Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

DEMAM TIFOID

Oleh
Christian Julio Suhardi

105070104121012

Iffa Aulia Hakim

105070101111012

Mia Ichtivani

105070103111013

Nur Alfi Dinari

105070100111116

Pembimbing:
dr. Niniek Budiarti, SpPD-KPTI

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid atau tifus abdominalis adalah penyakit yang berkaitan dengan
masalah higienitas baik pribadi maupun lingkungan. Pada negara kita dimana masih banyak
terdapat masalah dengan higienitas seperti higienitas perorangan, penydia makanan,
lingkungan kumuh, kebersihan tempat umum, demam tifoid menjadi masalah yang banyak
ditemukan baik di perkotaan maupun pedesaan. Indonesia merupakan salah satu wilayah
endemik dari demam tifoid, dari data rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan setiap
tahun insidensi dari demam tifoid adalah 500 orang penderita dalam 100.000 penduduk
dengan angka kematian 0,6%-5% (KMK, 2006).
Penyakit ini juga memiliki beberapa karakteristik yang menyulitkan upaya
pengobatan dan pencegahannya oleh karena gejala klinisnya yang bervariasi baik dari ringan
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, sampai pada instabilitas vascular
dan koagulasi yang menyebabkan gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan
organ lainnya.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, disebutkan
bahwa karsinoma paru merupakan kompetensi 4A, dimana seorang dokter umum harus
mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan tatalaksana penyakit tersebut secara
mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, pada responsi ini kami akan membahas mengenai
demam tifoid agar sebagai seorang calon dokter umum, kita dapat memahami bagaimana cara
mendiagnosis demam tifoid.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, epidemiologi, etiologi, dan patofisiologi demam tifoid
2. Meningkatkan kemampuan diagnosis pada demam tifoid
1.3 Manfaat Penulisan
1. Memberi tambahan khasanah ilmu pengetahuan tentang demam tiroid.
2. Menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis demam tifoid.

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Penyakit ini ditransmisikan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri
Salmonella typhi.
Salmonella typhi adalah bakteri basil gram negative , bergerak, tidak berkapsul ,
tidak membentuk spora, memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri in
berukuan antara 2-4 x 0.6 m. Bakteri in hidup dengan optimum pada suhu 37 o C dengan pH
6 8 . Bakteri ini juga dapat hidup di alam bebas sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti air, sampah, dan debu. Sehingga bakteri ini dapat bertahan hidup sampa memasuki
reservoir selanjutnya. Manusia adalah satu satunya reservoir dari Salmonella typhi.
Bakteri ini dapat dimusnahkan dengan cara pemanasan pada suhu 60 oC selama 15-20
menit, pasterurisasi ( cairan dipanaskan dengan suhu 63 oC selama 30 menit atau dengan suhu
71 -75o Cselama 15 20 detik), pendidihan, maupun khlorinisasi.
Bakteri ini masuk dengan melalui rute peroral dengan makanan yang terkontaminasi
lalu masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dihancurkan , namun sebagian lagi akan
masuk ke dalam usus dan berkembang biak. Masa inkubasi Salmonella typhi berkisar 10 14
hari pada anak, dan dapat 5- 40 hari pada orang dewasa. Sebagian bakteri lalu akan
menembus sel epitel usus juka imunitas kurang baik dan masuk ke lamina propria. Pada
lamina propria bakteri akan difagositosis oleh makrofag. Bakteri akan bertahan hidup di
dalam makrofag lalu dibawa ke patch of peyer, lalu ke kelenjar getah bening mesenterika,
lalu masuk ke dalam aliran darah melalui duktus torasikus, lalu dari aliran darah bakteri dan
menyebabkan bakeriemia primer yang asimtomatik, lalu bakteri akan dibawa ke dalam organ
retikuloendotelial, berkembang biak, dan masuk kembali ke dalam darah dan menyebabkan
bakteriemia kedua yang menyebabkan aktivasi dari system imunitas yang telah teraktivasi
dan menyebabkan gejala sistemik.

2. 2 Epidemiologi
Demam tifoid dapat ditemui di seluruh dunia terutama negara berkembang di daerah
tropis. WHO memprediksi pada tahun 2000 terdapat 21.650.974 kejadian demam tifoid dan
216.510 kematian, dengan prevalensi tertinggi dari negara-negara di Asia berada pada India,
Indonesia, dan Pakistan (Ochiai et all,2008). Terjadi peningkatan dari tahun 1984 di mana
diprediksi terdapat 16 juta prevalensi dan juga 600.000 kematian di seluruh dunia. Hal ini
diduga salah satunya adalah karena peningkatan jumlah penduduk dunia dari 4.800.000.000
penduduk dunia menjadi 6.100.000.000. Namun pada beberapa negara di mana terjadi
perbaikan sanitasi dan higienitas, terjadi penurunan angka prevalensi seperti pada Chili,
Mesir, dan India.
Di Indonesia demam tifoid dijumpai secara endemis, terutama di kota kota besar.
Tidak ada perbedaan prevalensi antara pria dan wanita. Insidensi terbanyak berada pada usia
remaja dan dewasa muda. Insidensi dari demam tifoid adalah 380-810 orang penderita dalam
100.000 penduduk dengan 0,6%-5% angka kematian (KMK, 2006).
Prevalensi di negara tropis yang sedang berkembang seperti Indonesia cenderung lebih tinggi
dibandingkan negara maju salah satunya disebabkan oleh higienitas seperti :
- Higienitas perorangan yang rendah seperti rendahnya budaya cuci tangan
- Higienitas makanan dan minuman yang rendah seperti makanan yang tidak dicuci, makanan
-

yang tercemar debu, air minum yang tidak dimasak.


Sanitasi lingkungan yang kumuh seperti tempat pembuangan sampah yang tidak terawatt,

pembuangan limbah sembarangan, maupun buang air sembarangan.


- Penyediaan air bersih yang belum memadai
Selain masalah higienitas ada juga masalah kesehatan lain seperti pasien karier yang belum atau tidak diobati
secara sempurna ataupun belum dijalankannya vaksinasi tifoid.
2.3 Patogenesis dan Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus
halus. Setelah mencapai usus, bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) . Imunologi humoral di usus
terutama adalah IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya Salmonella pada
mukosa usus. Sedangkan di imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk

membunuh Salmonella intraseluler. Selanjutnya ke lamina propia Salmonella typhi yang


menembus masuk ke lamina propria ditangkap oleh sel mononuklear, dan dibawa ke dalam
patch of peyer ileum, lalu dari sana makrofag akan melanjutkan perjalanan ke dalam kelenjar
getah bening mesenterika, lalu melalui duktus torasikus makrofag akan masuk ke dalam
aliran darah. Hal ini akan menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah yang disebut
bakteriemia pertama. Setelah itu bakteri akan masuk ke dalam organ retikuloendotelial
system seperti hati dan limpa. Di organ ini bakteri akan berkembang biak di sinusoid sel,
setelah itu bakteri akan kembali masuk ke dalam aliran darah dan mengakibatkan bakteriemia
kedua yang akan menimbulkan gejala klinis oleh karena aktivasi dari antibody yang
menyebabkan inflamasi. Interaksi Salmonella dengan makrofag juga akan memunculkan
mediator-mediator. Pada daerah sekitarnya (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan
ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem pembekuan darah,
depresi sumsum tulang, Dan lain-lain.
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti
organisme Yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch, (2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan
organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et
all., 2010).
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dengan pH <2, sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya
ke lamina propia (Sudoyo et all., 2009). Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi
Peyers patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella thypi dan Salmonella paratyphi
(Soedarmo et all., 2010). Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh
makrorag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika (Sudoyo
et all., 2009).
Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala Salmonella typhi

dan

Salmonella paratyphi akan keluar dari habitatnya (Soedarmo et all., 2010). Selanjutnya
keluar melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik (Sudoyo et all., 2009).
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai
adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal
(Soedarmo et all., 2010).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus (Sudoyo et all., 2009). Kuman pathogen-berikatan dengan susunan
molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di dalam dapat
dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan TLR-4/MD2/CD-14
complex, makrofag dan sel epitel intestinal kemudian mengaktivasi sel T dan neutrofil serta
interleukin 8 (IL-8), sehingga terjadilah proses inflamasi. Kuman Salmonella typhi memiliki
fimbriae yang mendukung untuk terjadinya penempelan pada epitel. Selain itu, Salmonella
typhi juga memiliki kapsul Vi yang menutupi PAMPs yang berfungsi untuk melawan neutrofil
(Brusch et all., 2009). Proses yang sama terulang kembali yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri,
makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (Salmonella intraselular
menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler

dengan

akibat

timbulnya

komplikasi

seperti

gangguan

neuropsikiatrik,

kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et all., 2009).

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella menstimulasi makrofag dalam hati, limpa,
folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan
zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologik. Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun
seluler baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi Salmonella
typhi tidak diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.
Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier
memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella typhi pada uji
hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar hasil virulen melewati usus setiap
harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu(Soedarmo et all., 2010).

2.4 Gejala klinis


Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini
disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di
rumahnya.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Masa tunas rata rata 10 20 hari. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan
tidak besemangat.
Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang ditandai dengan demam
yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas
adalah kenaikan tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang

khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga (stepladder),
sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan (anoreksia), mual, muntah, sering
sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare.
a.

Demam
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian entibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam
tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperatur chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama. Dalam minggu ke-2 penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ke-3 suhu badan berangsur angsur turun, kecuali apabila

b.

terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.
Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah pecah(ragaden).
Lidah ditutupi selaput putih kotor ( coated tongue ), ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meterorismus).
Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
c.
Gangguan kesadaran
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf
pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran
mulai apati sampai koma.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm,
seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari

ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.


Status tifosa :
Demam lebih dari tujuh hari
Lidah kotor, ujung dan tepinya kemerahan
Gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan, apati, somnolen, hingga
koma.

2.5 Diagnostik
Demam tifoid dapat didiagnosa dengan beberapa cara :
2.5.1 Diagnosa Klinis
Dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan gejala klinis
dengan demam tifoid akan didapatkan diagnose kerja yang berarti penderita telab mulai
dikelola dengan manajemen tifoid. Sindrom klinis adalah kumpulan gejala gejala tifoid
seperti telah diuraikan seperti
Demam, sakit kepala, kelemahan , mual, nyeri abdomen, anoreksia, muntah, gangguan gastro
intestinal, insomnia, hepatomegli, splenomegaly, penurunan kesadaran, bradikardi relative,
kesadaran berkabut, ataupun feses darah.
Berdasarkan diagnose klinis, demam tifoid diklasifikasikan menjadi 2:
1. Suspect Case demam tifoid
Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran
cerna, dan penanda gangguan kesadaran. Dengan sindrom belum lengkap dan tanpa
pemeriksaan penunjang.
2. Probable Case demam tifoid
Didapatkan gejala klinis yang hampir atau lengkap didukung dengan tes widal titer
antibody O 1/320 atau tingkat sensitifitas daerah masing masing.
3. Demam Tifoid Konfirmasi
Kasus yang sudah dipastikan demam tifoid dengan hasil biakan positif Salmonella
typhi, dengan kenaikan titer widal 4 kali lipat dengan selang pemeriksaan 5-7 hari
2.5.2 Diagnosis Etiologik
Diagnosis yang mendeteksi basil Sallmonella dari dalam darah atau sumsum tulang.
Ditemukan bakteri basil yang merupakan diagnosis pasti menderita demam tifoid
Diagnosa ini ditegakan dengan 3 cara yaitu
- Biakan Salmonella typhi
Cara ini dapat dilakukan di laboratorium sampai laboratorium daerah dan perlu
dilakukan pada setiap tatalaksana kasus demam tifoid. Jika hasil biakan tidak
tumbuh, maka dapat dibantu dengan tes widal, dengan kenaikan titer 4 kali lipat
-

pada pemeriksaan widal ke- 2 ,5 7 hari setelah tes pertama.


Pemeriksaan DNA Salmonella typhi dengan PCR ( Polimerase Chain Reaction)
DNA dapat diidentifikasi dengan teknik amplifikasi DNA. Akan tetapi tes ini
memiliki kelemahan tidak bias menunjukkan infeksi akut, karena tidak bias
membedakan virus yang mati atau hidup, dan juga biayanya mahal.

10

2.5.3 Diagnosis Komplikasi


Diagnosos komlikasi untuk demam tifoid dilihat dari gejala klinis dan dibagi menjadi
:
a. Syok septik
Penderita demam tifoid dengan panas tinggi, gejala toksemia berat, didapatkan gejala
gangguan hemodinamik seperti penurunan tekanan darah, nadi, berkeringat, dan
akral dingin.
b. Perdarahan dan perforasi
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoshezia dan juga occult blood test.
Komplikasi perforasi ini dapat juga ditandai dengan gejala akut abdomen dan
peritonitis. Dapat juga didiagnosa dari didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang
diketahui dari foto polos abdomen 3 posisi.
c. Hepatitis Tifosa
Di mana didapakan kelinan berupa icterus, hepatomegaly, kelainan test fungsi hati
d. Pankreatitis Tifosa
Di mana didapatkan tanda pankreatitis akut berupa peningkatan enzim amylase dan
lipase.
e. Pneumonia
Dapat juga didapatkan pneumonia yang diagnosanya dapat dibantu dengan foto polos
toraks
2.6 Terapi
- Pasien diberi cairan yang cukup baik oral maupun parenteral. Dengan inikasi parenteral
pada pasien sakit berat, ada komlikasi, peurunan kesadaran, ataupun sulit makan
- Diet dengan kalori dan protein cukup, rendah serat untuk mencegah perdarahan dan
perforasi usus.
- Terapi simptomatik seperti antipiretik, antiemetic.
- Terapi antimikroba
Terapi diberikan saat diagnose telah ditegakkan, baik itu diagnose konfirmasi, suspect
ataupun probable.
Anti mikroba yang dapat diberikan

11

12

Antibiotika tersebut diberikan dengan lini pertama berupa


1. Kloramfenikol
2. Ampisilin atau amoxicilin ( aman untuk ibu hamil)
3. Trimetoprim-Sulfametoksazol
Antibiotika lini kedua
1. Seftriakxon
2. Cefixim ( untuk anak)
3. Quinolone ( tidak untuk anak < 18 tahun karena mengganggu pertumbuhan)
Berikan antibiotika lini pertama dahulu, jika belum ada hasil kultur sambil menunggu,
jika lini pertama tidak efektif, berikan antibiotika lini kedua. Antibiotika diberika 1 jenis
saja kecuali pada komplikasi toksik ataupun syok, berikan 2 jenis antibiotik. Pasien
dinyatakan sembuh setelah 5 7 hari bebas panas, keadaan umum baik, komplikasi
teratasi atau terkontrol.
- Pencegahan karier, relaps, dan resistensi demam tifoid
Karier tifoid adalah orang dengan kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan
setelah sakit dan karier kronik jula sampai 1 tahun atau lebih hasil kultur feses atau
urin masih positif.
Relaps adalah kambuh kembali dengan gejala klinis demam tifoid setelah 2 minggu
masa sembuh. Hal ini dapat disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat baik
dosis maupun lama pemberian antibiotika.
Resistensi adalah saat bakteri tidak lagi peka dengan antimikroba yang lazim dipakai.
Untuk mendeteksi kasus di atas, setelah terapi dilakukan deteksi karier dengan
melaksanakan pemeriksaan kultur feses dan urin sebelum pasien pulang, lalu kultur
lanjutan 1 dan 3 bulan sesudah sembuh. Pada pasien karier akan diterapi jangka
panjang dengan quinolone selama 4 minggu serta eradikasi fktor predisposisi seperti
-

batu empedu atau batu saluran kencing.


Perbaikan sanitasi lingkungan
Untuk memutus rantai penularan tifoid diperlukan usaha perbaikan lingkungan

seperti penyediaan air bersih untuk warga, jamban yang memenuhi syarat kesehatan,
pengelolaan air limbah, kotoran, dan sampah sehingga tidak mencemari lingkungan,
pengawasan dan perawatan kebersihan lingkungan, membiasakan perilaku hidup bersih.
- Peningkatan higienitas makanan dan minuman
- Meningkatkan higienitas pribadi dengan cara membiasakan cuci tangan.
- Pencegahan dengan imunisasi
Saat ini ada 3 jenis vaksin di Indonesia berupa:
a. vaksin oral Ty21a Vivotif Berna
Vaksin ini mengandung Salmonella typhi galur Ty 21 a, di Indonesia
memiliki daya proteksi 36 %- 66% dan lama proteksi 5 tahun. Diminum 4

13

kali

selang

sehari

dalam

minggu

jam

sebelum

makan.

Dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, imunokompromais,


demam, sedang minum antibiotic atau anak berusia di bawah 5 tahun.
b. Vaksin parenteral utuh typa Bio Farma
Vaksin mengandung sel Salmonella typhi utuh yang dimatikan, memiliki 2
jenis yaitu K ( acetone in activated) dan L ( heat in activated-phenol
preserved)vaksin. Vaksin K dengan daya proteksi 79%-89% dan vaksin L
(51%-66%). Diberikan dengan 2 dosis , selang 4 minggu , dosis aak 1- 5
tahun 0,1 ml, 6 12 tahun 0.25 ml, dewasa 0,5 ml. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, demam, demam setelah pemberian
pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux
d. Vaksin mengandung polisakarida Salmonella dengan daya proteksi 60%-70%
pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun.Vaksin diberikan dengan dosis
0,5 ml, yang berisi 25 g antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuscular dengan booster setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan

pada

wanita

hamil,

menyusui,demam,

hipersensitif, dan anak dengan usia di bawah 2 tahun.


2.7 Komplikasi
Komplikasi demam thypoid dibagi dalam :
1. a.

Komplikasi Intestinal
1. Pendarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik

1. b.

Komplikasi ektra-intestinal

2. Komplikasi kardiovaskuler
Kegagalan sirkulasi perifel (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.

14

keadaan

3.

Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositoperia dan sidroma uremia hemolitik.

4. Komplikasi paru
Pneumonia, emfiema, dan pleuritis
5. Komplikasi hepair dan kandung empedu
Hepatitis dan kolesistitis
6. Komplikasi ginjal
Glomerulonefritis, periostitis, spondilitis, dan arthritis
7. Komplikasi neuropsikiatrik
Delirium, meningismus, meningistis, polyneuritis perifer, sindrom, katatoni.
2.8 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi
seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat
seperti :
a.
b.
c.

Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu


Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

15

2.9 Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan terkontaminasi Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 C untuk beberapa

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

menit atau dengan proses ionidasi/klorinasi.


Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup halhal berikut :
Penyediaan sumber air minum yang baik
Penyediaan jamban yang sehat
Sosialisasi budaya cuci tangan
Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
Pemberantasan lalat
Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
Imunisasi
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di AS (kecuali pada kelompok yang beresiko
tinggi), imunisasi pencegahan tifoid termasuk dalam program pengembangan imunisasi yang
dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis karena
keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu orang tua harus membayar
biaya imunisasi untuk anaknya. 9
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :

a.

Vaksin parenteral utuh


Berasal dari sel Salmonella typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar
1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc,
dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping

b.

dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.
Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung Salmonella typhi strain Ty21a hidup. Vaksin
diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu.

c.

Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun.
Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara
parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis
ulangan setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif paling aman.

16

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
1. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella
tipe A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang
2.

terkontaminasi.
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yang

3.

memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan.


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60
hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita

4.

tetap dalam keadaan asimtomatis.


Secara garis besar, gejala Tifoid adalah Demam lebih dari seminggu, Lidah kotor, Mual
Berat sampai muntah, Diare atau Mencret, Lemas, pusing, dan sakit perut, Pingsan, Tak

B.

5.

sadarkan diri.
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi

6.

yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid.


Pencegahan dilakukan secara primer, sekunder dan tersier.

Saran
1. Sebaiknya selalu menjaga kebersihan lingkungan, makanan yang dikonsumsi harus
2.

higiene dan perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid.


sebaiknya kita harus membiasakan diri untuk hidup sehat, biasakan untuk mencuci
tangan sebelum makan. Agar kuman salmonella tidak ikut tertelan masuk ke dalam
sistem pencernaan kita bersama makanan yang telah terkontaminasi.

17

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard, 2007. Nelson Esensi Pediatri. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta
Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta
Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2. Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan
Dokter Anak Indonesia
Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan,
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta

Pencegahan,

dan

Widodo D., 2009. Demam Tifoid. PAPDI 2009. FKUI : Jakarta


Supari,

S. F., Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


364/MENKES/SK/V/2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta

Nomor
Menteri

Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Ed V. Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing
John A. C., Stephen P. L., Eric D. M. 2004. The Global Burden of Thypoid Fever. Bulletin of
the World Health Organization 2004;82:346-353
Ochiai R. L., Acosta C. J., Danovaro M. C. 2008. A study of Thypoid Fever in Five Asian
Countries : Disease Burden and Implications for Controls. Bulletin of the Wolrd
Health Organization 2008;86:260-268
Soedarmo, 2010. Buku Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia

18

Anda mungkin juga menyukai