Seminar Alen
Seminar Alen
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan salah satu pembangkit
listrik yang memakai bahan bakar batubara. Salah satu PLTU terbesar yakni PLTU
Suralaya, yang beroperasi untuk memasok listrik Jawa dan Bali. PLTU Suralaya
menggunakan bahan bakar batubara dikarenakan bekerja selama 24 jam setiap
harinya, sehingga dibutuhkan bahan bakar yang tahan lama seperti batubara.
Pemanfaatan batubara seperti ini perlu mengetahui tentang macam kualitas yang
dimiliki batubara itu sendiri.
Dengan diketahui kualitas batubara dimaksudkan agar spesifikasi mesin atau
peralatan yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar sesuai dengan mutu
batubara yang akan digunakan, sehingga mesin-mesin tersebut dapat berfungsi
optimal dan tahan lama. Seiring dengan meningkatnya permintaan batubara oleh
PLTU Suralaya dengan kualitas tertentu, ini menjadi tantangan tersendiri bagi
perusahaan pertambangan batubara. Dikarenakan kualitas batubara di Pit itu
berbeda-beda, maka perlu adanya pencampuran batubara (coal blending) dan
kontrol kualitas (quality control) untuk memperoleh kualitas tertentu yang diminta
PLTU Suralaya. Namun perlu diketahui terlebih dahulu kualitas batubara dari
tiap seam yang akan di blending melalui analisis Laboratorium. Sehingga melalui
perhitungan tertentu akan diperoleh pendugaan kualitas hasil blending.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui proses pencampuran
(blending) bahan baku batubara berbeda kualitas untuk memenuhi pasokan
kebutuhan PLTU Suralaya unit 1-4.
1.3 Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbandingan campuran batubara antara batubara kualitas rendah dengan batubara
kualitas tinggi untuk di blending, sehingga didapatkan kualitas yang diminta oleh
PLTU Suralaya unit 1-4.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Batubara
dimana hampir seluruh deposit batubara (black coal) yang ekonomis di belahan
bumi bagian utara terbentuk.
Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batubara
yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung
terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di pelbagai belahan bumi lain
2.3 Klasifikasi Batubara
Secara umum batubara digolongkan menjadi lima tingkatan, yaitu:
1. Peat
Peat ditandai dengan kondisi fisik berwarna kecoklatan dan struktur
berpori, memiliki kadar air sangat tinggi, nilai kalori sangat rendah,
kandungan sulfur sangat tinggi, dan kandungan abu sangat tinggi. Nilai
kalori peat adalah 1.700-3.000 kcal/kg.
2. Lignite
Lignite ditandai dengan kondisi fisik berwarna hitam dan sangat rapuh,
nilai kalori rendah, kandungan air tinggi, kandungan abu tinggi, dan
kandungan sulfur tinggi. Nilai kalori lignite adalah 1.500-4.500 kcal/kg.
3. Bituminous / sub-bituminous coal
Bituminous / sub-bituminous ditandai dengan warna hitam mengkilat,
struktur kurang kompak, kandungan karbon tinggi, nilai kalori tinggi,
kandungan air sedikit, kandungan abu sedikit, dan kandungan sulfur
sedikit. Nilai kalori bituminous / sub-bituminous adalah 7.000-8.000
kcal/kg.
4. Anthracite
Anthracite ditandai dengan warna hitam sangat mengkilat, struktur
kompak, kandungan karbon sangat tinggi, nilai kalor sangat tinggi,
kandungan air sangat sedikit, kandungan abu sangat sedikit, dan
kandungan sulfur sangat sedikit. Nilai kalori anthracite lebih besar atau
sama dengan 8.300 kcal/kg.
2.4 Analisis Batubara
Pada basis dry, artinya sampel batubara dalam keadaan kering maka
kandungan air permukaan dan kandungan air bawaannya adalah nol.
4. Dry Ash Free (daf)
Pada basis daf, nilai kualitas batubara pada kondisi batubara tersebut
kering dan bebas dari ash.
5. Dry Mineral Matter Free (dmmf)
Pada basis dmmf analisis dilakukan untuk memberikan gambaran
mengenai komposisi organik murni, artinya volatile mineral matter
dianggap sama dengan nol.
2.6 Kualitas Batubara Pada Pemanfaatannya
Untuk mengetahui kualitas dari batubara itu sendiri maka dapat diketahui
dengan menggunakan parameter-parameter dari batubara. Parameter-parameter
dari batubara adalah sebagai berikut:
1. Kandungan Air
Kandungan air dalam batubara secara umum ada 2 yaitu air permukaan
(free moisture) dan kandungan air bawaan (inherent moisture). Kandungan
air permukaan secara mekanis terdapat dalam permukaan dan retakanretakan serta kapiler-kapiler besar (makro kapiler) batubara dan
mempunyai tekanan gas normal. Jumlah kandungan air bebas secara
prinsip tergantung dari kondisi yaitu dari lembab sampai kering. Hal
tersebut juga tergantung dari penambangan, benefisiasi, transportasi,
penanganan dan penyimpanan juga distribusi ukuran butirnya. Kandungan
air bawaan berada pada mikro pori, yang mempunyai tekanan lebih rendah
dari tekanan uap normal. Kandungan air bawaan ini patut diketahui, karena
dapat digunakan untuk mengindikasi peringkat batubara. Batubara makin
tinggi kandungan bawaannya, peringkatnya makin rendah.
2. Kandungan Abu
Batubara terdiri dari 3 unsur yaitu: air, material batubara (coal matter)
dan material bukan batubara (mineral matter). Mineral matter terdiri dari 2
macam yaitu mineral matter bawaan (inherent mineral matter) serta
material mineral dari luar batubara (extraneous mineral matter). Inherent
Mineral Matter berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan yang hidup di
rawa-rawa dan sulit dipisahkan dari batubara, biasanya berjumlah 0,51,0%. Extraneous Mineral Matter terjadi saat waktu penambangan
(parting), yang terbawa waktu banjir ke lapisan batubara pada waktu
pembentukannya. Extraneous Mineral Matter dapat dipisahkan dari
batubara dengan proses pencucian.
3. Zat Terbang
Zat terbang terdiri dari Combustible gasses (gas-gas yang mudah
terbakar) seperti gas hidrogen, CO, dan CH 4 serta gas-gas yang dapat
dikondensasikan seperti tar dengan sejumlah kecil gas-gas yang tidak
terbakar seperti CO2 dan air yang terbentuk dari hasil dehidrasi dan
kalsinasi. Zat terbang juga dapat digunakan sebagai ukuran untuk
menentukan peringkat batubara. Pengaruhnya dalam preparasi batubara
ialah jika kandungan zat terbang tinggi (>24%) maka batubara akan mudah
terbakar. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya batubara tidak dilakukan
penggerusan terlalu halus, karena sangat berpotensi untuk mudah meledak.
4. Karbon Tetap (Fixed Carbon)
Sebagai komponen dari analisa proksimat, Fixed Carbon dihitung
dari:
FC = 100 (A + VM + IM)
Rasio Fixed carbon dengan Volatile matter (zat terbang) disebut dengan
FR (Fuel Ratio). FR juga dapat digunakan sebagai pegangan untuk
menentukan peringkat batubara.
5. Nilai Kalor
Nilai kalor dari batubara merupakan jumlah panas dari komponen yang
terbakar seperti karbon, hidrogen, dan sulfur dikurangi dengan panas
reaksi eksotermis dan endotermis yang terjadi dari pembakaran komponen
pengotor.
6. Kandungan Sulfur
Sulfur merupakan zat pencemar, maka adanya sulfur yang tinggi sangat
tidak dikehendaki.
Ada 3 macam bentuk sulfur yaitu:
matter
mempengaruhi
kesempurnaan
Carbon
Volatile Matter
mempengaruhi
tingkat
pengotoran
(fouling),
10
Mengingat hal tersebut di atas maka, idealnya desain suatu pembangkit listrik
berbahan bakar batubara dibuat berdasarkan kualitas batubara yang akan
digunakan. Atau sebaliknya, batubara yang dipasok untuk sebuah pembangkit
listrik seharusnya sesuai dengan spesifikasi yang dipersyarakan. Sering terjadi,
keterlambatan pasokan batubara sesuai spesifikasi menyebabkan digunakannya
batubara lain yang kualitasnya tidak memenuhi spesifikasi. Hal ini dapat
mengganggu kelancaran pengoperasian pembangkit listrik.
Beberapa pengaruh yang terjadi jika menggunakan batubara di luar
spesifikasi (off design) pada pembangkit yang telah ada (exiting) di antarany
adalah kinerja penggerus, pengendapan abu (slagging dan fouling) dan
karakteristik dan efesiensi pembakaran. Kinerja mesin penggerus (pulverizer)
biasanya berhubungan dengan nilai kalor dan sifat ketergerusan (HGI, hardgrove
grindability index) (Savage, 1974). Apabila digunaan batubara dengan kalor lebih
rendah dari spesifikasi, mka diperlukan jumlah batubara yang lebih banyak,
sehingga penggerus kemungkinan perlu ditambah atau penggerus cadangan perlu
diopersikan.
2.9 Blending
2.9.1 Pengertian Blending
Blending ialah suatu tahapan yang masih masuk dalam proses pengolahan
batubara, pengertian blending yaitu suatu proses pencampuran beberapa batubara
yang memiliki kualitas atau kualitas yang berbeda sehingga membentuk satu
batubara dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Target kualitas yang ingin
dicapai dalam blending berbeda-beda. Ada yang menjadikan Sulfur sebagai target
pencapaian ada juga yang menjadikan kalori sebagai acuan target yang ingin
dicapai.
Rumus dasar perhitungan blending :
11
(Batubara A x P) +( Batubara B x P )
n
=
Batubara C
Dimana :
Batubara A = Batubara yang akan dicampur
Batubara B = Sebagai pencampur batubara A
Batubara C = Batubara dari hasil pencampuran
n
= Parameternya
blending
adalah
bahwa
hanya
kualitas
yang
13
untuk jenis parameter tersebut maka harus dibuat simulasi composite, yaitu
dengan mencampurkan batubara yang akan diblending dengan proporsi blending
yang sudah ditentukan, kemudian dianalisa. Hasil analisa tersebut merupakan
prediksi kualitas hasil blending.
2.9.5 Sensifitas Blending
Sensitifitas blending adalah tingkat pengaruh dari suatu batubara blending
terhadap hasil blending. Sensifikasi blending ini menjadi hal yang sangat penting
dan perlu diperhatikan terutama pada blending batubara dengan rasio kuantitas
blending yang cukup tinggi. Sensitifitas blending ini sangat erat kaitannya dengan
efeinsi blending tersebut. Suatu blending yang dilakukan dengan rasio kuantitas
yang cukup besar akan menjadi tidak berarti karena pengaruhnya tidak cukup
signifikan dalam merubah kualitas asal.
2.9.6 Strategi Pencampuran
Pencampuran suatu blending yang baik adalah dengan mencampurkan dua
atau lebih batubara menggunakan unit loading rate terkecil. Sistem pencampuran
Sistem pencampuran atau blending yang mungkin terjadi dengan tingkat homogen
yang mengecil secara berurutan.
Unit Pencampuran
1.
2.
3.
4.
Belt conveyor
Bucket Loader
Dump Truck
Barge
Dari unit pencampur yang pertama merupakan blending yang paling homogen
karena memiliki unit loading terkecil perhitungan waktu. Sedangkan unit
pencampur kedua sampai keempat memiliki unit loading besar sesuai dengan alat
yang digunakan untuk melakukan blending batubaranya. Selain itu, blending
dengan menggunakan unit seperti pada unit pencampur kedua dan ketiga harus
memperhitungkan jarak masing-masing batubara yang diblending. Karena
14
pencampuran harus dilakukan pada waktu yang sama, atau paling tidak berurutan
pada tiap satuan rasio.
15
nilai kalor adalah batubara dengan nilai kalor 4.225 kal/g masih dapat digunakan
dan menghasilkan keluaran (daya) listrik sesuai kapasitas pembangkit asalkan
seluruh fasilitas penanganan (handling) dan penggiling (mill) dijalankan. Batubara
dengan nilai kalor lebih rendah dari batas minimum tersebut juga bisa digunakan,
tetapi keluaran listrik akan turun walaupun semua fasilitas penanganan penggiling
batubara dijalankan. Parameter kualitas bersifat aditif lainnya, yakni kadar abu
dan kadar belerang masing-masing 7,80% (maksimum 12,80%) dan 0,40%
(maksimum 0,90%). Sedangkan parameter kualitas yang non-aditif, yakni
diantaranya HGI 61,8 (minimum 48), titik leleh abu 1.279C (minimum 1010C),
indeks penerakan medium dan indeks fouling tinggi.
Tabel 3.1 Spesifikasi Batubara Untuk PLTU Suralaya Unit 1-4
Tabel 3.1 (Slamet Suprapto)
Minimum
4,225
48
1.010
Maksimum
28,30
12,80
0,90
-
Rata-rata
23,60
7,80
5.242
0,40
61,8
1.279
Medium
tinggi
16
tersebut termasuk bersih dengan masing-masing kadar abu 1,19% dan 4,30% dan
kadar belerang 0,11% dan 0,30%. Edua batubara tersebut mempunyai sifat
ketergerusan menengah, yakni masing-masing 54 dan 60. Titik leleh abu batubara
Peranap cukup rendah, yakni dengan deformasi awal 1.200 oC dibanding abu
batubara Bara Mutiara Prima yang deformasi awalnya sebesar 1.350 oC. oleh
karena itu, indeks penerakan batubara Peranap termasuk klasifikasi tinggi dan
batubara Bara Mutiara Prima termasuk rendah. Sedangkan indeks
fouling
17
80. Tetapi batubara ini juga mempunyai nilai bebas yang tiggi yakni 9, tidak
seperti umumnya batubara Indonesia yang mempunyai nilai muai bebas rendah.
Kadar abu dan kadar belerang batubara peringkat tinggi bervariasi, masingmasing antara 2,0% sampai 19,48% dan 0,15% sampai 2,56%. Sedangkan data
indeks penerakan dan indeks fouling hanya tersedi untuk batubara Kartika
Selabumi dan Lana Harita. Batubara Kartika Selabumi mempunyai indeks
penerakan dan indeks fouling klasifikasi rendah. Sedangkan untuk batubara
Lana Harita klasifikasi rendah dan medium.
Tabel 3.2 Data Kualitas Batubara Indonesia Perigkat Rendah
Parameter
Peranap
(Sumsel)
Kadar Air, %
49,00
Kadar Abu, %
1,19
4,30
3.234
4.400
Sulfur, %
0,11
0,30
HGI
54
60
1.200
1.350
Indeks Penerakan
Tinggi*
Rendah*
Indeks fouling
Rendah*
Sumber: Slamet Suprapto, 2008
Rendah*
Yang perlu
18
kurang dari 50. Walaupun HGI batubara peringkat rendah umumnya tinggi,
mengingat parameter ini cenderung nonaditif maka HGI hasil blending belum
tentu sesuai dengan perhitungan. Apabila nilai HGI hasil blending ternyata lebih
rendah dari perhitungan maka kapasitas atau keluaran penggerus turun atau
kehalusan produk penggerusan dapat menurun. Menurunnya keluaran penggerus
dapat menurunkan keluaran listrik. Sedangkan menurunnya kehalusan batubara
dapat menyebabkan menurunnya efisiensi pembangkit dan meningkatnya kadar
karbon tak terbakar dalam bau batubara. Untuk mengkaji lebih mendalam, maka
pengujian penggerusan dan pembakaran skala yang lebih besar seperti skala meja
atau skala yang lebih mendekati kapasitas nyata di lapangan perlu dilakukan
sebelum mengaplikasikannya pada kondisi sebenarnya.
Batubara Kartika Selabumi mempunyai nilai kalor cukup tinggi, yaitu 7.889
kal/g dan juga HGI yang cukup tinggi yakni 80, tetapi nilai muai bebasnya sangat
tinggi mencapai 9. Normalnya, nilai muai bebas batubara untuk pembangkit listrik
maksimum 4 (Rance, 1975). Tambahan lagi nilai muai bebas merupakan
parameter nonaditif, sehingga karakteristik pembakaran batubara hasil blending
batubara ini tidak dapat diprediksi dari masing-masing batubara yang akan diblending.
Selain HGI, karakteristik abu yakni kecenderungan penerakan dan fouling
juga perlu dipertimbangkan. Mengingat data dan indeks penerakan dan indeks
fouling kebanyakan tidak tersedia, maka parameter tersebut perlu dilengkapi.
Apalagi jika hasil uji di laboraterium dan perhitungan menyatakan kecenderungan
kedua indeks tersebut termasuk klasifikasi tinggi, maka uji pembakaran pada
kondisi yang mendekati ketel uap perlu dilakukan. Pengendapan terak abu terjadi
di daerah ruang bakar atau radiasi, sedangkan endapan fouling terjadi pada daerah
yang lebih dingin yakni pada pipa-pipa ketel uap. Apabila terak abu yang
menempel di dinding tungku(ruang bakar) sulit diambil maka perpindahan panas
ke dinding akan menurun dan selanjutnya efisiensi pembakaran juga menurun
(Elliot, 1981).
19
Endapan fouling yang terjadi pada pipa ketel uap menyebabkan penyempitan
pada deretan pipa yang selanjutnya mempercepat laju alir gas buang. Hal ini dapat
menyebabkan naiknya suhu gas buang dan juga erosi terhadap pipa ketel uap.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan mengenai blending dapat disimpulkan :
20
4.2 Saran
-
21