Anda di halaman 1dari 75

Minggu 15

Aktiviti 1 : Cari maklumat apa yang dimaksudkan dengan Connectivism, Personal


Learning Environment (PLE), teknologi web2.0 (aplikasi-aplikasi yang terdapat dalam
teknologi ini), Mobile Learning (M-Learning) dan sistem pengurusan pembelajaran (LMS
Learning Sebutan e-Learning 2.0 mungkin hal yang baru buat sebagian dari Anda.
Tambahan versi 2.0 dibelakang kata e-Learning sebenarnya menyiratkan hadirnya
sesuatu yang baru dalam pengertian e-Learning itu sendiri dari versi sebelumnya yang eLearning 1.0. Istilah e-Learning 2.0 digunakan untuk merujuk kepada cara pandang baru
terhadap pembelajaran elektronik yang terinspirasi oleh munculnya teknologi Web 2.0.
Sistem konvensional pembelajaran elektronik biasanya berbasis pada paket pelajaran yang
disampaikan kepada siswa dengan menggunakan teknologi Internet (biasanya melalui LMS)
yang sering disebut dengan VLE (Virtual Learning Environments). Peran siswa dalam
pembelajaran terdiri dari pembacaan dan mempersiapkan tugas. Kemudian tugas dievaluasi
oleh guru. Sebaliknya, e-learning 2.0 memiliki penekanan pada pembelajaran yang bersifat
sosial dan penggunaan perangkat lunak sosial (social networking) seperti blog, wiki, podcast
dan Second Life. Fenomena ini juga telah disebut sebagai Long Tail learning. Selain itu juga, Elearning 2.0 erat hubungannya dengan Web 2.0, social networking (Jejaring Sosial) dan
Personal Learning Environments (PLE).
Jika dahulu pembelajaran elektronik sangat bersifat formal dalam Virtual Learning Environment
(VLE) dengan menggunakan Learning Management System seperti Moodle, Blackboard atau
sistem lainnya saja, maka dalam e-Learning 2.0, peran perangkat web 2.0 menjadi suplemen
bagi penggunaan LMS untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran. Wahana jejaring sosial,
yang memang sangat digemari oleh pelajar/peserta didik, seperti Facebook dan Twitter, serta
penggunaan aplikasi web 2.0 lain seperti WordPress, Grou.Ps, Google Docs, MindMeister,
YouTube, Diigo sangat mendobrak kebiasaan belajar formal. Namun dengan mengintegrasikan
tool-tool seperti itu, peserta didik menjadi lebih senang dalam belajar, dibandingkan hanya
dengan menggunakan lingkungan belajar formal (LMS) saja.
Apakah pendekatan ini dapat efektif diterapkan dalam perkuliahan? Jawabannya adalah iya!.
Saya sendiri telah membuktikan sendiri bagaimana pendekatan ini sangat mumpuni untuk
meningkatkan interaktifitas dan kreatifitas dalam kelas online yang ada dalam LMS. Selain
menggunakan kelas online di Moodle, saya juga membuat sebuah grup di Facebook, yang
ternyata sangat efektif untuk digunakan dalam menyebarluaskan informasi perkuliahan dan

meminta respon yang cepat dari peserta didik. Hal serupa juga diungkapkan oleh banyak dosen
yang telah mengikuti program Pendidikan Jarak Jauh yang diinisiasi oleh DBE2 USAID. Dr.
Ihsan Satrya Azhar dari IAIN Sumatera Utara misalnya, beliau telah menggunakan Facebook
Group selama beberapa bulan ini dan mengatakan sangat puas dengan hasil yang ada.
Hal senada diungkapkan pula oleh Dr. Surjani Wonorahardjo dari Universitas Negeri Malang
yang telah menggunakan Facebook Group untuk kelas Kimia Analitikum nya. Mahasiswa
mereka merasa lebih mudah dan cepat dalam mendapatkan informasi dari dosen. Selain itu, hal
ini juga memunculkan pandangan lain dari aplikasi jejaring sosial, bahwa ternyata aplikasi ini
tidak hanya untuk bersenang-senang saja, melainkan dapat pula dimanfaatkan untuk
mendukung proses pembelajaran.
Beberapa kelas online Moodle dari IAIN Walisongo Semarang misalnya, banyak dari kelas
tersebut yang telah dilengkapi dengan widget Twitter, baik yang memanfaatkan hashtags
tertentu (#) maupun hanya untuk menampilkan status terbaru dari dosennya. Yang pasti dengan
seperti ini proses penyebaran informasi dan pengiriman respon dosen maupun mahasiswa
dapat cepat tersampaikan dan tetap terekam. Tentunya dengan teknologi mobile, semua pesan
yang ada dapat diakses dengan cepat dari mana saja dan kapan saja.
Selain berjejaring sosial, proses belajar siswa dalam e-Learning 2.0 juga mengalami
perkembangan. Web 2.0 juga banyak menyediakan lingkungan berkreatif, sebut saja media
blog yang dapat dimanfaatkan para siswa dalam membuat electronic portfolio sebagai hasil
pembelajaran, khusunya untuk membuat dan mempublikasikan tulisan, paparan, review, dll.
Selain itu dalam berkreatif, para siswa dapat juga mengintegrasikan berbagai aplikasi web 2.0
seperti Google Docs, Animoto, Wordle, dll sehingga hasil karya akan menjadi lebih kaya dan
lebih interaktif.
Kolaborasi, jejaring sosial, berbagi informasi, penggunaan teknologi yang beragam, kreatifitas
dan inovasi, kata kunci (tag), agregat (RSS), lingkungan belajar personal, user generated
content merupakan senyawa dari E-Learning 2.0. Kedepan dengan hadirnya pendekatan serta
teknologi baru bukan mustahil akan menghasilkan e-Learning 3.0 dan seterusnya. Yang pasti,
sebagai tenaga pendidik kita harus selalu menyesuaikan diri dalam perubahan yang ada.
Sepanjang hal tersebut baik untuk meningkatkan hasil pembelajaran, maka kita wajib untuk
mencoba dan menerapkannya. Selamat berinovasi!.

Istilah e-Learning 2.0 digunakan untuk merujuk kepada cara pandang baru terhadap
pembelajaran elektronik yang terinspirasi oleh munculnya teknologi Web 2.0. Sistem
konvensional pembelajaran elektronik biasanya berbasis pada paket pelajaran yang
disampaikan kepada siswa dengan menggunakan teknologi Internet (biasanya melalui LMS).
Peran siswa dalam pembelajaran terdiri dari pembacaan dan mempersiapkan tugas. Kemudian
tugas dievaluasi oleh guru. Sebaliknya, e-learning 2.0 memiliki penekanan pada pembelajaran
yang bersifat sosial dan penggunaan perangkat lunak sosial (social networking) seperti blog,
wiki, podcast dan Second Life. Fenomena ini juga telah disebut sebagai Long Tail learning.
Selain itu juga, E-learning 2.0 erat hubungannya dengan Web 2.0, social networking (Jejaring
Sosial) dan Personal Learning Environments (PLE).Management System)

Kumpulan 1 : Jelaskan apakah ciri-ciri blog / edublog, podcastig dan vodcasting


kemudian bincangkan bagaimana ianya dapat digunakan dalam aktiviti pengajaran dan
pembelajaran
Podcast adalah satu medium digital yang terdiri daripada siri episod audio, video, radio digital,
PDF, atau fail ePub melanggan dan dimuat turun melalui sindikasi web atau distrim dalam talian
ke komputer atau peranti mudah alih. Perkataan ini adalah kata baru dan singkatan yang
diperolehi daripada "siaran" dan "buah" dari kejayaan iPod, sebagai podcast audio sering
mendengar pada players.mp3 media mudah alih
Merriam Webster mentakrifkan "Podcast" sebagai:. Program (seperti muzik atau ceramah) yang
diadakan dalam format digital untuk muat turun automatik melalui Internet
Senarai semua audio atau video fail yang berkaitan dengan siri tertentu dikekalkan berpusat
pada pelayan pengedar sebagai suapan web, dan pendengar atau penonton menggunakan
khas perisian aplikasi pelanggan, yang dikenali sebagai podcatcher satu, yang boleh
mengakses suapan web ini, cek untuk kemas kini, dan memuat turun apa-apa fail baru dalam
siri ini. Proses ini boleh dilakukan secara automatik supaya fail baru dimuat turun secara
automatik, yang mungkin kelihatan kepada pengguna seolah-olah kandungan yang sedang
disiarkan atau "menolak" kepada mereka. Fail ini disimpan secara setempat pada komputer
atau peranti lain sedia untuk digunakan di luar talian, memberikan akses pengguna ringkas dan
mudah untuk kandungan. Podcasting berbeza dengan siaran web (streaming Internet), yang
secara amnya tidak direka untuk offline mendengar pengguna-kandungan yang dipilih.
Seperti yang dibincangkan oleh Richard Berry, Podcasting adalah kedua-dua medium tertumpu
membawa bersama-sama audio, web dan pemain media mudah alih dan teknologi yang
menimbulkan gangguan yang telah menyebabkan beberapa dalam perniagaan radio untuk
menimbang semula beberapa amalan ditubuhkan dan prasangka mengenai penonton,
penggunaan, pengeluaran . dan pengedaran [4] Ini idea disruptiveness sebahagian besarnya
adalah kerana tidak ada satu orang memiliki teknologi; ia bebas untuk mendengar dan
membuat kandungan, yang berlepas dari model tradisional "pintu-disimpan" media dan alat-alat
pengeluaran [4] Ia adalah sangat banyak bentuk media mendatar:. pengeluar adalah pengguna
dan pengguna menjadi pengeluar dan melibatkan diri dalam perbualan dengan antara satu
sama lain

Ramai orang dan kumpulan, termasuk Dawn dan Drew The Dawn dan Drew Show, Kris
dan Betsy Smith dari Croncast, dan Dan Klass The Pil pahit menyumbang kepada kemunculan
awal dan populariti podcast. [9] Bekas MTV VJ Adam Curry, dalam kerjasama dengan Dave
Winer, pemaju RSS feed, dikreditkan dengan datang dengan idea untuk mengautomasikan
penghantaran dan penyegerakan kandungan teks kepada pemain audio mudah alih.
Bermula kenaikan sebagai agen penting perubahan, khususnya dalam arena penyiaran,
penerimaan arus perdana Podcasting telah didokumenkan dan dipelihara untuk generasi akan
datang.
Podcasting, sekali kaedah kabur menyebarkan maklumat, telah menjadi satu medium diiktiraf
untuk mengedarkan kandungan audio, sama ada untuk kegunaan korporat atau peribadi.
Podcast A adalah sama dengan program radio dengan perbezaan utama: pendengar boleh tune
ke kegemaran mereka menunjukkan mengikut keselesaan mereka dan mendengar podcast
secara langsung pada peranti yang dibolehkan Internet atau boleh memainkan kandungan
audio yang dimuat sisi.
Permohonan pertama untuk membuat proses ini dilaksanakan adalah iPodderX, yang
dibangunkan oleh Ogos Trometer dan Ray Slakinski. Menjelang tahun 2007, melalui evolusi
keupayaan internet, bersama-sama dengan perkakasan dan perisian murah, podcast audio
lakukan apa yang sejarah dicapai melalui siaran radio , yang sejak tahun 1930 telah menjadi
sumber menunjukkan bercakap radio dan program berita.
Pada bulan Jun 2005, Apple mengeluarkan iTunes 4.9 dengan sokongan asli untuk podcast.
Walaupun ini dibuat menerima podcast lebih mudah, ia berkesan berakhir kemajuan sederhana
podcast oleh pemaju bebas. Menambah kepada faktor penyejukan, Apple dikeluarkan Berhenti
dan berhenti perintah kepada banyak pemaju aplikasi podcast dan pembekal perkhidmatan
untuk menggunakan istilah "iPod" atau "Pod" dalam nama produk mereka 'itu. [15]
Logo yang digunakan oleh Apple untuk mewakili Podcasting
Permohonan cap dagang
10 Feb 2005, Shae Spencer Pengurusan, LLC di Fairport, New York memfailkan permohonan
cap dagang mendaftar istilah "podcast" untuk "program radio online dirakam terlebih dahulu
melalui internet". Pada 9 September 2005, Amerika Syarikat Paten dan Trademark Office
menolak permohonan itu, memetik podcast Wikipedia sebagai menggambarkan sejarah istilah

tersebut. Syarikat itu dipinda permohonan mereka pada bulan Mac 2006, tetapi USPTO
menolak permohonan itu dipinda seperti tidak cukup dibezakan daripada yang asal. Pada bulan
November 2006, permohonan itu telah ditandakan sebagai terbengkalai.
Pada September 20, 2005, tanda dagangan terkenal yang cuba untuk mengambil kesempatan
daripada podcast termasuk: ePodcast, GodCast, GuidePod, MyPod, Pod-Casting, Podango,
PodCabin, Podcast, Podcast Realty, Podcaster, PodcastPeople, Podgram PodKitchen,
PodShop dan Podvertiser.
Pada bulan Februari 2007, telah ada 24 percubaan untuk mendaftar cap dagang yang
mengandungi perkataan "podcast" di Amerika Syarikat, tetapi hanya "podcast READY" dari
Podcast Ready, Inc telah diluluskan.
Perlindungan cap dagang Apple
Pada tarikh 26 September 2004, ia telah melaporkan bahawa Apple telah mula melumpuhkan
perniagaan yang menggunakan string "POD", dalam nama produk dan syarikat. Apple
menghantar berhenti dan berhenti surat itu minggu untuk podcast Ready, Inc., yang
memasarkan aplikasi dikenali sebagai "myPodder". Peguam untuk Apple menegaskan bahawa
istilah "pod" telah digunakan oleh orang ramai untuk merujuk kepada muzik Apple Pemain
begitu meluas bahawa ia jatuh di bawah perlindungan cap dagang Apple. [20] aktiviti seperti ini
telah membuat spekulasi untuk menjadi sebahagian daripada kempen yang lebih besar untuk
Apple untuk memperluaskan skop cap dagang iPod yang sedia ada, termasuk trademarking
"IPOD", "IPODCAST", dan " POD ". Pada November 16, 2006, Jabatan Cap Dagang Apple
menyatakan bahawa Apple tidak membantah penggunaan pihak ketiga" istilah generik ""
podcast "untuk merujuk kepada perkhidmatan Podcasting, dan bahawa Apple tidak memberi
lesen kepada istilah. Walau bagaimanapun, tiada pernyataan yang dibuat sama ada atau tidak
Apple percaya mereka diadakan hak kepadanya.
Tindakan undang-undang Audio peribadi
Audio peribadi, syarikat yang disebut sebagai "menaja paten" oleh Frontier Foundation
Elektronik, [23] memfailkan paten pada Podcasting pada tahun 2009 untuk ciptaan yang
mendakwa pada tahun 1996. Pada bulan Februari 2013, Audio peribadi mula menyaman
berprofil tinggi Penyiaran pod bagi royalti, termasuk The Adam Carolla Show dan podcast
HowStuffWorks itu. Dicadangkan sebelum ini "SHIELD Akta" Kongres Amerika Syarikat, Peter
DeFazio berhasrat untuk membendung Trolls paten.

Kelainan
Podcast dipertingkatkan
Satu podcast dipertingkatkan boleh memaparkan imej-imej serentak dengan audio. Ini boleh
mengandungi penanda bab, hyperlink, dan karya seni, semua yang disegerakkan ke program
atau peranti tertentu. Apabila podcast dipertingkatkan dimainkan dalam program khusus atau
peranti, semua maklumat yang sesuai perlu dipaparkan pada masa yang sama dan dalam
tetingkap yang sama, menjadikannya lebih mudah untuk memaparkan bahan-bahan.
Novel Podcast
A novel podcast (juga dikenali sebagai Audiobook atau podcast bersiri Audiobook) adalah
format sastera yang menggabungkan konsep podcast dan Audiobook satu. Seperti sebuah
novel tradisional, novel podcast adalah karya fiksyen sastera lama; Walau bagaimanapun, ini
bentuk novel direkodkan ke dalam episod yang dihantar dalam talian dalam tempoh masa dan
pada akhirnya didapati sebagai kerja lengkap untuk dimuat turun. Episod boleh diserahkan
secara automatik melalui RSS, melalui sebuah laman web, blog, atau kaedah Sindiket lain. Failfail ini adalah sama ada mendengar secara langsung pada komputer pengguna atau dimuatkan
ke dalam peranti media mudah alih untuk mendengar kemudian.
Jenis-jenis novel yang podcasted berbeza-beza dari perbuatan-perbuatan baru dari penulis
baru yang tidak pernah dicetak, kepada penulis mapan yang telah wujud selama bertahuntahun, Dengan karya-karya klasik sastera yang telah di mencetak selama lebih satu abad.
Dalam gaya yang sama seperti Audiobook satu, novel podcast boleh rumit diriwayatkan dengan
pelakon suara yang berasingan bagi setiap watak dan bunyi kesan, sama seperti mainan radio.
Novel podcast lain mempunyai perawi tunggal membaca teks cerita dengan kesan bunyi yang
sedikit atau tiada langsung.
Novel Podcast diedarkan di Internet, biasanya pada weblog. Novel Podcast dilepaskan dalam
episod mengikut jadual tetap (contohnya, seminggu sekali) atau tidak tetap kerana setiap
episod dilepaskan apabila siap, dan sama ada boleh dimuat turun secara manual dari laman
web atau blog, atau dihantar secara automatik melalui RSS atau kaedah lain Sindiket .
Akhirnya, novel bersiri podcast menjadi Audiobook lengkap.

Beberapa penulis novel podcast memberikan versi podcast percuma buku mereka sebagai satu
bentuk promosi. Beberapa novelis seperti mempunyai kontrak penerbitan walaupun bercagar
untuk mempunyai novel mereka dicetak. novelis Podcast telah mengulas bahawa Podcasting
novel mereka membolehkan mereka membina penonton walaupun mereka tidak boleh
mendapatkan penerbit untuk membeli buku-buku mereka. Ini khalayak kemudian membuat ia
lebih mudah untuk mendapatkan satu perjanjian percetakan dengan penerbit pada masa akan
datang. Ini novelis podcast juga mendakwa pendedahan yang melepaskan podcast percuma
keuntungan mereka membuat untuk fakta bahawa mereka memberikan kerja mereka secara
percuma.
Podcast video
Fail: The Crab Nebula NASA.ogv
A podcast video di Nebula Ketam oleh NASA
A podcast video (kadang-kadang dipendekkan kepada "vodcast") termasuk klip video. Siri
televisyen Web sering diagihkan sebagai podcast video.
Sejak penyebaran Internet dan penggunaan sambungan TCP jalur lebar Internet, yang
membantu untuk mengenal pasti pelbagai aplikasi, sambungan yang lebih cepat ke Internet
telah dicipta dan jumlah jenis komunikasi telah diwujudkan. Podcast video telah menjadi sangat
popular dalam talian dan sering dibentangkan sebagai klip video pendek, biasanya petikan
rakaman yang lebih lama. Klip video yang digunakan di laman web pra-ditubuhkan, dan
peningkatan bilangan laman web yang diwujudkan semata-mata bagi tujuan hosting klip video
dan podcast. Podcast video yang distrim di intranet dan end dan rangkaian persendirian dan
awam, dan mengambil komunikasi melalui Internet ke tahap yang baru.
Klip video yang paling kini dikemukakan dan dihasilkan oleh individu. [Tidak cukup khusus untuk
mengesahkan] podcast Video juga digunakan untuk televisyen web, biasanya dirujuk sebagai
Web TV, satu genre berkembang pesat hiburan digital yang menggunakan pelbagai bentuk
media baru menyerahkan kepada penonton kedua-dua ditayang pertunjukan atau siri dan
kandungan yang dicipta atau diserahkan pada asalnya dalam talian melalui jalur lebar dan
rangkaian mudah alih, rancangan televisyen web, atau siri web. Contohnya termasuk Amazon,
Hulu dan Netflix Pengaturcaraan asal. Lain-lain jenis podcast video yang digunakan untuk
televisyen web mungkin pendek-bentuk, di mana sahaja 2-9 minit setiap episod, yang biasa
digunakan untuk pengiklanan, blog video, filem amatur, kewartawanan, dan penumpuan dengan

media tradisional. [Rujukan?] Sesetengah video popular podcast termasuk Yogpod dan Gigi
Ayam, yang kedua-dua dipaparkan di iTunes, YouTube dan laman web mereka sendiri.
Podcasting Video juga membantu membina perniagaan, terutamanya dalam sektor pemasaran
dan jualan. Melalui podcast video, perniagaan kedua-dua besar dan kecil boleh mengiklankan
barangan dan perkhidmatan mereka dalam cara yang kos efektif yang moden. Pada masa lalu,
perniagaan besar mempunyai akses yang lebih baik kepada studio mahal di mana iklan yang
canggih telah dihasilkan, tetapi kini perniagaan kecil boleh membuat media berkualiti tinggi
dengan hanya kamera, mengedit perisian, dan Internet.
Kegunaan
Rencana utama: Kegunaan Podcasting
Komuniti

menggunakan

podcast

kerjasama

untuk menyokong

pelbagai

penyumbang

Podcasting melalui proses umumnya mudah, dan tanpa perlu untuk menjadi tuan rumah
suapan individu mereka sendiri.podcast masyarakat juga boleh membenarkan anggota
masyarakat (berkaitan dengan topik podcast) untuk menyumbang kepada podcast dalam
pelbagai cara. Kaedah ini mula digunakan untuk siri podcast yang dianjurkan oleh Pusat
Teknologi Pendidikan Serantau di Fordham University pada tahun 2005. Gronstedt meneroka
bagaimana perniagaan seperti IBM dan EMC penggunaan podcast sebagai latihan pekerja dan
saluran komunikasi.

Kumpulan 2 : Bincangkan bagaimana pakej-pakej sosial network (seperti facebook dll)


atau social learning network (social learning media/technology seperti edmodo,
Linkedin dll) dapat digunakan dalam aktiviti pengajaran dan pembelajaran.
Rangkaian sosial merupakan satu perkhidmatan yang menumpukan kepada pembinaan dan
pengesahan rangkaian sosial dalam talian untuk satu komuniti yang berkongsi kegemaran dan
aktiviti atau bagi mereka yang berminat dalam mengetahui kegemaran dan aktiviti orang lain.
Kebanyakan perkhidmatan rangkaian sosial adalah berasaskan web dan menawarkan pelbagai
cara interaksi antara pengguna seperti perbualan dalam talian, bertukar pesanan, e-mel, video,
perbualan suara, perkongsian fail, blog, kumpulan perbincangan dan sebagainya. Di antara
perkhidmatan rangkaian sosial yang popular pada masa kini adalah MySpace, Bebo, Facebook
dan Friendster.
Web 2.0 yang mengandungi pelbagai jenis alatan rangkaian sosial yang menyediakan
kemungkinan

untuk

berkongsi

dan

membina

pengetahuan.

Proses

pengajaran

dan

pembelajaran yang menggunakan alatan rangkaian sosial menyediakan satu model


pembelajaran dan juga penglibatan dalam masyarakat kepada pelajar. Menerusi penggunaan
rangkaian sosial, pelajar mendapat keyakinan baru dan pengalaman perkembangan diri yang
membolehkan mereka membina pengetahuan secara kreatif, terarah kendiri dan pembelajaran
sepanjang hayat.
Bartlett-Bragg (2006) mendefinasikan rangkaian sosial sebagai ruang lingkup applikasi yang
meluaskan kumpulan interaksi dan berkongsi ruang untuk berkolaborasi, hubungan sosial dan
mengumpul pertukaran maklumat dalam persekitaran berasaskan web. Definisi ini memberi
kefahaman tentang reka bentuk pengajaran dan pembelajaran dengan menggunakan pelbagai
alatan dan aktiviti yang tersedia melalui rangkaian sosial.
Boyd dan Ellison (2007) pula mendefinasikan rangkaian sosial sebagai perkhidmatan
berasaskan web yang membenarkan individu-individu untuk:
i. Membina profil umum atau separa-umum dalam sistem terbatas.
ii. Menyatakan senarai pengguna lain dengan orang yang mereka berkongsi suatu hubungan.
iii. Melihat dan menjelajah senarai hubungan mereka dan yang dibuat oleh orang lain dalam
system.

Kajian menunjukkan ramai pengguna laman rangkaian sosial berkomunikasi dengan orang
yang telah sedia dikenali bagi mengekalkan persahabatan berbanding untuk mencari rakan
baru (Boyd & Ellison, 2007). Secara demografi, majoriti pengguna Web 2.0 merupakan
golongan muda. Kajian di Amerika Syarikat menunjukkan bahawa pelajar yang sibuk dengan
pelajaran sekalipun akan terlibat dengan rangkaian sosial seperti Facebook sekurangkurangnya 30 minit setiap hari (Pempek, et. al, 2010) Ini menunjukkan penggunaan rangkaian
sosial telah diintegrasikan ke dalam kehidupan harian golongan muda di sana.
Berdasarkan dapatan kajian Batchelder (2010), penglibatan aktif dalam rangkaian sosial
memberi makna kepada pelajar dari segi :
i. Membina keyakinan terhadap keupayaan untuk mencari apa yang diperlukan.
ii. Kebolehan sebenar dan perkembangan diri.
iii. Menyelesaikan masalah melalui komunikasi dengan orang lain.
iv. Menjalin hubungan dengan orang-orang yang telah dikenali.
Antara aktiviti pelajar dalam rangkaian sosial adalah menggabungkan maklumat-maklumat, tag
dan mentadbir maklumat, mengurus dan menyimpan sumber maklumat, berkolaborasi dan
mengawas proses untuk menyelesaian masalah secara khusus. Ini semua dapat dilakukan
menerusi penggunaan alatan rangkaian sosial secara efektif (Batchelder , 2010).
Alatan Rangkaian Sosial
Terdapat banyak produk yang diklasifikasikan sebagai alatan rangkaian sosial. Jenis produk
yang digunakan oleh pendidik dapat dikategorikan mengikut aktiviti produk berkaitan. Alatan
rangkaian sosial adalah bersifat baca/tulis, yang memberikan perkhidmatan interaktif kepada
pengguna dalam talian. Oleh itu, pengguna boleh mengawal data dan maklumat sendiri
(Maloney, 2007). Teknologi ini menjadikan perkongsian isi kandungan dalam kalangan
pengguna dan peserta menjadi lebih mudah berbanding masa dulu dan mengubah cara
dokumen dicipta, digunakan, dikongsi dan disebarkan.
Alatan rangkaian sosial juga dilihat mempunyai peranan penting untuk mengubah proses
pengajaran dan pembelajaran (Alexander & Levine, 2008). Alatan rangkaian sosial yang
memberi perkhidmatan khusus dalam pendidikan termasuklah blog, mikroblog, wiki, social
bookmarking, perkongsian media dan laman rangkaian sosial.

Integrasi Pengajaran dan Pembelajaran Menggunakan Alatan Rangkaian Sosial


Teknologi web 2.0 adalah sebahagian daripada alatan terkini yang

mana guru dapat

memanfaatkannya untuk merancang dan membantu pembelajaran pelajar. Memandangkan


pengguna alatan rangkaian sosial terdiri daripada golongan muda, mereka pastinya telah
mempunyai kepelbagaian pengalaman, kebiasaan, sikap dan pengharapan terhadap teknologi
atas talian. Kebanyakan mereka menggunakan alatan tersebut di luar konteks bilik darjah dan
bukan untuk tujuan pendidikan (Pempek, et. al, 2010). Oleh itu, para pendidik perlu
menyesuaikan model pedagogi jika hendak menggunakan alatan rangkaian sosial untuk
pengajaran dan pembelajaran supaya dapat disesuaikan dengan generasi pelajar baru ini.
Pengunaan Rangkaian Sosial dalam Proses Pengajaran dan Pembelajaran
Penggunaan alatan rangkaian sosial menyokong pembentukan pelajar kreatif dan kolektif.
Pemikiran kreatif yang maju ke hadapan selalunya merupakan hasil daripada pengetahuan
yang kolektif yang terbentuk melalui perkongsian idea dan pengetahuan antara individu-individu
secara bebas bagi mendapatkan keputusan yang terbaik. Pengetahuan yang dikongsi secara
kolektif ini terus berkembang dan berubah hasil pertanyaan dan penambahbaikan berterusan
bersama-sama para penyumbangnya. Kreativiti, pemikiran aras tinggi dan pembinaan
pengetahuan boleh digalakkan menerusi aplikasi, produksi dan penerbitan yang direka bentuk
dengan baik (Nelson et. al, 2009).
Pembelajaran menjadi lebih bermakna apabila pelajar mencipta dan membina pengetahuan
mereka sendiri. Menurut Batchelder (2010), aktiviti-aktiviti dalam rangkaian sosial menyediakan
pelajar dengan proses aktif yang memberi makna signifikan kepada mereka. Pelajar
dimotivasikan secara semulajadi melalui amalan pedagogi yang berkesan dan penggunaan
teknologi. Internet dan alatan rangkaian sosial mampu memberi peluang kepada pelajar untuk
mencari maklumat, mengumpul bahan mereka sendiri, berkomunikasi, membina makna, dan
menilai hasil akhir. Pelajar dengan amalan pembelajaran terarah kendiri akan mewujudkan
suasana pembelajaran aktif.
Integrasi alatan rangkaian sosial yang dimanfaatkan oleh guru yang berkemahiran akan dapat
meningkatkan pembelajaran pelajar dan memudahkan pembangunan kemahiran sepanjang
hayat seperti kolaborasi, pemikiran kreatif dan pembinaan pengetahuan. Ini bukan membawa
maksud kemahiran penting tidak boleh diajar tanpa teknologi, namun kerjasama antara pelajar
daripada pelbagai latar belakang akan menambahkan dan mendalamkan lagi pengalaman

pelajar. Menurut Batchelder (2010), pengalaman dan aktiviti-aktiviti rangkaian sosial turut
memberi pengetahuan baru kepada pelajar tentang sesuatu konsep berdasarkan aktiviti dan
keinginan mencari maklumat yang berterusan
Penggunaan rangkaian sosial berkesan dalam aktiviti Pengajaran dan Pembelajaran kerana ia
merupakan cara terbaik untuk memanfaatkan nilai pendidikan dalam laman sosial. Ada pendidik
telah membuat kajian di mana pelajar lebih suka berada di ruangan sembang (chat room), blog,
dan sebagai nya untuk membuat tugasan serta ulangkaji. Aktiviti ini menarik minat pelajar,
walaupun kepada pelajar yang jarang menghadiri kelas..Para guru

boleh memuat naik

tugasan/bahan pengajaran untuk pelajar ke dalam laman sosial. Dengan ini, pelajar akan
memberikan maklum balas tentang jawapan atau masalah yang mereka hadapi dalam
menyelesaikan masalah serta merta. Pelajar

akan mendapat jawapan dari keraguan yang

mereka hadapi dalam subjek tersebut terus menerusi dari guru nyata perlu menunggu dalam
jangka masa yang lama.
Kerajaan perlu mengkaji semula dasar laman jaringan sosial ini. Masih banyak sekolah dan
institusi pengajian masih melarang dan menyekat penggunaan Internet kerana bimbang akan
pengaruh buruk yang dibawa dari Internet ke dalam pemikiran pelajar. Jadi, untuk menjadikan ia
lebih mudah, nilai pendidikan perlu diterapkan dan jelas. Hal yang sama juga perlu diterapkan
pada jaringan sosial. Dasar keselamatan masih penting supaya para pelajar tahu tentang
keselamatan yang perlu dititikberatkan ketika melayari Internet, tahu apa yang seharusnya
mereka layari di Internet agar tidak menyimpang dari tujuan sebenarnya yang untuk menegak
sesi ilmu pengetahuan .Para pengajar boleh menggunakan laman sosial tersebut untuk
membincangkan isu-isu dalam pendidikan secara langsung dengan pelajarnya berhubung
dengan subjek/kursus yang diajar. Dengan ini, dapat melahirkan pelajar yang berkemahiran
menggunakan ICT dan laman sosial serta berdikari menyelesaikan masalah pembelajaran dan
tugasan mereka.
Alat ICT yang selalu diguna untuk pembelajaran ialah komputer dan perisian pendidikan sama
ada yang disimpan di dalam CD-ROM, cakera keras ataupun laman web. Istilah Computer
Assisted Instruction (CAI) diguna untuk menggambarkan penggunaan komputer dalam P&P.
Kemudiannya istilah Intelligent Computer Assisted Instruction atau Intelligent Tutoring System
pula digunakan. Perubahan ini seiring dengan perkembangan yang berlaku dalam reka bentuk
perisian pendidikan yang berciri kecerdasan. Ciri ini melahirkan perisian Rangkaian sosial
pendidikan yang berupaya menyesuai maklumat yang disampai dengan kemampuan dan

keperluan murid. Dengan perkembangan ICT, perisian kursus yang ada pada hari ini
kebanyakannya berciri Rangkaian sosial multimedia. Secara umum, setiap
perisian pendidikan mengandung satu atau lebih daripada komponen berikut:
mempersembahkan maklumat,
membimbing,
menyediakan/memberi latihan
menilai pencapaian
Sebahagian besar perisian pendidikan yang diguna dalam pembelajaran

dibentuk berdasar

kepada model Tradisional P&P, model transmisi, yang melihat guru sebagai penyampai
maklumat utama dan murid sebagai penerima. Rangkaian sosial boleh di adaptasi dalam
pendidikan (Clack dan Sun, 1996). Bagimanapun, guru harus berhati-hati dalam melaksana
pendekatan ini. Kesilapan dalam memberikan pertimbangan boleh:
mengakibat pembaziran masa dan tenaga.
menghalang penggunaan kemudahan ICT yang lebih produktif.
menjurus ke arah penyalahgunaan kemudahan ICT.
mengakibatkan lebih banyak ganguan dan masa yang lama diperlukan oleh murid untuk
belajar sesuatu bidang ilmu.
Penggunaan Rangkaian sosial secara berfikrah, terancang dan bersesuaian dengan keperluan
dalam pembelajaran:

Berupaya meningkatkan kefahaman dan penguasaan murid terhadap pelajaran.


Memberi peluang pembelajaran yang sama kepada semua murid yang pelbagai

keupayaan.

Meningkatkan motivasi murid.

Membolehkan pembelajaran bersendiri (individualise learning) dan berkumpulan

Membolehkan murid mengakses maklumat yang sukar diperolehi.

Membolehkan murid mengumpul maklumat yang perlukan masa yang lama atau

terlalu

mahal untuk diperoleh.

Mewujudkan suasana pembelajaran yang menyeronokkan dan mencabar.

Membolehkan murid mencuba atau melaksana eksperimen yang sukar, terlalu mahal,
mustahil atau bahaya untuk dilaksana dengan cara biasa.

Meningkat daya kreativiti dan imaginasi murid.


Memberi peluang kepada murid belajar secara berkesan dengan bimbingan yang

minimum.

Meningkat kemahiran ICT.

Kelebihan Mengguna Rangkaian Sosial Untuk Pembelajaran adalah seperti :

Memberi peluang kepada murid untuk menentukan haluan dan kemajuan pembelajaran
masing-masing.
Mendorong murid terlibat secara lebih aktif dalam pembelajaran.
Memberi peluang kepada murid untuk menangani masalah sebenar di dalam kelas.
Memberi peluang kepada guru menerapkan teori pembelajaran moden seperti
constructivism, multiple intelligence dan lain-lain.
Situasi ini turut mengambarkan pengoperasian teori pembelajaran sosio-budaya (socio-cultural
learning) yang menyatakan budaya atau persekitaran sosial turut membantu pembelajaran
murid saling mempelajari dan membantu sesama mereka membangunkan kemahiran kognitif,
metakognitif, bertutur (verbal) dan bekerjasama (Brown, 1994; Perkins, 1992; McInerney &
McInerney, 1998) Dengan bantuan aplikasi-aplikasi ini, murid akan dapat memberikan tumpuan
melakukan aktiviti pembelajaran yang autentik.

Kelebihan Mengguna Rangkaian Sosial Sebagai Alat Aplikasi ialah:


Murid boleh memberikan tumpuan kepada melakukan aktiviti pembelajaran yang autentik.
Guru boleh mengemuka masalah yang lebih mencabar minda murid.
Murid dapat meningkat kecekapan dan ketepatan hasil pembelajaran
Masa kini terdapat banyak aplikasi pembelajaran rangkaian sosial yang boleh digunakan oleh
guru-guru khusus untuk tujuan pembelajaran dan pengajaran bagi sesebuah kelas atau
sekelompok murid terpilih. Terdapat ramai di kalangan guru-guru di Malaysia yang
menggunakan peluang menggunakan aplikasi ini untuk tujuan P&P dan beberapa tujuan yang
lain. Sebagai contohnya Edmodo yang mana membolehkan guru mewujudkan kelas maya bagi
kelas-kelas yang diajarnya. Kelas maya ini memberi peluang kepada murid-murid untuk
berkolaborasi bersama guru dan rakan-rakan mereka tidak kira masa dan di mana sahaja
asalkan ada talian internet.
Ringkasnya jika aplikasi-aplikasi pembelajaran rangkaian sosial dapat digunakan sepenuhnya,
maka ia merupakan satu alternatif yang sangat berkesan bagi proses pengajaran dan
pembelajaran. Namun begitu sudah menajdi lumrah semakin banyak peluang yang ada
semakin banyak juga persoalan dibelakangnya. Melihat situasi kita di Malaysia, antara
persoalan penting adalah kemudahan insfrastruktur seperti komputer yang mencukupi di
sekolah, talian internet sama ada laju atau tidak dan juga jadual penggunaan makmal di
sekolah. Perkara tersebut tidak menjadi persoalan jika murid-murid tidak mempunyai masalah
menggunakan internet di luar sekolah seperti adanya internet di rumah dan mudah jika hendak
ke kafe siber.
Antara persolan lagi adalah melihat kepada kepentingan penggunaan aplikasi itu sendiri. Jika
seseorang guru itu sedar kepentingannya seperti memudahkan beliau menjalankan P&P
walaupun tiada di sekolah maka dengan sendirinya aplikasi tersebut menjadi platform terbaik
mengelakkan murid-murid ketinggalan dalam pelajaran. Di negara-negara maju, aplikasiaplikasi ini telah lama didedahkan seawal sekolah rendah lagi yang mana anda boleh buat
cariannya di youtube. Guru-guru perlu berganjak paradigma dan mencuba walaupun adanya
kekangan. Jika tidak dapat menggunakan sepenuhnya namun cukup jika ia memberi peluang
kepada murid-murid untuk merasai sedikit suasana lain dalam pembelajaran kerana arus
teknologi semakin berkembang dan rasanya rugi jika persiakan peluang yang ada.

Berikut merupakan antara rangkaian sosial yang sering mendapat perhatian untuk P&P :
i.

Google Drive (https://drive.google.com)

ii.

Frog VLE (http://frogasia.com)

iii.

Edmodo (www.edmodo.com)

iv.

Nicenet (www.nicenet.org)

v.

I Think (http://www.ithinkinc.com)

vi.

Google Groups (http://groups.google.com)

vii.

Einztein (http://einztein.com/)

viii.

Busuu (http://www.busuu.com/)

Selaras dengan projek 1BestariNet yang menambahbaik prasarana ICT di mana salah satunya
lebar Jalur - Kelajuan (2mbps atau 4 mbps) , begitu banyak sekolah yang telah bertukar
daripada schoolnet kepada YES. Berikutan itu KPM telah bergerak pantas dengan
memperkenalkan VLE Frog sebuah aplikasi pembelajaran rangkaian sosial. Pada masa kini ia
didedahkan kepada sekolah-sekolah yang telah menerima YES. VLE Frog jika ia digunakan
dengan maksimum oleh guru-guru maka P&P menjadi semakin mudah, menarik, cepat dan
teratur. Contoh Penerapan Alatan Rangkaian Sosial dalam Pendidikan adalah seperti :
Facebook
Penggunaan Facebook dalam pengajaran dan pembelajaran adalah perkara baru dalam inovasi
pendidikan di Malaysia. Sebagai pereka bentuk pendidikan di sekolah, guru boleh membina
Facebook yang interaktif bagi membolehkan aktiviti pengajaran dan pembelajaran dijalankan
dengan lebih efektif dan fleksibel. Perhubungan dan komunikasi berkembang dengan pesat
sejak Internet diperkenalkan di seluruh dunia. Perkembangan ini juga menyebabkan
peningkatan populariti Social Network Services (SNS) atau yang lebih dikenali sebagai jaringan
sosial. Jaringan sosial yang sangat popular pada masa ini ialah Facebook.
Facebook pada saat ini telah menarik minat berbagai kalangan tenaga pengajar untuk
dimanfaatkan dalam komunikasi berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran secara online.
Fenomena ini menarik, kerana pada awalnya Facebook sebagai salah satu jaringan sosial yang
bertujuan sebagai tempat saling berinteraksi antara seorang individu dengan individu lain

kemudian dilihat oleh sebagian para akademik sebagai peluang untuk dimanfaatkan bagi tujuan
pengajaran dan pembelajaran online.
Sebagai seorang guru, kita mestilah mempunyai pelbagai cara dan kreativiti untuk menarik
minat pelajar untuk belajar. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan "Facebook" dan
Twitter". Melalui laman sosial ini, pelajar akan lebih berminat untuk mencubanya. Tetapi guru
hendaklah menetapkan syarat terlebih dahulu dengan mewajibkan semua pelajar mempunyai
akaun "Facebook" dan "Twitter" terlebih dahulu. Kemudian, guru mewajibkan semua pelajar
untuk menyertai segala perbincangan yang akan dimuat turun sepanjang aktiviti P&P dalam
"Facebook" tersebut berlangsung.
Kebanyakan guru memilih saluran komunikasi Facebook kerana melalui Facebook mudah
untuk berkomunikasi dengan para pelajar. Guru boleh berkomunikasi dengan pelajar mereka
pada bila-bila masa dan di mana-mana saja mereka berada selagi terdapat kemudahan
Internet. Faedah yang paling ketara ialah bagi pelajar yang sukar untuk memberi idea atau
bercakap semasa di dalam kelas atau makmal, maka melalui Facebook mereka akan mudah
terangsang atau teruja untuk memberi idea sekiranya terdapat dikalangan pelajar-pelajar lain
yang memberi komen mengenai sesuatu isu yang telah dibangkitkan oleh guru. Secara tidak
langsung guru akan tahu sebenarnya semua pelajar mereka boleh berkomunikasi dengan baik.
Facebook juga sangat berfaedah bagi pelajar yang kurang faham semasa guru mengajar dalam
kelas maka semasa diluar waktu kelas pelajar berkenaan boleh menggunakan saluran
Facebook untuk meluahkan ketidakfahaman mereka dengan mendapat tindak balas dari pelajar
lain atau guru berkenaan. Dengan adanya Facebook, komunikasi dapat dibuat dengan kos
percuma atau rendah.
Blog
Blog merupakan tempat dimana penulis dapat menulis pengalaman sebenar beliau iaitu dengan
cara memautkan rangkaian bersama blog setiap ahli kelas atau sesuatu bidang yang
memudahkan lagi pengesanan. Melalui Blog, guru atau individu yang terlibat dapat memberikan
maklum balas kepada para pelajar dengan cepat dan berkesan. Selain itu para pelajar juga
berpeluang untuk mengemukakan idea atau pendapat mereka bersama dengan rakan sebaya
untuk membina pengetahuan sendiri terutamanya bagi mengemaskini setiap maklumat baru
contohnya kerja rumah atau tugasan.

Bukan itu sahaja, pelajar juga dapat menggunakan komen yang terdapat di dalam blog tersebut
bagi menggalakkan sikap saling membantu antara para pelajar dalam penulisan mereka dan
mendapatkan respon terhadap sesuatu soalan tanpa memberikan jawapan yang sama.
Microblog
Komuniti bilik darjah, meneroka penulisan kolaboratif, respon pembaca, kolaborasi antara
sekolah, negeri, pengurusan projek, menilai pendapat, tempat untuk metakognisi, seminar atau
sebahagian persembahan atau bengkel, untuk rujukan atau penyelidikan, membimbing
perbincangan kelas maya, mencipta pengalaman pembelajaran dan suatu Rangkaian
Pembelajaran Personal (Personal Learning Network).
Ianya digunakan sebagai medium penyebaran bahan dan penerbitan guru, menempatkan
sumber asal idea, petikan kata-kata, membenarkan maklum balas yang lebih fokus dan konkrit
supaya pelajar menyaring pemikiran dan meningkatkan kemahiran mereka, menggalakkan
hubungan professional, penyelidikan bukan formal, penceritaan, mendapatkan maklum balas
terhadap idea serta mengemaskini sesuatu peristiwa.
Wiki
Digunakan ketika pelajar menjalankan dan melaksanakan sesuatu projek berkumpulan untuk
kolaborasi idea dan menguruskan dokumen serta sumber-sumber daripada individu samada
pelajar mahupun kumpulan. Juga berfungsi sebagai alat persembahan (e-portfolio), sebagai
satu kumpulan projek penyelidikan bagi bidang tertentu, mengurus dokumen sekolah dan bilik
darjah, digunakan sebagai edaran kolaboratif untuk pelajar dan bahan penulisan pelajar.
Tempat untuk mencipta dan mengekalkan soalan berkala dalam bilik darjah sebagai
perbincangan bilik darjah dan ruang debat, mengumpul sumber web, menyokong jawatankuasa
dan sebagainya.
Perkongsian Foto/Slaid (Photo/Slide sharing)
Laman dimana berlaku perkongsian komen dan menambah catatan terhadap foto atau imej
yang hendak digunakan dalam bilik darjah. Di sini, pelajar akan dapat dirangsang untuk
menghasilkan penulisan dan kreativiti atau mencipta satu rangkaian persembahan

dengan

menggunakan gambar foto. Hanya dengan menggunakan tag sahaja, pelajar akan dapat
mencari foto-foto tempat dan peristiwa yang berlaku di seluruh dunia untuk digunakan dalam
bilik darjah. Setelah itu, pelajar akan dapat menghantar persembahan yang telah di buat

kepada para penonton autentik bagi mendapatkan maklum balas dari seluruh dunia, berkongsi
bahan perkembangan profesionalisme dan menjadikannya tersebar sedia di semua tempat,
masa dan kepada sesiapa sahaja.
Perkongsian Video (Video Sharing)
Guru atau para pelajar dapat membangunkan video perkembangan professional berdasarkan
terma sendiri, mencipta video mata pelajaran tertentu dengan pelajar serta menggunakan
laman perkongsian video untuk mencari video-video berkaitan isu semasa dan sebagainya.
Social Bookmarking
Mencipta satu set bahan sumber yang boleh dicapai pada mana-mana komputer yang
dihubungkan dengan internet, mengendalikan penyelidikan dan berkongsi dengan rakan
sebaya. Menjejak pengarang dan buku yang dikemaskini; kumpulan pelajar melaksanakan
projek dalam bilik darjah berkongsi bookmark mereka; mengulas bookmark utuk membantu
pelajar memilih bahan sumber berguna, menetapkan tag kumpulan untuk berkongsi sumber
pendidikan
Laman Rangkaian Sosial (Social Networking Sites)
Sokongan peristiwa dan pengekalan, sokongan pasukan dan komuniti, pengumpulan aplikasi
media sosial, persekitaran pembelajaran peribadi

Kumpulan 3 : Bincangkan bagaimana perkongsian dan kolaborasi di internet dapat


meningkatkan aktiviti pembelajaran. (anda boleh menggunakan tools seperti google app,
zoho, box, yahoo.group dan lain-lain sebagai contoh)
Pengenalan

Ilmu dan teknologi terutama teknologi informasi berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi
maklumat ini telah meningkatkan penggunaan internet, laman web dan jaringan (networking)
dalam pelbagai bidang. Pesatnya perkembangan teknologi ini ternampak juga pada pelbagai
perubahan sosial budaya. Misalnya e-perniagaan merupakan perubahan radikal dalam aspek
ekonomi masyarakat moden saat ini. Di sektor pemerintahan terdapat e-kerajaan. Demikian
pula di sektor pendidikan sudah berkembang dengan apa yang dikenali sebagai epembelajaran (e-learning).

Umumnya e-pembelajaran merujuk kepada sebarang pengajaran dan pembelajaran yang


menggunakan rangkaian elektronik sama ada menerusi Local Area Network (LAN), World Area
Network (WAN) atau internet untuk menyampaikan isi kandungan, interaksi ataupun
pemudahcaraan. Pengajaran boleh disampaikan secara synchronously (pada waktu yang
sama) ataupun asynchronously (pada waktu yang berbeza). Menurut Learnframe (2001) bahan
pengajaran dan pembelajaran yang disampaikan melalui media ini mempunyai teks, grafik,
animasi dan simulasi, audio dan video. Ia juga menyediakan.
Kemudahan untuk perbincangan kumpulan (discussion group) dan bantuan profesional isi
pelajaran secara dalam talian (on-line). Teknologi informasi tersebut telah meningkatkan
interaksi antara tenaga pengajar dengan pelajar (Neuwirth dan Mojahn, 1996) serta
menyenangkan perbincangan kelas di samping menukar cara interaksi antara pengajar dengan
pelajar (Bonk dan King, 1995).
Pembelajaran secara kolaboratif telah menjadi satu metodologi dalam sistem pendidikan. Ia
menggalakkan penglibatan pelajar secara aktif dalam proses pembelajaran. Semasa aktiviti
pengajaran dan pembelajaran kolaboratif berjalan, interaksi berlaku di antara pelajar dengan
bahan pengajaran, pelajar dengan pelajar dan pelajar dengan pengajar. Schrage (1990)
menyatakan pembelajaran kolaboratif melebihi aktiviti bekerjasama kerana ia melibatkan

perkongsian hasil penemuan dan hasil pembelajaran baru. Menurut Jonassen (1996),
pembelajaran secara kolaboratif dapat membantu pelajar membina pengetahuan yang lebih
bermakna jika dibandingkan dengan pembelajaran secara individu. Dengan menjalankan aktiviti
dan projek pembelajaran secara kolaboratif, kemahiran berkomunikasi akan dipelajari oleh
pelajar.
Menurut Tinzmann et al. (1990), terdapat beberapa ciri utama dalam pembelajaran kolaboratif,
iaitu:
i. Perkongsian ilmu pengetahuan di antara pengajar dan pelajar.
Dalam pengajaran dan pembelajaran traditional, peranan pengajar hanya menyalurkan
pengetahuan seberapa banyak yang boleh kepada pelajar. Pengajar perlu mempunyai
pengetahuan

yang

dalam

tentang

isi

pelajaran

dan

mempunyai

kemahiran

serta

menyalurkannya kepada pelajar. Dalam pembelajaran kolaboratif pula, pengajar perlu menilai
dan membina satu persekitaran pengetahuan yang meliputi pengalaman individu, bahasa,
strategi dan budaya yang boleh membawa pelajar kepada satu situasi pembelajaran yang
efektif. Pelajar digalakkan berkongsi ilmu pengetahuan serta pengalaman pembelajaran serta
strategi pembelajaran dengan pengajar serta pelajar lain.

ii. Perkongsian autoriti di antara pengajar dan pelajar.


Pembelajaran kolaboratif memerlukan perkongsian autoriti di antara pengajar dan pelajar.
Autoriti dari perspektif pelajar bermaksud pelajar berhak memberi pendapat dalam proses
membuat sesuatu keputusan. Manakala dari perspektif pengajar, pengajar berhak untuk
menyediakan beberapa pilihan bagi tajuk tugasan dan aktiviti kelas yang sesuai dengan minat
dan tahap pencapaian pelajar dan pelajar boleh membuat pilihan sendiri. Pengajar perlu
mengalakkan pelajar mengaplikasikan apa yang telah dipelajari serta memastikan pelajar
berkongsi pengetahuan dan strategi pembelajaran. Dengan itu, pelajar boleh belajar menerima
pendapat pengajar atau pelajar lain dan membina kemahiran pemikiran kritis dan kreatif.

iii. Pengajar sebagai fasilitator


Dalam perkongsian pengetahuan dan autoriti di antara pengajar dan pelajar, pengajar
berperanan sebagai fasilitator. Seorang fasilitator yang berjaya akan membantu pelajar
menghubungkaitkan pembelajaran baru kepada pengalaman dan pembelajaran dalam bidang
yang lain. Pengajar perlu menilai tahap informasi dan bantuan yang diberi untuk
memaksimakan keupayaan pelajar untuk belajar.

Pembelajaran kolaboratif dalam sistem e-pembelajaran banyak digunakan dalam pembelajaran


jarak jauh yang berasaskan internet. Pengaplikasian pembelajaran kolaboratif dalam sistem epembelajaran akan membentuk komuniti dalam talian seperti group chatting di kalangan pelajar
berasaskan sistem pengurusan pembelajaran atau learning management system (LMS) yang
dikenali sebagai MoodleTM. Perkataan Moodle merupakan singkatan bagi perkataan Modular
Object-Oriented Dynamic Learning Environment. Sistem pengurusan pembelajaran (LMS)
merupakan satu sistem perisian yang digunakan untuk mengakses pendidikan dalam talian.
Antara fasiliti LMS yang telah digunakan secara meluas dalam web termasuklah forum
perbincangan, chats dan journal. Manakala contoh aplikasi bagi LMS termasuk WebCT dan
blackboard. Secara umumnya, LMS mempunyai dua kriteria yang utama, iaitu:

iv. Pelajar mempunyai kebebasan untuk belajar berdasarkan tahap penguasaan mereka.
Pengaplikasian e-pembelajaran dalam sistem pendidikan boleh diperlihatkan dari pelbagai
aspek. Pengaplikasian e-pembelajaran telah menggantikan pembelajaran bersemuka (face-toface) terutamanya dalam sistem pendidikan jarak jauh di mana pelajar mengakses bahan
pembelajaran melalui web dan komunikasi dalam kelas digantikan dengan komunikasi
berasaskan komputer sepenuhnya. Kajian telah menunjukkan terdapat peningkatan dalam
prestasi pelajar berbanding dengan penyampaian pelajaran menerusi kuliah (Schutte, 1997;
Zhang, 1998).

PENUTUP
e-pembelajaran yang berkonsepkan kolaboratif telah memberi banyak manfaat kepada
masyarakat Malaysia dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan keseluruhannya. Selain
daripada itu, ia turut memberi implikasi positif kepada golongan guru dan pelajar dalam proses
pengajaran dan pembelajaran mereka di dalam bilik darjah. Walau bagaimanapun, implikasi ini
hanya boleh dicapai sekiranya ia digunakan secara optimum dan berkesan. Oleh yang
demikian, kerajaan perlu mewujudkan kesedaran kepentingan penggunaan portal kepada
masyarakat umumnya dan para guru serta pelajar khususnya

Kumpulan 4 : Jelaksan apakah ciri-ciri LMS Moodle dan M-Learning, kemudian


bincangkan bagaimana LMS dan M-Learning berfungsi sebagai medium untuk aktiviti
pengajaran dan pembelajaran.

BAHAGIAN I: Pengenalan

Transformasi sistem pendidikan tinggi awam seharusnya selaridengan dasar Malaysia yang
ingin menjadi negara maju dan melahirkangenerasi yang kreatif, inovatif dan kompeten.
Walaupun pembelajaran secaramaya atau atas talian agak baharu di Malaysia, perkembangan
pesat ini telahmendorong IPTA untuk mengaplikasi e-Pembelajaran untuk terus berdayasaing.
Demi menyahut cabaran ini, setiap IPTA mengambil pendekatan masing-masing untuk
melaksanakan e-Pembelajaran bagi menyokong prosespengajaran dan pembelajaran yang
memerlukan perubahan. Pelajar masakini banyak terdedah dengan perkembangan TMK dan
kebanyakan

bahanpengajaran

dapat

dicapai

secara atas talian

melalui

kemudahan

Internet.Justeru, pensyarah juga seharusnya perlu dimantapkan dengan kemahiran TMKbagi


menyokong pelaksanaan e-Pembelajaran. Pelbagai sistem pengurusanpembelajaran atau
Learning Management System (LMS) telah dibangunkanoleh IPTA sebagai medium antara
pensyarah dengan pelajar secara atas talian

2 e-pembelajaran@ipta.myselain bertemu secara bersemuka di dalam bilik kuliah. Setelah


hampir

limatahun

pelaksanaan

e-Pembelajaran

IPTA

berkembang

dengan

pesat,

makadirasakan perlunya perkongsian amalan terbaik atau best practice antara satusama lain
bagi meningkatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran. Perkongsian ini telah diterjemahkan
melalui penubuhan satu KumpulanKetua-Ketua Penyelaras e-Pembelajaran di IPTA. Mesyuarat
pertama telahdiadakan di Universiti Utara Malaysia (UUM) pada 12 November 2007
yangdikenali sebagai Persidangan Meja Bulat e-Pembelajaran. Semua 20 wakilIPTA telah
dijemput hadir untuk berkongsi pengalaman dalam pelaksanaane-Pembelajaran melalui sesi
pembentangan yang diadakan. Dengan kejayaanpersidangan pertama ini, persidangan kedua
telah diadakan di UiTM (30-31Januari 2008), ketiga di UMS (31 Mac-2 April 2008), keempat di
UIA (24-25Julai 2008), kelima di UTM (4-5 November 2008), keenam di UPM (27 April2009),
ketujuh di UKM (3 Disember 2009), kelapan di UPSI (2 Mac 2010),kesembilan di USM (11 Mei

2010) dan kesepuluh di UMT (28-29 Julai 2010).FungsiPersidangan MEIPTA kali kedua di UiTM
pada 30-31 Januari 2008 telahmenghasilkan satu kertas dasar penubuhan MEIPTA untuk
kelulusanKementerian Pengajian Tinggi (KPT). Ahli persidangan MEIPTA telahbersetuju
menggariskan dua objektif seperti berikut:i. Menjadi platform untuk usaha perkongsian dan
kerjasama antara IPTA berkaitan e-Pembelajaran.ii. Menggembleng kepakaran dan sumber
untuk memajukan e-Pembelajaran di IPTA. Falsafah dan peranan MEIPTA yang dipersetujui
adalah seperti berikut:i.

Berdasarkan kepada premis bahawa IPTA dibiayai oleh dana

awam, maka Majlis akan berfungsi berlandaskan kepada falsafah perkongsian kepakaran dan
sumber

untuk

memajukan

serta

memantapkan

pembangunan

sistem

pengurusan

pembelajaran, bahan pembelajaran dan amalan penggunaan e-Pembelajaran dalam kalangan


IPTA.ii. Berperanan sebagai penghubung antara IPTA dengan KPT dalam hal berkaitan ePembelajaran.iii. Membincangkan isu-isu bersama tentang e-Pembelajaran di IPTA.iv.
Meninjau peluang-peluang perkongsian dan kerjasama antara IPTA dalam hal-hal
berkaitan e-Pembelajaran.v. Menjalankan aktiviti penyelidikan dan penerbitan bersama tentang
e-Pembelajaran.

MEIPTA 3Keahlian MEIPTAPelantikan sebagai ahli MEIPTA oleh Kementerian Pengajian Tinggi
(KPT),iaitu dua wakil IPTA yang terdiri daripada ahli akademik dan pegawaipentadbiran. Ahli
MEIPTA bagi 20 IPTA untuk Januari 2010 Disember 2011adalah seperti Jadual 1. Jadual 1
Keahlian MEIPTA 2010 -2011Bil. Nama Ahli IPTA Prof. Dr. Mohamed Amin Embi (Pengerusi)
UKM1 Prof. Dr. Mahamod Ismail Prof. Madya Dr. Norazah Mohd Nordin2 Prof. Dr. Abdul Halim
Sulaiman UM Dr. David Asiruatham Prof. Dr. Hanafi Atan (sehingga Jun 2010) USM3 Prof. Dr.
Abd. Karim Alias (mulai Julai 2009) En. Zulham Hamdan Prof. Madya Dr. Zaidan Abdul Wahab
(Timb. Pengerusi) UPM4 Prof. Dr. Sidek Ab Aziz Pn. Hamidah Meseran5 Prof. Dr. Mohamed
Noor Hasan UTM Prof. Madya Hanizam Sulaiman6 Tn. Hj. Nazri Mohd Saad UPSI Dr. Sadiah
Baharom Dr. Azam Othman (Sehingga Jun 2010) UIAM7 Prof. Madya Dr. Noor Lide Abu Kassim
Dr. Lihanna Borhan8 Prof. Madya Dr. Syed Jamal Abdul Nasir b. Syed Mohamed UiTM Prof.
Madya Hjh. Haziah Jamaluddin9 Prof. Madya Dr. Nurahimah Mohd Yusoff UUM Dr. Osman
Ghazali10 Dr. Tan Choon Keong UMS Pn. Salfarah Abdullah11 Prof. Madya Dr. Chen Chwen
Jen UNIMAS Pn. Sharifah Norizan Wan Zain12 En. Zainal Abidin Sayadi UTHM En. Hemmy
Abd. Jalal13 Prof. Madya Dr. Abdullah Ibrahim UMP En. Aziman Abdullah

4 e-pembelajaran@ipta.my14 Dr. Mohd Lazim Abdullah UMT Pn. Rosnaidi Jusoh UNIMAP15
Dr. Ku Mohd Nabil Ku Ismail USIM En. Nasyrudin Abd. Syukor UTeM UPNM16 Prof. Madya Dr.
Norita Md. Norwawi UNISZA En. Mohd Ilias Shuhud UMK17 Prof. Madya Dr. Sazilah Salam Dr.
Hjh. Norasiken Bakar18 Dr. Jowati Juhary En. Akram Abd Azid19 Prof. Madya Dr. Mohd Nordin
Abdul Rahman Tn. Hj. Abd. Rahim Ramli20 Prof. Rosdi Abd Rahman En. Mansor bin Che Din
@ Noordin Selain daripada wakil IPTA, keanggotaan MEIPTA turut diwakili olehKementerian
Pengajian Tinggi, iaitu Prof. Madya Dr. Mohd. Majid Konting(Timbalan Pengarah Pengajaran
dan Pembelajaran) dari Akademi KepimpinanPengajian Tinggi. Pengerusi dan Timbalan
Pengerusi MEIPTA dipilih secara undian olehahli MEIPTA untuk tempoh dua tahun. Prof. Madya
Dr. Ahmad Jelani Shaari(UUM) telah dipilih sebagai Pengerusi pertama MEIPTA (November
2007 Disember 2009), manakala Prof. Madya Dr. Posiah Mohd Isa (UiTM) dipilihsebagai
Timbalan Pengerusi yang pertama. Dr. Osman Ghazali (UUM) telahmemangku jawatan
pengerusi selama enam bulan. Kini, jawatan PengerusiMEIPTA disandang oleh Prof. Dr.
Mohamed Amin Embi (UKM), manakalaTimbalan Pengerusi adalah Prof. Madya Dr. Zaidan
Abdul Wahab (UPM)untuk tempoh Januari 2010 Disember 2011. Mesyuarat MEIPTA
bertarikh3 Disember 2009 bersetuju seketariat tetap dipilih untuk tempoh dua tahun.Urus Setia
MEIPTAUrus setia MEIPTA dilantik untuk tempoh dua tahun dan secara bergilir antaraIPTA.
Universiti yang diwakili oleh pengerusi MEIPTA yang dilantik secaraautomatik akan menjadi
urus setia. Antara bidang tugas urus setia MEIPTAadalah seperti berikut:i.Mengeluarkan

surat

jemputan kepada semua ahli MEIPTA yang dilantik setiap kali sebelum mesyuarat
berlangsung.ii.Menyediakan minit mesyuarat, laporan, kertas kerja dan sebagainya pada setiap
kali mesyuarat dijalankan. Minit mesyuarat lepas hendaklah

MEIPTA 5 diedarkan sebelum mesyuarat berlangsung untuk makluman dan tindakan oleh
ahli.iii. Sentiasa berhubung dengan IPTA yang menjadi tuan rumah sebelum mesyuarat
berlangsung untuk memastikan mesyuarat dapat berjalan dengan berkesan.iv.

Sentiasa

berhubung dengan setiap ahli dari semasa ke semasa untuk memaklumkan perkembangan
terkini sama ada melalui emel, telefon dan surat.v. Memaklumkan

kepada

KPT

untuk

pelantikan ahli MEIPTA.Persidangan MEIPTAPersidangan MEIPTA diadakan tiga atau empat


kali setahun secara berkaladan tuan rumah dipilih secara bergilir antara IPTA. Sejak November
2007,mesyuarat telah berjaya diadakan sebanyak 10 kali.Persidangan Kali Pertama (Universiti
Utara Malaysia)Persidangan Meja Bulat MEIPTA yang pertama telah berlangsung pada12
November 2007 di UUM yang telah dihadiri oleh 19 wakil daripada 15IPTA. Pada persidangan

tersebut, satu resolusi untuk menubuhkan majlis telah dipersetujui bersama dan UUM dilantik
sebagai Pengerusi Pro Temuntuk menyediakan kertas kerja penubuhan tersebut. Prof. Madya
Dr. AhmadJelani Shaari (UUM) telah dilantik sebagai Pengerusi, manakala jawatanTimbalan
Pengerusi disandang oleh Prof. Madya Dr. Posiah Mohd. Isa(UiTM). Persidangan tersebut juga
bersetuju pelantikan jawatan Pengerusidan Timbalan Pengerusi secara pusingan untuk tempoh
dua

tahun.

Sesipembentangan

oleh

setiap

wakil

IPTA

yang

hadir

mengenai

perkembanganpelaksanaan e-Pembelajaran telah berjaya diadakan pada persidangan


pertamaini.Persidangan Kali ke-2 (Universiti Teknologi MARA)Dalam Persidangan kali ke-2
yang diadakan di UiTM pada 30 dan 31 Januari2008, tiga keputusan utama telah dipersetujui,
iaitu Pembangunan Sistem,Formulasi Polisi, Penyelidikan dan Kolaborasi. Selain itu, perkara
yang turutdibincangkan seperti Kursus Moodle dan Persidangan e-Pembelajaran.Persidangan
Kali ke-3 (Universiti Malaysia Sabah)UMS telah dipilih sebagai tuan rumah persidangan kali ke3 yang berlangsungpada 31 Mac hingga 2 April 2008 dan pembangunan Polisi ePembelajaranIPTA menjadi agenda utama. Ahli MEIPTA dibahagikan mengikut limakumpulan
perbincangan, iaitu Peranan Pensyarah, Peranan Pelajar,Peranan Pengurusan Universiti,
Peranan Fakulti/ Sekolah, Peranan Jabatan(Pengurusan e-Pembelajaran) dan Reka Cipta.
Selain itu, persidangan jugaberkongsi pengalaman tentang penggunaan Moodle oleh IPTA
melalui sesipembentangan.

Persidangan Kali ke-4 (Universiti Islam Antarabangsa Malaysia)Persidangan MEIPTA kali ke-4
telah berlangsung pada 24 dan 25 Julai 2008di UIA. Pembangunan Polisi e-Pembelajaran IPTA
diteruskan sebagai agendautama untuk memurnikan polisi tersebut. Pembentangan setiap
kumpulanpolisi tersebut diadakan bagi mendapatkan pandangan dan maklum balasuntuk
kesesuaian digunakan oleh semua IPTA.

Persidangan Kali ke-5 (Universiti Teknologi Malaysia)UTM telah dipilih sebagai lokasi
Persidangan MEIPTA ke-5 yang berlangsungpada 4 dan 5 November 2008. Persidangan ini
telah dirasmikan oleh TimbalanNaib Canselor (Akademik dan Antarabangsa) UTM. Usaha
menghasilkanPolisi e-Pembelajaran yang komprehensif diteruskan dalam persidanganini dan
sesi pembentangan turut diadakan. Selain itu, program lawatan keMakmal Pembangunan
Multimedia dan studio rakaman di Pusat Pengajarandan Pembelajaran dan Pusat Teknologi
Maklumat telah diaturkan oleh pihakUTM.Persidangan Kali ke-6 (Universiti Putra Malaysia)UPM

menjadi tuan rumah Persidangan MEIPTA ke-6 pada 27 April 2009yang berlangsung di Palm
Garden IOI Resort, Putrajaya. Persidangan telahmembincangkan pembangunan Polisi ePembelajaran untuk diserahkankepada KPT. Sempena persidangan ini, UPM dengan
kerjasama KPT danMEIPTA turut menganjurkan Seminar Kebangsaan Teknologi dan
InovasiPengajaran dan Pembelajaran (SKTIP09) pada 28 dan 29 April 2009.Persidangan Kali
ke-7 (Universiti Kebangsaan Malaysia)Persidangan MEIPTA anjuran UKM telah berlangsung
pada 3 Disember 2009di Cyberview Lodge Resort, Cyberjaya yang dirasmikan oleh Prof.
DatoIr. Dr. Hassan Basri, Timbalan Naib Canselor, Hal-ehwal Akademik danAntarabangsa
UKM. Sempena dengan persidangan ke-7 ini yang bertemakanPembangunan e-Kandungan,
UKM turut melancarkan Portal SPIN (SistemPengurusan Pengajaran dan Pembelajaran
Interaktif) dan e-LOK (e-LearningOnline Kiosk). Setiap wakil IPTA membuat pembentangan
berdasarkan temapersidangan tersebut. Selain itu, UKM dengan kerjasama Persatuan Mobile
Learning Malaysia(Malaysian M-Learning Association) dan In-Learn Station Sdn. Bhd.
telahmenganjurkan National Workshop on Development of e-Content pada 4 dan 5Disember
2009 serta semua wakil IPTA hadir dalam bengkel tersebut.

Persidangan Kali ke-8 (Universiti Pendidikan Sultan Idris)Persidangan MEIPTA kali ke-8 yang
bertemakan Latihan e-Pembelajarananjuran UPSI telah berlangsung pada 2 Mac 2010.
Persidangan ini dijalankansecara serentak dengan Mesyuarat Pengarah-Pengarah ICT IPTA
(MAPITA)yang telah dirasmikan oleh Prof. Dato Dr. Aminah Ayob, Naib Canselor UPSI.Kertas
kerja penyelidikan e-Pembelajaran bertajuk Amalan, Keberkesanan danCabaran Pelaksanaan
e-Pembelajaran di IPTA Malaysia telah dibentangkandan dipersetujui semua ahli. Kertas
tersebut telah mendapat kelulusan KPTdan dana permulaan sebanyak RM 100 ribu telah
diluluskan. Sempena denganpersidangan ini, UPSI selaku tuan rumah telah menjemput pihak
OracleCorporation Malaysia Sdn. Bhd. untuk membuat demonstrasi E-Learning &Cloud
Computing pada 1 Mac 2010.

Persidangan Kali ke- 9 (Universiti Sains Malaysia)Persidangan MEIPTA ke-9 yang bertemakan
Governancece and Managementof e-Learning telah berlangsung di USM pada 11 Mei 2010.
Perasmiannyatelah disempurnakan oleh Prof. Ahmad Shukri Mustafa Kamal, TimbalanNaib
Canselor (Akademik dan Antarabangsa) USM. Cadangan penerbitanbuku bertajuk ePembelajaran di IPTA telah dipersetujui untuk ditulis olehsemua IPTA. Sempena persidangan

ini, USM telah menganjurkan SeminarTransforming Nurturing and Learning dan Bengkel
Learning ActivtityManagement System serta Bengkel e-Learning Policy Formulation pada12
hingga 14 Mei 2010 yang telah dihadir oleh semua wakil IPTA.Persidangan Kali ke-10
(Universiti Malaysia Terengganu)UMT bersetuju menjadi tuan rumah Persidangan MEIPTA ke10 yang telahberlangsung 28 dan 29 Julai 2010. Persidangan yang bertemakan Isu,
Cabarandan Perancangan Masa Depan e-Pembelajaran sangat bertepatan denganhasrat KPT
untuk terus memperkukuhkan pelaksanaan e-Pembelajaran diIPTA Malaysia. Bersempena
dengan persidangan ini, Bengkel Pemurnianbuku e-Pembelajaran di IPTA telah diadakan
beserta sesi pembentangan drafbab buku oleh setiap wakil IPTA.

Aktiviti Semasa PersidanganPelbagai aktiviti dan program seperti seminar, bengkel dan
demonstrasiberkaitan

e-Pembelajaran

biasanya

diaturkan

sempena

Persidangan

MEIPTAberlangsung. Aktiviti yang dilaksanakan ini amat bermanfaat kepada semuaahli MEIPTA
bagi memantapkan pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA masing-masing.National Workshop on
Development of e-ContentUKM selaku tuan rumah Persidangan MEIPTA ke-7 telah
menganjurkanNational Workshop on Development of e-Content pada 5 Disember 2009dengan
kerjasama Persatuan M-Pembelajaran Malaysia (Malaysian M-LearnAssociation) dan In-Learn
Station Sdn. Bhd. Peserta yang hadir seramai 30orang terdiri daripada wakil semua IPTAdan
telah dilatih membangunkan bahankuliah interaktif. Peserta didedahkan dengan penggunaan
perisian CamtasiaStudio, Raptivity dan Code Charge. Selain daripada Prof. Dr. Mohamed
AminEmbi sebagai penceramah, bengkel ini dibantu oleh En. Mustafa dan En. Azalidari InLearn

Station

Sdn.

Bhd.

sebagai

fasilitator.Demonstration

on

e-Learning

&

Cloud

ComputingDemonstrasi produk e-Learning & Cloud Computing anjuran UPSI diadakanpada 1


Mac 2010 bersempena dengan Persidangan MEIPTA ke-8. Seramai 80peserta telah hadir yang
terdiri daripada ahli MEIPTA dan MAPITA daripadasemua IPTA.

Sempena dengan Persidangan MEIPTA ke-9, USM selaku tuan rumah telahmenganjurkan
Seminar Transforming Nurturing and Learning pada 12 Mei2010. Seminar ini telah
mengundang Prof. John Hedberg (Millennium Professorof ICT and Education, Australia) untuk
menyampaikan ceramah bertajukLearning in Digital Age: Rethinking our Pedagogies. Manakala
Miss

LeanneCameron

University,Sydney,

(Macquarie

Australia)

yang

e-Learning
berkongsi

Centre

of

Excellence,

pengalaman

mengenai

Macquarie
LAMS:

Designing,Managing and Delivering online Collaborative Learning Acitivities. Di samping itu,


seminar ini turut menjemput dua pemenang AnugerahAkademik Negara (Kategori Pengajaran),
iaitu Prof. Dr. MohamaedAmin Embi(UKM) dan Prof. Dr. Abd. Karim Alias (USM) untuk
berkongsi pengalamanpengaplikasian e-Pembelajaran dalam Pengajaran dan Pembelajaran
yangdiiktiraf di peringkat kebangsaan. Dalam seminar ini, USM turut berkongsipengalaman
dalam

membangun

dan

melaksana

e-Learn@USM

di

KampusInduk

dan

Kampus

Kesihatan.Bengkel Learning Activtity Management System dan Bengkel e-LearningPolicy


FormulationUSM selaku tuan rumah Persidangan MEIPTA ke-9 juga telah menganjurkandua
bengkel Hands-on pada 13 dan 14 Mei 2010. Bengkel LearningActivtity Management System
(LAMS) yang diadakan pada 13 Mei 2010disampaikan oleh Miss Leanne Cameron (Macquarie
e-Learning Centre ofExcellence, Macquarie University, Sydney, Australia). Pada 14 Mei
2010,Prof. John Hedberg (Millennium Professor of ICT and Education, Australia)telah
membentangkan berkaitan e-Learning Policy Formulation.

Pembangunan Polisi e-Pembelajaran IPTAPolisi berperanan sebagai panduan dan sangat


penting bagi melaksanakansesuatu perkara dengan lebih sistematik dan efisien untuk jangka
masa yangpanjang. Polisi yang komprehensif dapat membantu organisasi bergerakdengan
menyokong visi dan misi bagi mencapai hala tuju yang ditetapkan.Begitu juga dengan
perkembangan e-Pembelajaran IPTA Malaysia yangmemerlukan polisi yang jelas untuk
mendepani dunia yang semakin pantasberubah. Idea pembentukan Polisi e-Pembelajaran IPTA
terjelma sewaktuPersidangan MEIPTAke-2 di UiTM pada 30 dan 31 Januari 2008.
Pembentukanpolisi ini menjadi agenda utama dan dapat dizahirkan dalam PersidanganMEIPTA
di UMS pada 31 Mac hingga 2 April 2008. Ahli MEIPTA bersetujupolisi tersebut dibahagikan
kepada lima perkara utama seperti berikut:i. Peranan Pensyarah.ii.
Peranan Pengurusan Universiti Peranan Fakulti/ Sekolah.iv.
(Pengurusan e-Pembelajaran).v.

Peranan

Pelajar.iii.

Peranan

Jabatan

Reka Cipta. Setiap tajuk tersebut dilantik seorang ketua

dan dibantu oleh limahingga enam orang ahli untuk membangunkan dan memperhalusi
denganlebih terperinci. Maklum balas daripada setiap kumpulan diperoleh ketikasesi
pembentangan oleh setiap kumpulan tersebut. Dalam PersidanganMEIPTA ke-3 di UIA dan ke4 di UTM, permurnian polisi diteruskan untukmenghasilkan Polisi e-Pembelajaran yang
komprehensif. Dalam Persidangan MEIPTA ke-6 di UPM, mesyuarat bersetujumenubuhkan
Jawatankuasa Khas Polisi e-Pembelajaran IPTA di UniversitiMalaya (UM) dengan menjemput
pakar undang-undang dan pakar bahasaUM. Jawatankuasa ini turut dianggotai oleh UKM,

UPM, UIA, UiTM danUPSI untuk menghadiri Mesyuarat Jawatankuasa Khas Polisi ePembelajaran

Mesyuarat dan bengkel telah diadakan untuk memantapkan polisitersebut dan telah diserahkan
kepada KPT untuk pertimbangan dan kelulusan(Sila

lihat lampiran 1 untuk polisi

lengkap).Seminar dan Persidangan Anjuran Bersama MEIPTAICeL20092nd International


Conference of e-Learning 2009 anjuran UiTM dengankerjasama MEIPTA dan AKEPT telah
berlangsung pada 1 dan 2 Disember2009 yang bertemakan Online Learning and Mobile
Learning. Seminar yangdirasmikan oleh Naib Canselor UiTM telah dihadiri seramai 190 orang
pesertadan sebanyak 65 kertas kerja berjaya dibentangkan. Sesi selari dibahagikankepada lima
sub tema, iaitu (i)Design and Development (ii)Teaching andLearning (iii)Learners and Users
(iv)Management of e-Learning andM-Learning dan (v)Adoption and Implementation. Tiga
ucaptama telah dibentangkan dalam seminar ini, iaitu Challengesin Online and M-Learning
Practise in Malaysia oleh Prof. Tan Sri DatukDr. Anwar Ali (President of Open University
Malaysia), Beyond e-Learningdisampaikan oleh Dr. Marc J Rosenberg (USA) dan Creative dan
EffectiveContent for Online and M-Learning oleh Mr. Lucifer Chu (Taiwan).Prof. Tan Sri Datuk
Dr. Marc J Mr. Lucifer Chu Dr. Anwar Ali RosenbergSKTIP09UPM dengan kerjasama KPT dan
MEIPTA telah menganjurkan SeminarKebangsaan Teknologi dan Inovasi PengajaranPembelajaran 2009(SKTIP09) pada 28 dan 29 April 2009 di Palm Garden Hotel IOI
ResortPutrajaya. Seminar yang bertemakan Teknologi dan Inovasi Berkualiti Asas

MEIPTA 15Kecemerlangan Pengajaran-Pembelajaran telah dihadiri seramai 200 orangpeserta.


Sebanyak 55 kertas kerja telah dibentangkan berdasarkan empatsub tema, iaitu: (i)
Perancangan dan strategi penggunaan teknologi dalampengajaran-pembelajaran, (ii) Analisis,
pembangunan dan pelaksanaanteknologi dalam pengajaran-pembelajaran, (iii) Pengalaman
dan

penilaiandalam

penggunaan

ICT

dalam

pengajaran-pembelajaran

dan

(iv)

Isu

semasateknologi pengajaran-pembelajaran. Tiga ucaptama telah disampaikan dalam seminar


ini,

iaitu

PenggunaanTeknologi

dalam

Perancangan,

Penyampaian

dan

Pentaksiran

ProgramAkademik di IPT (Prof. Dr. Rujhan Mustafa, Jabatan Pengajian Tinggi,KPT);


Memperkasa

Pengajaran

dan

Pembelajaran

Universiti

Melalui

SistemPengurusan

Pembelajaran (LMS) (Prof. Datuk Dr. Nik Mustapha R. Abdullah,Naib Canselor, Universiti Putra
Malaysia);

dan

Pembangunan

dan

PelaksanaanTeknologi

dan

Inovasi

ICT

bagi

memperkasakan pengajaran-pembelajaran:Pengalaman Universiti APEX (Prof. Dr. Rosni


Abdullah, Universiti SainsMalaysia)Forum Maya MEIPTASelain bermesyuarat, ahli MEIPTA juga
berpeluang menyatakan idea danpandangan berkaitan e-Pembelajaran melalui forum yang
yang

dibangunkanoleh

UM

melalui

portal

Academic

Development

Centre

(http://adec.um.edu.my). Berdasarkan pendekatan ini, perkongsian kepakaran dan amalan


terbaikantara semua IPTA dapat dimantapkan. Rajah 1.1 dan Rajah 1.2 merupakanpaparan
utama dan ruangan forum MEIPTA.

MEIPTA 17Projek Penyelidikan MEIPTAMEIPTA dengan kerjasama Kementerian Pengajian


Tinggi Malaysia sedangmenjalankan penyelidikan bertajuk Amalan, Keberkesanan dan
CabaranPelaksanaan e-Pembelajaran di IPT Malaysia bagi tempoh 9 bulan yangbermula dari
Mei 2010 sehingga Januari 2011. Peruntukan sebanyak RM100 ribu telah diluluskan oleh KPT
untuk menjayakan projek penyelidikanini yang meliputi 20 IPTA, tujuh IPTS dan dua Politeknik.
Soal-selidiktersebut dibangunkan secara atas talian dan dibahagikan kepada tiga set
iaitu,Pentadbir, Kakitangan Akademik dan Pelajar. IPTS yang terpilih adalah Asiae-University,
Open University Malaysia, Multimedia University, WawasanOpen University, Sunway University
College, Nilai University College, danHELP University College. Manakala Politeknik Shah Alam,
Politeknik JohorBharu dan Politeknik Ipoh telah terpilih menjayakan projek penyelidikan ini.
Projek penyelidikan ini diketuai oleh Prof. Dr. Mohamed Amin Embi(UKM) dan dianggotai oleh
Prof. Dr. Abdul Halim Sulaiman (UM), Prof. Dr.Hanafi Atan (USM), Prof. Madya Dr. Zaidan Abdul
Wahab (UPM), Prof. Dr.Mahamod Ismail (UKM). Seramai tiga ahli penyelidik bersama telah
dilantikuntuk menjayakan projek ini yang terdiri daripada Prof. Madya Dr. NorazahMohd Nordin
(UKM), Prof. Madya Dr. Supyan Hussin (UKM) dan Dr. AfendiHamat (UKM). Tiga siri bengkel
telah diadakan bagi pembangunan instrument soal selidikpenyelidikan tersebut dengan
menggunakan perisian Survey Monkey dan telahmendapat maklum balas daripada beberapa
wakil IPTA, IPTS dan Politekniksebagai pilot projek. Melalui persidangan MEIPTA ke-10 di UMT
pada 28dan 29 Julai 2010, set soal selidik kategori Pentadbir IPTA telah dijawab olehwakil IPTA
yang hadir, manakala soal selidik untuk kategori KakitanganAkademik dan Pelajar sedang diisi
secara atas talian sehingga 30 Ogos 2010.Bagi menggalakkan lebih ramai kakitangan
akademik dan pelajar mengisi soalselidik tersebut, hadiah cabutan bertuah (Pentadbir: satu
External Hard Disk),Kakitangan Akademik (20 External Hardisk) dan (Pelajar: 20 MP4)
telahdisediakan. Hasil penyelidikan ini amat bermanfaat dan akan digunakan olehKPT dalam

merangka strategi jangka masa panjang bagi pelaksanaan danpengukuhan e-Pembelajaran IPT
di Malaysia yang seterusnya dapat bersaingdalam kalangan semua IPT di seluruh dunia.

Penerbitan buku ini amat bermakna kepada semua IPTA di Malaysia dalamusaha untuk
melestarikan pelaksanaan e-Pembelajaran dengan lebih efektifdan berfokus. Amalan terbaik
yang telah dilaksanakan boleh dikongsi bersamadan menjadi rujukan kepada IPTA lain untuk
terus

berusaha

melaksanakanagenda

e-Pembelajaran.

Persidangan

MEIPTA

yang

dilaksanakan secaraberkala dapat memberi ruang kepada IPTA menyokong usaha pihak KPT
bagimelonjakkan IPTA Malaysia untuk terus bersaing dipersada antarabangsa.

BAHAGIAN II: Amalan, Keberkesanan & Cabaran Pelaksanaane-Pembelajaran di IPTA


Malaysia
Bab

Amalan

Pelaksanaan

EmbiPengenalanPelaksanaan

e-Pembelajaran

e-Pembelajaran

di

di

IPTA
Institusi

Malaysia
Pengajian

Mohamed

Amin

Tinggi

Awam

(IPTA)Malaysia bermula seawal tahun 2000. Namun, belum ada dokumentasiterperinci


mengenai pelaksanaannya dalam kalangan semua IPTA di Malaysia.Bab ini bertujuan
memperihalkan amalan pelaksanaan e-Pembelajaran diIPTA Malaysia daripada pelbagai aspek
termasuk polisi, tadbir urus, sistempengurusan pembelajaran (LMS), latihan, pembangunan eKandungan sertajaminan kualiti. Data diperoleh daripada soal selidik Malaysian IHL elearningQuestionaire (e-Learning/IT Manager) yang dilengkapkan oleh semua 20wakil
IPTA.Polisi e-PembelajaranDaripada 20 IPTA yang terdapat di Malaysia, 40% atau lapan IPTA
sahajayang mempunyai polisi tentang e-Pembelajaran, iaitu UKM, UPM, UTM,UiTM, UPSI,
UUM, UMS dan UTeM seperti yang dipaparkan dalam Jadual2.1. Daripada jumlah tersebut,
pihak yang terlibat membangunkan Polisie-Pembelajaran ialah pengurusan tertinggi universiti
serta wakil Fakulti/Pusat/Jabatan seperti yang ditunjukkan dalam Rajah 2.1. Polisi tersebut
biasanyadiluluskan oleh Senat (75%); walaupun ada yang diluluskan oleh pengurusantertinggi
universiti (25%).

PTA

Mempunyai

Polisi

Mempunyai

e-Pembelajaran

Polisi

e-PembelajaranUniversiti

Kebangsaan Malaysia XUniversiti Putra Malaysia XUniversiti Malaya XUniversiti Sains Malaysia

XUniversiti Teknologi Malaysia XUniversiti Teknologi MARA XUniversiti Islam Antarabangsa


Malaysia XUniversiti Pendidikan Sultan Idris XUniversiti Utara Malaysia XUniversiti Malaysia
Sabah XUniversiti Malaysia Sarawak XUniversiti Malaysia Perlis XUniversiti Malaysia Pahang
XUniversiti Malaysia Kelantan XUniversiti Malaysia Terengganu XUniversiti Pertahanan
Nasional Malaysia XUniversiti Sultan Zainal Abidin XUniversiti Teknikal Melaka XUniversiti Tun
Hussein Onn Malaysia XUniversiti Sains Islam Malaysia X

Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 23 Rajah 2.1 Pihak yang terlibat
membangunkan Polisi e-Pembelajaran Seperti yang dipaparkan dalam Rajah 2.2, cara utama
Polisi e-Pembelajarandisebar kepada warga universiti masing-masing melalui program
latihanyang biasanya diadakan sercara formal. Hampir semua IPTA (87.5%) yangmempunyai
Polisi e-Pembelajaran mempunyai pelan implementasi masing-masing dan mewajibkan
penggunaan e-Pembelajaran dalam kalanganpensyarah dan pelajar mereka. Separuh (50%
atau empat IPTA) telahmengimplimentasikan Polisi e-Pembelajaran mereka lebih dari tiga
tahun, tigaIPTA antara satu hingga tiga tahun, manakala satu IPTA kurang dari setahun.

24 e-pembelajaran@ipta.my Rajah 2.2 Cara penyebaran Polisi e-Pembelajaran masing-masing


Seperti yang dipaparkan dalam Rajah 2.3, komponen yang paling kurangdiperincikan dalam
Polisi e-Pembelajaran masing-masing ialah insentif dananugerah serta jaminan kualiti. Bagi
sebahagian besar (87.5%) IPTA yangterlibat, Polisi e-Pembelajaran merupakan sebahagian
daripada pelan strategikuniversiti masing-masing, manakala 62.5 peratus atau lima IPTA
menjadikanagenda e-Pembelajaran sebagai KPI universiti masing-masing. Akhir sekali,daripada
lapan IPTA yang mempunyai Polisi e-Pembelajaran masing-masing,hanya dua universiti yang
tidak mempunyai pelan implimentasi e-Pembelajaranyang jelas.

Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 25 Rajah 2.3 Komponen yang terdapat
dalam Polisi e-PembelajaranTadbir Urus e-PembelajaranDaripada segi tadbir urus atau
governances, hanya dua IPTA, iaitu UniversitiSains Malaysia dan Universiti Malaysia Kelantan
yang tidak mempunyaiPusat/Jabatan/Unit yang khusus untuk menguruskan e-Pembelajaran
diuniversiti masing-masing. Seperti yang ditunjukkan dalam Rajah 2.4,lazimnya tadbir urus ePembelajaran

diletakkan

di

bahagian

Pusat

TeknologiMaklumat,

diikuti

oleh

Pusat

Pembangunan Akademik serta Pusat Pengajarandan Pembelajaran universiti masing-masing.


Hampir separuh IPTA (45%)mempertanggungjawabkan pengurusan e-Pembelajaran kepada
koordinatore-Pembelajaran. Selain itu, sebahagian besar IPTA (85%) mempunyaiJawatankuasa
e-Pembelajaran di peringkat universiti.

Pusat yang bertanggungjawab menguruskan e-Pembelajaran Separuh daripada IPTA (50%) di


Malaysia menyediakan bajet pengurusantahunan yang khusus untuk e-Pembelajaran. Rajah
2.5 menunjukkankomponen utama yang digunakan dalam perbelanjaan tersebut iaitu
latihan(100%), diikuti oleh pembelian perisian pengarangan (90%) dan infrastrukturfizikal (60%).

Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 27Rajah 2.5 Komponen utama bajet ePembelajaranSistem Pengurusan PembelajaranKesemua 20 IPTA di Malaysia mempunyai
sistem pengurusan pembelajaranatau LMS masing-masing. Sebahagian besar (65%)
menggunakan platformSumber Terbuka atau Open Source Platform. Sembilan IPTA
menggunakanMoodle,

manakala

dua

IPTA menggunakan

platform

Claroline

seperti

yangdipaparkan dalam Jadual 2.2. Sebahagian besar IPTA (55% atau 11 IPTA)telah
menggunakan LMS tersebut melebihi tiga tahun.Jadual 2.2 Perbandingan LMS di IPTA
MalaysiaIPTA Cara Perolehan Jenis/Nama Catatan LMS Ubah suaiUniversiti Kebangsaan
Malaysia Beli dari vendor SPIN tempatan Ubah suai Ubah suaiUniversiti Putra Malaysia Beli
dari vendor PutraLMS Ubah suai tempatanUniversiti Malaya Open source MoodleUniversiti
Sains Malaysia Open source Moodle

Teknologi Malaysia Open source Moodle Ubah suaiUniversiti Teknologi MARA Beli dari vendor
iLearn System Ubah suai tempatanUniversiti Islam Antarabangsa Beli dari vendor LearningCare
-Malaysia

tempatanUniversiti

Pendidikan

Sultan

Idris

Open

source

MyGuru2

Ubah

suaiUniversiti Utara Malaysia Open source Moodle Ubah suaiUniversiti Malaysia Sabah Open
source Moodle Ubah suaiUniversiti Malaysia Sarawak Open source Moodle Ubah suaiUniversiti
Malaysia Perlis Open source Claroline -Universiti Malaysia Pahang Beli dari vendor - Ubah suai
tempatanUniversiti Malaysia Kelantan Open source Moodle Ubah suaiUniversiti Malaysia
Terengganu Open source Moodle -Universiti Pertahanan Nasional Beli dari vendor
LearningCube Ubah suaiMalaysia tempatanUniversiti Sultan Zainal Abidin Open source Moodle

-Universiti Teknikal Melaka Open source Claroline Ubah suaiUniversiti Tun Hussein Onn
Malaysia Beli dari vendor Blackboard - antarabangsaUniversiti Sains Islam Malaysia Beli dari
vendor myLMS Ubah suai tempatan Daripada segi komponen utama LMS, kesemua IPTA
mempunyai aplikasiyang biasanya terdapat dalam LMS yang standard (seperti yang
dipaparkandalam Jadual 2.3). Walau bagaimanapun, hanya sebahagian IPTA yangmempunyai
LMS yang mempunyai ciri penglibatan pelajar seperti Groupworkdan Portfolio. Terdapat juga
beberapa LMS yang mengintegrasikan aplikasiWeb 2.0 seperti Wiki dan sebagainya. Daripada
segi integrasi LMS dengansistem maklumat lain yang terdapat di universiti masing-masing,
hanya 70%yang disepadukan dengan Sistem Maklumat Pelajar dan hanya 60% sahajayang
disepadukan dengan Sistem Maklumat Kakitangan (sila lihat Rajah 2.6).Data juga menunjukan
bahawa hampir 3/4 (70%) LMS yang terdapat di IPTAMalaysia adalah SCORM Compliant. Di
samping itu, hampir 3/4 (70%) IPTAsebelum ini mempunyai LMS yang berlainan tetapi
berpindah kepada platformyang baharu berdasarkan sebab seperti yang ditunjukkan dalam
Rajah 2.7,terutamanya kerana sistem baharu yang lebih kos efektif.

Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 29 Jadual 2.3 Komponen/aplikasi utama


dalam LMS di IPTA MalaysiaIPTA Comm. Productivity Student Admin Course Content
Involvement Delivery DevelopmentUKM X X X XX XUPM X X X XXUM X X X XX XUSM X X X
XXUTM X X XUiTM X X X XX XUIAM X X XX XUPSI X X X XX XUUM X X X XX XUMS X X X
XX XUNIMAS X X X XXUniMAP X X X XX XUMP X XXUMK X X XUMT X X X XXUPNM X X X
XXUniSZA X X XX XUTeM X X XX XUTHM X X XX XUSIM X X XX X
Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 31Latihan e-PembelajaranKesemua
IPTA mengendalikan latihan e-Pembelajaran kepada staf akademik.Walau bagaimanapun,
hanya 60% atau 12 IPTA yang menjalankan latihankepada staf sokongan; manakala hanya
50% IPTA yang mengendalikanlatihan e-Pembelajaran kepada pelajar. Di samping itu, seperti
yang ditunjukandalam Jadual 2.4, latihan biasa tertumpu kepada memahirkan staf
denganaplikasi yang terdapat dalam LMS masing-masing (100%) dan pengenalankepada ePembelajaran (85%). Hanya lebih sedikit daripada separuh IPTAyang memberi latihan berkaitan
dengan Pedagogi e-Pembelajaran (60%) danPembangunan e-Kandungan (60%). Selain itu,
hanya 1/3 (35%) IPTA yangmemberi pendedahan tentang aplikasi Web 2.0. Jadual 2.4
Aspek/Topik latihan e-Pembelajaran di IPTA MalaysiaIPTA Overview of Policy of Pedagogy of
LMS e-Content Web e-Pembelajaran e-Pembelajaran e-Pembelajaran Dev. 2.0UKM X X X XX

XUPM X XX XUM X XX XUSM XUTM X X X XX XUiTM X X X XXUIAM X X XXUPSI X X X XX


XUUM X X X XXUMS X X X XX XUNIMAS XXUniMAP X XXUMP X XXUMK X XUMT XUPNM
X XUniSZA X XUTeM X X X XXUTHM X X XX XUSIM X X

Dalam hampir semua IPTA(90%), latihan berkaitan e-Pembelajaran merupakansebahagian


daripada program latihan dan pembangunan akademik universiti.Lapan IPTA menjalankan
latihan berkaitan e-Pembelajaran sebanyak satuhingga tiga kali setahun, lapan IPTA
menjalankan latihan melebihi enam kalisetahun; manakala empat IPTA melaksanakannya
empat hingga enam kalisetahun. Sebahagian besar (50%) latihan diadakan selama sehari;
manakalayang lain diadakan separuh hari (25%) atau lebih satu hari (25%). Modutama latihan
yang dijalankan (Rajah 2.8) adalah secara bersemuka (100%)diikuti oleh kaedah one-to-one
(40%) dan blended (35%). Terdapat jugaIPTA yang menyediakan pembelajaran secara kendiri
melalui manual yangdisediakan secara atas talian seperti UKM dan USIM. Hanya empat
IPTAyang mewajibkan latihan kepada semua staf akademik; manakala tujuh IPTAmewajibkan
latihan tersebut hanya kepada staf baharu sahaja. Sembilan IPTAmelaksanakan latihan
tersebut secara sukarela (Rajah 2.9). Rajah 2.8 Mod utama latihan e-Pembelajaran di IPTA
Malaysia

Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 33 Rajah 2.9 Pendekatan latihan oleh
IPTA di Malaysia Latihan biasanya dikendalikan oleh staf universiti masing-masing,walaupun
ada beberapa universiti yang menjemput pakar dari luar untukmengendalikan sebahagian
daripada program latihan e-Pembelajaran masing-masing.Pembangunan e-KandunganTidak
sampai separuh (45%) IPTA yang mempunyai Pusat/Jabatan/Unit yangkhusus untuk
menguruskan pembangunan e-Kandungan termasuk UKM, UM,UTM, UiTM, UPSI, UMT, UTeM
dan UTHM. Strategi utama yang digunakanoleh sebahagian besar IPTA di Malaysia adalah
dengan mengadakankolaborasi antara Pusat/Jabatan/Unit khusus ini dengan pakar isi
kandunganatau pensyarah seperti yang ditunjukkan dalam Rajah 2.10. Alat pengaranganutama
yang digunakan ialah Flash (88.9%), diikuti oleh Articulate (55.6%),Adobe Captivate (44.4%),
Camtasia Studio (33.3%), Lecture Maker (22.2%)dan Raptivity Interactive Builder (11.1%).
Pecahan mereka yang terlibat dalampembangunan e-Kandungan adalah seperti dalam Rajah
2.11. Selain pensyarahatau pakar mata pelajaran (100%), pereka grafik (88.9%) serta
pembangun multimedia (88.9%) merupakan golongan utama yang terlibat dalam prosesini.

Rajah 2.12 menunjukkan sokongan utama yang disediakan oleh IPTA diMalaysia kepada
pensyarah yang ingin membangunkan e-Kandungan. Selainkhidmat nasihat (100%), sokongan
utama adalah dalam bentuk alat/perisianpengarangan (88.9%) dan latihan berkaitan
pembangunan e-Kandungan(77.8%). Setakat ini, belum ada (0%) IPTA di Malaysia yang
menyediakangeran pembangunan e-Kandungan kepada staf akademik. Rajah 2.10 Strategi
pembangunan e-Kandungan di IPTA Malaysia
Amalan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 35 Rajah 2.11 Staf yang terlibat dalam
pembangunan e-KandunganRajah 2.12 Kemudahan sokongan yang disediakan oleh IPTA
Malaysia untuk staf akademik yang ingin membangunkan e-Kandungan
Hanya empat IPTA (UKM, UTM, UiTM dan UTeM) yang menyediakaninsentif untuk pensyarah
yang membangunkan e-Kandungan sendiri. TigaIPTA memberikan insentif dalam bentuk
Anugerah, dua IPTA dalam bentukhonorarium dan dua IPTA dalam bentuk pengurangan beban
pengajaran.Jaminan KualitiDaripada aspek jaminan kualiti, hanya tiga IPTA (UKM, UiTM dan
UTeM)yang mempunyai garis panduan tentang kualiti berkaitan e-Pembelajaranmanakala
hanya empat IPTA(UKM, USM, UiTM dan UTeM) yang menjadikane-Pembelajaran sebagai
sebahagian daripada proses CQI (Continuous QualityImprovement) universiti masing-masing.
Urusan jaminan kualiti bagi universitiyang terlibat ini biasanya dikendalikan oleh Pusat
Pembangunan Akademik(atau yang setara) masing-masing.PenutupBab ini memperihalkan
amalan pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysiadaripada aspek polisi, tadbir urus, sistem
pengurusan pembelajaran (LMS),latihan, pembangunan e-Kandungan serta jaminan kualiti.
Untuk beberapaaspek yang dibincangkan, perbandingan dibuat bagi meneliti persamaanserta
perbezaan yang terdapat dalam kalangan semua 20 IPTA di Malaysiabagi tujuan memberi
gambaran menyeluruh dan terperinci tentang statuspelaksanaan e-Pembelajaran sehingga kini.

Bab 3 Keberkesanan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia Mohamed Amin


EmbiPengenalanBab ini memperihalkan tentang keberkesanan pelaksanaan e-Pembelajarandi
IPTA Malaysia daripada aspek polisi, penggunaan, tadbir urus, platforme-Pembelajaran, latihan
serta pemantuan berterusan. Data utama diperolehdaripada soal selidik Malaysian IHL eLearning

Questionaire

(e-Learning/ITManager)

yang

telah

dilengkapkan

oleh

Pengurus/Penyelaras e-Pembelajarandi semua IPTA di Malaysia.Keberkesanaan Pelaksanaan


Penawaran Kursus secara Atas TalianSecara umumnya, seperti yang dipaparkan dalam Rajah
3.1 dan Jadual 3.1,daripada 20 IPTA yang terdapat di Malaysia, hanya 40% atau lapan

IPTA(UKM, UPM, UTM, UiTM, UPSI, UMP, UMT, dan USIM) menawarkanlebih daripada 50%
kursus secara atas talian di IPT masing-masing. Sebanyak15% atau tiga IPTA menawarkan 010% kursus secara atas talian, 15% atautiga IPTA menawarkan 11-20% kursus secara atas
talian, 10% atau duaIPTA menawarkan 21-30% kursus secara atas talian, 10% atau dua
IPTAmenawarkan 31-40% kursus secara atas talian, manakala 10% atau dua IPTAmenawarkan
kursus secara atas talian. Seperti yang dipaparkan dalam Rajah3.2, bentuk e-Pembelajaran
yang paling popular dalam kalangan IPTA ialahsecara suplimenteri kepada kaedah bersemuka
diikuti oleh kaedah blendedlearning.

Peratus kursus ditawarkan secara atas talian oleh IPTA MalaysiaJadual 3.1 Perbandingan IPTA
berdasarkan peratus kursus ditawarkan secara atas talianIPTA 0-10% 11-20% 21-30% 31-40%
41-50% More than 50%UKM XUPM XUM X XUSM X XUTMUiTM X XUIAM XUPSIUUMUMS X
X XUNIMAS X XUniMAPUMPUMK

Keberkesanan Pelaksanaan e-Pembelajaran di IPTA Malaysia 39UMT X XUPNM XUniSZA


XUTeM X XUTHMUSIM Rajah 3.2 Bentuk kursus e-Pembelajaran yang ditawarkan di IPTA
Malaysia Secara umumnya, bahan-bahan yang disediakan secara atas talian bolehdicapai
dengan mudah di 75% atau 15 IPTA, manakala di 25% atau 5 IPTAlagi bahan-bahan tersebut
boleh dicapai dengan sangat mudah (lihat Rajah3.3). Daripada segi compatibility (seperti dalam
Rajah 3.4), 70% berada padatahap compatible, 25% berada pada tahap very compatible,
manakala

5%berada

pada

moderately

compatible.

Rajah

3.5

pula

menunjukkan

bahawadaripada segi interaktiviti bahan-bahan yang terdapat secara atas talian, hanya5%
berada pada tahap sangat interaktif, 30% pada tahap interaktif, 50% padatahap sederhana
interaktif dan 15% pada tahap tidak interaktif.

Kumpulan 5 : Jelaskan apakah yang dimaksudkan sebagai Connectivism dan PLE,


kemudian bincangkan bagaimana fahaman (teori) connectivism ini berfungsi sebagai
satu pendekatan/fahaman pembelajaran kini dalam konteks PLE.
Model pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses
pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali
dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan
akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan
lingkungannya. Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan
oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan. Dia menjelaskan bahwa mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat
sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia
melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai
dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan
pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki
seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat
dari interaksi dengan lingkungannya.

Menegaskan pendapat tersebut, Karli (2003:2)

menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya
konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar
pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan
lingkungannya. Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah
dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga
diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan, peristiwa ini
akan terjadi secara berkelanjutan, selama siswa menerima pengetahuan baru.
Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya, kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi awal yang
telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa,
maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam
struktur kognisinya. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi lain untuk mengatasinya.

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme dalam


pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental,
membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih
berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan
mengajar lebih berfokus terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka.
Menurut Werrington (dalam Suherman, 2003:75), menyatakan bahwa dalam kelas konstruktivis
seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun
mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri
dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk
tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa
untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai
persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada
dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan
lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis diantaranya bahwa observasi
dan mendengar aktivitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan
petunjuk untuk mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan
siswa dapat dievaluasi.
Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas matematika mungkin diwujudkan
melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas menggunakan apa
yang biasa muncul dalam materi kurikulum kelas biasa. Dalam konstruktivis proses
pembelajaran senantiasa problem centered approach dimana guru dan siswa terikat dalam
pembicaraan yang memiliki makna matematika. Beberapa ciri itulah yang akan mendasari
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis.
De Vries dan Kohlberg (Suparno,1997:70) mengikhtisarkan beberapa prinsip konstruktivisme
Piaget yang perlu diperhatikan dalam mengajar.
Struktur psikologis harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan diperkenalkan. Bila
siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima struktur logika matematis
yang cocok dengan persoalannya, tidak akan jalan.

Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu sebelum simbol formal diajarkan.
Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tetulis yang merupakan represenatasi suatu
konsep, tapi bukan konsepnya sendiri.
Murid harus mendapat kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri,
jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
B.

Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil
adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara
sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa
sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep
ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa
literatur yaitu sebagai berikut.
Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.
Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan
orang lain.
Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri pembelajaran yang
konstruktivis adalah sebagai berikut:
menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan,

menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang
sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara,
mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan
pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan
sehari-hari,
mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu
terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya,
misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa,
memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran
menjadi lebih efektif.
Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau
belajar (2004:37).
C.

Macam-Macam Konstruktivisme

Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis (personal)
dan

sosial.

Konstruktivisme

psikologis

bercabang

dua,

yaitu

yang

lebih

personal

(Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosial berdiri
sendiri (Kukla, 2003: 11-14).
1.

Konstruktivisme Personal

Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk
skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan
bagaimana anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan
pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak
mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam membentuk
pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam
membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri yang
sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme psikologis bercabang dua: (1) yang lebih personal, individual, dan subjektif
seperti Piaget dan para pengikutnya; (2) yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget menekankan

aktivitas individual, lewat asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 31-32) dalam pembentukan
pengetahuan; sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dalam mengkonstruksi
pengetahuan ilmiah (Mattews,1994:235-138).
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan akomodasi
dalam proses yang terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses kognitif yang
dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru
ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau
rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang selalu secara terus menerus
mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan
dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang berkembang.
Dalam

proses

pembentukan

pengetahuan

dapat

terjadi

seseorang

tidak

dapat

mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai. Dalam keadaan
seperti ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu. Misalnya, seorang anak mempunyai skema bahwa semua binatang harus
berkaki dua atau empat. Skema ini didapat dari abstraksinya terhadap binatang-binatang yang
pernah dijumpainya. Pada suatu hari ia datang ke kebun binatang, di mana ada puluhan
bahkan ratusan binatang yang jumlah kakinya ada yang lebih dari empat atau bahkan tanpa
kaki. Anak tadi mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok dengan pengalaman yang baru,
maka dia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat
berkaki dua, empat atau ledih bahkan ada yang tanpa kaki namun semua disebut binatang.
Skema itu hasil suatu konstruksi yang terus menerus diperbaharui, dan bukan tiruan dari
kenyataan dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan
dalam diri seseorang, sampai pada pengetahuan yang mendekati para ilmuwan. Pendekatan
Piaget dalam proses pembentukan pengetahuan memang lebih personal dan individual, kendati
dia juga bicara soal pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan pemikiran anak, tetapi
tidak secara jelas memberikan model bagaimana hal itu tejadi pada diri anak. Bagi Piaget,
dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah (sensori-motor, dan praoperasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh anak sebagai sama dengan
objek-objek yang sedang diamati anak. Anak belum dapat menangkap ide-ide dari
masyarakatnya. Baru pada taraf perkembangan yang lebih tinggi (operasional konkret, terlebih

operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi lebih jelas. Dalam taraf ini, bertukar
gagasan dengan teman-teman, mendiskusikan bersama pendirian masing-masing, dan
mengambil konsensus sosial sudah lebih dimungkinkan.
Pandangan

konstruktivisme

personal

sebenarnya

mengandung

kelemahan.

Menurut

Glasersfeld (Suparno, 1997: 42) salah satu tokoh konstruktivisme personal, pengetahuan hanya
ada di dalam kepala seseorang di mana ia harus membangun pengetahuan berdasarkan
pengalaman pribadinya. Menurut pendapat ini ilmu pengetahuan bersifat pribadi, hal ini berarti
realitas bagi seseorang dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya. Inilah salah satu
sumber kritik terhadap konstruktivisme personal, dan karena pandangan yang demikian
konstruktivisme personal sering dianggap menganut faham solipsisme. Faham solipsisme
berpendapat bahwa segala sesuatu hanya ada bila ada dalam pikiran atau dipikirkan (Sarkim,
2005: 155). Selain itu, solipsisme juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun
secara individual. Pandangan ini memang sulit untuk menjelaskan bagaimana kita bisa memiliki
pengetahuan bersama tentang sesuatu hal.
Persoalan lain yang juga mengundang kritik adalah pandangannya tentang ilmu pengetahuan
yang berlawanan dengan pandangan tentang kebenaran yang bersifat korespondensi atau
dikenal sebagai faham realisme (Kukla, 2003: 75-80). Aliran korespondensi berpandangan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan representasi independen mengenai dunia, dan
berkeyakinan bahwa kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang kita buat dikatakan
benar bila dan hanya bila berkorespondensi dengan kenyataan (Sonny Keraf dkk, 2001: 6667). Faham demikian tidak diakui oleh konstruktivisme personal. Sebaliknya konstruktivisme
personal berpendapat bahwa pengetahuan itu apa yang dapat kita lakukan dengan dunia
pengalaman kita, ilmu pengetahuan itu merupakan sarana untuk mendeskripsikan alam ini.
2.

Konstruktivisme Sosial

Teori konstruktivisme di dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu
konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal. Konstruktivisme sosial dan konstruktivisme
personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa manusia
sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan mengenai peranan
individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok di mana
individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang.

Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang


lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui
komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari masyarakatnya.
Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses
kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh Newman (1993: 62) sebagai berikut:
The maturation of the childs higher mental functions occurs in this cooperative process, that is,
it occurs through the adults assistance and participation .
Pandangan yang dianut oleh konstruktivisme sosial seperti dipaparkan di atas sangat berbeda
dengan

pandangan

yang

dianut

oleh

para

pendukung

konstruktivisme

personal.

Konstruktivisme personal kadang kala dikenal sebagai konstruktivisme psikologis, yang


memandang bahwa pembentukan pengetahuan adalah sepenuhnya persoalan individu.
Konstruktivisme personal sangat menekankan pentingnya peranan individu dalam proses
pembentukan ilmu pengetahuan (Suparno, 1997: 44).
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kedua jenis konstruktivisme (personal dan sosial)
sebagai acuan dalam pembahasan karena bidang studi yang dikaji memang termasuk ilmu-ilmu
sosial yang harus dikaji secara personal dan secara sosial. Harus diakui bahwa ilmu sosial lebih
merupakan hasil konstruksi bersama dari pada konstruksi personal, di samping itu penulis
memandang konstruksi sosial lebih cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang
memberi makna tinggi pada relasi antar pribadi dan memandang keharmonisan dalam relasi
antar sesama sebagai hal yang penting. Alasan lain mengapa lebih condong ke konstruksi
sosial adalah masih terdapatnya beberapa kritik terhadap KP yang hingga kini belum mendapat
jawaban yang memuaskan.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa pembentukan ilmu pengetahuan merupakan hasil
pembentukan individu bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan Piaget menulis
sebagai berikut (Fosnot (ed), 1996: 18): there is no longer any need to choose between the
primacy of the social or that of the intellect; the collective intellect is the social equilibrium
resulting from the interplay of the operations that enter into all cooperation .
Konstruktivisme sosial mengakui peranan komunitas ilmiah di mana ilmu pengetahuan
dibangun dan dimonitori oleh lembaga keilmuan. Maka pengetahuan personal tidak lepas dari
sumbangan pengetahuan kolektif atau komunal. Ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan
hasil kolektif umat manusia. Pandangan yang berkembang adalah bahwa ilmu pengetahuan
merupakan hasil rekayasa manusia, teori konstruktivisme meyakini bahwa di dalam proses

pembelajaran para peserta didik yang harus aktif membangun pengetahuan di dalam
pikirannya. Para peserta didik yang pasif tidak mungkin membangun pengetahuannya sekalipun
diberi informasi oleh para pendidik (Sarkim, 2005: 155). Agar informasi yang diterima berubah
menjadi pengetahuan, seorang peserta didik harus aktif mengupayakan sendiri agar informasi
itu menjadi bagian dari struktur pengetahuannya. Pandangan demikian diperkirakan bersumber
dari karya awal Jean Piaget yang berjudul The Childs Conception of The World (Sarkim,
2005: 156). Gagasan dasar konstruktivisme tentang belajar tersebut diterima oleh kedua aliran
konstruktivisme.
Mengingat ilmu pengetahuan harus dibangun secara aktif oleh peserta didik di dalam
pikirannya, hal itu berarti bahwa belajar adalah tanggungjawab subjek didik yang sedang
belajar. Maka menjadi sangat penting motivasi instrinsik yang mendorong peserta didik memiliki
keinginan untuk belajar. Dalam hal ini pendidik sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat
memberikan sumbangan yang berarti dalam memotivasi para peserta didik.
Karena keyakinannya bahwa pengetahuan seseorang dibangun secara pribadi dalam
interaksinya dengan masyarakat dan lingkungannya, maka pengetahuan yang dibawa oleh
peserta didik ke dalam kelas dinilai sebagai sumber penting untuk membangun pengetahuan
baru. Dengan menganut pandangan ini, konstruksivisme sosial menghargai pandangan bahwa
pengetahuan peserta didik yang dibawa ke dalam kelas sekalipun berbeda dengan keyakinan
yang dianut oleh para ilmuwan, amatlah penting. Sekalipun pengetahuan para peserta didik itu
berbeda dengan yang diakui di dalam khasanah ilmu pengetahuan, konsepsi mereka tidak
pertama-tama dilihat sebagai sebuah konsep yang salah, melainkan diakui sebagai sebuah
konsep alternatif (Sarkim, 2005: 156).
Pengakuan terhadap konsepsi awal yang dibawa oleh peserta didik ketika masuk ke dalam
kelas juga berarti keterbukaan terhadap beragamnya hasil belajar. Hasil belajar tidak hanya
dipengaruhi oleh aktivitas di dalam kelas tetapi juga oleh konsepsi awal yang dibawa oleh
peserta didik ketika memulai belajarnya. Di dalam kerangka berpikir demikian proses
pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah lebih dipandang sebagai proses pembudayaan
daripada proses penemuan. Maksudnya, kegiatan pembelajaran lebih dipandang sebagai
aktivitas pendampingan para peserta didik agar mereka memasuki dunia ilmu pengetahuan
daripada membimbing para peserta didik menemukan ilmu pengetahuan. Di dalam proses ini
motivasi dan peran aktif dari peserta didik memegang peranan yang penting.

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial bertugas memberi pengalaman belajar kepada para peserta didik
agar memiliki pengalaman pribadi mengenai bagaimana ilmu pengetahuan diverifikasi dan
divalidasi. Oleh sebab itu pengalaman belajar merupakan hal yang sangat penting, dan peranan
pendidik di dalam menentukan pengalaman belajar itu bukanlah hal yang ringan. Pendidik
bertugas membimbing para peserta didik ke arah ilmu pengetahuan yang sudah diakui
kebenarannya oleh masyarakat keilmuan.
Dengan mengamati, atau mengalami langsung sebuah fenomena alam, konsepsi peserta didik
yang tidak sejalan dengan konsepsi yang diakui oleh komunitas ilmiah dapat ditantang.
Konfrontasi konsepsi alternatif dengan peristiwa konkret tersebut dapat mengakibatkan
goyahnya struktur pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik. Goyahnya struktur
pengetahuan ini sering pula disebut sebagai keadaan disequilibrium. Hal demikian akan
memaksa peserta didik untuk membangun konsepsi yang lebih baik. Demikianlah konsepsi
baru akan dibangun dan menjadi bagian dari struktur pengetahuan yang baru melalui aktivitas,
komunikasi dan refleksi pribadi peserta didik. Konsepsi dan struktur pengetahuan yang baru
terbentuk tersebut akan semakin dikokohkan apabila peserta didik memperoleh kesempatan
untuk mengaplikasikannya ke dalam situasi yang baru.
D.

Konstruktivisme dan Pengetahuan

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan


(knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar.
Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39) secara tegas
menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang sudah ada di sana dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan
terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena
adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed), 1996: 14).
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi
merupakan suatu proses menjadi (Suparno, 1997: 20). Misalnya, pengetahuan kita tentang
ayam, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan ayam.
Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin lengkap di
saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada bermacam-macam
jenisnya, tetapi semua disebut ayam. Pengetahuan bukan suatu barang yang dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain
atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkan konsep, ide, nilai, norma,

keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan
dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik dalam membentuk
pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi.
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa kemampuan
sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2)
kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan,
dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. Menurut
konstruktivisme (Suparno, 1997: 18) pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan
(realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang
membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi
merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya.
Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi
karena adanya suatu pemahaman yang baru. Pengetahuan entah itu berupa konsep, norma,
nilai, dibentuk oleh akal budi dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, kenyataan yang
ada di sekitar manusia (Kukla, 2003: 12-24).
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematislogis, dan sosial (Suparno, 1997: 39-40). Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat
fisis suatu objek, seperti bentuk, besar, berat dan bagaimana benda-benda itu berinteraksi.
Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung atas suatu objek. Pengetahuan
matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman
dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan didapatkan dari abstraksi berdasarkan
koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan
berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat langsung dari
abstraksi bendanya. Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang
didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu, misalnya
konsep, norma, nilai, dll (Kukla, 2003: 11-12). Menurut Piaget, pengetahuan itu dibentuk dari
interaksi seseorang dengan orang lain (Piaget, 1981: 160; Suparno, 1997: 20). Pengetahuan ini
muncul dalam kebudayaan tertentu maka pengetahuan dapat berbeda antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain.

Secara ringkas gagasan konsruktivisme mengenai

pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut.

Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang
(Suparno, 1997:21).
E.

Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme

Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu teori yang menjelaskan bagaimana siswa-siswa
belajar, meliputi kesiapan belajar, proses mental, dan apa yang dilakukan siswa pada usia
tertentu. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil bentukan sendiri, oleh
karenanya tidak ada transfer pengetahuan dari seorang ke orang lain, sebab setiap orang
membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan bila guru ingin memberikan pengetahuan kepada
siswa, maka pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui
pengalamannya. Untuk terjadinya konstruksi pengetahuan ada beberapa kemampuan yang
harus dimiliki siswa antara lain; kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang
lainnya.
Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori
perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata (Suparno, 1997 :49).
Namun menurut peneliti pembelajaran konstruktivisme juga berkaitan dengan teori belajar
Bruner. Penjelasan dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut.
1.

Teori Perubahan Konsep

Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan adanya
proses evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar. Pada mulanya siswa
memahami sesuatu melalui konsep secara spontan. Pengertian spontan merupakan pengertian
yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami
perubahan menuju pengertian yang logis dan sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses
penyempurnaan pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan

yang besar dari pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan yang
radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses perubahan
konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 50).
Dengan asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk
berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi peserta didik mengubah
konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam
akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal.
Agar terjadi perubahan konsep secara radikal/ akomodatif maka dibutuhkan keadaan dan
syarat sebagai berikut:

Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik mengubah konsepnya
jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah
situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau
fenomena yang baru.
Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang
terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada
sebelumnya.
Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru
(Suparno, 1997: 50-51).
Menurut kaum konstruktivis, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep
lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang
dipikirkan peserta didik. Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat mengasimilasikan
pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi peserta didik yang
berpikir bahwa kejujuran bersifat mutlak (berlaku objektif dan universal), akan menjadi bingung
ketika melihat seorang dokter berbohong kepada pasiennya dengan mengatakan bahwa
penyakitnya agak serius, kendati kenyataannya sang pasien menderita sakit kangker sudah
stadium 4 (kritis sekali), sudah amat kritis. Seorang dokter bohong (tidak jujur) merupakan
peristiwa anomali bagi peserta didik tertentu. Peristiwa-peristiwa lain seperti itu akan

menantang peserta didik untuk lebih berpikir dan mempersoalkan mengapa pikiran awal
mereka tidak benar.
Banyak pendidik budi pekerti, moral, nilai ataupun agama menggunakan data anomali untuk
memacu perubahan konsep pada peserta didik. Mereka menyediakan data-data, fakta-fakta
dan peristiwa yang memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak.
Harus diakui bahwa data anomali kadang kala gagal mendorong perubahan konsep karena
para ilmuan dan peserta didik kadang menemukan cara untuk mengabaikan data-data atau
fakta-fakta yang berlawanan tersebut. Ada beberapa orang bereaksi terhadap data anomali : (1)
mengabaikan dan menolaknya, (2) mengecualikan data itu dari teori yang telah ada, (3)
mengartikan kembali data itu, (4) mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan, dan
(5) menerima data itu serta mengubah teori atau konsep sebelumnya.

Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan yaitu: restrukturisasi kuat
(perubahan yang kuat) dan restrukturisasi lemah (perubahan yang lemah). Perubahan yang
kuat terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia punyai
ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang tersebut
hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang
baru. Dengan dua perubahan itu pengetahuan manusia berkembang dan berubah. Untuk
memungkinkan perubahan tersebut, diperlukan situasi anomali, yakni suatu keadaan yang
menciptakan ketidakseimbangan dalam pikiran manusia atau yang menantang seseorang
berpikir.
Vygotsky (Kukla, 2003: 6-10; Fosnot (ed), 1996: 18) membedakan dua macam konsep: konsep
spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh peserta didik dari kehidupan sehari-hari
dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep tersebut saling
berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari peserta didik di sekolah mempengaruhi
perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Perbedaan
yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem. Konsep spontan
didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang bertalian secara logis dari
suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan sebagai bagian dari suatu sistem.
Sehubungan dengan adanya dua konsep tersebut, dianjurkan agar pendidik tidak menolak
konsep spontan peserta didik, tetapi membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan
konsep yang ilmiah. Hal ini harus semakin disadari oleh pendidik bahwa konsep (spontan

ataupun ilmiah) dalam diri seseorang terus berkembang untuk semakin mendekati pemahaman
para ilmuan.
Teori perubahan konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti bahwa dalam
proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan seseorang itu
tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses berkembang yang terus menerus. Dalam
perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama
melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang
sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif berinteraksi
dengan lingkungannya.
Konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh peserta didik yang
sedang belajar, dan teori perubahan konsep, yang menjelaskan bahwa peserta didik mengalami
perubahan konsep terus menerus, sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang
peserta didik bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik membentuk
pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan
peserta didik dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan
konsep sangat membantu karena mendorong pendidik untuk menciptakan suasana dan
keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada peserta didik sehingga
pemahaman mereka lebih sesuai dengan pengertian ilmuan.
2.

Teori Skema

Jonassen menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk
mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, atau memecahkan persoalan (galam Suparno,
1997:55) . Menurut teori skema, pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi atau
skema yang terdiri atas suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu
membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satu dengan
yang lain memberikan makna dan arti kepada gagasan kita.

Belajar menurut teori skema

adalah mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan :


Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat menambah
atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan memperluas skema
yang telah dimilikinya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran
yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan

skema yang dimilikinya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa
mengadakan

perubahan

skemanya,

baik

dengan

menambah

atribut,

memperluas,

memperhalus, ataupun mengubah sama sekali skema lama


Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi, atau
skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema adalah abstraksi mental
seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun
memecahkan persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar
agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang
menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural seseorang, di
mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan
antara skema-skema itu.
Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema, hal itu merupakan proses belajar.
Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat melengkapi
dan memperluas skema yang telah dipunyainya dalam berhadapan dengan pengalaman,
persoalan dan juga pemikiran yang baru. Dalam proses belajar seseorang mengadakan
perubahan-perubahan skemanya baik dengan menambah atribut, memperhalus, memperluas,
ataupun mengubah sama sekali skema lama.
Skemata adalah suatu jaringan hubungan konsep-konsep. Jaringan itu menguraikan apa yang
diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep baru, serta
memperkembangkan dan mengubah jaringan yang telah ada. Sementara itu pengetahuan
struktural seseorang, yang terdiri dari macam-macam skemata dan hubungan antar skemata
itu, didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah pengetahuan akan bagaimana
konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait. Pengetahuan struktural menjembatani
perubahan dari pengetahuan deklaratif ke prosedural. Pengetahuan deklaratif adalah
pengetahuan yang mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek, kejadian atau
ide. Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui tetapi ia tidak
menggunakan apa yang ia ketahui itu.
Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang
ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan
konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah
bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana
pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.

Hal lain yang terkait dengan konstruktivisme dan layak untuk diketahui, bahwa konstruktivisme
sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Perbedaan antara
kaum behavioris dan konstruktivis dalam hal pengetahuan, belajar dan mengajar sebagai
berikut.
Menurut kaum behavioris, pengetahuan itu hasil pengumpulan pasif dari subjek dan objek yang
diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu adalah hasil
kegiatan aktif peserta didik yang meneliti lingkungannya. Bagi kaum behavioris, pengetahuan
itu statis dan sudah jadi, sedang kagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu suatu proses
menjadi.
Mengajar, bagi kaum behavioris, adalah mengatur lingkungan agar dapat membantu peserta
didik. Bagi kaum konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis,
mengadakan justifiksi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri, di mana teachers
begin to construct an understanding of how knowledge develops (Fosnot, 1989: 85).
Belajar menurut kaum behavioris adalah menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap dari
pendidik tanpa mengadakan perubahan apa-apa. Setiap peserta didik mempunyai cara yang
sama dalam menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu. Pendidik cukup
menciptakan satu cara pembelajaran untuk semua peserta didik. Menurut kaum konstruktivis,
peserta didik mempunyai cara sendiri untuk mengerti, masing-masing mempunyai cara yang
cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman dan
pendidiknya. Maka pendidik perlu menciptakan berbagai cara pembelajaran untuk membantu
peserta didik yang cara belajarnya memang berbeda-beda pula (Suparno, 1997: 62-63).
Kaum behavioris memandang bahwa belajar merupakan sistem respon tingkah laku terhadap
rangsangan fisik. Penganut aliran ini berpendapat bahwa mendengarkan dengan baik
penjelasan pendidik atau terlibat dalam suatu pengalaman akan berakibat peserta didik dapat
mempunyai keterampilan tertentu sesuai dengan apa yang didengarkannya. Keterampilan
merupakan tujuan dari suatu tujuan pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subjek
yang pasif, membutuhkan motivasi luar dan dipengaruhi oleh suatu penguatan. Oleh sebab itu
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan bagaimana
peserta didik harus dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi. Kemajuan belajar peserta didik
diukur dengan hasil yang dapat diamati.

3.

Teori Belajar Bermakna Ausubel

David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningful learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna
terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan
mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan
mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar
(Suparno, 1997: 54).
Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah keduanya
menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi
pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya
mengasumsikan adanya keaktifan siswa dalam belajar.
4.

Teori Belajar Bruner

Menurut Bruner, pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina ide baru
berasaskan pengetahuan yang lampau. Selanjutnya Bruner (Nur, 2000:10) menyatakan bahwa
mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri
mereka sendiri, dan turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan.
Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98)
bahwa dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi pertama
adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang belajar
akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi
dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan
informasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan yang diperoleh sebelumnya. Menurut
Bruner, dalam proses belajar terdapat tiga episode yang harus dilalui anak, yakni (1) informasi,
(2) transformasi, (3) evaluasi. Ketiga episode itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Informasi. Dalam tiap pelajaran siswa akan memperoleh sejumlah informasi, ada yang
menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya,
ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.

Transformasi. Informasi harus dianalis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih
abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini
bantuan guru sangat diperlukan.
Evaluasi. Informasi yang diperoleh tersebut dinilai untuk dapat dimanfaatkan untuk memahami
gejala-gejala lain. (Nasution, 1987:9).
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner adalah memahami
konsep, arti, dan hubungan dan sampai pada suatu kesimpulan. Dengan teorinya free
discovery learning, Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya
(Budiningsih, 2005:43).
F.

Hal-hal yang Membatasi Konstruksi Pengetahuan

Yang membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia antara lain: (1) konstruksi kita yang
lama, (2) domain pengalaman kita, (3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno, 1997: 22). Hasil
dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi
pengetahuan kita berikutnya. Cara kita mengabstraksi, mengorganisir konsep-konsep, nilai,
norma dipengaruhi pengetahuan kita yang sudah ada. Misalnya pengetahuan kita akan nilai
kehidupan yang sudah ada akan membatasi bagaimana kita menganalisa nilai-nilai baru yang
kita hadapi. Pengetahuan kita tentang ayam akan membatasi analisa kita akan binatang yang
mirip dengan ayam, meskipun binatang itu bukan ayam.
Menurut konstruktivisme, pengalaman atas fenomena yang baru akan menjadi unsur yang
sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita; dan kekurangan dalam hal ini akan
membatasi pengetahuan kita pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sosial, pengalaman kita
berinteraksi dengan macam-macam masyarakat, budaya, nilai, norma, akan semakin
mengembangkan ilmu tersebut; sedangkan keterbatasan dalam hal ini akan lebih merugikan.
G.

Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar

Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme (Suparno, 1997: 49) yang diambil manfaatnya
untuk proses belajar peserta didik adalah sebagai berikut.

Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan
keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar,
Peserta didik aktif mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
Pendidik sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta
didik berjalan mulus.
H.

Pengaruh Konstruktivisme terhadap Proses Belajar

Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana peserta didik
membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Peserta didik mencari arti
sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang bertanggung jawab terhadap
hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya,
dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui dengan
pengalaman dan situasi baru.
Belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu
proses untuk mengumpulkan sesuatu (Fosnot, 1989: 20). Belajar bukanlah suatu kegiatan
mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat
kerangka pengertian yang baru. Peserta didik harus mempunyai pengalaman dengan membuat
hipotesis, prediksi, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari
jawaban,

meneliti,

berdialog,

mengadakan

refleksi,

mengungkapkan

pertanyaan,

mengekspresikan gagasan, dan lain sebagainya untuk membentuk konstruksi pengetahuan


yang baru. roses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut.
Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan
yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek. Makna diciptakan
oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu
dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.

Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan


pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Proses belajar adalah proses
pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat pemahaman yang baru. Belajar
itu meredifinisi pengetahuan, konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru.
Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu
perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah
situasi yang baik untuk memacu belajar.
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.
Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan
menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik: konsepkonsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang
dipelajari (Fosnot, 1989: 19-20;34-40).
Setiap peserta didik mempunyai cara untuk mengerti sendiri. Maka penting bahwa setiap
peserta didik mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu.
Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi diri sendiri. Setiap peserta didik
mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang-kadang
sangat berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa
peserta didik dimungkinan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok bagi
dirinya, begitu juga penting bagi pendidik menciptakan bermacam-macam cara belajar yang
cocok untuk peserta didiknya. Pendidik juga perlu menciptakan bermacam-macam situasi dan
metode pembelajaran yang membantu peserta didik. Satu model belajar dan mengajar tidak
akan membantu banyak bagi peserta didik yang begitu majemuk.
Di dalam kelas, sering kali peserta didik sudah membawa konsep yang bermacam-macam
sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat dikembangkan
menjadi pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual,
personal, sosial, emosional, kultural ketika masuk ruang pelajaran. Ini semua mempengaruhi
pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa peserta didik sangat

penting

dimengerti

oleh

pendidik

agar

dapat

membantu

memajukan

dan

memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih sempurna.


Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kesempatan untuk
belajar kelompok, diskusi, cooperative learning dapat dikembangkan. Menurut Glasersfeld,
dalam belajar kelompok (Suparno,1997:63), peserta didik yang mengerjakan suatu persoalan
secara bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana melihat persoalan tersebut dan apa
yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu cara menciptakan refleksi, yang
menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya hal
tersebut akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat
abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu
untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang
yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk
belajar lebih sungguh-sungguh.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar menyangkut dimasukkannya seseorang
dalam suatu dunia simbolik atau konsep. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang terlibat
secara sosial dalam dialog dan aktif dengan percobaan, diskusi kelompok dan tukar
pengalaman. Belajar juga merupakan proses di mana seseorang dimasukan dalam suatu kultur
orang-orang terdidik. Dalam hal ini peserta didik tidak hanya perlu akses ke pengalaman fisik,
tetapi juga pada konsep-konsep dan model dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Maka peran
pendidik di sini penting, karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan juga
prasarana masyarakat ilmiah bagi peserta didik. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan para peserta didik berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan
lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dengan masyarakat pengguna
hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang untuk mengkonstruksi pengetahuan
mereka.
I.

Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Pembelajaran

Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran
konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut.
Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi
individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat

akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak
dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila
peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian
tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara
konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau
memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk
dijadikan objek pemaknaan.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar
struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang
menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka
pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik.
Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang
struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru.
Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga
jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang
batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui
(Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal development of
knowledge.
Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus
menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta
didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman
sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait
dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau
menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta
didik.
Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk
melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga
daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan
pemaknaan yang baru.

Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat
tinggi

seperti

mengklasifikasi,

menganalisis,

menginterpretasikan,

memprediksi

dan

menyimpulkan, dll.
Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah
secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam
mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi
proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik,
sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah
tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang
terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun
kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang lain
(Suparno, 1997: 61-69).
J.

Pengaruh Konstruktivisme rerhadap Proses Mengajar

Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, tetapi suatu
kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu
bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan
dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada
pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas antara lain sebagai berikut.
Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab
dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model
ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk
pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide
ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif.
Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik

hendaknya menyemangati peserta didik dan bukannya sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan
pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang
bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini
akan menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak.
Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya.

Pendidik membantu dalam

mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik (Suparno, 1997: 65-66).


Seorang pendidik hendaknya tidak melihat peserta didik sebagai tidak tahu apa-apa. Peserta
didik sudah membawa konsep-konsep, norma-norma, nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku
tertentu ketika mengikuti pelajaran pertama kali. Itulah pengetahuan awal yang mereka punyai
yang menjadi dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Di sini pendidik perlu
mengerti mereka sudah pada taraf mana pengetahuan mereka ( konsep, nilai, norma, tingah
laku, sikap,dll).
Pendidik perlu belajar mengerti cara berpikir peserta didik, sehingga dapat membantu
memodifikasikannya. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban, ini
cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan
mengapa suatu jawaban tidak tepat untuk keadaan tertentu. Pendidik perlu mengerti sifat
kesalahan peserta didik. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah penuh dengan kesalahan
atau error. Error adalah suatu bagian dan konstruksi semua bidang yang tidak bisa dihindarkan.
Error kerapkali menunjukkan penalaran peserta didik yang digunakan untuk memecahkan
persoalan. Pendidik perlu melihat error (Piaget,1981: 94) sebagai suatu sumber informasi
tentang penalaran mereka dan untuk mengerti sifat dari skema peserta didik.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pendidik perlu membiarkan peserta didik menemukan
cara yang paling cocok dalam memecahkan persoalan. Peserta didik kadang suka mengambil
jalan yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang pendidik tidak
menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan ilmu, yang
dimulai juga dari kesalahan. Sangat penting bahwa pendidik tidak mengajukan jawaban satusatunya sebagai yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman,
seperti norma dan nilai sebagai dasar bertingkah laku. Dalam sejarah ilmu terlihat bahwa teoriteori yang lama tidaklah salah dalam perkembangannya, tetapi lebih dikatakan sebagai tidak
dapat menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul. Teori-teori itu tetap dapat menjawab

persoalan lama yang dihadapi waktu menemukannya. Misalnya, teori Newton tentang gerak
tidaklah salah, tetapi tidak mencukupi lagi untuk menjawab gerak dalam dimensi mikro. Maka
ditemukan teori baru yang dapat menjawabnya. Namun sampai sekarangpun, teori Newton
tetap dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam dunia makro.
Dalam sistem konstruktivisme, pendidik dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam.
Pendidik perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan
yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang
pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik yang berbeda dan juga
memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu benar atau tidak.
Penguasaan bahan memungkinkan seorang pendidik mengerti macam-macam jalan dan model
untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan dan tidak terpaku kepada satu model.
Kecuali menguasai bahan, pendidik sangat perlu mengerti konteks dari bahan itu, sehingga
sangat penting untuk seorang pendidik, misalnya dosen pendidikan Pancasila, kecuali mengerti
tentang isinya juga tahu bagaimana isi itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan berperan.
Pendidik juga perlu mengerti bagaimana pendidikan Pancasila itu berpengaruh terhadap
teknologi dan masyarakat.
Tugas

pendidik

adalah

membantu

agar

peserta

didik

lebih

dapat

mengkonstruksi

pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu
disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Bagi kaum konstruktivis, tidak ada
suatu strategi mengajar satu-satunya dan dapat digunakan di manapun dalam situasi apapun.
Strategi yang disusun, selalu hanya menjadi tawaran dan saran, tetapi bukan suatu menu yang
sudah jadi. Setiap pendidik yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar adalah
suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, tetapi juga intuisi.

K.

Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sematamata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam
benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar (Nur,2000: 2).
Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki

kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi
dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005:59).
Pendekatan konstruktivisme menghendakai siswa harus membangun pengetahuan di dalam
benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat
informasi lebih bermakna dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
atau menerapkan sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat
membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan
agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut. Oleh karena itu agar pembelajaran lebih
bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan solusi yang
baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan pembelajaran tradisional
(behavioristik) dengan pembelajaran yang konstruktivistik.
Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik menurut Aqib,
(2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai berikut.
No
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Konstruktivistik
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada
keterampilan dasar

Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju kebagian-bagian dan

lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas


Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja

Kegiatan

kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan
Siswa dipandang sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru
menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya
Penilian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan
biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing

Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran,
dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas
pekerjaan
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses
Memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi
Memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak
menentu
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata
lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna
Kegagalan dalam menambah pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum
Kegagalan merupakan interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai
Evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajar Evaluasi menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan
ganda, dan bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan belajar dengan menekankan pada evaluasi individu

Evaluasi

merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang
bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses
Alasan lain perlunya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah pengetahuan
yang akan dimiliki siswa bermula dari keaktifan siswa untuk mencari dan menemukan.
Pengetahuan tidak akan diperoleh dari siswa yang pasif. Untuk membangun suatu
pengetahuan baru, siswa akan menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan pengetahuan
lama yng telah dimilikinya melalaui berinterksi sosial dengan siswa yang lain. Hal ini berbeda
dengan behavioristik yang menekankan pada pola prilaku yang diulang-ulang menjadi otomatis.
Perilaku seseorang dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau hukuman. Begitu

pula dengan kognitivistik yang menyatakan bahwa pengetahuan akan diwakili oleh skema, jika
informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan disesuaikan atau skema yang
akan disesuaikan. Jadi kognitivistik menekankan penataan kembali struktur kognitif dimana
seseorang menyimpan informasi.
Konstruktivisme berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan
proses belajar dari pada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku
seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan
belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan bahwa belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan
aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yanag diterima disesuaikan dengan struktur
kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
L.

Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Kegiatan

belajar

adalah

kegiatan

yang

aktif,

dimana

siswa

membangun

sendiri

pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses
menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam
pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru
membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi
pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang
sesuai dengan karakteristik IPA dan memperhatikan perspektif siswa sekolah dasar.
Pembelajaran yang dimaksud diatas adalah pembelajaran yang mengutamakan keaktifan
siswa, menerangkan pada kemampuan minds-on dan handson serta terjadi interaksi dan
mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa
sendiri.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih
kreatif dan imajinatif.

Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.


Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
Menciptakan lingkungan yang kondusif.
Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan
konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengonstruksikan
sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
M.

Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme

Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan


suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana
atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya
memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses
pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau metode-metode
pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang
sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar
berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli
psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi
konstruktivis

berpendapat

bahwa

proses

pemerolehan

pengetahuan

adalah

melalui

penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan
pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan
belajar. Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkahlangkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Roestiyah (2001:1)
Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan
bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap,
dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya;
ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran, karyawisata,
inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu

maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah penggunaan
metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan
kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.
Penerapkan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran pada tulisan ini akan lebih
banyak menggunakan metode inquiry (menemukan) dan akan dibantu metode-metode lain
yang akan dilaksanakan secara integratif dan diperkirakan mampu dilaksanakan oleh guru mitra
peneliti dan siswa di lapangan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai berikut.
1.

Tanya Jawab (questioning)

Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan
konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada
topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai
kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam
pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting
untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan
perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan
Nurhadi (2003: 14) adalah : a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, b)
mengecek pemahaman siswa, c) membangkitkan respon kepada siswa, d.

mengetahui

sejauh mana keinginan siswa, e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, f)
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g) membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
2.

Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil penyelidikan
sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru harus
berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai
materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih bersifat student
centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa
dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan
pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk
menemukan sendiri pengetahuannya.

Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti tidak
terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru tidak lagi
berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang menggiring siswa
untuk bertanya, mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan
kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah.
Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara independen, dalam
suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri, siswa bertanya memperoleh dan mengolah data secara
logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka
gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar dengan melakukan inkuiri
pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri, dan karena itu Bruner
menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan model inkuiri ini menempatkan
siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa melibatkannya dalam
pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan memanipulasi data yang dikumpulkan
berdasarkan pengamatan dan pengamalannya sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami
dan dibermaknakan (Wiriaatmadja, 2002:137).
Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber
belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan
merumuskan masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil
inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa
harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan
kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam inkuiri
berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana sumbernya, tetapi lebih
menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses
pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan
kemampuan mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada
penjelasan masalah.
Langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said Hamid (1996 :
14) : langkah-langkah inkuiri adalah :1) Perumusan masalah, 2) pengembangan hipotesis, 3)
pengumpulan data, 4) pengolahan data, 5) pengujian hipotesis, dan 6) penarikan kesimpulan.
Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah inkuiri adalah 1) orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi,
4) eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi. Sedangkan menurut Joyce & Weil (2000:473-475)
mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :1) penyajian masalah, 2) pengumpulan

data dan verifikasi data, 3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan data, 4) merumuskan
penjelasan, 5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri. Menurut Nurhadi (2003:13): adalah
1) Merumuskan masalah, 2) Mengamati dan melakukan observasi, 3) Menganalisis dan
meyajikan

hasil

tulisan,

gambar,

laporan,

bagan,

tabel,

dan

karya

lainnya,

4)

Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau
audien yang lain.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil menurut ahli tersebut tentang langkahlangkah inkuiri. Pada intinya hampir sama, yaitu dimulai dari perumusan masalah dan terakhir
membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti memberi makna metode inkuiri sebagai
strategi pembelajaran yang berusaha memecahkan suatu permasalahan melalui langkahlangkah yang sistematis dan logis.
3.

Komunitas Belajar (Learning Community)

Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah
siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu
secara

bersama-sama

(Moejiono,1991/1992:60).

Pengembangan

pembelajaran

dalam

kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku.
Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat
terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula
meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok. Dengan pendekatan konstruktivisme,
guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi
beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi
bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995:4-5) kelompok yang
efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat
heterogen.
Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada komunikasi
dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi yang
diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan teman
belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam
berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang
menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik
komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.

Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkah-langkah yang


ditentukan dalam waktu perencanaan. Langkah-langkah pelaksanaannya dapat dilakukan
sebagai berikut.
Langkah pertama, siswa didorong dan diberi motivasi agar mengemukakan pengetahuan
awalnya tentang konsep dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang akan dibahas. Guru
memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomenafenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas.
Siswa di beri kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya
tentang konsep itu. Pada langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat diperlukan antara
siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh guru.
Langkah kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep-konsep
dan

permasalahan-permasalahan

melalui

pengumpulan

dan

pengorganisasian

dan

penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Pada tahap ini guru
menggunakan metode inquiry. Secara bekerja kelompok siswa membahas kemudian
mendiskusikan temuannya dengan kelompok-kelompok lain. Secara keseluruhan tahap ini akan
memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang topik pelajaran yang dibahas pada saat itu.
Langkah ketiga, Siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada observasinya
ditambah dengan penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan pengetehuan siswa yang
telah mereka bangun, maka siswa membangun pengetahuan dan pemahaman baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang
konsepsinya.
Langkah terakhir, guru berusaha menciptkan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa
dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya tentang topik pelajaran saat itu.
N. Keuntungan dan Kelemahan dalam Menggunakan Model Konstruktivisme
Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan.
Keuntungan yang terdapat dalam penggunaan model konstruktivisme yaitu :
Dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam mempelajari konsep pembelajaran.
Melatih siswa berpikir kritis dan kreatif.

Di samping memiliki beberapa keuntungan seperti yang telah diswbutkan di atas, pembelajaran
konstruktivisme juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan pembelajaran
konstruktivisme adalah :
Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak
cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti
membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbedabeda.
Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana
prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal
belaka. Menurut Glasserfeld (Suparno,1997) mengajar adalah membantu seseorang berpikir
secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Jadi guru berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Sedangkan fungsi
mediator dan fasilitator itu sendiri dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam
membuat rancangan, proses, dan penelitian.
Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide
ilmiah mereka.
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru
juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Julian dan Duckworth (Suparno,1997:68) telah merangkum hal-hal penting yang harus
dilakukan seorang guru konstruktivis sebagai berikut.
Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data yang
ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan kebingungan
setiap murid.
Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan
penghargaan kepada siswa.

Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek dalam proses
belajar, karena tidak mengerti merupakan langkah awal untuk memulai.
Peran guru dalam pembelajaran konstruktivis sangat menuntut penguasaan bahan yang luas
dan mendalam tentang bahan yang diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam
memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari murid dan
juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan
bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai
pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu mode

Anda mungkin juga menyukai