Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

II.

IDENTIFIKASI
Nama

: An. K

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 10 tahun

Alamat

: Tirta Kencana, Kec. Makarti Jaya

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Bangsa

: Indonesia

MRS

: 21 November 2008

ANAMNESIS
Keluhan utama

Bengkak dan sulit menggerakkan tungkai kanan


Riwayat perjalanan penyakit :
3 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami keseleo ketika berjalan.
Kemudian timbul bengkak kemerahan di tempat tersebut. Pasien berobat ke bidan dan
bengkak dipecahkan oleh bidan tersebut. Bengkak mengecil namun tetap ada. Nyeri
saat berjalan (+), demam (+).
1 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat ke puskesmas dengan
keluhan bengkak yang tidak kunjung sembuh. Nyeri berkurang, demam (-).
Riwayat penyakit lain :
Tidak ada
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga :
Tidak ada

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 26 x/ menit

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 108 x/ menit

Suhu

: 36 oC

Keadaan gizi

: cukup

Kepala

: Tidak ada kelainan

Kulit

: Tidak ada kelainan

KGB

: Tidak ada pembesaran

Leher

: Tidak ada kelainan

Thorax

: Tidak ada kelainan

Abdomen

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas atas

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah

: Lihat status lokalis

Status lokalis
Regio cruris dextra
Look

: Luka ukuran 1x1 cm, pus (+), deformitas (+)

Feel

: Teraba hangat dan fluktuasi (+) pada benjolan, nyeri tekan


(+), NVD baik

Move

: ROM aktif pasif terbatas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi
Rontgen cruris dextra AP/Lateral :
-

Tampak fraktur pada 1/3 distal fibula

Tampak ada gambaran destruksi tulang pada distal fibula

Pemeriksaan laboratorium (tanggal 19 November 2008 )

IV.

Hemoglobin

: 12,5 gr/dl

Hematokrit

: 37 vol %

Leukosit

: 6800 / mm3

Trombosit

: 446.000/mm3

LED

: 8 mm/jam

Hitung jenis

: 0/5/2/64/26/3

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Osteomielitis kronis
Osteosarcoma

V.

DIAGNOSIS
Osteomielitis kronis fibula dextra

VI.

VII.

PENATALAKSAAN
-

Bed rest

Diet TKTP

IVFD RL gtt XX/menit

Cefotaxime 2x400 mg/hari (iv)

Chloramphenicol 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis interval 6 jam (iv)

Inj. Metampiron 3x250 mg/hari

Rencana kultur dan tes resistensi pus

Rencana debridement dan immobilisasi dengan back slab

Rencana fisioterapi

PROGNOSIS
Qua ad vitam

: bonam

Qua ad functionam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.

PENDAHULUAN
Osteomielitis merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang, baik oleh bakteri

piogenik maupun non-piogenik. Infeksi ini bersifat progresif dan mengakibatkan


terjadinya proses penghancuran tulang, nekrosis tulang, serta pembentukan tulang
baru. Osteomielitis masih menjadi permasalahan di Indonesia1 karena:
- kesadaran masyarakat akan higiene masih rendah
- diagnosis penyakit sering terlambat sehingga akhirnya menjadi osteomielitis kronis
- masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memiliki sarana diagnostik
yang memadai
- angka kejadian penyakit infeksi di Indonesia masih tinggi
- pengobatan osteomielitis membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang
cukup tinggi, sehingga sulit dijangkau masyarakat dengan tingkat sosioekonomi
rendah
- banyak penderita dengan fraktur terbuka yang terlambat dirawat dan datang ke
dokter atau rumah sakit setelah mengalami komplikasi osteomielitis
Keberhasilan pengobatan terhadap osteomielitis ditentukan oleh faktor diagnosis dini
dan penatalaksanaan pengobatan berupa pemberian antibiotika atau tindakan
pembedahan. Dengan diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat, di masa yang
akan datang diharapkan osteomielitis tidak akan menjadi masalah lagi di bidang
kesehatan, khususnya di negara-negara berkembang.
II.2.

FREKUENSI
Di Amerika Serikat tercatat angka kejadian osteomielitis adalah satu kasus per

5.000 anak. Angka kejadian osteomielitis pada neonatal sekitar 1 kasus per 1.000
kelahiran hidup. Pada penderita sickle cell anemia, angka kejadian penyakit ini adalah
sekitar 0,36% per tahun. Osteomielitis dapat terjadi pada sekitar 16% pasien yang

sebelumnya mengalami luka tusuk pada kaki, dan angka ini meningkat menjadi 3040% bila pasien menderita diabetes mellitus.2, 3 Tulang yang paling sering mengalami
osteomielitis adalah tibia (50%), disusul oleh femur (30%), fibula (12%), humerus
(3%), ulna (3%), dan radius (2%).3 Di seluruh dunia, angka kejadian osteomielitis
lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada negara-negara maju, antara lain
karena lebih tingginya angka kejadian luka tusuk dan fraktur terbuka serta banyaknya
luka yang terkontaminasi dan terlambat dirawat, sehingga mengalami komplikasi
berupa osteomielitis.
II.3.

ETIOLOGI
Dalam keadaan normal, tulang resisten terhadap infeksi. Namun terdapat

sejumlah faktor yang dapat menjadi predisposisi terjadinya osteomielitis, 1, 2, 3 antara


lain:
- inokulasi luas oleh kuman
- trauma yang menyebabkan kerusakan atau kematian tulang
- adanya benda asing
- adanya penyakit yang menurunkan daya tahan penderita
- umur (jenis osteomielitis tertentu lebih banyak dijumpai pada kelompok usia
tertentu, misalnya osteomielitis hematogen akut lebih sering dijumpai pada bayi
dan anak-anak, osteomielitis akibat fraktur terbuka lebih sering dijumpai pada
orang dewasa, osteomielitis spinal lebih sering dijumpai pada orang berusia di atas
45 tahun)
- jenis kelamin (laki-laki:wanita = 2:1)
- lokasi (osteomielitis lebih sering terjadi pada tulang panjang, terutama di daerah
metafisis)
- nutrisi, lingkungan, dan higiene yang buruk
Berdasarkan umur penderita osteomielitis, mikroorganisme yang paling sering
diisolasi antara lain2:
- pada bayi (<1 tahun): Streptococcus grup B, Staphylococcus aureus, Escherichia
coli

- pada anak-anak (1-16 tahun): Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,


Haemophilus influenzae
- pada orang dewasa (>16 tahun): Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens, Escherichia coli
II.4.

PATOGENESIS
Penyebaran osteomielitis dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:

1. Penyebaran umum
- melalui sirkulasi darah berupa bakterimia dan septikemia
- melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal di daerah-daerah
lain
2. Penyebaran lokal
- abses subperiosteal akibat penerobosan abses melalui periosteum
- selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit
- penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artritis septik
- penyebaran ke medula tulang sekitarnya sehingga sistem sirkulasi dalam tulang
terganggu, yang menyebabkan kematian tulang lokal dengan terbentuknya
tulang mati yang disebut sekuester.
Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis.1, 4 Ada beberapa teori yang
menjelaskan terjadinya infeksi pada daerah metafisis,1 antara lain:
1. Teori vaskular (Trueta)
Pada daerah metafisis terdapat banyak pembuluh darah yang berkelok-kelok dan
membentuk sinus-sinus, sehingga aliran darah pada daerah ini menjadi lebih
lambat. Lambatnya aliran darah menyebabkan bakteri mudah berkembang biak.
2. Teori fagositosis (Rang)
Metafisis merupakan daerah pembentukan sistem retikulo-endotelial. Bila terjadi
infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur yang banyak terdapat di
daerah ini. Akan tetapi, pada daerah ini juga terdapat sel-sel fagosit imatur yang

tidak dapat memfagosit bakteri sehingga beberapa bakteri tidak difagosit dan
dapat berkembang biak.
3. Teori trauma
Dari percobaan pada binatang, bila dilakukan trauma artifisial maka akan terjadi
hematoma pada daerah lempeng epifisis. Bila setelah itu dilakukan penyuntikan
bakteri secara intravena, maka akan terjadi infeksi pada daerah hematoma
tersebut.
Patogenesis osteomielitis bersifat multifaktorial dan masih belum banyak
dipahami. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi sehingga dapat
menyebabkan osteomielitis ialah umur penderita, daya tahan tubuh, lokasi infeksi,
serta virulensi kuman.1, 3 Infeksi pada tulang dapat terjadi dari fokus infeksi di tempat
lain melalui aliran darah. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam juksta epifisis
pada daerah metafisis tulang panjang. Selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di
daerah metafisis disertai pembentukan pus. Jaringan tulang tidak dapat berekspansi,
sehingga pembentukan pus di dalam tulang akan mengakibatkan tekanan dalam
tulang meningkat. Peningkatan tekanan dalam tulang akan mengganggu sirkulasi dan
menyebabkan trombosis pada pembuluh darah tulang, sehingga akhirnya tulang akan
mengalami nekrosis membentuk sekuester. Jaringan periosteum yang terangkat oleh
pus kemudian akan membentuk jaringan tulang baru di bawahnya, yang dikenal
sebagai reaksi periosteal. Di dalam tulang itu sendiri dibentuk tulang baru, baik pada
trabekula maupun korteks, sehingga tulang terlihat lebih radioopak dan dikenal
sebagai sklerosis. Tulang yang dibentuk di bawah periosteum ini membentuk
bungkus bagi tulang lama dan disebut involukrum. Pembentukan pus yang terus
menerus akan menembus tulang, lalu pus tersebut keluar melalui lubang di
involukrum yang disebut kloaka, terus menembus jaringan lunak dan kulit lalu keluar
melalui muara fistula di permukaan kulit. Bila hingga tahap ini osteomielitis belum
mendapat pengobatan yang adekuat, maka penyakit akan berkembang menjadi kronis.
Berdasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis,
terdapat tiga jenis proses patologis pada osteomielitis, yaitu:

1. Pada bayi
Pada bayi, kapiler-kapiler kecil menyeberangi lempeng epifisis, sehingga infeksi
dapat menyebar dari metafisis dan epifisis ke dalam sendi. Dengan demikian,
seluruh tulang termasuk persendian dapat terkena infeksi.
2. Pada anak-anak
Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta proses penulangan yang sempurna,
maka risiko infeksi pada epifisis berkurang. Lempeng epifisis resisten terhadap
infeksi. Selain itu, antara metafisis dan epifisis tidak ada hubungan vaskularisasi
yang berarti. Infeksi pada sendi hanya dapat terjadi bila ada infeksi langsung
intra-artikular.
3. Pada orang dewasa
Pada orang dewasa, lempeng epifisis telah hilang sehingga infeksi dapat meyebar
ke epifisis. Walaupun demikian, infeksi intra-artikular sangat jarang terjadi. Abses
subperiosteal juga lebih sulit terjadi karena periosteum melekat erat dengan
korteks.
II.5.

KLASIFIKASI
Terdapat beberapa macam klasifikasi osteomielitis, antara lain klasifikasi

menurut waktu onset penyakit, klasifikasi Waldvogel, klasifikasi Cierny-Mader,


klasifikasi Kelly, klasifikasi Weiland, klasifikasi May, dan klasifikasi Gordon3:
1. Klasifikasi menurut waktu onset penyakit:
a. Osteomielitis akut (penyakit berkembang dalam waktu kurang dari 2 minggu
setelah onset)
b. Osteomielitis subakut (penyakit berkembang dalam beberapa minggu seelah
onset)
c. Osteomielitis kronis (penyakit berkembang dalam beberapa bulan setelah
onset)
2. Klasifikasi Waldvogel5:

a. Osteomielitis hematogen akut (osteomielitis primer)


Osteomielitis jenis ini disebabkan oleh infeksi tulang oleh kuman yang
menyebar melalui sirkulasi. Osteomielitis jenis ini lebih banyak dijumpai pada
anak-anak (85% penderita berusia kurang dari 17 tahun), dan lebih sering
dialami oleh laki-laki. Pada anak-anak, osteomielitis jenis ini biasanya terjadi
pada tulang panjang, sedangkan pada dewasa biasanya terjadi pada vertebrae
thoracalis atau lumbalis.
b. Osteomielitis contiguous focus (osteomielitis sekunder)
Osteomielitis jenis ini disebabkan oleh infeksi langsung pada tulang dari
fokus infeksi di dekatnya (misalnya infeksi pada trauma jaringan lunak,
fraktur terbuka, luka bekas operasi, ulkus dekubitus, dan lain-lain).
Osteomielitis ini memiliki puncak distribusi yang bifasik, yakni banyak
dijumpai pada usia muda sekunder akibat trauma dan luka bekas operasi serta
pada usia tua sekunder akibat ulkus dekubitus.
c. Osteomielitis dengan insufisiensi vaskular (osteomielitis sekunder)
Osteomielitis jenis ini biasanya dialami oleh para penderita diabetes mellitus.
Sebagian besar penderita berusia antara 40-70 tahun.
Klasifikasi Waldvogel hingga kini tetap dianggap sebagai klasifikasi utama
osteomielitis, tetapi klasifikasi ini lebih didasarkan atas etiologi penyakit sehingga
kurang dapat digunakan untuk menentukan penatalaksanaan selanjutnya berupa
pemberian antibiotika ataupun pembedahan. Oleh karena itu, berbagai sistem
klasifikasi lain telah dikembangkan dengan menekankan pada aspek-aspek klinis
tertentu dari osteomielitis.
3. Klasifikasi Cierny Mader6:
a. Tipe anatomi:
- Tipe I (osteomielitis medular), bila infeksi terbatas pada daerah
intramedular
- Tipe II (osteomielitis superfisial), bila permukaan tulang yang nekrotik
berhubungan dengan dunia luar dan mengalami infeksi

10

- Tipe III (osteomielitis lokal), ditandai dengan sekuesterasi seluruh korteks


yang dapat diatasi dengan pembedahan tanpa mengurangi stabilitas tulang
- Tipe IV (osteomielitis difusa), proses osteomielitis melibatkan seluruh
bagian tulang dan sudah mengganggu stabilitas tulang
b. Tipe penderita:
- Host A, penderita dengan keadaan fisiologi, metabolisme, dan imunitas
normal
- Host B, penderita dengan penyulit sistemik, atau lokal, atau keduanya
- Host C, penderita yang morbiditasnya menjadi lebih buruk dengan
pengobatan yang diberikan
Sistem klasifikasi Cierny-Mader merupakan contoh sistem yang baik digunakan
dalam mendiagnosis dan menatalaksana osteomielitis pada tulang panjang, karena
sistem ini didasarkan pada anatomi infeksi tulang dan fisiologi penderita.
4. Klasifikasi Kelly7:
a. Osteomielitis hematogen
b. Osteomielitis pada fraktur dengan union
c. Osteomielitis pada fraktur dengan non-union
d. Osteomielitis pascaoperasi tanpa fraktur
Sistem klasifikasi ini menekankan pada etiologi penyakit dan hubungannya
dengan penyembuhan fraktur.
5. Klasifikasi Weiland8:
Weiland mendefinisikan osteomielitis kronis sebagai suatu luka dimana tulang
berhubungan dengan dunia luar, dengan hasil kultur tulang positif, disertai
drainase pus selama lebih dari 6 bulan. Menurut Weiland, jenis luka seperti
dijelaskan di atas bila masih kurang dari 6 bulan belum dapat dianggap suatu
osteomielitis kronis. Lebih jauh lagi, infeksi dibagi berdasarkan keterlibatan
jaringan lunak dan lokasi infeksi tulang sebagai berikut:

11

a. Osteomielitis tipe I, merupakan luka dengan tulang yang terpapar terhadap


dunia luar tanpa adanya bukti infeksi pada tulang tetapi ada bukti infeksi pada
jaringan lunak
b. Osteomielitis tipe II, meliputi infeksi sirkumferensial, kortikal, dan endosteal,
pemeriksaan radiologi menunjukkan gambaran respons inflamasi, peningkatan
densitas tulang, dan sklerosis pada korteks disertai gambaran sekuester dan
involukrum
c. Osteomielitis tipe III, meliputi infeksi kortikal dan endosteal disertai
kerusakan tulang segmental
6. Klasifikasi May9:
a. Tipe I, tibia utuh dan fibula mampu menahan beban fungsional (waktu
pemulihan 6-12 minggu)
b. Tipe II, tibia utuh dan bone graft hanya diperlukan sebagai penyokong
struktural (waktu pemulihan 3-6 bulan)
c. Tipe III, kerusakan tibia 6 cm dengan fibula utuh (waktu pemulihan 6-12
bulan)
d. Tipe IV, kerusakan tibia >6 cm dengan fibula utuh (waktu pemulihan 12-18
bulan)
Sistem klasifikasi ini menekankan pada keadaan tibia setelah dilakukan tindakan
debridement jaringan lunak dan tulang. Sistem ini bermanfaat untuk menentukan
berapa lama waktu pemulihan yang dibutuhkan dalam keadaan ideal sampai
penderita mampu berdiri dan berjalan lagi tanpa menggunakan alat bantu. Namun,
banyak faktor dapat mempengaruhi waktu pemulihan, antara lain umur penderita,
adanya gangguan metabolisme, mobilitas kaki dan pergelangankaki penderita,
keadaan neurovaskular, dan motivasi pasien sendiri.
7. Klasifikasi Gordon10:
Gordon mengklasifikasikan osteomielitis berdasarkan adanya nonunion tibia yang
terinfeksi dan adanya kerusakan segmental:

12

a. Tipe A, kerusakan tibia dan nonunion tanpa disertai hilangnya segmen tulang
yang berarti
b. Tipe B, kerusakan tibia >3 cm dengan fibula utuh
c. Tipe C, kerusakan tibia >3 cm disertai kerusakan fibula
Klasifikasi Gordon bermanfaat untuk menentukan prognosis hasil operasi
transplantasi otot (misalnya keberhasilan penyambungan muscle flap). Setelah
luka dan infeksi ditangani dengan baik, keadaan tulang akan menentukan hasil
klinis selanjutnya.
II.6.

DIAGNOSIS
Gambaran klinis osteomielitis akut sedikit berbeda dengan osteomielitis

kronis.1, 4, 11 Pada osteomielitis akut, gejala-gejala yang dapat dijumpai antara lain:
- demam tinggi (pada neonatus hanya 50%)
- iritabilitas
- kelemahan
- malaise
- pseudoparalisis (pada neonatus)
- nyeri pada daerah yang terkena
- edema lokal dan eritema pada daerah yang terkena
- gangguan pergerakan
Pada osteomielitis kronis, gejala-gejala yang dapat dijumpai antara lain:
- ulkus yang tak sembuh-sembuh, disertai pus
- kelemahan kronis
- malaise
- nyeri dan sulit menggerakkan daerah yang terkena
- demam pada beberapa kasus
Berbagai gejala klinis di atas perlu ditanyakan dalam anamnesis. Selain itu, dari
pemeriksaan fisik mungkin didapatkan tanda-tanda sebagai berikut:

13

- demam
- edema
- hangat pada tungkai yang terlibat
- nyeri tekan
- fluktuasi
- luas gerak sendi berkurang
- fistula dengan pengaliran pus
Dari pemeriksaan laboratorium,1, 3, 11, 12 didapatkan:
1. Pemeriksaan darah rutin:
- leukosit meningkat, menandakan adanya infeksi, tetapi mungkin pula nilai
leukosit tetap normal
- shift to the left
- C-reactive protein umumnya meningkat, tetapi hasil ini tidak spesifik
- LED 90% mengalami peningkatan, tetapi hasil ini juga tidak spesifik
2. Kultur:
- kultur darah untuk menentukan jenis bakteri positif pada 50% penderita
osteomielitis hematogen, kemudian diikuti dengan uji sensitivitas
- kultur/aspirasi dari lokasi infeksi (pada 25% kasus normal)
Dari pemeriksaan radiologis,1, 4, 11, 12 didapatkan:
- Pemeriksaan foto polos dalam sepuluh hari pertama biasanya tidak ditemukan
kelainan radiologis yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan
jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah lewat sepuluh hari
(2 minggu) berupa proses osteolitik dan osteosklerotik, reaksi periosteal,
pembentukan sekuester dan involukrum, disertai pembengkakan jaringan lunak.
- Pemeriksaan radioisotop dengan 99mtechnetium akan memperlihatkan adanya
penangkapan isotop pada daerah lesi.
- Pemeriksaan ultrasonografi memperlihatkan adanya efusi pada daerah sendi.

14

Gambar 1. Contoh hasil foto Rntgen osteomielitis kronis pada kaki kiri. Tampak
kerusakan korteks dan sekuester intramedular. Didapati osteopenia dan osteoporosis
pada bagian distal.
Kriteria diagnosis yang umum digunakan di Indonesia ialah:
1. Didapatkan pus pada aspirasi
2. Kultur darah atau tulang positif
3. Temuan pemeriksaan fisik klasik berupa nyeri tekan pada tulang dengan eritema
dan edema jaringan lunak
4. Hasil pencitraan positif
Diagnosis osteomielitis sudah dapat ditegakkan bila didapatkan positif 2 dari 4
kriteria di atas. Diagnosis banding dari osteomielitis meliputi selulitis, Ewing
sarcoma, osteosarcoma, dan lain-lain.
II.7.

PENATALAKSANAAN
Osteomielitis diobati dengan pemberian antibiotika dan tindakan pembedahan.

Penatalaksanaan konservatif adalah dengan melakukan immobilisasi, tungkai yang


terlibat diistirahatkan dan dielevasi (misalnya dengan back slab atau Thomas splint)
dan memberikan antibiotika penisilin atau cloxacilin dengan probenecid intravena
sebelum hasil kultur didapat, dilanjutkan dengan memberikan antibiotika yang sesuai
dengan hasil uji sensitivitas. Pemberian antibiotika dilakukan selama sedikitnya 4-6
minggu1 dengan memperhatikan keadaan umum dan laju endap darah penderita.

15

Antibiotika biasanya tetap diberikan hingga 2 minggu setelah laju endap darah
kembali ke nilai normal. Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh:
- pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi
- dosis tidak adekuat
- lama pemberian tidak cukup
- timbul resistensi
- kesalahan hasil kultur (laboratorium)
- antibiotika kombinasi yang bersifat antagonis
- pengobatan suportif yang buruk
- kesalahan diagnosis
Indikasi terapi bedah antara lain adalah bila produksi pus banyak, terapi
konservatif gagal, pernderita mengalami nyeri yang hebat, ada sekuester, dicurigai
ada perubahan ke arah keganasan (misalnya epidermoid carcinoma), atau penderita
dengan infeksi pada ujung atas dan bawah femur atau humerus (untuk mencegah
kerusakan epifisis). Saat terbaik untuk melakukan tindakan tindakan pembedahan
adalah ketika involukrum sudah cukup kuat, sehingga fraktur pascaoperasi dapat
dihindari.
II.8.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi1, 3, 12 pada para penderita osteomielitis antara

lain meliputi:
- osteomielitis rekuren (pada 3-40% penderita)
- osteomielitis kronis
- gangguan stabilitas
- gangguan neurologis
- cacat ekstremitas permanen
- kontraktur sendi
- fraktur patologis
- perubahan menjadi keganasan pada jaringan epidermis
- kerusakan epifisis dan gangguan pertumbuhan

16

BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun, beralamat di luar kota, masuk
rumah sakit dengan keluhan bengkak dan sulit menggerakkan tungkai kanan. Pada
anamnesis lebih lanjut, diketahui bahwa keluhan tersebut telah dialami penderita
sejak 3 bulan sebelum datang ke rumah sakit. penderita mengalami keseleo ketika
berjalan. Kemudian timbul bengkak kemerahan di tempat tersebut. Pasien berobat ke
bidan dan bengkak dipecahkan oleh bidan tersebut. Bengkak mengecil namun tetap
ada. Nyeri saat berjalan (+), demam (+). Pada 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,
penderita berobat ke puskesmas dengan keluhan bengkak yang tidak kunjung
sembuh. Nyeri berkurang, demam (-).Gejala-gejala klinis yang dikeluhkan penderita
merupakan gejala-gejala osteomielitis, tetapi diagnosis lain seperti keganasan masih
belum dapat disingkirkan.
Riwayat penyakit dahulu tidak ada. Penderita menyangkal adanya riwayat
penyakit yang sama dalam keluarganya.
Dari pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pernafasan, nadi, tekanan
darah dan suhu berada dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik status lokalis
pada regio cruris dextra pada look terlihat luka dengan drainase nanah. Pada feel,
regio cruris dextra nyeri tekan positif, teraba hangat dan terdapat fluktuasi pada
benjolan. Adanya sinus dengan drainase nanah menandakan bahwa penyakit ini, bila
benar merupakan osteomielitis, bersifat kronis. NVD pasien masih baik dan ROM
aktif pasif terbatas.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium dan
radiologi (foto Rntgen). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit
6800/mm3 dan laju endap darah 8 mm/jam dalam batas normal hal ini dikarenakan
penderita mendapatkan pengobatan antibiotik. Foto Rntgen cruris dextra
menunjukkan

gambaran

osteolitik

(destruksi

tulang)

mengesankan

adanya

osteomielitis kronis. Meskipun gambaran destruksi tulang juga dapat dijumpai pada
osteosarcoma, namun pada foto tersebut tidak tampak gambaran khas berupa

17

Codmans triangle dan sunburst appearance, seperti pada osteosarcoma. Hasil


pemeriksaan penunjang ini sangat mendukung ditegakkannya diagnosis osteomielitis
kronis.
Berdasarkan kriteria diagnosis osteomielitis yang telah dijelaskan pada Bab II,
telah didapatkan positif 3 dari 4 kriteria, sehingga diagnosis osteomielitis kronis
fibula dextra sudah dapat ditegakkan.
Penatalaksanaan terhadap penderita ini meliputi tindakan konservatif dan
operatif. Tindakan konservatif berupa bed rest, diet TKTP, pemberian infus,
pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri, pemberian antibiotik parenteral yang
sesuai dengan hasil kultur dan test resistensi. Kemudian direncanakan tindakan
operatif yaitu debridement dan immobilisasi dengan back slab. Selanjutnya
direncanakan tindakan fisioterapi.
Prognosis penderita quo ad vitam adalah bonam dan quo ad functionam
adalah dubia ad bonam.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang
Lamumpatue.
2. King,

Randall

W.

2006.

Osteomyelitis.

(online)

(available

from:

(available

from:

http://www.emedicine.com/emerg/topic349.htm).
3. Bo-Eisa,

Ahmad.

2005.

Osteomyelitis.

(online)

http://www.emedicine.com/orthoped/topic429.htm).
4. Siregar, Pahurum U. T. 1995. Osteomielitis. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
5. Waldvogel, F. A., Medoff G., Swartz M. N. 1970. Osteomyelitis: A Review of
Clinical Features, Therapeutic Considerations and Unusual Aspects. North
England Journal of Medicine; January 22nd, 1970; 282 (4): 198-206.
6. Cierny G., Mader J. T. 1984. Adult Chronic Osteomyelitis. Orthopaedics 1984;
7:1557.
7. Kelly, P. J. 1984. Infected Nonunion of the Femur and Tibia. Orthopaedics
Clinical Journal of North America; July 1984; 15(3): 481-490.
8. Weiland A. J., Moore J. R., Daniel R. K. 1984. The Efficacy of Free Tissue
Transfer in The Treatment of Osteomyelitis. American Journal of Bone and Joint
Surgery; February 1984; 66(2): 181-193.
9. May J. W. Jr., Jupiter J. B., Weiland A. J., et al. 1989. Clinical Classification of
Post-traumatic Tibial Osteomyelitis. American Journal of Bone and Joint Surgery;
October 1989; 71(9): 1422-1428.
10. Gordon L., Chiu E. J. 1988. Treatment of Infected Non-unions and Segmental
Defects of The Tibia with Staged Microvascular Muscle Transplantation and
Bone-grafting. American Journal of Bone and Joint Surgery; March 1988; 70(3):
377-386.

19

20

Anda mungkin juga menyukai