Anda di halaman 1dari 109

Gambar Sampul

Laboratorium Enhanced Oil Recovery (EOR) LEMIGAS

ISSN : 2089-3396

Volume 45, No. 2 Agustus 2011


Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media untuk mempromosikan kegiatan penelitian
dan pengembangan teknologi di bidang minyak dan gas bumi yang telah dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
Pemimpin Redaksi

: Dra. Yanni Kussuryani, M.Si. (Kimia)

Wakil Pemimpin Redaksi

: Ir. Daru Siswanto (Teknik Kimia)

Redaktur Pelaksana

: Drs. Heribertus Joko Kristadi, M.Si. (Geofisika)

Dewan Redaksi






: 1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ir. E. Jasjfi, M.Sc. APU. (Teknik Kimia)


Prof. (R). Dr. Maizar Rahman (Teknik Kimia)
Prof. (R). Dr. Suprajitno Munadi (Geofisika)
Prof. (R). M. Udiharto (Biologi)
Prof. (R). Dr. E. Suhardono (Kimia Industri)
Ir. Bambang Wicaksono T.M., M.Sc. (Geologi Perminyakan)

Redaksi




: 1.
2.
3.
4.

Dr. Ir. Usman, M.Eng. (Teknik Perminyakan)


Ir. Sugeng Riyono, M.Phil. (Teknik Kimia)
Dr. Ir. Eko Budi Lelono (Ahli Palinologi)
Abdul Haris, S.Si., M.Si. (Lingkungan dan Kimia)

Mitra Bestari






: 1.
2.
3.
4.
5.
6.

Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Teknik Perminyakan)


Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata (Teknik Geologi))
Prof. Dr. Wahjudi Wiratmoko Wisaksono (Energi dan Lingkungan)
Dr. Ir. M. Kholil, M.Kom. (Manajemen Lingkungan)

Dr. Ir. Bambang Widarsono, M.Sc. (Teknik Perminyakan)
Ferry Imanuddin Sadikin, S.T., M.E. (Teknik Elektro)

Sekretaris

: Urusan Publikasi

Penerbit

: Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi


Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS

Pencetak

: Grafika LEMIGAS

Alamat Redaksi
Sub Bidang Informasi, Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas
Bumi LEMIGAS Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230. Tromol Pos : 6022/
KBYB-Jakarta 12120, INDONESIA, STT : No. 119/SK/DITJEN PPG/STT/1976, Telepon : 7394422 - ext. 1222, 1223,
1274, Faks : 62 - 21 - 7246150, e-mail: management@lemigas.esdm.go.id
Majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi diterbitkan sejak tahun 1970 dengan nama awal Lembaran Publikasi
LEMIGAS (LPL), 3 kali setahun. Redaksi menerima Naskah Ilmiah tentang hasil-hasil Penelitian, yang erat hubungannya
dengan Penelitian Minyak dan Gas Bumi.

Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi LEMIGAS. Penanggung Jawab : Dra. Yanni Kussuryani, M.Si., Redaktur : Ir. Daru Siswanto.

ISSN : 2089-3396

Volume 45, No. 2, Agustus 2011

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

PENGANTAR
LEMBAR SARI DAN ABSTRACT

Halaman

ii

iii

iv

POTENSI PENGEMBANGAN EOR UNTUK PENINGKATAN


PRODUKSI MINYAK INDONESIA

Usman 91 - 102

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI EVALUASI LAHAN MIGAS


DI CEKUNGAN KUTEI ATAS BAGIAN UTARA

Suliantara 103 - 112

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA QUARTERED FIVE SPOT


PADA RESERVOIR MINYAK

Edward ML Tobing

EFEK BERAT MOLEKUL POLIETILEN GLIKOL (PEG) PADA MEMBRAN


SOLULOSA ASETAT TERHADAP SELEKTIFITAS PEMISAHAN GAS CO2/CH4
Anda Lucia dan Adiwar

113 - 120

121 - 124

PEMODELAN SKUESTRASI GAS CO2 PADA SALINE AQUIFER DENGAN


MEKANISME PERUBAHAN FASE DAN ALTERASI MINERAL
Septi Anggraeni dan Edward ML Tobing

125 - 138

GAS BUMI UNTUK BAHAN BAKAR GAS DAN BAHAN BAKU PETROKIMIA

A.S. Nasution, Abdul Haris, Morina dan Leni Herlina 139 - 144

PEMILIHAN UMPAN KILANG BERDASARKAN PENDEKATAN


JENIS MINYAK BUMI DAN YIELD DISTILASI

Maizar Rahman, Yuflinawati Away, Baity Hotimah dan Adiwar

EFISIENSI KATALITIK KONVERTER DALAM MENGURANGI EMISI KARBON


MONOKSIDA DAN HIDROKARBON PADA BAHAN BAKAR BENSIN 88
Maymuchar dan Dimitri Rulianto

145 - 150

153 - 158

OKSIDASI KATALITIK KARBON MONOKSIDA PADA KATALIS PT-ZEOLIT


ALAM BERPROMOTOR SERIUM

Chairil Anwar dan Maizar Rahman 159 - 164

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR BERTITIK NYALA


55oC DAN 52oC PADA MULTICLYNDER TESH BENCH

Emi Yuliarita 165 - 173

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR TENAGA


DALAM SISTEM HIDROLIK TERTUTUP

Rona Malam Karina 175 - 181

ii

PENGANTAR
Pembaca yang Budiman,
Lembaran Publikasi LEMIGAS Volume 45 No. 2 Agustus 2011 berubah nama menjadi Lembaran
Publikasi Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan persyaratan Akreditasi Ulang oleh LIPI yang
mengharuskan nama Jurnal Ilmiah tidak identik dengan nama Instansi yang menerbitkan.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi mempunyai peranan penting dalam penyebaran
informasi hasil-hasil penelitian dan kajian migas bagi masyarakat dunia ilmu pengetahuan dan industri
migas di Indonesia.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Volume 45, No.2, Agustus 2011 menyajikan beberapa
tulisan hasil studi dan penelitian, yakni:
1. Potensi Pengembangan EOR untuk Peningkatan Produksi Minyak Indonesia; 2. Geologi
Penginderaan Jauh dalam Studi Evaluasi Lahan Migas di CekunganKutei Atas Bagian Utara; 3.
Injeksi Surfaktan Polimer dengan Pola Quartered Spot pada Reservoir Minyak; 4. Efek Berat Molekul
Polietilen Glikol (PEG) pada Membran Selulosa Asetat terhadap Selektifitas Pemisahan Gas CO2/
CH4; 5. Pemodelan Sekuestrasi Gas CO2 pada Saline Aquifer dengan Mekanisme Perubahan Fase dan
Alterasi Mineral; 6. Gas ALam untuk Bahan Bakar Gas dan Bahan Baku Petrokimia; 7. Pemilihan
Umpan Kilang Berdasarkan Pendekatan Jenis Minyak Bumi dan Yield Distilasi; 8. Efisiensi Katalitik
Konventer dalam Mengurangi Emisi Karbon Monooksida dan Hidrokarbon pada Bahan Bakar Bensin
88; 9. Oksidasi Katalitik Karbon Monoksida pada Katalis Pt-Zeolit Alam Berpromotor Serium; 10.
Pengujian Kinerja Terbatas Minyak Solar Bertitik Nyala 55oC dan 52oC pada Multicylinder Test
Bench; 11. Fluida Incompressible sebagai Penyelur Tenaga dalam Sistem Hidrolik Tertutup.
Tim Redaksi berharap Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi edisi Agustus 2011 ini
bisa menjadi rujukan bagi para penulis/peneliti. Oleh karena itu saran dan masukan pembaca
sangat diharapkan untuk lebih sempurnanya terbitan Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi
berikutnya.

Dewan redaksi dan dewan penerbit, serta penanggung jawab majalah Lembaran Publikasi
Minyak dan Gas Bumi mengucapkan terima kasih kepada para penulis, penelaah dan penyunting
yang telah bekerja keras hingga terbitnya majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi
edisi ini.

Jakarta, Agustus 2011

Redaksi

iii

LEMBAR SARI DAN ABSTRACT


Terbit: ISSN : 0125 - 9644

Terbit : Agustus

Kata Kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembaran Abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya.

Usman (Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan


Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Lemigas)
Potensi Pengembangan EOR untuk Peningkatan
Produksi Minyak Indonesia
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 91 - 102
SARI
Basis data cadangan minyak dan gas bumi yang
dikelola LEMIGAS menunjukkan bahwa sekitar
62% dari isi awal minyak ditempat masih tertinggal
dalam reservoar setelah pengurasan primer dan
sekunder. Jumlah terbesar dari potensi enhanced
oil recovery (EOR) tersebut berada di wilayah
Sumatera Tengan dan Selatan. Dominan dari potensi
ini merupakan kandidat aplikasi EOR injeksi kimia
dan CO2. Sebagian kecil saja dari minyak ini dapat
diproduksi akan memberi kontribusi yang berarti
dalam meningkatkan produksi minyak Indonesia di
masa mendatang. Implementasi EOR adalah proses
yang kompleks dan setiap reservoar memerlukan
spesifik operasi dan fluida injeksi. Oleh karena
itu, proses evaluasi dan pengembangan proyek
EOR perlu dilakukan sistimatis dan bertahap dari
seleksi, evaluasi, uji coba hingga tahap aplikasi
di lapangan. Berbagai inovasi teknologi telah
dikembangkan untuk menghasilkan perbaikan dalam
proses EOR. Paper ini menguraikan potensi EOR
Indonesia serta sebarannya dan bidang riset yang
perlu dikembangkan LEMIGAS untuk mendukung
aplikasi EOR secara komersial di Indonesia. Sepintas
deskripsi mengenai teknologi EOR juga disertakan
dalam paper ini.
Kata kunci: LEMIGAS, produksi minyak Indonesia,
teknologi EOR, potensi EOR Indonesia.

iv

ABSTRACT
The oil and gas reserves database maintained
by LEMIGAS indicates that 62% of the original oil
in-place (OOIP) still remain in the reservoirs after
primary and secondary recoveries. A considerable
portion of this EOR target located in reservoirs in
Central and South Sumatera. Most of which are
suitable for chemical and CO2 EOR applications.
Recovering even a small fraction of this oil will be an
important contribution on efforts increasing the future
of Indonesia oil production. EOR Implementation
is complex and successful applications need to
be tailored to each specific reservoir. Therefore,
a systematic, staged evaluation and development
process is required to screen, evaluate, pilot test, and
apply EOR processes for particular applications.
Various technological innovations developed that
provide improved EOR process. This paper describes
Indonesias EOR potential and their distribution
and area of research that needs to be developed by
LEMIGAS to support commercial EOR application
in Indonesia. A brief description of EOR technologies
is also included in this paper.
Author
Keywords: LEMIGAS, Indonesia oil production,
EOR technology, Indonesia EOR potensial.

Suliantara Perekayasa (Madya pada Pusat Penelitian


dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Lemigas)
Geologi Penginderaan Jauh dalam Studi Evaluasi
Lahan Migas di Cekungan Kutei Atas Bagian
Utara
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 103 - 112
Sari
Cekungan Kutei Atas Bagian utara terletak di
Hulu Sungai Mahakam, Hulu Sungai Sangata, Su
ngai Bungalon, dan Sungai Marah Kalimantan Timur.
Kegiatan eksplorasi migas telah banyak dilakukan
akan tetapi belum menemukan cadangan yang signifikan.Studi ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
geologi permukaan, digunakan beberapa jenis citra
satelit, yaitu citra PALSAR, Citra Landsat, dan Citra
SRTM. Perangkat lunak pengolah citra professional
Envi 4.0 dan ERMapper 7.0 diaplikasikan atas data
citra sehingga menghasilkan citra yang memberikan
informasi kondisi geologi. Hasil pengolahan ketiga
citra yang mampu memberikan informasi kondisi geologi daerah kajian dikelola dalam basis data sistem
informasi geografi (SIG) dengan sistem koordinat
WGS84. Interpretasi secara simultan terhadap
data citra tersebut menghasilkan informasi geologi
yang berupa satuan batuan dan struktur geologi pada
perangkat lunak Map Info.Interpretasi geologi daerah
kajian menghasilkan peta geologi penginderaan jauh,
yang memperlihatkan dua puluh empat (24) satuan
batuan, struktur lipatan yang berarah relatif utara
selatan, dan sesar yang berarah relatif baratlaut
tenggara dan utara selatan. Daerah Muara Wahau
Muara Marah dan Daerah Ritan Muara Bengkal
berpotensi untuk eksplorasi migas lanjut. Kombinasi
citra satelit PALSAR, SRTM, dan Landsat mampu
meningkatkan perolehan informasi geologi dalam
kegiatan Kajian Evaluasi Lahan Migas di Cekungan
Kutei Atas Bagian Utara.
Kata kunci : Evaluasi Lahan Migas,Cekungan Kutei
Atas, Palsar, SRTM, Landsat

Abstract
The North Upper Kutei Basin is located within
the Upper Mahakam River, Upper Sangata River,
Bungalon River, and Marah River, east Kalimantan.
Oil and Gas exploration have been conducted in
the area, unfortunately a significant oil and gas
reserve has not discovered yet. This study is aimed
to uncover surface geology using various types of
remote sensing data are used, i.e.: PALSAR data,
Landsat data, and SRTM data. The professional
image processing software of Envi 4.0 and ERMapper
7.0 are applied to the remote sensing data hence
reveals well inform imagery of geologic condition.
Those processed imageries that well informed of the
geological informations were managed in geographic
information system (GIS) platform on the coordinate
system WGS84. Interpretation was conducted
simultaneously over those imageries using Map Info
Software. Geological interpretation reveals twenty
four (24) lithological units, consisting folding that
relatively trend to North South, and faults that trend
to Northwest Southeast and North South. Muara
Wahau Muara Marah areas and Ritan Muara
Bengkal areas are suggested as potential areas
for next exploration activities. Combination of the
PALSAR, SRTM, and Landsat imageries increase the
information of surface geology mapping with New
Venture Evaluation in North Upper Kutei Basin.
Author
Keywords: New Venture Evaluation, Satellite
Imagery, Kutei Basin, SRTM, Landsat

Edward ML Tobing (Peneliti Madya pada Pusat


Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi Lemigas)
Injeksi Surfaktan Polimer dengan Pola Quartered
Five Spot pada Reservoir Minyak
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 113 - 120
SARI
Hasil screening metoda Enhanced Oil Recovery
(EOR) pada reservoir minyak Q menunjukkan
bahwa metoda EOR yang cocok diterapkan adalah
injeksi kimia surfaktan-polimer. Uji terhadap air
formasi, minyak, surfaktan dan polimer, serta
penentuan campuran surfaktan-polimer untuk injeksi
pada reservoir tersebut telah dilakukan. Campuran
konsentrasi optimum yang diperoleh terdiri atas
0.005 % berat surfaktan dan 0.05 % berat polimer.
Pemodelan simulasi injeksi surfaktan-polimer ke
dalam reservoir minyak dengan pola quartered
five spot telah dilakukan menggunakan simulator
injeksi kimia tiga dimensi UTCHEM. Model tersebut
digunakan untuk mengetahui pengaruh injeksi
surfaktan-polimer tersebut terhadap peningkatan
perolehan minyak. Dengan menggunakan konsentrasi
surfaktan-polimer tersebut di atas, yang kemudian
dinyatakan sebagai base case dengan rancangan
urutan injeksi terdiri atas 0.65 PV air formasi yang
dilanjutkan dengan 0.4 PV Surfaktan-Polimer dan
kembali dilakukan injeksi 1.45 PV air formasi, dan
menghasilkan kumulatif perolehan minyak sebesar
79.52 % OOIP. Berdasarkan model base case tersebut,
selanjutnya dilakukan uji sensitivitas perolehan
minyak terhadap parameter volume kumulatif injeksi
air dan surfaktan-polimer, konsentrasi surfaktan dan
polimer. Dari hasil uji sensitivitas, kemudian dipilih
dari ketiga parameter tersebut yang optimum dan
menghasilkan kumulatif perolehan minyak sebesar
85.1 % OOIP.
Kata kunci : injeksi surfaktan polimer, quartered
five spot

vi

ABSTRACT
Screening Enhanced Oil Recovery (EOR)
method test results show that the best method for
oil reservoir Q is surfactant polimer injection.
Analysis of water, oil, surfactant, and polimer
were performed as well as determination of the
injected surfactant-polimer mixture. The optimum
mixture concentration contained 0.005 percentage of
surfactant and 0.05 percentage of polymer. Simulation
model of surfactant-polymer injection with quarted
inverted five spot pattern has been developed by using
3-Dimension chemical injection UTCHEM simulator
prior to investigate effect of surfactant-polymer
injection to the oil recovery. By using optimum
mixture concentration as base case, the procedure of
injection has been designed as following sequence,
at first inject with 0.65 PV formation water then
continue with 0.4 PV surfactant polimer, finally inject
with 1.45 PV water formation resulted cummulative
oil recovery valued 79.52% of OOIP. Based on base
case model, sensitivity tests regarding oil recovery
were run three parameters which were toward
cummulative volume water and surfactant-polimer
injection, surfactant concentration and also polimer
concentration. The results show the optimum three
parameters that produced cumulative oil recovery
value at 85.1 % OOIP.
Author
Keywords: surfaktan polimer injection, quartered
five spot

Anda Lucia1) dan Adiwar2) (Pengkaji Teknologi1),


Peneliti Madya 2) pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Lemigas)
Efek Berat Molekul Polietilen Glikol (PEG) pada
Membran Selulosa Asetat terhadap Selektifitas
Pemisahan Gas CO2/CH4
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 121 - 124
Sari
Pemisahan gas CO2 pada gas alam telah dilakukan
dengan distilasi kriogenik dan adsorpsi. Namun
belakangan ini, proses pemisahan CO2 menggunakan
membran menunjukan cukup berpotensi dikarenakan
kesederhanaannya, mudah dikontrol, kompak, murah
dan pemakaian energi yang sedikit. Penggunaan
membran dengan fasilitas perpindahan lebih menarik
perhatian seperti membran dengan pembawa tetap
(fixed carrier) karena mempunyai kelebihan yaitu
disamping daya tahan yang cukup baik, juga dapat
ditingkatkannya permeabilitas dan selektifitas
membran terhadap pemisahan gas diakibatkan
reaksi reversible antara pembawa dalam membran.
Penelitian ini diarahkan pada pemakaian PEG dengan
berbagai berat molekul sebagai pembawa tetap dan
bertujuan untuk mengetahui pengaruh berat molekul
PEG terhadap selektifitas pemisahan. Membran
dengan pembawa PEG dapat menghasilkan laju
permeasi sebesar 2.55 x 106 cm3 (STP) cm-2 s-1 cm
Hg pada tekanan 20 psi.
Kata Kunci : karbon dioksida, membane fixed
carrier, PEG, gas alam
Abstract
Separation of CO2 in natural gas is commercially
accomplished by cryogenic distillation and
absorption. Membrane separation nevertheless
lately shows potential for CO2 separation process
because of its inherent simplicity, ease of control,
compact modular nature, lower cost and energy
efficiency. Gas separation using facilitated transport
membrane has been further more attracting attention
because of reversible reaction between the carriers
in membrane. This research is focused on composing
membrane fixed carrier in which cellulose acetate
is used as based polymer and PEG as a carrier
with various molecule weight. The objective of this

research is to know effect of molecule weight of PEG


to separation seletivity. The membrane with PEG 400
displayed a CO2 permeance of 2.55 x 106 cm3 (STP)
cm-2 s-1 cm Hg at 20 psi.
Author
Keywords : carbon dioxide, facilitated transport,
membrane fixed carrier, natural gas
Septi Anggraeni 1) , dan Edward ML Tobing 2)
(Perekayasa Madya 1), Peneliti Madya 2) pada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan
Gas Bumi Lemigas)
Pemodelan Sekuestrasi Gas CO2 pada Saline
Aquifer dengan Mekanisme Perubahan Fase dan
Alterasi Mineral
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 125 - 138
SARI
Salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk
mengatasi terbuangnya emisi gas CO2 ke atmosfir
bumi dari industri yang menggunakan bahan bakar
fosil adalah Carbon Capture and Storage (CCS).
Dengan teknologi ini emisi gas CO2 dapat dipisahkan,
disalurkan dan kemudian diinjeksikan ke tempat
penyimpanan (sekuestrasi) di formasi geologi, atau
dalam rangka penerapan Enhanced Oil Recovery
(EOR) untuk meningkatkan produksi dari reservoir
minyak pada tahap tersier. Emisi gas CO2 tersebut
dapat juga disimpan pada depleted reservoir gas,
lapisan batubara atau saline aquifer (reservoir air
bersalinitas tinggi). Sebagai tempat penyimpanan
gas CO 2, saline aquifer dianggap cukup aman
karena dengan berjalannya waktu, maka gas CO2
yang larut dalam air garam akan mengalami proses
mineralisasi dan pengendapan. Di dalam reservoir
saline aquifer, mekanisme penyimpanan gas CO2
terdiri atas tiga tahap yaitu pada tahap pertama,
gas CO2 akan disimpan sebagai gas atau fluida
supercritical pada reservoir yang mempunyai lapisan
tidak permeabel sebagai lapisan penutup (cap rock).
Pada tahap kedua, gas CO2 akan larut ke dalam air
yang mengakibatkan perubahan sifat kebasaan air
dan memengaruhi kelarutan mineral yang terkandung
dalam batuan. Dan tahap ketiga, gas CO 2 akan
berinteraksi dengan mineral yang terkandung dalam
batuan dan menghasilkan mineral baru yang dapat

vii

menyimpan gas CO2. Pemodelan simulasi sekuestrasi


gas CO2 pada saline aquifer berbentuk radial satu
dimensi telah dilakukan dengan menggunakan
simulator ToughReact yang dapat merepresentasikan
mekanisme penyimpanan gas CO2 tersebut diatas dan
memperkirakan kapasitas atau kemampuan reservoir
menyimpan gas CO2. Selain itu dapat diketahui
penyebaran distribusi saturasi gas CO2, perubahan
pH yang mengakibatkan proses geokimia antara gas
CO2 dengan mineral dalam batuan pasir serta mineral
yang terbentuk dari proses geokimia, dan perubahan
porositas akibat perubahan mineral. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa potensi gas CO2 yang dapat
tersekuestrasi secara permanen pada saline aquifer
untuk laju alir injeksi sebesar 90 kg/detik, 140 kg/
detik dan 190 kg/detik selama 10 tahun masing
masing sebesar 28.4 juta ton, 44.2 juta ton, dan 60.0
juta ton CO2.
Kata kunci : Sekuestrasi gas CO2, saline aquifer,
perubahan fase, altrasi mineral
ABSTRACT
Carbon Captured Storage, recently has been
known as one of significant means to reduce gas
CO2 emission in the atmosfere produced from fossil
energy consumption. In the CCS technology, the
gas CO2 is separated, transported and then injected
into storage location such as: geological formation
such as: depleted oil or gas reservoir, saline aquifer
and coal seams. Injection of CO2 into depleted
oil or gas reservoir can be used to enhanced oil
recovery. Saline aquifer as CO2 storage location
is considered to be safe because gas CO2 will be
dissolved into saline water then gas CO2 will be
reacted with the native rock mineral to precipitate
and create mineral trapping. In the reservoir of
saline aquifer, gas CO2 will be retained in three
mechanisms. First, gas CO2 will be trapped as gas
or supercritical fluid under a low permeability cap
rock. Second, gas CO2 can dissolved into saline
water that changed the acidity of water and affects
the solubility of minerals. Third, gas CO2 can react
with mineral of native reservoir rock leading to the
precipitation of secondary mineral that trap gas CO2.
CO2 sequestration simulation modelling in the saline
aquifer was performed by developing 1-Dimension
radial model using ThoughReact simulator prior to
determining the storage capacity of reservoir. The
ThoughReact simulator has ability to model all of the
viii

three mechnism and calculate the storage capacity of


each mechnism. Furthermore, the results also show
the distribution of gas saturation, the change of pH
value, and the evaluation of geochemical reaction of
CO2 with native minerals. The results indicate that
the amount of CO2 stored in aquifer for rate injection
at value of 90 kg/sec, 140 kg/sec, and 190 kg/sec are
28.4 million tones, 44.2 million tones and 60.0 million
tones, respectively for 10 years.
Author
Keywords: Sequestration of gas CO2, saline aquifer,
phase change, minerals alteration.
A.S. Nasution1), Abdul Haris2), Morina2) dan Leni
Herlina2) (Komplek LEMIGAS1), Perekayasa Muda2)
pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Minyak dan Gas Bumi Lemigas)
Gas Bumi untuk Bahan Bakar Gas dan Bahan
Baku Petrokimia
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 139 - 144
SARI
Gas Bumi adalah suatu campuran gas hidrokarbon
yang dipakai baik sebagai bahan bakar gas maupun
dapat dikonversi menjadi produk petrokimia, bahan
bakar minyak sintetik dan bahan dasar pelumas
sintetik. Pemakaian gas alam untuk bahan bakar gas,
bahan baku untuk industri petrokimia, bahan bakar
minyak sintetik dan bahan dasar pelumas disajikan
pada makalah ini.
Kata kunci: bahan bakar gas, industri petrokimia,
bahan bakar minyak sintetik dan bahan dasar pelumas
sintetik.
ABSTRACT
Natural gas is a mixture of gaseous hydrocarbons
which can be used as fuel gas and also its conversion
into petrochemical, synthetic fuel oils and synthetic
lube base stock. Aplication natural Gas for compressed
natural gas, raw materials of petrochemical industry,
synthetic fuel oils and synthetic lube base stock are
briefly discussed.
Author
Keywords: compressed natural gas, petrochemical
industry, syntetic fuel oils and synthetic lube base
stock.

Maizar Rahman 1) , Yuflinawati Away 2) , Baity


Hotimah3), dan Adiwar4) (Peneliti Utama1), Perekayasa
Madya2), Peneliti Pertama3), Peneliti Madya4) pada
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Minyak dan Gas Bumi Lemigas)
Pemilihan Umpan Kilang Berdasarkan Pendekatan
Jenis Minyak Bumi dan Yield Distilasi
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 145 - 150
SARI
Lemigas sebagai Litbang lewat program Evaluasi
Mutu Minyak Bumi telah menginventarisasi jenis
dan karakter minyak bumi Indonesia. Data jenis dan
karakter minyak bumi Indonesia ini telah disajikan
dalam Buku Minyak Bumi Indonesia edisi 1 sampai 4
dan Pangkalan Data Minyak Bumi Indonesia versi 1
sampai 3. Beberapa program atau pendekatan seperti
Crude Oil Blending dan Crude Oil Grading telah
disusun untuk memanfaatkan data jenis dan karakter
minyak bumi Indonesia tersebut. Dalam makalah
ini dikemukakan suatu cara pemilihan minyak bumi
substitusi umpan kilang sebagai pengganti minyak
bumi umpan disain kilang. Cara pemilihan ini
dilakukan lewat pendekatan jenis minyak bumi dan
perolehan distilasi. Pendekatan lewat jenis minyak
bumi dilakukan untuk mendapatkan sifat produk
minyak bumi yang dihasilkan sama atau lebih baik
dari sifat produk yang dihasilkan umpan disain
kilang. Pendekatan lewat yield distilasi dilakukan
untuk mendapatkan perolehan produk bumi yang
dihasilkan sama atau mendekati perolehan produk
yang dihasilkan umpan disain kilang. Pemilihan
minyak bumi baik dalam bentuk individual atau
dalam bentuk blending sebagai pengganti minyak
bumi Katapa dari sejumlah minyak bumi, yang
dikemukakan dalam makalah ini sebagai contoh
kasus menghasilkan dua minyak bumi individual
dan satu minyak bumi blending yang dapat dipakai
sebagai pengganti minyak bumi Katapa.
Kata kunci: umpan kilang, substitusi umpan, jenis
minyak bumi, perolehan distilasi.

ABSTRACT
Lemigas as an R&D Institute, through Crude
Oil Assay Program has evaluated many Indonesian
crude oils. Data concerning the type and the
characteristics of Indonesian crude oils have been
presented in Indonesian Crude Oils Book 1st edition
up to 4th edition and in Indonesian Crude Oils Data
Base 1st version up to 3rd version. Some programs
such as Crude Oil Blending and Crude Oil Grading
have been developed to exploit data of the type and
characteristics of the Indonesian crude oils. In the
paper, a selection technique is presented to choose a
refinery substitute feed stock as an alternative for the
refinery design feed stock. The technique is carried
out through crude oil type and distillation yield
approach. Approach through crude oil type is taken
to ensure that the properties of the products produced
by the refinery substitute feed stock is the same or
better than the properties of the products produced
by the refinery design feed stock. Approach through
distillation yield is taken to ensure that the product
yield produced by the refinery substitute feed stock
is the same or close to the product yield produced by
the refinery design feed stock.The selection of crude
oils either in the form of individual crude oil or in
the form of blending of crude oils as a substitute for
Katapa crude oil, selected from a number of crude
oils, presented in the paper as a case study, produced
two individual crude oils and one crude oil blending
that are suitable to be used for the substitute of
Katapa crude oil.
Author
Keywords: refinery feed stock, substitute feed, crude
oil type, distillation yield

ix

Maymuchar 1), dan Dimitri Rulianto 2) ( 1)Peneliti


Muda, Calon Peneliti2) , pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
LEMIGAS)
Efisiensi Katalitik Konverter dalam Mengurangi
Emisi Karbon Monoksida dan Hidrokarbon pada
Bahan Bakar Bensin 88
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 153 - 158
Sari
Karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC)
merupakan sebagian dari gas buang produk dari
proses pembakaran pada mesin kendaraan. Salah
satu usaha untuk mengurangi gas buang ini adalah
dengan menggunakan teknologi aftertreatment.
Teknologi aftertreatment pada kendaraan berbahan
bakar bensin adalah katalitik konverter. Proses
oksidasi yang terjadi pada katalitik konverter akan
mengubah sebagian CO dan HC menjadi CO 2.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui effisiensi
katalitik konverter pada kendaraan yang berbahan
bakar bensin 88 tanpa timbal. Pengukuran emisi gas
buang dilakukan sebelum uji jalan (0 km), setiap
2.500 km sampai 10.000 km. Effisiensi katalitik
konverter dalam menurunkan emisi CO sebesar
31,4% pada jarak tempuh 0 km dan menurun menjadi
25,9% pada jarak tempuh 10.000 km. Sedangkan
effisiensi katalitik konverter dalam menurunkan
emisi HC sebesar 29,9% pada jarak tempuh 0 km dan
menurun menjadi 13,2% pada jarak tempuh 10.000
km. Kandungan sulfur dan timbal serta teknologi
mesin menjadi faktor mempercepat turunnya efisiensi
katalitik konverter.
Kata kunci: katalitik konverter, effisiensi, emisi CO
dan HC, bensin 88
Abstract
Carbonmonooxide (CO) and unburn hydrocarbon
(HC) is part of the vehicle emission. One of the
attempts to reduce the emission is by using the
aftertreatment technology. The aftertreatment
technology in the gasoline vehicles is called a
catalytic converter. The oxidation process in the
catalytic converter changes part of CO and HC into
CO2. This research aims to find out the catalytic
converter efficiency on the vehicles which use 88
unleaded gasoline. The emission measurement is
carried out at before the road test (0 km), at every
2.500 km up to 10.000 km. The catalytic converter
efficiency in reducing CO emission is 31,4% at 0

km mileage and decreases to 25,9% at the 10.000


km mileage. The catalytic converter efficiency in
reducing HC emission is 29,9% at 0 km mileage
and decreases to 13,2% at the 10.000 km mileage.
Sulphur and lead content on gasoline, as well as
engine technology are the factors that accelerate the
decreasing catalytic converter efficiency.
Author
Keywords: catalytic converter, efficiency, CO and
HC emission, gasoline 88
Chairil Anwar 1) dan Maizar Rahman 2) (Peneliti
Madya1), Peneliti Utama2), pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Lemigas)
Oksidasi Katalitik Karbon Monoksida pada
Katalis Pt-Zeolit Alam Berpromotor Serium
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 159 - 164
SARI
Oksidasi katalitik karbon monoksida dilakukan
menggunakan katalis yang dipreparasi dari platina
(Pt) sebagai logam aktif, promotor logam serium
(Ce) dan berpenyangga zeolit alam. Preparasi
katalis dilakukan dengan metode impregnasi basah
secara bertahap dengan variasi konsentrasi Ce dan
urutan impregnasi Ce. Prekursor katalis kemudian
dikalsinasi, direduksi dan dikarakterisasi. Hasil
karakterisasi menggunakan difraktometer sinar-x
menunjukkan adanya perbedaan ukuran partikel
dan ragam spesies logam Pt. Aktivitas katalitik
pada oksidasi karbon monoksida memberikan hasil
konversi terbaik sebesar 99,63 % pada temperatur
700oC.
Kata kunci: katalis, impregnasi, karakterisasi, aktivitas, oksidasi.
ABSTRACT
Catalytic oxidation of carbon monoxide which
is applied on the catalyst prepared using platinum
(Pt) as an active metal, metal promoter cerium (Ce)
and and supported on natural zeolit. Catalyst preparation by gradually wet impregnation method with
the variation of Ce concentration and Ce impregnation sequence. Catalyst precursor in the next step
and then calcined, reduced and characterized. The
characterization results using x-ray diffraction shows
the differences in particle size and variety of metal
species of Pt. Catalytic activity in oxidation of carbon

monoxide showed the best performance of 99.63%


at the test temperature of 700oC.
Author
Keywords: catalyst, wet reimpreganation, characterization, activity.
Emi Yuliarita (Peneliti Muda pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
LEMIGAS)
Pengujian kinerja terbatas Minyak Solar Bertitik
Nyala 55oC dan 52oC pada Multicylinder Test
Bench
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 165 - 173
SARI
Dalam penelitian terdahulu telah dilakukan
pembuatan bahan bakar minyak solar 48 bertitik
nyala 55oC dan 52oC melalui cutting distillation. Dari
hasil analisis sifat-sifat fisika/kimia masing-masing
minyak solar bertitik nyala 55oC dan 52oC yang
didapatkan, dapat memenuhi spesifikasi minyak solar
48 yang di tetapkan pemerintah sesuai dengan surat
keputusa Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006
tanggal 17 Maret 2006. Selanjutnya untuk melihat
kinerja (performance) dari masing-masing bahan
bakar tersebut maka dilakukan pengujian kinerja
terbatas terhadap masing-masing bahan bakar minyak
solar bertitik nyala 55oC dan 52oC pada bangku uji
multisilinder (Multisilinder Test Bench) dengan
menggunakan mesin diesel Isuzu 4JA1) pada tiga
kategori beban. Hasil uji kinerja secara keseluruhan
memperlihatkan bahwa minyak solar bertitik nyala
55 oC dan 52 oC sedikit lebih kecil dari minyak
solar bertitik nyala 60oC. Namun emisi gas buang
kepekatan asap/opasitas minyak solar bertitik nyala
55oC dan 52oC jauh lebih rendah disbanding minyak
solar bertitik nyala 60oC.
Kata Kunci; Uji kinerja, titik nyala, konsumsi bahan
bakar spesifik, daya, minyak solar

ABSTRACT
In previous research, diesel fuel 48 with the
minimum flash points of 55 oC and 52 oC were
manufactured through cutting distillation. The
analysis results of physical/ chemical properties
of each type of diesel fuel showed that they met the
specifications of diesel oil 48 stipulated in the degree
of the director Genaral of Oil and Gas number 3675
K/24/DJM/2006, dated 17 March 2006. Furthermore
in this research, to find out their limited performance,
the fuel are tested on the Multisilinder Test Bench
using Isuzu diesel engine 4JA1 on three expense
categories. Tests results show that the diesel oil 48
with flash points of 55oC and 52oC have slightly
smaller performance than that of the diesel oil 48
with flash point of 60oC. However, the concentrations
of exhaust emission of smoke / opacity of the diesel
oils with flash points of 55oC and 52oC are much
lower than the diesel oil with flash point of 60oC.
Author
Keywords: Test performance, flash point, specific fuel
consumption, power, gas oil

xi

Rona Malam Karina (Peneliti Muda pada Pusat


Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi LEMIGAS)
Fluida Incompressible sebagai Penyalur Tenaga
dalam Sistem Hidrolik Tertutup
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 45
No. 2 Agustus 2011 hal. 175 - 181
SARI
Fluida incompressible adalah cairan yang
penggunaannya sebagai penyalur tenaga dalam
sistem hidrolik karena sifatnya dalam sistem tertutup
seperti dalam sistem bejana berhubungan, yang dapat
juga disebut minyak rem. Kerja sistem rem dari
master silinder ke piston untuk mentransfer energi
mekanis dapat menghasilkan panas akibat gesekan
antara minyak rem dengan permukaan salurannya.
Kondisi tersebut menyebabkan minyak rem harus
memiliki spesifikasi khusus berkaitan dengan
perubahan suhu, yaitu titik didih dan sifatnya yang
tidak berubah drastis pada suhu tinggi. Penelitian ini
bertujuan menghasilkan formula minyak rem DOT 3
untuk kendaraan bermotor menggunakan bahan dasar
dan pelarut kimia dengan perbandingan komposisi
20% dan 80%, serta ditambahkan sedikit aditif.
Hasil yang diperoleh dari analisis karakteristik fisika
kimia serta semi unjuk kerjanya menunjukkan bahwa
dari empat formula yang dirancang terdapat satu
formula yang hasil analisisnya memenuhi syarat
spesifikasi minyak rem DOT 3, yaitu formula FMR
4. Namun, kualitas yang sebenarnya dapat dilihat
dalam uji performa apabila diaplikasikan pada sistem
pengereman kendaraan bermotor.
Kata kunci: Fluida incompressible, minyak rem,
sistem hidrolik, kendaraan bermotor

xii

ABSTRACT
Incompressible fluid is a fluid used to transmit
power in a hydraulic system. Its aplicaability based
on its properties in an enclosed area such as at a
related vessel, and in this case we call it brake
fluid. The operation of the brake system from the
master cylinder to the actuating piston to transfer
mechanical energy produce heat as a result of
friction between the brake fluid with the surface
piping channels and the resulting high pressure
on the brake fluid. This condition result require the
brake fluid to have a appropriate characteristic
facing the change of temperatures, that is the boiling
point and its characteristic should not change at
high temperatures. This research aims to produce
a brake fluid formula equal to DOT 3 for the usage
of automotive vehicles using basic materials and
chemical solvents with the composition 20%
and 80% and some additive added. The result
obtained from physical & chemical characteristic
analysis and performance test showed that from 4
formulas studied FMR 4 formula complies with the
specification of DOT 3 brake fluid. However, the
real quality could be shown from the performance
test when applied to the brake system of automotive
vehicles.
Author
Keywords: Incompressible fluid, brake fluid, hydraulic system, automotive vehicles.

Potensi Pengembangan EOR untuk


Peningkatan Produksi Minyak Indonesia
Usman

Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
upasarai@lemigas.esdm.go.id
Teregistrasi I Tanggal 27 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 28 Juli 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Basis data cadangan minyak dan gas bumi yang dikelola LEMIGAS menunjukkan bahwa
sekitar 62% dari isi awal minyak ditempat masih tertinggal dalam reservoar setelah pengurasan
primer dan sekunder. Jumlah terbesar dari potensi enhanced oil recovery (EOR) tersebut berada
di wilayah Sumatera Tengan dan Selatan. Dominan dari potensi ini merupakan kandidat aplikasi
EOR injeksi kimia dan CO2. Sebagian kecil saja dari minyak ini dapat diproduksi akan memberi
kontribusi yang berarti dalam meningkatkan produksi minyak Indonesia di masa mendatang.
Implementasi EOR adalah proses yang kompleks dan setiap reservoar memerlukan spesifik
operasi dan fluida injeksi. Oleh karena itu, proses evaluasi dan pengembangan proyek EOR
perlu dilakukan sistimatis dan bertahap dari seleksi, evaluasi, uji coba hingga tahap aplikasi di
lapangan. Berbagai inovasi teknologi telah dikembangkan untuk menghasilkan perbaikan dalam
proses EOR. Paper ini menguraikan potensi EOR Indonesia serta sebarannya dan bidang riset yang
perlu dikembangkan LEMIGAS untuk mendukung aplikasi EOR secara komersial di Indonesia.
Sepintas deskripsi mengenai teknologi EOR juga disertakan dalam paper ini.
Kata kunci: LEMIGAS, produksi minyak Indonesia, teknologi EOR, potensi EOR Indonesia.
ABSTRACT
The oil and gas reserves database maintained by LEMIGAS indicates that 62% of the original oil in-place (OOIP) still remain in the reservoirs after primary and secondary recoveries. A
considerable portion of this EOR target is located in reservoirs in Central and South Sumatera.
Most of which are suitable for chemical and CO2 EOR applications. Recovering even a small
fraction of this oil will be an important contribution on the future of Indonesia oil production.
EOR Implementation is complex and successful applications need to be tailored to each specific reservoir. Therefore, a systematic, staged evaluation and development process is required
to screen, evaluate, pilot test, and apply EOR processes for particular applications. Various
technological innovations developed that provide improved EOR process. This paper describes
Indonesias EOR potential and their distribution and area of research that needs to be developed
by LEMIGAS to support commercial EOR application in Indonesia. A brief description of EOR
technologies is also included in this paper.
Keywords: LEMIGAS, Indonesia oil production, EOR technology, Indonesia EOR potensial.
I. PENDAHULUAN
Cadangan minyak terbukti Indonesia per 1
Januari 2010 diperkirakan sebesar 4230 MMstb(28).
Produksi rata-rata tahun 2009 adalah 348 MMstb.

Dengan asumsi tidak ada penambahan cadangan baru,


maka jumlah cadangan yang ada akan habis dalam
dua belas tahun ke depan. Penambahan cadangan
bisa karena ada penemuan lapangan minyak baru,
91

Potensi Pengembangan EOR

Usman

perubahan status cadangan mungkin dan harapan


menjadi cadangan terbukti karena penambahan data,
dan atau karena keberhasilan implementasi teknologi
pengurasan tahap lanjut atau EOR.
Dalam pengurasan sumber daya tak terbarukan
seperti minyak berlaku kaidah dasar yang diperkenalkan oleh King Hubbert pada era tahun lima
puluhan bahwa produksi akan beranjak naik seiring
dengan waktu sampai titik tertinggi yang bisa dicapai. Selanjutnya produksi akan turun hingga sumber
daya tersebut habis. Produksi minyak Indonesia yang
telah berlangsung hampir satu seperempat abad sejak
pemboran discovery pertama melalui sumur Telaga
Tunggal Nomor 1 tahun 1885 di wilayah konsesi
Telaga Said, Tanjung Pura, Sumatera Utara(5) juga
mengikuti siklus Hubbert. Selama kurun waktu
tersebut, produksi minyak Indonesia telah mengalami
siklus Hubbert sebanyak dua kali seperti terlihat pada
Gambar 1(28). Puncak produksi terjadi tahun 1977
dan 1995. Puncak produksi tahun 1977 merupakan
produksi tertinggi dari pengurasan primer. Sedangkan
puncak produksi tahun 1995 adalah hasil aplikasi metode EOR dengan injeksi uap panas (steam) di lapa

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

ngan Duri. Pengembangan skala lapangan proyek ini


dimulai tahun 1985. Puncak produksi dicapai tahun
1995 sampai dengan 1999 yang tergambar pada profil
produksi minyak dari Operator lapangan Duri.
Dari tahun 1995 hingga 2010, produksi minyak
Indonesia terus menurun. Mulai tahun 2007, laju
penurunan dapat dikurangi karena ada kontribusi
dari lapangan baru yaitu Banyu Urip. Gambar 1 me
ngindikasikan bahwa untuk meningkatkan produksi
minyak Indonesia atau untuk mendapatkan siklus
Hubbert yang ketiga hanya dimungkinkan dengan
penerapan teknologi EOR secara masif dan atau
ada penemuan lapangan minyak baru yang cukup
besar.
Paper ini menguraikan potensi EOR Indonesia
serta sebarannya dan bidang riset yang perlu dikembangkan LEMIGAS untuk mendukung aplikasi
EOR secara komersial di Indonesia. Potensi EOR
Indonesia diperkirakan berdasarkan selisih isi minyak
awal dengan pengambilan maksimum yang bisa di
peroleh secara ekonomis berdasarkan teknologi yang
digunakan saat ini. Usulan bidang riset didasarkan
atas kapabilitas yang dimiliki LEMIGAS dan hasil

Gambar 1
Perkembangan produksi minyak Indonesia(28)

92

Potensi Pengembangan EOR

Usman

identifikasi teknologi EOR yang dibutuhkan untuk


mengembangkan potensi EOR yang ada.
II. TEKNOLOGI EOR
Metode EOR diklasifikasikan dalam empat ka
tegori utama yaitu pendesakan injeksi kimia (chemical flooding), injeksi gas tercampur (miscible gas injection), metode panas (thermal), dan proses lainnya
misal dengan bantuan mikroba (microbial). Keempat
kategori utama dan subkategorinya ditampilkan pada
Gambar 2. Semua teknologi tersebut pada dasarnya
berusaha memanipulasi parameter-parameter dalam
persamaan Darcy, yang dinyatakan dengan Persamaan (1) untuk sistem linier horizontal, multi-fase:

A p
x
r

......... (1)

Misal, injeksi surfaktan untuk memanipulasi


permeabilitas relatif dengan cara mengurangi saturasi residual minyak. Injeksi polimer dimaksudkan
memperbaiki area pengurasan di reservoar. Injeksi
gas yang bercampur dengan minyak atau uap panas
akan mengurangi viskositas minyak. Semua rekayasa
tersebut di atas bermuara pada peningkatan laju alir
minyak dan present value cadangan minyak tersebut. Berikut akan dibahas bagaimana merekayasa
parameter-parameter dalam persamaan Darcy untuk
mendapatkan laju alir minyak yang optimal.
A. Injeksi Kimia
Kemikal yang banyak digunakan selama ini
adalah polimer, surfaktan, dan alkalin atau perpa
duan dua atau tiga bahan kimia tersebut. Pada injeksi
polimer, tipikal larutan hydrolized polyacrylamide
dengan air formasi pada konsentrasi beberapa ratus
hingga ribuan ppm polimer diinjeksikan untuk mendorong minyak ke sumur-sumur produksi. Ukuran
slug polimer bervariasi dengan kisaran 50 hingga
100% pore volume (PV). Larutan dengan konsentrasi
polimer tinggi diinjeksikan terlebih dahulu selama
kurun waktu tertentu, kemudian diikuti oleh beberapa
slugs konsentrasi rendah, dan terakhir dengan injeksi
air formasi.
Larutan polimer didesain agar pendesakan favorable sehingga proses penyapuan minyak di reservoar
berlangsung homogen seperti ilustrasi pada Gambar
3. Pada injeksi air, jika pendesakan unfavorable, air
cenderung menerobos ke sumur produksi meninggalkan banyak minyak yang tidak terdesak. Kecen

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

derungan ini semakin kuat pada reservoar dengan


heterogenitas geologi tinggi.
Mekanisme utama yang berperan dalam peningkatan produksi minyak pada injeksi polimer adalah
terjadinya peningkatan efisiensi penyapuan makroskopik hasil reduksi mobilitas larutan polimer menjadi kurang dari mobilitas minyak-air yang didesak.
Peningkatan efisiensi penyapuan akan memperbesar parameter A dalam persamaan Darcy. Reduksi
mobilitas terjadi karena dua hal. Pertama, larutan
polimer mempunyai viskositas lebih besar dari air.
Kedua, polyacrylamide dengan ukuran molekul yang
besar akan terjerap pada permukaan porous media
menyebabkan penurunan efektif permeabilitas porous
media tersebut.
Penggunaan surfaktan dalam proses injeksi
kimia bertujuan mengurangi tegangan antar muka
atau inter-facial tension (IFT) antara fluida injeksi
dengan minyak. Efek IFT terhadap perolehan minyak
ditunjukkan pada Gambar 4, dimana saturasi residual
minyak (Sor) fungsi dari bilangan kapiler (Nc)(24).
Bilangan kapiler didefinisikan:

Nc =

v w

ow

......... (2)

di mana mw adalah kecepatan interstisial, sow adalah


viskositas fluida pendesak, dan sow adalah IFT antara
fluida yang didesak dengan fluida pendesak. IFT
harus diturunkan dari kisaran 10 hingga 30 dyne/cm
pada tipikal injeksi air menjadi kurang dari 10-3 dyne/
cm untuk mendapatkan penurunan saturasi residual
minyak setelah injeksi air yang signifikan(6). Menurunkan saturasi residual minyak ke angka yang sangat
kecil Sor akan merubah kurva permeabilitas relatif
minyak seperti ilustrasi dengan garis putus-putus
pada Gambar 5(15). Perubahan ini akan memperbaiki
harga kro dalam Persamaan (1) sehingga secara teoritis akan memperbesar laju produksi minyak. Untuk
meningkatkan efisiensi pendesakan volumetrik, injeksi larutan surfaktan umumnya diikuti oleh injeksi
larutan polimer. Proses ini dikenal sebagai injeksi
misel-polimer atau surfaktan-polimer.
Pada injeksi alkalin, sistem larutan kimia dengan
pH tinggi diinjeksikan ke dalam reservoar. Umumnya diterapkan pada reservoar minyak bersifat asam
(petroleum acids)(6). Alkalin injeksi akan bereaksi
dengan fluida reservoar membentuk surfaktan di
dalam reservoar. Surfaktan yang terbentuk akan
93

Potensi Pengembangan EOR

Usman

memberikan efek pengurangan IFT. Perpaduan


alkalin-surfaktan-polimer merupakan variasi lain
dari injeksi kimia.
B. Injeksi Gas Tercampur

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

pendesakan makroskopik. Untuk memperbaiki hal


ini, maka slug CO2 dan air diinjeksi secara bergantian.
Metode ini dikenal sebagai water-alternating-gas
(WAG). Gambar 6 menampilkan ilustrasi proses
WAG. Problem lain terkait CO2 injeksi adalah perbedaan densitas antara CO2 dengan air dan minyak. CO2
yang lebih ringan cenderung bergerak ke bagian atas
reservoar dan mendesak minyak hanya pada bagian
tersebut. Karena alasan ini injeksi CO2 pada beberapa
kasus dilakukan pada top reservoar.

Injeksi gas tercampur adalah proses pendesakan


minyak oleh fluida yang akan bercampur dengan
minyak membentuk satu fase pada kondisi reservoar.
Fluida pendesak yang umum digunakan adalah gas
CO2, N2, LPG, dan flue gas. Parameter penting yang
perlu diketahui pada proses injeksi gas tercampur
C. Injeksi Panas
adalah tekanan pencampuran minimum (MMP). Tekanan ini spesifik untuk setiap reservoar. Pendesakan
Proses pengurasan minyak dengan metode panas
gas tercampur hanya terjadi bila tekanan reservoar
terutama diterapkan pada reservoar yang mengan
di atas MMP. Mekanisme utama yang
bekerja pada injeksi gas tercampur
adalah pengurangan viskositas mi
nyak yang secara teoritis menurut
persamaan Darcy akan memperbesar
laju alir minyak. Mekanisme lain
yang bekerja adalah gas injeksi akan
meningkatkan saturasi minyak. Ilustrasi pada Gambar 5 memperlihatkan
saturasi minyak setelah injeksi air
adalah Sor dimana minyak tidak akan
mengalir karena kro sama dengan nol.
Dengan injeksi gas tercampur akan
diperoleh saturasi minyak di atas Sor.
Ini berarti menggeser titik A ke titik
B pada kurva relatif permeabilitas
yang memungkinkan minyak mengalir. Jika tekanan reservoar di bawah
Gambar 2
tekanan MMP, maka mekanisme
Varian teknologi pengurasan primer, sekunder, dan EOR
yang dominan adalah efek swelling
dari CO 2 yang menyebabkan mi
nyak mengembang. Proses ini juga
akan menyebabkan saturasi minyak
meningkat(15, 20).
CO2 diinjeksi ke dalam reservoar
pada kondisi di atas temperatur kritisnya yaitu 31oC. Viskositas CO2 pada
kondisi injeksi sangat rendah antara
0,06 hingga 0,10 cp tergantung temperatur dan tekanan reservoar(10). Hal
ini menyebabkan mobilitas CO2 jauh
lebih tinggi dibandingkan mobilitas
minyak dan air sehingga cenderung
terjadi fingering (Gambar 2) yang
Gambar 3
mengakibatkan rendahnya efisiensi
Skematik pendesakan dengan larutan polimer

94

Potensi Pengembangan EOR

Usman

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

dung minyak berat dengan viskositas tinggi. Panas


dapat disuplai dari luar reservoar melalui injeksi uap
panas atau air panas atau dapat dibangkitkan dalam
reservoar itu sendiri melalui pembakaran(21). Pada
proses injeksi dari luar, fluida panas diinjeksikan secara kontinyu melalui sejumlah sumur injeksi untuk
mendesak minyak dalam reservoar ke sumur-sumur
produksi. Panas yang dihasilkan akan mengurangi
resistensi aliran dalam reservoar dengan cara menurunkan viskositas minyak. Penurunan viskositas
merupakan mekanisme utama yang menyebabkan
terjadinya peningkatan perolehan. Viskositas minyak
berbanding terbalik dengan laju alir dalam Persamaan
Darcy sehingga penurunan viskositas akan menaikan
laju produksi. Faktor perolehan dapat mencapai 80%
Gambar 4
pada beberapa proyek injeksi uap panas. Peningkatan
Hubungan saturasi residual minyak
yang signifikan bila dibandingan tipikal perolehan
dengan bilangan kapiler(24)
pengurasan primer yang hanya berkisar antara 1
sampai dengan 10%(4).
Injeksi panas dari luar yang banyak dikenal adalah injeksi air panas dan injeksi uap panas. Kedua
fluida injeksi tersebut terutama berperan menurunkan
viskositas minyak sehingga akan memperbaiki mobilitas minyak tersebut. Perbedaan yang signifikan
adalah keberadaan efek kondensasi uap. Keberadaan
fase gas menyebabkan komponen-komponen ringan
hidrokarbon mengalami distilasi dan terbawa bersama
uap sebagai fase gas. Proses distilasi, dilusi, dan stripping memberi kontribusi dalam menghasilkan saturasi residual minyak yang sangat rendah(31). Ketika
uap mengalami kondensasi, komponen hidrokarbon
yang dapat terkondensasi juga mengalami hal yang
sama sehingga akan mengurangi viskositas minyak
Gambar 5
pada zone kondensasi. Kondensasi uap membuat
Ilustrasi mobilisasi saturasi residual minyak setelah
injeksi air(15)
proses pendesakan lebih efisien. Jadi, kombinasi
pengurangan viskositas, peningkatan
permeabilitas relatif, dan perluasan
area penyapuan pada injeksi uap akan
menghasilkan pengurasan minyak
yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan injeksi air panas. Gambar 8
menampilkan ilustrasi proses pendesakan minyak dengan uap panas pada
multi zone reservoar.
Pada metode pembakaran minyak
di reservoar atau in-situ combustion, oksigen diinjeksikan ke dalam
Gambar 6
reservoar, minyak yang ada dalam
Ilisutrasi proses pendesakan dengan water alternating gas
reservoar kemudian dibakar dengan

95

Potensi Pengembangan EOR

Usman

menggunakan electrical igniter. Temperatur pembakaran berkisar antara 650 sampai dengan 1200oF
(343 635oC)(6). Mekanisme yang terjadi pada injeksi
uap juga terjadi pada proses in-situ combustion. Saturasi minyak yang dibakar antara 0,05 hingga 0,12.
Selebihnya akan didesak ke sumur sumur produksi.
Panas yang dihasilkan akan terkonsentrasi pada zone
pembakaran karena kapasitas panas udara sebagai
fluida injeksi terlalu rendah untuk mentransfer panas
secara signifikan. Karena alasan ini, maka air diinjeksikan untuk mentransfer panas dari zone pembakaran
ke zone yang berisi minyak original. Aplikasi in-situ
combustion tidak sebanyak injeksi uap. Teknik ini
terbatas digunakan pada reservoar dalam dan tekanan
tinggi, yaitu lebih dari 3000 ft dan 2500 psi.
Cyclic steam stimulation yaitu stimulasi sumuran
dengan injeksi uap secara berkala juga sering digunakan. Pada metode ini, uap diinjeksikan ke dalam
sumur produksi selama periode tertentu, antara 2
hingga 4 minggu. Selanjutnya sumur ditutup beberapa hari dengan tujuan panas menyebar ke sekitar
lubang sumur. Laju alir minyak saat sumur dipro
duksi kembali akan tinggi karena viskositas minyak
berkurang drastis akibat kenaikan temperatur di
reservoar. Seiring dengan produksi, temperatur akan
menurun karena kehilangan panas secara konveksi
melalui fluida terproduksi dan secara konduksi ke
formasi yang terletak di atas dan di bawah reservoar.
Laju alir minyak akan berkurang hingga mencapai
batas keekonomian. Pada tahap ini, injeksi uap panas

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

dilakukan kembali. Siklus tersebut pada beberapa


reservoar dapat mencapai 20 kali(21). Stimulasi injeksi
uap panas hanya dapat dilakukan bila tenaga alami
reservoar masih cukup besar mendorong minyak
ke sumur-sumur produksi. Metode ini juga menjadi
pilihan pada reservoar yang relatif kecil atau reservoar dengan konektifitas buruk dimana injeksi uap
panas tidak ekonomis karena biaya investasi sumur
sumur baru tidak dapat dikompensasi dari tambahan
minyak yang diperoleh.
D. MEOR dan Vibrasi Seismik
Salah satu teknologi EOR yang tidak memerlukan investasi besar adalah microbial enhanced
oil recovery (MEOR) yaitu penggunaan mikroba
untuk peningkatan pengurasan minyak. Sayangnya
kredibilitas teknologi ini belum sepenuhnya diakui
oleh industri perminyakan karena alasan teknis dan
ekonomis(22), walaupun sejumlah uji coba lapangan
telah berhasil menunjukkan adanya peningkatan
produksi minyak(14,23,18-19). Dari sisi ekonomis, dukungan finansial terhadap metode ini sangat lemah
karena minimnya data yang menunjukkan adanya
keuntungan ekonomis dari aplikasi MEOR. Dari sisi
teknis, para peneliti dan praktisi MEOR tidak mampu
menghilangkan persepsi bahwa proses aplikasi
teknologi ini sangat kompleks(3). Hasil penelitian dan
uji coba lapangan menunjukkan bahwa sejumlah bakteri tertentu dalam reservoar bila diberi nutrisi dan
bio-katalis yang sesuai akan dapat berkembang dan

Gambar 7
Ilisutrasi proses pendesakan dengan injeksi uap panas

96

Potensi Pengembangan EOR

Usman

menghasilkan bio-surfaktan, alkohol, bio-polimer,


gas, dan zat asam melalui proses metabolisme.
Produk-produk tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya akan dapat meningkatkan produksi minyak
dengan cara merubah saturasi minyak, sifat kebasahan batuan, serta memperbaiki efisiensi pendesakan.
Beberapa mekanisme EOR yang bekerja simultan
merupakan kelebihan utama MEOR dibandingan
teknologi EOR lainnya disamping biaya yang relatif
rendah serta ramah lingkungan.
Salah satu teknologi EOR yang juga relatif
murah dan ramah lingkungan adalah vibroseismik.
Metode ini menerapkan stimulasi gelombang elastik
ke dalam reservoir dengan menggunakan vibrator
dari permukaan. Studi laboratorium(1) menunjukkan bahwa vibrasi berdampak terhadap batuan
dan fluida reservoar. Jika vibrasi dilakukan dengan
frekuensi gelombang yang tepat akan dapat meni
ngkatan porositas, menaikkan permeabilitas absolut,
menurunkan saturasi residual minyak, menaikkan
end-point permeabilitas relatif minyak, dan dapat
menurunkan permeabilitas minyak. Namun vibrasi
dapat menyebabkan kerusakan batuan jika digunakan
frekuensi gelombang yang tidak tepat.
III. POTENSI EOR INDONESIA
Teknologi EOR sangat strategis bagi Indonesia.
Pada tahun 2009, sekitar 20% produksi minyak Indonesia merupakan hasil dari aplikasi teknologi EOR
dengan injeksi uap panas yang diterapkan di lapangan
minyak Duri, Riau. Proyek ini adalah yang terbesar
di dunia dari sisi jumlah minyak produksi dan jumlah
uap injeksi(4). Lapangan Duri ditemukan tahun 1941,
mulai produksi tahun 1954. Pengurasan primer mencapai puncak produksi sekitar 65.000 barel per hari
pada pertengahan tahun 1960-an dan diperkirakan
maksimal perolehan minyak hanya sebesar 7% dari
original oil in-place (OOIP) dengan pengurasan
primer. Rendahnya perolehan ini karena minyak
Duri sangat kental, tenaga dorong dari gas terlarut
dan kompaksi juga sangat terbatas. Cyclic steam
stimulation terbukti mampu meningkatkan produksi
sumuran. Keberhasilan ini mendorong dilakukannya uji coba injeksi uap panas tahun 1975. Setelah
proyek uji coba ini berhasil menambah perolehan
minyak 30% maka pada tahun 1985 proyek skala
lapangan dimulai di Area 1. Diperlukan waktu panjang lebih dari 10 tahun untuk sampai pada aplikasi
skala lapangan. Saat ini, pengembangan lapangan

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

Duri telah mencapai Area 12. Sukses injeksi uap


panas di lapangan Duri telah meningkatkan produksi
minyak nasional di akhir tahun 1980-an hingga
mencapai puncak produksi tahun 1995 (Gambar 1).
Sejak tahun 1995, produksi minyak nasional terus
mengalami penurunan. Penerapan teknologi EOR
secara masif diyakini akan mampu menahan laju
penurunan produksi ini.
Berdasarkan data tahun 2010(28), diperkirakan
terdapat 62% atau setara dengan 42,8 miliar barel
dari OOIP masih tersimpan di dalam reservoar setelah
tahap pengurasan primer dan sekunder (Gambar 8).
Akumulasi minyak ini yang berasal dari sekitar 650
lapangan merupakan target EOR. Sekitar 58% dari
target EOR tersebut berada di wilayah Sumatera
Tengah dan Selatan. Identifikasi lapangan-lapangan
minyak yang potensial untuk aplikasi teknologi
EOR di kedua wilayah ini serta beberapa lokasi di
Indonesia telah dilakukan(9). Dari 23 lapangan yang
diidentifikasi, 20 diantaranya merupakan kandidat
injeksi kimia dengan akumulasi minyak setelah tahap
pengurasan primer dan sekunder diperkirakan sebesar 49% dari akumulasi minyak awal (OOIP). Dua
lapangan merupakan kandidat injeksi uap dengan
perkiraan akumulasi sebesar 79% OOIP, dan satu
lapangan kandidat injeksi gas CO2 dengan perkiraan
akumulasi sebesar 70% OOIP. Total volume minyak
ke 23 lapangan tersebut setelah tahap pengurasan
primer dan sekunder adalah 51% OOIP(28). Hasil
studi yang dilakukan LEMIGAS (7) di Sumatera
Selatan memperlihatkan bahwa dari 136 reservoar
yang dievaluasi, 64 reservoar diantaranya merupakan kandidat injeksi CO2. Jika sebagian kecil dari
target EOR tersebut dapat diproduksi maka akan
sangat berarti terhadap upaya peningkatan produksi
minyak Indonesia. Data empiris menujukkan bahwa
tambahan perolehan minyak dengan injeksi kimia
bervariasi antara 0 sampai dengan 18% OOIP(17,10,33).
Untuk injeksi gas CO2, rata rata tambahan perolehan
sekitar 11%(6).
IV. RISET YANG DIPERLUKAN
Berbagai inovasi teknologi telah dikembangkan
untuk menghasilkan perbaikan dalam proses EOR.
Diantaranya yang telah dan sedang dikembangkan
LEMIGAS adalah rekayasa surfaktan untuk me
ningkatkan perolehan dan pengembangan streamline
simulasi untuk deskripsi reservoar. Riset rekayasa
polimer, viscosifier CO2, formulasi alkalin-surfaktan97

Potensi Pengembangan EOR

Usman

polimer (ASP), studi efek perubahan wettability,


saturasi fluida, dan temperatur terhadap permeabilitas relatif sangat potensial dikembangkan oleh
LEMIGAS.
Dari gambaran potensi EOR Indonesia terlihat
bahwa sebagian besar minyak yang tersisa setelah
tahap pengurasan primer dan sekunder dapat dikuras
melalui injeksi kimia. Tujuan utama injeksi kimia
adalah memperbaiki efisiensi penyapuan dengan
mengurangi mobilitas fluida pendesak dan mengurangi saturasi residual minyak dengan menurunkan
IFT antara fluida pendesak dan fluida yang didesak.
Bahan kimia yang digunakan spesifik untuk setiap
reservoar. Ini adalah peluang yang sangat besar bagi
industri kimia untuk mengembangkan polimer, surfaktan, dan alkalin yang sesuai dengan karakteristik
reservoar-reservoar di Indonesia. Dari sisi reservoar,
kajian laboratorium dan pemodelan efek masing
masing proses EOR terhadap permeabilitas relatif

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

sangat diperlukan. Seperti telah dijelaskan bahwa


kurva permeabilitas relatif merupakan faktor pen
ting dalam penentuan laju alir minyak dan perolehan
minyak yang dapat terambil. Perubahan IFT dan wettability pada proses injeksi kimia, swelling minyak
pada proses injeksi gas CO2, dan efek temperatur
pada injeksi uap akan mempengaruhi kurva permeabilitas relatif. Deskripsi pola aliran dalam reservoar
juga merupakan faktor penting dalam implementasi
EOR. Pengembangan teknologi simulasi reservoar
dengan kemampuan deskripsi pola aliran fluida
injeksi dan efisiensi komputasi sangat diperlukan
dalam menentukan lokasi sumur injeksi dan laju
injeksi optimum.
A. Polimer
Polimer komersial yang banyak digunakan dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelas generik, yaitu
polyacrylamides dan polysaccharides(16). Polyacryl-

Gambar 8
Target potensial EOR Indonesia status 01 Januari 2010.
Target potensial EOR merupakan akumulasi minyak yang sudah ditemukan
namun belum dapat diproduksikan dengan teknologi yang diterapkan saat ini

98

Potensi Pengembangan EOR

Usman

amides saat digunakan dalam pendesakan minyak


sebagian akan mengalami hidrolisis. Karena proses
hidrolisis ini maka molekul polimer cenderung bermuatan negatif. Peningkatan viskositas larutan oleh
polyacrylamides disebabkan oleh berat molekul besar
hasil repulsi anionik antar molekul polimer dan juga
antar segmen dalam molekul yang sama. Repulsi
menyebabkan molekul dalam larutan memanjang
dan akan berdampak terhadap reduksi mobilitas pada
konsentrasi tinggi. Jika salinitas air formasi tinggi,
repulsi akan menurun drastis dan akan mengurangi
secara signifikan efektifitas polyacrylamides dalam
meningkatkan viskositas. Polyacrylamides relatif
tahan terhadap serangan bakteri yang ada dalam
reservoar tapi memiliki kecenderungan menurunkan
permeabilitas batuan. Riset untuk mengurangi kelemahan polyacrylamides ini sangat diperlukan karena
lingkungan reservoar-reservoar minyak di Indonesia
banyak yang berasosiasi dengan salinitas tinggi dan
permeabilitas rendah sampai sedang.
Kelas polimer kedua adalah polysaccharides
dihasilkan dari polimerisasi molekul molekul saccharide. Polysaccharides atau biopolimer yang
diproduksi dari proses fermentasi bakteri. Proses ini
menghasilkan banyak debris dalam polimer tersebut
sehingga harus dibersihkan sebelum polimer diinjeksi. Polysaccharides juga rentan terhadap serangan
bakteri dalam reservoar. Keunggulannya, polysaccharides relatif tahan terhadap salinitas tinggi dan
tidak berpotensi mengurangi permeabilitas batuan.
Polysaccharides tahan terhadap salinitas tinggi ka
rena molekulnya tersusun dari molekul molekul
nonionik yang bebas dari efek shielding. Kedua
kelas polimer ini dikenal rentan terhadap temperatur
tinggi sehingga terbuka peluang riset untuk mengatasi
kelemahan ini.
B. Surfaktan
Berbeda dengan aplikasi polimer, injeksi surfaktan terutama diterapkan pada reservoar-reservoar
dengan saturasi residual minyak signifikan. Surfaktan berfungsi menurunkan tegangan antar muka
minyak air dan juga minyak dengan batuan. Dengan
memperkecil tegangan antar muka, minyak yang
terperangkap pada pori-pori batuan akan mudah
dibebaskan. Polimer sering digunakan bersama-sama
dengan larutan surfaktan untuk memperbaiki efisiensi
pendesakan. Tipikal surfaktan terdiri dari bagian nonpolar (lipophile) dan bagian polar (hydrophile). Sifatsifat surfaktan sangat dipengaruhi oleh karakteristik

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

polar dan nonpolarnya. Perubahan sedikit terhadap


struktur ini akan berpengaruh terhadap sifat-sifat surfaktan secara drastis. Karena sensitivitas inilah maka
surfaktan EOR sangat spesifik untuk setiap reservoar.
Pada aplikasi EOR, surfaktan akan berinteraksi de
ngan air formasi, minyak, dan batuan reservoar pada
temperatur dan tekanan tertentu. Masing-masing
reservoar memiliki karakteristik yang berbeda sehingga diperlukan formula khusus. Surfaktan yang
umum digunakan adalah petroleum sulfonate yaitu
sulfonate produksi kilang yang mempunyai berat
molekul sedang seperti jenis aromatik dan olefin.
Petroleum sulfonate banyak digunakan karena sangat
efektif dalam mencapai nilai IFT rendah dan sangat
stabil. Namun karena bahan dasarnya adalah petroleum yang relatif mahal dan tidak terbarukan, maka
diperlukan bahan substitusi yang murah dan terbarukan. Riset untuk membuat surfaktan dengan bahan
dasar nabati menggunakan metil ester dari kelapa
sawit telah diinisiasi(12). Persyaratan surfaktan EOR
selain harus mempunyai nilai IFT yang lebih kecil
dari 10-3 dyne/cm juga harus tahan terhadap panas,
tidak ada kecenderungan presipitasi, adsorpsi oleh
batuan relatif kecil, dan kompatibel dengan minyak
reservoar disamping ramah terhadap lingkungan.
C. Formulasi Alkali-Surfaktan-Polimer
Pendesakan minyak dengan ASP sangat prospektif dalam menekan tingginya biaya sistem kemikal
surfaktan-polimer(6,2). Penambahan alkali akan me
ngurangi adsorpsi surfaktan-polimer dan menambah
keaktifan surfaktan. Dengan komplementari efek
ini akan membantu perbaikan kinerja pendesakan
kimia(13). Kriteria penting yang harus dipenuhi oleh
campuran ketiga kemikal ini adalah larutan yang
terbentuk harus stabil satu fase. Sodium hidroksida
adalah jenis alkalin yang banyak digunakan namun
dalam beberapa kasus mengalami kegagalan karena
bereaksi dengan batuan reservoar membentuk silika
dan menyumbat pori-pori batuan. Untuk formasi
karbonat, alkalin dengan pH rendah diantaranya sodium karbonat atau bikarbonat dapat menjadi pilihan.
Penggunaan alkalin tidak direkomendasikan jika
kandungan CO2 tinggi, atau jika kandungan lempung
monmorilonit tinggi, dan jika keberadaan gipsum
lebih besar lebih dari 0,1 persen (6).
D. Viscosifier CO2
Kelemahan utama injeksi gas CO2 adalah kecen
derungan terbentuknya fingering karena viskositas
99

Potensi Pengembangan EOR

Usman

CO2 jauh lebih rendah dari viskositas minyak dan


air. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk membuat
pengental CO2 yang harus memenuhi kriteria murah,
aman, dan stabil pada kondisi reservoar. Beberapa
studi menunjukkan bahwa agar polimer dapat larut
dalam CO2 maka harus bersifat amorf dan mempunyai struktur iregular untuk memaksimalkan entropi
pencampuran(11). Menentukan kesetimbangan antara
CO2-philic yang berperan terhadap kelarutan CO2 dan
CO2-phobic sebagai fasilitator untuk meningkatkan
viskositas CO2 menjadi kunci dalam desain dan sintesa viscosifier CO2(2).
E. Studi Permeabilitas Relatif
Permeabilitas relatif menggambarkan kemampuan media berpori mengalirkan suatu fluida bila
terdapat dua atau lebih fluida dalam media berpori
tersebut. Kurva permeabilitas relatif sangat penting
dalam studi reservoar. Prediksi laju produksi dan pe
rolehan minyak dari suatu reservoar ditentukan oleh
kurva ini. Karakteristik kurva permeabilitas relatif
dipengaruhi oleh geometri pori, wettability, saturasi
fluida, temperatur reservoar, tekanan reservoar, jenis
batuan, porositas dan permeabilitas. Faktor-faktor
tersebut di atas terutama perubahan wettability, saturasi fluida, dan temperatur sangat umum terjadi dalam
proses EOR. Riset mengenai efek perubahan faktorfaktor tersebut terhadap kurva relatif permeabilitas
fluida dalam reservoar menjadi krusial(20,21). Metode
perhitungan permeabilitas relatif juga menjadi tantangan tersendiri dalam industri perminyakan saat
ini. Metode JBN (Johnson, Bossler, and Neumann)
yang menjadi acuan industri diturunkan berdasarkan
asumsi tekanan kapiler diabaikan dan porous media
homogen. Asumsi ini dapat menyebabkan kesalahan
dalam perhitungan relatif permeabilitas (2). X-ray
computerized tomography (CT) dan simulasi numerik
telah digunakan untuk menghasilkan permeabilitas
relatif yang lebih akurat(2,25-26).
F. Streamline Simulator
Salah satu keunggulan streamline simulator
adalah kemampuan visualisasi dan kuantifikasi aliran
dalam reservoar berdasarkan lokasi sumur dan laju
alir injeksi, deskripsi geologi dan kontinuiti reservoar, sifat-sifat fluida reservoar, dan permeabilitas
relatif. Streamline mampu menampilkan visualisasi
bagaimana konektifitas reservoar dan berapa banyak
fluida injeksi dialokasikan dari suatu injektor ke
produser yang terhubung. Fitur yang membedakan

100

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

streamline simulator dengan tradisional finite-difference simulator adalah kemampuan menghitung


laju alir total dan laju alir masing-masing fase pada
setiap pasang injektor produser. Dengan informasi
ini, dimungkinkan menentukan efisiensi pasangan
injektor produser dan relokasi fluida injeksi untuk optimasi produksi tanpa harus menambah sumur baru.
Demonstrasi penggunaan streamline simulator untuk
optimasi pengelolaan injeksi air telah dibahas dalam
beberapa paper(8-27). Kelemahan streamline simulator
adalah umumnya hanya mempertimbangkan proses
fisika yang sederhana, misal proses pendesakan
minyak oleh air. Ekstension metode streamline untuk
menggambarkan proses yang lebih kompleks seperti
pendesakan panas(29-30) dan injeksi gas tercampur(32)
telah diinisiasi. Aplikasi streamline untuk proses
EOR akan memudahkan bagi reservoir engineer
dalam desain pola injeksi, penempatan sumur injektor dan alokasi laju injeksi. Demikian juga dalam
evaluasi efisiensi penyapuan dan perolehan minyak
dari berbagai skenario pengembangan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Saat ini, kontribusi teknologi EOR terhadap
produksi minyak nasional sekitar 20%. Potensi EOR
Indonesia ditaksir 42,8 miliar standar barel minyak.
Sekitar 58% dari angka ini terakumulasi di wilayah
Sumatera Tengah dan Selatan. Sebagian besar potensi
EOR di kedua wilayah ini merupakan kandidat injeksi
kimia dan gas CO2. Diperlukan studi yang lebih detail
mengenai potensi EOR Indonesia agar dapat disusun
strategi pengembangan ke depan.
Formula bahan kimia yang digunakan pada injeksi kimia spesifik untuk tiap reservoar. Dengan karakteristik reservoar-reservoar Indonesia yang beragam
maka terbuka lebar ruang riset pengembagan kemikal
EOR. Riset polimer yang murah dan aman serta tahan
terhadap salinitas dan temperatur tinggi akan sangat
atraktif. Polimer yang dikembangkan harus juga
tahan terhadap serangan bakteri di reservoar dan tidak
mempunyai kecenderungan menurunkan permeabilitas batuan. Pengembangan viscosifier CO2 berbasis
polimer juga diperlukan mengingat potensi injeksi
gas CO2 ke depan cukup besar. Riset surfaktan EOR
adalah mencari surfaktan dengan bahan dasar nabati
dan dapat menghasilkan IFT kurang dari 10-3 dyne/
cm. Kemampuan formulasi alkalin-surfaktan-polimer
untuk suatu reservoar sangat diperlukan karena
dengan formula ini tidak hanya akan meningkatkan

Potensi Pengembangan EOR

Usman

efisiensi dan efektifitas pendesakan tapi juga dapat


menekan tingginya biaya kemikal. Di sisi mikro re
servoar, diperlukan studi efek perubahan wettability,
saturasi fluida, dan temperatur selama proses EOR
terhadap kurva permeabilitas relatif. Penggunaan
metode numerik dan CT scan dapat meningkatkan
akurasi permeabilitas relatif. Ekstensi teknologi
streamline untuk simulasi proses EOR memudahkan
evaluasi secara cepat berbagai skenario pola injeksi,
penempatan sumur injektor, dan alokasi laju injeksi
serta evaluasi efisiensi penyapuan minyak di dalam
reservoar. Sukses inovasi teknologi tersebut di atas
dapat mendorong implementasi teknologi EOR yang
ekonomis.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim
Studi Inventarisasi Cadangan Migas LEMIGAS
dan seluruh pihak pihak di LEMIGAS yang telah
membantu dalam memberikan data, informasi,
dan meluangkan waktu bertukar pikiran sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Terima kasih dan
penghargaan juga Penulis sampaikan kepada Prof.
(R) Dr. Suprajitno Munadi atas saran, bimbingan,
dan koreksi untuk perbaikan makalah ini.
KEPUSTAKAAN
1. Ariadji, T., 2005, Effect of Vibration on Rock
and Fluid Properties: On Seeking the Vibroseismic Technology Mechanisms, The SPE Asia
Pacific Oil and Gas Conference and Exhibition,
Jakarta, Indonesia, SPE 93112.
2. Betty J. F., 2004, Selected U. S. Department of
Energy EOR Technology Application, The 2004
SPE/DOE Fourteenth Symposium on Improved
Oil Recovery, Oklahoma, USA, SPE 89452.
3. Bryant, S. L. and Lockhart, T. P., 2000, Reservoir Engineering Analysis of Microbial Enhanced
Oil Recovery, The 2000 SPE Annual Technical
Conference and Exhibition, Dallas, USA, SPE
63229.
4. Curtis, C., Kopper, R., Decoster, E., GuzmnGarcia, A., Huggins, C., Knauer, L., Minner,
M., Kupsch, N., Linareas, L. M., Rough, H.,
and Waite, M., 2002, Heavy-oil reservoirs,
Oilfield Review Autumn 2002 3, Schlumberger.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

5. Djoko Darmono, et al., 2009, Mineral dan Ener


gi Kekayaan Bangsa Sejarah Pertambangan
dan Energi Indonesia, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, Jakarta.
6. Don W. Green and G. Paul Willhite, 2003,
Enhanced Oil Recovery, SPE Textbook Series
Vol. 6, the Society of Petroleum Engineers Inc.,
USA.
7. Edward, M. L. T., et al, 2004, Screening EOR
Lapangan Minyak Cekungan Sedimen Sumatera
Selatan, Laporan Penelitian PPPTMGB LEMIGAS Tahun 2004, Jakarta.
8. Guimaraes, M. S., Schiozer, D. J., and Maschio,
C., 2005, Use of Streamlines and Quality Map
in the Optimization of Production Strategy of
Mature Oil Fields, The SPE Latin American and
Caribbean Petroleum Engineering Conference,
Rio de Jeneiro, Brazil, SPE 94746.
9. Gunawan, S., 2008, Indonesia IOR: Existing
and Future, Bahan Presentasi pada Pelatihan di
Kantor Sendiri yang Diselenggarakan di LEMIGAS, BPMIGAS, Jakarta.
10. Harry L. Chang, Xingguang, S., Long, Xiao.,
Zhidong, G., Yuming, Y., Yuguo, X., Gang,
C., Kooping, S., and James, C. Mack, 2006,
Successful Field Pilot of In-Depth Colloidal
Dispersion Gel (CDG) Technology in Daqing Oil
Field, SPE Reservoir Evaluation & Engineering
(Desember 2006), pp. 664 - 673.
11. Heller, J. P., Dandge, D. K., Card, R. J., and
Donaruma, L. G., 1985, Direct Thickeners
for Mobility Control of CO2 Floods, Society of
Petroleum Engineers Journal, pp. 679 686.
12. Hestuti, E. et al, 2010, Pembuatan Surfaktan
untuk Aplikasi Pendesakan Minyak dengan
Injeksi Kimia, Laporan Penelitian PPPTMGB
LEMIGAS Tahun 2010, Jakarta.
13. Hestuti, E., Usman, Sugihardjo, 2009, Optimasi Rancangan Injeksi Kimia ASP untuk Implementasi Metode EOR, Simposium Nasional
IATMI 2009, Bandung, IATMI 09 00X.
14. Hou, Z., Wu, X., Wang, Z., Han, P., Wang, Y.,
Xu, Y., and Jin, R., 2005, The Mechanism and
Application of MEOR by Brevibacillus Brevis
and Bacilus Cereus in Daqing Oilfield, The SPE
International Improved Oil Recovery Conference
in Asia Pacific. Kuala Lumpur Malaysia, SPE
97469.
101

Potensi Pengembangan EOR

Usman

15. L.P. Dake, 2002, Fundamentals of Reservoir


Engineering, Elsevier Science B.V. Amsterdam,
the Netherlands.
16. Larry W. Lake, 2005, Petroleum Engineering
Handbook Chemical Flooding, Society of Petroleum Engineers, Richardson, Texas, USA.
17. Manrique, E. J., Muci, V. E., and Gurfinkel, M.
E., 2007, EOR Field Experiences in Carbonate
Reservoirs in the United States, SPE Reservoir
Evaluation & Engineering (Desember 2007), pp.
667 - 686.
18. Maure, M.A., Dietrich, F. L., Diaz, V. A., Arganaraz, H., 1999, Microbial Enhanced Oil
Recovery Pilot Test in Piedras Coloradas Field,
Argentina, The 1999 SPE Latin American and
Caribbean Petroleum Engineering Conference,
Caracas, Venezuela, SPE 53715.
19. Ohno, K., Maezumi, S., Sarma, H. K., Enomoto, H., Hong, C., Zhou, S.C., Fujiwara, K.,
1999, Implementation and Performance of a
Microbial Enhanced Oil Recovery Field Pilot in
Fuyu Oilfield, China, The 1999 SPE Asia Pacific
Oil and Gas Conference and Exhibition, Jakarta,
Indonesia, SPE 54328.
20. Perry M. Jarrel, Charles E. Fox, Michael H.
Stein, and Steven L. Webb, 2002, Practical
Aspects of CO2 Flooding, Monograph Series of
the Society of Petroleum Engineers, Richardson,
Texas.
21. Prats, M., 1986, Thermal Recovery, Monograph
Series of the Society of Petroleum Engineers,
Dallas.
22. Saikrishna, M., Roy M. Knapp, and Michael
J. Mcinemey, 2007, Microbial Enhanced-OilRecovery Technologies: A Review of the Past,
Present, and Future, The 2007 SPE Production
and Operations Symposium, Oklahoma City,
USA, SPE 106978.
23. Strappa, L. A., De Lucia, J.P., Maure, M. A.,
Lopez Liopiz, M. L., 2004, A Novel and Successful MEOR Pilot Project in a Strong WaterDrive Reservoir Vizcacheras Field, Argentina,
The 2004 SPE/DOE Fourteenth Symposium on
Improved Oil Recovery, Oklahoma, USA, SPE
89456.
24. Sugihardjo, 2009, Capillary Desaturation
Curves for Evaluating Surfactant Performance

102

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 91 - 102

by Core Flooding Experiments, LEMIGAS


Scientific Contributions, Volume 32 (1), pp. 16
20, Jakarta.
25. Sylte, A., Ebeltoft, E., and Petersen, E. B.,
2004, Simultaneous Determination of Relative
Permeability and Capillary Pressure Using Data
from Several Experiments, The International
Symposium og the Society of Core Analysis, Abu
Dhabi, UAE, SCA2004-17.
26. Sylte, A., Mannseth, T, Mykkeltveit, J., and
Nordtvedt, J. E., 1998, Relative Permeability
and Capillary Pressure: Effects of Rock Heterogeneity, The International Symposium og the
Society of Core Analysis, SCA-9808.
27. Thiele, M. R. and Batycky, R. P., 2006, Using
Streamline-Derived Injection Eddiciencies for
Improved Waterflood Management, April 2006
SPE Reservoir Evaluation & Engineering, pp.
187 196.
28. Trimulyo, S. W. et al., 2010. Inventarisasi dan
Analisis Data Cadangan Migas Indonesia, 01
Januari 2010, Laporan Penelitian PPPTMGB
LEMIGAS Tahun 2010, Jakarta.
29. Usman, 2010, Pengembangan Simulator Reservoar untuk Evaluasi Perolehan Minyak dengan
Teknologi EOR, Lembar Publikasi LEMIGAS,
Volume 44 (2), pp. 95 107, Jakarta.
30. Usman and Arihara, N., 2006, A Sequential
Thermal Simulator with Streamline for Heavy
Oil Recovery Simulation, The proceedings at
the 1st Heavy Oil Conference, Beijing, China,
2006-404.
31. Willman, B.T., Valleroy, V.V., Runberg, G.W.,
Cornelius, A.J., and Powers, L.W., 1961,
Laboratory Studies of Oil Recovery by Steam
Injection, Journal of Petroleum Technology
(July 1961), pp. 681-690.
32. Yan, W., Michael, L. M., Erling, H. S., Roman,
A. B., and Alexander A. S., 2004, Three-phase
Compositional Streamline Simulation and Its
Application to WAG, The 2004 SPE/DOE Fourteenth Symposium on Improved Oil Recovery,
Oklahoma, USA, SPE 89440.
33. Zhijan, Q., Zhang, Y., Zhang, X., Dai, J., 1998,
A successful ASP Flooding Pilot in Gudong
Oil Field, The 1998 SPE/DOE Improved Oil
Recovery Symposium, Oklahoma, USA, SPE
39613.

Geologi Penginderaan Jauh Dalam Studi


Evaluasi Lahan Migas di Cekungan Kutei Atas
Bagian Utara
Suliantara

Perekayasa Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
e-mail suliantara@lemigas.esdm.go.id; suliantara2202@gmail.com
Teregistrasi I Tanggal 14 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 10 Mei 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

Sari
Cekungan Kutei Atas Bagian utara terletak di Hulu Sungai Mahakam, Hulu Sungai Sangata,
Sungai Bungalon, dan Sungai Marah Kalimantan Timur. Kegiatan eksplorasi migas telah banyak
dilakukan akan tetapi belum menemukan cadangan yang signifikan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi permukaan, digunakan beberapa jenis citra satelit, yaitu citra PALSAR, Citra
Landsat, dan Citra SRTM. Perangkat lunak pengolah citra professional Envi 4.0 dan ERMapper
7.0 diaplikasikan atas data citra sehingga menghasilkan citra yang memberikan informasi kondisi
geologi. Hasil pengolahan ketiga citra yang mampu memberikan informasi kondisi geologi daerah
kajian dikelola dalam basis data sistem informasi geografi (SIG) dengan sistem koordinat WGS84.
Interpretasi secara simultan terhadap data citra tersebut menghasilkan informasi geologi yang berupa
satuan batuan dan struktur geologi pada perangkat lunak Map Info. Interpretasi geologi daerah
kajian menghasilkan peta geologi penginderaan jauh, yang memperlihatkan dua puluh empat (24)
satuan batuan, struktur lipatan yang berarah relatif utara selatan, dan sesar yang berarah relatif
baratlaut tenggara dan utara selatan. Daerah Muara Wahau Muara Marah dan Daerah Ritan
Muara Bengkal berpotensi untuk eksplorasi migas lanjut. Kombinasi citra satelit PALSAR, SRTM,
dan Landsat mampu meningkatkan perolehan informasi geologi dalam kegiatan Kajian Evaluasi
Lahan Migas di Cekungan Kutei Atas Bagian Utara.
Kata kunci : Evaluasi Lahan Migas, Cekungan Kutei Atas, Palsar, SRTM, Landsat
Abstract
The North Upper Kutei Basin is located within the Upper Mahakam River, Upper Sangata
River, Bungalon River, and Marah River, east Kalimantan. Oil and Gas exploration have been
conducted in the area, unfortunately a significant oil and gas reserve has not discovered yet. This
study is aimed to uncover surface geology using various types of remote sensing data are used,
i.e.: PALSAR data, Landsat data, and SRTM data. The professional image processing software
of Envi 4.0 and ERMapper 7.0 are applied to the remote sensing data hence reveals well inform
imagery of geologic condition. Those processed imageries that well informed of the geological
informations were managed in geographic information system (GIS) platform on the coordinate
system WGS84. Interpretation was conducted simultaneously over those imageries using Map Info
Software. Geological interpretation reveals twenty four (24) lithological units, consisting folding
that relatively trend to North South, and faults that trend to Northwest Southeast and North
South. Muara Wahau Muara Marah areas and Ritan Muara Bengkal areas are suggested as
potential areas for next exploration activities. Combination of the PALSAR, SRTM, and Landsat
imageries increase the information of surface geology mapping with New Venture Evaluation in
North Upper Kutei Basin.
Keywords: New Venture Evaluation, Satellite Imagery, Kutei Basin, SRTM, Landsat

103

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

I. Pendahuluan
Pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia
hingga kini masih didominasi oleh minyak bumi
dengan kecenderungan meningkat, sementara jumlah
cadangan dari kegiatan eksplorasi belum menunjukan
peningkatan yang signifikan. Untuk hal tersebut,
maka kegiatan eksplorasi migas harus ditingkatkan
sehingga ditemukan cadangan untuk memenuhi
kebutuhan ekspor dan domestik. Cekungan Kutei
yang terletak di Kalimantan Timur telah terbukti
sebagai penghasil migas yang signifikan. Secara
umum, cekungan ini bisa dipisahkan menjadi dua,
yaitu Cekungan Kutei Bagian Bawah dan Cekungan
Kutei Bagian Atas. Hadipandoyo, 2007 menyebutkan
jumlah sumberdaya hidrokarbon di Cekungan Kutei
adalah 6.544 MMBO dan 25.152 TCF. Hingga saat
ini lapangan migas banyak ditemukan di Cekungan
Kutei Bagian Bawah, baik yang berlokasi di daratan
maupun di lautan, sementara penemuan lapangan
migas di Cekungan Kutei Bagian Atas masih sangat
sedikit. Melihat kondisi demikian, maka kegiatan
eksplorasi migas di Cekungan Kutei Bagian Atas
menjadi menarik untuk dilakukan.
Kegiatan eksplorasi di Cekungan Kutei Atas
dibuktikan dengan adanya pemboran sumur
Mamahak-1 dan 2 oleh BPM
SHELL pada tahun 1941,
dilanjutkan pemboran sumur
Mendung-1 oleh Kaltim
SHELL pada tahun 1971.
Pada tahun 1982 ditemukan
gas kondesat dengan jumlah
yang cukup signifikan pada
lapisan batugamping yang
berumur Akhir Ologosen
di daerah Teweh (Van de
Weerd, 1987 dalam Wain
and Berod, 1989).
Berdasarkan pertim
bangan adanya potensi
batuan induk dan batuan
reservoir untuk minyak dan
gas, eksplorasi migas masih
menarik untuk dilakukan
di Cekungan Kutei Atas
tersebut. Keterbatasan atas
tersedianya data bawah
permukaan baik berupa
sumuran maupun lintasan

104

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

seismik, maka untuk itu dilakukan kajian data pe


nginderaan jauh.
Mempertimbangkan daerah kajian sering tertutup
awan, maka digunakan dua jenis citra satelit yaitu
jenis optik dan Radar. Untuk citra satelit jenis Radar
dipilih PALSAR dan SRTM sedangkan untuk jenis
optik dipilih Landsat TM.
Cekungan Kutei secara geografis dapat dipisahkan
menjadi dua, yaitu Cekungan Kutei Atas yang terletak
di bagian barat, merupakan wilayah daratan dan
Cekungan Kutei Bawah yang terletak di bagian timur,
sebagian besar berupa wilayah perairan. Di dalam
cekungan ini berkembang batuan yang berumur
Paleogen hingga Quarter.
Cekungan Kutei atas meliputi wilayah hulu Sungai
Mahakam, Sangata dan Bungalon Kalimantan Timur.
Cekungan ini sebelah selatan dibatasi oleh Tinggian
Barito, sebelah utara oleh Tinggian Mangkalihat,
sementara sebelah barat oleh Tinggian Kuc ing
dan sebelah barat oleh Antiklinoriun Samarinda.
Cekungan Kutei Atas Bagian Utara meliputi wilayah
hulu Sungai Mahakam, Sungai Marah, hulu Sungai
Sangata, dan Sungai Bungalon (Gambar 1).
Ott, 1987 menyebutkan struktur geologi yang

Gambar 1
Lokasi Daerah Kajian dan Tektonik Setting

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

dominan berkembang dalam


cekungan ini adalah lipatan yang berarah timurlaut
utara baratdaya selatan dan
sesar yang berarah baratlaut
tenggara dan timurlaut
baratdaya (Gambar 2).
Struktur yang berkembang di
Cekungan Kutei Atas diduga
dipengaruhi oleh Sesar Geser
Mangkalihat dan Sesar Geser
Adang yang membentuk
gaya kopel.
Batuan sedimen tertua
yang menyusun stratigrafi
tersier Cekungan Kutei Atas
adalah Formasi Haloq yang
berumur Paleosen, sedang
yang termuda adalah Formasi
Kampung Baru yang berumur
Pliosen Pleistosen. Batuan
tersier tersebut menumpang
secara tidak selaras di atas
batuan Pratersier yang telah
terlipatkan (Gambar 3).
P a d a E o s e n Aw a l
Cekungan Kutei merupakan
daratan sehingga dijumpai
endapan sedimen klastik kasar dan halus darat berupa
endapan fluviatil dari Formasi Kiham Haloq. Ke
arah atas (muda) lingkungan darat berubah menjadi
lingkungan laut dangkal sehingga diendapkan
sedimen klastik kasar dari Formasi Batu Kelau.
Selanjutnya terjadi fluktuasi dasar cekungan akibat
terjadinya evolusi regional di daerah Serawak
sehingga Cekun gan Kutei Timur mengalami
pengangkatan dan penurunan kembali dengan cepat
pada Eosen Akhir serta diendapkan Formasi Batu
Ayau pada lingkungan laut dangkal.
Pada Oligosen di lingkungan paparan dan laut
terbuka, diendapkan secara tidak selaras sedimen
klastik halus dan karbonat dari Formasi Ujoh Bilang
di atas Formasi Batu Ayau. Formasi Ujoh Bilang ini
setara dengan Formasi Pemaluan atau Kariorang
di Cekungan Kutei bagian timur. Pada Oligosen
Akhir, Cekungan Kutei di bagian barat terangkat
ke atas permukaan laut, sedangkan Cekungan Kutei
bagian timur masih dalam kondisi lingkungan
laut, dan diendapkan Formasi Bebulu serta Pulau

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

Gambar 2
Element Tektonik Daerah Kajian

Balang. Selanjutnya setelah pengendapan Formasi


Balikpapan di lingkungan delta, seluruh Cekungan
Kutei terangkat. Pada Miosen Akhir Cekungan Kutei
bagian timur mengalami lingkungan delta sehingga
diendapkan klastik kasar Formasi Kampung Baru.
Kegiatan studi penginderaan jauh di Cekungan
Kutei Bagian Atas dengan mengaplikasikan teknologi
citra aktif dan pasif, bertujuan untuk menambah
informasi geologi permukaan Cekungan Kutei Bagian
Atas, terutama wilayah sekitar Muara Bengkal.
II. Bahan dan Metoda
Sembilah lembar data Phase Array Synthetic type
L-band Aperture Radar (PALSAR) pencitraan pada
bulan Februari tahun 2009, empat lembar citra landsat
jalur (117/59, 117/60, 116/59, dan 116/60) pencitraan
pada bulan Oktober tahun 2000, dan data citra Shuttle
Radar Topography Mission (SRTM) pencitraan pada
bulan Februari tahun 2000 digunakan dalam kajian
geologi permukaan Cekungan Kutei Atas Bagian
Utara. Interpretasi geologi permukaan didukung oleh

105

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

Gambar 3
Stratigrafi Cekungan Kutei Atas Bagian Utara

peta geologi regional yang telah diterbitkan pada


tahun 1995 oleh Pusat Survei Geologi Bandung.
Citra PALSAR adalah citra satelit dengan mode
pencitraan aktif yang menggunakan gelombang
L (1,27 GHz). Kualitas data citra PALSAR tidak
dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti awan, hujan,
dan malam. Citra PALSAR merekam amplitudo
dan fase dari gelombang pantul yang dihasilkan
oleh permukaan bumi. Citra PALSAR yang
digunakan dalam kajian ini mempunyai resolusi
10 meter, jenis polarisasi tunggal, dan pencitraan

106

yang dilakukan pada Pebruari tahun 2009. Citra


PALSAR memberikan informasi tingkat kekasaran
permukaan bumi, makin kasar permukaan bumi
maka makin banyak gelombang yang dipantulkan.
Citra Landsat adalah citra satelit mode pencitraan
pasif yang merekam gelombang elektromagnetik
matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi.
Citra Landsat sangat dipengaruhi oleh cuaca dimana
dengan adanya awan maka informasi permukaan
bumi tidak akan bisa direkam oleh sensor Landsat.
Citra Landsat memberikan informasi permukaan

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

SULIANTARA

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

Tabel 1
Diskripsi Satuan Foto dan Kesetaraan Formasi Batuan
No

Unit
Foto

Diskrisi Foto
Tekstur kasar, rona sedang, perbukitan

F. Mentarang

Kandungan Batuan
Sedimen Flish

Tekstur sedang, rona sedang, bergelombang

F. Batu Ayau

Batupasir

Tekstur kasar, rona sedang, perbukitan

F. Kuaro

Batupasir

Tekstur sedang, rona agak kelap, bergelombang

F. Marah

Klastik halus

E1

Tekstur kasar, rona sedang, perbukitan

F. Mangkupa

Konglomerat

E2

Tekstur agak kasar, rona sedang, perbukitan - bergelombang

F. Mangkupa

Konglomerat

Tekstur agak kasar, rona agak gelap, perbukitan

F. Tabalar

Klastik halus

Tekstur halus, rona sedang, bergelombang

F. Ujoh Bilang

Klastik halus
Klastik halus

H1

Tekstur sedang, rona gelap, bergelombang lemah

F. Mau; F. Wahau

10

H2

Tekstur agak kasar, rona sedang, bergelombang kuat

F. Mau; F. Wahau

Klastik Sedang

11

H3

Tekstur sedangm rona agak terang, bergelombang

F. Mau; F. Wahau

Klastik Halus

12

I1

Tekstur sedang, rona sedang, topografi bergelombang

F. Pamaluan

Batupasir

13

I2

Tekstur halus, rona sedang, topografi bergelombang

F. Pamaluan

Batupasir

14

Tekstur kasar, rona terang, perbukitan

F. Lebak

Klastik Batu Gamping

15

Tekstur sedang, rona sedang, bergelombang ringan

F. Maluwi

Klastik halus

16

Tekstur agak kasar, rona sedang, bergelombang sedang

F. Manumbar

Batu Lumpur/klastik halus

17

M1

Tekstur sedang, rona sedang, bergelombang kuat

F. Balikpapan

Sedimen flish

18

M2

Tekstur agak kasar, rona sedang, bergelombang kuat

F. Balikpapan

Sedimen flish
Batupasir

19

Tekstur sedang, rona sedang, bergelombang kuat

F. Pulaubalang

22

Tekstur halus sedang, rona sedang, bergelombang ringan

F. Golok

Napal

21

Tekstur sedang kasar, rona sedang, bergelombang

F. Domaring

Batugamping koral

22

Tekstur halus,

Endapan Aluvial/Danau

Sedimen halus

23

ML

Tekstur kasar, rone gelap, perbukitan

Batuan Bancuh/Melange

Tektonik melange

24

Tekstur kasar, rone gelap, perbukitan

Batuan Gunung Api

Piroklastik

bumi melalui kekuatan intensitas pantulan sinar


matahari oleh permukaan bumi yang direkam dalam 8 saluran gelombang. SRTM adalah jenis citra
radar yang menggunakan gelombang C dan X dengan sensor pencitraan menggunakan pesawat luar
angkasa ulang-alik. Kajian ini menggunakan citra
SRTM global dengan resolusi 90 meter. Citra SRTM
memberikan informasi bentuk topografi permukaan
bumi.
Dalam rangka memperoleh citra yang optimum
memberikan informasi tentang kondisi geologi
permukaan, maka dilakukan pengolahan data citra
dengan menggunakan piranti lunak professional.
Dua piranti lunak yang digunakan untuk pengolahan
data tersebut adalah Envi 4.0 dan ERMapper 7.0.
Tahapan pengolahan data citra meliputi pembacaan
data mentah, proses filter terhadap adanya noise,
proses stretching dan penajaman proses penyamaan
warna dan rona, penggabungan lembar data, dan
penyimpanan dalam format geo-tiff.
Proses interpretasi terhadap citra PALSAR,

Kesetaraan Formasi

LANDSAT, dan SRTM dilakukan secara bergantian.


Data citra yang telah mempunyai format geo-tiff
dibaca dengan menggunakan piranti lunak sistem
informasi geografi (SIG) professional, yaitu MapInfo.
Dengan menggunakan piranti ini maka penggantian
dari satu data ke data yang lain dengan mudah bisa
dilakukan, sehingga informasi yang didapatkan
menjadi optimal.
III. Hasil dan Pembahasan
Interpretasi geologi permukaan di Cekungan
Kutei Atas bagian utara difokuskan pada pengenalan
terhadap keberadaan struktur geologi (lipatan,
dan sesar) dan satuan batuan yang berkembang
di daerah tersebut. Interpretasi dilakukan dengan
mengelompokan tekstur, rona, topografi, dan
pelamparan menjadi satuan foto yang identik dengan
satuan batuan. Pola pengaliran dan perubahan
mendadak bentuk morfologi yang terjadi diperkirakan
sebagai struktur sesar. Adapun keberadaan lipatan
107

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

direkontruksi berdasar pada pengenalan posisi kemiringan batuan (Gambar 4, 5, dan 6).
A. Stratigrafi
Tekstur, rona, topografi, dan pelamparan, di
daerah kajian bisa dikelompokan menjadi dua puluh
empat (24) satuan foto (Tabel 1), terdiri atas satu (1)
unit sedimen Pratersier, duapuluh (20) unit batuan
Tersier,satu (1) satuan batuan bancuh, satu (1) unit
satuan batuan vulkanik, dan satu(1) unit endapan
alluvial. Secara umum, stratigrafi Cekungan Kutei
Atas Bagian Utara terdiri atas batuan sedimen
pratersier, batuan sedimen tersier, dan batuan
vulkanik dan alluvial serta batuan bancuh (Gambar
7).
1. Batuan Sedimen Pratersier
Batuan Pratersier tersingkap di sisi utara daerah
kajian meliputi utara Muara Wahau dan sebelah barat
Gunung Beriun. Batuan Pretersier diwakili oleh
Satuan A, dimana pada citra satelit terlihat tekstur
kasar, rona gelap, dan topografi perbukitan. Unit
A setara dengan Formasi Mentarang dan Formasi
Kelay (Supriatna, 1995), berumur Kapur, tersusun
atas endapan konglomerat aneka bahan, batu pasir,
dan serpih.
2. Batuan Sedimen Tersier
Berdasar pendekatan satuan foto, daerah kajian
bisa dipisahkan menjadi dua puluh (20) satuan foto
dengan identitas satuan B hingga satuan P. Satuan
B memperlihatkan tekstur sedang, rona sedang,
dan membentuk topografi bergelombang. Satuan
ini berkembang di sisi barat daerah kajian, sekitar
Muara Ritan. Satuan ini setara dengan Formasi Batu
Ayau (Tea), tersusun atas batupasir (Atmawinata,
1995). Satuan C teridentifikasi di sisi barat daerah
kajian, memperlihatkan tekstur kasar, rona sedang,
dan membentuk topografi perbukitan. Satuan C
setara dengan Formasi Kuaro (Tek) yang tersusun
atas sedimen batupasir. Satuan D berkembang di
sisi utara daerah kajian, muncul dengan tekstur
sedang, rona agak gelap, dan membentuk topografi
perbukitan bergelombang. Satuan D setara dengan
Formasi Marah (Tem) yang tersusun atas sedimen
klastik halus. Selanjutnya berkembang Satuan E1
dan E2, yang dijumpai di daerah Muara Maau.
Satuan E1 dan E2 muncul dengan tekstur kasaragak kasar, rona sedang, dan membentuk topografi

108

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

perbukitan bergelombang. Satuan E1 dan E2 setara


dengan Formasi Mangkupa (Teom) yang tersusun
atas sedimen konglomerat. Satuan F memperlihatkan
tekstur agak kasar, rona agak gelap, dan membentuk
topografi perbukitan. Satuan F teridentifikasi di sisi
utara daerah kajian, setara dengan Formasi Tabalar
(Teot) yang tersusun atas sedimen klastik halus.
Satuan G memperlihatkan tekstur halus, rona sedang,
dan membentuk topografi bergelombang. Satuan
G setara dengan Formasi Ujohbilang (Tou) yang
tersusun atas sedimen klastik halus.
Satuan H1, H2, dan H3 memperlihatkan tekstur
sedang - agak kasar, rona terang - gelap, dan
membentuk topografi bergelombang lemah - kuat.
Satuan ini melampar luas di daerah Muara Wahau
hingga Muara Marah, setara dengan Formasi Maau
(Tomm) yang tersusun atas sedimen klastik halus
- sedang (Atmawinata, 1995). Satuan I1dan I2
memperlihatkan tekstur halus - sedang, rona sedang,
membentuk topografi bergelombang. Satuan I1
dan Satuan I2 setara dengan Formasi Pamaluan
(Tomp) yang tersusun atas sedimen batupasir. Satuan
J memperlihatkan tekstur kasar, rona terang, dan
membentuk topografi perbukitan. Satuan J setara
dengan Formasi Lebak (Toml) yang tersusun atas
batugamping klastik (Sukardi, 1995).
Satuan K memperlihatkan tekstur sedang, rona
sedang, dan membentuk topografi bergelombang
ringan, dijumpai di sebelah baratdaya Pengandan.
Satuan K setara dengan Formasi Maluwi (Tmma)
yang tersusun atas sedimen klastik halus. Satuan
L memperlihatkan tekstur agak kasar, rona sedang,
dan membentuk topografi bergelombang sedang.
Satuan ini setara dengan Formasi Manumbar (Tmme)
yang tersusun atas sedimen batulumpur. Satuan
M1 dan Satuan M2 menampakan tekstur sedang agak kasar, rona sedang, dan membentuk topografi
bergelombang kuat. Satuan M1 dan Satuan M2 setara
dengan Formasi Balikpapan (Tmbp) yang tersusun
atas sedimen flish. Satuan N muncul teridentifikasi
dengan tekstur sedang, rona sedang, dan membentuk
topografi bergelombang kuat. Satuan N setara
dengan Formasi Pulau Balang (Tmpb) yang tersusun
atas sedimen batupasir.
Satuan O memperlihatkan tekstur halus - sedang,
rona sedang, dan membentuk topografi bergelombang
ringan. Satuan O setara dengan Formasi Golok
(Tmpg) yang tersusun atas sedimen batunapal.
Satuan P memperlihatkan tekstur sedang - kasar, rona

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

Gambar 4
Citra Landsat TM dan Interpretasi Struktur Geologi

Gambar 5
Citra PALSAR dan Interpretasi Struktur Geologi

109

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

Gambar 6
Citra SRTM dan Interpretasi Struktur Geologi

Gambar 7
Peta Citra Penginderaan Jauh Kutei Atas Bagian Utara

110

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

sedang, dan membentuk topograsi bergelombang.


Satuan P setara dengan Formasi Domaring (Tmpd)
yang tersusun atas sedimen batugamping koral.
3. Batuan Vulkanik
Satuan V yang memperlihatkan tekstur kasar,
rona gelap dan membentuk topografi perbukitan,
dijumpai di selatan Muara Ritan. Satuan V setara
dengan Gunung Api Nyaan yang tersusun atas
material piroklastik.
4. Batuan Bancuh
Satuan ML teramati dengan tekstur kasar, rona
gelap dan membentuk topografi perbukitan. Satuan
ini setara dengan Batuan Melange yang tersusun
atas batuan tektonik mlange. Satuan ini dijumpai
disebelag baratlaut Muara Wahau (Supriatna,
1995).
5. Alluvial
Satuan Q memperlihatkan tekstur halus, rona
sedang dan membentuk topografi datar. Satuan Q
setara dengan endapan Alluvial dan Endapan Danau
(Q) yang tersusun atas sedimen halus (Atmawinata,
1995).
B. Struktur
Berdasarkan arah lapisan batuan, pola pengaliran
dan perubahan bentuk topografi pada citra satelit
PALSAR, Landsat, dan SRTM teridentifikasi adanya
kelompok lipatan dan sesar yang berkembang di
Cekungan Kutei Atas Bagian Utara. Secara umum
kelompok lipatan berarah baratlaut utara - tenggara
selatan hingga timurlaut utara - baratdaya selatan,
sedangkan sesar berarah utara - selatan dan baratlaut
- tenggara.
1. Lipatan
Struktur geologi lipatan di daerah kajian
teramati berkembang di daerah Ritan, Muara
Bengkal, Muara Wahau - Muara Marah, dan
Gunung Beriun - Pengandan, dan disebut sebagai
Lipatan Ritan, Kelompok Lipatan Muara Bengkal,
Kelompok Lipatan Muara Wahau - Muara Marah,
dan Kelompok Lipatan Gunung Beriun Pengandan.
Lipatan Muara Ritan berupa antilkin yang berarah
timurlaut utara - baratdaya selatan, batuan termuda
yang terlipat adalah satuan M yang setara dengan
Formasi Balikpapan (Tmbp). Kelompok Lipatan
Muara Bengkal berupa antiklin dan sinklin yang

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

berarah utara - selatan, batuan termuda yang terlipat


adalah satuan Q yang setara dengan endapan Aluvial.
Kelompok Lipatan Muara Wahau - Muara Marah
berupa antiklin dan sinklin yang berarah utara selatan hingga timurlaut utara - baratdaya selatan,
batuan termuda yang terlipat adalah satuan H yang
setara dengan Formasi Maau (Tomm) dan Formasi
Wahau (Tomw). Kelompok Lipatan Gunung Beriun
- Pengandan merupakan antiklin dan sinklin yang
berarah timurlaut utara - baratdaya selatan, batuan
termuda yang terlipat adalah satuan L yang setara
dengan Formasi Manumbar (Tmma).
2. Sesar
Struktur geologi sesar teramati melewati
Batuampar, Bungalon, Muara Karangan, dan Tepian
Langsat dan disebut sebagai Sesar Batuampar,
Sesar Bungalon, Sesar Muara Karangan, dan Sesar
Tepian Langsat. Sesar Batuampar berarah baratlaut
- tenggara, memotong satuan batuan H hingga N
yang berumur oligosen - Akhir Miosen. Sesar ini
memisahkan kelompok Lipatan Muara Bengkal
dengan Kelompok Lipatan Muara Wahau - Muara
Marah. Sesar Bungalon berarah baratlaut - tenggara,
memotong satuan A hingga K yang berumur Kapur Akhir Miosen. Struktur ini memisahkan kelompok
Lipatan Muara Wahau - Muara Marah dengan
Kelompok Lipatan Gunung Beriun - Pengandan.
Sesar Muara Karangan ber arah baratlaut - tenggara,
memotong satuan A hingga J yang berumur Kapur Miosen Tengah. Sesar ini membatasi perkembangan
Kelompok Lipatan Gunung Beriun - Pengandan, dan
merupakan batas utara Cekungan Kutei Atas Bagaian
Utara. Sesar Tepian Langsat bearah utara - selatan,
memotong satuan I hingga M yang berumur oligosen
- miosen.
Arah dan dimensi Sesar Batuampar, Sesar
Bungalon, dan Sesar Muara Karangan yang hampir
sejajar dengan struktur regional mengindikasikan
bahwa struktur tersebut mempunyai kaitan yang erat
dengan konfigurasi dasar cekungan.
Dengan teridentifikasinya jenis batuan dan struktur
geologi yang berkembang, maka identifikasi potensi
jebakan migas bisa dilakukan untuk mengurangi
luasan kajian selanjutnya. Struktur antiklin adalah
target untuk eksplorasi migas pada jebakan struktural.
Penggabungan antara data penginderaan jauh dan
111

GEOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM STUDI

SULIANTARA

data gaya berat diharapkan bisa mempersempit


wilayah kegiatan eksplorasi lanjut.
IV. Kesimpulan
Dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing, citra satelit terbukti mampu merekam
kondisi geologi permukaan bumi. Citra satelit radar
tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan mampu
memperlihatkan kontrat bentuk topografi permukaan
bumi. Citra satelit optik mampu memperlihatkan
kondisi tutupan lahan (pola pengaliran, jaringan jalan,
dan topografi). Interpretasi secara simultan terhadap
gabungan citra tersebut terbukti meningkatkan
perolehan informasi kondisi geologi permukaan
daerah kajian. Dua puluh empat (24) satuan foto yang
setara dengan satuan batuan terpetakan berkembang
di daerah kajian. Tiga kelompok lipatan, yaitu
Kelompok Lipatan Muara Bengkal, Kelompok
Lipatan Muara Wahau - Muara Marah, dan Kelompok
Lipatan Gunung Beriun - Pengandan dipisahkan oleh
Sesar Batuampar, Sesar Bungalon, dan Sesar Muara
Karangan.
Daerah Muara Wahau - Muara Marah, dan Ritan
- Muara Bengkal berpotensi sebagai lokasi kegiatan
eksplorasi migas lanjut.


112

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 103 - 112

Kepustakaan
1. Atmawinata S, Ratman N, dan Baharudin,
1995, Peta Geologi Lembar Muara Ancalong,
GRDC Bandung.
2. Hadipandoyo, S., Setyoko, H.J., Suliantara,
Agus Guntur, Hartanto, H.S, Harahap,
M.D., Firdaus, N. 2007, Kuantifikasi
Sumberdaya Hidrokarbon Indonesia, PPPTMGB
LEMIGAS.
3. Ott, H.L., 1987, The Kutei Basin - A Unique
Structural History, , Proceedings Indonesia
Petroleum Association, 17th annual convention
Jakarta.
4. Sukardi B, Jamal S, Supriatna S, dan Santosa
S, 1995, Peta Geologi Lembar Muara Lasan,
Kalimantan Timur, GRDC, Bandung.
5. Supriatna S., dan Abidin H.Z, 1995, Peta
Geologi Lembar Muara Wahau, Kalimantan
Timur, GRDC, Bandung.
6. Wain, T., and Berod, B., 1989, The Tectonic
Framework and Paleogeographic Evolution of
The Upper Kutei Basin, Proceedings Indonesia
Petroleum Association, 18th annual convention
Jakarta.

Injeksi Surfaktan Polimer dengan Pola


Quartered Five Spot pada Reservoir Minyak
Edward ML Tobing

Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 27 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 28 Juli 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Hasil screening metoda Enhanced Oil Recovery (EOR) pada reservoir minyak Q menunjukkan
bahwa metoda EOR yang cocok diterapkan adalah injeksi kimia surfaktan-polimer. Uji terhadap
air formasi, minyak, surfaktan dan polimer, serta penentuan campuran surfaktan-polimer untuk
injeksi pada reservoir tersebut telah dilakukan. Campuran konsentrasi optimum yang diperoleh
terdiri atas 0.005% berat surfaktan dan 0.05% berat polimer. Pemodelan simulasi injeksi surfaktanpolimer ke dalam reservoir minyak dengan pola quartered five spot telah dilakukan menggunakan
simulator injeksi kimia tiga dimensi UTCHEM. Model tersebut digunakan untuk mengetahui
pengaruh injeksi surfaktan-polimer tersebut terhadap peningkatan perolehan minyak. Dengan
menggunakan konsentrasi surfaktan-polimer tersebut di atas, yang kemudian dinyatakan sebagai
base case dengan rancangan urutan injeksi terdiri atas 0.65 PV air formasi yang dilanjutkan dengan
0.4 PV Surfaktan-Polimer dan kembali dilakukan injeksi 1.45 PV air formasi, dan menghasilkan
kumulatif perolehan minyak sebesar 79.52% OOIP. Berdasarkan model base case tersebut,
selanjutnya dilakukan uji sensitivitas perolehan minyak terhadap parameter volume kumulatif
injeksi air dan surfaktan-polimer, konsentrasi surfaktan dan polimer. Dari hasil uji sensitivitas,
kemudian dipilih dari ketiga parameter tersebut yang optimum dan menghasilkan kumulatif
perolehan minyak sebesar 85.1% OOIP.
Kata kunci : injeksi surfaktan polimer, quartered five spot
ABSTRACT
Screening Enhanced Oil Recovery (EOR) method test results show that the best method for
oil reservoir Q is surfactant polimer injection. Analysis of water, oil, surfactant, and polimer
were performed as well as determination of the injected surfactant-polimer mixture. The optimum
mixture concentration contained 0.005 percentage of surfactant and 0.05 percentage of polymer.
Simulation model of surfactant-polymer injection with quarted inverted five spot pattern has been
developed by using 3-Dimension chemical injection UTCHEM simulator prior to investigate effect
of surfactant-polymer injection to the oil recovery. By using optimum mixture concentration as
base case, the procedure of injection has been designed as following sequence, at first inject with
0.65 PV formation water then continue with 0.4 PV surfactant polimer, finally inject with 1.45 PV
water formation resulted cummulative oil recovery valued 79.52% of OOIP. Based on base case
model, sensitivity tests regarding oil recovery were run three parameters which were toward
cummulative volume water and surfactant-polimer injection, surfactant concentration and also
polimer concentration. The results show the optimum three parameters that produced cumulative
oil recovery value at 85.1 % OOIP.
Keywords : surfaktan polimer injection, quartered five spot

113

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA

EDWARD ML TOBING

I. PENDAHULUAN

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

muka (s) antara fase bergerak dan fase minyak yang


terjebak. Persamaan (1) di bawah ini menunjukkan
hubungan antara kecepatan Darcy, viskositas dan
tegangan antar muka dan sudut kontak terhadap
Bilangan Kapiler.

Setelah proses injeksi air secara konvensional


berlangsung, sisa minyak yang ada di dalam re
servoir kurang lebih sebanyak 70 % dari awal isi
minyak1). Sisa minyak tersebut tertinggal dalam fasa
diskontinyu dalam bentuk tetes-tetes minyak yang
terperangkap atau terjebak karena adanya gaya ka
piler. Metoda Enhanced Oil Recovery (EOR) injeksi
surfaktan-polimer telah terbukti efektif menurunkan
saturasi minyak tersisa dalam skala percobaan di
laboratorium maupun skala proyek di lapangan
dengan cara menurunkan tegangan antar muka dan
perbandingan mobilitas antara fase minyak dan air.
Dari beberapa uji pilot yang telah dilaporkan menunjukkan bahwa perolehan minyak mencapai lebih dari
60 % dari awal isi minyak 1).
Surfaktan dapat menurunkan tegangan antar
muka antara air formasi dan minyak tersisa sehingga
dapat menaikkan bilangan kapiler. Bilangan kapiler
(Nc) digunakan untuk menyatakan peran gaya yang
bekerja dalam tetes minyak yang terperangkap dalam
media berpori. Nc merupakan fungsi dari kecepatan
interstitial (v) untuk bergerak dalam fase terjebak,
viskositas (m) dari fase bergerak, dan tegangan antar

Nc =

......... (1)

Bilangan kapiler mempunyai harga sekitar 10-6


yang didapat setelah selesai injeksi air dan bilangan

Gambar 1
Plot Perolehan Minyak terhadap Bilangan Kapiler

Tabel 1
Hasil Screening EOR Injeksi Surfaktan-Polimer pada Reservoir Q

No.

Karakteristik Fluida dan Batuan Reservoir

1.

Gravity Minyak

2.

Kriteria Penyaringan Metoda


Surfaktan Polimer

API

45.6

>20

35

Viskositas Minyak

cp

1.25

<35

13

3.

Saturasi Minyak

85.3

>35

53

4.

Jenis Formasi

5.

Permeabilitas rata-rata

mD

451.0

>10

450

6.

Kedalaman

ft, ss

6197.2

<9,000

3250

156.2

<200

80

SS

7.

Suhu Reservoir

8.

Tekanan Reservoir

psig

3771.0

9.

Porositas rata-rata

33.3

10.

Saturasi air rata-rata

14.7

Disukai SS

= Disarankan untuk harga karakteristik reservoir yang lebih tinggi


= Disarankan untuk harga karakteristik reservoir yang lebih rendah
35

= Harga rata-rata karakteristik reservoir yang digunakan


114

Keterangan
Memadai untuk
Injeksi
Surfaktan
Polimer

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA


EDWARD ML TOBING

ini minimal dua atau tiga kali lipat diperlukan agar


dapat meningkatkan efisiensi pendesakan minyak.
Tegangan antar muka antara minyak dan air selama
injeksi air berlangsung berkisar antara 1 sampai 10
mN/m. Menggunakan surfaktan yang memadai dapat
menurunkan tegangan antar muka hingga 10-2 mN/m
atau lebih kecil, sehingga menghasilkan peningkatan
bilangan kapiler sekitar dua atau tiga kalinya. Plot
perolehan minyak terhadap bilangan kapiler dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pada proses injeksi surfaktan-polimer, surfaktan
berperan untuk menurunkan tegangan antar muka
antara fase minyak dan air sampai pada tingkat
yang dapat meningkatkan mobilitas minyak yang
terperangkap. Sedangkan peran polimer adalah untuk
menaikkan viskositas fluida pendesak, menurunkan
perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dan
fluida yang didesak sehingga akan memperbaiki
efisiensi penyapuan volumetrik. Dalam merancang
proses injeksi surfaktan polimer harus dicapai
tiga tujuan utama yaitu: penyebaran bahan kimia,
jumlah bahan kimia injeksi yang cukup, dan tercapai
penyapuan maksimal dari daerah yang menjadi
sasaran. Tercapainya tujuan tersebut dipengaruhi oleh
pemilihan bahan kimia, konsentrasi larutan surfaktan
polimer, dan ukuran slug. Penerapan injeksi
surfaktan-polimer di lapangan minyak jumlahnya
semakin bertambah karena memberi sumbangan
dalam peningkatan perolehan minyak.
Penelitian ini meliputi: (1) screening metoda
EOR terhadap reservoir Q, (2) uji laboratorium
terhadap fluida reservoir (minyak dan air formasi),
surfaktan -polimer yang akan digunakan dan (3)
pemodelan numerik injeksi kimia menggunakan
simulator (UTCHEM-9). Dengan simulator tersebut
dilakukan simulasi injeksi surfaktan polimer pada
skala pilot dengan pola injeksi sumur quartered five
spot. Selanjutnya dilakukan uji sensitivitas terhadap
kumulatif injeksi serta konsentrasi surfaktan-polimer
untuk mendapatkan desain fluida yang optimal.
II. SCREENING METODA EOR UNTUK
RESERVOIR Q
Screening metoda EOR pada reservoir Q
dilakukan dengan cara membandingkan data
karakteristik fluida dan batuan reservoir terhadap
kriteria penyaringan metode EOR yang dikembangkan
oleh J.J Taber dan F.D Martin2). Karakteristik fluida
dan batuan reservoir yang digunakan sebagai

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

Gambar 2
Pola Injeksi Five Spot

Gambar 3
Pola Injeksi Quartered Five Spot

parameter pembanding adalah oAPI gravity minyak,


viskositas minyak, saturasi minyak, jenis batuan
reservoir, permeabilitas rata-rata batuan, kedalaman
formasi, suhu reservoir, tekanan reservoir, porositas
dan saturasi air. Data karakteristik fluida dan batuan
reservoir Q ditampilkan pada Tabel 1. Data ini
dibandingkan dengan parameter screening kriteria
yang dikembangkan oleh J.J Taber dan F.D Martin.
115

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA


EDWARD ML TOBING

Berdasarkan uji screening tersebut, maka dapat di


simpulkan bahwa pada reservoir Q memadai untuk
diterapkan metoda injeksi kimia surfaktan polimer.
III. UJI LABORATORIUM FLUIDA INJEKSI
SURFAKTAN POLIMER
Tujuan dilakukan uji laboratorium fluida injeksi
kimia surfaktan polimer difokuskan pada desain
fluida injeksi untuk mendapatkan konsentrasi polimer
dan surfaktan yang optimum supaya dapat menaikkan
mobilitas fluida injeksi serta menurunkan tegangan
antar muka (interfacial tension, IFT) antara fluida
injeksi dan minyak, sehingga dapat meningkatkan
perolehan minyak pada tahap tertier recovery.
Dis amping itu, uji laboratorium ini juga untuk
memperoleh parameter dasar dari fluida reservoir Q
dan fluida injeksi. Tegangan antar muka minyak dan
air 1.477 dyne/cm, serta viskositas air dan minyak
pada suhu reservoir 156.2 oF, masing-masing 0.42
cp dan 1.25 cp. Salinitas air formasi 0.627 meq/
ml yang didominasi oleh kandungan Chloride dan
Kalsium. Sedangkan densitas air formasi 0.4368
psi/ft. Surfaktan yang dilarutkan dalam air formasi
dengan konsentrasi 0.005 % berat atau sama dengan
50 ppm dengan densitas 0.433 psi/ft, membentuk
fase air-mikroemulsi dan minyak-mikroemulsi, yang
masing masing harga tegangan antar muka pada suhu
reservoir 0.007 dyne/cm dan 0.1 dyne/cm. Polimer
yang dilarutkan dalam air formasi dengan konsentrasi
0.05 % berat atau sama dengan 500 ppm, diperoleh
harga viskositas pada suhu reservoir 1.8429 cp.
IV. SIMULASI RESERVOIR INJEKSI
SURFAKTAN POLIMER
Untuk memodelkan kondisi dinamik suatu
reservoir dapat digunakan simulator numerik
reservoir. Dalam kajian ini simulator yang digunakan
adalah UTCHEM-9.82 yang merupakan simulator
injeksi kimia tiga dimensi (3-D), dan dapat
diaplikasikan untuk multikomponen (air, minyak,
Surfaktan, Polimer, Anion Chloride, Kation divalen
: Ca++ , Kation divalen : Mg++, Karbonat, Sodium, Ion
hydrogen, Oil acid) dan multi fase (air, minyak dan
microemulsi). Model ini dikembangkan berdasarkan
model komposisional yang memperhitungkan
berbagai sifat fase yang komplek, perubahan sifat
fisik dan kimia serta keberagaman sifat media
berpori. Skema solusi yang digunakan adalah:
parameter tekanan dipecahkan secara implisit dan
parameter konsentrasi dan saturasi dipecahkan secara
eksplisit.

116

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

Pada simulator ini, persamaan aliran dan


perpindahan massa dijabarkan dalam bentuk
berbagai macam zat kimia (air, zat-zat organik,
surfaktan, alkohol, polimer, cloride, calcium,
elektrolit, zat microbiological, penerima elektron,
dst). Zat-zat tersebut dapat berwujud menjadi
4 fase (gas, air, minyak, dan microemultion)
dan juga dalam wujud padat, tergantung dari
komposisi penyusunnya. Interaksi surfaktan polimer
dimodelkan dengan menggunakan reaksi in situ
generated surfaktan, pengendapan dan dissolution
mineral, perpindahan kation pada mineral lempung
dan micelle, serta adsorpsi secara kimiawi. Selain itu
juga turut diperhitungkan adalah model reaksi kimia,
keheterogenan karakteristik batuan serta reservoir
hidrokarbon yang terdiri dari fase ganda.
A. Injeksi Surfaktan Polimer dengan Pola
Quartered Five Spot
Injeksi surfaktan polimer pada reservoir minyak
dalam skala pilot proyek dimodelkan dengan pola
injeksi five spot yang berbentuk bujur sangkar, yaitu
satu sumur produksi dan empat sumur injeksi dengan
luas area 9.0 acre, yang dapat dilihat pada Gambar
2. Ketebalan lapisan sebesar 50 ft dan reservoir
dianggap homogen berdasarkan karakteristik batuan
reservoir. Untuk dapat menyederhanakan dalam
model simulator, maka diambil seperempat dari
pola injeksi five spot atau disebut quartered five spot
(Gambar 3), dengan luas 2.25 acre atau 98010 ft2 dan
dirancang untuk satu sumur injeksi dan satu sumur
produksi. Pola ini masing-masing dibagi dalam 10 sel
untuk arah sumbu x dan sumbu y dengan panjang
setiap sel sebesar 31.31 ft. Dan pada sumbu z terdiri
dari 7 lapisan dengan masing-masing lapisan setebal
7.143 ft. Dan dengan demikian jumlah sel model ini
adalah 10 x 10 x 7. Puncak reservoir Q terdapat
pada kedalaman 6197.15 ft bawah permukaaan laut,
dengan tekanan awal dan saturasi air awal masingmasing sebesar 3771.04 psi dan 14.7 %. Sedangkan
awal isi minyak ditempat (Original Oil Inplace,
OOIP) reservoir ini sebesar 247.77 Mbbl.
Berdasarkan model yang dikembangkan,
dirancang injeksi surfaktan-polimer sebanyak 2.5 PV
(pore volume). Injeksi ini dibagi menjadi tiga langkah
dimana untuk setiap langkah terdapat perbedaan baik
dalam laju injeksi, konsentrasi surfaktan, konsentrasi
polimer, dan volume injeksi. Pada langkah I adalah
penginjeksian air. Air yang diinjeksikan adalah air
formasi sebanyak 0.65 PV dengan laju injeksi sebesar

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA


EDWARD ML TOBING

2000 cuft/hari. Tujuan injeksi air formasi ini adalah


sebagai pre-flush sebelum diinjeksikannya larutan
surfaktan-polimer, dan mengetahui perolehan minyak
maksimum akibat injeksi air yang merepresentasikan
tahap secondary recovery.
Selanjutnya pada langkah-II yang terbagi atas
langkah II.A dan II.B adalah penginjeksian air
formasi yang telah dicampur dengan surfaktan dan
polimer dengan kumulatif volume injeksi surfaktanpolimer sebesar 0.4 PV, dengan rincian berikut ini.
Pada langkah II.A diinjeksikan air formasi yang
telah dicampur surfaktan dengan konsentrasi 0.005 %
berat (50 ppm) dan polimer dengan konsentrasi 0.05
% berat (500 ppm) sebanyak 0.3 PV, dengan laju alir
sebesar 2666.935 cuft/hari. Kemudian pada langkah
II.B diinjeksikan kembali air formasi yang telah
dicampur dengan surfaktan dengan konsentrasi yang
sama seperti sebelumnya juga yaitu 0.005 % berat
(50 ppm) dan polimer dengan konsentrasi yang lebih
kecil dari sebelumnya yaitu 0.025 % berat (250 ppm),
sebanyak 0.1 PV dengan laju alir sebesar 2666.935
cuft/hari. Langkah-III penginjeksian air formasi
tanpa surfaktan-polimer, sebanyak 1.45 PV dengan
laju alir 2666.935 cuft/hari, sehingga kumulatif
volume injeksi dari ketiga langkah diatas sebanyak
2.5 PV. Secara skematik ketiga langkah tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4, yang selanjutnya
disebut sebagai Base Case. Perolehan minyak dari
pemodelan Base Case ini sebesar 79.52 % OOIP
atau sebanyak 197.020 Mbbl selama 713 hari, di
mana plot perolehan minyak terhadap volume injeksi
dapat dilihat pada Gambar 5.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

Gambar 4
Skema Injeksi Surfaktan Polimer Base Case

Gambar 5
Perolehan Minyak terhadap
Volume Injeksi (Base Case)

B. Uji Sensitivitas Injeksi Surfaktan Polimer


Uji sensitivitas terhadap beberapa parameter
injeksi surfaktan polimer pada model Base Case,
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
parameter tersebut terhadap perolehan minyak. Uji
sensitivitas dapat membantu menentukan skenario
optimun yang menghasilkan produksi minyak
maksimal. Berdasarkan data pada model Base Case
di atas, maka dikembangkan uji sensitivitas terhadap
lima parameter berikut ini:
1. Kumulatif volume injeksi air sebelum injeksi
surfaktan polimer.
2. Kumulatif volume injeksi surfaktan polimer.
3. Kumulatif volume injeksi air setelah injeksi
surfaktan polimer.

Gambar 6
Perolehan Minyak terhadap Kumulatip Volume
Injeksi Air sebelum Injeksi Surfaktan Polimer

4. Konsentrasi surfaktan, dan


5. Konsentrasi polimer.
117

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA


EDWARD ML TOBING

1. Kumulatif Volume Injeksi Air sebelum


Injeksi Surfaktan Polimer
Dari model Base Case menunjukkan bahwa
kumulatif volume injeksi air sebelum injeksi
surfaktan polimer adalah sebanyak 0.65 PV dengan
perolehan minyak sebesar 79.52%. Uji sensitivitas
terhadap kumulatip volume air sebelum injeksi
surfaktan polimer dilakukan dengan mengubah
kumulatip volume injeksi air pada rentang 0.35
PV sampai dengan 0.85 PV, dengan batasan water
cut tidak melebihi 95%. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa dengan mengurangi atau
menambah volume injeksi air sebelum injeksi
surfaktan polimer, mempunyai pengaruh yang kecil
terhadap perolehan minyak, karena saturasi residual
minyak tidak berubah akibat penambahan volume
injeksi air. Sehingga didapat volume injeksi air
sebelum injeksi surfaktan polimer yang optimum
adalah sebesar 0.35 PV dengan total oil recovery
sebesar 79.52%. Dengan demikian dapat mengurangi
injeksi air sebanyak 0.30 PV dan didapat perolehan
minyak yang sama yaitu sebesar 79.52%. Plot
perolehan minyak terhadap kumulatif volume injeksi
air ditunjukkan pada Gambar 6.
2. Kumulatif Volume Injeksi Air setelah Injeksi
Surfaktan Polimer
Kumulatif volume injeksi air setelah injeksi
surfaktan polimer pada model Base Case adalah
sebanyak 1.45 PV, dengan perolehan minyak sebesar
79.52 %. Uji sensitivitas terhadap kumulatif volume
injeksi air setelah injeksi surfaktan polimer, dilakukan
perubahan kumulatif volume injeksi air pada rentang
0.0 PV sampai dengan 1.75 PV. Perolehan minyak
berdasarkan uji sensitivitas tersebut dapat dilihat pada
Gambar 7. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
dengan mengurangi volume injeksi air setelah injeksi
SP, mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
perolehan minyak terutama jika volume air injeksi
lebih kecil dari 0.6 PV. Volume injeksi air setelah
injeksi surfaktan polimer yang optimum adalah
sebesar 1.35 PV dengan perolehan minyak sebesar
79.52%, karena pengaruh penyapuan yang optimum
pula. Dengan demikian dapat mengurangi injeksi air
sebanyak 0.10 PV dan memperoleh perolehan minyak
yang sama sebesar 79.52%.
3. Kumulatif Volume Injeksi Surfaktan Polimer
Mengacu pada model Base Case kumulatif
volume injeksi surfaktan polimer adalah sebanyak

118

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

0.40 PV. Uji sensitivitas terhadap kumulatif volume


injeksi surfaktan polimer dilakukan perubahan
volume injeksi surfaktan polimer pada rentang 0.0
PV sampai dengan 1.20 PV. Plot perolehan minyak
terhadap kumulatip volume injeksi surfaktan polimer
dapat dilihat pada Gambar 8. Perolehan minyak
meningkat sejalan dengan bertambahnya volume
injeksi surfaktan polimer karena efektivitas peran
surfaktan menurunkan tegangan antar muka dan
peran polimer meningkatkan efisiensi penyapuan
volumetrik. Vol ume optimum injeksi surfaktan
polimer pada 0.6 PV dengan perolehan minyak
sebesar 85.06 %.
4. Konsentrasi Surfaktan
Pada model Base Case, konsentrasi surfaktan
yang digunakan adalah 0.005% berat atau 50 ppm.
Pada uji sensitivitas terhadap konsentrasi surfaktan
dilakukan perubahan konsentrasi surfaktan pada
rentang 0.0 sampai dengan 0.04. Plot perolehan
minyak terhadap konsentrasi surfaktan ditunjukkan
pada Gambar 9. Perolehan minyak meningkat sejalan
dengan bertambahnya konsentrasi surfaktan dan
menurunnya harga tegangan antar muka. Konsentrasi
optimum surfaktan terletak pada titik belok yaitu
sebesar 0.012% berat dengan perolehan minyak
sebanyak 85.43%.
5. Konsentrasi Polimer
Konsentrasi polimer yang digunakan pada
model Base Case terdiri dari dua tahap. Tahap
pertama konsentrasi polimer adalah sebesar 0.05%
berat, dan selanjutnya pada tahap kedua dengan
konsentrasi 0.025% berat. Pada uji sensitivitas ini,
dilakukan perubahan terhadap konsentrasi polimer.
Perubahan konsentrasi polimer tahap pertama pada
rentang 0.05 % berat sampai dengan 0.09% berat.
Dan perubahan konsentrasi polimer tahap dua pada
rentang 0.15 % berat sampai dengan 0.07% berat.
Plot perolehan minyak terhadap konsentrasi polimer
dapat dilihat pada Gambar 10. Terlihat disini bahwa
pada konsentrasi tahap awal polimer sebesar 0.09%
berat dan konsentrasi tahap akhir 0.07% berat,
perolehan minyak menurun mencapai 82.39% yang
menunjukkan efektivitas polimer berkurang akibat
partikel polimer yang melebihi lubang pori batuan.
Konsentrasi polimer yang optimum dicapai pada
tahap awal sebesar 0.08 % berat dan tahap akhir
sebesar 0.08% berat, dengan perolehan minyak
sebesar 82.62%.

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA


EDWARD ML TOBING

Gambar 7
Perolehan Minyak terhadap Kumulatif Volume
Injeksi Air setelah Injeksi Surfaktan Polimer

Gambar 8
Perolehan Minyak terhadap Kumulatif Volume
Injeksi Surfaktan Polimer

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

Gambar 10
Perolehan Minyak terhadap
Konsentrasi Polimer

Gambar 11
Perolehan Minyak terhadap Volume Injeksi
(Optimum Case)

Tabel 2
Hasil Uji Sensitivitas Pemodelan Injeksi Surfaktan
Polimer (Quatered Five Spot)
Base
Case

Optimum
Case

Volume Injeksi Air sebelum Injeksi SP, PV

0.65

0.35

Volume Injeksi Air setelah Injeksi SP, PV

0.4

0.6

Volume Injeksi SP, PV

1.45

1.35

Kumulatif Volume Injeksi, PV

2.5

2.3

0.005

0.012

Konsentrasi Polimer (Tahap-I), % berat

0.05

0.07

Konsentrasi Polimer (Tahap-II), % berat

0.025

0.06

Perolehan Minyak, (% OOIP)

79.52

85.1

Perolehan Minyak, Mbbl

197.02

210.86

Kumulatif waktu Injeksi, hari

712.6

654.35

Parameter Uji Sensitivitas

Konsentrasi Surfaktan, % berat

Gambar 9
Perolehan Minyak terhadap
Konsentrasi Surfaktan

119

INJEKSI SURFAKTAN POLIMER DENGAN POLA


EDWARD ML TOBING

C. Optimalisasi Uji Sensitivitas Injeksi


Surfaktan Polimer
Berdasarkan model Base Case, perolehan
minyak setelah diinjeksikan Surfaktan-Polimer
adalah sebesar 79.51% OOIP atau sebesar 197020
BBL. Dari hasil lima uji sensitivitas yang telah
dilakukan, maka dipilih 5 parameter optimum yang
menghasilkan perolehan minyak maksimum, yang
kemudian disebut sebagai Optimum Case, dan
data parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel-2.
Hasil run Optimum Case menunjukkan perolehan
minyak sebesar 85.1% atau 210.86 MBbl, selama
654.35 hari. Penambahan perolehan minyak pada
optimum case dibandingkan base case adalah
sebesar 5.58% atau 13.84 MBbl. Plot perolehan
minyak terhadap volume injeksi dari Optimum
Case ditunjukkan pada Gambar 11.
V. KESIMPULAN
1. Berdasarkan pemodelan simulasi reservoir
quartered five spot dari reservoir Q dengan
menginjeksikan surfaktan (0.005 % berat) dan
polimer (0.05 % berat) pada Base Case,
perolehan minyak sebesar 79.52 % OOIP atau
sebanyak 197.02 MBbl, dengan total waktu
injeksi selama 712.6 hari.
2. Hasil run pada Optimum Case menunjukkan
perolehan minyak meningkat menjadi 85.1 %
OOIP (210.86 MBbl) dengan kumulatip waktu
injeksi yang lebih singkat yaitu selama 654.35
hari.
VI. DAFTAR SIMBOL
Nc= Bilangan kapiler
s = Tegangan permukaan, dyne/cm


120

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 113 - 120

v = Darcy velocity, m/s


m = Viskositas, cp
KEPUSTAKAAN
1. D.O. Shah, 1998, Chemical Flooding :
Fundamental Aspects of Surfactant-Polymer
Flooding Process, Departement of Chemical
Engineering and Anesthesiology,University of
Florida, Gainesville, Florida.
2. Green W. Don dan Willhite, G. Paul, 2003,
Enhanced Oil Recovery , Society of Petroleum
Engineers Richarrdson, Texas, USA.
3. J.J. Taber, F.D. Martin , R.S. Seright, 1997,
EOR Screening Criteria Revisited Part 1 :
Introduction to Screening Criteria and Enhanced
Oil Recovery Field Projects, SPE Resevoir
Engineering Paper, Mexico, Agust.
4. Lake, Larry.W., 1989, Enhanched Oil Recovery,
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey
(1989).
5. Luis E. Zerpa et al., 2004, An Optimization
Methodology of Surfactant-Polymer Flooding
Processes Using Field Scale Numerical Simulation
and Multiple Surrogates, paper SPE 89387
presented at the 2004 SPE/DOE Fourteenth
Symposium on Improve Oil Recovery held in
Tulsa, Oklahoma, USA, 17-21 April.
6. UTCHEM-9.0 A Three-Dimensional Chemical
Flood Simulator, Vol. 1 and 2, Reservoir
Engineering Research Program, Center for
Petroleum and Geosystems Engineering, The
University of Texas at Austin, July 2000.

Efek Berat Molekul Polietilen Glikol (PEG)


pada Membran Selulosa Asetat terhadap
Selektifitas Pemisahan Gas CO2/CH4
Anda Lucia1) dan Adiwar2)

Pengkaji Teknologi1), Peneliti Madya2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 29 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 19 April 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

Sari
Pemisahan gas CO2 pada gas alam telah dilakukan dengan distilasi kriogenik dan adsorpsi.
Namun belakangan ini, proses pemisahan CO2 menggunakan membran menunjukan cukup
berpotensi dikarenakan kesederhanaannya, mudah dikontrol, kompak, murah dan pemakaian energi
yang sedikit. Penggunaan membran dengan fasilitas perpindahan lebih menarik perhatian seperti
membran dengan pembawa tetap (fixed carrier) karena mempunyai kelebihan yaitu disamping
daya tahan yang cukup baik, juga dapat ditingkatkannya permeabilitas dan selektifitas membran
terhadap pemisahan gas diakibatkan reaksi reversible antara pembawa dalam membran. Penelitian
ini diarahkan pada pemakaian PEG dengan berbagai berat molekul sebagai pembawa tetap dan
bertujuan untuk mengetahui pengaruh berat molekul PEG terhadap selektifitas pemisahan. Membran
dengan pembawa PEG dapat menghasilkan laju permeasi sebesar 2.55 x 106 cm3 (STP) cm-2 s-1
cm Hg pada tekanan 20 psi.
Kata Kunci : karbon dioksida, membrane fixed carrier, PEG, gas alam
Abstract
Separation of CO2 in natural gas is commercially accomplished by cryogenic distillation and
absorption. Membrane separation nevertheless lately shows potential for CO2 separation process
because of its inherent simplicity, ease of control, compact modular nature, lower cost and energy
efficiency. Gas separation using facilitated transport membrane has been further more attracting
attention because of reversible reaction between the carriers in membrane. This research is focused
on composing membrane fixed carrier in which cellulose acetate is used as based polymer and
PEG as a carrier with various molecule weight. The objective of this research is to know effect of
molecule weight of PEG to separation seletivity. The membrane with PEG 400 displayed a CO2
permeance of 2.55 x 106 cm3 (STP) cm-2 s-1 cm Hg at 20 psi.
Keywords : carbon dioxide, facilitated transport, membrane fixed carrier, natural gas

I. Pendahuluan
Pemisahan gas menggunakan membran yang
terfasilitasi perpindahan (fasilitated transport
membrane, FTM) sangat menarik dilakukan karena
mempunyai permeabilitas dan selektifitas yang cukup tinggi. Ada tiga macam membran terfasilitasi
(FTM), seperti membran cairan (liquid membrane),
membran pertukaran ion (ion-exchange membrane)
dan membran dengan pembawa tetap (fixed-carrier

membrane[1,2]. Membran dengan pembawa tetap


lebih menguntungkan dibandingkan dua membran
yang lain, dikarenakan daya tahannya yang cukup
baik.[2]
Permeabilitas dan selektifitas yang tinggi dapat
dicapai dikarenakan mekanisme yang ada tidak hanya
solusi dan difusi melainkan bisa terjadi mekanisme
adsorpsi dengan reaksi bolak balik antara membran
dengan absorbernya sehingga permeabilitas dan
selektifitas gas dapat ditingkatkan.[2,3]
121

EFEK BERAT MOLEKUL POLIETILEN GLIKOL


ANDA LUCIA DAN ADIWAR

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 121 - 124

Selulosa asetat merupakan salah satu material


membran yang diaplikasikan untuk pemisahan gas
CO2 dari gas alam. Membran ini sangat murah dan
penyiapan membrannya pun sederhana[1].
Penelitian terdahulu [4] telah mendapatkan
selektifitas gas CO 2 terhadap CH 4 yang cukup
tinggi sebesar 178.4 pada tekanan 20 psi dengan
menggunakan PEG sebagai absorber. Sedangkan pada
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
berat molekul PEG dan pengaruh konsentrasi PEG
dalam matriks membran terhadap permeabilitas dan
selektifitas gas tersebut.
II. Metode
Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap
pelaksanaan seperti pada penelitian sebelumnya[4] yaitu
berdasarkan teknik fasa inversi yang dikembangkan
oleh Loeb-Sourirajan. Proses pembuatan membran
dilakukan melalui pembuatan adonan yaitu selulosa
asetat, aseton dan formamida dengan perbandingan
rasio berat 1 : 2,15 : 1. Setelah campuran homogen
kemudian dimasukan absorber dengan konsentrasi
10% berat polimer yaitu : PEG 400, PEG 600 dan
PEG 1000. Larutan polimer dicetak dengan ketebalan
200 mm, dievaporasi selama 60 detik, dikoagulasi
dengan air suhu sekitar 10oC selama 1 jam dan
diannealing dengan air panas suhu 70oC selama 10
menit.
Membran yang terbaik dari hasil pengujian
berdasarkan berat molekul kemudian dilakukan
variasi konsentrasi dari PEG tersebut yaitu 10%,
20% dan 30%. Pengukuran permeabilitas dilakukan
dengan variable volume method[4]. Kolom flowmeter
terlebih dahulu dikalibrasi dengan air raksa untuk
mendapatkan volume sebenarnya dari kolom yang
dipakai. Pengukuran dilakukan pada rentang tekanan
103.4-517.1 cmHg (20-100 psi) pada suhu ambien.

Gambar 1
Laju Permeasi CO2 pada Berbagai
Berat Molekul PEG terhadap Tekanan

Gambar 2
Laju Permeasi CH4 pada Berbagai
Berat Molekul PEG terhadap Tekanan

III. Hasil dan Pembahasan


Gambar 1 memperlihatkan hubungan dari laju
permeasi CO2 dengan variasi tekanan pada membran
selulosa asetat yang mengandung absorber berupa
PEG 400, PEG 600 dan PEG 1000.
Pada Gambar 1. terlihat bahwa laju permeasi
gas CO2 pada membran dengan absorber PEG 400
lebih tinggi dua kali dari membran dengan PEG 600
dan lebih tinggi tiga kali dari membran dengan PEG
1000. Laju permeasi membran dengan PEG 400
terlihat sedikit menurun terhadap tekanan tinggi,
sedangkan laju permeasi gas CO2 pada membran

122

Gambar 3
Selektifitas Membran pada Berbagai Berat
Molekul PEG terhadap Gas CO2 dan CH4

EFEK BERAT MOLEKUL POLIETILEN GLIKOL


ANDA LUCIA DAN ADIWAR

dengan absorber PEG 600 dan PEG 1000 cenderung


tetap pada berbagai tekanan.
Semakin kecil berat molekul PEG semakin besar
laju permesi dari gas CO2. Indikasi yang terjadi
adalah matriks membran yang terdapat PEG dengan
berat molekul kecil akan membentuk porositas yang
kecil sehingga permeabilitasnya menjadi lebih kecil
dibanding matriks membran yang terdapat PEG
dengan berat molekul lebih besar.
Gambar 2 memperlihatkan hubungan dari laju
permeasi CH4 dengan variasi tekanan pada membran
selulosa asetat yang mengandung absorber berupa
PEG 400, PEG 600 dan PEG 1000.
Laju permeasi untuk gas CH 4 pada matriks
membran dengan PEG 400, PEG 600 dan PEG 1000
terlihat relatif sama dan sedikit meningkat dengan
meningkatnya. Laju permeasi pada gas CH4 lebih
kecil dari gas CO2 hal berindikasi bahwa adanya
absorber dapat meningkatkan laju permeasi dari
gas CO2 dan adanya reaksi antara gas CO2 dengan
absorber.
Gambar 3, memperlihatkan hubungan selektifitas
membran dengan penambahan absorber berupa PEG
400, PEG 600 dan PEG pada gas CO2 dan CH4 pada
berbagai tekanan.
Dari gambar terlihat bahwa selektifitas membran
selulosa yang mengandung PEG 400 sangat
berbeda sekali dengan membran selulosa yang
mengandung absorber PEG 600 dan PEG 1000
terutama pada tekanan 100-200 cmHg (20-30psi)
dimana selektifitasnya lebih tinggi sekitar 2-5 kali.
Gambar 4 memperlihatkan hubungan dari laju
permesi CO2 dengan variasi tekanan pada membran
selulosa asetat yang mengandung absorber berupa
PEG 400 dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30%.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa laju
permeasi CO 2 pada membran-PEG 400 dengan
konsentrasi 10% dan 20% cenderung tetap untuk
semua tekanan, sedangkan membran-PEG 400
dengan konsentrasi 30 % cenderung meningkat
sejalan dengan meningkatnya tekanan. Hal ini
berindikasi bahwa konsentrasi absorber melebihi
20 persen dapat membentuk matrik membran yang
meloloskan CO2, karena sifat absorpsi dari PEG itu
sendiri.
Gambar 5 memperlihatkan hubungan dari laju
permesi CH4 dengan variasi tekanan pada membran
selulosa asetat yang mengandung absorber berupa
PEG 400 dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30%.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 121 - 124

Gambar 4
Laju Permeasi CO2 pada Berbagai Konsentrasi
Penambahan PEG-400 terhadap Tekanan

Gambar 5
Laju Permeasi CH4 pada Berbagai Konsentrasi
Penambahan PEG-400 terhadap Tekanan

Gambar 6
Selektifitas Membran-PEG 400
pada Gas CO2 dan CH4

123

EFEK BERAT MOLEKUL POLIETILEN GLIKOL


ANDA LUCIA DAN ADIWAR

Pada gambar tersebut terlihat bahwa laju


permeasi CH 4 pada membran-PEG 400 dengan
konsentrasi 10% cenderung tetap untuk semua
tekanan, sedangkan membran-PEG 400 dengan
konsentrasi 20 % cenderung meningkat pada tekanan
diatas 300 cmHg (50 psi) sementara membran- PEG
400 dengan konsentrasi 30 % cenderung meningkat
sejalan dengan meningkatnya tekanan. Hal ini
berindikasi bahwa konsentrasi absorber melebihi
20 persen dapat membentuk matrik membran yang
membentuk porositas yang lebih besar sehingga
bukan hanya laju permeasi gas CO2 yang tinggi akan
tetapi juga laju permeasi gas CH4.
Gambar 6, memperlihatkan hubungan selektifitas
membran-PEG 400 dengan variasi konsentrasi pada
gas CO2 dan CH4, pada berbagai tekanan.
Variasi konsentrasi pada membrane dengan
PEG 400 sebagai membrane yang terbaik dilakukan
dengan variasi 10%, 20 % dan 30 % berat polimer.
Hasil pengujian menunjukan bahwa semakin kecil
konsentrasi PEG 400 pada matriks membran, maka
semakin besar selektifitas gas CO2 terhadap CH4,
terutama pada tekanan 100 cmHg (20 psi). Hal ini
dimungkinkan karena indikasi bahwa membran
dengan konsentrasi absorber yang kecil membentuk
matriks membran yang lebih kaya polimer dan lebih
polar serta membentuk membran yang mempunyai
porositas semakin kecil dari pada konsentrasi yang
lebih tinggi.
IV. Kesimpulan
Keberadaan PEG dengan berat molekul yang
berbeda dalam membrane selulosa asetat memper


124

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 121 - 124

lihatkan indikasi adanya peningkatan laju permeasi


terhadap CO2.
Keberadaan PEG dengan berat molekul
yang berbeda dalam membrane selulosa asetat
memperlihatkan indikasi adanya penekanan atau
perlambatan terhadap mekanisme solusi dan difusi
CH4 dalam matriks polimer selulosa asetat pada
semua tekanan yang mengakibatkan lebih kecilnya
laju permeasi CH4.
Membran dengan penambahan absorber berupa
PEG 400 dengan konsentrasi 10% berat polimer
mempunyai selektifitas tinggi pada tekanan 20 psi.
kePustakaan
1. Anda Lucia, 2006. Preparasi dan Karakterisasi
Membran Fixed-Carrier Untuk Pemisahan Gas
CO2/CH4 pada Tekanan 103.4-517.1 cmHg.
Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta.
2. Chen. H., Kovvali A.S., Sirkar K.K., 2000.
Selective CO 2 Separation from CO 2 -N 2
Mixtures by Immobilized Glycine-Na-Glycerol
Membranes. Industrial Engineering Chemical
Research vol 39, pages 2447-2458.
3. Mulder M., 1996. Basic Principle of Membrane
Technology. Second Edition. Kluwer Academic
Publishers, Netherlands.
4. Zhang.Y, Wang Z., Wang. S.C., 2002. Selective
Permeation of CO2 Through New Facilitated
Transport Membrane. Desalnation Vol. 154,
pages 385-388.

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Aquifer dengan Mekanisme Perubahan Fase
dan Alterasi Mineral
Septi Anggraeni1), dan Edward ML Tobing2)

Perekayasa Madya 1), Peneliti Madya 2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 12 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 28 Juni 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi terbuangnya emisi gas CO2 ke
atmosfir bumi dari industri yang menggunakan bahan bakar fosil adalah Carbon Capture and
Storage (CCS). Dengan teknologi ini emisi gas CO2 dapat dipisahkan, disalurkan dan kemudian
diinjeksikan ke tempat penyimpanan (sekuestrasi) di formasi geologi, atau dalam rangka penerapan
Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi dari reservoir minyak pada tahap
tersier. Emisi gas CO2 tersebut dapat juga disimpan pada depleted reservoir gas, lapisan batubara
atau saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi). Sebagai tempat penyimpanan gas CO2,
saline aquifer dianggap cukup aman karena dengan berjalannya waktu, maka gas CO2 yang larut
dalam air garam akan mengalami proses mineralisasi dan pengendapan. Di dalam reservoir saline
aquifer, mekanisme penyimpanan gas CO2 terdiri atas tiga tahap yaitu pada tahap pertama, gas
CO2 akan disimpan sebagai gas atau fluida supercritical pada reservoir yang mempunyai lapisan
tidak permeabel sebagai lapisan penutup (cap rock). Pada tahap kedua, gas CO2 akan larut ke
dalam air yang mengakibatkan perubahan sifat kebasaan air dan memengaruhi kelarutan mineral
yang terkandung dalam batuan. Dan tahap ketiga, gas CO2 akan berinteraksi dengan mineral
yang terkandung dalam batuan dan menghasilkan mineral baru yang dapat menyimpan gas CO2.
Pemodelan simulasi sekuestrasi gas CO2 pada saline aquifer berbentuk radial satu dimensi telah
dilakukan dengan menggunakan simulator ToughReact yang dapat merepresentasikan mekanisme
penyimpanan gas CO2 tersebut diatas dan memperkirakan kapasitas atau kemampuan reservoir
menyimpan gas CO2. Selain itu dapat diketahui penyebaran distribusi saturasi gas CO2, perubahan
pH yang mengakibatkan proses geokimia antara gas CO2 dengan mineral dalam batuan pasir serta
mineral yang terbentuk dari proses geokimia, dan perubahan porositas akibat perubahan mineral.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa potensi gas CO2 yang dapat tersekuestrasi secara permanen
pada saline aquifer untuk laju alir injeksi sebesar 90 kg/detik, 140 kg/detik dan 190 kg/detik selama
10 tahun masing masing sebesar 28.4 juta ton, 44.2 juta ton, dan 60.0 juta ton CO2.
Kata Kunci : Sekuestrasi gas CO2, saline aquifer, perubahan fase, altrasi mineral
ABSTRACT
Carbon Captured Storage, recently has been known as one of significant means to reduce gas
CO2 emission in the atmosfere produced from fossil energy consumption. In the CCS technology,
the gas CO2 is separated, transported and then injected into storage location such as: geological
formation such as: depleted oil or gas reservoir, saline aquifer and coal seams. Injection of CO2
into depleted oil or gas reservoir can be used to enhanced oil recovery. Saline aquifer as CO2
storage location is considered to be safe because gas CO2 will be dissolved into saline water then
gas CO2 will be reacted with the native rock mineral to precipitate and create mineral trapping. In
the reservoir of saline aquifer, gas CO2 will be retained in three mechanisms. First, gas CO2 will

125

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

be trapped as gas or supercritical fluid under a low permeability cap rock. Second, gas CO2 can
dissolved into saline water that changed the acidity of water and affects the solubility of minerals.
Third, gas CO2 can react with mineral of native reservoir rock leading to the precipitation of
secondary mineral that trap gas CO2. CO2 sequestration simulation modelling in the saline aquifer
was performed by developing 1-Dimension radial model using ThoughReact simulator prior to
determining the storage capacity of reservoir. The ThoughReact simulator has ability to model
all of the three mechnism and calculate the storage capacity of each mechnism. Furthermore, the
results also show the distribution of gas saturation, the change of pH value, and the evaluation
of geochemical reaction of CO2 with native minerals. The results indicate that the amount of CO2
stored in aquifer for rate injection at value of 90 kg/sec, 140 kg/sec, and 190 kg/sec are 28.4 million
tones, 44.2 million tones and 60.0 million tones, respectively for 10 years.
Keywords: Sequestration of gas CO2, saline aquifer, phase change, minerals alteration.
I. PENDAHULUAN
Secara alamiah sinar matahari yang masuk
ke bumi sebagian akan dipantulkan kembali oleh
permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar
matahari yang dipantulkan akan diserap oleh gas di
atmosfer yang menyelimuti bumi, dan selanjutnya
disebut sebagai Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga
sinar tersebut terperangkap dalam atmosfer bumi.
Peristiwa ini dikenal dengan Efek Rumah Kaca
(ERK), karena kejadiannya sama seperti rumah
kaca, di mana panas yang masuk akan terperangkap
di dalamnya dan tidak dapat menembus keluar
kaca, sehingga dapat memanaskan seisi rumah kaca
tersebut. Kejadian alam ini menyebabkan bumi
menjadi hangat dan layak dihuni oleh manusia,
karena jika tidak ada ERK, maka suhu permukaan
bumi akan lebih dingin.
GRK yang berada di atmosfer dihasilkan
dari berbagai kegiatan manusia terutama yang
berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil
(minyak bumi, gas bumi dan batubara) seperti pada
pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor, air
conditioning dan memasak. Dan juga dihasilkan dari
pembakaran dan penggundulan hutan serta kegiatan
pertanian dan peternakan. Selain itu karena pada
umumnya kandungan gas bumi di dalam reservoir
minyak dan gas bumi mengandung gas CO2, sehingga
bila hidrokarbon tersebut diproduksikan, maka akan
terbawa gas CO2 ke permukaan sebagai sumber GRK.
Sebagai contoh adalah Lapangan Gas Natuna dengan
perkiraan kandungan sebanyak 210 Triliun kaki
kubik, namun 70 % kandungannya terdiri atas gas
CO2. Dan contoh lain adalah di Propinsi Kalimantan
Timur, sedikitnya menghasilkan gas bebas CO2
sebanyak 20.95 juta ton selama tahun 2009 yang
berasal dari LNG Plant, Fertilizer Plant, Ammonia
Plant, Power Plant, Industri tambang batubara dan
industri minyak dan gas.

126

GRK yang dihasilkan dari kegiatan tersebut


di atas seperti gas CO 2, metana dan nitroksida
menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di
atmosfer. Meningkatnya konsentrasi GRK secara
global akibat kegiatan manusia menyebabkan sinar
matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan
bumi ke angkasa, sebagian besar terperangkap di
dalam bumi akibat terhambat oleh GRK tersebut.
Meningkatnya jumlah emisi GRK di atmosfer pada
akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi, yang kemudian dikenal dengan
pemanasan global. Pemanasan global ini membawa
dampak terjadinya perubahan iklim yang meme
ngaruhi kehidupan di bumi, dengan adanya peru
bahan musim secara ekstrim. Sebagai contoh musim
panas yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kekeringan dibarengi kenaikan intensitas curah
hujan yang akan menyebabkan banjir. Perubahan
iklim dapat menyebabkan fenomena perubahan
alam seperti: kenaikan permukaan air laut akibat
mencairnya es di kutub, meningkatnya frekuensi
kebakaran, meningkatnya penyebaran penyakit tropis
seperti malaria dan demam berdarah.
Perubahan iklim dunia yang disebabkan oleh
emisi gas CO 2 menjadi fokus perhatian dunia,
yang harus ditangani oleh negara maju maupun
berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara
yang telah menanda tangani protokol Kyoto melalui
UU No.17 tahun 2004 wajib ikut aktif berperan
serta dalam mencegah berlanjutnya perubahan iklim
dunia. Peran serta ini dapat berupa pengurangan emisi
karbon yang merupakan komponen utama GRK.
Salah satu cara mengurangi emisi GRK adalah
dengan menerapkan teknologi Carbon Capture and
Storage (CCS) yang merupakan kegiatan terpadu
dan terdiri dari pemisahan gas CO2, pengiriman,
dan penginjeksian ke dalam formasi geologi serta
termasuk didalamnya pengukuran, monitoring dan

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

verifikasi. Atau den gan melakukan


kegiatan sekuestrasi yaitu menangkap
gas CO2 dari sumber penghasil dan
menyimpan gas CO2 di dalam formasi
geologi (Gambar 1). Formasi geologi
yang dapat digunakan adalah formasi
aquifer, depleted reservoir minyak dan
gas, serta lapisan metana batubara (coal
bed methane). Keuntungan penerapan
teknologi sekuestrasi emisi gas CO2 di
dalam reservoir air bersalinitas tinggi
(aquifer) adalah mempunyai kapasitas
simpan yang cukup besar dan memiliki
kelengkapan data yang memadai
karena biasanya berhubungan dengan
reservoir hidrokarbon, terutama pada
sumur-sumur dry hole. Kelengkapan
data tersebut sangat penting untuk
dapat mengembangkan model reservoir
dan memonitor kinerja gas CO2 setelah
di injeksikan ke dalam reservoir.
Proses monitoring dimaksudkan
untuk meminimalkan resiko adanya
kebocoran gas CO2.
Pemodelan sekuestrasi gas CO 2
pada penelitian ini menggunakan
simulator matematik sumur tunggal
sekuestrasi gas CO2 ke dalam reservoir
Saline Aquifer (TOUGHREACT)
pada batuan batu pasir. Simulator
tersebut dapat memodelkan mekanisme
sekuestrasi gas CO 2 pada fase gas
atau larut dalam air dan terjadi reaksi
geokimia antara gas CO2 dengan batuan
sekitarnya, sehingga membentuk
mineral alterasi yang mengakibatkan
gas CO 2 terperangkap didalamnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperkirakan kapasitas simpan
gas CO2 pada saline aquifer. Selain
itu model yang dikembangkan dapat
digunakan memperkirakan distribusi
sekuestrasi gas CO2, saturasi gas CO2,
pH, dan porositas disekitar lubang sumur injeksi.
II. SEKUESTRASI GAS CO2 PADA SALINE
AQUIFER
A. Mekanisme Sekuestrasi Gas CO 2 dalam
Reservoir
Gas CO2 dapat terperangkap di dalam formasi
geologi dengan tiga cara (Gambar 2). Pertama

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Gambar 1
Skema Kegiatan Carbon Capture and Storage

Gambar 2
Mekanisme Perangkap Gas CO2

gas CO2 akan disimpan sebagai gas atau fluida


supercritical pada reservoir yang mempunyai lapisan
tidak permeabel sebagai lapisan penutup (cap rock).
Proses ini disebut sebagai perangkap hydrodynamic,
biasanya terjadi pada perioda yang pendek. Proses
kedua, gas CO2 akan terlarut kedalam air, proses
ini dinamakan perangkap solubility. Terlarutnya
gas CO2 ke dalam air tersebut mempengaruhi pH
127

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

air atau meningkatkan sifat kebasaan air, sehingga


memengaruhi kelarutan mineral-mineral yang
terkandung dalam batuan reservoir. Akibatnya dalam
waktu yang lama gas CO2 akan bereaksi secara
langsung maupun tidak langsung dengan mineral
dan organik yang terkandung dalam batuan reservoir
sehingga terjadi presitipasi di dalam batuan yang
memengaruhi harga porositas dan permeabilitas
batuan. Dalam waktu yang lama mengakibatkan
proses yang dinamakan perangkap mineral (mineral
trapping). Proses ini dapat mencegah gas CO2 bocor
dari tempat penyimpanan dan dapat menaikan tingkat
keamanan penyimpanan gas CO2 tersebut.
Selama injeksi gas CO 2 ke dalam formasi
berlangsung, proses geokimia sangat dipengaruhi
oleh aliran fluida fase ganda dan pengangkutan zat
terlarut. Tekanan fluida akan naik ketika gas CO2
mendesak air formasi, di mana sebagian gas CO2 akan
larut.Terlarutnya mineral-mineral dan adanya pengen
dapan dari mineral-mineral sekunder mengakibatkan
perubahan harga porositas dan permeabilitas dan
akan mengubah pola aliran. Semua proses hidrologi
dan kimiawi memengaruhi proses injeksi dan
penyimpanan gas CO2 ke dalam formasi. Reaksi dari
formasi terhadap injeksi gas CO2 tergantung dari
beberapa faktor diantaranya porositas, permeabilitas,
heterogenitas reservoir, karakteristik air formasi, dan
mineral yang terkandung dalam batuan reservoir.
Semua faktor tersebut sangat penting dalam
perencanaan sekuestrasi gas CO2 dalam formasi,
dan sebagai tambahan perlu dilakukan pemantauan
sifat fisika dan kimia sekitar sumur injeksi selama
dilakukannya injeksi gas CO2.
B. Faktor Kapasitas
Salah satu tujuan pengembangan model
sekuestrasi gas CO 2 dengan simulator numerik
adalah untuk mengetahui kapasitas atau kemampuan
reservoir untuk menyimpan gas CO2. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya gas CO2 yang di injeksikan
ke dalam aquifer dapat tersimpan dalam bentuk:
fase gas, terlarut dalam cairan, terperangkap dalam
mineral batuan. Jadi jumlah total masa gas CO 2
didalam volume reservoir merupakan jumlah total
masa CO2 untuk masing-masing fase, yang dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut,
MCO2 = MgCO2 + MlCO2 + MsCO2
........ (1)
Sedangkan Faktor Kapasitas (CF) didefinisikan
sebagai perbandingan antara MCO2 dengan masa CO2
yang tersimpan di dalam reservoir dengan volume
sebesar, V. Gas CO2 tersebut mengisi pori-pori batuan
pada tekanan dan suhu tertentu.

128

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

M all gas = V g (T , P, X )

........ (2)

maka,
CF = MCO2/ M all gas
= CFg + CFl + CFs
di mana,

........ (3)

CFg = S g
CFl = S l l X l

CO2

/ g

CFs = v s s / s CO2 / f g

........ (4)

Selama injeksi CO2, semua komponen sangat


dipengaruhi oleh kondisi transient, steady state,
dan efek equilibrium. Selanjutnya akan dibahas
perubahan fase gas CO2 yang terjadi selama proses
sekuestrasi CO2 ke dalam formasi.
C. Fase Gas
Beberapa studi sudah dilakukan untuk menentukan
data PVT dari gas CO2 dan telah diperoleh beberapa
korelasi berdasarkan percobaan dilaboratorium.
Dalam simulator numerik ini digunakan korelasi
yang dikembangkan oleh Altunin untuk menghitung
data PVT seperti densitas, viskositas, dan entalpi gas
CO2 dalam fase gas. Gambar 3 menunjukkan densitas
dan viskositas gas CO2 pada kondisi supercritical, di
mana untuk kondisi ini harga viskositas gas CO2 lebih
kecil dari harga viskositas air. Oleh sebab itu injeksi
gas CO2 ke dalam air menyebabkan ketidakseimba
ngan hidrodinamik (hydrodynamic instabilities).
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Chuoke
dan Vander Poel, didefinisikan harga m, yaitu
panjang gelombang maksimum fingering instability,
yang dinyatakan dalam persamaan berikut,
m2 = (12 p 2 k)/Nc
......... (5)
di mana bilangan tekanan kapiler atau Nc* = w u/ *
dan faktor mobilitas fluida gas CO2 dianggap kecil
atau diabaikan. Pada sistem injeksi gas CO2 bilangan
tekanan kapiler mempunyai harga pada rentang 1010
< Nc* <10-3 atau harga m pada rentang 0,3 mm< m
< 1.08 m, agar tidak terjadi aliran yang fingering.
Walaupun pada keadaan sebenarnya heterogenitas
batuan akan membuat aliran gas CO2 cenderung
menuju ke batuan yang mempunyai permeabilitas
lebih besar. Penentuan harga Faktor Kapasitas gas
CO2 menggunakan persamaan Buckley-Leveret di
mana dianggap tidak ada faktor ketidakseimbangan

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Gambar 3
Harga Densitas dan Viskositas Gas CO2 (Korelasi Altunin)

hidrodinamik, heterogenitas reservoir, tekanan


kapiler, kompresibilitas gas CO2, dan efek gravitasi
pada aliran dua fase, sehingga diperoleh persamaan
berikut,
CFg = Sf / ff
......... (6)
Di mana Sf adalah saturasi gas dan ff adalah fraksi
aliran gas yang berhubungan dengan permeabilitas
relatif dan viskositas fluida. Untuk kondisi suhu T
= 40oC dan fase cair dengan viskositas 0.8e-3 Pa.s,
harga permeabilitas relatif dapat menggunakan
korelasi berikut,
1. Korelasi van Genuchten untuk fase cairan,
krl =

S * {1- (1- (S*)1/m)m}2

......... (7)

di mana S* = (Sl Slr)/(1 Slr)


2. Korelasi Corey untuk fase gas,
2

K rg = (1 S ) 2 (1 S )

......... (8)

( Sl Slr )
di mana S =
( Sl Slr S gr )
Berdasarkan percobaan di laboratorium terhadap
beberapa contoh yang diambil dari formasi geologi
yang berbeda diperoleh harga permeabilitas relatif,
saturasi air irreducible (Slr) dan indeks distribusi poripori (m), sedangkan harga saturasi gas irreducible
dianggap = 0.05. Dari parameter-parameter tersebut
di atas kemudian diperoleh parameter saturasi frontal

(Sf), fractioanal flow (ff), Faktor Kapasitas Gas (CFg),


yang sama dengan harga rata-rata saturasi gas (Sg avg),
dan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Penentuan harga tekanan kapiler menggunakan
korelasi van Genuchten berikut ini:

Pcap = Po [{S *} 1/ m 1]1 m


di mana S =

( S l S lr )
( S l S lr S gr )

D. Fase Cair
Terlarutnya gas CO2 ke dalam air dapat mengikuti
hukum Henry berikut, di mana kelarutan gas CO2
dipengaruhi oleh salinitas, fugasitas, tekanan, dan
suhu.

Pn = K h X n

......... (9)

Kh adalah koefisien Henry yang merupakan fungsi


suhu dan mole fraksi dari larutan garam (NaCl) yang
terlarut dalam air, dan f adalah koefisien fugasitas
yang merupakan fungsi dari tekanan dan suhu.
Persamaan di atas digunakan untuk menghitung
Faktor Kapasitas cairan bila gas CO2 tersimpan
dalam batuan. Untuk kondisi tekanan pada rentang
80-450 Bar, T = 40oC dan salinitas NaCl sebesar 10
%, maka dapat digunakan kurva Faktor Kapasitas
cairan dan gas CO2 yang terlarut terhadap tekanan
yang ditunjukkan pada Gambar 4. Sedangkan untuk
129

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Tabel 1
Faktor Kapasitas dalam Fasa Gas Dari Beberapa Jenis Batuan Reservoir
sf

ff

CFg

k(m2)

slr

sand

8.25 E-12

0.105

0.6259

0.322

0.823

0.391

Loamy sand

4.05 E-12

0.139

0.5614

0.293

0.828

0.354

Handford backfill

2.48 E-12

0.0744

0.658

0.339

0.821

0.413

sandy loam

1.23 E-12

0.158

0.4709

0.26

0.833

0.312

Hanford formation

1.11 E-12

0.0837

0.469

0.28

0.831

0.337

middle Ringold

6.60 E-13

0.0609

0.392

0.258

0.835

0.309

Upper Ringold

4.74 E-13

0.213

0.386

0.29

0.842

0.26

Loam

2.89 E-13

0.181

0.359

0.217

0.842

0.258

Formasi

(Pg = 1.e

-4

Pa.s)

silt Loam

1.25 E-13

0.149

0.2908

0.199

0.848

0.235

plio-pleistocene

1.23 E-13

0.2595

0.456

0.228

0.839

0.272

silt

6.94 E-14

0.0739

0.2701

0.204

0.847

0.241

sandy clay

3.33 E-14

0.263

0.187

0.138

0.869

0.159

kondisi suhu pada rentang 35oC-100oC, tekanan


sebesar 200 Bar dan salinitas NaCl sebesar 10 %,
maka dapat digunakan kurva Faktor Kapasitas cairan
dan gas CO2 yang terlarut terhadap tekanan, dapat
dilihat pada Gambar 5. Untuk suhu sebesar 40oC dan
dengan memperhitungkan kandungan NaCl dalam
air, maka dapat digunakan kurva Faktor Kapasitas
untuk cairan terhadap konsentrasi NaCl pada tekanan
100 Bar dan 200 Bar, terdapat pada Gambar 6.
E. Fase Padat
Gas CO2 di dalam batuan reservoir dapat bereaksi
dengan mineral yang terkandung dalam batuan
sehingga membentuk endapan padat (presitipasi)
yang mengisi pori-pori batuan sehingga membentuk
perangkap mineral (mineral trapping). Kondisi
ini sangat baik karena gas CO2 terperangkap dan
tidak dapat mengalir sehingga faktor keamanan
penyimpanan gas CO2 di dalam batuan reservoir
akan meningkat dalam waktu yang lama. Kondisi
ini biasanya terjadi apabila di dalam batuan
mengandung komponen metal oxide yang bila
bereaksi dengan gas CO2 akan membentuk padatan
karbonat. Adapun mineral-mineral batuan yang
mengandung komponen metal oxide tersebut antara
lain: MgO, CaO, MnO, FeO,SrO, BaO, FeO, dan
MnO. Berdasarkan penelitian terhadap beberapa
mineral batuan yang mengakibatkan presipitasi,
diperoleh data banyaknya gas CO2 yang tersimpan
sebagai akibat terbentuknya mineral sekunder antara
lain Ankerite dan Dawsonite, yang ditunjukkan

130

Gambar 4
Faktor Kapasitas Cairan dan Kelarutan CO2
pada T=40 oC, Xlsalt = 10 %

pada Tabel 2. Kapasitas penyimpanan tersebut


tergantung pada kondisi geokimia dan jumlah mineral
primernya.
Reservoir batupasir yang mengandung kwarsa
sebagai komponen utamanya tidak bereaksi dengan
gas CO2. Selain itu batupasir juga mengandung
sekitar 10% mineral-mineral plagioklas, pyroksene,
chlorit yang bereaksi dengan gas CO2 dan membentuk
mineral sekunder. Sedangkan mineral lempung
seperti illite dan smectite menjadi tidak stabil jika
bereaksi dengan gas CO2 sehingga memengaruhi

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Tabel 2
Kapasitas Penyimpan CO2 Dari Berbagai Mineral
Nama Mineral

Rumus Kimia Mineral

Kapasitas CO2
3

(kg/m mineral)

Plagioclase(anorthite)

Ca[Al2Si2O8]

Olivine (forsterite-fayalite)

Mg2SiO4-Fe2SiO4

Pyroxene group-enstatite

(Mg,Fe)2Si2O6

1404.20

Augite

(Ca,Mg,Fe(II),Al)2(Si,Al)2O6

1306.30

Amphibole group anthophyllite


cummingtonite

(Mg,Fe(II), Fe(III),)5-7Al0-2[Si6-8Al2-0O22](OH)2

Common hornblende

Ca2Na0-1(Mg,Fe(II))3-5(Al,Fe(III))2-0[Si6-5Al2-0O22](O,OH)2

1000.40

Calcium amphibolestremolite

Ca2Na0-1(Mg,Fe(II))3-5(Al,Fe(III))2-0[Si6-5Al2-0O22](O,OH)2

1119.30

Mica group-glauconite

(K,Na,Ca)1.2-2.0(Fe(III),Al,Fe(II),Mg)4.0[Si7-7.6Al1-0.4O20](OH)4.nH2O

Mica group-phlogopite

K2(Mg,Fe(II))6[Si6Al2O20](OH)4

881.80

Mica group-biotite

K2(Mg,Fe(II)6-4(Fe(III),Al)0-2[Si6-5Al2-3O20](OH)1-2

671.00

Serpentine

Mg6Si4O10(OH)8

Chlorite group

(Mg,Al,Fe(II)12[(Si,Al)8O20](OH)16

Clay minerals-illite

K1-1.5(Fe(III),Al,Fe(II),Mg)40[Si7-6.5Al1-1.5O20](OH)4

78.42

Clay minerals-smectite

(1/2Ca,Na)0.7(Al,Mg,Fe)4(Si,Al)8O20(OH)4.nH2O

161.20

436.40
2014.70 - 1896.30

1169.50 - 1041.80

61.97

1232.70
923.40

porositas dan permeabilitas batuan, disamping


mempunyai kapasitas gas CO2 yang rendah. Oleh
sebab itu reservoir batupasir yang mengandung 15%
lempung tidak ideal untuk diterapkannya sekuestrasi
gas CO2.
III. KASUS PENELITIAN
Sebagai kasus penelitian, dikembangkan model
injeksi gas CO2 pada reservoir saline aquifer pada
kedalaman 1200 meter di bawah permukaan laut
dengan tekanan reservoir sebesar 200 bar dan suhu
75C. Gas CO2 diinjeksikan pada reservoir yang
dianggap homogen, isotropik, infinite acting aquifer
dan mempunyai ketebalan 100 meter, selama 10
tahun. Batuan reservoir adalah batupasir dengan harga
permeabilitas sebesar 10-13 m2 dan porositas sebesar
30%, serta harga kompresibilitas batuan adalah
4.5x10-10 Pa-1. Harga eksponen saturasi irreducible air
dan saturasi irreducible gas masing masing sebesar
0.30 dan 0.05. Sedangkan untuk perhitungan harga
tekanan kapiler, maka ditetapkan harga eksponen
m sebesar 0.457, dan harga koefisien strength Po
sebesar 19.61 kPa, serta salinitas air mengandung
0.06 fraksi masa NaCl.

Gambar 5
Faktor Kapasitas Cairan dan Kelarutan CO2
pada P = 200 Bar, Xlsalt = 10 %

Pada Gambar 7 dapat dilihat secara skematik


pemodelan injeksi gas CO 2, yang mempunyai
bentuk satu dimensi secara radial dengan jari-jari
2.000 meter dan menganggap pola injeksi gas CO2
mempunyai distribusi yang seragam dengan faktor
heterogenitas batuan dan faktor gravitasi diabaikan.
131

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Gas CO2 diinjeksikan pada tiga laju alir berbeda


yaitu masing masing sebesar 90 kg/detik, 140 kg/
detik dan 180 kg/detik. Model simulasi sekuestrasi
CO2 ini di-run untuk jangka waktu masing-masing
selama 1000 tahun.
IV. HASIL PEMODELAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil run dari model sekuestrasi
gas CO2 pada saline aquifer untuk laju alir injeksi
sebesar 90 kg/detik, perkiraan distribusi saturasi gas
pada seluruh reservoir dapat dilihat pada Gambar
8. Plot saturasi gas CO2 terhadap jarak jari-jari
pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pada
tahun ke 10 dengan jarak jari-jari sepanjang 40
meter dari sumur, saturasi gas CO2 telah mencapai
100 %. Kemudian daerah dua fase bertambah luas
hingga mencapai jari-jari sepanjang 1250 meter.
Pada tahun ke 100, daerah dua fase mencapai jarijari sepanjang 1350 meter, dan akhirnya mencapai
jari-jari sepanjang 1450 meter pada tahun ke 1000.
Gambar 9 menunjukkan perkiraan distribusi saturasi
gas untuk laju alir injeksi sebesar 140 kg/detik, di
mana daerah dua fasa mencapai jari-jari sepanjang
1600 meter untuk jangka waktu injeksi selama 10
tahun, dan bertambah luas hingga mencapai jari-jari
sepanjang kurang lebih 1800 meter untuk jangka
waktu injeksi selama 100 tahun dan 1000 tahun.
Sedangkan untuk laju injeksi sebesar 190 kg/detik
(Gambar 10), daerah penyebaran dua fase semakin
luas untuk jangka waktu 10, 100 dan 1000 tahun
masing-masing dengan jari-jari sepanjang 1800, 2000
dan 2200 meter. Dari hasil yang diperoleh terlihat
bahwa semakin besar laju injeksi, maka CO2 akan
terdistribusi dan mencapai daerah yang semakin luas.
Hal tersebut karena semakin besar laju injeksi, maka
semakin banyak gas CO2 yang diinjeksikan kedalam
reservoir, sehingga daerah yang tersaturasi oleh gas
CO2 akan semakin luas.
Gambar 11 menunjukkan plot pH terhadap jarak
jari-jari dari sumur injeksi pada waktu yang berbeda
untuk laju injeksi sebesar 90 kg/detik. Pada daerah
dua phasa, pH dipengaruhi oleh kelarutan gas CO2
dan calcite, sehingga harga pH mengalami kenaikan
dan akan menyebabkan alterasi mineral. Perkiraan
pada 1000 tahun, harga pH mengalami kenaikan
hingga mencapai 8.5. Kecenderungan yang hampir
sama juga ditunjukan untuk laju injeksi sebesar 140
kg/detik (Gambar 12) dan laju injeksi 190 kg/detik
(Gambar 13).

132

Gambar 6
Faktor Kapasitas Cairan pada T= 40 oC

Gambar 7
Skema Model Injeksi Gas CO2
pada Reservoir Batupasir

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

Mineral-mineral sekunder hasil alterasi adalah


mineral Ankerite dan Dawsonite. Plot konsentrasi
alterasi dari mineral Ankerit terhadap jarak jari-jari
dari sumur injeksi dapat dilihat pada Gambar 14, yang
menunjukkan pengendapan dari mineral Ankerite
sebesar 2.12% pada jarak jari-jari 1250 m setelah
1000 tahun untuk laju injeksi sebesar 90 kg/detik.
Sedangkan untuk laju injeksi sebesar 140 kg/detik,
diperoleh konsentrasi altrasi mineral Ankerite ter
tinggi sebesar 2.16 % pada jarak jari-jari sepanjang
1600 meter (Gambar 15). Untuk laju injeksi sebesar
190 kg/detik yang ditunjukkan pada Gambar 16,
diperoleh konsentrasi pengendapan tertinggi sebesar
2.12% pada jarak jari-jari sepanjang 1800 meter. Dari
hasil perkiraan yang diperoleh menunjukkan bahwa
pengaruh besarnya laju injeksi terhadap luas daerah
presitipasi memberikan kecenderungan yang hampir
sama. Proses presipitasi tersebut dapat terjadi karena
injeksi gas CO2 mengakibatkan perubahan harga
pH, sehingga menyebabkan pelarutan mineral aluminosilicate yang kemudian terbentuk pengendapan
mineral-mineral sekunder.
Gambar 17 menunjukkan terjadinya pengendapan
dari mineral Dawsonite yang mencapai puncak
sebesar 5.3 fraksi volume pada tahun ke 1000,
dengan jarak jari-jari alterasi sepanjang 1450 m,
untuk laju injeksi sebesar 90 kg/detik. Sedangkan
untuk laju injeksi sebesar 140 kg/detik (Gambar
18), mempunyai kecenderungan yang sama dengan
laju injeksi 90 kg/detik, mencapai puncak sebesar
7.64 % pada tahun ke 1000, dengan jari-jari sebesar
1800 meter. Untuk laju injeksi sebesar 190 kg/detik
seperti terlihat pada Gambar 19, diperoleh grafik yang
mempunyai kecenderungan yang sangat berbeda
dengan laju injeksi 90 kg/detik dan 140 kg/detik.
Terlihat adanya penyebaran yang hampir merata
dan tidak ada titik puncak, untuk jangka waktu 100
tahun diperoleh rata-rata konsentrasi Dawsonite
sebesar 0.003% fraksi volume. Untuk jangka waktu
500 tahun konsentrasi Dawsonite rata-rata sebesar
1.14% dan 1.90 % untuk jangka waktu 1000 tahun.
Perubahan harga konsentrasi mineral Ankerit dan
Dawsonite merupakan fungsi waktu, yaitu semakin
lama maka akan semakin besar konsentrasi Ankerite
dan Dawsonite yang terbentuk. Hal ini terjadi pada
semua laju injeksi, dan terlihat bahwa pada jangka
waktu 1000 tahun menunjukkan konsentrasi mineral
Ankerite dan Dawsonite yang paling tinggi.
Mineral Ankerite dan Dawsonite mempunyai
kemampuan untuk menyimpan gas CO 2 pada
matriksnya. Jumlah gas CO2 yang tersekuestrasi
akibat perangkap (trapping) mineral untuk laju

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Gambar 8
Plot Saturasi CO2 terhadap Jarak Jari-Jari dari
Sumur Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 90 kg/detik

Gambar 9
Plot Saturasi CO2 terhadap Jarak Jari-Jari dari
Sumur Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 140 kg/detik

Gambar 10
Plot Saturasi CO2 terhadap Jarak Jari-Jari dari

Sumur Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 190 kg/detik

133

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

injeksi 90 kg/detik untuk jangka waktu 1000 tahun


dapat dilihat pada Gambar 20. Sedangkan untuk
laju injeksi sebesar 140 kg/detik dapat dilihat pada
Gambar 21. Dari kedua grafik ini ditunjukkan bahwa
jumlah CO 2 yang tersekuestrasi akibat mineral
trapping tergantung pada jumlah mineral Ankerite
dan Dawsonite yang terbentuk, karena keduanya
memiliki kecenderungan yang sama, hanya jumlah
maksimum CO2 yang tersekuestrasi berbeda yaitu:
45.32 kg/m2 dan 66.87 kg/m2 untuk laju injeksi 90
kg/detik dan 140 kg/detik. Untuk laju injeksi sebesar
190 kg/detik (Gambar 22), terlihat jumlah gas CO2
tersekuestrasi yang hampir sama dimana untuk jangka
waktu 100 tahun sekitar 2 kg/m2. Untuk jangka waktu
500 tahun sekitar 10 kg/m2 dan untuk jangka waktu
1000 tahun sekitar 18 kg/m2. Hal ini menunjukkan

Gambar 13
Plot pH terhadap Jarak Jari-Jari dari Sumur Injeksi
untuk Laju Alir Injeksi = 190 kg/detik

Gambar 11
Plot pH terhadap Jarak Jari-Jari dari Sumur Injeksi
untuk Laju alir Injeksi = 90 kg/detik

Gambar 14
Plot Konsentrasi Mineral Ankerite terhadap
Jari-Jari dari Sumur Injeksi untuk Laju
Alir Injeksi = 90 kg/detik

Gambar 12
Plot pH terhadap Jarak Jari-Jari Sumur
dari Sumur Injeksi untuk Laju Alir
Injeksi = 140 kg/detik

Gambar 15
Plot Konsentrasi Mineral Ankerite Terhadap JariJari dari Sumur Injeksi untuk Laju Alir
Injeksi = 140 kg/detik


134

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Gambar 16
Plot Konsentrasi Mineral Ankerite terhadap
Jari-Jari dari Sumur Injeksi untuk Laju
Alir Injeksi = 190 kg/detik

Gambar 19
Plot Konsentrasi Mineral Dawsonite terhadap
Jari-Jari dari Sumur Injeksi Untuk Laju
Alir Injeksi = 190 kg/detik

Gambar 17
Plot Konsentrasi Mineral Dawsonite terhadap
Jari-Jari dari Sumur Injeksi untuk Laju
Alir Injeksi = 90 kg/detik

Gambar 20
Plot Densitas CO2 yang Tersekuestrasi dari
Mineral Trapping terhadap Jari-Jari dari Sumur
Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 90 kg/detik

Gambar 18
Plot Konsentrasi Mineral Dawsonite terhadap
Jari-Jari dari Sumur Injeksi untuk Laju
Alir Injeksi = 140 kg/detik

Gambar 21
Plot Densitas CO2 yang Tersekuestrasi dari
Mineral Trapping terhadap Jari-Jari dari Sumur
Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 140 kg/detik

135

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

bahwa kemampuan untuk menyimpan CO2 pada


laju alir 190 kg/detik menurun sesuai dengan jumlah
mineral Dawsonite yang menurun juga.
Akibat adanya sejumlah masa CO2 yang mengisi
matriks pada mineral tersebut di atas mengakibatkan
terjadinya perubahan porositas seperti ditunjukkan
pada Gambar 23 sampai dengan Gambar 25, untuk
masing-masing laju injeksi sebesar 90 kg/detik, 140
kg/detik dan 190 kg/detik. Terlihat disini bahwa
untuk laju injeksi sebesar 140 kg/detik memberikan
pengaruh pada penurunan harga porositas paling besar
hingga mencapai 21.66%. Sedangkan penurunan
harga porositas terkecil ditunjukkan pada laju injeksi
sebesar 190 kg/detik.
Sedangkan jumlah CO 2 yang tersekuestrasi
dalam fase gas/fluida superkritikal dan fase cair atau
terlarut dalam air formasi dapat dilihat pada Tabel
3, Tabel 4, dan Tabel 5. Disini terlihat bahwa CO2
yang tersekuestrasi untuk fase gas terhadap waktu
mengalami penurunan sedangkan untuk fase cair
mengalami kenaikan. Dan jumlah kumulatip gas CO2
yang tersekuestrasi dalam fase gas dan cair, mencapai
puncaknya setelah dilakukan injeksi selama 10 tahun
untuk ketiga laju alir injeksi CO2 tersebut. Sehingga
potensi gas CO2 yang dapat tersekuestrasi secara
permanen untuk laju alir injeksi sebesar 90 kg/
detik, 140 kg/detik dan 190 kg/detik selama 10 tahun
masing masing sebesar 28.4 juta ton, 44.2 juta ton
dan 60.0 juta ton CO2.
V. KESIMPULAN
1. Model sekuestrasi gas CO2 dalam saline aquifer
yang telah dikembangkan dapat digunakan
memperkirakan kinerja gas CO2 dalam fase gas
(fluida superkritikal) dan fase cair (yang terlarut
dalam air), serta yang terperangkap dalam
mineral untuk waktu yang panjang setelah di
injeksikan ke dalam reservoir.
2. Berdasarkan uji sensitivitas yang telah dilakukan
terhadap laju alir injeksi gas CO2 terlihat bahwa
semakin besar laju alir injeksi gas CO2 akan me
ngakibatkan distribusi CO2 yang semakin luas.
3. Jumlah gas CO 2 yang tersekuestrasi karena
perangkap (trapping) mineral tergantung pada
jumlah terbentuknya mineral sekunder yang
mempunyai kemampuan menyimpan CO2 yaitu
mineral Ankerite serta Dawsonite, dan merupakan fungsi waktu. Pada model ini terlihat bahwa
mineral Ankerite lebih banyak terbentuk, dan

136

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

mempunyai pola yang sama untuk semua laju injeksi dibandingkan dengan mineral Dawsonite.
DAFTAR SIMBOL
C

= kompresibilitas, Pa-1

CF

= faktor kapasitas CO2

= fraksi aliran

ff

= fraksi aliran front

= permeabilitas, m2

kr

= permeabilitas relatif

Gambar 22
Plot Densitas CO2 yang Tersekuestrasi dari
Mineral Trapping terhadap Jari-Jari dari Sumur
Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 190 kg/detik

Gambar 23
Plot Porositas terhadap Jarak Jari-Jari dari Sumur
Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 90 kg/detik

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

Tabel 3
Kumulatip CO2 yang Tersekuestrasi untuk
Laju Alir Injeksi = 90 kg/detik
Tahun

Tabel 4
Kumulatip CO2 yang Tersekuestrasi untuk Laju
Alir Injeksi = 140 kg/detik

CO2 yang Tersekuestrasi, juta ton


Fase Gas

Fase Cair

TOTAL

11.612

2.589

14.201

10

23.194

5.205

28.400

50

23.067

5.333

28.400

100

22.681

5.719

28.400

500

22.509

5.890

28.400

1000

21.796

6.603

28.400

tahun

CO2 yang tersekuestrasi, juta ton


Fase Gas

Fase Cair

TOTAL

18.240

3.851

22.091

10

36.946

7.233

44.179

50

35.498

8.682

44.179

100

35.497

8.683

44.179

500

35.044

9.135

44.179

1000

33.821

10.359

44.179

Tabel 5
Kumulatip CO2 yang Tersekuestrasi untuk Laju
Alir Injeksi = 190 kg/detik

Tahun

Gambar 24
Distribusi Porositas terhadap Jarak Jari-Jari dari
Sumur Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 140 kg/detik

Gambar 25
Distribusi Porositas terhadap Jarak Jari-Jari dari
Sumur Injeksi untuk Laju Alir Injeksi = 190 kg/

CO2 yang Tersekuestrasi, juta ton


Fase Gas

Fase Cair

TOTAL

24.731

5.249

29.980

10

49.226

10.730

59.956

50

48.935

11.022

59.956

100

48.690

11.266

59.956

500

46.501

13.455

59.956

1000

46.501

13.455

59.956

Kh

= koefisien Henry

= eksponen

= masa, kg

= masa CO2, kg

CO2

Nc

= bilangan tekanan kapiler

= tekanan, Pa

Po

= koefisien strength

= jarak jari-jari, m

= saturasi, %

= saturasi gas rata-rata, %

= saturasi cairan rata-rata, %

Sgr

= saturasi gas irreducible

Slr

= saturasi air irreducible

137

Pemodelan SekuestrasiGas CO2 pada Saline


Septi AnggraenI dan Edward ML Tobing

= suhu, C

= volumetric flux (kecepatan Darcy ), m/s

= fraksi volume

= volume, m3

= fraksi masa

XCO2

= fraksi masa CO2

= panjang gelombang, m

= viskositas, Pa.s

= porositas,%

= fugacity

= 3.142857143

= densitas , kg/m3

= tegangan antar muka, N/m

Subskrip
f

= front

= fase gas

= horizontal

inj

= injeksi

= fase cairan

= maximum

= non-condensible gas

= padat

= vertikal

= air

KEPUSTAKAAN
1. Corey, A. T., 1954, The Interrelation Between
Gas and Oil Relative Permeabilities, Producers
Monthly, pp 38-41, November.


138

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 125 - 138

2. Katz, D.L. and Lee,R.L., Natural Gas


Engineering, McGraw-Hill Publ.Comp., New
York,NY.
3. Pruess, K., 2005, ECO2N:A TOUGH2 Fluid
Property Module for Mixtures of Water, NaCl,
and CO2, User Guide, University of California,
Berkeley, August.
4. Pruess, K., Xu, T., Apps, J., and Lawrence,
J.G.: Numerical Modeling of Aquifer Disposal
of CO2, SPE 66537.
5. Spycher, N. F. and Reed, M.H., 1988, Fugacity
Coefficients of H2, CO2, CH4, H2O and of H2OCO2-CH4 Mixtures: A Virial Equation Treatment
for Moderate Pressures and Temperatures
Applicable to Calculations of Hydrothermal
Boiling, Geochim. Cosmochim.Acta, Vol.52,
pp. 739-749.
6. van Genuchten, M.Th., 1980, A ClosedForm Equation for Predicting the Hydraulic
Conductivity of Unsaturated Soil, Soil Sci.Soc.
Am.J.,vol 44, pp 892-898.
7. Xu,T., Apps ,J.A, Karsten, P., 2004, Numerical
Simulation of CO2 Disposal by Mineral Trapping
in Deep Aquifer, Applied Geochemistry, pp 917936.
8. Xu,T., Apps, J.A, Pruess, K., 2005, Mineral
Sequestration of Carbon Dioxide in Sandstone
Shale System, Chemical Geology, pp 295328.
9. Xu,T., Sonnenthal, E., Spycher, N., and Pruess,
K., 2004, THOUGHREACT Users Guide:
A Simulation Program for Non-isothermal
Multiphase Reactive Geochemical Transport in
Variably Saturated Geologic Media, University
of California, Berkeley, September.

Gas Bumi untuk Bahan Bakar Gas


dan Bahan Baku Petrokimia
A.S. Nasution1), Abdul Haris2), Morina2) dan Leni Herlina2)

Komplek LEMIGAS1), Perekayasa Muda2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 27 September 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 12 Mei 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Gas bumi adalah suatu campuran gas hidrokarbon yang dipakai baik sebagai bahan bakar gas
maupun dapat dikonversi menjadi produk petrokimia, bahan bakar minyak sintetik dan bahan dasar
pelumas sintetik. Pemakaian gas bumi untuk bahan bakar gas, bahan baku untuk industri petrokimia,
bahan bakar minyak sintetik dan bahan dasar pelumas disajikan pada makalah ini.
Kata kunci: bahan bakar gas, industri petrokimia, bahan bakar minyak sintetik dan bahan dasar
pelumas sintetik.
ABSTRACT
Natural gas is a mixture of gaseous hydrocarbons which can be used as fuel gas and also its
conversion into petrochemical, synthetic fuel oils and synthetic lube base stock. Aplication natural
Gas for compressed natural gas, raw materials of petrochemical industry, synthetic fuel oils and
synthetic lube base stock are briefly discussed.
Keywords: compressed natural gas, petrochemical industry, syntetic fuel oils and synthetic lube
base stock.
I. PENDAHULUAN
Gas bumi adalah suatu campuran hidrokarbon gas
dengan kandungan gas metana sebagai komponen
terbanyak. Gas bumi dijumpai dalam sumur
(reservoir) baik bergabung dengan minyak bumi
sabagai associated gas; atau dalam sumur gas tanpa
kandungan minyak bumi, sebagai non-associated gas.
Gas bumi kering (dry natural gas) tidak mengandung
hidrokarbon tinggi atau kondensate, tetepi gas bumi
yang mengandung hidrokarbon cair di atas 0.3 gal/
MCF, maka gas tersebut di kategorikan sebagai gas
basah (wet gas ).[1] Komponen utama gas bumi adalah
molekul hidrokarbon metana/heksana (C1-C6) dengan
kotoran non-hidrokarbon, yaitu antara lain air, H2S,
CO2 dan merkaptana. Komposisi berbagai jenis gas
bumi disajikan pada Tabel 1.
Gas bumi, khususnya associated gas sangat
penting tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga
sebagai suatu bahan dasar untuk industri petrokimia.
Produksi gas nasional pada 2007 adalah sekitar
8.134,6 MMSCFD dan 41,6% volume gas tersebut

telah dipakai untuk keperluan domestik sebagai


bahan bakar gas (compressed natural gas, liquefied
petroleum gas dan gas rumah tangga), pembangkit
tenaga listrik dan bahan baku industri petrokimia dan
58,4% volume sisanya dieksport sebagai liquiefied
natural gas, dan gas pipeline.
Dalam makalah ini, gas bumi untuk bahan
bakar gas dan juga bahan baku industri petrokimia
serta konversi pencairan gas (gas to liquid) untuk
bahan bakar sintetik dan bahan bakar pelumas akan
disajikan.
II. BAHAN BAKAR GAS
Gas bumi dimurnikan dari kotoran nonhidrokarbon, dan komponen utama hidrokarbon
gas buminya diseparasi menjadi lean gas berkadar
hidrokarbon metana dengan sedikit etana dan
liquefied petroleum gas (LPG).
A. Lean Gas
Lean gas (gas pipeline) dipakai sebagai bahan
bakar industri dan pembangkit tenaga listrik
139

GAS BUMI UNTUK BAHAN BAKAR GAS


AS. NASUTION, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

serta rumah tangga. Pelanggan


gas pipeline untuk rumah tangga
sekitar 78.000 keluarga dengan
gas pipeline sebesar 3,300 juta
kubik meter. Permasalahan utama
pengembangan pemakaian gas
rumah tangga tersebut adalah,
antara lain terbatasnya infrastruktur
jaringan gas tersebut.
B. Compressed Natural Gas

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 139 - 144

Tabel 1
Komposisi berbagai gas alam
Komponen

Inggris

Perancis

65.8

93.2

70.0

64.61

88.36

3.8

2.9

3.0

7.97

5.0

0.2

0.7

1.4

7.08

2.0

Butana

0.8

0.6

3.01

0.44

Pentana +

0.5

1.57

0.20

Salt Lake

Kliffside

Metana

95.0

Etana

0.8

Propana

Gas bumi sebagai bahan bakar


H2S
kendaraan di namakan bahan
CO
bakar gas (BBG), atau compressed
N2
natural gas (CNG) adalah gas
He
bumi berkadar dua komponen
utama, yaitu metana (CH4) dan
etana (C2H6) yang telah mangalami
pemurnian dan dikompressi sampai tekanan sekitar
200 bar. Satu tanki BBG ringan modern dengan
daya tampung equivalen sekitar 5 gallon bensin
mempunyai berat sebesar 150 pound.[2] Sehubungan
dangan BBG tersebut lebih ringan dari udara,
kebocoran tidak akan bahaya jika diadakan cukup
pertukaran udaranya, yaitu kadar udara < 3 lb/
MMSCF dan propana plus < 6,5% volume.
Mesin gas bumi (Natural Gas Enqineer) telah
menunjukkan lebih dari 90% reduksi karbon-mono
oksida (CO) dan particulate matter, dan lebih 50%
penurunan dalam oksida nitrogen (NOx) relatif
terhadap mesin desel komersil.
Asosiasi kendaraan gas bumi (Natural Gas
Vchieles) mempunyai suatu target untuk menaikkan
dari 5 juta pada 2006 menjadi 50 juta Natural Gas
Vchicles pada jalan umum di tahun 2020. Gas bumi
sebagai bahan bakar komersil untuk kendaraan
telah di pakai di Indonesia sejak 1989, saat ini
tersedia sebelas stsaiun pengisiaan bahan bakar
gas (compressed natural gas filling station) untuk
mensuplay sekitar 600 kendaraan dan 50 bus di
Jakarta. Spesifikasi BBG Indonesia disajikan pada
Tabel 2. Untuk pemberian garansi bahwa mutu
gas bumi, untuk BBG kendaraan bermotor aman
untuk infrastruktur instalasi peralatan pada stasiun
pengisian dan kendaraan bemotor dibutuhkan
spesifikasi standar atau spesifikasi BBG.
C. Liquefied Petroleum Gas
Liquefied petroleum gas (LPG) merupakan
baik gas hasil produksi dari associatet gas mau
140

Amerika Serikat

Indonesia

15.0

0.07

3.6

2.9

10.0

15.0

3.0

0.4

25.6

1.0

1.8

pun produk kilang minyak bumi yang terdiri atas


tiga jenis berikut: LPG-Propana, LPG-Butana dan
LPG-Campuran propana dan butana. Dalam rangka
penghematan pemakaian bahan minyak, pemerintah
telah mencanangkan pada tahun 2007 konversi
minyak tanah (sekitar 10 juta kilo liter) ke LPG dalam
bentuk paket LPG-tiga kg sebanyak 55 juta paket.
Persoalan utama pengembangan pemakaian gas
bumi sebagai bahan bakar gas adalah keterbatasan
sarana antara lain pengadaan convertion kit, yang
harganya masih relatif mahal, transportasi dan distribusi BBG serta stasiun pengisian bahan bakar gas
(SPBG).
Penyimpanan LPG terdiri atas dua tipe berikut:
- LPG pressured adalah LPG cair bertekanan
4-5 kg/cm2 di dalam tabung atau tanki untuk
pendistribusiannya ke rumah tangga dan
industri.
- LPG referigerated adalah LPG cair dengan
pendinginan (propane 42oC dan butana 0,5oC)
untuk pendistribusian melalui laut dalam jumlah
besar.
III. INDUSTRI PETROKIMIA
Proses petrokimia berkembang menjadi suatu
jaringan kompleks atau kimia dan termasuk material
yang memberikan fungsi spesifik sebagai produk
kebutuhan (consumen product) yang bahan bakunya
terdiri atas tiga sumber utama berikut:
- Gas sintes (CO+H2) dari proses reformasi uap gas
bumi, nafta, distilat, residu dan batubara.

GAS BUMI UNTUK BAHAN BAKAR GAS


AS. NASUTION, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 139 - 144

Tabel 2
Spesifikasi Bahan Bakar Gas kendaraan di Indonesia

Spesifikasi

Satuan

Limit

Metode

Min.

Maks.

ASTM

C1 + C2

%Vol.

62.0

D 1945

C3

%Vol.

8.0

D 1945

C4

%Vol.

4.0

D 1945

C5

%Vol.

1.0

D 1945

N2

%Vol.

2.0

D 1945
D 2385

Lainnya

H2S

ppm vol.

14.0

Hg (Mercury )
O2

ppb Vol.

9.0

%Vol.

0.2

%Vol.

0.035

%Vol.

5.0

D 1945

Kj/Kg

0.56

0.89

H2O
CO2
o

Relative density at 28 C
o

AAS
D 1945
Gravimetri

44,000

Colorific Value at 15 C, 1 atm

Tabel 3
Perolehan Produk Olefin dar berbagai umpan

Umpan

Etilena

Propilena

Butana

Aromatik (BTX)

Lainnya

Etana

84.0

1.4

0.4

0.4

12.8

Propana

44.0

15.6

3.4

2.8

34.2

n -Butana

44.4

17.3

4.0

3.4

30.2

Nafta ringan

40.3

15.8

4.9

4.8

34.2

Nafta

31.7

13.0

4.7

13.7

36.9

Reformer raffinate

32.9

15.5

5.3

11.0

35.3

Gas oil ringan

28.3

13.5

4.8

10.9

42.5

Gas oil berat

25.0

12.4

4.8

11.2

46.6

Residu

28.3

16.3

6.4

4.5

44.5

Residu

21

11

59

32.8

4.4

3.0

14.4

45.4

Minyak Bumi

Produk % berat

141

GAS BUMI UNTUK BAHAN BAKAR GAS


AS. NASUTION, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 139 - 144

Gambar 1
Komponen utama dari Metana

- Olefin dari proses reformasi termal etana, prorana,


butana, atau distilat.
- Aromatik dari proses reformasi katalitik nafta
berat.
A. Gas Sintes
Gas sintes (syn-gas) adalah penamaan umum dari
campuran karbon-monoksida (CO) dan hidrogen (H2)
yang dapat diproduksi dari berbagai sumber berkadar
karbon (C) dan hidrogen (H2) dari gas bumi, residu
dan batu bara.[3]
Reformasi uap gas steam reforming adalah suatu
proses katalitik penting untuk produksi gas sintes
berdasarkan tiga reaksi utama berikut:
CH4 + 1,5 O2 g CO + 2 H2O
CH4 + H2O g 3 H2 + CO
CO + H2O g H2O + CO2

142

Reaksi berjalan melalui suatu katalis komersil


dan perolehan gas-sintes (CO + 2H2) mempunyai
rasio H2/CO sekitar 2 : 1 (mol/mol). Komponen
utama gas sintes di hasilkan baik secara langsung
maupun secara tidak langsung dari metana (Gambar
1).[4] Pemakaian gas bumi melalui gas sintes di
Indonesia adalah, antara lain pabrik metanol, pupuk
dan plan hidrogen.
B. Olefin Rendah
Proses reformasi termal dari assosiated gas (C2,
C3 dan C4), nafta dan distilat menghasilkan olefin
rendah (Tabel 3).[4] Tiga komponen utama olefin
(etilena, propilena, dan butadiena) dipakai untuk
produksi petrokimia.
Etilena di pakai sekitar 30% untuk petrokimia,
seperti plastik, antifreeze, serat dan suatu pemakaian
luas dari komponen alkohol, vinilasetat dan alfa-

GAS BUMI UNTUK BAHAN BAKAR GAS


AS. NASUTION, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 139 - 144

olefin. Pembuatan olefin pada Pusat olefin Chandra


Asih di Indonesia memakai umpan fraksi nafta.
C. Gas To Liquid
Gas to liquid GTL adalah konversi gas bumi
menjadi cair yang terdiri atas dua tahap proses
berikut:
- Proses Gasifikasi gas bumi menjadi menjadi gas
sintes
- proses Fischer-Tropsel gas sintes menjadi
hidrokarbon cair.
Campuran gas-sintes dan nitrogen di tekan dan
dimasukkan ke dalam proses Fischer-Tropsel untuk
memproduksi hidrokarbon cair (parafin dan olefin)
dan wax (Gambar 2), melalui reaksi berikut.

reaktor slurry, yang demonstrasi plannya dimulai


2003.[6]
Sejak 2001, Syntroleum bersama Texaco,
Marathon, ARCO, Enron, Kev Mc. Gee, Isanhoe
dan Burrup Peninsula. Australia, mengoperasikan
plan GTL berkapasitas 10 nmb/d menjadi normalparafin, bahan dasar pelumas sintetik, drilling fluit
dan beberapa bahan bakar sintetik.[7]
Dari prospektif kebutuhan energi, peranan proses
GTL ini dapat mengurangi industri perminyakan
berbahan baku minyak bumi konvensional yang
memerlukan investasi besar dalam proses pemurnian
dalam rangka memenuhi ketatnya persyaratan distilat
sedang.
- Bahan Pelumas Dasar Sintetik

n(2 H 2 + CO ) + N 2 katalis
(CH 2 ) n + H 2O + N 2

Bahan dasar pelumas sintetik telah dibuat dari


sintesa kimia atau organik, sebagai tandingan t
er-

Produk hidrokarbon cair dan wax


dapat di konversi menjadi bahan bakar
minyak sintetik dan bahan dasar
pelumas sintetik.

Tabel 4
Spesifikasi minyak diesel sintetik

hidrokarbon

- Bahan Bakar Minyak Sintetik


Hidrokarbon cair dan wax dapat
dikonversi dengan bantuan proses
penghidrorengkahan selektif menjadi
bahan bahan minyak sintetik, antara
lain minyak diesel - 60% vol, minyak
tanah - 25% vol dan nafta - 15% vol
yang karakteristiknya di sajikan pada
Tabel 4. Sejak 1850, proses Sasol di
Afrika Selatan, telah memproduksi
hidrokarbon cair (minyak sintetik) dari
batubara.[5]
Kombinasi proses FischerTtropsch Sasol, akan memungkinkan
industri energi untuk mengkonversi
gas bumi di daerah terpencil atau
associated gas dari pemisahan minyak
bumi, menjadi bahan bakar sintetik
bermutu tinggi.
Satu plan sintesa distilat sedang
(SMDS) berkapasitas 60 mb/d telah
dioperasikan oleh Shell Global
Solution sejak 1960 di Bintulu
Malaysia.[3] Syntroleum berkolaborasi
dangan ARCO (sekarang BP) memulai
untuk mengoperasikan proses GTL
berkapasitas 70 BPD dengan disain

Spesifikasi
Specific gravity

Minyak diesel
sintetik

SDMS

EPA no 2

0.77

0.776

0.85

Sulfur, ppm

350

Aromatik, vol %

<0.05

31

74

81

47

Angka setana

Gambar 2
Distribusi Produk Fischer-Tropsch

143

GAS BUMI UNTUK BAHAN BAKAR GAS


AS. NASUTION, DKK.

hadap ekstraksi yaitu proses konvensional seperti


pada refinery unit (RU) IV Cilacap atau proses
hidrokonversi refinery unit (RU) II Dumai berbahan
minyak bumi.
Hidrokarbon parafinik berat atau wax dari produk
Fischer-Ttropsch (pada GTL Process) dapat diolah
pada proses katalitik hydro dewaxing menjadi bahan
dasar pelumas sintetik berindeks viskosita tinggi yang
memenuhi grup API III / IV.[7]
Dua proyek GTL yaitu Exxon-Mobil dan Shell
dalam pembangunan yang akan memproduksi bahan
dasar pelumas sintetik tersebut, akan memasuki
pasaran pada 2010. Jika teknologi GTL masuk
ke pasar di masa depan, di mana masih ada
beberapa faktor yang harus di sempurnakan untuk
memproduksi bahan dasar pelumas sintetik tersebut
agar dapat bergabung berkompetisi dalam bahan
dasar pelumas bermutu tinggi.
IV. PENUTUP
Gas bumi adalah suatu sumber energi, seperti
bahan bakar gas (gas pipeline compressed dan
liquefid petroleum gas) natural gas-CNG) dan juga
sebagai suatu bahan baku untuk industri petrokimia,
antara lain pembuatan umpan gas-sintes (CO + H2)
dan hidrokarbon olefin yang selanjutnya diolah
menjadi berbagai jenis produk petrokimia seperti:
plastik, karet sintetik serat sintetik dan bahan
kimia.
Proses Gas to Liquid dapat menghasilkan minyak
solar sintetik bermutu tinggi dan bahan dasar pelumas


144

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 139 - 144

sintetik berindeks viskositas tinggi yang memenuhi


grup API III/IV.
KEPUSTAKAAN
1. E. Wibowo and Y.K Caryana, 2007, Gas
Quality Challenges to Support Developping of
Natural Gas as Fuel for Vehicles in Indonesia, the
5th ASIAN Petroleum Technology Symposium,
Jakarta, January 23-25.
2. F.J.M Schrauwen, 2003, Shell Middle Distillate
Synthesis (SDMS) Process, PP 15-40, Hanbook
of Petroleum Refining Process 3rd edition, Mc
Graw Hill, New York.
3. Hydrocarbon ASIA Journal, March 2000, p 68
and July/August-2000, p81.
4. Larry Weick and Matthew Numino, 2003, The
Syntroleum Process of Converting Natural Gas
into Ultraclean Hydrocarbons, PP 15-15/15-24,
Hanbook of Petroleum Refining Process, 3rd
Edition, Mc Graw-Hill, New York.
5. Lewis F. Hatch and Smi Matter, 1981, From
Hydrocarbons to Petrochemicals, Gulf Publishing
Co, Paris.
6. Natural Gas Technology Ap 1-41, Natural Gas
Engineering, Mc Graw-Hill, New York, 1990.
7. Ronald H Fisscher and Richard E. Hilderand,
1979, Transportation Fuels Synthesis Gas, pp
331-343, Symposium Paper, Adwances in Coal
Utilization Technology, Kentucky.

Pemilihan Umpan Kilang Berdasarkan


Pendekatan Jenis Minyak Bumi
dan Perolehan Distilasi
Maizar Rahman1), Yuflinawati Away2), Baity Hotimah3), dan Adiwar4)

Peneliti Utama1), Perekayasa Madya2), Peneliti Pertama3), Peneliti Madya4) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 2 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 15 Agustus 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Lemigas sebagai Litbang lewat program Evaluasi Mutu Minyak Bumi telah menginventarisasi
jenis dan karakter minyak bumi Indonesia. Data jenis dan karakter minyak bumi Indonesia ini
telah disajikan dalam Buku Minyak Bumi Indonesia edisi 1 sampai 4 dan Pangkalan Data Minyak
Bumi Indonesia versi 1 sampai 3. Beberapa program atau pendekatan seperti Crude Oil Blending
dan Crude Oil Grading telah disusun untuk memanfaatkan data jenis dan karakter minyak bumi
Indonesia tersebut. Dalam makalah ini dikemukakan suatu cara pemilihan minyak bumi substitusi
umpan kilang sebagai pengganti minyak bumi umpan disain kilang. Cara pemilihan ini dilakukan
lewat pendekatan jenis minyak bumi dan perolehan distilasi. Pendekatan lewat jenis minyak bumi
dilakukan untuk mendapatkan sifat produk minyak bumi yang dihasilkan sama atau lebih baik
dari sifat produk yang dihasilkan umpan disain kilang. Pendekatan lewat yield distilasi dilakukan
untuk mendapatkan perolehan produk bumi yang dihasilkan sama atau mendekati perolehan produk
yang dihasilkan umpan disain kilang. Pemilihan minyak bumi baik dalam bentuk individual atau
dalam bentuk blending sebagai pengganti minyak bumi Katapa dari sejumlah minyak bumi, yang
dikemukakan dalam makalah ini sebagai contoh kasus menghasilkan dua minyak bumi individual
dan satu minyak bumi blending yang dapat dipakai sebagai pengganti minyak bumi Katapa.
Kata kunci: umpan kilang, substitusi umpan, jenis minyak bumi, perolehan distilasi.
ABSTRACT
Lemigas as an R&D Institute, through Crude Oil Assay Program has evaluated many Indonesian
crude oils. Data concerning the type and the characteristics of Indonesian crude oils have been
presented in Indonesian Crude Oils Book 1st edition up to 4th edition and in Indonesian Crude Oils
Data Base 1st version up to 3rd version. Some programs such as Crude Oil Blending and Crude
Oil Grading have been developed to exploit data of the type and characteristics of the Indonesian
crude oils. In the paper, a selection technique is presented to choose a refinery substitute feed stock
as an alternative for the refinery design feed stock. The technique is carried out through crude oil
type and distillation yield approach. Approach through crude oil type is taken to ensure that the
properties of the products produced by the refinery substitute feed stock is the same or better than the
properties of the products produced by the refinery design feed stock. Approach through distillation
yield is taken to ensure that the product yield produced by the refinery substitute feed stock is the
same or close to the product yield produced by the refinery design feed stock.The selection of crude
oils either in the form of individual crude oil or in the form of blending of crude oils as a substitute
for Katapa crude oil, selected from a number of crude oils, presented in the paper as a case study,
produced two individual crude oils and one crude oil blending that are suitable to be used for the
substitute of Katapa crude oil.
Keywords: refinery feed stock, substitute feed, crude oil type, distillation yield.

145

PEMILIHAN UMPAN KILANG


MAIZAR RAHMAN, DKK.

I. PENDAHULUAN
Lemigas sebagai Litbang lewat program Evaluasi
Mutu Minyak Bumi telah menginventarisasi jenis
dan karakter minyak bumi Indonesia. Program
Evaluasi Mutu Minyak Bumi ini merupakan program
Pemerintah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Migas dengan berkoordinasi dengan BP Migas dan
Pertamina dengan membentuk Tim Koordinasi yang
diketuai oleh Direktur Hulu Migas. Pelaksanaan
program ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan
yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi No.01.P/34/M.PE/1994
tanggal 16 Maret 1994 tentang kewajiban untuk
melakukan evaluasi mutu minyak bumi (EMMB) dan
Keputusan Dirjen Migas No. 107.K/34/DJM/2000
tanggal 30 November 2000 tentang ketentuan
pelaksanaan evaluasi mutu minyak bumi.
Sampai saat ini telah dilakukan evaluasi mutu
minyak bumi (crude oil assay) terhadap sekitar
empat ratusan contoh minyak bumi Indonesia yang
disampling langsung dari lapangan atau dari selling
point. Evaluasi mutu minyak bumi yang dilakukan
mencakup pengujian-pengujian yang terkait dengan
sifat umum minyak bumi, klasifikasi minyak bumi,
perolehan material balance dan sifat-sifat fraksifraksi distilasi. Data jenis dan karakter minyak bumi
Indonesia ini telah disajikan dalam Buku Minyak
Bumi Indonesia edisi 1 sampai 4 (versi 5 masih dalam
proses penyiapan) dan Pangkalan Data Minyak Bumi
Indonesia versi 1 sampai 3.
Beberapa program atau pendekatan seperti
Crude Oil Blending dan Crude Oil Grading telah
disusun untuk memanfaatkan data jenis dan karakter
minyak bumi Indonesia tersebut. Program Crude
Oli Blending bertujuan untuk mengetahui jenis dan
karakter minyak bumi yag akan dihasilkan dari
pencampuran sejumlah minyak bumi yang berlainan.
Program ini dapat digunakan untuk kepentingan
manajemen produksi lapangan. Program Crude Oil
Grading bertujuan untuk mengetahui urutan posisi
kualitas minyak bumi-minyak bumi Indonesia
dibandingkan terhadap kualitas minyak bumiminyak bumi yang tercakup dalam Crude Oil Basket.
Program ini dapat digunakan untuk kepentingan
penetapan harga minyak bumi, sebagai salah satu
masukan dari sekian parameter dan faktor yang
digunakan dalam penetapan harga.
Untuk kepentingan pengolahan, dalam makalah
ini dikemukakan suatu cara pemilihan minyak bumi

146

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 145 - 151

substitusi umpan kilang sebagai pengganti minyak


bumi umpan disain kilang.
II. KILANG
Kilang (refinery) dibangun dengan berpijak pada
suatu disain umpan kilang yang dengan konfigurasi
proses yang ada akan menghasilkan produk-produk
BBM dan non-BBM tertentu dengan jumlah tertentu
dan yang mempunyai sifat-sifat tertentu.
Dalam kondisi disain umpan kilang mengalami
kekurangan pasokan, terpaksa atau harus dilakukan
suatu pencarian substitusi umpan kilang dengan
ketentuan bahwa: Substitusi Umpan Kilang identik
dengan Disain Umpan Kilang
Proses pertama pada konfigurasi proses kilang
adalah unit kolom distilasi, berupa kolom distilasi
atmosferik dan kolom distilasi vakum. Ukuran kolom
distilasi disesuaikan dengan jumlah umpan kilang.
Bentuk kolom distilasi disesuaikan dengan trend
kurva distilasi yang memberikan indikasi jumlah
(perolehan) dari produk-produk BBM dan non-BBM
tertentu yang akan dihasilkan. Pendistilasian minyak
bumi yang mengandung fraksi ringan lebih dominant
memerlukan kolom distlasi dengan ruang bagian
atas kolom yang besar daripada ruang bagian bawah
kolom. Sebaliknya, pendistilasian minyak bumi
yang lebih dominan mengandung fraksi berat lebih
memerlukan kolom distlasi dengan ruang bagian
tengah dan bawah kolom yang lebih besar daripada
ruang bagian atas kolom.
Sifat-sifat produk BBM dan non-BBM yang
dihasilkan dari minyak bumi sangat tergantung pada
komposisi senyawa kimia yang membentuk minyak
bumi tersebut. Secara umum minyak bumi dibentuk
terutama oleh senyawa-senyawa hidrokarbon dari
jenis parafinik, naftenik dan aromatic. Unjuk kerja
bensin sebagai produk BBM misalnya diindikasikan
oleh bilangan oktana. Bensin yang kaya dengan
senyawa hidrokarbon aromatik akan mempunyai
octane number yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bensin yang kaya dengan senyawa hidrokarbon
parafinik. Unjuk kerja minyak diesel sebagai produk
BBM misalnya diindikasikan oleh bilangan setana.
Minyak diesel yang kaya dengan senyawa hidrokarbon
parafinik akan mempunyai bilangan setana yang lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak diesel yang kaya
dengan senyawa hidrokarbon aromatik. Unjuk kerja
minyak lumas sebagai produk non-BBM misalnya
diindikasikan oleh indek viskositas. Minyak lumas

PEMILIHAN UMPAN KILANG


MAIZAR RAHMAN, DKK.

yang kaya dengan senyawa hidrokarbon parafinik


akan mempunyai viscositas index yang lebih tinggi
dibandingkan dengan minyak lumas yang kaya
dengan senyawa hidrokarbon aromatik. Tabel 1 di
bawah memperlihatkan hubungan sifat-sifat tersebut
di atas dengan komposisi senyawa hidrokarbon.
Komposisi kimia hidrokarbon dalam minyak
bumi telah diindikasikan lewat beberapa sifat atau
klasifikasi seperti misalnya KuOP factor, Indeks
korelasi, viscosity gravity constat, dan klasifikasi
Lane dan Garton. Nilai K OUP factor sebesar 13
memberikan indikasi komposisi yang bersifat
parafinik, sedangkan nilai K UOP factor sebesar
9 memberikan indikasi komposisi yang bersifat
aromatik. Nilai indeks korelasi sebesar 0 memberikan
indikasi komposisi yang bersifat parafinik, sedangkan
nilai indeks korelasi sebesar 100 memberikan
indikasi komposisi yang bersifat aromatik. Nilai
viscosity gravity constant sebesar 0.8 memberikan
indikasi komposisi yang bersifat parafinik, sedangkan
nilai viscosity gravity constant sebesar 1 memberikan
indikasi komposisi yang bersifat aromatik.
Berbeda dengan KUOP factor, indeks korelasi
dan viscosity gravity constant yang memberikan
indikasi komposisi senyawa hidrokarbon dalam
minyak bumi sebagai suatu kesatuan, klasifikasi Lane
dan Garton memberikan indikasi komposisi senyawa
hidrokarbon dalam minyak bumi yang merujuk
pada fraksi ringan dan fraksi berat dalam minyak
bumi. Pada klasifikasi Lane dan Garton terdapat 9
jenis klasifikasi. Pada Klasifikasi N-P misalnya, N
memberikan indikasi bahwa komposisi fraksi ringan
pada minyak bumi tersebut bersifat naftenik dan P
memberikan indikasi bahwa kmposisi fraksi berat
pada minyak bumi tersebut bersifat parafinik.
Terkait dengan sifat-sifat produk BBM dan nonBBM yang akan dihasilkan oleh suatu minyak bumi,
klasifikasi Lane dan Garton, lebih dipercaya untuk
dipakai sebagai rujukan untuk memprediksi sifat-sifat
dari produk yang akan dihasilkan tersebut.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 145 - 151

Tabel 1
Hubungan Komposisi Senyawa Hidrokarbon
dengan Sifat-sifat Produk BBM dan Non-BBM
Produk

Parafinik

Intermediet

Naftenik

Bensin

ON 40-55

ON 45-60

ON 55-70

Minyak Tanah

SP 30-35

SP 20-25

SP <20

Minyak Diesel

CN 50-65

CN 45-60

CN <40

Minyak Lumas

VI 90-100

VI 70-85

VI <70

disain kilang. Pendekatan lewat perolehan distilasi


dilakukan untuk mendapatkan perolehan produk
minyak bumi yang dihasilkan sama atau mendekati
yield produk yang dihasilkan umpan disain kilang.
Terhadap sekumpulan minyak bumi yang
berlainan yang diperkirakan berpotensi untuk
pengolahan dilakukan pemetaan perolehan distilasi
dan pemetaan jenis minyak bumi. Pemilihan diawali
dengan pemilihan minyak bumi pada peta jenis minyak
bumi dan dilanjutkan dengan pemilihan tunggal atau
campuran pada peta perolehan distilasi.
IV. PERCOBAAN

Evaluasi mutu minyak bumi (crude oil assay)


dilakukan terhadap 37 buah minyak bumi yang
sebagiannya seperti yang tercantum pada Tabel 2
merupakan program EMMB yang dilakukan pada
sampling tahun 2009. Pengujian yang dilakukan
terhadap minyak bumi-minyak bumi tersebut
mencakup sifat umum dari minyak bumi, klasifikasi
sesuai Lane dan Garton, yield material balance sesuai
distilasi TBP dan sifat-sifat faksi-fraksi distilasi.
VI. HASIL DAN DISKUSI

III. METODOLOGI

Hasil pengujian yang dilakukan terhadap minyak


bumi-minyak bumi yang tercantum pada Tabel 2,
yang mencakup jenis minyak bumi sesuai klasifikasi
Lane and Garton, yield material balance sesuai
distilasi TBP, sebagiannya adalah seperti yang terlihat
dalam Tabel 3.

Pemilihan minyak bumi substitusi umpan kilang


sebagai pengganti minyak bumi umpan disain kilang
ini dilakukan lewat pendekatan jenis minyak bumi
dan perolehan distilasi. Pendekatan lewat jenis
minyak bumi dilakukan untuk mendapatkan sifat
produk minyak bumi yang dihasilkan sama atau
lebih baik dari sifat produk yang dihasilkan umpan

Dari Tabel 3 terlihat bahwa sampel-sampel


minyak bumi yang diuji, jenisnya meliputi 6 jenis
minyak bumi dari 9 jenis minyak bumi yang ada
sesuai klasifikasi Lane dan Garton. Perolehan distilasi
fraksi IBP 180oC bervariasi dari 1.3% vol sampai
92.3% vol dan perolehan distilasi fraksi 180 350oC
bervariasi dari 17.1% vol sampai 57% vol.

147

PEMILIHAN UMPAN KILANG

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

MAIZAR RAHMAN, DKK.

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 145 - 151

Tabel 2
Daftar Evaluasi Minyak Bumi Sampling Tahun 2009
No

Nama

Perusahaan

No

Nama

Perusahaan

20

MUDI MIX : BANYU URIP (3:1)

JOB PP- EAST JAVA

MIX CEPU

PERTAMINA FIELD CEPU

TAMPI

SELE RAYA MERANGIN DUA

21

BUTUN

BOB BBSP - PERTAMINA

META

MEDCO E&P INDONESIA

22

INTAN

CNOOC SES Ltd.

MATOA (kontrak)

JOB PP SALAWATI

23

RAMA

CNOOC SES Ltd.

KAMBUNA

ASIA PETROLEUM DEV. Ltd.

24

HANDIL

TOTAL E&P INDONESIE

KAMBUNA PKL SUSU MIX

ASIA PETROLEUM DEV. Ltd.

25

MATRA

MEDCO EP INDONESIA

PEMATANG

CHEVRON PACIFIC IND.

26

BUNYU

PERTAMINA REG. KTI

NORTH DURI

CHEVRON PACIFIC IND.

27

BELIDA

CONOCO PHILLIPS

NW BELANI #1

SELE RAYA MERANGIN DUA

28

BELANAK

CONOCO PHILLIPS

10

GERAGAI COND. CPS

PETROCHINA JABUNG

29

SELATAN

KONDUR PETROLEUM

11

GERAGAI COND. FSO

PETROCHINA JABUNG

30

MELIBUR

KONDUR PETROLEUM

12

KE-30

KODECO ENERGY Co. Ltd.

31

WEST BELANI #1

SELE RAYA MERANGIN DUA

13

KE-38

KODECO ENERGY Co. Ltd.

32

ATTAKA : STA MIX

CHEVRON INDONESIA Co.

14

UJUNG PANGKAH

HESS (IND.-PANGKAH) Ltd.

33

SUNGAI GELAM

PERTAMINA REG. SUMATRA

15

MATOA (Jadwal)

JOB PP SALAWATI

34

TUGU BARAT

PERTAMINA REG. JAWA

16

AIR SERDANG

JOB PTMN-TALISMAN

35

CEMARA BARAT

PERTAMINA REG. JAWA

17

MUDI/SUKOWATI

JOB PP- EAST JAVA

36

JATIBARANG MIX

PERTAMINA REG. JAWA

18

BANYU URIP

JOB PP- EAST JAVA

37

OSEIL

CITIC SERAM ENERGY

19

MUDI MIX : BANYU URIP (4:1)

JOB PP- EAST JAVA

Tabel 3
Jenis Minyak Bumi dan Perolehan Material Balance dari Sampel-sampel yang Diuji
No

Nama

Perusahaan
PERTAMINA FIELD CEPU

API

Klasifikasi

IBP-180

180-350

34.9

I-I

22.1

45.4

MIX CEPU

TAMPI

SELE RAYA MERANGIN DUA

44.6

N-N

64.8

29.1

META

MEDCO E&P INDONESIA

29.2

I-I

16.4

28.2

MATOA (kontrak)

JOB PP SALAWATI

38.1

I-I

27.8

39.5

KAMBUNA

ASIA PETROLEUM DEV. Ltd.

49.7

I-P

63.9

33.61)

KAMBUNA PKL SUSU MIX

ASIA PETROLEUM DEV. Ltd.

54.7

I-P

74.4

23.8

PEMATANG

CHEVRON PACIFIC IND.

31.3

I-I

8.3

26

NORTH DURI

CHEVRON PACIFIC IND.

17.8

N-I

1.3

17.1

1)

NW BELANI #1

SELE RAYA MERANGIN DUA

42.5

I-N

42.8

43.5

10

GERAGAI COND. CPS

PETROCHINA JABUNG

71.7

92.2

4.43)

11

GERAGAI COND. FSO

PETROCHINA JABUNG

69.4

92.3

4.2

12

KE-30

KODECO ENERGY Co. Ltd.

43.1

I-I

38.2

32.7

13

KE-38

KODECO ENERGY Co. Ltd.

36.3

I-I

30.4

35.2

14

UJUNG PANGKAH

HESS (IND.-PANGKAH) Ltd.

46.6

N-I

52.6

25.3

15

MATOA (Jadwal)

JOB PP SALAWATI

38.3

I-I

29

39.2

16

AIR SERDANG

JOB PTMN-TALISMAN

31.3

N-N

34.6

34.9

3)

17

MUDI/SUKOWATI

JOB PP- EAST JAVA

39.1

I-I

28

39.9

18

BANYU URIP

JOB PP- EAST JAVA

32.5

I-I

5.4

51.6

19

dst


148

PEMILIHAN UMPAN KILANG


MAIZAR RAHMAN, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 145 - 151

Pemetaan jenis minyak bumiminyak bumi tersebut sesuai klasifikasi


Lane and Garton adalah seperti yang
terlihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa ke 37
sampel minyak bumi yang dievaluasi
tersebut tersebar dalam jenis minyak
bumi dengan runutan sebagai berikut:
s 1 minyak bumi berada dalam
klasifikasi jenis IntermediateParafinik (I-P)
s 5 minyak bumi berada dalam
klasifikasi jenis NaftenikIntermediate (N-I)
Gambar 1
Distribusi
Jenis
Minyak
Bumi
Indonesia Sampling Tahun 2009
s 15 minyak bumi berada dalam
klas ifikasi jenis IntermediateIntermediate (I-I)
s 6 minyak bumi berada dalam
klasifikasi jenis ParafinikIntermediate (P-I)
s 5 minyak bumi berada dalam
klasifikasi jenis Naftenik-Naftenik
(N-N)
s 3 minyak bumi berada dalam
klasifikasi jenis IntermediateNaftenik (I-N)
s Tidak ada sampel minyak bumi yang
termasuk dalam klasifikasi jenis
Naftenik-Parafinik (N-P), ParafinikParafinik (P-P) dan ParafinikGambar 2
Distribusi Yield Distilasi Minyak Bumi Indonesia
Naftenik (P-N).
Sampling Tahun 2009
s Dan 2 minyak bumi ringan/kondensat
yang terklasifikasi Intermediate (I)
Dengan mengasumsikan bahwa minyak bumi
Pemetaan perolehan distilasi dari ke 37 minyak
Katapa sebagai minyak bumi disain umpan kilang
bumi-minyak bumi yang dievaluasi tersebut adalah
UP Pangkalan Berandan, dan posisinya berada pada
seperti yang terlihat pada Gambar 2.
klasifikasi jenis I-I, maka pemilihan minyak bumi
Dengan merujuk pada Gambar 2 yang
untuk substitusi umpan kilang dapat dilakukan
memperlihatkan distrubusi perolehan distilasi minyak
pada:
bumi-minyak bumi tersebut, pengelompokan minyak
s Minyak bumi-minyak bumi yang berada dalam
bumi-minyak bumi dalam jalur klasifikasi jenis N-I,
kelompok klasifikasi jenis I-I.
I-I dan P-I menghasilkan sejumlah minyak-minyak
bumi seperti yang tertera pada Tabel 4.
s Gabungan minyak bumi-minyak bumi yang
berada dalam kelompok klasifikasi jenis N-I dan
Dari table terlihat bahwa tidak ada satupun
P-I.
minyak bumi dengan klasifikasi jenis I-I yang
mempunyai yield distilasi yang mirip atau mendekati
s Gabungan minyak bumi-minyak bumi yang
yield distilasi yang dipunyai oleh minyak bumi Katapa
berada dalam kelompok klasifikasi jenis I-P dan
yaitu perolehan distilasi fraksi IBP 180oC sebesar
I-N.

149

PEMILIHAN UMPAN KILANG


MAIZAR RAHMAN, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

63.2% vol dan yield distilasi fraksi 180


350oC sebesar 32.0 % vol. Merujuk pada
kisaran perolehan distilasi, penggabungan
dari minyak bumi dengan klasifikasi jenis
No
N-I dan P-I tidak mungkin dilakukan untuk
menghasilkan suatu campuran minyak bumi
21
yang mempunyai perolehan distilasi yang
22
23
mirip atau mendekati perolehan distilasi
27
yang dipunyai oleh minyak bumi Katapa.
28
Namun demikian, apabila diperlukan,
29
8
karena yield distilasi yang tidak terlalu
14
jauh berbeda (Perolehan distilasi fraksi IBP
24
180oC sebesar 52.6% vol dan perolehan
30
35
distilasi fraksi 180 350oC sebesar 25.3%
1
vol) minyak bumi Ujung Pangkah dengan
2
klasifikasi jenis N-I dapat digunakan seba4
gai substitusi minyak bumi Katapa dengan
7
12
konsekuensi kemungkinan perlu dilaku13
kannya perubahan pada kondisi operasi
15
pengoperasian kolom distilasi kilang.
17
18
Dengan kembali merujuk pada Gambar
19
2, pengelompokan minyak bumi-minyak
20
bumi dalam jalur klasifikasi jenis I-P, I-I dan
25
33
I-N menghasilkan sejumlah minyak-minyak
36
bumi seperti yang tertera pada Tabel 5.
Dari Tabel terlihat bahwa karena
perolehan distilasi minyak bumi Kambuna
(Perolehan distilasi fraksi IBP 180oC sebesar
63.9% vol dan perolehan distilasi fraksi 180 350oC
sebesar 33.6% vol) mirip dengan perolehan distilasi
yang dipunyai minyak bumi Katapa (Perolehan
distilasi fraksi IBP 180oC sebesar 63.2% vol dan
perolehan distilasi fraksi 180 350oC sebesar 32.0%
vol) maka minyak bumi Kambuna dengan klasifikasi
jenis I-P dapat digunakan sebagai substitusi minyak
bumi Katapa. Merujuk pada kisaran yield distilasi,
penggabungan dari minyak bumi dengan klasifikasi
jenis I-P dan I-N sangat mungkin dilakukan untuk
menghasilkan suatu campuran minyak bumi yang
mempunyai yield distilasi yang mirip atau mendekati
yield distilasi yang dipunyai oleh minyak bumi
Katapa. Pencampuran minyak bumi KambunaPangkalan Susu mix dari klasifikasi jenis I-P dengan
minyak bumi North West Belany #1 dari klasifikasi
jenis I-N dengan proporsi 61.5:38.5 menghasilkan
suatu campuran minyak bumi yang mempunyai
perolehan distilasi fraksi IBP 180oC sebesar 62.2%
vol dan yield distilasi fraksi 180 350oC sebesar
31.4% vol, yang mirip atau dekat dengan perolehan

150

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 145 - 151

Tabel 4
Kelompok Minyak Bumi dari Klasifikasi
Jenis N-I, I-I, dan P-I
NAMA

KLASIFIKASI

IBP-180

180-350

BUTUN

P-I

14.3

36.4

INTAN

P-I

6.0

20.9

RAMA

P-I

9.8

25.5

BELIDA

P-I

35.0

39.0

BELANAK

P-I

33.9

34.6

SELATAN

P-I

8.0

33.2

NORTH DURI

N-I

1.3

17.1

UJUNG PANGKAH

N-I

52.6

25.3

HANDIL

N-I

29.1

42.6

MELIBUR

N-I

6.2

24.5

CEMARA BARAT

N-I

34.9

32.3

MIX CRUDE CEPU

I-I

22.1

45.4

META

I-I

16.4

28.2

MATOA

I-I

27.8

39.5

PEMATANG

I-I

8.3

26.0

KE-30

I-I

38.2

32.7

KE-38

I-I

30.4

35.2

MATOA

I-I

29.0

39.2

MUDI/SUKOWATI

I-I

28.0

39.9

BANYU URIP

I-I

5.4

51.6

MUDI/SUKOWATI : B. URIP (4:1)

I-I

24.3

40.2

MUDI/SUKOWATI : B. URIP (3:1)

I-I

21.7

41.7

MATRA

I-I

33.0

30.9

SUNGAI GELAM

I-I

22.3

56.9

JATIBARANG MIX

I-I

31.4

31.7

KATAPA

I-I

63.2

32.0

distilasi yang dipunyai minyak bumi Katapa seperti


tersebut di atas.
VI. KESIMPULAN
Pemilihan minyak bumi substitusi umpan kilang
sebagai pengganti minyak bumi umpan disain kilang
dengan menggunakan pendekatan jenis minyak
bumi dan perolehan distilasi, berdasarkan kasus
yang diaplikasikan terhadap minyak bumi Katapa
dari 37 minyak bumi yang diambil sampelnya
pada program EMMB tahun 2009, memperlihatkan
bahwa pendekatan ini cukup baik untuk digunakan.
Pendekatan lewat jenis minyak bumi mengarahkan
bahwa sifat produk minyak bumi yang dihasilkan
oleh substitusi umpan akan sama atau lebih baik dari
sifat produk yang dihasilkan umpan disain kilang.
Pendekatan lewat perolehan distilasi mengarahkan
bahwa perolehan produk bumi yang dihasilkan oleh
substitusi umpan sama atau mendekati yield produk
yang dihasilkan umpan disain kilang.
Terhadap sekumpulan minyak bumi yang
berlainan yang diperkirakan berpotensi untuk

PEMILIHAN UMPAN KILANG


MAIZAR RAHMAN, DKK.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

pengolahan dilakukan pemetaan


yield distilasi dan pemetaan jenis
minyak bumi. Pemilihan yang
diawali dengan pemilihan minyak
bumi pada peta jenis minyak bumi
dan yang kemudian dilanjutkan
dengan pemilihan tunggal atau
campuran pada peta perolehan
distilasi cukup sederhana dan
sistematis untuk dilakukan.
Pemilihan pada kelompok
minyak bumi-minyak bumi dalam
jalur klasifikasi jenis N-I, I-I
dan P-I dapat menghasilkan satu
minyak bumi substitusi umpan,
yaitu minyak bumi Ujung Pangkah
dengan klasifikasi jenis N-I (yield
distilasi fraksi IBP 180 C sebesar
52.6% vol dan yield distilasi fraksi
180 350C sebesar 25.3% vol)
sebagai pengganti minyak Katapa
dengan klasifikasi jenis I-I (yield
distilasi fraksi IBP 180C sebesar
63.2% vol dan perolehan distilasi
fraksi 180 350C sebesar 32.0%
vol).

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 145 - 151

Tabel 5
Kelompok Minyak Bumi dari Klasifikasi Jenis I-P, I-I dan I-N
No

NAMA

IBP-180

180-350

KAMBUNA

I-P

63.9

33.6

KAMBUNA - PK. SUSU MIX

I-P

74.4

23.8

NORTH WEST BELANI #1

I-N

42.8

43.5

32

ATTAKA : STA MIX

I-N

38.9

47.6

37

OSEIL

I-N

8.4

28.6

MIX CRUDE CEPU

I-I

22.1

45.4

META

I-I

16.4

28.2

MATOA

I-I

27.8

39.5

PEMATANG

I-I

8.3

26.0

12

KE-30

I-I

38.2

32.7

13

KE-38

I-I

30.4

35.2

15

MATOA

I-I

29.0

39.2

17

MUDI/SUKOWATI

I-I

28.0

39.9

18

BANYU URIP

I-I

5.4

51.6

19

MUDI/SUKOWATI : B. URIP (4:1)

I-I

24.3

40.2

20

MUDI/SUKOWATI : B. URIP (3:1)

I-I

21.7

41.7

25

MATRA

I-I

33.0

30.9

33

SUNGAI GELAM

I-I

22.3

56.9

36

JATIBARANG MIX

I-I

31.4

31.7

KATAPA

I-I

63.2

32.0

62.2

31.4

61.5 % (6) + 38.5 % (9)

Pemilihan pada kelompok minyak bumi-minyak


bumi dalam jalur klasifikasi jenis I-P, I-I dan I-N
dapat menghasilkan dua minyak bumi substitusi
umpan, yaitu: minyak bumi Kambuna dengan kla
sifikasi jenis I-P yang mempunyai perolehan distilasi
fraksi IBP 180C sebesar 63.9% vol dan perolehan
distilasi fraksi 180 350C sebesar 33.6% vol,
dan campuran minyak bumi Kambuna-Pangkalan
Susu mix dari klasifikasi jenis I-P dengan minyak
bumi North West Belany #1 dari klasifikasi jenis
I-N dengan proporsi 61.5:38.5 menghasilkan suatu
campuran minyak bumi yang mempunyai perolehan
distilasi fraksi IBP 180C sebesar 62.2% vol dan
yield distilasi fraksi 180 350C sebesar 31.4% vol,
sebagai pengganti minyak Katapa dengan klasifikasi
jenis I-I yang mempunyai perolehan distilasi fraksi
IBP 180C sebesar 63.2% vol dan perolehan
distilasi fraksi 180 350C sebesar 32.0% vol.

Klasifikasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diucapkan pada Wage Martono,
Muhamad Kurniawan dan Anda Lucia atas bantuannya
dalam pengujian dan pengolahan data.
KEPUSTAKAAN
1. Adiwar, Hotimah, B., Martono, W., Kurniawan,
M., Away, Y., 2010, Crude Oil Grading sebagai
Second Reference dalam Penetapan Harga Minyak
Bumi Indonesia, Lembaran Publikasi Lemigas,
vol. 44, no. 1, p. 63-69.
2. Adiwar, Ibrahim R., Pardede, R., Suhud, J.,
Yoediartiny, D., Martono, W., Kussuryani, Y.,
2005, Crude oils of Indonesia: Properties and
Characteristics, 4th ed.
3. Prasad, R., 2000, Petroleum Refining Technology,
Khanna Publishers.
4. Speight, J. G., 1980, The Chemistry and
Technology of Petroleum, Marcel Dekker Inc.

151


152

Efisiensi Katalitik Konverter dalam


Mengurangi Emisi Karbon Monoksida dan
Hidrokarbon pada Bahan Bakar Bensin 88
Maymuchar1), dan Dimitri Rulianto2)

Peneliti Muda, 2) Calon Peneliti, pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 3 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 3 Mei 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011
1)

Sari
Karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC) merupakan sebagian dari gas buang produk dari
proses pembakaran pada mesin kendaraan. Salah satu usaha untuk mengurangi gas buang ini adalah
dengan menggunakan teknologi aftertreatment. Teknologi aftertreatment pada kendaraan berbahan
bakar bensin adalah katalitik konverter. Proses oksidasi yang terjadi pada katalitik konverter akan
mengubah sebagian CO dan HC menjadi CO2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui effisiensi
katalitik konverter pada kendaraan yang berbahan bakar bensin 88 tanpa timbal. Pengukuran emisi
gas buang dilakukan sebelum uji jalan (0 km), setiap 2.500 km sampai 10.000 km. Effisiensi
katalitik konverter dalam menurunkan emisi CO sebesar 31,4% pada jarak tempuh 0 km dan
menurun menjadi 25,9% pada jarak tempuh 10.000 km. Sedangkan effisiensi katalitik konverter
dalam menurunkan emisi HC sebesar 29,9% pada jarak tempuh 0 km dan menurun menjadi 13,2%
pada jarak tempuh 10.000 km. Kandungan sulfur dan timbal serta teknologi mesin menjadi faktor
mempercepat turunnya efisiensi katalitik konverter.
Kata kunci: katalitik konverter, effisiensi, emisi CO dan HC, bensin 88
Abstract
Carbonmonooxide (CO) and unburn hydrocarbon (HC) is part of the vehicle emission. One of
the attempts to reduce the emission is by using the aftertreatment technology. The aftertreatment
technology in the gasoline vehicles is called a catalytic converter. The oxidation process in the
catalytic converter changes part of CO and HC into CO2. This research aims to find out the catalytic
converter efficiency on the vehicles which use 88 unleaded gasoline. The emission measurement
is carried out at before the road test (0 km), at every 2.500 km up to 10.000 km. The catalytic
converter efficiency in reducing CO emission is 31,4% at 0 km mileage and decreases to 25,9%
at the 10.000 km mileage. The catalytic converter efficiency in reducing HC emission is 29,9%
at 0 km mileage and decreases to 13,2% at the 10.000 km mileage. Sulphur and lead content on
gasoline, as well as engine technology are the factors that accelerate the decreasing catalytic
converter efficiency.
Keywords: catalytic converter, efficiency, CO and HC emission, gasoline 88
I. PENDAHULUAN
Pencemaran oleh emisi gas buang dari kendaraan
bermotor merupakan sumber pencemar utama di
beberapa kota besar tidak saja di Indonesia tetapi
juga di negara lain. Penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa kontribusi emisi gas buang


kendaraan bermotor untuk emisi karbonmonoksida
dan hidrokarbon mencapai lebih dari 90%. Beberapa
faktor yang berpengaruh pada tingkat pencemaran
dari emisi gas buang kendaraan bermotor, antara

153

Efisiensi Katalitik Konverter


MAYMUCHAR dan dimitri rulianto

lain teknologi kendaraan bermotor, kualitas bahan


bakar, perawatan mesin kendaraan, kemacetan
yang sering terjadi. Beberapa yang harus dilakukan
untuk mengurangi tingkat pencemaran antara lain
penggunaan bahan bakar alternatif ramah lingkungan,
perbaikan manajemen transportasi, penggunaan
teknologi kend araan bermotor yang ramah
lingkungan, kontrol emisi dengan mewajibkan uji
emisi berkala, penggunaan teknologi aftertreatment
dan lain sebagainya.
Teknologi aftertreatment digunakan untuk
mereaksikan hasil pembakaran yang beracun menjadi
gas buang yang ramah lingkungan. Untuk kendaraan
bensin peralatan aftertreatment ini dikenal dengan
katalitik konverter. Permasalahan yang timbul dari
pemakaian katalitik konverter ini adalah mutu bahan
bakar bensin domestik yang belum setara dengan
mutu bahan bakar bensin di negara produsen katalitik
konverter ini begitu juga dengan teknologi kendaraan
yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui efesiensi katalitik konverter pada
kendaraan uji terhadap mutu bahan bakar bensin yang
sesuai dengan spesifikasi bensin 88 yang ditetapkan
oleh Pemerintah dalam hal ini bensin dengan nilai
oktan 88.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Katalitik konverter yang dipasang pada pipa
gas buang kendaraan bermotor (knalpot) berfungsi
mengurangi atau mengkonversi gas-gas beracun
hasil pembakaran seperti CO, HC, dan NOx, menjadi
gas-gas yang tidak berbahaya seperti CO2, N dan O2
sebelum dikeluarkan ke udara bebas. Pada keadaan
ideal mesin kendaraan, mesin akan beroperasi
pada campuran bahan bakar dan udara pada
kondisi stokiometrik dengan AFR sebesar 14,7 dan
pembakaran akan berlangsung sempurna yang akan
menghasilkan emisi gas buang yang mengandung
karbon dioksida, uap air, dan nitrogen. Tetapi pada
kondisi aktual mesin kendaraan didisain untuk
komposisi campuran miskin (AFR = 16) sehingga
pemakaian bahan bakar menjadi ekonomis pada
saat kendaraan dijalankan dengan kecepatan sedang.
Mesin kendaraan juga didisain untuk komposisi
campuran kaya (AFR = 12) untuk menghidupkan
mesin kendaraan pada saat dingin dan menghasilkan
daya maksimum selama kendaraan berakselerasi.
Proses pembakaran pada mesin kendaraan jarang
atau hampir tidak pernah berlangsung sempurna

154

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 153 - 158

sehingga emisi gas buang yang dihasilkan berupa


gas yang terdiri dari SOx, NOx, HC, CO dan CO2.
sedang untuk partikulat terdiri dari timbal, seng,
cadmium, nikel serta Cu, Cr dan Fe yang dihasilkan
dari gesekan antara sepatu rem dengan plat rem.
Katalis yang digunakan untuk mereduksi dan
mengoksidasi emisi gas buang yang beracun terdiri
dari alumina sebagai penyangga dan inti aktif logam
mulia. Logam mulia yang sering digunakan adalah
platinum, palladium dan rhodium. Logam-logam
mulia ini berguna untuk meningkatkan reaksi
kimia dari molekul-molekul gas buang yang akan
dikonversikan per satuan waktu tanpa merusak secara
permanen struktur logam-logam tersebut.
Katalis dari jenis three way catalyst (TWC) ada
2 tipe yaitu single catalyst bed yang mampu mengkonversi CO, HC dan NO secara simultan dan dual
catalyst bed yang dapat mereduksi NO dengan gas
CO, HC dan H2 sekaligus mengoksidasi CO dan HC
dengan udara. Persamaan reaksi kimia yang terjadi
pada katalitik konverter adalah sebagai berikut(1) :
Oksidasi karbon monoksida (CO)
CO + 2 O2 g CO2
CO + H2 O g CO2 + H2
Oksidasi hidrokarbon (HC)
HnCm + (m+n/4) O2 g m CO2 + n/2 H2O
Reduksi nitrogen oksida (NOx)
NO + CO g2 N2 + CO2
NO + H2 g2 N2 + H2O
2(m+n/4) NO + HnCm g (m+n/4) N2 + n/2 H2O +
m CO2
Perhitungan effisiensi katalitik konverter untuk
masing-masing emisi dilakukan dengan menggunakan
persamaan dibawah ini(2) :

Penggunaan bensin sebagai bahan bakar mesin


bensin diatur menurut kualitas dan spesifikasi yang
ditetapkan. Spesifikasi ini biasanya merupakan
ketentuan formal yang mengatur kepentingan semua
pihak, seperti pemakai bahan bakar, produsen/
pemasok, masyarakat umum dan pemerintah. Dalam
spesifikasi tersebut, terdapat 3 kelompok sifat utama
yang diperlukan pada bahan bakar bensin, yaitu sifat

Efisiensi Katalitik Konverter


MAYMUCHAR dan dimitri rulianto

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 153 - 158

mutu bakar, sifat volatilitas, dan sifat


Tabel 1
stabilitas dan kebersihan. Bahan bakar
Spesifikasi Kendaraan Uji
jenis bensin 88 berdasarkan spesifikasi
yang berlakukan di Indonesia ada 2
Model Mesin
7K
jenis yaitu bensin 88 Bertimbal dan
Jumlah Silinder
4 silinder segaris, 4 langkah
Tanpa Timbal (TT)(3).
Tahun Pembuatan
1998
Bensin 88 mempunyai angka
Bahan Bakar
Bensin
oktana minimum 88 (RON), grade
Diameter Lubang dan Langkah (mm)
80,5 x 87,5
bensin ini terbagi atas dua jenis, yaitu
Volume Langkah (cm3)
1781
Bensin 88 Bertimbal dan Bensin 88
Type Busi
W16EX-U
Tanpa Timbal. Bensin 88 Bertimbal
Celah
Busi
0,7 0,8
mengandung timbal (Pb) maksimum
0,30g/L dan Bensin 88 Tanpa Timbal
Oli Pelumas
Mesran Super 20 W - 50
mengandung timbal maksimum
Sistem Intake Bahan Bakar
Karburator
0,013g/L. Pada bensin tanpa timbal
ini tidak ada penambahan aditif penaik
angka oktana yang mengandung timbal,
tetapi kandungan timbal yang terdapat dalam bensin
sehingga kataliknya dapat diukur dan diperiksa secara
tersebut merupakan timbal bawaan dari minyak
visual. Dikarenakan ukuran lubang input maupun
mentah. Dalam penelitian ini jenis yang bensin yang
output yang belum sesuai dengan ukuran diameter
digunakan adalah bensin 88 tanpa timbal.
knalpot kendaraan uji maka dipasang pipa reducer
pada masing-masing input maupun output rumah
III. METODOLOGI
katalitik konverter.
Persiapan pengujian yang dilakukan meliputi
A. Uji Mutu Bahan Bakar
persiapan teknis maupun non teknis. Persiapan
teknis dilakukan terhadap kendaraan uji baik
Pengujian mutu bahan bakar adalah pengujian
terhadap yang berhubungan langsung dengan proses
karakteristik fisika kimia bahan bakar uji yang
pembakaran maupun yang tidak berhubungan
berpengaruh langsung pada kinerja mesin dan kinerja
langsung tetapi berhubungan dengan keselamatan
katalitik konverter. Pengujian karakteristik bahan
pada saat dilakukannya uji jalan dan uji emisi.
bakar terdiri dari angka oktana, distilasi 10%, 50%
Persiapan teknis yang berhubungan langsung atau
dan 90% penguapan, titik didih akhir, residu serta
yang mempengaruhi proses pembakaran meliputi
kandungan timbal. Parameter terakhir ini yang sangat
pergantian suku cadang sistem pengapian dan
mempengaruhi kinerja katalitik konverter.
memasang suku cadang yang baru dengan setelan
B. Pengukuran Emisi CO dan HC
yang sesuai dengan spesifikasi kendaraan uji. Suku
cadang sistem pengapian yang diganti meliputi accu,
Katalitik konverter akan dipasang pada lokasi
busi, platina, filter bahan bakar, saringan udara, koil
tertentu pada saluran pembuangan (knalpot)
dan distributor. Sedangkan persiapan teknis yang
kendaraan uji. Penempatan katalitik konverter
tidak mempengaruhi proses pembakaran tetapi
pada saluran exhaust kendaraan adalah 1 meter
harus dilakukan karena menyangkut pada aspek
atau mengikuti sesuai dengan petunjuk manual
keselamatan pengemudi/analis dalam melaksanakan
dari pabrikan kendaraan. Pemilihan jarak tersebut
uji jalan dan uji emisi meliputi pemeriksaan rem,
adalah untuk menjaga temperatur operasi katalitik
pergantian oli mesin, oli gardan, fan belt dan
tetap terpelihara yaitu sekitar 400oC. Gambar 1
pemeriksaan tekanan ban.
menunjukkan katalitik konverter yang digunakan
Persiapan teknis juga dilakukan pada katalitik
pada penelitian ini.
konveter. Persiapan ini digunakan untuk mendapatkan
Uji jalan terhadap kendaraan uji yang telah
informasi dimensi dan bentuk katalitik konverter.
dipasang katalitik konverter dilakukan dengan
Untuk mendapatkan informasi ini maka dilakukan
menempuh jarak 10.000 km. Titik pengukuran emisi
pemotongan/pembelahan rumah katalitik konveter
gas buang adalah sebelum uji jalan kendaraan uji

155

Efisiensi Katalitik Konverter


MAYMUCHAR dan dimitri rulianto

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 153 - 158

(0 km), pada setiap jarak tempuh 2.500 km dan pada


akhir uji jalan (10.000 km). Pengukuran uji emisi
ini dilakukan pada bangku uji chassis dinamometer
untuk melihat perubahan emisi CO dan HC sebelum
dan sesudah dipasang katalitik konveter setelah menempuh jarak tertentu. Spesifikasi kendaraan uji dan
katalitik konverter yang digunakan pada kegiatan ini
dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

emisi CO sebesar 31,4% pada jarak tempuh 0 km.


Penurunan efisiensi katalitik konverter terjadi dengan
meningkatnya jarak tempuh kendaraan uji, hingga
mencapai 25,9% setelah menempuh jarak 10.000 km.
Gambar 2 menunjukkan efisiensi katalitik konverter
dalam menurunkan emisi CO setiap jarak tempuh.
Terjadinya penurunan efisiensi katalitik konverter
dikarenakan kadar CO yang meningkat sejalan
dengan jarak tempuh kendaraan uji, baik untuk
kendaraan tanpa katalitik konverter maupun yang
telah menggunakannya. Fenomena tersebut sangat
umum terjadi karena semakin jauh jarak tempuh
atau semakin lama penggunaan kendaraan, kinerja
mekanisme bagian-bagian mesin yang berpengaruh

IV. HASIL dan PEMBAHASAN


A. Mutu Bahan Bakar
Dari hasil analisa laboratorium terhadap mutu
bahan bakar bensin 88 yang diuji dapat dikatakan
bahwa mutu bensin yang digunakan telah sesuai
dengan spesifikasi bensin yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah melalui surat keputusan Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 3674 K/24/
DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006, walaupun mutu
bensin ini masih jauh jika dibanding dengan mutu
bensin yang berlaku di negara-negara yang sudah
sangat memperhatikan dampak pencemaran udara
akibat kendaraan bermotor. Hasil uji mutu bahan
bakar bensin 88 dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 1
Katalitik Konverter

B. Efisiensi Katalitik Konverter


Dari hasil pengujian dimana pengukuran
pada kondisi idle sesuai dengan prosedur uji
emisi(5), dapat dilihat bahwa disetiap jarak
tempuh yang dialami katalitik konverter terjadi
penurunan kadar emisi gas buang CO karena
terjadi oksidasi CO oleh katalis sehingga
merubah CO menjadi CO2. Untuk efisiensi
katalitik konverter dalam menurunkan kadar

Tabel 2
Data Teknis Katalitik Konveter
Tebal

Ukuran
lingkar

Ukuran
terpanjang
(X)

Ukuran
terpendek
(Y)

Bahan
katalis

PK.01-06 10 cm

33,7 cm

12 cm

7,9 cm

Pt,Pd,Rh(4)

Kode
KK

Tabel 3
Hasil Uji Mutu Bahan Bakar Bensin 88
No
1

Parameter Uji
Angka Oktana

Unit

Hasil Uji

RON

Batasan Spesifikasi

Metode Uji
ASTM D 2699

88,9

88

Distilasi : 10% Penguapan

65,5

Maks 74

50% Penguapan

104,5

Min 88, maks 125

90% Penguapan

164

Maks 180

Titik Didih Akhir

198

Maks 215

Residu

ASTM D 86

% vol

Maks 2,0

Kandungan Timbal

g/lt

0,009

Maks 0,013

ASTM D 3237

Kandungan Sulfur

%m

0,0124

Maks 0,05

ASTM D 2622


156

Efisiensi Katalitik Konverter


MAYMUCHAR dan dimitri rulianto

langsung pada proses pembakaran semakin menurun.


Begitu juga dengan katalitik konverter, terjadinya
penumpukan kotoran dan debu pada dinding-dinding
katalitik akan mempengaruhi terjadinya proses oksidasi yang mengubah CO menjadi CO2.
Penggunaan katalitik konverter ini juga
menghasilkan penurunan terhadap emisi hidrokarbon
(HC). Emisi HC pada katalitik konverter yang
bertemu dengan oksigen, pada temperatur tinggi
dapat bereaksi sehingga menguraikan HC menjadi
C, CO2, H2O serta HC sisa. Dengan demikian kadar
emisi HC akan berkurang dan diikuti dengan naiknya
CO2.
Efisiensi katalitik konverter dalam menurunkan
emisi HC sebesar 29,9% pada jarak tempuh 0 km.
Penurunan efisiensi katalitik konverter terjadi se
telah kendaraan uji menempuh jarak 2.500, 5.000,
7.500 dan 10.000 kilometer masing-masing 16,8%,
17,3%, 24% dan 13,2%. Gambar 3 menunjukan
efisiensi katalitik konverter dalam menurunkan emsi
HC. Beberapa hal yang sangat mungkin menjadi
penyebab menurunnya kinerja katalitik konverter
antara lain adanya material pengotor berupa debu dan
sisa pembakaran yang menempel dan menghalangi
permukaan katalis.
Proses pembakaran di combustion chamber
suatu mesin dipengaruhi oleh perbandingan bahan
bakar dan udara (AFR). Pada mesin dengan
sistem pemasukan bahan bakar dengan karburator
sangat sulit sekali mengontrol AFR ini sehingga
proses pembakaran berlangsung tidak efisien yang
menyebabkan emisi gas buang lebih besar. Selain
itu masih terdapatnya kandungan timbal dan sulfur
dalam bahan bakar bensin 88 TT ini walau dalam
jumlah yang masih sesuai spesifikasi di Indonesia
namun bila dibandingkan dengan spesifikasi WWFC
kategori 2 dan 3 dimana kandungan sulfur 0,02%
untuk kategori 2 dan 0,003%untuk kategori 3, sedang
kandungan timbal untuk kedua kategori ini adalah
tidak terdeteksi lagi (non detectable)(6). Faktor-faktor
ini yang menyebabkan mempercepat penurunan
efisiensi katalitik konverter.
Penurunan kadar CO dan HC disertai dengan pe
ningkatan kadar CO2 merupakan salah satu indikator
berfungsinya katalitik konverter. Katalitik konverter
membantu proses oksidasi CO dan HC yang terbentuk
karena pembakaran tidak sempurna menjadi CO2.
Dengan teroksidasinya CO dan HC pada katalitik
konverter menjadi CO2 akan mengakibatkan mening
katnya kadar CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraan
melalui knalpot. Peningkatan terbentuknya emisi CO2

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 153 - 158

Gambar 2
Efisiensi Katalitik Konverter Untuk Emisi CO

Gambar 3
Effisiensi Katalitik Konverter untuk Emisi HC

Gambar 4
Peningkatan Emisi CO2 Setelah Pemakaian
Katalitik Konverter

setelah kendaraan menggunakan katalitik konverter


dan menempuh jarak 10.000 km ini adalah rata-rata
sebesar 69,4%. Pada gambar 4 terlihat bahwa terjadi
peningkatan kadar emisi CO2 setelah kendaraan
menggunakan katalitik konverter.
157

Efisiensi Katalitik Konverter


MAYMUCHAR dan dimitri rulianto

V. KESIMPULAN
Dari analisa data maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pemakaian katalitik konverter dapat menurunkan
emisi gas buang beracun CO dan HC.
2. Efisiensi katalitik konverter dalam menurunkan
emisi CO sebesar 31,4% pada jarak tempuh 0 km
dan menurun menjadi 25,9% pada jarak tempuh
10.000 km.
3. Efisiensi katalitik konverter dalam menurunkan
emisi HC sebesar 29,9% pada jarak tempuh 0 km
dan menurun menjadi 13,2% pada jarak tempuh
10.000 km.
4. Mutu bahan bakar mempengaruhi efisiensi
katalitik konverter dimana produk pembakaran
sulfur dan timbal akan menutupi dinding katalis
sehingga menghambat proses oksidasi emisi CO
dan HC.
5. Kendaraaan dengan teknologi lama (sistem
karburasi) membuat effisiensi katalitik menjadi
rendah. Katalitik konveter sudah seharusnya
dipasang pada kendaraan-kendaraan baru yang
telah memiliki teknologi yang dapat menciptakan
proses pembakaran yang lebih baik (sistem injeksi)


158

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 153 - 158

sehingga emisi gas buang yang dihasilkan akan


lebih baik serta kehandalan katalitik konverter
tersebut menjadi lebih lama.
VI. KEPUSTAKAAN
1. ACEA, Alliance, EMA, JAMA, World Wide Fuel
Charter, Fourth Edition, 2006.
2. Heywood, John B, 1989, Internal Combustion
Engine Fundamentals, Mc Graw-Hill,
International edition, series in mechanical
Engineering, Pp 651.
3. Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan
Gas, Nomor 3674 K/24/DJM/2006 tanggal 17
Maret 2006, Spesifikasi Bahan Bakar Minyak
Jenis Bensin 88, 2006.
4. Saderis, Marios, 1998, Methods for Monitoring
and Diagnosing The Efficiecy of Catalytic
Converters, Elsevier Science, Amsterdam, pp. 8.
5. SNI 19-7118.1-2005 Cara Uji Kendaraan
Bermotor Kategori M, N dan O Berpenggerak
Penyalaan Cetus Api pada Kondisi Idle, 2005
6. Taylor, K.C., 1987, Catalysis and Automotive
Pollution Control, A.Crouq and A. Frennet (eds),
Elsevier Science Publisher, Amsterdam.

Oksidasi Katalitik Karbon Monoksida pada


Katalis Pt-Zeolit Alam Berpromotor Serium
Chairil Anwar1) dan Maizar Rahman2)

Peneliti Madya1), Peneliti Utama2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 2 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 15 Agustus 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Oksidasi katalitik karbon monoksida dilakukan menggunakan katalis yang dipreparasi dari
platina (Pt) sebagai logam aktif, promotor logam serium (Ce) dan berpenyangga zeolit alam.
Preparasi katalis dilakukan dengan metode impregnasi basah secara bertahap dengan variasi
konsentrasi Ce dan urutan impregnasi Ce. Prekursor katalis kemudian dikalsinasi, direduksi dan
dikarakterisasi. Hasil karakterisasi menggunakan difraktometer sinar-x menunjukkan adanya
perbedaan ukuran partikel dan ragam spesies logam Pt. Aktivitas katalitik pada oksidasi karbon
monoksida memberikan hasil konversi terbaik sebesar 99,63% pada temperatur 700C.
Kata kunci: katalis, impregnasi, karakterisasi, aktivitas, oksidasi.
ABSTRACT
Catalytic oxidation of carbon monoxide which is applied on the catalyst prepared using platinum
(Pt) as an active metal, metal promoter cerium (Ce) and and supported on natural zeolit. Catalyst
preparation by gradually wet impregnation method with the variation of Ce concentration and
Ce impregnation sequence. Catalyst precursor in the next step and then calcined, reduced and
characterized. The characterization results using x-ray diffraction shows the differences in particle
size and variety of metal species of Pt. Catalytic activity in oxidation of carbon monoxide showed
the best performance of 99.63% at the test temperature of 700 C.
Key words: catalyst, wet reimpreganation, characterization, activity.
I. PENDAHULUAN
Pencemaran udara dan pencemaran lingkungan
pada umumnya sudah merupakan issue global.
Sebagian besar pencemar udara sekitar 75% berasal
dari gas buang hasil pembakaran tidak sempurna bahan
bakar fosil dalam mesin pada sistem transportasi.
Pembakaran ini menghasilkan karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida (SOx)
dan berbagai hidrokarbon (HC), karbon monoksida
(CO) merupakan sumber polusi dengan komposisi
terbesar yang mencapai 60% [1]. Upaya penanganan
untuk mengurangi polutan tersebut telah dilakukan
antara lain dengan memperbaiki sistem mesin,
penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan
penggunaan katalis heterogen berbasis lingkungan.

Katalis berfungsi untuk menyempurnakan hasil


pembakaran[1,2] dan dikenal sebagai katalis konverter.
Katalis ini selektif dalam memperbaiki kualitas
udara antara lain terhadap polutan CO dan senyawasenyawa organik volatil (hidrokarbon) [3,4].
Katalis heterogen untuk sistem logam penyangga
pada umumnya menggunakan logam-logam transisi.
Logam ini memiliki elektron orbital d yang tidak
berpasangan sehingga dapat menghasilkan satu atau
lebih valensi bebas. Reaktan akan teradsorpsi secara
spesifik pada orbital tersebut sehingga terjadi reaksi
yang diharapkan. Oksidasi CO hanya aktif pada
temperatur di atas 150C sedangkan konversi 50%
dicapai setelah temperatur 350C. Katalis oksidasi
CO harus memiliki kemampuan adsorpsi CO dan O2,
reaksi oksidasi akan melibatkan adsorpsi atom O2 pada
[1]

159

OKSIDASI KATALITIK KARBON MONOKSIDA


CHAIRIL ANWAR dan MAIZAR RAHMAN

permukaan katalis. Dengan demikian kemampuan


logam aktif untuk mengadsorpsi dan mendisosiasi
O2 menjadi syarat utama bagi berlangsungnya reaksi
oksidasi. Berdasarkan penelitian terdahulu logam Pt
dan Pd banyak digunakan sebagai katalis oksidasi
yang terbukti tahan lama untuk pemakaian gas
buang kendaraan bermotor[5]. Untuk lebih efektif,
biasanya digunakan penyangga -alumina atau zeolit
yang dikombinasikan dengan stabilisator seperti
CeO2. Stabilisator akan meningkatkan stabilitas
alumina terhadap temperatur[3] dan meminimalkan
penggunaan logam aktif[2,6]. Platina (Pt) merupakan
salah satu logam transisi yang memiliki aktivitas
yang tinggi dan selektivitas yang unik, sehingga
banyak digunakan sebagai katalis. selektivitas logam
Pt bergantung pada ukuran kristal sehingga dengan
penempatannya pada penyangga berpori diperlukan
untuk mendapatkan dispersi yang tinggi. Fraksi
atom platina dengan demikian dapat bereaksi dengan
reaktan semaksimal mungkin[7-9]. Zeolit merupakan
salah satu padatan berpori dengan luas permukaan
yang besar dan dapat digunakan sebagai penyangga
diantaranya penyangga logam Zn dan Cu untuk
reaksi oksidasi[10]. Zeolit alam digunakan sebagai
penyangga diharapkan mampu menunjang kestabilan
termal dari katalis.
Katalis yang telah ada memiliki keterbatasan
pada tingginya kandungan logam aktif dan aktivitas
pada temperatur yang terlalu tinggi, sehingga
mendorong usaha perbaikan katalis [4-5]. Usaha
untuk meningkatkan aktivitas katalis dilakukan
pada penelitian ini yaitu dengan menambahkan
promotor serium (Ce). Beberapa hasil eksperimen
menunjukkan bahwa penambahan Ce pada katalis
logam berpenyangga menyebabkan efek sinergis
yang berpengaruh pada dispersi permukaan logam
aktif dan sifat katalitiknya[2,6]. Selain promotor, proses
preparasi seperti: metode impregnasi, kalsinasi dan
reduksi sangat menentukan aktivitas katalis yang
dihasilkan[10]. Penerapan katalis oksidasi Pt/Al2O3/
CeO2 untuk mengurangi kadar CO dalam model
campuran gas kaya H2 oleh Grke[11] menunjukkan,
pada suhu antara 120C dan 260C dan rasio CO:O2
lebih kecil dari 0,7 konversi CO mencapai hingga
98% sedangkan selektivitas untuk CO 2 sebesar
20%-35%. Pada penelitian ini dikembangkan
sistem katalis untuk mengoksidasi CO yaitu sistem
katalis heterogen berpenyangga zeolit alam. Metode
impregnasi bertahap pada penelitian ini diharapkan

160

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 159 - 164

dapat menghasilkan dispersi dan ukuran partikel dari


logam aktif yang baik sehingga dapat meningkatkan
aktivitas katalis.
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan Kimia
Bahan yang digunakan meliputi zeolit alam,
Ce(SO4)2.H2O Merck 1.02274 p.a., H2PtCl6.6H2O
(37,7 % Pt) Merck-Scuchardt p.a., HCl 2 M Merck
p.a., akuabides, pH meter, udara tekan, gas N2 (PT.
BOC Gases Indonesia), gas H2 HP Grade (PT.
BOC Gases Indonesia), gas CO (PT. BOC Gases
Indonesia).
B. Alat-Alat Penelitian
Alat yang digunakan meliputi alat-alat gelas,
timbangan analitik Mettler Toledo AB-204, oven
Memmert, furnace 6000 Thermolyne, reaktor
kalsinasi-reduksi, reaktor uji aktivitas, difraktometer
sinar-X, kromatografi gas.
C. Preparasi Katalis
Preparasi katalis dilakukan dengan metode
impregnasi basah secara bertahap. Pada tahap
pertama 20 gram zeolit direndam dalam garam I
selama 24 jam pada temperatur kamar, kemudian
dikeringkan pada temperatur 120oC dan selanjutnya
dikalsinasi pada temperatur 500oC dengan gas N2
selama 4 jam dan udara tekan 1 jam. Tahap kedua
yaitu hasil pada tahap I direndam dalam larutan
garam II selama 24 jam pada temperatur kamar,
kemudian dikeringkan pada temperatur 120oC. Hasil
tahap I dan II dikalsinasi pada temperatur 500oC
dengan mengalirkan gas N2 selama 4 jam dan udara
tekan selama 1 jam. Selanjutnya katalis direduksi
dengan gas H2 pada temperatur 400oC selama 3 jam.
Preparasi di atas adalah untuk preparasi I. Untuk
Tabel 1
Preparasi dan Identitas Katalis
Kondisi
Prosedur

Preparasi I Preparasi II
Ce1-Pt (K1)

Pt-Ce1 (K4)

Ce2-Pt (K2)

Pt-Ce2 (K5)

Ce3-Pt (K3) Pt-Ce3 (K6 )


Konsentrasi garam Pt (garam II)
Konsentrasi garam Ce (garam I)

0,1%

0,1%

5%

5%

10%

10%

15%

15%

OKSIDASI KATALITIK KARBON MONOKSIDA


CHAIRIL ANWAR dan MAIZAR RAHMAN

preparasi II, impregnasi garam II dilakukan pada


tahap pertama.
D. Karakterisasi Katalis
Karakter katalis ditentukan dengan difraktometer
sinar-x berperangkat lunak Automatic Powder
Diffraction (APD). Kondisi operasi 40 kV dan 30
mA menggunakan radiasi CuK (1 = 1,54056 , 2 =
1,54439 ) dengan interval pencatatan 0,02o 2/ 0,25
detik. Data dari difraksi sinar-x diolah lebih lanjut
untuk menentukan: identifikasi komponen logam,
ukuran partikel logam platina.
E. Aktivitas Oksidasi Katalitik
Uji aktivitas katalitik dilakukan dengan
mengalirkan gas CO (20 mL/menit) dan udara
tekan (10 mL/menit) ke dalam reaktor uji aktivitas
yang berisi 5 gram sampel katalis pada temperatur
300, 500, 700oC. Hasil konversi didasarkan pada
pengurangan CO yang dianalisis dengan kromatografi
gas Varian 3700.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 159 - 164

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Spesies Logam
Preparasi katalis yang dilakukan dengan
metode impregnasi basah secara bertahap bertujuan
mendispersikan garam logam ke penyangga zeolit.
Pada proses preparasi katalis dilakukan kalsinasi agar
terjadi dekomposisi garam logam supaya terbentuk
spesies oksida logam sehingga diperoleh katalis PtO/
zeolit atau CeO/zeolit, sedangkan reduksi bertujuan
membentuk spesies logam aktif[12]. Analisis terhadap
difraktogram sinar-x katalis digunakan untuk melihat
keberhasilan impregnasi pada preparasi katalis.
Keberadaan spesies logam Pt dan Ce pada zeolit
dengan metode impregnasi basah secara bertahap
diketahui secara kualitatif dari nilai d spesifik yang
dimiliki logam Pt dan Ce pada sudut 2 tertentu.
Gambar 1 merupakan difraktogram katalis yang
dipreparasi dengan tahapan impregnasi logam Ce
terlebih dahulu. Analisis difraktogram menunjukkan,
bahwa pada katalis K1, K2, K3 spesies logam aktif
Pt berada dalam bentuk logamnya. Keberadaan ini

Gambar 1
Difraktogram Katalis K1, K2, K3.

Gambar 2
Difraktogram Katalis K4, K5, K6.

161

OKSIDASI KATALITIK KARBON MONOKSIDA


CHAIRIL ANWAR dan MAIZAR RAHMAN

diduga karena logam Pt menempati posisi kosong


yang tidak ditempati oleh Ce dan interaksi antara
logam Pt dan Ce tidak terjadi sehingga Pt akan
lebih mudah tereduksi pada temperatur 500C
dibandingkan Ce.
Untuk katalis yang dipreparasi dengan impregnasi
logam Pt terlebih dahulu disajikan pada Gambar 3.
Analisis difraktogram menunjukkan bahwa Pt pada
katalis K4, K5, K6 masih berada dalam bentuk oksida.
Seperti yang dilaporkan Yao[6], terdapatnya Ce di
samping logam Pt yang dimpregnasikan terlebih
dahulu pada permukaan katalis dapat menunjang
transfer muatan dari logam Pt ke Ce mengasilkan
keadaan oksidasi lebih tinggi pada logam Pt. Untuk
Ce pada seluruh katalis berada dalam bentuk oksida
kecuali pada K6 terdapat Ce dalam bentuk logamnya.
Hal ini diperkuat dari penelitian yang dilaporkan
Harrison et al.[8] bahwa, reduksi Ce terjadi pada
temperatur diatas 800C namun proses reduksi
ini cepat mengalami reaksi reversibel ke bentuk
oksidanya.
B. Ukuran Partikel
Penentuan ukuran partikel logam platina dila
kukan dengan menggunakan pendekatan persamaan
Scherrer. Puncak spesifik dari logam platina
diperbesar hingga dihasilkan kurva sebagai berikut:

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 159 - 164

di mana

= ukuran partikel
K = konstanta kekesaran permukaan sampel =
0,92
= panjang gelombang sinar-x yang digunakan = 1, 54051
B = sudut Bragg
B = lebar difraksi yang sebenarnya (1/2 (2122)) dalam radian.

Hasil perhitungan ukuran partikel dari logam


Pt dengan pendekatan persamaan Scherrer[14] pada
masing-masing katalis disajikan pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 ditunjukkan ketidakteraturan
ukuran partikel Pt yang dihasilkan. Katalis K 2
dengan konsentrasi (Ce,10%) dan K4 (Ce, 5%)
menghasilkan ukuran partikel Pt pada K2 yang lebih
kecil sedang pada K3 (Ce, 15%) dan K4 (Ce, 5%)
menghasilkan ukuran Pt pada K4 yang lebih besar.
Hal ini diduga ada batas konsentrasi maksimum dari
Ce untuk membentuk spesies aktif dari logam. Dari
kedua parameter ini diketahui bahwa konsentrasi
Ce dan tahapan penempatan logam pada impregnasi
bertahap mempengaruhi komponen logam pada
katalis dan ukuran partikel logam Pt yang terbentuk
pada katalis.
C. Aktivitas Katalitik
Aktivitas katalitik didasarkan pada banyaknya
CO yang berkurang, dengan persamaan:

% Konversi C
O =

% Mol C
O awal % Mol C
O
% Mol C
O awal

akhir

x100 %

Tabel 2
Tabel Ukuran Partikel Logam Platina pada
Penambahan Serium

Gambar 3
Kurva Penentuan Ukuran Partikel

Data yang didapat dari perbesaran kurva dimasukkan ke dalam persamaan Scherrer:
K
=
B cos B

162

Katalis

Logam

% Ce

Ukuran
(nm)

K1

Pt

785,64

K2

Pt

10

590,03

K3

Pt

15

789,92

K4

Pt

930,01

K5

Pt

10

389,16

K6

Pt

15

894,85

OKSIDASI KATALITIK KARBON MONOKSIDA


CHAIRIL ANWAR dan MAIZAR RAHMAN

Hasil uji aktivitas oksidasi


katalitik karbon monoksida (CO)
untuk masing-masing katalis dipaparkan pada Tabel 3.
Temperatur
Reaksi
Dari Gambar 4 terlihat aktivitas
oksidasi katalitik CO meningkat
o
300 C
seiring naiknya temperatur. Selain
500 oC
itu juga diketahui untuk katalis
700 oC
dengan konsentrasi Ce yang sama,
impregnasi Ce terlebih dahulu
memberikan hasil konversi yang
lebih baik dibandingkan katalis
dengan tahapan impregnasi Pt
terlebih dahulu. Diduga Ce yang
diimpregnasikan lebih dahulu
berinter aksi sinergis dengan
logam Pt, memberikan dispersi
yang baik pada permukaan
sedangkan pada katalis dengan
tahapan sebaliknya, logam Pt
kemungkinan tertutupi logam
Ce sehingga sisi aktif tertutupi
dan aktivitasnya menjadi lebih
rendah. Penambahan serium
dapat menaikkan aktivitas
katalitik dari logam aktif dengan
menstabilkan dispersi logam
aktif [5] dan berperan sebagai
penyimpan oksigen, di mana
bilangan oksida akan berubah
secara siklik antara CeO2 dan CeO2-x[14].
Dalam penelitian ini secara umum aktivitas
katalis cenderung rendah pada temperatur rendah
kecuali pada katalis K2. Dari difraktogram sinar-x
ditunjukkan puncak-puncak spesifik logam Pt lebih
banyak muncul dengan intensitas lebih baik dari
katalis lainnya. Dalam hal ini diduga proses reduksi
logam aktif berlangsung degan baik. Katalis K6
hanya aktif pada temperatur tinggi, diperkirakan
promotor dapat berperan pada temperatur tinggi.
Puncak spesifik Ce atau mungkin CeO2 juga hanya
terdeteksi pada katalis K6, puncak spesifik dari logam
aktif muncul sebagai Pt dan Pt oksida. Hal yang sama
untuk oksidasi karbon monoksida pada temperatur
rendah dengan katalis yang mengandung cerium
oksida sebagai promotor pada platinum sebagai
logam aktif dikemukakan oleh Slavinskaya[15]. Platina

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 159 - 164

Tabel 3
Data Aktivitas Oksidasi CO
Aktivitas, %
K1

K2

K3

K4

K5

K6

5,63

77,97

5.49

26,02

27.22

0,09

33,34

89,94

74,35

28,53

57,26

36,68

45,17

98,20

99,63

60,70

85,76

95,14

Gambar 4
Grafik Aktivitas Oksidasi Katalitik

tidak menunjukkan aktivitas pada suhu rendah karena


hanya logam dan oksida (PtO, PtO2) nanopartikel
dibentuk pada permukaan CeO2.
Hubungan ukuran partikel logam Pt dan
aktivitas katalis pada temperatur 500C terlihat
kecenderungan bahwa, ukuran partikel yang semakin
besar menghasilkan % konversi CO yang semakin
rendah. Pada temperatur 500C aktivitas terbesar
diberikan oleh katalis K2, hal ini disebabkan katalis
K2 mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil
dengan asumsi semakin banyak sisi aktif dari logam
yang terbentuk dan Pt berada dalam bentuk logam
sehingga akan lebih aktif dibandingkan katalis lain
dengan ukuran partikel yang besar dan terdapat dalam
bentuk oksida. Pada kondisi ini laju desorpsi CO2
sangat tinggi sehingga setelah terbentuk CO2 akan
segera meninggalkan permukaan katalis, dengan
demikian adsorpsi CO2 dapat diabaikan. Oksigen

163

OKSIDASI KATALITIK KARBON MONOKSIDA


CHAIRIL ANWAR dan MAIZAR RAHMAN

di sisi lain teradsorpsi secara terpisah, dalam hal


mana pada permukaan katalis kemisorpsi atom O2
bersifat tetap sedangkan CO bersifat mobil. Kinetika
reaksi oksidasi CO mengikuti mekanisme LangmuirHinshelwood, yaitu tahap penentu laju adalah rekasi
antara CO dan O2 yang teradsorpsi. Sebagaimana
yang dikemukakan Gates[7], hal ini dapat digambarkan
dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
CO + s

g COs

O2 + 2s g 2Os
COs + Os g CO2 + 2s
IV. KESIMPULAN
Proses tahapan impregnasi logam dan konsentrasi
serium mempengaruhi keadaan logam dan ukuran
partikel logam Pt yang terbentuk pada katalis. Dari
sisi penambahan serium katalis K2 adalah yang
terbaik, mempunyai dispersi Pt paling merata.
Katalis K2 dan katalis K3 dengan kandungan serium
10 % dan 15% dengan tahapan impregnasi pertama
menghasilkan aktivitas oksidasi terbaik. Katalis K2
pada temperatur 500 C dan K3 pada 700 C mampu
mengkonversi CO menjadi CO2 berturut-turut sebesar
89,94 % dan 99,63 %.
KEPUSTAKAAN
1. Cordatos, H. and Gorte, R. J., 1996, J. Catal.,
Vol. 159, p.112.
2. Cullity, B. D., 1978, Elements of X-Ray Diffraction; 2nd ed, Adsison-Wesley Inc, California.
3. Forger, K., 1984, In Catalysis Science and
Technology; Anderson, J. R., Boudart, M.,Eds.,
Springer-Verlag, Berlin, Vol. 6, p. 237-249.
4. Gasser, R. P. H., 1985, An Introduction to
Chemisorption and Catalysis by Metals, Oxford,
New York.


164

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI


VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 159 - 164

5. Gates, B. C., 1979, Chemistry of Catalytic


Processes; Mc. Graw Hill: New York.
6. Grke O. and Pfeifera, P., 2011, International
Journal of Hydrogen Energy Vol. 36, p. 46734681.
7. Hamdan, H., 1992, Introduction to Zeolit:
Synthesis, Characterization and Modification;
Universitas Teknologi Malaysia, Malaysia, p.
1-34.
8. Hamilton, R. S. and Harrison, R. M., 1991,
Studies in Environmental Science-Highway
Pollution, Elsevier Science, New York, Vol. 14,
p. 378-379.
9. Harrison, B., Diwel . A. F. and Hallet, C., 1988,
Platinum Metal Rev. 2, 32, p. 73-83.
10. Hightower, J. W., 1976, Catalysts for Automobile
Emission Control (B. Delmon et. al. Eds),
Elsevier, Amsterdam, p. 615.
11. Slavinskaya E. M., et al., 2011, Chemistry and
Materials Science, Kinetics and Catalysis Vol.
52, No. 2, p. 282-295. Pleiades Publishing Ltd.
12. Taylor, K. C., 1984, Automobile Catalytic
Converters, General Motors Research
Laboratories Warren, Michigan, p.138-144.
13. Vesecky, S. M., Paul J. and Goodman D. W.,
1996, J. Phys. Chem., Vol.100, p.15242.
14. Wiliamson, V. B., Summer, J. C. and Scaparo,
J. A., 1992, Automotive Catalyst Strategies
for Future Emmision system, Allied-Signal
Automotive Catalyst Co, Tulsa.
15. Yao, H. C. and Yu F. F., 1984, J. Applied
Catalysis, Vol. 2, p. 34.

Pengujian kinerja terbatas Minyak Solar


Bertitik Nyala 55oC dan 52oC pada
Bangku Uji Multisilinder
Emi Yuliarita

Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 19 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 1 Maret 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Dalam penelitian terdahulu telah dilakukan pembuatan bahan bakar minyak solar 48 bertitik
nyala 55oC dan 52oC melalui cutting distillation. Dari hasil analisis sifat-sifat fisika/kimia masingmasing minyak solar bertitik nyala 55oC dan 52oC yang didapatkan, dapat memenuhi spesifikasi
minyak solar 48 yang di tetapkan pemerintah sesuai dengan surat keputusan Dirjen Migas No.
3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006. Selanjutnya untuk melihat kinerja (performance)
dari masing-masing bahan bakar tersebut maka dilakukan pengujian kinerja terbatas terhadap
masing-masing bahan bakar minyak solar bertitik nyala 55oC dan 52oC pada bangku uji multisilinder
(Multisylinder Test Bench) dengan menggunakan mesin diesel Isuzu 4JA1) pada tiga kategori
beban. Hasil uji kinerja secara keseluruhan memperlihatkan bahwa minyak solar bertitik nyala
55oC dan 52oC sedikit lebih kecil dari minyak solar bertitik nyala 60oC. Namun emisi gas buang
kepekatan asap/opasitas minyak solar bertitik nyala 55oC dan 52oC jauh lebih rendah disbanding
minyak solar bertitik nyala 60oC.
Kata Kunci; Uji kinerja, titik nyala, konsumsi bahan bakar spesifik, daya, minyak solar
ABSTRACT
In previous research, diesel fuel 48 with the minimum flash points of 55oC and 52oC were
manufactured through cutting distillation. The analysis results of physical/ chemical properties
of each type of diesel fuel showed that they met the specifications of diesel oil 48 stipulated in the
degree of the director Genaral of Oil and Gas number 3675 K/24/DJM/2006, dated 17 March
2006. Furthermore in this research, to find out their limited performance, the fuel are tested on the
Multisylinder Test Bench using Isuzu diesel engine 4JA1 on three expense categories. Tests results
show that the diesel oil 48 with flash points of 55oC and 52oC have slightly smaller performance
than that of the diesel oil 48 with flash point of 60oC. However, the concentrations of exhaust
emission of smoke / opacity of the diesel oils with flash points of 55oC and 52oC are much lower
than the diesel oil with flash point of 60oC.
Keywords: Test performance, flash point, specific fuel consumption, power, gas oil
I. PENDAHULUAN
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
22 Tahun 2001 tentang Migas dan diberlakukannya
perdagangan bebas di wilayah ASEAN atau AFTA
mulai 2003 maka kegiatan penyediaan bahan bakar
minyak (BBM) di dalam negeri dapat dilakukan

Badan Usaha baik nasional maupun asing. Namun


semua karakteristik bahan bakar minyak (BBM)
yang di pasarkan di Indonesia harus mengacu pada
spesifikasi yang ditetapkan pemerintah. Khususnya
untuk bahan bakar minyak solar 48 mengacu pada
spesifikasi bahan bakar minyak solar 48 yang berlaku
165

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

di Indonesia yaitu minyak solar yang mempunyai


spesifikasi yang sesuai dengan yang ditetapkan
Pemerintah melalui Surat Keputusan Dirjen Migas

No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006,


ditampilkan pada table 1.

Tabel 1
Spesifikasi Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar 481)

No.

Sifat-Sifat Fisika/Kimia

Batasan 1)

Unit

Min.

Maks.

Metode Uji
ASTM/Lain

Setana

48

D 613

Indeks Setana

45

D 4737

Berat jenis pada 15 oC

815

870

D 1298/D 4052

kg/m3
2

Viskositas pada 40 C

mm /s

2,0

5,0

D 445

Kandungan sulfur

% m/m

0,352)

D 2622

Distilasi:

D 86

- T95

370

Titik Nyala

60

D 93

Titik Tuang

18

D 97

Residu karbon

% m/m

0,1

D 4530

10

Kandungan Air

mg/kg

500

D 1744

Nihil

Biological Growth*

12

Kandungan FAME

*)

% v/v

13

Kandungan Metanol dan Etanol *)

% v/v

Tak terdeteksi

D 4815

14

Korosi Bilah Tembaga

merit

kelas 1

D 130

15

Kandungan Abu

% m/m

0,01

D 482

16

Kandungan Sedimen

% m/m

0,01

D 473

17

Bilangan Asam Kuat

mg KOH/g

D 664

18

Bilangan Asam Total

mg KOH/g

0,6

D 664

19

Partikulat

mg/L

D 2276

20

Penampilan Visual

21

Warna

11

No. ASTM

10

Jernih dan terang


-

D 1500

Keterangan :
1) Khusus Minyak Solar yang mengandung Biodiesel, jenis dan spesifikasi Biodieselnya mengacu ketetapan
pemerintah. Menurut SK Dirjen Migas No.3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006.
2) Batasan 0.35% setara dengan 3500 ppm.
Catatan umum :
1) Aditif harus kompatible dengan minyak mesin (tidak menambah kotoran mesin/kerak). Aditif yang mengandung
komponen pembentuk abu (ash forming ) tidak diperbolehkan.
2) Pemeliharaan secara baik utuk mengurangi kontaminasi (debu, air, bahan bakar lain, dll).
3) Pelabelan pada pompa harus memadai dan terdeteksi


166

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

Penggunaan minyak solar pada umumnya adalah


untuk bahan bakar pada semua jenis mesin diesel
dengan putaran tinggi (di atas 1000 rpm), sehingga
minyak solar dikenal juga dengan nama HSD ( Hight
Speed Diesel). Selain sebutan diatas bahan bakar
minyak solar juga dikenal dengan nama GO (Gas
Oil) dan ADO (Automotive Diesel oil).
Dalam penelitian terdahulu telah dilakukan
pembuatan bahan bakar minyak solar 48 bertitik
nyala 55oC dan 52oC melalui cutting distillation
terhadap campuran minyak tanah dan minyak
solar 48. Dari hasil analisis sifat-sifat fisika/kimia
masing-masing minyak solar bertitik nyala 55oC dan
52oC yang didapatkan, dapat memenuhi spesifikasi
minyak solar 48 yang di tetapkan pemerintah sesuai
dengan surat keputusan Dirjen Migas No. 3675 K/24/
DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat/mengetahui
kinerja (performance) dari masing-masing bahan
bakar minyak solar bertitik nyala 55oC dan 52oC agar
diketahui bagaimana kinerja mesin yang dihasilkan
akibat penggunaaaan bahan bakar minyak solar
bertitik nyala 55oC dan 52oC sebagai bahan bakar
pada kendaraan bermotor diesel. Pengujian kinerja
yang dilakukan adalah pengujian kinerja terbatas
pada bangku uji multisilinder (Multicylinder Test
Bench) dengan menggunakan mesin diesel Isuzu
4JA1 type direct Injection. Hasil kajian ini diharapkan
dapat memperkuat penerapan spesifikasi flash point
minimum minyak solar lebih rendah dari batasan
spesifikasi minyak solar 48 yang
berlaku saat ini atau menjadi acuan
dalam pengembangan spesifikasi
minyak solar Indonesia khususnya
untuk penurunan spesifikasi titik nyala
minyak solar 48.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

mesin, konsumsi bahan bakar spesifik dan emisi gas


buang opasitas (kepekatan asap yang dihasilkan).
Masing-masing pengujian dilakukan pada 3 kategori
beban yaitu pada setengah pembukaan trotlle ( beban
maksimum), pada tiga per empat pembukaan trotlle
(beban maksimum) dan pada pembukaan penuh
trotlle (beban penuh /maksimum).
Dalam penelitian pengujian kinerja terbatas
ini digunakan tiga jenis bahan bakar uji, yaitu dua
percontoh bahan bakar minyak solar 48 modifikasi
(masing-masing bertitik nyala minimum 55oC dan
520C dan diberi kode MS-55 dan MS-52), satu lagi
digunakan sebagai bahan bakar referensi dan diberi
kode SR. Bahan bakar minyak solar referensi yang
digunakan adalah minyak solar 48 yang diambil
langsung dari kilang Pertamina dengan titik nyala
minimum 60oC.
Evaluasi kinerja dilakukan dengan cara
membandingkan hasil uji minyak solar modifikasi
bertitik nyala 55 oC dan 52 oC dengan hasil uji
kinerja minyak Solar 48 bertitik nyala minimum
60oC. Minyak solar 48 bertitik nyala minimum
60oC digunakan sebagai referensi dalam penelitian
ini karena spesifikasi titik nyala minimum minyak
solar 48 yang berlaku di Indonesia saat ini adalah
minimum 60oC.
Diagram alir pengujian kinerja terbatas pada
bangku uji multisilinder disajikan pada Gambar 1.
Sedangkan data teknis Mesin Uji Isuzu 4JAI disajikan
pada Tabel 2.

II. BAHAN DAN METODE


Metodologi yang digunakan dalam
penelitian pengujian kinerja bahan
bakar minyak solar bertitik nyala
55oC dan 520C adalah mengacu pada
Lemigas Inhouse Research Metode
W450. Dimana pengujian kinerja
terbatas dilakukan pada mesin diesel
statis di atas Bangku Uji Multisilinder
menggunakan mesin diesel Isuzu 4
JA1, direct injection. Parameter uji
yang diamati adalah daya mesin, torsi

Gambar 1
Diagram alir pengujian kinerja terbatas
di bangku uji multisilinder

167

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

MS-55 dan MS-52 mempunyai angka setana lebih


rendah dari minyak solar SR. Sedangkan efek daya
mesin yang dihasilkan minyak solar MS-55 dan MS52 terhadap minyak solar referensi, SR (bertitik nyala
minimum 60oC) diuraikan sebagai berikut;
- Efe k daya mesin rata-rata minyak solar uji
(MS-55 dan MS-52) pada beban maksimum

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Daya Mesin

Hasil pengujian daya mesin minyak solar 48 dapat


dilakukan pada putaran mesin 1000 rpm sampai 4200
rpm. Dimana pengujian pada beban maksimum
hanya dapat dilaksanakan sampai putaran 2500 rpm,
pengujian pada beban 3/4 maksimum
hanya dapat dilaksanakan sampai putaran
Tabel 2
3500 rpm dan untuk beban maksimum
ata Teknis Mesin Isuzu 4JAI Di Atas Bangku Uji Multisilinder
dapat dilaksanakan sampai putaran 4000
rpm. Masing-masing hasil uji daya mesin
Merk
Isuzu 4 JAI
dari ke tiga percontoh minyak solar 48
disajikan pada Tabel 3. Kecenderungan
Jumlah silinder
4 buah segaris
perubahan daya mesin masing-masing
Diameter silinder x Langkah (cm)
93 x 92
minyak solar uji terhadap putaran mesin
pada tiga kategori beban disajikan pada
Jenis ruang bakar
Terbuka
Gambar 2,
Volume langkah (cc)
2499
Dari ketiga gambar di atas terlihat
Perbandingan kompresi
18,4 : 1
bahwa daya mesin minyak solar uji
Daya maksimum (kW/rpm)
57,5/4000 (DIN 70020, ISO 1585)
MS-55 dan MS-52 lebih rendah dari pada
Torsi maksimum (Nm/rpm)
167/2300 (DIN 70020, ISO 1585)
daya minyak solar referensi SR. Keadaan
ini disebabkan percontoh minyak solar
Bosch four-hole type
Jenis nozel injektor
uji MS- 55 dan MS- 52 lebih banyak
Tekanan injeksi (MPa)
18,5 (185 kg/cm 2)
mengandung fraksi ringan dibanding
minyak solar SR sehingga minyak solar
Tabel 3
Hasil Uji Daya Mesin Minyak Solar MS-55 dan MS-52 Dibandingkan
dengan Minyak Solar Referensi (MS-60)
Daya, kW
Putaran Mesin, rpm

Beban 1/2 Maksimum


SR

MS-55

MS-52

1000

11.5

11.0

11.0

1500

18.7

18.0

18.0

2000

25.5

24.9

2500

15.2

3000

Beban Maksimum

Beban Maksimum

MS-55

MS-52

SR

MS-55

MS-52

10.1

10.2

10.6

9.8

9.5

18.8

18.2

17.7

18.2

17.4

17.2

24.5

25.2

24.5

24.1

25.1

23.9

23.8

14.5

14.1

30.1

29.2

29.0

30.3

29.4

29.2

34.3

33.5

33.1

34.4

33.3

33.2

3500

26.0

24.8

24.5

37.5

36.4

36.3

4000

36.9

35.6

35.4

4200

10.6

8.8

8.2

+ 3.76

+4.81

+ 3.87

+ 4.93

+ 4.19

+ 5.06

Efek( %)

SR
10.9

Catatan : Tanda positif (+) artinya daya minyak solar MS-55 dan MS-52 < solar referensi (SR)


168

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

dibandingkan dengan daya minyak solar referensi


(SR) masing-masing lebih rendah 3.76%; dan
4.81%.
- Efek daya mesin rata-rata minyak solar uji
(MS-55 dan MS-52) pada beban maksimum
dibandingkan dengan daya minyak solar referensi
(SR) masing-masing lebih rendah 3.87%; dan
4.93%.
- Efek daya mesin rata-rata minyak solar uji ((MS-55
dan MS-52)) pada beban maksimum dibandingkan
dengan daya minyak solar referensi (SR) masingmasing lebih rendah 4.19%; dan 5.06%.
- Rekapitulasi daya rata-rata percontoh minyak
solar uji(MS-55 dan MS-52) pada tiga kategori
beban dibandingkan dengan daya minyak solar
referensi (SR) masing-masing lebih rendah

3.94%; dan 4.93%.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

Beban 2 maksimum

Beban maksimum 3/4 maksimum

B. Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar


Spesifik (SFC)
Hasil pengujian 3 percontoh minyak solar 48
dapat dilakukan pada putaran mesin 1000 rpm sampai
4000 rpm. Masing-masing hasil uji disajikan pada
Tabel 4. Kecendrungan Perubahan konsumsi bahan
bakar spesifik terhadap putaran mesin pada tiga
kategori beban disajikan pada Gambar 3.
Dari ketiga gambar di atas terlihat bahwa
konsumsi bahan bakar spesifik minyak solar uji
MS-55 dan MS-52 lebih tinggi dari pada konsumsi
bahan bakar spesifik minyak solar referensi SR.
Keadaan ini disebabkan percontoh minyak solar
uji MS- 55 dan MS- 52 lebih banyak mengandung
fraksi ringan dibanding minyak solar SR sehingga
minyak solar MS-55 dan MS-52 mempunyai angka
setana lebih rendah dari minyak solar SR yang dapat
menyebabkan pembakaran dalam ruang bakar kurang
sempurna. Sedangkan efek konsumsi bahan bakar
spesifik minyak solar MS-55 dan MS-52 terhadap
minyak solar SR (bertitik nyala minimum 60oc)
diuraikan sebagai berikut;
- Efek konsumsi bahan bakar spesifik rata-rata
minyak solar uji (MS-55 dan MS-52) pada beban
maksimum terhadap konsumsi bahan bakar
spesifik minyak solar referensi (SR) masingmasing lebih tinggi 1.27%; dan 2,33%. Sedangkan
pada beban maksimum masing-masing lebih
tinggi 1,32%; dan 2,50%, pada beban maksimum
masing-masing lebih tinggi 1,43%; dan 2,85%.

Beban maksimum maksimuk

Gambar 2
Kecendrungan Perubahan Daya Mesin terhadap
Putaran Mesin pada 3 Kategori Beban

169

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

- Rekapitulasi konsumsi bahan bakar spesifik ratarata minyak solar (MS-55 dan MS-52) pada tiga
kategori beban dibandingkan dengan konsumsi
bahan bakar spesifik minyak solar referensi (SR)
masing-masing lebih tinggi 1,34%; dan 2,56%.

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

Beban 2 maksimum

C. Hasil Pengujian Emisi Opasitas


Hasil pengujian emisi opasitas percontoh minyak
solar 48 dapat dilakukan pada putaran mesin 1000
rpm sampai 4000 rpm. Masing-masing hasil uji disajikan pada Tabel 5. Kecendrungan Perubahan emisi
opasitas terhadap putaran mesin pada tiga kategori
beban disajikan pada Gambar 4.
Dari ketiga gambar di atas terlihat bahwa emisi
opasitas/kepekatan asap dari minyak solar uji
MS-55 dan MS-52 lebih rendah dari pada emisi opasitas
minyak solar referensi SR. Keadaan ini disebabkan
karena percontoh minyak solar uji MS-55 dan MS-52
mengandung hidrokarbon fraksi ringan lebih banyak
dari minyak solar SR. Efek emisi opasitas minyak
solar bertitik nyala 55oC (MS-55) dan minyak solar
bertitik nyala 52oC (MS-52) terhadap minyak solar
bertitik nyala 60 oC (SR) di uraikan sebagai

Beban 3/4 maksimum

berikut:
- Efek emisi kepekatan asap/opasitas rata-rata

minyak solar (MS-55 dan MS-52) pada beban


maksimum terhadap emisi opasitas minyak solar
referensi (SR) masing-masing lebih lebih rendah
10,89%; dan 8,92%. Sedangkan pada beban
maksimum masing-masing lebih rendah 12,16%;
dan 7,95%, dan pada beban maksimum masingmasing lebih rendah 12,65%; dan 11,11%.
- Rekapitulasi emisi kepekatan asap/ opasitas ratarata percontoh minyak solar uji (MS-55 dan MS-52)
(pada tiga kategori beban (beban maksimum,
maksimum, dan maksimum) dibandingkan dengan
opasitas minyak solar referensi (SR) masingmasing lebih rendah 11,90%; dan 9,32%.
Semangkin banyak kandungan hidrokarbon
fraksi ringan dalam bahan bakar minyak solar
menyebabkan semangkin kecil berat jenis bahan
bakar dan semangkin rendah emisi kepekatan asap
yang di timbulkan dalam gas buang kendaraan
bermotor. Jadi bahan bakar minyak solar 48 bertitik
nyala 52 oC mempunyai emisi kepekatan asap/
opasitas paling rendah dibandingkan minyak solar
48 bertitik nyala 55oC dan minyak solar 48 bertitik
nyala 60oC.

170

Beban maksimum

Gambar 3
Kecendrungan Konsumsi Bahan bakar Spesifik
terhadap Putaran Mesin pada 3 Kategori Beban

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

Tabel 4
Hasil Uji Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (SFC) Percontoh Minyak Solar Uji
(MS-60, MS-55 dan MS-52) Pada 3 Kategori Beban
Konsumsi Bahan Bakar Spesifik, g/kWh
Putaran mesin, rpm

Beban Maksimum

Beban Maksimum

Beban Maksimum

SR

MS-55

MS-52

SR

MS-55

MS-52

SR

MS-55

MS-52

1000

389.3

393.7

397.9

402.9

407.0

411.7

406.1

410.7

414.2

1500

317.7

321.4

324.5

316.0

319.2

323.9

321.7

326.5

332.3

2000

293.8

297.5

301.7

301.0

305.0

309.3

300.0

305.9

309.9

2500

339.9

345.0

347.7

288.9

293.4

295.7

289.8

293.6

298.7

3000

296.2

300.6

303.4

297.8

302.4

305.5

3500

324.5

329.4

333.4

316.8

321.2

326.2

347.7

352.0

357.4

-1.43

-2.85

4000
Efek, %

- 1.27

- 2.33

-1.32

-2.50

Catatan : Tanda negatif (-) artinya konsumsi bahan bakar spesifik minyak solar uji MS- 55 dan MS-52 > konsumsi
bahan bakar spesifik minyak solar referensi (SR).

Tabel 5
Hasil Uji Opasitas Pada Bangku Uji Multisilinder
Opasitas, %
Putaran Mesin, rpm

Beban Maksimum

Beban Maksimum

Beban Maksimum

MS-60

MS-55

MS-52

MS-60

MS-55

MS-52

MS-60

MS-55

MS-52

1000

2.6

2.2

2.1

4.5

4.1

3.8

5.6

4.7

4.4

1500

6.4

5.7

5.5

6.7

5.9

5.1

7.9

6.7

6.2

2000

18.5

17.9

17.5

16.4

15.5

15.1

18.6

15.9

16.9

2500

8.2

7.7

7.8

22.2

21.1

20.9

22.5

20.6

20.3

3000

21.8

20.5

20.4

27.9

24.9

24.7

3500

10.5

9.4

9.1

36.3

34.1

33.3

43.2

40.3

40.2

12,65

11,11

4000
Efek rata-rata, %

10,89

8,92

12,16

7,95

Catatan : Tanda positif (+) artinya opasitas minyak solar uji (MS -55 dan MS-52) lebih rendah dari opasitas minyak
solar referensi (SR).

171

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh dari
pengujian kinerja terbatas minyak solar 48 bertitik
nyala 55C dan 52C dapat disimpulkam sebagai
berikut:
1. Hasil uji kinerja terbatas minyak Solar bertitik
nyala 55oC (MS-55) dibandingkan dengan minyak
solar 48 bertitik nyala 60OC (SR) adalah:
1) Daya mesin minyak solar bertitik nyala 55C
lebih rendah 7,54%.
2) Konsumsi bahan bakar spesifik lebih tinggi
3,13%.
3) Emisi kepekatan asap/opasitas lebih rendah
15,42%.
2. Hasil uji kinerja terbatas minyak Solar bertitik
nyala 52oC (MS-52) dibandingkan dengan minyak
solar 48 bertitik nyala 60OC (SR) adalah:
1) Daya mesin minyak Solar bertitik nyala 52C
lebih rendah 9,90%.
2) Konsumsi bahan bakar spesifik lebih tinggi
5,10%.
3) Emisi kepekatan asap/opasitas lebih rendah
18,67%.
3. Secara keseluruhan hasil uji kinerja terbatas
masing-masing percontoh adalah; kinerja minyak
solar 48 bertitik nyala 52C < kinerja minyak
solar 48 bertitik nyala 55C < kinerja minyak
solar 48 bertitik nyala 60C.
4. Emisi kepekatan asap/opasitas yang dihasilkan
minyak solar MS-52 jauh lebih rendah dari minyak
solar MS-55 dan SR dengan kata lain minyak solar
MS-52 (bertitik nyala 52C) lebih ramah terhadap

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

Beban 2 maksimum

Beban 3/4 maksimum

Beban maksimum

lingkungan.

v. SARAN
Agar efek penurunan kinerja minyak solar bertitik
nyala 55oC dan 52oC tidak terlalu besar dibandingkan
dengan kinerja minyak solar bertitik nyala 60oC,
sebaiknya angka setana masing masing minyak
solar uji yang digunakan sama dengan angka setana
minyak solar referensi. Penelitian dapat dilanjutkan
untuk melihat efek penurunan titik nyala minyak solar
48 terhadap emisi gas buang kendaraan bermotor
diesel pada Chassis Dynamometer.


172

Gambar 4
Kecendrungan Emisi Opasitas terhadap Putaran
Mesin pada 3 Kategori Beban

PENGUJIAN KINERJA TERBATAS MINYAK SOLAR


EMI YULIARITA

KEPUSTAKAAN
1. ACEA, Aliance, EMA, JAMA, World Wide Fuel
Charter Committe. 2006.
2. La Puppung, dkk, 1993, Lemigas Inhouse
Research Method- W450, Jakarta.
3. Laporan Penelitian, Kajian Perubahan Spesifikasi
Flash Point dari Minimum 60oC Menjadi 52oC

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 165 - 173

Produk Minyak Solar 48,PPPTMGBLEMIGAS


dan PT. PERTAMINA, Jakarta, 2009
4. Owen K, Coley T., 1995, Automotive Fuels
Reference Book, SAE, Inc., Warrendale.
5. Spesifikasi Minyak Solar Menurut Surat

Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas


Bumi No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17
Maret 2006.

173


174

Fluida Incompressible sebagai Penyalur


Tenaga dalam Sistem Hidrolik Tertutup
Rona Malam Karina

Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia
Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
Teregistrasi I Tanggal 7 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal 22 Agustus 2011
Disetujui terbit tanggal: 26 Agustus 2011

SARI
Fluida incompressible adalah cairan yang penggunaannya sebagai penyalur tenaga dalam sistem
hidrolik karena sifatnya dalam sistem tertutup seperti dalam sistem bejana berhubungan, yang
dapat juga disebut minyak rem. Kerja sistem rem dari master silinder ke piston untuk mentransfer
energi mekanis dapat menghasilkan panas akibat gesekan antara minyak rem dengan permukaan
salurannya. Kondisi tersebut menyebabkan minyak rem harus memiliki spesifikasi khusus
berkaitan dengan perubahan suhu, yaitu titik didih dan sifatnya yang tidak berubah drastis pada
suhu tinggi. Penelitian ini bertujuan menghasilkan formula minyak rem DOT 3 untuk kendaraan
bermotor menggunakan bahan dasar dan pelarut kimia dengan perbandingan komposisi 20%
dan 80%, serta ditambahkan sedikit aditif. Hasil yang diperoleh dari analisis karakteristik fisika
kimia serta semi unjuk kerjanya menunjukkan bahwa dari empat formula yang dirancang terdapat
satu formula yang hasil analisisnya memenuhi syarat spesifikasi minyak rem DOT 3, yaitu formula
FMR 4. Namun, kualitas yang sebenarnya dapat dilihat dalam uji performa apabila diaplikasikan
pada sistem pengereman kendaraan bermotor.
Kata kunci: Fluida incompressible, minyak rem, sistem hidrolik, kendaraan bermotor
ABSTRACT
Incompressible fluid is a fluid used to transmit power in a hydraulic system. Its aplicaability
based on its properties in an enclosed area such as at a related vessel, and in this case we call it
brake fluid. The operation of the brake system from the master cylinder to the actuating piston to
transfer mechanical energy produce heat as a result of friction between the brake fluid with the
surface piping channels and the resulting high pressure on the brake fluid. This condition result
require the brake fluid to have a appropriate characteristic facing the change of temperatures, that
is the boiling point and its characteristic should not change at high temperatures. This research
aims to produce a brake fluid formula equal to DOT 3 for the usage of automotive vehicles using
basic materials and chemical solvents with the composition 20% and 80% and some additive
added. The result obtained from physical & chemical characteristic analysis and performance
test showed that from 4 formulas studied FMR 4 formula complies with the specification of DOT
3 brake fluid. However, the real quality could be shown from the performance test when applied
to the brake system of automotive vehicles.
Keywords: Incompressible fluid, brake fluid, hydraulic system, automotive vehicles.
I. PENDAHULUAN
Kehadiran kendaraan impor atau kendaraan
dengan teknologi mesin mutakhir yang bertenaga
besar belakangan ini mengharuskan setiap pemilik
atau pengendara untuk lebih memahami pentingnya

minyak rem untuk manjamin keselamatan selama


berkendara. Minyak rem dengan kualitas yang tidak
sesuai dengan kebutuhan mesin dapat menyebabkan
kegagalan sistem pengereman dan berakibat tingginya
resiko kecelakaan
175

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR


RONA MALAM KARINA

Kerja sistem rem dari master silinder ke piston


untuk mentransfer energi mekanis dapat menghasilkan panas akibat gesekan antara minyak rem dengan
permukaan salurannya. Kondisi ini mengharuskan
minyak rem untuk memiliki spesifikasi khusus
berkaitan dengan perubahan suhu, yaitu titik didih
dan sifatnya yang tidak berubah drastis pada suhu
tinggi. Perlindungan terhadap karat dan melumasi
komponen sistem rem merupakan bagian dari tugas
minyak rem lainnya. Senyawa kimia dalam minyak rem, seperti antioksidan dan antibusa, berguna
melindungi karet atau sil agar berdaya tahan lama.
Senyawa ini dapat menekan adanya gelembung udara
dalam pipa ataupun master rem yang bisa berakibat
rem blong.
Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian
minyak rem dengan klasifikasi DOT 3 (Department
of Transportation). Penelitian difokuskan pada
komposisi campuran polyglycol (base) dan glycolether
(solvent) dan aditif pada konsentrasi tertentu yang
diharapkan dapat memperbaiki karakteristik minyak
rem untuk keperluan kendaraan bermotor yang
berasal dari mineral base.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Fluida incompressible atau minyak rem (brake
fluid) adalah cairan yang penggunaannya sebagai
penyalur tenaga dalam sistem hidrolik karena sifatnya

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 175 - 181

dalam sistem tertutup seperti dalam sistem bejana


berhubungan.
Minyak rem sering juga disebut cairan rem,
sedangkan istilah minyak adalah umum digunakan
pada semua cairan organik yang tidak larut/
bercampur dalam air, biasanya mengacu ke minyak
bumi (petroleum) atau produk olahannya.
Rem adalah suatu peralatan untuk memperlambat
atau menghentikan gerakan roda. Karena gerak roda
menjadi lambat, secara otomatis gerak kendaraan
menjadi lambat. Energi Kinetik yang hilang dari
benda yang bergerak ini biasanya diubah menjadi
panas karena gesekan. Pada rem regeneratif, sebagian
energi ini juga dapat dipulihkan dan disimpan dalam
rodagila (flywheel), kapasitor, atau diubah menjadi
arus bolak balik oleh suatu alternator, selanjutnya
dilalukan melalui suatu penyearah (rectifier) dan
disimpan dalam baterai untuk penggunaan lain.
Energi kinetik meningkat sebanyak pangkat dua
kecepatan (E = mv2). Ini berarti bahwa jika
kecepatan suatu kendaraan meningkat dua kali, ia
memiliki empat kali lebih banyak energi. Rem harus
membuang empat kali lebih banyak energi untuk
menghentikannya dan konsekuensinya, jarak yang
dibutuhkan untuk pengereman juga empat kali lebih
jauh. Berikut adalah gambar kondisi saat rem bebas
dan saat pengereman.
Pada sistem pengereman, minyak rem mendapat
tekanan dari master silinder melalui pedal dan
meneruskannya ke pedal rem menuju keempat roda

Gambar 1
Kondisi saat rem bebas dan saat pengereman

176

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR


RONA MALAM KARINA

kendaraan. Kualitas fluida minyak rem ini dibedakan


dengan viskositasnya, ketahanannya terhadap
temperatur tinggi, kemampuan pelumasannya dan
kesesuaiannya (compatible) dengan komponenkomponen sistem pengereman. Pada kondisi normal,
minyak rem bersifat higroskopis sehingga menyerap
kelembaban dan setelah 2 tahun berisi sekitar 3%
air.
Beberapa syarat-syarat karakteristik yang
harus dipenuhi untuk membuat minyak rem yang
berkualitas adalah sebagai berikut:
Titik didih
a. Titik didih
Titik didih merupakan parameter penting
dalam minyak rem. Kebutuhan operasi yang
memungkinkan perubahan suhu yang sangat
tinggi mengharuskan minyak rem untuk tetap
mampu memberikan kinerja pengereman yang
baik. Titik didih yang tinggi menunjukkan
ketahanan minyak rem untuk tetap dalam fasa
cairan dan tidak menguap pada suhu operasi
yang tinggi. Hal ini untuk mencegah terjadinya
vaporlock (penguapan)
b. Viskositas kinematik
Perubahan viskositas secara drastis dapat
menyebabkan perubahan kinerja sistem
pengereman. Minyak rem yang terlalu kental
pada suhu rendah dapat meningkatkan gesekan
antar fluida dan antara fluida dengan perangkat
pengereman sehingga menyebabkan pengereman
terasa berat dan tidak maksimal. Demikian juga
sebaliknya, minyak rem yang terlalu encer pada
suhu tinggi merupakan indikator kemampuannya
dalam menerima tekanan saat beroperasi. Ketidak
mampuan menerima dan menyalurkan tekanan
pada sistem pengereman dapat menyebabkan
penurunan efektifitas atau bahkan kegagalan
pengereman.
c. Kelembaban

Kelembaban merupakan indikator terdapatnya


air dalam minyak rem. Sebagian bahan dasar
minyak rem bersifat hidroskopis sehingga dalam
jangka waktu tertentu, kandungan air di dalamnya
akan terus meningkat. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan titik didih minyak rem.
d. Tidak menimbulkan karat dan kerusakan pada
bahan logam

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 175 - 181

Minyak rem tidak boleh bereaksi dengan bahan


logam yang dipakai pada sistem rem hidrolik, dan
mutunya harus tetap seperti semula.
e. Tidak mengakibatkan kerusakan (pembengkakan)
karet dan tidak terjadi pengurangan atau
penambahan kekerasannya.
f. Stabil terhadap bahan kimia dan tidak ada
pengendapan.
Kualitas minyak rem sangat ditentukan oleh
beberapa hal diantaranya pemilihan jenis bahan
dasar, dan pelarut serta pemilihan jenis aditif yang
digunakan dan komposisi yang tepat. Pada kegiatan
penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula
minyak rem DOT 3 yang tepat dan memiliki kualitas
baik. Variasi konsentrasi bahan dasar dan aditif
yang digunakan merupakan faktor penentu sehingga
diharapkan melalui variasi komposisi dapat diperoleh
minyak rem dengan kualitas yang baik.
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode pencampuran langsung (direct
blending). Bahan dasar dan pelarut yang akan
dicampur dianalisis sifat fisikanya terutama titik
didih (boiling point), viskositas, densitas dan titik
nyala. Masing-masing percontoh diberi kode BR
untuk bahan dasar dan SR untuk pelarut sedang
untuk aditif diberi kode AD. Selanjutnya dilakukan
blending antara ketiganya dengan perbandingan
komposisi 20% dan 80% serta ditambahkan
sedikit aditif. Masing-masing formula minyak
rem diberi kode FMR1, FMR2, FMR3 dan FMR4.
Selanjutnya percontoh dianalisis sifat fisika kimianya
dengan menggunakan metode FMVSS, sesuai dengan
spesifikasi yang ditetapkan dalam SNI 06-2769-1992.
Adapun jenis bahan yang digunakan antara lain:
a. Polyglycol (bahan dasar)

adalah salah satu polimer yang banyak


digunakan dalam industri pangan, kosmetik,
dan farmasi. Secara kimiawi, polyglycol
merupakan sekelompok polimer sintetik yang
larut dalam air dan memiliki kesamaan struktur
kimia berupa adanya gugus hidroksil primer
pada ujung rantai polieter yang mengandung
oksietilen (-CH2-CH2-O-). Beberapa sifat utama
dari polyglycol adalah stabil, tersebar merata,
177

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR


RONA MALAM KARINA

hidroskopik (mudah menguap), dapat mengikat


pigmen, dan lain-lain.
b. Glycolether (pelarut)
Beberapa sifat yang dipunyai oleh bahan pelarut
(Glycolether) adalah mengontrol viskositas
dari bahan dasar, mengontrol titik didih sesuai

keinginan dan mencegah swell komponen


dari karet.
c. Aditif

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

Aditif yang digunakan dalam formula minyak rem


dari kelompok amine dan kelompok phenol, yang
penggunaannya sangat sedikit kurang lebih 0,5 %
berat. kegunaan aditif dalam minyak rem adalah
untuk mencegah oksidasi bahan dasar & pelarut

serta mencegah pengkaratan dan korosi dari


komponen metal sistem rem.
Adapun spesifikasi bahan dasar dan pelarut yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
IV. HASIL DAN DISKUSI

Komposisi pencampuran formula minyak rem


yang terdiri dari bahan dasar, pelarut dan aditif,
disajikan pada Tabel 2.
Hasil uji karakteristik fisika kimia formula
minyak rem dengan unjuk kerja DOT 3 (Department
of Transportation) yang dibandingkan dengan
spesifikasi metode FMVSS (Federal Motor Vehicle
Safety Standard USA) atau SNI 06-2769-1992 dapat
dilihat pada Tabel 3.
Pembahasan dari hasil analisis karakteristik fisika
kimia terhadap empat jenis formula minyak rem
seperti ditunjukkan pada Tabel 3, dengan memban
dingkan spesifikasi yang ditetapkan untuk minyak
rem klasifikasi DOT 3 menggunakan metode FMVSS, adalah sebagai berikut:
1. Equilibrium Reflux Boiling Point (ERBP)
Dari hasil analisis keempat formula diatas,
formula FMR 1 dan FMR 2 mempunyai nilai
ERBP di bawah batas syarat yang ditentukan
( 205) yaitu dengan nilai 198.20 0C dan
202.190C.
2. Wet Equilibrium Reflux Boiling Point
(WERBP)
Batas syarat yang ditetapkan untuk minyak rem
DOT 3 adalah 1400C, sehingga pada keempat
jenis formula diatas telah memenuhi syarat
spesifikasi yang ditetapkan.

178

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 175 - 181

Tabel 1
Spesifikasi Polyglycol dan Glycolether
No.

Karakteristik

Polyglycol

Glycolether

1.

Flash Point, 0C

220

91

2.

Viscosity, cP

3.

25

4.5

1.05

0.989 0.994

Density, g/cm

4.

Boiling point, C

>300

203.6

5.

Water Content, %

0.1

0.1

6.

Melting point, C

13

7.

Refractive Index

1.460

Tabel 2
Komposisi Pencampuran bahan dasar,
pelarut dan aditif
KODE

BR

SR

AD1

AD2

FMR 1

20

79.1

0.4

0.5

FMR 2

30

69.17

0.4

0.5

FMR 3

28

71.17

0.48

0.4

FMR 4

24

75.16

0.48

0.4

3. Stabilitas cairan
Dengan mengamati perubahan titik didih sesudah
periode pemanasan dalam kondisi refluks (ERBP).
Pada Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa hasil
analisis stabilitas pada suhu tinggi dan stabilitas
kimia dari keempat formula memenuhi batas
syarat minyak rem DOT 3 yang ditetapkan oleh
metode FMVSS.
4. Viskositas Kinematik pada suhu uji 40oC dan
100oC.
Hasil analisis keempat formula diatas
menunjukkan bahwa formula FMR 3 melebihi
batas syarat yang ditentukan yaitu 3105,09 mm2/
dt ( 1500) viskositas pada suhu -400C, dan
formula FMR 2 tidak memenuhi syarat viskositas
pada suhu 1000C yaitu 1.42 mm2/dt ( 1,5).
5. Keasaman (pH) minyak rem
Keasaman minyak rem yang diindikasikan dengan
nilai pH merupakan parameter penting yang

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR


RONA MALAM KARINA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 175 - 181

Tabel 3
Hasil Uji Karakteristik Formula Minyak Rem DOT 3
No

Parameter

Satuan

Syarat

1.
2.
3.

Viskositas kinematis: - 40C*)

Equilibrium Reflux Boiling Point (ERBP)

205

198.20

Wet Equilibrium Reflux Boiling Point (WERBP)

140

140.56

mm 2/dt

1800

103.80

127.43

100C

mm 2/dt

FMR 1

FMR 2

FMR 3

FMR 4

202.19

240.66

246.26

140.31

149.52

148.78

3105.09

1108.62
2.73

1,5

1.58

1.42

2.78

4.

pH cairan (sebelum dan sesudah uji korosi)

7,0 11,5

10.03

10.05

9.42

9.45

5.

Kadar air

0,2

0.05

0.04

0.13

0.15

6.

7.

8.

Stabilitas cairan
- Stabilitas pada suhu tinggi, perubahan EBRP

changed of BP within 3 oC

195.59

198.08

231.94

237.80

- Stabilitas kimia, perubahan EBRP

changed of BP within 3 oC

0.50

-0.25

-0.13

-0.13

- besi bertimah

mg/cm 2

0,2

-0.01

0.00

0.01

-0.03

- baja

mg/cm 2

0,2

0.01

0.00

-0.01

0.00

- alumunium

mg/cm 2

0,1

0.00

-0.01

-0.03

-0.01

- besi tuang

mg/cm 2

0,2

0.03

0.02

0.00

0.00

- kuningan

mg/cm 2

0,4

-0.09

-0.13

-0.03

0.00

- tembaga

mg/cm 2

0,4

-0.40

-0.32

-0.02

-0.01

- Zinc

mg/cm 2

0,4

-0.01

0.03

-0.02

0.02

Korosi: Perubahan berat

Toleransi air
- Pada suhu -40 oC (aliran)
- Pada suhu 60 oC (pengendapan)

9.

10

00.45

00.51

06.92

01.87

% v/v

0,05

0.00

0.00

0.00

0.00

Uji terhadap karet (SBR)


- Suhu 70 oC, 120 jam
Pertambahan diameter

mm

0,15 1,4

0.62

0.65

0.35

0.56

Perubahan kuantitas kekerasan

HA

0 (-10)

-6.00

-7.00

-5.40

-5.60

Pertambahan volume

1 16

8.77

9.20

3.76

6.92

- Suhu 120 oC, 70 jam

10.

1.03

0.36

0.72

-11.80

-3.60

-7.40

10.91

12.86

4.26

8.67

10

00.39

00.47

03.68

00.95

No

No

No

No

No

detik

35

01.01

01.13

09.75

03.32

No

No

No

No

No

% v/v

0,05

0.00

0.00

0.00

0.00

Alumunium

mg/cm 2

0,05

0.00

0.00

0.00

0.00

Besi tuang

mg/cm 2

0,3

0.00

0.00

0.00

0.00

Pertambahan diameter

mm

0,15 1,4

Perubahan kuantitas kekerasan

HA

0 (-15)

Pertambahan volume

1 16

detik

0.78
-9.20

Fluiditas dan penampakan pada suhu rendah


- Suhu -40 oC, 120 jam
Waktu yang diperlukan gelembung udara naik ke permukaan
Pemisahan dan pengendapan
- Suhu -50 oC, 70 jam
Waktu yang diperlukan gelembung udara naik ke permukaan
Pemisahan dan pengendapan

11.

Daya campur/kompatibilitas
- Suhu 60 oC
Pengendapan

12.

Ketahanan terhadap oksidasi


- Pengendapan gum pada lempeng logam

menunjukkan tingkat korosifitas minyak rem.


Nilai pH dibatasi pada rentang 7-11,5 sehingga
dapat menjamin kondisi yang tidak asam selama
penggunaan dalam sistem pengereman. Pada
analisis ini menunjukkan bahwa semua formula
telah memenuhi syarat minyak rem DOT 3 yang
ditetapkan oleh metode FMVSS.

6. Kadar air
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semua
formula telah memenuhi batas syarat minyak rem
DOT 3 yang ditetapkan oleh metode FMVSS.

Kandungan air dalam minyak rem dapat


menyebabkan terjadinya penguapan pada suhu
179

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR


RONA MALAM KARINA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

yang lebih rendah yang dapat mengganggu


kinerja minyak rem dalam mentransfer tekanan
dalam sistem pengereman dan mengakibatkan
kegagalan untuk menghentikan laju kendaraan.
7. Kompatibilitas
Kompatibilitas minyak rem terhadap material
yang bersentuhan langsung dengan sistem
pengereman menjadi faktor penting. Hasil analisis
ini menunjukkan bahwa semua formula telah
memenuhi batas syarat minyak rem DOT 3.
8. Toleransi air

Toleransi kehadiran air dapat diuji dengan


mengamati terjadinya pemisahan dan
terbentuknya endapan. Dalam kaitannya dengan

minyak rem, tidak boleh terjadi pemisahan dan


toleransi terhadap endapan yang terjadi maksimal
0,15-%volume. Pada analisis ini menunjukkan
bahwa semua formula telah memenuhi syarat
minyak rem DOT 3.
9. Fluiditas dan appearance
Parameter ini menunjukkan kemudahan fluida
untuk mengalir. Pengujian pada suhu -40 oC
selama 120 jam harus menunjukkan kriteria tidak
terjadinya pemisahan tidak terbentuk endapan,
tidak terbentuk kristal dan laju alir maksimal

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 175 - 181

10 detik. Pada pengujian suhu -50oC selama 70


jam, minyak rem harus dapat menunjukkan

kriteria tidak terjadinya pemisahan tidak


terbentuk endapan, tidak terbentuk kristal
dan laju alir maksimal 35 detik. Pada analisis
ini menunjukkan bahwa semua formula telah
memenuhi syarat minyak rem DOT 3.
10. Korosi
Dengan melihat perubahan berat dari
lempengan logam yang dianalisa, maka
pada Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa
hasil analisis korosi dari keempat formula
memenuhi batas syarat minyak rem DOT 3
yang ditetapkan oleh metode FMVSS.

Tetapi apabila dilihat dari hasil analisis secara


visual dapat terlihat (Gambar 2.) bahwa formula
FMR 1 dan Formula FMR 2 mengakibatkan
korosi sehingga dapat merusak lempeng logam
uji jenis kuningan, tembaga dan seng, sedangkan
formula FMR 3 mengakibatkan korosi pada
dua jenis logam uji yaitu lempeng aluminium
dan lempeng tembaga. Dan untuk minyak rem
formula FMR 4 semua lempeng logam bersih dan
tidak terjadi korosi sehingga formula FMR 4 ini
memenuhi syarat spesifikasi yang ditetapkan..

Gambar 2
Hasil analisis korosi (visual) terhadap tujuh macam logam

180

FLUIDA INCOMPRESSIBLE SEBAGAI PENYALUR


RONA MALAM KARINA

LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI

VOL. 45. NO. 2, AGUSTUS 2011: 175 - 181

11. Ketahanan Oksidasi


titik didih (ERBP atau WERBP), viskositas, pH
Parameter ketahanan oksidasi diuji dengan
dan korosi.
cara cairan rem dioksidasi (diaktifkan) dengan
menambahkan campuran benzoil peroksida dan 3. Dari keseluruhan hasil formula minyak rem
yang diuji karakteristik fisika kimianya dengan
air. Kemudian diuji sifat korosinya terhadap
jumlah karakteristik dua belas parameter, terdapat
logam uji korosi aluminium dan besi tuang. Pada
satu sampel yang memenuhi syarat spesifikasi
akhir pengujian, logam tersebut diperiksa korosi,
karakteristik minyak rem DOT 3 yaitu formula
goresan dan kehilangan beratnya. Hasil analisis
FMR 4. Namun, kualitas yang sebenarnya
keempat formula diatas menunjukkan bahwa
dapat dilihat dalam uji performa apabila
semua formula telah memenuhi batas syarat
diaplikasikan pada sistem pengereman
minyak rem DOT 3.

kendaraan bermotor.
12. Uji terhadap karet
Uji terhadap karet rem SBR adalah untuk KEPUSTAKAAN
melihat bertambah atau menurun diameter yang 1. AS/NZS 1960. 1: 1995, Australian/New Zealand

telah diukur dan kekerasannya setelah direndam


Standard for Motor Vehicle brake fluids, Part 1:
dalam cairan rem dan dipanaskan masing-masing
Non-petroleum type.
pada suhu 70C selama 120 jam, dan suhu 120C
selama 70 jam. Pada analisis ini menunjukkan 2. E. Richard Booser, 1986, Handbook of
Lubrication, Theory and Practice of Trybology,
bahwa semua formula telah memenuhi syarat
volume I, Aplication and Maintenance, CRC
minyak rem DOT 3.
Press Inc., Boca Raton, Florida USA.
Dilihat dari variasi konsentrasi bahan dasar,
pelarut dan aditif yang salah satunya mempunyai 3. FMVSS No. 116 2005, Motor Vehicle Brake
Fluid Passenger Cars, Multipurpose Passenger
sifat hidroskopis serta pembahasan beberapa
Vehicles, Trucks, Buses and Motorcycles.
karakteristik fisika kimia seperti titik didih,
viskositas, stabilitas cairan serta korosi yang 4. Freeman, P., Lubrication and friction, Sir
Isaac Pitman&Sons Ltd., USA, 1962.
memenuhi syarat minyak rem DOT 3, maka
formula FMR4 merupakan formula minyak 5. Gschwender, Lois J. et. al. 2001. Liquid
Lubricants and Lubrication: Modern Trobology
rem yang mempunyai kualitas yang baik dan
Handbook. CRC Press, USA.
dapat mempertahankan mutunya tetap seperti
6. ISO 4925-2005, Road vehicles Non petroleum
semula.
base brake fluid.
V. KESIMPULAN
7. JIS K2233-2006, Non petroleum based motor
vehicle brake fluids.
Berdasarkan hasil pembahasan dan evaluasi
terhadap data uji sampel formulasi minyak rem DOT 8. Liston Thomas, Dr., Engine Lubricant Additive
3 yang dihasilkan, dapat disimpulkan beberapa hal
What They Are And How They Function,
sebagai berikut:
Journal of Society of Tribologist and Lubrication
1. Hasil formula dari pencampuran bahan dasar dan
Engineers, California.
pelarut dengan berbagai komposisi yang berbeda 9. Manual of Hydraulic Brake Parts, SK 1805,
akan menghasilkan nilai karakteristik fisika kimia
Meiji Sangyo Company, Seiken Chemical
yang beragam secara menyeluruh.
Industry Co., Ltd. No. 12-23, 2-chome, K6nan
Minatoku, TOKYO
2. Dari Empat formula minyak rem yang diblending
tiga formula tidak memenuhi syarat spesifikasi 10. Minyak Rem ISBN 978-0-7680-1953-7 Tahun
2005
minyak rem DOT 3, yaitu FMR 1, FMR 2 dan
FMR 3 hal ini disebabkan adanya parameter 11. SAE J1703-2004, Motor Vehicle Brake Fluid.
kunci minyak rem yang harus dipenuhi dalam 12. US Departement of Energy. 1993. Doe
pembuatan minyak rem tidak tercapai seperti
Fundamental Handbook of Chemistry;
Departement of Energy, USA.

181

INDEKS SUBYEK
A

Altasi mineral 125, 133

Gas alam 121, 122

Adsorpsi 159, 160, 163, 164

Gasoline 88 153

Aktivitas 150, 160, 161, 162, 163, 164

Gas oil 165

Automative vehicles 175


B
Bahan-bahan gas 139, 140
Bahan Bakar Minyak Sintetik dan Bahan
dasar pelumas sintetik 139
Bensin 88 153, 154, 155, 156, 157, 158
Brake fluid 175, 176, 181
C
Cekungan Kutai atas 103, 104
Carbon dioxide 121
Compressed natural gas 139, 140
Crude oil type 145
Catalytic converter 153, 158
CO and HC emission 153
D
Dasar Pelumas Sintetik 139
Distilation yield 145
Dekomposisi 161
Dispersi 160, 161, 163, 164
Daya 165, 167, 168, 169

H
Hidrolik system 175
I
Indonesia oil production 91
Indonesia EOR potensial 91
Injeksi surfaktan polimer 113, 115, 117, 118
Industri 139, 144
Impregnasi 159, 160, 161, 162, 163, 164
Incompressible fluid 175
J
Jenis minyak bumi 145, 147, 149, 150, 151
K
Kutai Basin 103, 112
Karbon dioksida 121
Katalitik konverter 153, 154, 155, 156, 157,
158
Karakterisasi 159, 161
Katalitik 159, 160, 161, 162, 163
Konversi 159, 160, 161, 163, 164

Konsumsi bahan bakar spesifik 165, 167, 169,


170

EOR technology 91

Kendaraan bermotor 175, 176, 181

Evaluasi lahan Migas 103

Efisiensi 153, 154, 158


Emisi CO dan HC 154, 155
Efficiency 153

Lansssat 103, 104, 105, 106, 107, 109, 111


M
Membrane fixed carrier 121

Minerals alteration 126

Facilitated transport 121

Minyak solar 165, 166, 167, 168, 169, 170,


172

Flash point 165, 167


Fluida incompressible 175, 176


182

Minyak rem 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181

Surfaktan polimer injection 113

New Venture Evaluation 103O


Natural gas 121

Sekuestrasi gas CO2 125, 127, 128, 131, 132,


137

Saline equiter 125, 126, 127, 131, 132, 137

Potensi EOR Indonesia 91, 92, 97, 98, 100


Produksi minyak industri 91,92, 97
Palsar 103, 104, 105, 106, 107, 111
PEG 121, 122, 124
Perubahan fase 125, 128
Phase Change 126
Petrochemical Industry 139
Perolehan distilasi 145, 147, 149, 150, 151
Partikel 159, 160, 161, 162 163, 164
Pembakaran 159
Promotor 159, 160, 163
Power 165
Q
Quartered five spot 113, 115, 116, 120
R
Rifinery feed stock 145
S

Sequestration of Gas CO2 126


Syntetic fuel oils and syntetic lube base stock
139
Substitusi umpan 145, 146, 147, 149, 150,
151
Substitute feed stock 145
Spesies 159, 161, 162
Stabilitas 160
Specific fuel consumption 165
Sistem hidrolik 175, 176
T
Teknologi EOR Indonesia 91, 92, 93, 96, 97,
100, 101
Titik nyala 165, 167, 168, 169, 170, 172
Test performance 165
U
Umpan kilang 145, 146, 147, 149, 150
Uji kinerja 165

SRTM 103, 104, 105, 107, 110, 111


Statistic imagery 103

183

PEDOMAN PENULISAN MAJALAH LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS (LPL)


UMUM
1. Majalah Lembaran Publikasi Lemigas (LPL) adalah media yang khusus diperuntukan bagi karya tulis para Peneliti dan Tenaga Fungsional
PPPTMGB LEMIGAS, memuat analisis, kajian dan tinjauan ilmiah mengenai subjek-subjek yang berkaitan dengan industri minyak dan gas
bumi, terutama yang dilakukan oleh PPPTMGB LEMIGAS.
2. Redaksi LPL, secara selektif juga menerima tulisan-tulisan dari para ahli baik perseorangan ataupun kelompok, baik atas nama pribadi maupun
instansi pemerintah/swasta namun lebih berbobot. Hal ini dimaksudkan sebagai contoh guna mendorong dan meningkatkan mutu para penulis
intern LEMIGAS.
STANDAR PENULISAN
1. Bahasa
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kaidah/istilah bahasa Indonesia yang telah dibakukan berpedoman
pada: a. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Lembaga Pembinaan Bangsa. b. Kamus Miyak dan Gas Bumi, terbitan PPPTMGB
LEMIGAS. c Kamus bahasa Inggris.
2. Naskah/Artikel
Judul artikel ditulis pada baris pertama (paling atas), rata kiri (left), memakai huruf besar kecil ukuran 24 points.
- Nama penulis ditulis pada baris kedua di bawah judul artikel.
- Abstrak/Sinopsis/Sari karangan merupakan keharusan ditulis dalam bahasa Indonesia serta bahasa Inggris dan ditetapkan pada
awal artikel/tulisan. Abstrak tidak boleh lebih dari 200 kata.
- Artikel disertai dengan kata kunci yang ditulis dibawah judul artikel.
- Teks artikel diketik dengan komputer (MS Word), di atas kertas putih ukuran A4, dengan jarak baris 1 spasi.
- Sitasi (kutipan) atas pendapat para ahli, disamping dapat dengan dikutip secara verbatim, juga harus diberi nomor urut dengan
hurup arab superscript untuk penjelasannya dalam catatan kaki.
- Catatan kaki ditulis dalam satu halaman sesuai dangan nomor catatan kaki yang bersangkutan. Catatan kaki ditulis horizontal
dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, tahun penerbitan, judul, halaman yang dikutip. Data Publikasi (Kota Penerbitan,
Nama Penerbitan, jumlah halaman).
- Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab.
- Bahan dan Metode harus secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan
peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait.
- Hasil disajikan secara jelas tanpa detil yang tidak perlu. Hasil tidak boleh disajikan sekaligus dalam tabel dan gambar.
- Tabel disajikan dalam bahasa Indonesia, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program
MS-Excel.
- Gambar, grafik, potret dan lain-lain: semuanya asli, jelas memenuhi syarat untuk peroses pencetakan: serta diberi nomor urut
dan judul.
- Kesimpulan disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian.
- Di samping naskah dan lampiran penunjang seperti gambar/grafik, kirimkan juga disket/CD nya ke redaksi atau melalui e-mail:
agus salim@lemigas.esdm.go.id
3 Kepustakaan
Kepustakaan adalah daftar literaktur (buku atau non buku) yang dipakai oleh Penulis dalam meyusun naskah/artikel.
Kepustakaan ditulis pada akhir karangan dengan urutan secara alfabetis berdasarkan nama pengarang, seperti contoh sebagai berikut;
a. Buku
- Satu pengarang
Davis, Gordon B., 1976, Management Information System, Conceptual Foundation Structur and developnet, Me Graw Hill.
- Dua Pengarang
Newman W.H. dan E. Kirby Warren, 1977, The Procces of Management, Concept, Behavior, and Pratice, Pretice-Hall of India
Privat Ltd., New Delhi, hlm. 213.
- Lebih dari tiga pengarang
Bennet J.D., Bridge D. Mcc, Cancron N. R., Djunudin A, Ghazali S. A, Jeffry D.H., Kartawa W., Keats W Rock N.M.S., dan
Thompos S.J 1981, The Geology of the Langsa Quadrange, Sumatra, GRDC, Bandung.
Atau disingkat
Bannet J.D., dkk., 1981. The Geology of the Langsa Quadrangle, Sumatra, GRDC, Bandung.
b. Non buku
- Udiharto M., 1992. Pengaruh Aktivitas Bakteri Termofil terhadap Porositas Batuan, Diskusi Ilmia VII Hasil Penelitian Lemigas,
Februari, PPTMG LEMIGAS, Jakarta.
- Weissmann J., Dr.: 1972, Fuel for internal Contribution Engines and Furnace, Report, Inhouse Research, Mei, LEMIGAS,
Jakarta.
- Gianita Gandawijaya, 1994,Teknologi GPS, Alat Bantu Navigasi Pesawat Terbang, Kompas, Juli 27, Jakarta.
c. Web sites :
http://www.environmental law net.com. Sebutkan tanggal bulan dan tahun.
WEWENANG REDAKSI
a. Dewan redaksi berhak melakukan penyuntingan atas suatu artikel termasuk mengubah judul artikel.
b. Naskah yang telah diperiksa dewan redaksi dan dianggap perlu perbaikan akan dikirim kembali kepada penulis untuk diperbaiki.
c. Naskah yang tidak bisa dimuat akan dikembalikan kepada penulis.
LAIN-LAIN
Lembaran Publikasi Lemigas menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi LEMIGAS dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Majalah Lembaran Publikasi Lemigas.

Anda mungkin juga menyukai