Anda di halaman 1dari 25

BAB 1.

PENDAHULUAN

Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari
kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis adalah penyakit hepar menahun
difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.1,2
Di negara maju, sirosis hepatis merupakan salah satu penyebab kematian
terbesar pada usia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker).
Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar
25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hepatis juga
merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan bagian
penyakit dalam. Perawatan di rumah sakit sebagian besar kasus terutama
ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan
oleh karena varises esophagus yang pecah, ensefalopati hepatik, ascites, dan
komplikasi lainnya.1,9
Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala
sampai dengan gejala yang sangat jelas. Gejala patologik dari sirosis hepatis
mencerminkan proses yang telah berlangsung lama dalam parenkim hepar dan
mencakup proses fibrosis yang berkaitan dengan pembentukan nodul-nodul
regeneratif. Kerusakan dari sel-sel hepar dapat menyebabkan ikterus, edema, dan
kelainan metabolik lainnya.1,3
Prognosis sirosis hepatis sendiri sangat bervariasi dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan
penyakit lain yang menyertai sirosis.4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif,
ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh proses keradangan difus menahun pada
hati,

nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus

(fibrosis) di mana seluruh kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukanbentukan

regenerasi

nodul.6,8,9,13,14 Sirosis

hepatis

pada

akhirnya

dapat

mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lanjut, menyebabkan


kegagalan fungsi hati secara bertahap.7
Secara klinis, sirosis hati dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang
gejala klinisnya belum nyata dan dekompensata yang gejala dan tanda klinisnya
sudah jelas. Sirosis hati kompensata sendiri merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaan klinis, untuk
membedakan hanya melalui biopsi hati.4

Gambar 2.1 Sirosis Hepatis (www. tanyadokteranda.com)


2.2 Epidemiologi Sirosis Hepatis
Insidensi sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik dan
infeksi virus kronik. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya
laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito
2

Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat
di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun pada tahun 2004. Di
Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819
(4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.4
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika
dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun1
Insidensi penyakit ini disebutkan sangat meningkat sejak perang dunia II,
sehingga merupakan sebagai penyebab kematian paling menonjol. Peningkatan ini
sebagian disebabkan oleh insidensi hepatitis virus yang meningkat, namun lebih
bermakna karena asupan alkohol yang sangat meningkat. Alkoholisme merupakan
satu-satunya penyebab terpenting sirosis.7

2.3 Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B
maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari
sirosis hepatis adalah virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan
penyebab yang tidak diketahui (10-20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis
hepatis antara lain: 1,4,9
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik, misalnya: hemokromatosis, penyakit Wilson,
nonalkoholik steato hepatis, dan lain-lain
4. Kholestasis berkepanjangan (baik intra maupun ekstrahepatik)
5. Obstruksi vena hepatica, misalnya sindrom Budd-chairi
6. Gangguan autoimun, misalnya hepatitis autoimun
7. Toksin dan obat-obatan, misalnya : methotrexate, amiodaron, arsenik, dan
lain-lain
8. Kriptogenik

2.4 Anatomi dan Histologi Hepar


Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang sangat kompleks.5 Hepar menempati daerah hipokondrium dextra
tetapi lobus sinistra dari hepar meluas sampai ke epigastrium. Hepar berbatasan
dengan diafragma pada bagian superior dan bagian inferior hepar mengikuti
bentuk dari batas costa dextra. Batas atas hepar berada sejajar dengan spatium
intercostalis V dextra dan batas bawahnya menyerong ke atas dari costa IX dextra
ke costa VIII sinistra. Hepar secara anatomis hepar terdiri dari lobus dextra yang
berukuran lebih besar dan lobus sinistra yang berukuran lebih kecil. Lobus dextra
dan sinistra dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Pada daerah antara
ligamentum falciforme dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan
lobus quadratus dan lobus caudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan
ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hepar sendiri terbagi lagi dalam
8 segmen berdasarkan aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu yang
dimiliki oleh masing-masing segmen.7,15 Permukaan hepar diliputi oleh
peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat
langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum
membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat
yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ ,
bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka
untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis
adalah fisura pada hepar tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta
tempat keluarnya duktus hepatika.5

Gambar 2.2 Anatomi hepar (www.doctorology.net)


Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika
keluar dari aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk
ke hepar membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena
akan keluar sebagai vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari hepar
ke vena kava inferior. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena
mesenterika superior, mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini

mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh


limpa dan usus. Darah yang berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel
hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler
hepatika. Pembuluh darah halus yang berjalan di antara lobulus hepar disebut
vena interlobular7.
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari saluran
cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem arteri.
Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang lebih
kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik lamina hepatika.
Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah
masing-masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-pembuluh ini
menbawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi yang
telah dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi.
Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis.
Anterior ini menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara
lobules yang berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid
hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis7.

Gambar 2.3 Pembuluh darah pada hepar (www. enjoylongerhealth.com)

Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,
sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang
bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium, sel
Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang16.
Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen
vena hepatika dan ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri
hepatica dan vena porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan
oksigen secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting
kerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan
langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga
tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan
penunjuk tempat permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit
memiliki sambungan penghubungan dan desmosom yang saling bertautan dengan
disebelahnya16.
Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari
hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam
dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting
dalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau
perisit) yang memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan
aliran darah sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan
kerusakan hepar. Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor
kunci pembentukan fibrosis di hepar16.

Gambar 2.4 Histologi hepar (www. ekskresi.co.cc)

2.5 Fisiologi Hepar


Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dan memiliki fungsi yang
kompleks (Tabel 2.1)17.

Tabel 2.1 Fungsi Utama Hepar


Pembentukan dan sekresi empedu
Metabolisme nutrient dan vitamin
-

Glukosa dan gula lain

Asam amino

Lipid (asam lemak, kolesterol, lipoprotein)

Vitamin yang larut dalam lemak

Vitamin yang larut dalam air

Inaktivasi beberapa zat


-

Toxin

Steroid

Hormon lainnya

Sintesis protein plasma


-

Albumin

Faktor pembekuan

Protein steroid-binding dan hormone-binding lainnya

Imunitas
-

Sel Kupffer

Hepar juga merupakan organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna di saat volume darah berlebihan dan mampu
menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Selain itu, hepar juga
merupakan suatu kumpulan besar sel reaktan kimia dengan laju metabolisme yang
tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke
sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah
tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain. Fungsi
metabolisme yang dilakukan oleh hepar adalah10 :

Metabolisme

karbohidrat.

Dalam

melakukan fungsi sebagai berikut :

metabolisme

karbohidrat,

hepar

o
o
o
o

Menyimpan glikogen dalam jumlah besar


Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
Glukoneogenesis
Pembentukan banyak senyawa kimia dari

produk

antara

metabolisme karbohidrat
Hepar terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah
normal.
kelebihan

Penyimpanan
glukosa

glikogen

dari

darah,

memungkinkan
menyimpannya,

hepar

mengambil

dan

kemudian

mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah


rendah. Fungsi ini disebut fungsi penyangga glukosa hepar.

Metabolisme lemak. Beberapa fungsi spesifik hepar dalam metabolisme


lemak antara lain :
o Oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh
yang lain
o Sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein
o Sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
Hepar berperan pada sebagian besar metabolisme lemak. Kira-kira 80%
kolesterol yang disintesis didalam hepar diubah menjadi garam empedu
yang kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut
dalam lipoprotein dan dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.
Fosfolipid juga disintesis di hepar dan ditranspor dalam lipoprotein.
Keduanya digunakan oleh sel untuk membentuk membran, struktur
intrasel, dan bermacam-macam zat kimia yang penting untuk fungsi sel.

Metabolisme

protein. Fungsi hepar yang

paling penting dalam

metabolisme protein adalah sebagai berikut :


o Deaminasi asam amino
o Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan
tubuh, dikeluarkan lewat urin dan feses
o Pembentukan protein plasma (protrombin, fibrinogen, faktor
pembekuan V, VI, IX dan X)
o Interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino, termasuk mensintesis albumin dan globulin
10

Diantara fungsi hepar yang paling penting adalah kemampuan hepar untuk
membentuk asam amino tertentu dan juga membentuk senyawa kimia lain
yang penting dari asam amino. Untuk itu, mula-mula dibentuk asam keto
yang mempunyai komposisi kimia yang sama dengan asam amino yang
akan dibentuk. Kemudian suatu radikal amino ditransfer melalui beberapa
tahap transaminasi dari asam amino yang tersedia ke asam keto untuk
menggantikan oksigen keto.

Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin. Hepar mempunyai


kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin dan telah lama
diketahui sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada pengobatan
pasien. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hepar adalah vitamin
A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B 12 juga disimpan secara
normal

Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Sel hepar mengandung


sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung
dengan besi baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu,
bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan
dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di
dalam sel hepar sampai diperlukan.

Metabolism steroid, yaitu terkait inaktivasi dan sekresi aldosteron,


glukokortikoid, estrogen, progesterone, dan testosteron.

Detoksikasi sehingga toxin yang masuk ke tubuh dapat disekresi lewat


ginjal.
Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang

rendah. Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid hepar
setiap menit, dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari arteri
hepatika dengan total rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27 persen dari
sisa jantung. Rata-rata tekanan di dalam vena porta yang mengalir ke dalam hepar
11

adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam vena hepatika yang
mengalir dari hepar ke vena cava normalnya hampir tepat 0 mmHg. Hal ini
menunjukkan bahwa tahanan aliran darah melalui sinusoid hepar normalnya
sangat rendah namun memiliki aliran darah yang tinggi. Namun, jika sel-sel
parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa yang
akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh darah, sehingga sangat
menghambat darah porta melalui hepar. Proses ini terjadi pada sirosis hepatis.
Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar yang
berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tibatiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system aliran darah
porta hepar ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan
hipertensi portal. 10

2.6 Patofisiologi Sirosis Hepatis


Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat.
Meskipun terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama
lainnya adalah hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi.
Tahap akhir penyakit kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :11
1. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut
lebar yang menggantikan lobulus.
2. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan
ukuran bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul)
hingga besar (garis tengah beberapa sentimeter, makronodul).
3. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian
sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya
berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor.
Sebagai respons terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan
regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis,
hepar normal mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran
porta, sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis,
12

kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua
bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi
pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini
pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang dengan
pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi,
beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein
antara hepatosit dan plasma akan sangat terganggu.11,12
Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan
adanya peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal, sel stelata
mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan
proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses ini berjalan terus maka fibrosis
akan terus berjalan di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan
digantikan jaringan ikat.4

Ikteru
s

KERUSAKAN
HEPAR

Metabolis
me
Bilirubun

Hiperten
si Portal

Varises
Esofagu
s
Splenomeg
ali

Tekanan
Hidrosta
tik

Perubaha
n
Metabolis
me
Steroid

Palmar
eritema
Angioma
Ginecomast
ia

Sintesis
Albumin

Volume Darah
Inaktifasi aldosteron &
ADH

Tekanan
Onkotik

Aldosteron & ADH

Na & Retensi
Cairan

13
Ascites
Edema

Gambar 2.5 Proses dalam patofisiologi sirosis hepatis

2.7 Klasifikasi Sirosis Hepatis


Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3
mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3
mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang
terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas : 1,4
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan
pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata

14

Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejalagejala sudah jelas, misalnya asites, edema dan ikterus.

2.8 Diagnosis Sirosis Hepatis


1. Gambaran Klinik

Stadium awal sirosis hepatis yaitu stadium kompensata, sering


tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan
pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain sehingga
kebetulan memeriksakan faal hepar. Keluhan subjektif baru timbul bila
sudah ada kerusakan sel-sel hati, umumnya berupa:4,6

Penurunan nafsu makan dan berat badan

Mual

Perasaaan perut kembung

Perasaan mudah lelah dan lemah, kelemahan otot terjadi akibat


kekurangan protein dan adanya cairan dalam otot.

Kegagalan parenkim hati ditandai dengan protein yang rendah,


gangguan mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan
hormonal (eritemapalmaris, spider nevi, ginekomastia, atrofi testis,
dan gangguan siklus haid)

Ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, terjadi pada
proses aktif dan sewaktu-waktu dapat jatuh ke koma hepatikum
jika tidak dirawat intensif.

Hipertensi portal (tekanan sistem portal > 10 mmHg), ditandai


splenomegali, ascites, dan kolateral. Dan umumnya, penderita akan
dirawat inap karena adanya penyulit seperti perdarahan saluran
cerna atas akibat pecahnya varises esophagus, asites yang hebat,
serta ikterus yang dalam.
Tabel 2.2 Gejala Kegagalan Fungsi Hepar & Hipertensi Portal9

15

Kegagalan Fungsi Hepar


- Ikterus

Hipertensi Portal
Varises esophagus/cardia

Spider naevi

Splenomegali

Ginekomastia

Pelebaran vena kolateral

Hipoalbumin dan

Ascites

malnutrisi kalori protein

Haemoroid

Bulu ketiak rontok

Caput medusa

Ascites

Eritema Palmaris

white nail

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain4 :
a. SGOT

(serum

glutamil

oksalo

asetat)

atau

AST

(aspartat

aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau


ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST
lebih meningkat dibanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak
mengenyampingkan adanya sirosis hepatis
b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan
ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya
meninggi karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang
selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor
koagulan akibat sirosis

16

g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan


dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya
hipertensi porta
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta,
pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma
hati pada pasien sirosis.

Tabel 2.3 Diagnosis Sirosis Hepatis9


Pemeriksaan
1. Anamnesis

Hasil yang mungkin didapat


Lesu, BB turun, anoreksia-dispepsia,
nyeri perut, sebah, ikterus (BAK coklat
dan mata kuning), perdarahan gusi,
perut membuncit, libido menurun,
konsumsi alkohol, riwayat kesehatan
yang lalu (sakit kuning, dll), riwayat

17

muntah darah dan feses kehitaman.


- Keadaan umum & nutrisi

2. Pemeriksaan Fisik

Tanda gagal fungsi hati

Tanda hipertensi portal

3. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Tepi

Anemia, leukopenia, trombositopenia,


PPT
Bilirubin, transaminase (hasil

Kimia Darah

bervariasi), alkaline fosfatase, albuminglobulin, elektroforesis protein serum,


elektrolit (K, Na, dll) bila ada ascites
-

Serologi

HBsAg dan anti HCV

4. Endoskopi saluran cerna atas


5. USG/CT scan

- FP
Varises, gastropati
Ukuran hati, kondisi v. Porta,

6. Laparoskopi

splenomegali, ascites,dll
Gambaran makroskopik visualisasi

7. Biopsi hati

langsung hepar
Dilakukan bila koagulasi
memungkinkan dan diagnosis masih
belum pasti

2.9 Komplikasi pada Sirosis Hepatis


Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut
berbagai macam komplikasi sirosis hati9 :
1. Hematemesis melena oleh karena pecahnya varises esophagus/cardia
2. Ascites permagna
3. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai
yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi
sekunder intra abdominal. Biasanya terdapat asites dengan nyeri
abdomen serta demam4.

18

4. Ensefalopati hepatic, merupakan kelainan neuropsikiatri akibat


disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut
sampai gangguan kesadaran dan koma 4. Ensefalopati hepatic terjadi
karena kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun
(NH3 dan sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri
di usus. Oleh karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh
kelebihan asupan protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan
alkalosis. Berikut pembagian stadium ensefalopati hepatikum:
Tabel 2.4 Pembagian stadium ensefalopati hepatikum
Stadium
0

Manifestasi Klinis
Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya

1
2
3
4

ingat, konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.


Gangguan pola tidur
Letargi
Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia
Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang nyeri.

5. Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan


fungsi ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa
adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan
penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.

2.10 Penatalaksanaan pada Sirosis Hepatis


Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresifitas penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, serta pencegahan dan penanganan komplikasi.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi
progresi kerusakan hati. Bila tidak terdapat koma hepatikum, berikan diet yang
mengandung protein 1gr/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.4
19

1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata


Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :

Menghentikan penggunaan alkohol dan bahan atau obat yang


hepatotoksik

Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat


menghambat kolagenik

Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif

Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai


konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati non alkoholik, menurunkan berat badan akan


mencegah terjadinya sirosis

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi


utama. Lamivudin diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan
3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin


merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 8001000 mg/hari selama 6 bulan

Diberikan antifibrotik, dalam hal ini lebih mengarah untuk keradangan


dan tidak terhadap fibrosis. Diberikan Interferon untuk mengurangi
aktivitas sel stelata, kolkisin untuk antiradang dan cegah pembentukan
kolagen, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata

Asites
Tirah baring
Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic
bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa

20

edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana


pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi
dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter),
diikuti dengan pemberian albumin.

Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)9


Diberikan antibiotik golongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaxime secara parenteral (2 x 2 gr/hari) selama lima
hari/evaluasi cairan ascites ulang. Pengobatan selanjutnya berdasar
hasil kultur dan tes kepekaan antibiotik cairan ascites. Obat pilihan
yang sering dipakai:
-

Ceftriaxone

Kombinasi amoksisilin-as. Klavulamat

Ciprofloxacin

Sedangkan untuk profilaksis terhadap PBS ulang (terutama jika


albumin < 1g/dl):

Norfloksasin 400 mg/hari, jangka panjang

Ciprofloxacin 750 mg/1x/minggu

Cotrimoxazole 2x2 gr/5 hari/minggu

Varises Esofagus
Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat
penyekat beta (propanolol)
Waktu

perdarahan

akut,

bisa

diberikan

preparat

somatostatin, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau


ligasi endoskopi

Ensefalopati Hepatik
Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia

21

Diet rendah protein 0,5 gr/kgBB/hari, terutama diberikan


yang kaya asam amino rantai cabang

Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR.
Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat
perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif,
parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.

Pada sirosis hepatis yang berat dapat dilakukan transplantasi hepar.

2.11 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis
pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi
bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi.4
Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C
berturut-turut 100%, 80%, dan 45%.4
Tabel 2.5 Klasifikasi Child-Pugh

22

BAB 3. KESIMPULAN
Sirosis hepatis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dimana
terjadi fibrosis pada hepar dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan
nodul-nodul degeneratif. Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi sirosis
kompensata dimana gejala klinisnya belum tampak nyata dan sirosis
dekompensata yang gejala dan tanda klinisnya sudah jelas. Di Indonesia sirosis
hepatis paling banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan C, tetapi
terdapat beberapa etiologi lain meliputi konsumsi alkohol, kelainan metabolik,
kholestasis berkepanjangan, obat-obatan, dan lain-lain.
Hepar memiliki banyak fungsi terutama dalam metabolisme, meliputi
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, penyimpanan vitamin, dan menyimpan
besi dalam bentuk ferritin. Pada sirosis hepatis, sel-sel hepatosit mengalami
kematian dan digantikan oleh jaringan fibrotik sehingga fungsinya pun akan
terganggu.
23

Manifestasi klinis dari sirosis akan muncul dikarenakan kerusakan sel-sel


hepar sehingga terjadi kegagalan fungsi hepar dan juga karena hipertensi portal
yang

terjadi.

Manifestasinya

meliputi

ikterus,

adanya

spider

naevi,

hipoalbuminemia, ascites, varises esophagus, dan lain-lain. Diagnosis sirosis


hepatis dapat ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium seperti SGOT, SGPT,
FP, HBsAg, USG abdomen, dan untuk pastinya dapat dilakukan biopsi hepar.
Sirosis hepatis menimbulkan mortalitas yang tinggi diakibatkan oleh
komplikasi yang ditimbulkan, meliputi hematemesis melena karena pecahnya
varises esophagus, peritonitis bakterial spontan, ensefalopati hepatic, dan lainlain. Untuk penatalaksanaannya sendiri meliputi penghindaran terhadap bahan
yang dapat menambah kerusakan hati, diet rendah protein pada ensefalopati
hepatic, diuretic pada ascites, antibiotic pada peritonitis bakteri spontan, dan lainlain tergantung dari keadaan pasien. Untuk prognosis dari penyakit ini,
dipengaruhi berbagai faktor meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar,
komplikasinya, dan adanya penyakit yang menyertai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sutadi, S.M. 2003. Sirosis hati. USU digital library Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam USU: Medan.
2. Suyono,dkk. 2006. Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr. Moewardi.
[serial

on

line].

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishepatis.pdf/
09150Sonografisirosishepatis.html. [10 Desember 2011]
3. Raymon, T.C. & Daniel, K.P. 2005. Cirrhosis and its complications in
Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. Mc-Graw Hill:
USA.

24

4. Nurdjanah, S. 2006. Sirosis hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 4. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI:
Jakarta.
5. Amiruddin, R. 2006. Fisiologi dan Biokimia Hati dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta.
6. Konthen, P.G. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu
Penyakit Dalam. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo:Surabaya.
7. Lindseth, G.N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas.
Dalam Patofisiologi Sylvia A.Price et.al. Edisi 6. EGC: Jakarta.
8. Siregar, G.A. 2001. Cirrhosis Hepatis pada Usia Muda. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.
9. Setiawan, P.B., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo:
Surabaya.
10. Hall & Guyton. 2004. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC: Jakarta
11. Kumar V., Cotran R.S., & Robbins S.L. 2004. Hati dan saluran empedu
dalam Robbins Buku Ajar Patologi 7th Edition Volume 2. EGC: Jakarta.
12. Taylor

CR.

2011.

Cirrhosis.

[serial

on

line].

http://emedicine.medscape.com/article/366426-overviewm. [10 Desember


2011]
13. Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
14. Fauci, A.S. et all. 2008. Cirrhosis and its complications in Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th Edition. Mc-Graw Hill: USA
15. Putz, R. & Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Batang Badan,
Panggul, Ekstremitas Bawah Edisi 22 Jilid 2. EGC: Jakarta
16. Junqueira, L.C.,et all. 1997. Histologi Dasar. EGC: Jakarta
17. Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai