MAKALAH
Oleh
BONITA CHINDIANI N
NIM 1205853
Dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis panjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, karena atas segala karunia dan kehendak-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Seminar Pendidikan Matematika. Tak lupa pula salawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada junjunan besar kita, nabi besar kita, Muhammad SAW,
kepada keluarganya, sahabatnya, dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis menulis sebuah makalah yang berjudul
Kerangka Teoritis Pembelajaran Konsep Himpunan (Berdasarkan Theory
of Didactic Situations). Selesainya makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed. selaku dosen pembimbing atas segala ilmu,
perhatian, kesabaran, masukan, dan inspirasi yang telah diberikan.
2. Dra. Hj. Ade Rohayati, M.Pd. selaku koordinator Seminar Pendidikan
Matematika.
3. Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D. selaku ketua Departemen Pendidikan
Matematika.
4. Eyus Sudihartinih, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Seminar Pendidikan
Matematika yang telah membimbing selama ini.
5. Ayahanda dan Ibunda penulis tercinta, atas doa dan segala pengorbanan yang
telah diberikan selama ini. Semoga Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang membalas dengan balasan yang sebaik-baiknya.
6. Kakak dan adik serta saudara-saudara yang telah memberikan dukungan
moril.
7. Semua teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan
Indonesia angkatan 2012, atas dukungan dan semangatnya selama ini.
8. Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat kepada semua orang yang telah
membantu penulisan makalah ini. Semoga amal baiknya mendapatkan balasan
dari Allah SWT, amin.
1
Penulis telah menulis makalah ini dengan segala kemampuan yang penulis
miliki. Apabila pembaca menemukan kekurangan dalam isi makalah ini, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap makalah ini dapat berguna
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membacanya.
Bonita Chindiani N
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................................v
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah....................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3. Tujuan................................................................................................................4
1.4. Manfaat..............................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................6
KAJIAN PUSTAKA..........................................................................................................6
2.1. Theory of Didactic Situations.............................................................................6
2.2. Learning Obstacle............................................................................................12
2.3. Learning Trajectory..........................................................................................12
BAB III............................................................................................................................14
PEMBELAJARAN KONSEP HIMPUNAN DARI SUDUT PANDANG HISTORIS,
PRAKTIS SERTA POTENSI LEARNING OBSTACLE....................................................14
3.1 Pandangan Historis Dan Pandangan Praktis Dalam Pembelajaran Konsep
Himpunan.....................................................................................................................14
3.2 Potensi Learning Obstacle Didaktis Dalam Pembelajaran Konsep Himpunan.27
BAB IV............................................................................................................................28
PENUTUP.......................................................................................................................28
4.1 Kesimpulan......................................................................................................28
4.2 Saran................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30
LAMPIRAN.....................................................................................................................32
3
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR LAMPIRAN
6
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
Urgensi materi himpunan untuk dipelajari siswa berbanding terbalik dengan
hasil penguasaan konsep himpunan yang dimiliki oleh siswa. Siswa SMP kelas
VII dan VIII berada pada tahap perkembangan kognitif operasi formal, dimana
seharusnya siswa sudah bisa berpikir secara abstrak tanpa menggunakan bantuan
benda konkret lagi. Namun pada kenyataannya pada materi himpunan, masih
banyak siswa yang kurang memahami konsep himpunan, notasi-notasi himpunan,
menafsirkan diagram venn serta kurangnya kemampuan dalam pemodelan soal
matematika. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di SMP Al-Islam 1 Surakarta
tahun 2010/2011. Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa
Adanya kesulitan belajar yang dialami siswa dalam materi himpunan dapat
dilihat dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayati pada siswa
kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta menunjukkan bahwa
2
ketika siswa harus menyajikan himpunan dengan diagram Venn; (c) di dalam
penguasaan prinsip, siswa masih mengalami kesulitan dalam mengapreasiasikan
peran prinsipprinsip dalam matematika, yang berada pada kategori tinggi yaitu
74%; (2) faktorfaktor yang menyebabkan kesulitan belajar siswa SMP Negeri 16
Yogyakarta dalam mempelajari aljabar berasal dari faktor ekstern, yaitu
penggunaan alat peraga oleh guru dengan kategori cukup yaitu (49 %) (Hidayati,
2010, hlm. 7).
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dalam suatu pembelajaran terdapat
hambatan belajar baik yang timbul dari dalam diri siswa ataupun dari lingkungan.
Menurut Brosseau (2002, hlm. 101), We shall thus find didactical obstacle : of
ontogenic origin, of didactical origin and of epistemological origin. Tiga faktor
penyebab munculnya kesulitan belajar (learning obstacle) khususnya hambatan
kognitif bisa berupa hambatan ontogeni, hambatan epistemologi dan hambatan
didaktis.
Agar siswa dapat memahami suatu konsep dengan benar dan mengatasi
kesulitan yang dialaminya sehingga tidak menjadi penghambat dalam memahami
materi selanjutnya, sebagai seorang guru harus dapat merancang suatu konsep
pembelajaran yang dapat mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mencoba menyelesaikan permasalah diatas.
Pramita Dewiatmini pada tahun 2010 melakukan penelitian yang berjudul Upaya
Meningkatkan Konsep Matematika Pada Pokok Bahasan Himpunan Siswa Kelas
VII A SMP Negeri 14 Yogyakarta dengan Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa.
Selain itu penelitian juga dilakukan oleh disusun oleh Angky Armana, Ariyanto
dan Masduki pada tahun 2010/2011 untuk mengetahui peningkatan pemahaman
konsep dan prestasi belajar matematika melalui metode guided note taking pada
materi himpunan (PTK pada siswa kelas VII Semester Genap SMP AL-Islam 1
Surakarta Tahun Ajaran 2010/2011) dengan hasil penelitian menunjukan bahwa
penggunaan metode guided note taking dalam pembelajaran matematika dapat
meningkatkan pemahaman konsep himpunan pada siswa.
3
of didactic situations dimana learning obstacle dan learning trajectory menjadi
pertimbangan dalam pembelajaran, sehingga hal-hal yang belum dipertimbangkan
oleh peneliti sebelumnya bisa diperbaiki melalui pembelajaran berbasis theory of
didactic situations.
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pengkajian materi dalam
makalah ini adalah :
1. Mengetahui keterkaitan pandangan historis dan pandangan praktis
pembelajaran konsep himpunan dengan teori situasi didaktis
2. Mengetahui potensi terjadinya learning obstacle didaktis dalam pembelajaran
konsep himpunan
1.4. Manfaat
1. Bagi Penulis
Diharapkan peneliti sebagai calon guru dapat menyusun suatu
pembelajaran yang dapat mengatasi potensi learning obstacle dan potensi
learning trajectory yang akan dihadapi oleh siswa.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat menjadi sumber rujukan untuk penelitian lebih lanjut.
4
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab 2 kajian pustaka ini akan dibahas teori-teori yang menjadi
sandaran dalam pembahasan bab 3. Selain teori pokok mengenai theory of
didactic situations, akan dijelaskan pula mengenai teori learning obstacle dan
teori learning trajectory untuk menunjang dalam pembahasan selanjutnya.
2.1. Theory of Didactic Situations
Terinspirasi dari teori permainan matematika, Guy Brosseau pada tahun
1960-an di Perancis berusaha menawarkan suatu model yang disebut theory of
didactic situations. Theory of Didactic Situations atau teori situasi didaktis (TDS)
merupakan teori yang disusun berdasarkan gagasan tentang situasi a-didaktik dan
situasi didaktik pembelajaran matematika dikelas, yang dapat memberikan
kerangka sistemik untuk dapat menyelidiki dengan cara ilmiah, masalah terkait
dengan pembelajaran matematika dan bagaimana untuk mengatasi permasalahan
tersebut dan meningkatkan pembelajaran matematika.
Menurut Brosseau (2002) pandangan situasi didaktis sebagai lingkungan
siswa yang terorganisasi dan dikemudikan oleh guru serta pandangan yang lebih
luas termasuk guru dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Dalam Radford (2008) terdapat 4 prinsip dalam TDS yaitu :
1. Pengetahuan sebagai solusi optimal dalam situasi atau masalah tertentu
2. Belajar merupakan suatu bentuk adaptasi kognitif
3. Untuk setiap bagian dari pengetahuan matematika terdapat keluarga situasi
yang dapat memberikan makna yang tepat
4. Otonomi siswa adalah syarat perlu untuk belajar matematika yang
sesungguhnya
Dalam memahami didaktik matematika sebagai penelitian tentang kondisi
dalam pembelajaran matematika melalui lembaga pendidikan, TDS telah
mengadopsi perspektif sistemik. Perspektif sistemik ini tercermin dalam
organisasi teori mengenai gagasan tentang situasi. Situasi pembelajaran dapat
dideskripsikan dan diklasifikasikan sebagai bentuk interaksi antara guru, siswa
dan lingkungannya. Situasi dalam pembelajaran dibedakan menjadi dua yaitu
situasi a-didaktik dan situasi didaktis.
6
Untuk mengetahui pengetahuan yang telah diperoleh oleh siswa, guru
memberikan suatu masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. Dengan
memberikan masalah kepada siswa, guru dapat mengetahui sejauh mana
pengetahuan yang dimiliki siswa tersebut dari bagaimana cara siswa tersebut
menyelesaikan permasalahan tersebut. Siswa dapat membangun pemahamannya
sendiri berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya, interaksi
dengan lingkungannya, bahkan jika lingkungan tersebut tidak di atur sesuai
pikiran dalam belajar.
Masalah merupakan bagian dari proses pembelajaran, dalam TDS guru
diharapkan dapat memicu adaptasi yang diharapkan berdasarkan masalah yang
telah diberikan sebelumnya. TDS mengungkapkan bahwa dalam memberikan
makna yang tepat dalam setiap bagian dari pengetahuan matematika terdapat
keluarga situasi yang disebut sebagai situasi fundamental. Menurut Brosseau
(2002, hlm.24) bahwa
Didactique studies the Communication of knowledge and theorizes its
object of study, but it can take up this challenge only if the following two
conditions are satisfied:
that it make evident the specific phenomena which appear to be
explained by the original concepts it proposes;
that it indicate the specific methods of proof which it uses for
thatpurpose.
These two conditions are essential if didactique of mathematics is to be
able to take charge of its object of study in a scientific manner and thus to
allow controlled actions on teaching.
Konsep belajar dalam TDS menjelaskan bahwa belajar merupakan proses
adaptif siswa kepada lingkungan, selain itu siswa mempunyai otonomi sendiri
dalam belajar matematika.
Untuk dapat mendorong siswa memperoleh pengetahuannya, diperlukan
guru yang dapat memancing adaptasi siswa terhadap suatu masalah yang
diberikan. Guru tidak boleh menunjukan kepada siswa bagaimana menyelesaikan
masalah tersebut tetapi guru harus membiarkan siswa untuk aktif terlibat dalam
masalah tersebut sehingga siswa dapat memberikan aksi, berbicara, berpikir dan
berkembang sesuai dengan motivasi dan perkembangan kognitif yang dimiliki
oleh siswa. Keterlibatan siswa dalam masalah matematika membuat siswa harus
dapat merumuskan, mengkontruksi, membuktikan dan membangun model dari
suatu konsep dan teori sehingga siswa benar-benar belajar matematika.
7
Ketika siswa menerima masalah, dan siswa dapat menemukan jawabannya
sendiri, guru menahan diri dari interfensi. Siswa mengetahui dengan baik bahwa
masalah yang dipilih untuk membantu siswa dalam menemukan pemahamannya
sendiri, tetapi siswa juga harus mengetahui bahwa pengetahuan yang ditemukan
sepenuhnya dibenarkan oleh logika internal dari situasi dan siswa dapat
mengkontrukasi tanpa memperhatikan alasan didaktis. Tidak hanya yang dapat
dilakukan siswa, tetapi siswa harus melakukannya karena siswa benar benar
memperolah pengetahuan hanya ketika siswa dapat menempatkan dirinya dalam
situasi yang dia akan menemukan pembelajaran diluar konten dan tidak dalam
arah yang disengaja. Situasi seperti ini disebut situasi a-didaktik.
Jadi situasi a-didaktik adalah situasi yang diciptakan agar terjadi interaksi
antara siswa dan lingkungannya sehingga siswa mendapatkan pengetahuan
matematika yang diharapkan dari permasalahan yang diberikan. Dalam situasi a-
didaktik ini siswa mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan
permasalahan yang diberikan oleh guru sedangkan guru sendiri menahan diri dari
memberikan informasi ataupun saran yang membuat siswa dapat memunculkan
pengetahuan matematika dari permasalahan tersebut.
The student knows very well that the problem was chosen to help her
acquire a new piece of knowledge, but she must also know that this
knowledge is entirely justied by the internal logic of the situation and that
she can construct it without appealing to didactical reasoning (Brosseau,
2002, hlm. 30)
Ternyata situasi fundamental dan situasi a-didaktik berdasarkan teori TDS
belum cukup mendekati dalam pengajaran dan pembelajaran matematika. Guru
mempunyai tanggung jawab dalam hal proses devolusi dan proses kelembagaan
menjadi hal baru yang diperkenalkan dalam rangka menghubungkan dimensi
akulturasi dan dimensi adaptasi dalam kegiatan pembelajaran. Pada proses
devolusi , guru harus membuat kondisi belajar agar siswa dapat beradaptasi dan
mampu bertanggung jawab terhadap membantu siswa menghubungkan
pengetahuan konstektual yang didapat dari situasi a-didaktik dengan tujuan dari
pengetahuan kelembagaan dan pengetahuan budaya sehingga guru mengatur agar
dekonstekstualisasi dan transformasi yang terjadi dapat menjadi sebuah kecakapan
yang dimiliki oleh siswa. Sehingga guru sekarang menampilkan interaksi didaktis
8
yang diharapkan yang sebelumnya tidak dimunculkan dalam situasi a-didaktik
dan membuat akulturasi yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran.
Namun proses devolusi ini pada praktiknya terjadi paradoks seperti yang
dikatakan oleh Brosseau (2002, hlm. 41) bahwa everything that she undertakes
in order to make the student produce the behaviours that she expects tends to
deprive this student of the necessary conditions for the understanding and the
learning of the target notion. Paradoks devolusi ini akhirnya dihubungkan
dengan kontak didaktis. Kontaks didaktis menjadi suatu dasar dan strategi situasi
didaktis. Dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa berada dalam kendali
guru melalui situasi yang telah didesain sebelumnya, tetapi ada kalanya siswa
harus belajar mencapai kemandiriannya. Maka dalam kontrak didaktis ini peran
guru dan peran siswa berbagi.
Situasi atau masalah yang dipilih oleh guru sebagai bagian penting dari
kerangka situasi dimana guru mencoba menyerahkan situasi a-didaktis kepada
siswa dengan menyediakan situasi yang memungkinkan terjadinya interaksi bebas
yang bermanfaat. Situasi inilah yang disebut situasi didaktis. Dalam proses
pembelajaran diperlukan akulturasi dan adaptasi, dimana adaptasi diperoleh
melalui proses a-didaktik sedangkan akulturasi dapat diperoleh melalui situasi
proses didaktis. Oleh karena itulah situasi a-didaktik dan situasi didaktis menjadi
gagasan dalam teori situasi didaktis. Melalui teori situasi didaktis siswa
mempunyai peran dalam belajar melalui proses adaptasi tetapi siswa juga dapat
meraih pencapaian pembelajaran yang lebih tinggi melalui akulturasi. Karena
tidak selamanya siswa dapat belajar sendiri sehingga dibutuhkan bantuan melalui
akulturasi sehingga siswa dapat memiliki pengetahuan yang sesungguhnya.
Teori situasi didaktis menjelaskan bahwa dalam pembelajaran, guru telah
mendesain proses pembelajaran sehingga berdasarkan aktivitas-aktivitas yang
diberikan, pikiran anak dituntun untuk mendapatkan pengetahuan yang
sesungguhnya. Pada saat pembelajaran adakalanya peran guru lebih sedikit
dibanding peran siswa, maka pada saat itulah situasi a-didaktis sedang
berlangsung. Namun adakalanya ketika peran guru masuk dalam proses
pembelajaran, maka pada saat itulah situasi didaktis berperan. Dalam teori situasi
9
didaktis seorang guru harus mampu mendesain pembelajaran dan mengetahui
waktu yang tepat ketika dirinya dibutuhkan dalam proses pembelajaran.
Berikut merupakan diagram Perrin-Glorian (dalam Radford, 2008, hlm. 8)
yang menunjukan versi sederhana dari kompleksitas situasi didaktis. Diagram
tersebut menujukan interaksi antara empat komponen dasar dari situasi didaktis.
Gambar 2.1 komponen dasar dari situasi didaktis (dalam Radford, 2008: 8)
Adapun langkah-langkah penting dalam situasi didaktis dalam rangka
menciptakan suatu kondisi pembelajaran matematika yang efektif yaitu
1. Situasi Aksi
Dalam situasi aksi, lingkungan dinyatakan sebagai segala sesuatu yang
terjadi pada siswa, baik itu dengan guru maupun dengan siswa lainnya.
Lingkungan yang didesain oleh guru berupa masalah dimana siswa tertarik
dalam pemecahan masalah tersebut untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka
sendiri sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam situasi yang telah
dirancang tanpa ada intervensi dari guru.
Langkah pertama dalam menyelesaikan permasalahan adalah dengan
menetapkan suatu strategi yang berasal dari hasil dari eksperimen maupun
penolakan intuitif dari srategi sebelumnya. The sequence of situations of
action constitutes the process by which the student forms strategies, that is to
say, teaches herself a method of solving her problem (Brosseau, 2002, hlm.
9).
Dalam situasi aksi, siswa memiliki sarana dalam membangun solusi
sendiri dengan merepresentasikan situasi yang telah dirasakan untuk
membuat suatu keputusan atau hipotesis, bukan dari solusi yang disediakan
oleh guru.
2. Situasi Formulasi
10
Untuk dapat melakukan aksi pada situasi yang akan datang, siswa harus
dapat menunjukan kepada siswa lain strategi yang menjadi usulannya dalam
pemecahan masalah yang diberikan sebelumnya. Untuk dapat menunjukan
strateginya siswa harus dapat mendiskusikannya dan menyajikan strategi
tersebut dalam bentuk kata-kata yang dapat dipahami dan diterima oleh siswa
lainnya.
Dalam situasi formulasi ini memungkinkan siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan bahasa yang dimilikinya, siswa harus dapat
membangun bahasa yang setiap orang dapat mengerti apa yang
dibicarakannya. Situasi formulasi ini memungkinkan siswa untuk dapat
menjelaskan aksi atau tindakannya.
3. Situasi Validasi
Siswa dalam memformulasikan suatu hipotesis atau pemahaman, tak
sedikit siswa yang mengadopsi teori-teori palsu sehingga hipotesis siswa tak
cukup untuk dapat diterima. Situasi didaktis validasi mendorong siswa untuk
dapat mendiskusikan situasi dan menunjang perumusan dari validasi implisit
mereka. Guru berperan dalam mengevaluasi hipotesis yang telah dibuat oleh
siswa dengan cara menarik perhatian siswa untuk melihat adanya
kemungkinan ketidakkonsistenan serta mendorong siswa untuk lebih
sistematis dalam penggunaan suatu konsep.
Dialektik validasi merupakan gabungan dari dialektik formulasi dan
dialektik tindakan karena didalam dialektik validasi terdiri dari berbagai
tindakan dalam rangka membangun terminologi yang merupakan bentuk dari
formulasi.
4. Situasi Institusionalisasi
Situasi ini dapat menguji kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh
melalui aksi, formulasi dan validasi. Situasi institusional dapat terjadi apabila
siswa dapat mengerjakan permasalahan atau soal dalam bentuk apapun tidak
terikat pada suatu masalah tertentu, apabila siswa telah mampu menerapkan
suatu konsep dalam situasi apapun artinya pemahaman yang diperoleh oleh
siswa sudah melembaga dalam dirinya. Apabila pemahaman tersebut telah
melembaga dalam diri siswa itu berarti siswa benar-benar memiliki
pemahaman tersebut.
11
2.2. Learning Obstacle
Learning obstacle merupakan hambatan yang terjadi pada proses
pembelajaran. Kesulitan belajar siswa dapat bersifat psikologis, sosiologis,
maupun fisiologis yang ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu
untuk mencapai hasil belajar dan sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar. Kesulitan belajar (learning
obstacle) setiap siswa berbeda, hal itu disebabkan karena pengetahuan awal yang
dimiliki siswa berbeda-beda sehingga memunculkan respon siswa yang berbeda
beda. Selain itu rendahnya kualitas tenaga pendidik dalam mendidik dan mengajar
siswanya, dapat membuat proses belajar dan mengajar menjadi terhambat.
Dalam pembelajaran matematika banyak siswa yang mengalami hambatan
dalam belajar. Berdasarkan Brosseau terdapat 3 faktor yang menyebabkan
terjadinya learning obstacle yaitu hambatan ontogeni, hambatan epistimologi
serta hambatan didaktis. Hambatan ontogeni merupakan hambatan yang
disebabkan oleh kurangnya kesiapan mental belajar siswa dalam menghadapi
proses pembelajaran. Hambatan epistemologi adalah hambatan yang disebabkan
oleh pengetahuan siswa yang memiliki keterbatasan dalam konteks aplikasi.
Hambatan didaktis adalah hambatan yang disebabkan oleh pengajaran guru dan
kesiapan guru dalam menghadapi proses pembelajaran
12
proses belajar siswa dalam berbagai tingkatan dan dalam kegiatan mana yang
mungkin siswa terlibat untuk belajar.
Learning trajectory memungkinkan guru untuk dapat membangun
pemikiran matematika siswa melalui tujuan dan kegiatan pembelajaran yang
sesuai agar siswa berkembang secara alami sesuai dengan kapasitas
perkembangan yang dimiliki siswa.
Guru harus bisa membuat hipotesis mengenai learning trajectory dimana
guru harus memperhatikan tujuan belajar untuk pembelajaran bermakna,
sekumpulan tugas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan hipotesis tentang
bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana peserta didik berpikir. Setelah
guru menentukan dan merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh
siswa guru dapat menentukan langkah-langkah strategi untuk mewujudkan tujuan
pembelajaran dengan memperhatikan informasi tentang pengetahuan prasyarat
siswa, strategi berpikir yang mungkin digunakan anak, level berpikir yang mereka
tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka
mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut.
13
BAB III
PEMBELAJARAN KONSEP HIMPUNAN DARI SUDUT PANDANG
HISTORIS, PRAKTIS SERTA POTENSI LEARNING OBSTACLE
Dalam bab 3 ini akan dibahas mengenai pandangan historis dan pandangan
praktis dalam pembelajaran konsep himpunan berdasarkan kerangka teori yang
telah dibahas dalam bab 2. Selain itu berdasarkan hasil analisis pandangan
historis dan pandangan praktis dalam pembelajaran konsep himpunan berdasarkan
kerangka teori yang ada, maka akan dijelaskan pula mengenai potensi learning
obstacle didaktis yang muncul dalam pembelajaran konsep himpunan.
14
diperkenalkan pada saat pengajaran matematika tradisional berubah menjadi
pengajaran matematika modern. Penekanan pada mengajar konsep menjadi salah
satu metode dan pendekatan baru dalam pengajaran matematika modern. Materi
himpunan dijadikan sebagai sebagai dasar, menggunakan pendekatan spiral,
mementingkan pengertian dan penemuan, menggunakan simbol-simbol dan
istilah-istilah yang lebih tepat. Oleh karena itu pembahasan mengenai pandangan
historis dalam pembelajaran konsep himpunan akan dibahas dari kurikulum 1975.
Dalam isi materi konsep himpunan dari kurikulum 1975 sampai kurikulum
2013 tidak banyak berubah namun ada beberapa penambahan dan pengurangan
materi himpunan. Pada tahun 1983 terjadi perubahan kurikulum karena
kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada kurikulum 2004
materi tentang himpunan kosong, himpunan lepas, diagram venn dan sifat-sifat
operasi himpunan dijelaskan secara eksplisit dalam buku sumber yang
sebelumnya pada kurikulum 1975 dijelaskan secara implisit. Selain itu dalam
kurikulum 2004 juga tidak ditemui secara khusus materi himpunan bilangan real
dan grafik yang sebelumnya ada pada kurikulum 1975. Dalam kurikulum 2006
juga terdapat penambahan materi himpunan yang ekuivalen yang sebelumnya
tidak ada dalam kurikulum 2004, namun dalam kurikulum 2013 materi tentang
himpunan ekuivalen dijelaskan secara implisit dalam bagian himpunan kuasa.
Materi himpunan berhingga dan tak berhingga di kurikulum 2013 tidak diberikan,
padahal sebelumnya selalu diberikan.
Perubahan kurikulum yang terjadi selama ini tidak terlalu menyebabkan
adanya perubahan yang signifikan dalam pembelajaran konsep himpunan
disekolah. Secara keseluruhan kurikulum 1975-2013 memuat materi pokok
himpunan namun seiring perkembangan kurikulum terdapat materi-materi
pengayaan materi himpunan yang mulai ditambahkan pada pembahasan materi
himpunan.
Dalam segi struktur materi, secara umum materi himpunan yang disajikan
adalah konsep himpunan, relasi himpunan, operasi himpunan dan diagram venn
seperti yang terlihat dalam bagan berikut
15
HK o n s e
i p
m H i m p
p u n a n
u d a n
n D i a g r
a a m
n V e n n
Gambar 3.1 Peta konsep materi himpunan
16
,IR
k
-D
y
H
th
d
le
p
m
o
K
g
u
b
(G
n
a
ris
);f
Menurut penulis karena materi himpunan ini baru di berikan pada saat kurikulum
1975 maka materi yang disajikannya pun lebih bersifat pokok, adapun materi
himpunan disajikan dalam bentuk konsep materi di bawah ini.
Gambar 3.2 Peta konsep materi himpunan pada buku sumber kurikulum 1975
17
melakukan aksi, formulasi dan validasi. Selain itu berdasarkan learning trajectory
terdapat kekeliruan lain dalam struktural materi. Terjadi lompatan belajar yang
dialami oleh siswa dimana materi diagram venn tidak diberikan sehingga
memunculkan potensi learning obsctacle didaktis. Siswa akan kesulitan dalam
memahami materi selanjutnya yang berkaitan dengan diagram venn.
Pada kurikulum-kurikulum setelahnya kesalahan stuktural ini dapat diperbaiki
dengan adanya penjelasan mengenai diagram venn dan penempatan himpunan
sama setelah himpunan bagian. Namun pada kurikulum setelahnya, penempatan
materi diagram venn berbeda-beda. Jika pada kurikulum 2004 materi diagram
venn disajikan setelah memahami himpunan namun pada kurikulum 2006
diagram venn disajikan diakhir pembahasan himpunan sebelum sub-bab
menyelesaikan permasalahan dengan diagram venn. Pada kurikulum 2004
diagram venn digunakan untuk membantu pemahaman siswa dalam menentukan
komplemen, irisan dan gabungan dari relasi dua himpunan. Dari diagram venn
siswa dapat mengetahui dengan jelas relasi dua himpunan dan siswa dapat
menemukan sifat operasi dua himpunan. Sebagai contoh melalui diagram venn
siswa dapat mengambil kesimpulan jika himpunan A dan himpunan B saling
lepas maka A B = . Sehingga dalam kurikulum 2004 dalam mencari sifat
operasi dari relasi dua himpunan siswa menggunakan diagram venn sedangkan
dalam kurikulum 2006 siswa hanya diberikan contoh kemudian diberikan
penyataan tanpa ada proses menemukan. Sifat operasi dari relasi dua himpunan
siswa diberikan secara langsung melalui contoh yang diberikan. Selain itu dalam
menyelesaikan permasalahan terkait operasi himpunan terdapat perbedaan yang
sangat signifikan antar kurikulum 2004 dan 2006. Misalnya menentukan
banyaknya anggota dari gabungan dua himpunan, jika dalam kurikulum 2004
siswa menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan diagram venn
namun dalam kurikulum 2006 siswa diberikan secara langsung rumus dalam
mencari banyaknya anggota dari gabungan dua himpunan seperti yang terlihat
dalam gamber berikut
18
Gambar 3.3 Menentukan banyaknya anggota dari gabungan dua himpunan
dalam buku sumber kurikulum 2006
Siswa SMP berdasarkan teori belajar Piaget berada pada tahap operasional
formal namun dalam kenyataannya banyak siswa yang masih berada pada tahap
operasional konkret. Diagram venn merupakan strategi iterasi penting yang dapat
membantu siswa dalam mengorganisasi secara grafis. Diagram Venn digunakan
sebagai alat bantu untuk menggambarkan suatu himpunan atau hubungan antar
himpunan. Dengan menggunakan diagram venn siswa dapat mendefinisikan
semua hubungan yang mungkin antar himpunan serta dapat mengetahui sifat
operasi yang muncul. Diagram venn dapat membantu siswa dalam
menghubungkan ide-ide dan informasi numerik menjadi representasi visual logis
sehingga dengan demikian siswa mampu mengingat informasi dan memahami
bagaimana menemukan probabilitas tertentu. Digram venn menjadi solusi terbaik
dalam memvisualisasi struktur dari hubungan 2 atau 3 himpunan. Diagram venn
dapat menjadi teknik yang berkerja sangat baik dalam tujuan tertentu namun tidak
dapat dipungkiri bahwa diagram venn tidak dapat digunakan ketika jumlah
banyaknya himpunan terlalu banyak. Namun dalam hal ini untuk pembelajaran
konsep himpunan di SMP yang menggunakan diagram venn dibatasi untuk relasi
2 sampai 3 himpunan sehingga diagram venn masih dapat dipergunakan sebagai
alat bantu yang baik dalam memahami konsep himpunan di SMP.
Berdasarkan learning trajectory menurut penulis sendiri untuk diagram venn
lebih baik disajikan setelah memahami relasi dua himpunan, karena dengan
disajikan setelah relasi dua himpunan hal itu dapat membantu siswa memahami
secara visual materi himpunan selanjutnya dan dapat menggali lebih dalam dan
menemukan sendiri sifat-sifat operasi dua himpunan jika diberikan relasi dua
himpunan sehingga siswa dapat belajar bermakna tanpa diberikan oleh guru.
19
Pergantian kurikulum selanjutnya yaitu pada kurikulum 2013, materi diagram
venn disajikan kembali diawal setelah materi memahami himpunan. Seperti yang
terlihat pada peta konsep materi himpunan pada kurikulum 2013 berikut ini
HK o n s e
i p
m H i m p
p u n a n
u d a n
n D i a g r
a a m
n V e n n
Gambar 3.4. Peta konsep materi himpunan pada buku sumber kurikulum 2013
20
Secara struktur, pada kurikulum 2013 yang berbeda yaitu penempatan
diagram venn, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya lebih baik diagram venn
disajikan setelah memahami relasi dua himpunan.
Untuk menjelaskan pembelajaran konsep himpunan informasi selain
diperoleh melalui buku sumber juga diperoleh melalui hasil wawancara, serta
RPP.
Proses pembelajaran konsep himpunan (pengertian himpunan, anggota
himpunan, menyatakan himpunan, kardinalitas himpunan, himpunan hingga dan
tak hingga, himpunan kosong dan himpunan semesta) pada kurikulum 1975 dalam
kegiatan belajar yang terdapat dalam satuan pelajaran guru langsung menerangkan
materi tersebut disertai dengan contoh kemudian memberikan soal yang harus
diisi oleh siswa. Siswa hanya berperan sebagai murid yang siap menerima
pengetahuan secara langsung dari gurunya, tidak terlihat desain yang mengarah
kepada siswa untuk dapat melakukan aksi. Desain pembelajaran pada kurikulum
1975 tidak didasarkan pada TDS, akibatnya kemungkinan pembelajaran yang
dialami oleh siswa menjadi pembelajaran yang tidak bermakna, kemungkinan
besar siswa hanya mengerti karena diberi contoh bukan dari pemahamannya
sendiri berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Maka dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya siswa tidak belajar. Tidak berbeda jauh dengan
kurikulum 1975, pada kurikulum 2004, 2006 dan 2013 pembelajaran konsep
himpunan dimulai dengan perintah untuk mengamati suatu kejadian untuk dapat
mendefinisikan himpunan. Siswa hanya mengamati tidak melakukan proses
berpikir selanjutnya guru mendefinikan pengertian himpunan. Proses tersebut
hanya sebatas mengamati yang mungkin tidak menyebabkan siswa untuk berpikir
maka konsep TDS belum diimplementasikan dalam pembelajaran ini. Jika
pembelajaran himpunan dilakukan seperti pembelajaran diatas, siswa memahami
himpunan hanya sebagai kumpulan yang dapat didefinisikan dengan jelas. Namun
jika siswa diberikan pertanyaan apakah P termasuk himpunan ? Jika P = { 1,2,A,B
}. Menurut penulis banyak siswa yang akan terkecoh dan menyebutkan bahwa P
bukan himpunan karena tidak jelas kumpulan apa yang dimaksud, kurangnya
pemaknaan siswa terhadap himpunan akan menyebabkan learning obstacle
muncul dalam pembelajaran.
21
Untuk konsep lainnya menurut penulis cukup wajar jika pembelajaran
dilakukan secara langsung karena hal tersebut menyangkut penulisan secara
matematis yang harus berlaku secara umum, karena tidak semua konsep harus
ditemukan semua siswa apalagi pada pembelajaran dikelas terbatas oleh waktu
dan ada materi lain yang prioritasnya lebih tinggi untuk dapat ditemukan oleh
siswa sendiri dibandingkan dengan konsep himpunan yang menyangkut penulisan
secara matematis.
Sebelum menjelaskan pembelajaran materi himpunan yang lain penulis akan
mengemukakan pembelajaran pada kurikulum 1975 karena desain pada kurikulum
1975 pada materi himpunan yang lainnya dapat digeneralisasikan. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa materi pada buku sumber kurikulum 1975 bersifat
konsep dan langsung diberikan beserta contohnya. Dalam soal-soal latihan yang
terdapat dalam buku sumber, soal-soal yang diberikan tidak hanya soal yang rutin
tetapi soal-soal yang diberikan lebih mengarah kepada pemecahan masalah, serta
masalah-masalah yang diberikan mengarah kepada pendalaman materi himpunan
yang tidak dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh sifat-sifat operasi pada
himpunan tidak disajikan dalam bentuk sub-bab materi tetapi disisipkan dalam
latihan-latihan sehingga memungkinkan siswa untuk menggali sendiri sifat-sifat
operasi pada himpunan. Namun tentu saja menurut penulis hal ini sangat tidak
sesuai, siswa akan mengalami kesulitan dan akan menemui banyak kendala karena
dalam proses pemberian materi sendiri, siswa tidak dibiarkan untuk menggali
pemahamannya sendiri. Dengan pembelajaran secara langsung, pengetahuan yang
diperoleh siswa bukan pengetahuan yang bermakna bahkan dapat dikatakan
bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan palsu. Siswa
dapat menyelesaikan permasalahan seperti yang diberikan dalam contoh, namun
ketika diberikan permasalahan lain yang berbeda atau permasalahan yang sifatnya
menguji konsep tentunya menurut penulis siswa tidak akan mampu
melakukannya. Dalam soal siswa diarahkan untuk menemukan pengetahuan baru
tentang himpunan, namun bagaimana mungkin siswa dapat menemukan
pengetahuan baru jika pengetahuan yang dijadikan dasarnya pun siswa tidak
memperolehnya sendiri tetapi hanya diberikan. Proses pembelajaran seperti ini
tentunya akan menyebabkan learning osctacle didaktis dan akan menimbulkan
22
learning osctacle epistemologis pada pembelajaran himpunan selanjutnya karena
pembelajarannya tidak didasarkan pada TDS.
Pembahasan mengenai pembelajaran materi himpunan selanjutnya tidak akan
menyinggung pembelajaran pada kurikulum 1975 karena telah dijelaskan secara
umum diatas, pembahasan selanjutnya berdasarkan kurikulum 2004, 2006 dan
2013.
Pada pembelajaran relasi himpunan pada kurikulum 2004 dan 2006 materi
himpunan bagian dijelaskan melalui contoh lalu didefinisikan dan materi
himpunan kuasa didapat dari generalisasi pola yang diperoleh. Pembelajaran
tersebut belum mencerminkan pembelajaran berdasarkan TDS meskipun terdapat
kegiatan siswa dimana siswa menemukan sendiri banyaknya himpunan kuasa
melalui generalisasi pola namun langkah aksi yang seharusnya siswa berpikir
untuk menyelesaikan masalah yang diberikan guru namun pada kenyataanya
gurulah yang membimbing siswa untuk menemukan solusi dan strategi bukan
siswa yang berpikir sendiri. Situasi aksi yang diberikan tidak berjalan seperti
seharusnya.
Dalam pembelajaran himpunan saling lepas, saling bebas dan operasi
himpunan dalam kurikulum 2004 diperoleh melalui pengamatan siswa dari relasi
dua himpunan dalam diagram venn. Siswa mengamati dan berpikir tentang
kemungkinan-kemungkinan relasi yang mungkin. Pada awalnya siswa diberikan
pengertian tentang irisan, gabungan dan komplemen, kemudian dari diagram venn
siswa dapat mengetahui dengan jelas relasi dua himpunan berdasarkan hasil
operasi yang diberikan kepadanya sehingga siswa dapat mendefinisikan apa itu
himpunan lepas. Berbeda dengan pembelajaran pada kurikulum 2004, pada
kurikulum 2006 materi himpunan disajikan setelah operasi himpunan sehingga
materi tentang himpunan yang saling lepas dan operasi himpunan tidak dikaitkan
dengan diagram venn dan hanya diberikan secara langsung oleh guru.
Setiap materi himpunan pada kurikulum 2004 disajikan berdasarkan keadaan
kontekstual pada kegiatan sehari hari siswa, siswa diajak untuk memperhatikan
ilustrasi yang diberikan dan menarik kesimpulan dari apa yang telah disajikan.
Materi disajikan berdasarkan contoh-contoh kemudian siswa dibimbing untuk
dapat memahami konsep yang akan ditemukan oleh siswa. Secara umum pada
23
pembelajaran himpunan pada kurikulum 2004 dan 2006 sebenarnya
menginginkan siswa untuk dapat mengkontruksi pemahamannya sendiri namun
dalam proses pembelajarannya belum tercermin situasi aksi, formulasi apalagi
validasi sehingga kemungkinan adanya learning obstacle dapat terjadi selama
proses pembelajaran.
Pada pembelajaran materi himpunan pada kurikulum 2013, desain
pembelajaran telah disusun berdasarkan pendekatan scientific dimana langkah
pembelajaran pada setiap materi hampir sama yaitu mengamati, menanya,
menggali informasi, alternatif penyelesaian, menalar dan berbagi. Selain itu dalam
menyajikan materi tertentu dalam kurikulum 2013 kegiatan pembelajarannya
dapat berupa masalah, alternatif pemecahn masalah, menanya, menggali informasi
/ guru memberikan sedikit informasi, menalar dan berbagi. Dalam kurikulum
2013, proses pembelajaran selalu dimulai dengan mengamati atau diberikan
permasalahan. Hal ini sesuai dengan konsep TDS dimana guru telah mendesain
proses pembelajaran sehingga berdasarkan aktivitas-aktivitas yang diberikan
siswa dapat membangun pemahamannya sendiri. Situasi aksi dalam pembelajaran
terlihat dengan jelas ketika siswa diberi permasalahan atau mengamati suatu
kondisi tertentu, namun dalam proses pembelajaran guru memberi petunjuk dan
saran tentang apa yang harus dilakukan dan metode yang digunakan. Hal ini tentu
saja bertentangan dengan situasi a-didaktik yang harus dilalui siswa dimana
intervensi guru harus ditekan sekecil mungkin. Sehingga hipotesis atau
pengetahuan yang diperoleh siswa bukan hasil berpikir sendiri, situasi formulasi
tercermin dari kegiatan menanya, menggali informasi dan alternatif penyelesaian,
selain itu situasi validasi mungkin terjadi ketika proses menalar dan berbagi.
Namun meskipun terdapat kemungkinan situasi aksi, formulasi dan validasi
terdapat kecacatan pada situasi tersebut sehingga tujuan dari TDS nya akan
menjadi kabur dan bahkan pada akhirnya pembelajaran yang dilakukan akan
menjadi pembelajaran yang bukan membangun pemahaman siswa sendiri.
Dalam situasi aksi yang terjadi, intervensi guru lebih besar karena setelah
memberikan masalah guru cenderung terus memberikan petunjuk apa yang harus
dilakukan oleh siswa. Siswa tidak dibiarkan berkembang menurut alur pikiran
sendiri, guru tidak mendesaign situasi yang dapat mengasi semua kemungkinan
24
respon yang diberikan oleh siswa bahkan setelah diberikan masalah guru
memberikan alternatif pemecahan masalah yang seharusnya ditemukan oleh siswa
sendiri. Pada akhirnya proses pembelajaran yang terjadi gagal dalam memberikan
situasi aksi yang diharapkan sesuai dengan TDS. Dalam situasi yang diberikan
siswa tidak dapat melakukan aksi, formulasi bahkan validas sehingga
pembelajaran yang terjadi bukan pembelajaran yang berdasarkan theory of
didactical situation.
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru yang mengajar kelas VII
disalah satu sekolah yang ada di Kabupaten Bandung Barat, proses pembelajaran
himpunan yang diterapkan oleh guru tersebut dalam penyampaian materi guru
tersebut tidak mengikuti buku sumber kurikulum 2013. Pada saat pembelajaran
guru tersebut menggabungkan proses pembelajaran antara KTSP dan kurikulum
2013. Dalam penyampaian materi guru tidak serta merta menerapkan materi yang
telah disusun oleh buku sumber tetapi guru akan cenderung memberikan materi
sesuai dengan esensial urutan materi yang disajikan agar kesulitan yang dialami
oleh siswa bisa diminimalisir.
Sebagai contoh guru tersebut dalam menyampaikan materi tidak sesuai
dengan buku sumber. Jika dalam buku sumber penyampaian materi diagram venn
diberikan setelah penyampaian konsep himpunan, namun guru tersebut
memberikan materi diagram venn setelah materi relasi dan operasi himpunan.
Penyampaian materi diagram venn diakhirkan karena menurut guru tersebut
dalam memahami diagram venn memerlukan pemahaman tentang relasi
himpunan, komplemen himpunan dan lain-lain. Jika materi diagram venn
didahulukan diprediksi siswa akan mengalami kesulitan dalam pemahaman
konsep himpunan.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan penulis yang menyarankan diagram
venn dibahas setelah memahami relasi dua buah himpunan sehingga
memungkinkan siswa menggali pengetahuan tentang konsep himpunan yang lain
yang hanya bisa melalui bantuan diagram venn, jika disimpan diakhir pembahasan
maka berdasarkan learning trajectory akan ada lompatan belajar yang dialami
oleh siswa dalam memahami konsep himpunan sehingga dikhawatirkan timbulnya
learning obstacle.
25
Dalam proses pembelajaran materi himpunan guru tersebut menerapkan
pendekatan inkuiri dimana siswa menggali pemahaman dan pengertian mengenai
konsep himpunan tersebut. Sebagai contoh dalam proses pembelajaran dalam
mendefinisikan himpunan semesta, siswa diberikan beberapa data sehingga siswa
mampu menunjukan bahwa itu adalah himpunan semesta.
Dalam proses pembelajaran siswa harus menggali sendiri pemahamannya,
bahkan dalam proses menggali pemahaman itu ditemukan penyelesaian yang
berbeda dari yang diharapkan. Siswa kadang menemukan hal yang diluar prediksi
guru. Namun kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran
berlangsung adalah ketika tidak semua siswa dapat menggali pemahamannya
sendiri, sebagian siswa lainnya kebingungan sehingga diperlukan bimbingan
khusus dari guru. Dalam kasus ini sebenarnya siswa sudah ditempatkan pada
situasi a-didaktik dimana siswa dpat melakukan aksi namun dengan adanya
bimbingan khusus tersebut, guru cenderung memberikan saran metode
penyelesaian dari permasalahan yang dialami siswa bukan memberikan situasi
lain yang dapat menuntun siswa berpikir mencari penyelesaian lain. Pada kondisi
ini cenderung guru memberikan apa yang telah menjadi tujuan awal pembelajaran
tanpa adanya pemahaman bahwa hal ini dapat memaksa siswa untuk mengikuti
apa yang menjadi kehendak guru sehingga proses pembelajaran yang seharusnya
ditemukan dan dimiliki oleh siswa menjadi pembelajaran palsu dimana siswa
tidak menemukan pemaknaan dalam proses pembelajaran tersebut hanya
mengikuti instruktur guru. Sehingga pembelajaran yang terjadi tidak sesuai
dengan konsep theory of didactical situations.
Berdasarkan permasalahan ini konsep TDS sangat diperlukan dalam
menangani masalah tersebut dimana bagaimanapun caranya guru harus
memberikan situasi lain yang yang dapat membantu siswa, apabila siswa
mengalami kesulitan dalam situasi a-didaktik yang diberikan maka peran guru
harus lebih dominan dalam situasi didaktis. Situasi didaktis inilah yang menjadi
harapan agar siswa dapat mendapatkan pengetahuannya tanpa diberikan oleh
guru.
26
3.2 Potensi Learning Obstacle Didaktis Dalam Pembelajaran Konsep Himpunan
27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam isi materi konsep himpunan dari kurikulum 1975 sampai kurikulum
2013 tidak banyak berubah namun ada beberapa penambahan dan pengurangan
materi himpunan. Awalnya materi himpunan hanya memuat materi pokok
himpunan namun seiring perkembangan kurikulum terdapat materi-materi
pengayaan materi himpunan yang mulai ditambahkan pada pembahasan materi
himpunan.
Dalam segi struktur materi, hanya terdapat sedikit perbedaan dalam struktur
materi pada setiap kurikulum. Pada kurikulum 1975 terdapat perbedaan struktur
materi dimana materi himpunan sama diletakan sebelum siswa memahami
himpunan bagian, selain itu terdapat perbedaan penempatan materi diagram venn.
Jika pada kurikulum 2004 materi diagram venn disajikan setelah memahami
himpunan namun pada kurikulum 2006 diagram venn disajikan diakhir
pembahasan himpunan sebelum sub-bab menyelesaikan permasalahan dengan
diagram venn. Begitupun pada kurikulum 2013 diagram venn berada diawal pada
pembahasan konsep himpunan. Berdasarkan teori laerning trajectory hal ini akan
mengakibatkan adanya potensi learning obstacle yang akan dialami oleh siswa.
Karena menurut penulis sebaiknya diagram venn diletakkan setelah siswa
memahami konsep relasi dua himpunan.
Dalam proses pembelajaran dari kurikulum 1975 sampai kurikulum 2013,
desain pembelajaran yang disusun oleh guru lebih banyak mengarah kepada
pembelajaran langsung dimana siswa tidak benar-benar belajar. Ada saat ketika
guru memberikan masalah dan situasi yang memungkinkan siswa untuk
melakukan aksi, namun pada saat pelaksanaanya pada akhirnya guru tetap
memberikan petunjuk dan saran tentang apa yang harus dilakukan dan metode
yang digunakan sehingga pembelajaran yang terjadi tidak sesuai dengan situasi
aksi yang diharapkan. Sehingga pada akhirnya siswa tidak dapat melakukan
formulasi bahkan validasi. Dalam pembelajaran belum terlihat adanya situasi aksi,
formulasi dan validasi yang sesuai dengan teori situasi didaktis. Sehingga
28
pembelajaran konsep himpunan yang ditinjau dari pandangan historis dan
pandangan praktis yang terjadi sampai saat ini belum sesuai dengan theory of
didactic situations.
Berdasarkan learning trajectory terjadi lompatan belajar yang memungkinkan
timbulnya learning obstacle didactic dan learning obstacle epistemologis.
Sehingga berdasarkan learning didactic dan learning trajectory penulis
menemukan bebrapa potensi learning obstacle yaitu pertama potensi learning
obstacle terkait pemahaman dan pemaknaan konsep himpunan oleh siswa, kedua
potensi learning obstacle terkait pemecahan masalah yang sifatnya non rutin
maupun penyelesaian masalah terkait konsep himpunan, dan ketiga potensi
learning obstacle terkait menafsirkan diagram venn kedalam bentuk simbol
matematis maupun sebaliknya.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis pembelajaran himpunan berdasarkan pandangan
praktis dan pandangan historis ditemukan beberapa potensi learning obstacle
didaktis yang terjadi pada saat pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk dapat membuat suatu desain yang memperhatikan
learning trajectory dan learning obstacle yang terjadi pada pembelajaran
himpunan. Oleh karena itu kajian mengenai kerangka teoritis konsep himpunan
(berdasarkan theory of didactic situations) ini dapat dijadikan pertimbangan dalam
pembuatan desain didaktis konsep himpunan.
29
DAFTAR PUSTAKA
Armana, A., Ariyanto, & Masuki. (2011). Peningkatan Pemahaman Konsep dan
Prestasi Belajar Matematika Melalui Metode Guided Note Taking pada
Materi Himpunan (PTK pada siswa kelas VII Semester SMP Al-Islam 1
Surakarta) Tahun Ajaran 2010/2011. Prosiding Seminar Nasional
Matematika Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 24 Juli 2011. [Online]. Diakses dari
eprints.ums.ac.id/13714/1/2._Cover-Abstrak.PDF
Brosseau, G. (2002). Theory of Didactical Situations in Mathematics. Newyork:
Kluwer Academic Publisher. [Online]. Diakses dari
http://id.scribd.com/doc/137088755/BOOK-Theory-of-Didactical-
Situations-in-Math-Brousseau#scribd
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1979). Matematika 4 untuk SMP.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
E, S., Stamer, R. P., Pot, H. N., Sijp, L., Schoemaker, G., & Rookhuizen, G. v.
(1975). Matematika Modern untuk Orangtua Murid. Jakarta: Bhratara
Eves, H. W., & Newsom, C. V. (1965). An Introduction To The Foundations And
Fundamental Concepts Of Mathematics. United State: Holt, Rinehart and
Winston.
Hidayati, F. (2010). Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16
Yogyakarta Dalam Mempelajari Aljabar. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta. [Online]. Diakses dari
eprints.uny.ac.id/1745/1/Fajar_Hidayati.pdf
Irianto, B., Kamil, R. (2005). Matematika 1 untuk SMP/MTs Kelas VII. Bandung :
Acarya Media Utama
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Matematika SMP/MTs Kelas
VII Semester 1 Edisi Revisi 2014. Jakarta: KementiranPendidikan dan
Kebudayaan.
Nuharini, D., Wahyuni, T. (2008). Matematika 1: Konsep dan Aplikasinya: untuk
kelas VI SMP/MTs 1. Jakarta: CV. Usaha Makmur.
30
Ruseffendi, E. (1980). Pengantar Matematika Modern untuk orangtua murid
guru dan spg. Bandung: Tarsito.
31
LAMPIRAN
32
Lampiran 1. Satuan Pelajaran (RPP) kurikulum 1975
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
Lampiran 2. RPP Kurikulum 2006
B. Materi Ajar
a. Pengertian himpunan.
b. Notasi himpunan.
C. Metode Pembelajaran.
Tanya jawab, diskusi kelompok dan pemberian tugas.
D. Langkah-langkah kegiatan
Pertemuan pertama.
43
Pendahuluan
Apersepsi : Mengingat kembali tentang impunan.
Motivasi : - Mengaitkanmateri yang akan dipelajari dg
kehidupan sehari-hari, msalnya dg memnita siswa memperhatikan
kumpulan benda-benda yang ada di lapangan sepak bola, di ruang
kelas, di rumah dsb.
- Siswa diminta untuk menyebutkan kumpulan apa
saja yang terdapat di tempat tempat yang disebutkan oleh guru atau
tempat yang disebutkan siswa sendiri.
Kegiatan Inti
a. Dengan tanya jawab guru mengarahkan siwa untuk
memahami pengertua n himpunan melalui pengenalan
kumpulan benda-benda yang ada di sekitar siswa atau
tempat-tempat
b. Guru meminta siswa untuk membentuk himpunan yang
diperoleh dari kumpulan-kupulan benda yang mungkin
dapat dibentuk menjadi himpunan.
c. Guru mengenalkan lambang himpunan.
d. Guru menjelaskan anggota suatu himpunan dan bukan
anggota suatu himpunan.
e. Guru/siswa mermberikan contoh suatu himpunan dan guru
menunjuk objek-objek tertentu sambil menanyakan apakah
objek-objek tersebut merupakan anggota himpunan atau
bukan.
f. Guru mengenalkan lambang untuk anggota suatu
himpuanan dan lambang untuk bukan anggota.
g. Siswa diminta mengerjakan LKS secara berkelompok
h. Siswa mengerjakan soal-soal latihan
Penutup
a. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman sebagai bahan refleksi.
b. Guru memberikan tugas (PR)
Pertemuan ke dua.
Pendahuluan.
Apersepsi : a. Membahas PR.
b. Mengingat kembali tentang pengertian himpunan.
Motivasi : Banyak kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan
himpunan.
Kegiatan inti.
44
a. Guru mengenalkan macam-mcam himpunan bilangan dg
memberikan beberapa contoh himpunan bilangan tertentu.
b. Guru menggunakan macam-macam himp bilangan (yang sudah
dikenalkan) dalam pengajian himpunan dengan notasi.
c. Guru bersama siswa membahas tentang himpunan kosong dan
notasinya
d. Guru/siswa membahas ttg pengertian himpunan berhingga dan tak
berhingga.
e. Siswa mengerjakan latihan.
Penutup.
a. dg bimbingan guru siswa diminta membuat rangkuman.
b. Refleksi.
c. Penugasan.
E. Alat dan sumber belajar.
Buku teks, LKS,
F. Penilaian.
Teknik penilaian : test.
Bentuk instrumen : Pertanyaan tertullis dan lisan.
Instrumen.
1. Sebutkan kumpulan objek yang merupakan himpunn yang ada di
sekitarmu.
2. sebutkan anggota-anggota himpunan nama siswa di kelasmu yang
dimulai dengan huruf A. Dan sebutkan pula yang bukan anggota.
3. Nyatakan dengan notasi himpunan : himpunan bilangan asli lebih dari 1
dan kurang dari 10.
4. Sebutkan contoh himpunan kosong.
5. Diketahui A = { 1,2,3,4,....}, B = { 1,2,3,...., 10} manakah yang
merupakan himpunan berhingga dan tak berhingga.
45
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah :
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/2
Aloki Waktu : 2 x 40 menit
Standar Kompetensi : 4. Menggunakan konsep himpunan dan diagram venn
dalam pemechan masalah
Kompetensi Dasar : 4.3 Melakukakan operasi irisan, gabungan, kurang
(diference) dan komplemen pada himpunan
Indikator : 1. Menentukan notasi irisan dan gabungan dari dua
himpunan
2. Menentukan irisan dan gabungan dari du himpunan
3. Menentukan kurang (difference) suatu himpunan dari
himpunan lainnya
4. Menentukan komplemen suatu himpunan
5. Menuliskan notasi komplemen suatu himpunan
Alokasi Waktu : 6 jam pelajaran (3 pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
a. Siswa dapat menuliskan irisan dan gabungan dari dua himpunan
b. Siswa dapat menggunakan operasi irisan dn gabungan dari dua
himpunan
c. Siswa dapat menggunakan operasi kurang
d. Siswa dapt menentukan komplemen suatu himpunan
e. Siswa dapat menuliskan notasi komplemen suatu himpunan
B. Materi Ajar
a. Notasi irisan dan gabungan dari dua himpunan
b. Operasi irisan dan gabungn dari dua himpunan
c. Operasi kurang suatu humpunan dari himpunan lainnya
d. Notasi dan operasi komplemen suatu himpunan
C. Metode Pembelajaran
a. Diskusi, tanya jawab
D. Langkah-langkah kegiatan
46
Pertemuan pertama
Pendahuluan
Apersepsi : Mengingat kembali tentang himpunan
Motivasi : materi himpunan banyak manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari
Kegiatan Inti
a. Dengan tanya jawab, siswa diminta untuk menyebutkan
contoh-contoh yang berhubungan dengan notasi dan
operasi irisan gabungan dari dua himpunan
b. Guru dan siswa mendiskusikan operasi irisan gabungan dari
dua himpunan
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
a. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman
b. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
c. Guru memberikan tugas (PR)
Pertemuan kedua
Pendahuluan
Apersepsi : Membahas PR
Motivasi : Himpunan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
Kegiatan Inti
a. Dengan tanya jawab, siswa diminta untuk menyebutkan
lambang kurang dari dua himpunan
b. Guru dan siswa mendiskusikan tentang operasi kurang dari
dua himpunan
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
a. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman
b. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
c. Guru memberikan tugas (PR)
Pertemuan ketiga
Pendahuluan
Apersepsi : Membahas PR
Motivasi : Setelah mempeljari himpunan siswa bisa
menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari
47
Kegiatan Inti
a. Siswa berdiskusi tentang komplemen dari dua himpunan
dengan kawan sebangku
b. Guru dan siswa berdialog bagaimana caranya menuliskan
notasi komplemen dari dua himpunan
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
d. Dengan bimbingan guru siswa diminta membuat
rangkuman
e. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
f. Guru memberikan tugas (PR)
Instrumen
1. K = {bilangan prima kurang dari 12}
L = {bilangan ganjil antara 2 dan 8}
Tentukan:
K L dan KL
48
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah :
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/2
Aloki Waktu : 2 x 40 menit
Standar Kompetensi : 4. Menggunakan konsep himpunan dan diagram venn
dalam pemechan masalah
Kompetensi Dasar : 4.5 Menggunakan konsep himpunan dalam pemecahan
masalah
Indikator : 1. Menyelesaikan masalah dengan menggunakan
diagram venn dan konsep himpunan
Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran
A. Tujuan Pembelajaran
Siswa dapat menyelesaikan masalah sehari-hari dengan
menggunakan diagram venn dan konsep himpunan
B. Materi Ajar
Hubungan diagram venn dengan konsep himpunan
C. Metode Pembelajaran
Diskusi kelompok, demonstrasi dan penemuan
D. Langkah-langkah kegiatan
Pendahuluan
Apersepsi : Mengingat kembali tentang diagram venn
Motivasi : Apabila materi ini dikusai dengan baik, maka akan
dapat membantu siswa dalam menyelesaikan
masalah sehari-hari
Kegiatan Inti
a. Dengan berdialog, siswa diminta menggambarkan diagram
venn yang berbentuk himpunan yang terdapat di dalam
kelas
49
b. Guru dan siswa mendiskusikan tentang pemecahan masalah
sehari-hari dengn menggunakan diagram venn
c. Siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada
buku sumber
Penutup
a. Dengan bimbingan guru, siswa diminta membuat
rangkuman
b. Siswa dan guru melakukan tanya jawab
c. Guru memberikan PR
F. Penilaian
a. Teknik : Tes tulis
b. Bentuk instrumen : Tes Uraian
50
Lampiran 3. RPP Kurikulum 2013
51
52
53
54
55
56
57
Lampiran 4. Kartu Bimbingan Seminar Pendidikan Matematika
58
59