertimbangan, sehingga dimungkinkan hal-hal yang
belum dipetimbangkan oleh para peneliti sebelumnya bisa diperbaiki melalui
pendekan yang berbasis theory of didactic situations. Makalah ini merupakan
pemikiran dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya, maka dalam makalah ini
akan dikaji mengenai dasar-dasar teoritik pada pembelajaran konsep himpunan.
Untuk itulah penulis menulis makalah yang berjudul Kerangka Teoritis
Pembelajaran Konsep Himpunan (Berdasarkan Theory of Didactic Situations) .

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana pandangan historis dan pandangan praktis yang berkaitan dengan
pembelajaran konsep himpunan dikaitkan dengan teori situasi didaktis ?
2. Apakah ada potensi terjadinya learning obstacle didaktis dalam pembelajaran
konsep himpunan ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pengkajian materi dalam
makalah ini adalah :
1. Mengetahui keterkaitan pandangan historis dan pandangan praktis
pembelajaran konsep himpunan dengan teori situasi didaktis
2. Mengetahui potensi terjadinya learning obstacle didaktis dalam pembelajaran
konsep himpunan

1.4. Manfaat
1. Bagi Penulis
Diharapkan peneliti sebagai calon guru dapat menyusun suatu
pembelajaran yang dapat mengatasi potensi learning obstacle dan potensi
learning trajectory yang akan dihadapi oleh siswa.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat menjadi sumber rujukan untuk penelitian lebih lanjut.

4
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Pada bab 2 kajian pustaka ini akan dibahas teori-teori yang menjadi
sandaran dalam pembahasan bab 3. Selain teori pokok mengenai theory of
didactic situations, akan dijelaskan pula mengenai teori learning obstacle dan
teori learning trajectory untuk menunjang dalam pembahasan selanjutnya.
2.1. Theory of Didactic Situations
Terinspirasi dari teori permainan matematika, Guy Brosseau pada tahun
1960-an di Perancis berusaha menawarkan suatu model yang disebut theory of
didactic situations. Theory of Didactic Situations atau teori situasi didaktis (TDS)
merupakan teori yang disusun berdasarkan gagasan tentang situasi a-didaktik dan
situasi didaktik pembelajaran matematika dikelas, yang dapat memberikan
kerangka sistemik untuk dapat menyelidiki dengan cara ilmiah, masalah terkait
dengan pembelajaran matematika dan bagaimana untuk mengatasi permasalahan
tersebut dan meningkatkan pembelajaran matematika.
Menurut Brosseau (2002) pandangan situasi didaktis sebagai lingkungan
siswa yang terorganisasi dan dikemudikan oleh guru serta pandangan yang lebih
luas termasuk guru dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Dalam Radford (2008) terdapat 4 prinsip dalam TDS yaitu :
1. Pengetahuan sebagai solusi optimal dalam situasi atau masalah tertentu
2. Belajar merupakan suatu bentuk adaptasi kognitif
3. Untuk setiap bagian dari pengetahuan matematika terdapat keluarga situasi
yang dapat memberikan makna yang tepat
4. Otonomi siswa adalah syarat perlu untuk belajar matematika yang
sesungguhnya
Dalam memahami didaktik matematika sebagai penelitian tentang kondisi
dalam pembelajaran matematika melalui lembaga pendidikan, TDS telah
mengadopsi perspektif sistemik. Perspektif sistemik ini tercermin dalam
organisasi teori mengenai gagasan tentang situasi. Situasi pembelajaran dapat
dideskripsikan dan diklasifikasikan sebagai bentuk interaksi antara guru, siswa
dan lingkungannya. Situasi dalam pembelajaran dibedakan menjadi dua yaitu
situasi a-didaktik dan situasi didaktis.

6
Untuk mengetahui pengetahuan yang telah diperoleh oleh siswa, guru
memberikan suatu masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. Dengan
memberikan masalah kepada siswa, guru dapat mengetahui sejauh mana
pengetahuan yang dimiliki siswa tersebut dari bagaimana cara siswa tersebut
menyelesaikan permasalahan tersebut. Siswa dapat membangun pemahamannya
sendiri berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya, interaksi
dengan lingkungannya, bahkan jika lingkungan tersebut tidak di atur sesuai
pikiran dalam belajar.
Masalah merupakan bagian dari proses pembelajaran, dalam TDS guru
diharapkan dapat memicu adaptasi yang diharapkan berdasarkan masalah yang
telah diberikan sebelumnya. TDS mengungkapkan bahwa dalam memberikan
makna yang tepat dalam setiap bagian dari pengetahuan matematika terdapat
keluarga situasi yang disebut sebagai situasi fundamental. Menurut Brosseau
(2002, hlm.24) bahwa
Didactique studies the Communication of knowledge and theorizes its
object of study, but it can take up this challenge only if the following two
conditions are satisfied:
that it make evident the specific phenomena which appear to be
explained by the original concepts it proposes;
that it indicate the specific methods of proof which it uses for
thatpurpose.
These two conditions are essential if didactique of mathematics is to be
able to take charge of its object of study in a scientific manner and thus to
allow controlled actions on teaching.
Konsep belajar dalam TDS menjelaskan bahwa belajar merupakan proses
adaptif siswa kepada lingkungan, selain itu siswa mempunyai otonomi sendiri
dalam belajar matematika.
Untuk dapat mendorong siswa memperoleh pengetahuannya, diperlukan
guru yang dapat memancing adaptasi siswa terhadap suatu masalah yang
diberikan. Guru tidak boleh menunjukan kepada siswa bagaimana menyelesaikan
masalah tersebut tetapi guru harus membiarkan siswa untuk aktif terlibat dalam
masalah tersebut sehingga siswa dapat memberikan aksi, berbicara, berpikir dan
berkembang sesuai dengan motivasi dan perkembangan kognitif yang dimiliki
oleh siswa. Keterlibatan siswa dalam masalah matematika membuat siswa harus
dapat merumuskan, mengkontruksi, membuktikan dan membangun model dari
suatu konsep dan teori sehingga siswa benar-benar belajar matematika.

7
Ketika siswa menerima masalah, dan siswa dapat menemukan jawabannya
sendiri, guru menahan diri dari interfensi. Siswa mengetahui dengan baik bahwa
masalah yang dipilih untuk membantu siswa dalam menemukan pemahamannya
sendiri, tetapi siswa juga harus mengetahui bahwa pengetahuan yang ditemukan
sepenuhnya dibenarkan oleh logika internal dari situasi dan siswa dapat
mengkontrukasi tanpa memperhatikan alasan didaktis. Tidak hanya yang dapat
dilakukan siswa, tetapi siswa harus melakukannya karena siswa benar benar
memperolah pengetahuan hanya ketika siswa dapat menempatkan dirinya dalam
situasi yang dia akan menemukan pembelajaran diluar konten dan tidak dalam
arah yang disengaja. Situasi seperti ini disebut situasi a-didaktik.
Jadi situasi a-didaktik adalah situasi yang diciptakan agar terjadi interaksi
antara siswa dan lingkungannya sehingga siswa mendapatkan pengetahuan
matematika yang diharapkan dari permasalahan yang diberikan. Dalam situasi a-
didaktik ini siswa mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan
permasalahan yang diberikan oleh guru sedangkan guru sendiri menahan diri dari
memberikan informasi ataupun saran yang membuat siswa dapat memunculkan
pengetahuan matematika dari permasalahan tersebut.
The student knows very well that the problem was chosen to help her
acquire a new piece of knowledge, but she must also know that this
knowledge is entirely justied by the internal logic of the situation and that
she can construct it without appealing to didactical reasoning (Brosseau,
2002, hlm. 30)
Ternyata situasi fundamental dan situasi a-didaktik berdasarkan teori TDS
belum cukup mendekati dalam pengajaran dan pembelajaran matematika. Guru
mempunyai tanggung jawab dalam hal proses devolusi dan proses kelembagaan
menjadi hal baru yang diperkenalkan dalam rangka menghubungkan dimensi
akulturasi dan dimensi adaptasi dalam kegiatan pembelajaran. Pada proses
devolusi , guru harus membuat kondisi belajar agar siswa dapat beradaptasi dan
mampu bertanggung jawab terhadap membantu siswa menghubungkan
pengetahuan konstektual yang didapat dari situasi a-didaktik dengan tujuan dari
pengetahuan kelembagaan dan pengetahuan budaya sehingga guru mengatur agar
dekonstekstualisasi dan transformasi yang terjadi dapat menjadi sebuah kecakapan
yang dimiliki oleh siswa. Sehingga guru sekarang menampilkan interaksi didaktis

8
yang diharapkan yang sebelumnya tidak dimunculkan dalam situasi a-didaktik
dan membuat akulturasi yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran.
Namun proses devolusi ini pada praktiknya terjadi paradoks seperti yang
dikatakan oleh Brosseau (2002, hlm. 41) bahwa everything that she undertakes
in order to make the student produce the behaviours that she expects tends to
deprive this student of the necessary conditions for the understanding and the
learning of the target notion. Paradoks devolusi ini akhirnya dihubungkan
dengan kontak didaktis. Kontaks didaktis menjadi suatu dasar dan strategi situasi
didaktis. Dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa berada dalam kendali
guru melalui situasi yang telah didesain sebelumnya, tetapi ada kalanya siswa
harus belajar mencapai kemandiriannya. Maka dalam kontrak didaktis ini peran
guru dan peran siswa berbagi.
Situasi atau masalah yang dipilih oleh guru sebagai bagian penting dari
kerangka situasi dimana guru mencoba menyerahkan situasi a-didaktis kepada
siswa dengan menyediakan situasi yang memungkinkan terjadinya interaksi bebas
yang bermanfaat. Situasi inilah yang disebut situasi didaktis. Dalam proses
pembelajaran diperlukan akulturasi dan adaptasi, dimana adaptasi diperoleh
melalui proses a-didaktik sedangkan akulturasi dapat diperoleh melalui situasi
proses didaktis. Oleh karena itulah situasi a-didaktik dan situasi didaktis menjadi
gagasan dalam teori situasi didaktis. Melalui teori situasi didaktis siswa
mempunyai peran dalam belajar melalui proses adaptasi tetapi siswa juga dapat
meraih pencapaian pembelajaran yang lebih tinggi melalui akulturasi. Karena
tidak selamanya siswa dapat belajar sendiri sehingga dibutuhkan bantuan melalui
akulturasi sehingga siswa dapat memiliki pengetahuan yang sesungguhnya.
Teori situasi didaktis menjelaskan bahwa dalam pembelajaran, guru telah
mendesain proses pembelajaran sehingga berdasarkan aktivitas-aktivitas yang
diberikan, pikiran anak dituntun untuk mendapatkan pengetahuan yang
sesungguhnya. Pada saat pembelajaran adakalanya peran guru lebih sedikit
dibanding peran siswa, maka pada saat itulah situasi a-didaktis sedang
berlangsung. Namun adakalanya ketika peran guru masuk dalam proses
pembelajaran, maka pada saat itulah situasi didaktis berperan. Dalam teori situasi

9
didaktis seorang guru harus mampu mendesain pembelajaran dan mengetahui
waktu yang tepat ketika dirinya dibutuhkan dalam proses pembelajaran.
Berikut merupakan diagram Perrin-Glorian (dalam Radford, 2008, hlm. 8)
yang menunjukan versi sederhana dari kompleksitas situasi didaktis. Diagram
tersebut menujukan interaksi antara empat komponen dasar dari situasi didaktis.

Gambar 2.1 komponen dasar dari situasi didaktis (dalam Radford, 2008: 8)
Adapun langkah-langkah penting dalam situasi didaktis dalam rangka
menciptakan suatu kondisi pembelajaran matematika yang efektif yaitu
1. Situasi Aksi
Dalam situasi aksi, lingkungan dinyatakan sebagai segala sesuatu yang
terjadi pada siswa, baik itu dengan guru maupun dengan siswa lainnya.
Lingkungan yang didesain oleh guru berupa masalah dimana siswa tertarik
dalam pemecahan masalah tersebut untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka
sendiri sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam situasi yang telah
dirancang tanpa ada intervensi dari guru.
Langkah pertama dalam menyelesaikan permasalahan adalah dengan
menetapkan suatu strategi yang berasal dari hasil dari eksperimen maupun
penolakan intuitif dari srategi sebelumnya. The sequence of situations of
action constitutes the process by which the student forms strategies, that is to
say, teaches herself a method of solving her problem (Brosseau, 2002, hlm.
9).
Dalam situasi aksi, siswa memiliki sarana dalam membangun solusi
sendiri dengan merepresentasikan situasi yang telah dirasakan untuk
membuat suatu keputusan atau hipotesis, bukan dari solusi yang disediakan
oleh guru.
2. Situasi Formulasi

10
Untuk dapat melakukan aksi pada situasi yang akan datang, siswa harus
dapat menunjukan kepada siswa lain strategi yang menjadi usulannya dalam
pemecahan masalah yang diberikan sebelumnya. Untuk dapat menunjukan
strateginya siswa harus dapat mendiskusikannya dan menyajikan strategi
tersebut dalam bentuk kata-kata yang dapat dipahami dan diterima oleh siswa
lainnya.
Dalam situasi formulasi ini memungkinkan siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan bahasa yang dimilikinya, siswa harus dapat
membangun bahasa yang setiap orang dapat mengerti apa yang
dibicarakannya. Situasi formulasi ini memungkinkan siswa untuk dapat
menjelaskan aksi atau tindakannya.
3. Situasi Validasi
Siswa dalam memformulasikan suatu hipotesis atau pemahaman, tak
sedikit siswa yang mengadopsi teori-teori palsu sehingga hipotesis siswa tak
cukup untuk dapat diterima. Situasi didaktis validasi mendorong siswa untuk
dapat mendiskusikan situasi dan menunjang perumusan dari validasi implisit
mereka. Guru berperan dalam mengevaluasi hipotesis yang telah dibuat oleh
siswa dengan cara menarik perhatian siswa untuk melihat adanya
kemungkinan ketidakkonsistenan serta mendorong siswa untuk lebih
sistematis dalam penggunaan suatu konsep.
Dialektik validasi merupakan gabungan dari dialektik formulasi dan
dialektik tindakan karena didalam dialektik validasi terdiri dari berbagai
tindakan dalam rangka membangun terminologi yang merupakan bentuk dari
formulasi.
4. Situasi Institusionalisasi
Situasi ini dapat menguji kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh
melalui aksi, formulasi dan validasi. Situasi institusional dapat terjadi apabila
siswa dapat mengerjakan permasalahan atau soal dalam bentuk apapun tidak
terikat pada suatu masalah tertentu, apabila siswa telah mampu menerapkan
suatu konsep dalam situasi apapun artinya pemahaman yang diperoleh oleh
siswa sudah melembaga dalam dirinya. Apabila pemahaman tersebut telah
melembaga dalam diri siswa itu berarti siswa benar-benar memiliki
pemahaman tersebut.

11
2.2. Learning Obstacle
Learning obstacle merupakan hambatan yang terjadi pada proses
pembelajaran. Kesulitan belajar siswa dapat bersifat psikologis, sosiologis,
maupun fisiologis yang ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu
untuk mencapai hasil belajar dan sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar. Kesulitan belajar (learning
obstacle) setiap siswa berbeda, hal itu disebabkan karena pengetahuan awal yang
dimiliki siswa berbeda-beda sehingga memunculkan respon siswa yang berbeda
beda. Selain itu rendahnya kualitas tenaga pendidik dalam mendidik dan mengajar
siswanya, dapat membuat proses belajar dan mengajar menjadi terhambat.
Dalam pembelajaran matematika banyak siswa yang mengalami hambatan
dalam belajar. Berdasarkan Brosseau terdapat 3 faktor yang menyebabkan
terjadinya learning obstacle yaitu hambatan ontogeni, hambatan epistimologi
serta hambatan didaktis. Hambatan ontogeni merupakan hambatan yang
disebabkan oleh kurangnya kesiapan mental belajar siswa dalam menghadapi
proses pembelajaran. Hambatan epistemologi adalah hambatan yang disebabkan
oleh pengetahuan siswa yang memiliki keterbatasan dalam konteks aplikasi.
Hambatan didaktis adalah hambatan yang disebabkan oleh pengajaran guru dan
kesiapan guru dalam menghadapi proses pembelajaran

2.3. Learning Trajectory


Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkapkan urutan kegiatan
yang efektif untuk membimbing anak berdasarkan tahapan perkembangan yang
sesuai dengan siswa . Dalam belajar siswa mengikuti secara alami tahapan
perkembangnnya, siswa mengembangkan ide-ide matematika dengan cara mereka
sendiri. Tahapan perkembangan siswa merupakan dasar dalam membangun
learning trajectory yang sesuai. Learning trajectory memiliki tiga bagian yaitu
tujuan matematika, tahapan perkembangan yang dilalui siswa untuk mencapai
tujuan dan satu set kegiatan yang disesuaikan dengan masing-masing tahapan
untuk membantu siswa daam mengembangkan ke tahapan berikutnya. Learning
trajectory secara lengkap menjelaskan tujuan pembelajaran, pemikiran dan

12
proses belajar siswa dalam berbagai tingkatan dan dalam kegiatan mana yang
mungkin siswa terlibat untuk belajar.
Learning trajectory memungkinkan guru untuk dapat membangun
pemikiran matematika siswa melalui tujuan dan kegiatan pembelajaran yang
sesuai agar siswa berkembang secara alami sesuai dengan kapasitas
perkembangan yang dimiliki siswa.
Guru harus bisa membuat hipotesis mengenai learning trajectory dimana
guru harus memperhatikan tujuan belajar untuk pembelajaran bermakna,
sekumpulan tugas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan hipotesis tentang
bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana peserta didik berpikir. Setelah
guru menentukan dan merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh
siswa guru dapat menentukan langkah-langkah strategi untuk mewujudkan tujuan
pembelajaran dengan memperhatikan informasi tentang pengetahuan prasyarat
siswa, strategi berpikir yang mungkin digunakan anak, level berpikir yang mereka
tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka
mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut.

13
BAB III
PEMBELAJARAN KONSEP HIMPUNAN DARI SUDUT PANDANG
HISTORIS, PRAKTIS SERTA POTENSI LEARNING OBSTACLE

Dalam bab 3 ini akan dibahas mengenai pandangan historis dan pandangan
praktis dalam pembelajaran konsep himpunan berdasarkan kerangka teori yang
telah dibahas dalam bab 2. Selain itu berdasarkan hasil analisis pandangan
historis dan pandangan praktis dalam pembelajaran konsep himpunan berdasarkan
kerangka teori yang ada, maka akan dijelaskan pula mengenai potensi learning
obstacle didaktis yang muncul dalam pembelajaran konsep himpunan.

3.1 Pandangan Historis Dan Pandangan Praktis Dalam Pembelajaran Konsep


Himpunan
Pembahasan pandangan historis dan pandangan praktis pembelajaran konsep
himpunan akan dititikberatkan pada isi materi, struktur materi dan proses
pembelajaran yang terjadi dikelas berdasarkan kerangka teori yang telah dibahas
sebelumnya.
Untuk menggambarkan pandangan historis pembelajaran konsep himpunan
pada pembelajaran SMP, informasi dikumpulkan berdasarkan kurikulum yang
berlaku. Indonesia sudah mengalami sepuluh kali perubahan kurikulum di hitung
setelah masa kemerdekaan yaitu leer plan pada tahun 1947, Rencana Pelajaran
Terurai pada tahun 1952, Rencana pendidikan pada tahun 1964 dan 1968,
kurikulum 1975, kurikulum 1984 (CBSA), kurikulum 1994, kurikulum KBK pada
tahun 2004, kurikulum KTSP pada tahun 2006 dan yang berlaku saat ini adalah
kurikulum 2013. Sedangkan untuk menggetahui pandangan praktis pembelajaran
konsep himpunan pada pembelajaran SMP, informasi dikumpulkan melalui
wawancara dengan seorang guru yang mengajar kelas VII disalah satu sekolah
yang ada di Kabupaten Bandung Barat.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mengikuti Amerika
Serikat dalam pembaharuan pengajaran matematika menjadi New Mathematics.
Indonesia mulai melakukan pembaharuan sekitar tahun 1970, namun perubahan
kurikulum matematika secara resmi baru diganti pada saat kurikulum 1975
berlaku pada tahun 1975. Materi himpunan merupakan materi baru yang

14
diperkenalkan pada saat pengajaran matematika tradisional berubah menjadi
pengajaran matematika modern. Penekanan pada mengajar konsep menjadi salah
satu metode dan pendekatan baru dalam pengajaran matematika modern. Materi
himpunan dijadikan sebagai sebagai dasar, menggunakan pendekatan spiral,
mementingkan pengertian dan penemuan, menggunakan simbol-simbol dan
istilah-istilah yang lebih tepat. Oleh karena itu pembahasan mengenai pandangan
historis dalam pembelajaran konsep himpunan akan dibahas dari kurikulum 1975.
Dalam isi materi konsep himpunan dari kurikulum 1975 sampai kurikulum
2013 tidak banyak berubah namun ada beberapa penambahan dan pengurangan
materi himpunan. Pada tahun 1983 terjadi perubahan kurikulum karena
kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada kurikulum 2004
materi tentang himpunan kosong, himpunan lepas, diagram venn dan sifat-sifat
operasi himpunan dijelaskan secara eksplisit dalam buku sumber yang
sebelumnya pada kurikulum 1975 dijelaskan secara implisit. Selain itu dalam
kurikulum 2004 juga tidak ditemui secara khusus materi himpunan bilangan real
dan grafik yang sebelumnya ada pada kurikulum 1975. Dalam kurikulum 2006
juga terdapat penambahan materi himpunan yang ekuivalen yang sebelumnya
tidak ada dalam kurikulum 2004, namun dalam kurikulum 2013 materi tentang
himpunan ekuivalen dijelaskan secara implisit dalam bagian himpunan kuasa.
Materi himpunan berhingga dan tak berhingga di kurikulum 2013 tidak diberikan,
padahal sebelumnya selalu diberikan.
Perubahan kurikulum yang terjadi selama ini tidak terlalu menyebabkan
adanya perubahan yang signifikan dalam pembelajaran konsep himpunan
disekolah. Secara keseluruhan kurikulum 1975-2013 memuat materi pokok
himpunan namun seiring perkembangan kurikulum terdapat materi-materi
pengayaan materi himpunan yang mulai ditambahkan pada pembahasan materi
himpunan.
Dalam segi struktur materi, secara umum materi himpunan yang disajikan
adalah konsep himpunan, relasi himpunan, operasi himpunan dan diagram venn
seperti yang terlihat dalam bagan berikut

15
HK o n s e
i p
m H i m p
p u n a n
u d a n
n D i a g r
a a m
n V e n n
Gambar 3.1 Peta konsep materi himpunan

Peta konsep diatas digunakan sebagai pembanding struktur materi yang


tercermin dalam pandangan historis dan pandangan praktis pembelajaran konsep
himpunan yang akan dikaitkan dengan learning trajectory. Struktur materi yang
tercermin dalam pembelajaran selama ini, secara umum hampir mendekati
sturktur materi yang terdapat dalam bagan tersebut.
Pada kurikukum 1975 materi himpunan yang disajikan lebih sedikit
dibandingkan dengan materi himpunan yang ada pada saat kurikulum 2013.

16
,IR
k
-D
y
H
th
d
le
p
m
o
K
g
u
b
(G
n
a
ris
);f
Menurut penulis karena materi himpunan ini baru di berikan pada saat kurikulum
1975 maka materi yang disajikannya pun lebih bersifat pokok, adapun materi
himpunan disajikan dalam bentuk konsep materi di bawah ini.

Gambar 3.2 Peta konsep materi himpunan pada buku sumber kurikulum 1975

Pada kurikulum 1975 terdapat perbedaan struktur materi dimana materi


himpunan sama diletakan sebelum siswa memahami himpunan bagian. Akan lebih
baik jika siswa mempelajari himpunan bagian terlebih dahulu sebelum
mempelajari himpunan sama. Hal ini akan berdampak pada kegiatan proses
belajar dimana siswa harus mengkontruksi pemahamannya sendiri mengenai
himpunan sama. Jika siswa telah belajar himpunan bagian, memungkinkan siswa
dapat memformulasikan himpunan sama secara matematis dengan menggunakan
konsep himpunan bagian selain itu jika himpunan sama diletakan setelah
menentukan banyak himpunan siswa dapat menemukan akibat dari himpunan
sama ditinjau dari banyaknya anggota himpunan (kardinalitas himpunan). Jika
dibandingkan penempatan himpunan sama setelah himpunan bagian akan lebih
memberikan kemudahan bagi siswa dalam mengkontruksi pemahaman konsep
himpunan secara keseluruhan. Penentuan tahapan materi yang sesuai akan
membantu guru dalam menciptakan situasi belajar yang memungkinkan siswa

17
melakukan aksi, formulasi dan validasi. Selain itu berdasarkan learning trajectory
terdapat kekeliruan lain dalam struktural materi. Terjadi lompatan belajar yang
dialami oleh siswa dimana materi diagram venn tidak diberikan sehingga
memunculkan potensi learning obsctacle didaktis. Siswa akan kesulitan dalam
memahami materi selanjutnya yang berkaitan dengan diagram venn.
Pada kurikulum-kurikulum setelahnya kesalahan stuktural ini dapat diperbaiki
dengan adanya penjelasan mengenai diagram venn dan penempatan himpunan
sama setelah himpunan bagian. Namun pada kurikulum setelahnya, penempatan
materi diagram venn berbeda-beda. Jika pada kurikulum 2004 materi diagram
venn disajikan setelah memahami himpunan namun pada kurikulum 2006
diagram venn disajikan diakhir pembahasan himpunan sebelum sub-bab
menyelesaikan permasalahan dengan diagram venn. Pada kurikulum 2004
diagram venn digunakan untuk membantu pemahaman siswa dalam menentukan
komplemen, irisan dan gabungan dari relasi dua himpunan. Dari diagram venn
siswa dapat mengetahui dengan jelas relasi dua himpunan dan siswa dapat
menemukan sifat operasi dua himpunan. Sebagai contoh melalui diagram venn
siswa dapat mengambil kesimpulan jika himpunan A dan himpunan B saling
lepas maka A B = . Sehingga dalam kurikulum 2004 dalam mencari sifat
operasi dari relasi dua himpunan siswa menggunakan diagram venn sedangkan
dalam kurikulum 2006 siswa hanya diberikan contoh kemudian diberikan
penyataan tanpa ada proses menemukan. Sifat operasi dari relasi dua himpunan
siswa diberikan secara langsung melalui contoh yang diberikan. Selain itu dalam
menyelesaikan permasalahan terkait operasi himpunan terdapat perbedaan yang
sangat signifikan antar kurikulum 2004 dan 2006. Misalnya menentukan
banyaknya anggota dari gabungan dua himpunan, jika dalam kurikulum 2004
siswa menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan diagram venn
namun dalam kurikulum 2006 siswa diberikan secara langsung rumus dalam
mencari banyaknya anggota dari gabungan dua himpunan seperti yang terlihat
dalam gamber berikut

18
Gambar 3.3 Menentukan banyaknya anggota dari gabungan dua himpunan
dalam buku sumber kurikulum 2006

Siswa SMP berdasarkan teori belajar Piaget berada pada tahap operasional
formal namun dalam kenyataannya banyak siswa yang masih berada pada tahap
operasional konkret. Diagram venn merupakan strategi iterasi penting yang dapat
membantu siswa dalam mengorganisasi secara grafis. Diagram Venn digunakan
sebagai alat bantu untuk menggambarkan suatu himpunan atau hubungan antar
himpunan. Dengan menggunakan diagram venn siswa dapat mendefinisikan
semua hubungan yang mungkin antar himpunan serta dapat mengetahui sifat
operasi yang muncul. Diagram venn dapat membantu siswa dalam
menghubungkan ide-ide dan informasi numerik menjadi representasi visual logis
sehingga dengan demikian siswa mampu mengingat informasi dan memahami
bagaimana menemukan probabilitas tertentu. Digram venn menjadi solusi terbaik
dalam memvisualisasi struktur dari hubungan 2 atau 3 himpunan. Diagram venn
dapat menjadi teknik yang berkerja sangat baik dalam tujuan tertentu namun tidak
dapat dipungkiri bahwa diagram venn tidak dapat digunakan ketika jumlah
banyaknya himpunan terlalu banyak. Namun dalam hal ini untuk pembelajaran
konsep himpunan di SMP yang menggunakan diagram venn dibatasi untuk relasi
2 sampai 3 himpunan sehingga diagram venn masih dapat dipergunakan sebagai
alat bantu yang baik dalam memahami konsep himpunan di SMP.
Berdasarkan learning trajectory menurut penulis sendiri untuk diagram venn
lebih baik disajikan setelah memahami relasi dua himpunan, karena dengan
disajikan setelah relasi dua himpunan hal itu dapat membantu siswa memahami
secara visual materi himpunan selanjutnya dan dapat menggali lebih dalam dan
menemukan sendiri sifat-sifat operasi dua himpunan jika diberikan relasi dua
himpunan sehingga siswa dapat belajar bermakna tanpa diberikan oleh guru.

19
Pergantian kurikulum selanjutnya yaitu pada kurikulum 2013, materi diagram
venn disajikan kembali diawal setelah materi memahami himpunan. Seperti yang
terlihat pada peta konsep materi himpunan pada kurikulum 2013 berikut ini

HK o n s e
i p
m H i m p
p u n a n
u d a n
n D i a g r
a a m
n V e n n

Sifat-sifat Operasi Himpunan

Gambar 3.4. Peta konsep materi himpunan pada buku sumber kurikulum 2013

20
Secara struktur, pada kurikulum 2013 yang berbeda yaitu penempatan
diagram venn, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya lebih baik diagram venn
disajikan setelah memahami relasi dua himpunan.
Untuk menjelaskan pembelajaran konsep himpunan informasi selain
diperoleh melalui buku sumber juga diperoleh melalui hasil wawancara, serta
RPP.
Proses pembelajaran konsep himpunan (pengertian himpunan, anggota
himpunan, menyatakan himpunan, kardinalitas himpunan, himpunan hingga dan
tak hingga, himpunan kosong dan himpunan semesta) pada kurikulum 1975 dalam
kegiatan belajar yang terdapat dalam satuan pelajaran guru langsung menerangkan
materi tersebut disertai dengan contoh kemudian memberikan soal yang harus
diisi oleh siswa. Siswa hanya berperan sebagai murid yang siap menerima
pengetahuan secara langsung dari gurunya, tidak terlihat desain yang mengarah
kepada siswa untuk dapat melakukan aksi. Desain pembelajaran pada kurikulum
1975 tidak didasarkan pada TDS, akibatnya kemungkinan pembelajaran yang
dialami oleh siswa menjadi pembelajaran yang tidak bermakna, kemungkinan
besar siswa hanya mengerti karena diberi contoh bukan dari pemahamannya
sendiri berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Maka dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya siswa tidak belajar. Tidak berbeda jauh dengan
kurikulum 1975, pada kurikulum 2004, 2006 dan 2013 pembelajaran konsep
himpunan dimulai dengan perintah untuk mengamati suatu kejadian untuk dapat
mendefinisikan himpunan. Siswa hanya mengamati tidak melakukan proses
berpikir selanjutnya guru mendefinikan pengertian himpunan. Proses tersebut
hanya sebatas mengamati yang mungkin tidak menyebabkan siswa untuk berpikir
maka konsep TDS belum diimplementasikan dalam pembelajaran ini. Jika
pembelajaran himpunan dilakukan seperti pembelajaran diatas, siswa memahami
himpunan hanya sebagai kumpulan yang dapat didefinisikan dengan jelas. Namun
jika siswa diberikan pertanyaan apakah P termasuk himpunan ? Jika P = { 1,2,A,B
}. Menurut penulis banyak siswa yang akan terkecoh dan menyebutkan bahwa P
bukan himpunan karena tidak jelas kumpulan apa yang dimaksud, kurangnya
pemaknaan siswa terhadap himpunan akan menyebabkan learning obstacle
muncul dalam pembelajaran.

21
Untuk konsep lainnya menurut penulis cukup wajar jika pembelajaran
dilakukan secara langsung karena hal tersebut menyangkut penulisan secara
matematis yang harus berlaku secara umum, karena tidak semua konsep harus
ditemukan semua siswa apalagi pada pembelajaran dikelas terbatas oleh waktu
dan ada materi lain yang prioritasnya lebih tinggi untuk dapat ditemukan oleh
siswa sendiri dibandingkan dengan konsep himpunan yang menyangkut penulisan
secara matematis.
Sebelum menjelaskan pembelajaran materi himpunan yang lain penulis akan
mengemukakan pembelajaran pada kurikulum 1975 karena desain pada kurikulum
1975 pada materi himpunan yang lainnya dapat digeneralisasikan. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa materi pada buku sumber kurikulum 1975 bersifat
konsep dan langsung diberikan beserta contohnya. Dalam soal-soal latihan yang
terdapat dalam buku sumber, soal-soal yang diberikan tidak hanya soal yang rutin
tetapi soal-soal yang diberikan lebih mengarah kepada pemecahan masalah, serta
masalah-masalah yang diberikan mengarah kepada pendalaman materi himpunan
yang tidak dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh sifat-sifat operasi pada
himpunan tidak disajikan dalam bentuk sub-bab materi tetapi disisipkan dalam
latihan-latihan sehingga memungkinkan siswa untuk menggali sendiri sifat-sifat
operasi pada himpunan. Namun tentu saja menurut penulis hal ini sangat tidak
sesuai, siswa akan mengalami kesulitan dan akan menemui banyak kendala karena
dalam proses pemberian materi sendiri, siswa tidak dibiarkan untuk menggali
pemahamannya sendiri. Dengan pembelajaran secara langsung, pengetahuan yang
diperoleh siswa bukan pengetahuan yang bermakna bahkan dapat dikatakan
bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan palsu. Siswa
dapat menyelesaikan permasalahan seperti yang diberikan dalam contoh, namun
ketika diberikan permasalahan lain yang berbeda atau permasalahan yang sifatnya
menguji konsep tentunya menurut penulis siswa tidak akan mampu
melakukannya. Dalam soal siswa diarahkan untuk menemukan pengetahuan baru
tentang himpunan, namun bagaimana mungkin siswa dapat menemukan
pengetahuan baru jika pengetahuan yang dijadikan dasarnya pun siswa tidak
memperolehnya sendiri tetapi hanya diberikan. Proses pembelajaran seperti ini
tentunya akan menyebabkan learning osctacle didaktis dan akan menimbulkan

22
learning osctacle epistemologis pada pembelajaran himpunan selanjutnya karena
pembelajarannya tidak didasarkan pada TDS.
Pembahasan mengenai pembelajaran materi himpunan selanjutnya tidak akan
menyinggung pembelajaran pada kurikulum 1975 karena telah dijelaskan secara
umum diatas, pembahasan selanjutnya berdasarkan kurikulum 2004, 2006 dan
2013.
Pada pembelajaran relasi himpunan pada kurikulum 2004 dan 2006 materi
himpunan bagian dijelaskan melalui contoh lalu didefinisikan dan materi
himpunan kuasa didapat dari generalisasi pola yang diperoleh. Pembelajaran
tersebut belum mencerminkan pembelajaran berdasarkan TDS meskipun terdapat
kegiatan siswa dimana siswa menemukan sendiri banyaknya himpunan kuasa
melalui generalisasi pola namun langkah aksi yang seharusnya siswa berpikir
untuk menyelesaikan masalah yang diberikan guru namun pada kenyataanya
gurulah yang membimbing siswa untuk menemukan solusi dan strategi bukan
siswa yang berpikir sendiri. Situasi aksi yang diberikan tidak berjalan seperti
seharusnya.
Dalam pembelajaran himpunan saling lepas, saling bebas dan operasi
himpunan dalam kurikulum 2004 diperoleh melalui pengamatan siswa dari relasi
dua himpunan dalam diagram venn. Siswa mengamati dan berpikir tentang
kemungkinan-kemungkinan relasi yang mungkin. Pada awalnya siswa diberikan
pengertian tentang irisan, gabungan dan komplemen, kemudian dari diagram venn
siswa dapat mengetahui dengan jelas relasi dua himpunan berdasarkan hasil
operasi yang diberikan kepadanya sehingga siswa dapat mendefinisikan apa itu
himpunan lepas. Berbeda dengan pembelajaran pada kurikulum 2004, pada
kurikulum 2006 materi himpunan disajikan setelah operasi himpunan sehingga
materi tentang himpunan yang saling lepas dan operasi himpunan tidak dikaitkan
dengan diagram venn dan hanya diberikan secara langsung oleh guru.
Setiap materi himpunan pada kurikulum 2004 disajikan berdasarkan keadaan
kontekstual pada kegiatan sehari hari siswa, siswa diajak untuk memperhatikan
ilustrasi yang diberikan dan menarik kesimpulan dari apa yang telah disajikan.
Materi disajikan berdasarkan contoh-contoh kemudian siswa dibimbing untuk
dapat memahami konsep yang akan ditemukan oleh siswa. Secara umum pada

23
pembelajaran himpunan pada kurikulum 2004 dan 2006 sebenarnya
menginginkan siswa untuk dapat mengkontruksi pemahamannya sendiri namun
dalam proses pembelajarannya belum tercermin situasi aksi, formulasi apalagi
validasi sehingga kemungkinan adanya learning obstacle dapat terjadi selama
proses pembelajaran.
Pada pembelajaran materi himpunan pada kurikulum 2013, desain
pembelajaran telah disusun berdasarkan pendekatan scientific dimana langkah
pembelajaran pada setiap materi hampir sama yaitu mengamati, menanya,
menggali informasi, alternatif penyelesaian, menalar dan berbagi. Selain itu dalam
menyajikan materi tertentu dalam kurikulum 2013 kegiatan pembelajarannya
dapat berupa masalah, alternatif pemecahn masalah, menanya, menggali informasi
/ guru memberikan sedikit informasi, menalar dan berbagi. Dalam kurikulum
2013, proses pembelajaran selalu dimulai dengan mengamati atau diberikan
permasalahan. Hal ini sesuai dengan konsep TDS dimana guru telah mendesain
proses pembelajaran sehingga berdasarkan aktivitas-aktivitas yang diberikan
siswa dapat membangun pemahamannya sendiri. Situasi aksi dalam pembelajaran
terlihat dengan jelas ketika siswa diberi permasalahan atau mengamati suatu
kondisi tertentu, namun dalam proses pembelajaran guru memberi petunjuk dan
saran tentang apa yang harus dilakukan dan metode yang digunakan. Hal ini tentu
saja bertentangan dengan situasi a-didaktik yang harus dilalui siswa dimana
intervensi guru harus ditekan sekecil mungkin. Sehingga hipotesis atau
pengetahuan yang diperoleh siswa bukan hasil berpikir sendiri, situasi formulasi
tercermin dari kegiatan menanya, menggali informasi dan alternatif penyelesaian,
selain itu situasi validasi mungkin terjadi ketika proses menalar dan berbagi.
Namun meskipun terdapat kemungkinan situasi aksi, formulasi dan validasi
terdapat kecacatan pada situasi tersebut sehingga tujuan dari TDS nya akan
menjadi kabur dan bahkan pada akhirnya pembelajaran yang dilakukan akan
menjadi pembelajaran yang bukan membangun pemahaman siswa sendiri.
Dalam situasi aksi yang terjadi, intervensi guru lebih besar karena setelah
memberikan masalah guru cenderung terus memberikan petunjuk apa yang harus
dilakukan oleh siswa. Siswa tidak dibiarkan berkembang menurut alur pikiran
sendiri, guru tidak mendesaign situasi yang dapat mengasi semua kemungkinan

24
respon yang diberikan oleh siswa bahkan setelah diberikan masalah guru
memberikan alternatif pemecahan masalah yang seharusnya ditemukan oleh siswa
sendiri. Pada akhirnya proses pembelajaran yang terjadi gagal dalam memberikan
situasi aksi yang diharapkan sesuai dengan TDS. Dalam situasi yang diberikan
siswa tidak dapat melakukan aksi, formulasi bahkan validas sehingga
pembelajaran yang terjadi bukan pembelajaran yang berdasarkan theory of
didactical situation.
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru yang mengajar kelas VII
disalah satu sekolah yang ada di Kabupaten Bandung Barat, proses pembelajaran
himpunan yang diterapkan oleh guru tersebut dalam penyampaian materi guru
tersebut tidak mengikuti buku sumber kurikulum 2013. Pada saat pembelajaran
guru tersebut menggabungkan proses pembelajaran antara KTSP dan kurikulum
2013. Dalam penyampaian materi guru tidak serta merta menerapkan materi yang
telah disusun oleh buku sumber tetapi guru akan cenderung memberikan materi
sesuai dengan esensial urutan materi yang disajikan agar kesulitan yang dialami
oleh siswa bisa diminimalisir.
Sebagai contoh guru tersebut dalam menyampaikan materi tidak sesuai
dengan buku sumber. Jika dalam buku sumber penyampaian materi diagram venn
diberikan setelah penyampaian konsep himpunan, namun guru tersebut
memberikan materi diagram venn setelah materi relasi dan operasi himpunan.
Penyampaian materi diagram venn diakhirkan karena menurut guru tersebut
dalam memahami diagram venn memerlukan pemahaman tentang relasi
himpunan, komplemen himpunan dan lain-lain. Jika materi diagram venn
didahulukan diprediksi siswa akan mengalami kesulitan dalam pemahaman
konsep himpunan.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan penulis yang menyarankan diagram
venn dibahas setelah memahami relasi dua buah himpunan sehingga
memungkinkan siswa menggali pengetahuan tentang konsep himpunan yang lain
yang hanya bisa melalui bantuan diagram venn, jika disimpan diakhir pembahasan
maka berdasarkan learning trajectory akan ada lompatan belajar yang dialami
oleh siswa dalam memahami konsep himpunan sehingga dikhawatirkan timbulnya
learning obstacle.

25
Dalam proses pembelajaran materi himpunan guru tersebut menerapkan
pendekatan inkuiri dimana siswa menggali pemahaman dan pengertian mengenai
konsep himpunan tersebut. Sebagai contoh dalam proses pembelajaran dalam
mendefinisikan himpunan semesta, siswa diberikan beberapa data sehingga siswa
mampu menunjukan bahwa itu adalah himpunan semesta.
Dalam proses pembelajaran siswa harus menggali sendiri pemahamannya,
bahkan dalam proses menggali pemahaman itu ditemukan penyelesaian yang
berbeda dari yang diharapkan. Siswa kadang menemukan hal yang diluar prediksi
guru. Namun kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran
berlangsung adalah ketika tidak semua siswa dapat menggali pemahamannya
sendiri, sebagian siswa lainnya kebingungan sehingga diperlukan bimbingan
khusus dari guru. Dalam kasus ini sebenarnya siswa sudah ditempatkan pada
situasi a-didaktik dimana siswa dpat melakukan aksi namun dengan adanya
bimbingan khusus tersebut, guru cenderung memberikan saran metode
penyelesaian dari permasalahan yang dialami siswa bukan memberikan situasi
lain yang dapat menuntun siswa berpikir mencari penyelesaian lain. Pada kondisi
ini cenderung guru memberikan apa yang telah menjadi tujuan awal pembelajaran
tanpa adanya pemahaman bahwa hal ini dapat memaksa siswa untuk mengikuti
apa yang menjadi kehendak guru sehingga proses pembelajaran yang seharusnya
ditemukan dan dimiliki oleh siswa menjadi pembelajaran palsu dimana siswa
tidak menemukan pemaknaan dalam proses pembelajaran tersebut hanya
mengikuti instruktur guru. Sehingga pembelajaran yang terjadi tidak sesuai
dengan konsep theory of didactical situations.
Berdasarkan permasalahan ini konsep TDS sangat diperlukan dalam
menangani masalah tersebut dimana bagaimanapun caranya guru harus
memberikan situasi lain yang yang dapat membantu siswa, apabila siswa
mengalami kesulitan dalam situasi a-didaktik yang diberikan maka peran guru
harus lebih dominan dalam situasi didaktis. Situasi didaktis inilah yang menjadi
harapan agar siswa dapat mendapatkan pengetahuannya tanpa diberikan oleh
guru.

26
3.2 Potensi Learning Obstacle Didaktis Dalam Pembelajaran Konsep Himpunan

Learning obstacle merupakan hambatan belajar yang terjadi dalam proses


pembelajaran yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakmampuan atau
kegagalan dalam belajar. Berdasarkan kajian mengenai pandangan historis dan
pandangan praktis yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dalam pembelajaran
konsep himpunan penulis menemukan beberapa potensi learning obstacle.
Dalam learning obstacle terkait didaktis. Desain pembelajaran yang disusun
oleh guru pada beberapa konsep himpunan hanya diberikan secara langsung
disertai contoh soal, guru tidak membiarkan siswa untuk aktif terlibat
pembelajaran. Ada saat ketika guru memberikan masalah dan situasi yang
memungkinkan siswa untuk melakukan aksi, namun pada saat pelaksanaanya
pada akhirnya guru tetap memberikan petunjuk dan saran tentang apa yang harus
dilakukan dan metode yang digunakan sehingga pembelajaran yang terjadi tidak
sesuai dengan situasi aksi yang diharapkan. Sehingga pada akhirnya siswa tidak
dapat melakukan formulasi bahkan validasi.
Learning obstacle terkait epistimologis, hambatan epistimologis yang terjadi
pada siswa diakibatkan karena adanya learning obstacle didactic sehingga
pembelajaran cenderung meniru apa yang telah dilakukan oleh gurunya. Siswa
belajar meniru bukan belajar bermakna sehingga ketika dihadapkan dalam konteks
aplikasi lainnya siswa tersebut akan mengalami kesulitan.
Selain itu, berdasarkan learning trajectory dalam pembelajaran terdapat
lompatan belajar yang menyebabkan adanya ketidaksesuain urutan tugas
pembelajaran dengan kondisi perkembangan berpikir dan belajar siswa berakibat
pada munculnya potensi learning obstacle yang dialami oleh siswa.
Pertama potensi learning obstacle terkait pemahaman dan pemaknaan konsep
himpunan oleh siswa.
Kedua potensi learning obstacle terkait pemecahan masalah yang sifatnya non
rutin maupun penyelesaian masalah terkait konsep himpunan.
Ketiga potensi learning obstacle terkait menafsirkan diagram venn kedalam
bentuk simbol matematis maupun sebaliknya.

27
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dalam isi materi konsep himpunan dari kurikulum 1975 sampai kurikulum
2013 tidak banyak berubah namun ada beberapa penambahan dan pengurangan
materi himpunan. Awalnya materi himpunan hanya memuat materi pokok
himpunan namun seiring perkembangan kurikulum terdapat materi-materi
pengayaan materi himpunan yang mulai ditambahkan pada pembahasan materi
himpunan.
Dalam segi struktur materi, hanya terdapat sedikit perbedaan dalam struktur
materi pada setiap kurikulum. Pada kurikulum 1975 terdapat perbedaan struktur
materi dimana materi himpunan sama diletakan sebelum siswa memahami
himpunan bagian, selain itu terdapat perbedaan penempatan materi diagram venn.
Jika pada kurikulum 2004 materi diagram venn disajikan setelah memahami
himpunan namun pada kurikulum 2006 diagram venn disajikan diakhir
pembahasan himpunan sebelum sub-bab menyelesaikan permasalahan dengan
diagram venn. Begitupun pada kurikulum 2013 diagram venn berada diawal pada
pembahasan konsep himpunan. Berdasarkan teori laerning trajectory hal ini akan
mengakibatkan adanya potensi learning obstacle yang akan dialami oleh siswa.
Karena menurut penulis sebaiknya diagram venn diletakkan setelah siswa
memahami konsep relasi dua himpunan.
Dalam proses pembelajaran dari kurikulum 1975 sampai kurikulum 2013,
desain pembelajaran yang disusun oleh guru lebih banyak mengarah kepada
pembelajaran langsung dimana siswa tidak benar-benar belajar. Ada saat ketika
guru memberikan masalah dan situasi yang memungkinkan siswa untuk
melakukan aksi, namun pada saat pelaksanaanya pada akhirnya guru tetap
memberikan petunjuk dan saran tentang apa yang harus dilakukan dan metode
yang digunakan sehingga pembelajaran yang terjadi tidak sesuai dengan situasi
aksi yang diharapkan. Sehingga pada akhirnya siswa tidak dapat melakukan
formulasi bahkan validasi. Dalam pembelajaran belum terlihat adanya situasi aksi,
formulasi dan validasi yang sesuai dengan teori situasi didaktis. Sehingga

28
pembelajaran konsep himpunan yang ditinjau dari pandangan historis dan
pandangan praktis yang terjadi sampai saat ini belum sesuai dengan theory of
didactic situations.
Berdasarkan learning trajectory terjadi lompatan belajar yang memungkinkan
timbulnya learning obstacle didactic dan learning obstacle epistemologis.
Sehingga berdasarkan learning didactic dan learning trajectory penulis
menemukan bebrapa potensi learning obstacle yaitu pertama potensi learning
obstacle terkait pemahaman dan pemaknaan konsep himpunan oleh siswa, kedua
potensi learning obstacle terkait pemecahan masalah yang sifatnya non rutin
maupun penyelesaian masalah terkait konsep himpunan, dan ketiga potensi
learning obstacle terkait menafsirkan diagram venn kedalam bentuk simbol
matematis maupun sebaliknya.

4.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis pembelajaran himpunan berdasarkan pandangan
praktis dan pandangan historis ditemukan beberapa potensi learning obstacle
didaktis yang terjadi pada saat pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk dapat membuat suatu desain yang memperhatikan
learning trajectory dan learning obstacle yang terjadi pada pembelajaran
himpunan. Oleh karena itu kajian mengenai kerangka teoritis konsep himpunan
(berdasarkan theory of didactic situations) ini dapat dijadikan pertimbangan dalam
pembuatan desain didaktis konsep himpunan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Armana, A., Ariyanto, & Masuki. (2011). Peningkatan Pemahaman Konsep dan
Prestasi Belajar Matematika Melalui Metode Guided Note Taking pada
Materi Himpunan (PTK pada siswa kelas VII Semester SMP Al-Islam 1
Surakarta) Tahun Ajaran 2010/2011. Prosiding Seminar Nasional
Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 24 Juli 2011. [Online]. Diakses dari
eprints.ums.ac.id/13714/1/2._Cover-Abstrak.PDF
Brosseau, G. (2002). Theory of Didactical Situations in Mathematics. Newyork:
Kluwer Academic Publisher. [Online]. Diakses dari
http://id.scribd.com/doc/137088755/BOOK-Theory-of-Didactical-
Situations-in-Math-Brousseau#scribd
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1979). Matematika 4 untuk SMP.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
E, S., Stamer, R. P., Pot, H. N., Sijp, L., Schoemaker, G., & Rookhuizen, G. v.
(1975). Matematika Modern untuk Orangtua Murid. Jakarta: Bhratara
Eves, H. W., & Newsom, C. V. (1965). An Introduction To The Foundations And
Fundamental Concepts Of Mathematics. United State: Holt, Rinehart and
Winston.

Hakim, D. T. Belajar Secara Efektif. Niaga Swadaya.

Hidayati, F. (2010). Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16
Yogyakarta Dalam Mempelajari Aljabar. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta. [Online]. Diakses dari
eprints.uny.ac.id/1745/1/Fajar_Hidayati.pdf

Irianto, B., Kamil, R. (2005). Matematika 1 untuk SMP/MTs Kelas VII. Bandung :
Acarya Media Utama
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Matematika SMP/MTs Kelas
VII Semester 1 Edisi Revisi 2014. Jakarta: KementiranPendidikan dan
Kebudayaan.
Nuharini, D., Wahyuni, T. (2008). Matematika 1: Konsep dan Aplikasinya: untuk
kelas VI SMP/MTs 1. Jakarta: CV. Usaha Makmur.

30
Ruseffendi, E. (1980). Pengantar Matematika Modern untuk orangtua murid
guru dan spg. Bandung: Tarsito.

Suryadi, D. (2010). Penelitian Pembelajaran Matematika Untuk Pembentukan


Karakter Bangsa. Seminar Nasional Matematika Pendidikan Matematika,
Yogyakarta, 24 November 2010. [Online]. Diakses dari
http://core.ac.uk/download/pdf/11067334.pdf

Suryadi, D. (t.thn.). Pendidikan Matematika. [Online]. Diakses dari http://didi-


suryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/PENDIDIKAN-MATEMATIKA.pdf

Wakhidatunisyak. (2012). Analisis Kesulitan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal


Matematika Materi Himpunan Kelas VIID MTs Assyafiiyah Gondang.
Tulungagung: STAIN Tulungagung. [Online]. Diakses dari http://opac.iain-
tulungagung.ac.id/index.php?p=show_detail&id=11948

31
LAMPIRAN

32
Lampiran 1. Satuan Pelajaran (RPP) kurikulum 1975

33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
Lampiran 2. RPP Kurikulum 2006

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


(RPP)
Sekolah :
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/2
Standar Kompetensi : 4. Menggunakan konsep himpunan dan diagram venn
dalam pemecahan maslah.
Kompetensi Dasar : 4.1. Memahami pengertian dan notasi himpunan serta
penyajiannya.
Indikator : 1. Menyatakan masalah sehari-hari dalam bentuk
himpunan dan mendaftar anggotanya.
2. Menyebutkan anggota dan bukan anggota himpunan.
3. Menyatakan bnotasi himpunan.
4. Mengenal himpunan kosong dan notasinya.
5. Mengenal himpunan berhingga dan himpunan tak
berhingga.
Alokasi Waktu : 4 x 40 menit (2 pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
a. Siswa dapat menyatakan masalah sehari-gari dalam bentuk
himpunan dan mendata anggotanya.
b. Sisiwa dapat menyebutkan menyebutkan anggota dan bukan
anggota himpunan.
c. Siswa dapat menyatakan notasi himpunan.
d. Siswa dapat menyebutkan himpunan kosong dan notasinya.
e. Siswa dapatmenyebutkan himpunan berhingga dan tak berhingga.

B. Materi Ajar
a. Pengertian himpunan.
b. Notasi himpunan.
C. Metode Pembelajaran.
Tanya jawab, diskusi kelompok dan pemberian tugas.
D. Langkah-langkah kegiatan
Pertemuan pertama.

43
Pendahuluan
Apersepsi : Mengingat kembali tentang impunan.
Motivasi : - Mengaitkanmateri yang akan dipelajari dg
kehidupan sehari-hari, msalnya dg memnita siswa memperhatikan
kumpulan benda-benda yang ada di lapangan sepak bola, di ruang
kelas, di rumah dsb.
- Siswa diminta untuk menyebutkan kumpulan apa
saja yang terdapat di tempat tempat yang disebutkan oleh guru atau
tempat yang disebutkan siswa sendiri.
Kegiatan Inti
a. Dengan tanya jawab guru mengarahkan siwa untuk
memahami pengertua n himpunan melalui pengenalan
kumpulan benda-benda yang ada di sekitar siswa atau
tempat-tempat
b. Guru meminta siswa untuk membentuk himpunan yang
diperoleh dari kumpulan-kupulan benda yang mungkin
dapat dibentuk menjadi himpunan.
c. Guru mengenalkan lambang himpunan.
d. Guru menjelaskan anggota suatu himpunan dan bukan
anggota suatu himpunan.
e. Guru/siswa mermberikan contoh suatu himpunan dan guru
menunjuk objek-objek tertentu sambil menanyakan apakah
objek-objek tersebut merupakan anggota himpunan atau
bukan.
f. Guru mengenalkan lambang untuk anggota suatu
himpuanan dan lambang untuk bukan anggota.
g. Siswa diminta mengerjakan LKS secara berkelompok
h. Siswa mengerjakan soal-soal latihan
Penutup
a. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman sebagai bahan refleksi.
b. Guru memberikan tugas (PR)

Pertemuan ke dua.
Pendahuluan.
Apersepsi : a. Membahas PR.
b. Mengingat kembali tentang pengertian himpunan.
Motivasi : Banyak kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan
himpunan.
Kegiatan inti.

44
a. Guru mengenalkan macam-mcam himpunan bilangan dg
memberikan beberapa contoh himpunan bilangan tertentu.
b. Guru menggunakan macam-macam himp bilangan (yang sudah
dikenalkan) dalam pengajian himpunan dengan notasi.
c. Guru bersama siswa membahas tentang himpunan kosong dan
notasinya
d. Guru/siswa membahas ttg pengertian himpunan berhingga dan tak
berhingga.
e. Siswa mengerjakan latihan.
Penutup.
a. dg bimbingan guru siswa diminta membuat rangkuman.
b. Refleksi.
c. Penugasan.
E. Alat dan sumber belajar.
Buku teks, LKS,
F. Penilaian.
Teknik penilaian : test.
Bentuk instrumen : Pertanyaan tertullis dan lisan.
Instrumen.
1. Sebutkan kumpulan objek yang merupakan himpunn yang ada di
sekitarmu.
2. sebutkan anggota-anggota himpunan nama siswa di kelasmu yang
dimulai dengan huruf A. Dan sebutkan pula yang bukan anggota.
3. Nyatakan dengan notasi himpunan : himpunan bilangan asli lebih dari 1
dan kurang dari 10.
4. Sebutkan contoh himpunan kosong.
5. Diketahui A = { 1,2,3,4,....}, B = { 1,2,3,...., 10} manakah yang
merupakan himpunan berhingga dan tak berhingga.

45
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Sekolah :
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/2
Aloki Waktu : 2 x 40 menit
Standar Kompetensi : 4. Menggunakan konsep himpunan dan diagram venn
dalam pemechan masalah
Kompetensi Dasar : 4.3 Melakukakan operasi irisan, gabungan, kurang
(diference) dan komplemen pada himpunan
Indikator : 1. Menentukan notasi irisan dan gabungan dari dua
himpunan
2. Menentukan irisan dan gabungan dari du himpunan
3. Menentukan kurang (difference) suatu himpunan dari
himpunan lainnya
4. Menentukan komplemen suatu himpunan
5. Menuliskan notasi komplemen suatu himpunan
Alokasi Waktu : 6 jam pelajaran (3 pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
a. Siswa dapat menuliskan irisan dan gabungan dari dua himpunan
b. Siswa dapat menggunakan operasi irisan dn gabungan dari dua
himpunan
c. Siswa dapat menggunakan operasi kurang
d. Siswa dapt menentukan komplemen suatu himpunan
e. Siswa dapat menuliskan notasi komplemen suatu himpunan

B. Materi Ajar
a. Notasi irisan dan gabungan dari dua himpunan
b. Operasi irisan dan gabungn dari dua himpunan
c. Operasi kurang suatu humpunan dari himpunan lainnya
d. Notasi dan operasi komplemen suatu himpunan

C. Metode Pembelajaran
a. Diskusi, tanya jawab

D. Langkah-langkah kegiatan

46
Pertemuan pertama
Pendahuluan
Apersepsi : Mengingat kembali tentang himpunan
Motivasi : materi himpunan banyak manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari
Kegiatan Inti
a. Dengan tanya jawab, siswa diminta untuk menyebutkan
contoh-contoh yang berhubungan dengan notasi dan
operasi irisan gabungan dari dua himpunan
b. Guru dan siswa mendiskusikan operasi irisan gabungan dari
dua himpunan
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
a. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman
b. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
c. Guru memberikan tugas (PR)

Pertemuan kedua
Pendahuluan
Apersepsi : Membahas PR
Motivasi : Himpunan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
Kegiatan Inti
a. Dengan tanya jawab, siswa diminta untuk menyebutkan
lambang kurang dari dua himpunan
b. Guru dan siswa mendiskusikan tentang operasi kurang dari
dua himpunan
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
a. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman
b. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
c. Guru memberikan tugas (PR)

Pertemuan ketiga
Pendahuluan
Apersepsi : Membahas PR
Motivasi : Setelah mempeljari himpunan siswa bisa
menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari

47
Kegiatan Inti
a. Siswa berdiskusi tentang komplemen dari dua himpunan
dengan kawan sebangku
b. Guru dan siswa berdialog bagaimana caranya menuliskan
notasi komplemen dari dua himpunan
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
d. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman
e. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
f. Guru memberikan tugas (PR)

E. Alat dan sumber belajar


Buku teks
F. Penilaian
a. Teknik : tes
b. Bentuk insttrumen : pertanyaan tertulis

Instrumen
1. K = {bilangan prima kurang dari 12}
L = {bilangan ganjil antara 2 dan 8}
Tentukan:
K L dan KL

2. Jika P = {bilangan bulat antara 1 dan 10}


Q = {bilangan bulat antara 0 dan 5}
Maka: A B = A B = ....

3. Diketahui; S = {1,2,3, ..., 10}


A = {1,2,3}
Tentukan A

48
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Sekolah :
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/2
Aloki Waktu : 2 x 40 menit
Standar Kompetensi : 4. Menggunakan konsep himpunan dan diagram venn
dalam pemechan masalah
Kompetensi Dasar : 4.5 Menggunakan konsep himpunan dalam pemecahan
masalah
Indikator : 1. Menyelesaikan masalah dengan menggunakan
diagram venn dan konsep himpunan
Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran
A. Tujuan Pembelajaran
Siswa dapat menyelesaikan masalah sehari-hari dengan
menggunakan diagram venn dan konsep himpunan

B. Materi Ajar
Hubungan diagram venn dengan konsep himpunan

C. Metode Pembelajaran
Diskusi kelompok, demonstrasi dan penemuan

D. Langkah-langkah kegiatan
Pendahuluan
Apersepsi : Mengingat kembali tentang diagram venn
Motivasi : Apabila materi ini dikusai dengan baik, maka akan
dapat membantu siswa dalam menyelesaikan
masalah sehari-hari

Kegiatan Inti
a. Dengan berdialog, siswa diminta menggambarkan diagram
venn yang berbentuk himpunan yang terdapat di dalam
kelas

49
b. Guru dan siswa mendiskusikan tentang pemecahan masalah
sehari-hari dengn menggunakan diagram venn
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber

Penutup
a. Dengan bimbingan guru, siswa diminta membuat
rangkuman
b. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
c. Guru memberikan PR

E. Alat dan Sumber Belajar


Buku teks dan penggaris

F. Penilaian
a. Teknik : Tes tulis
b. Bentuk instrumen : Tes Uraian

2. Siswa kelas VII A terdiri dari 40 orang, 18 orang menyenangi matematika, 25


orang menyenangi bahasa Inggris dan 8 orang menyenangi kedua-duanya
a. Buatlah diagram venn untuk menunjukkan keterangan diatas
b. Berapa siswa yang tidak menyenangi keduanya

3. Suatu kelompok siswa teridiri 100 orang, didata sebagai berikut:


26 orang menyenangi seni tari dan karawitan
21 orang menyenangi karawitan dan seni musik
19 orang menyenangi seni tari dan seni musik
40 orang menyenangi karawitan
46 orang menyenangi senitari
45 orang menyenangi seni musik dan
8 orang menyenangi ketiganya
a. Butlah diagram venn dari keterangan di atas
b. Berapa orang yang menyenangi seni tari tetapi tidak menyenangi karawitn
maupun seni musik
c. Berapa orang yang hanya menyenangi karawitan saja

50
Lampiran 3. RPP Kurikulum 2013

51
52
53
54
55
56
57
Lampiran 4. Kartu Bimbingan Seminar Pendidikan Matematika

Lampiran 5. Daftar hadir dosen dalam Seminar Pendidikan Matematika

58
59

Anda mungkin juga menyukai