Case Osteomielitis
Case Osteomielitis
LAPORAN KASUS
I.
II.
IDENTIFIKASI
Nama
: An. K
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 10 tahun
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Bangsa
: Indonesia
MRS
: 21 November 2008
ANAMNESIS
Keluhan utama
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Kesadaran
: compos mentis
RR
: 26 x/ menit
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 108 x/ menit
Suhu
: 36 oC
Keadaan gizi
: cukup
Kepala
Kulit
KGB
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Status lokalis
Regio cruris dextra
Look
Feel
Move
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi
Rontgen cruris dextra AP/Lateral :
-
IV.
Hemoglobin
: 12,5 gr/dl
Hematokrit
: 37 vol %
Leukosit
: 6800 / mm3
Trombosit
: 446.000/mm3
LED
: 8 mm/jam
Hitung jenis
: 0/5/2/64/26/3
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Osteomielitis kronis
Osteosarcoma
V.
DIAGNOSIS
Osteomielitis kronis fibula dextra
VI.
VII.
PENATALAKSAAN
-
Bed rest
Diet TKTP
Rencana fisioterapi
PROGNOSIS
Qua ad vitam
: bonam
Qua ad functionam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
PENDAHULUAN
Osteomielitis merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang, baik oleh bakteri
FREKUENSI
Di Amerika Serikat tercatat angka kejadian osteomielitis adalah satu kasus per
5.000 anak. Angka kejadian osteomielitis pada neonatal sekitar 1 kasus per 1.000
kelahiran hidup. Pada penderita sickle cell anemia, angka kejadian penyakit ini adalah
sekitar 0,36% per tahun. Osteomielitis dapat terjadi pada sekitar 16% pasien yang
sebelumnya mengalami luka tusuk pada kaki, dan angka ini meningkat menjadi 3040% bila pasien menderita diabetes mellitus.2, 3 Tulang yang paling sering mengalami
osteomielitis adalah tibia (50%), disusul oleh femur (30%), fibula (12%), humerus
(3%), ulna (3%), dan radius (2%).3 Di seluruh dunia, angka kejadian osteomielitis
lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada negara-negara maju, antara lain
karena lebih tingginya angka kejadian luka tusuk dan fraktur terbuka serta banyaknya
luka yang terkontaminasi dan terlambat dirawat, sehingga mengalami komplikasi
berupa osteomielitis.
II.3.
ETIOLOGI
Dalam keadaan normal, tulang resisten terhadap infeksi. Namun terdapat
PATOGENESIS
Penyebaran osteomielitis dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:
1. Penyebaran umum
- melalui sirkulasi darah berupa bakterimia dan septikemia
- melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal di daerah-daerah
lain
2. Penyebaran lokal
- abses subperiosteal akibat penerobosan abses melalui periosteum
- selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit
- penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artritis septik
- penyebaran ke medula tulang sekitarnya sehingga sistem sirkulasi dalam tulang
terganggu, yang menyebabkan kematian tulang lokal dengan terbentuknya
tulang mati yang disebut sekuester.
Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis.1, 4 Ada beberapa teori yang
menjelaskan terjadinya infeksi pada daerah metafisis,1 antara lain:
1. Teori vaskular (Trueta)
Pada daerah metafisis terdapat banyak pembuluh darah yang berkelok-kelok dan
membentuk sinus-sinus, sehingga aliran darah pada daerah ini menjadi lebih
lambat. Lambatnya aliran darah menyebabkan bakteri mudah berkembang biak.
2. Teori fagositosis (Rang)
Metafisis merupakan daerah pembentukan sistem retikulo-endotelial. Bila terjadi
infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur yang banyak terdapat di
daerah ini. Akan tetapi, pada daerah ini juga terdapat sel-sel fagosit imatur yang
tidak dapat memfagosit bakteri sehingga beberapa bakteri tidak difagosit dan
dapat berkembang biak.
3. Teori trauma
Dari percobaan pada binatang, bila dilakukan trauma artifisial maka akan terjadi
hematoma pada daerah lempeng epifisis. Bila setelah itu dilakukan penyuntikan
bakteri secara intravena, maka akan terjadi infeksi pada daerah hematoma
tersebut.
Patogenesis osteomielitis bersifat multifaktorial dan masih belum banyak
dipahami. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi sehingga dapat
menyebabkan osteomielitis ialah umur penderita, daya tahan tubuh, lokasi infeksi,
serta virulensi kuman.1, 3 Infeksi pada tulang dapat terjadi dari fokus infeksi di tempat
lain melalui aliran darah. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam juksta epifisis
pada daerah metafisis tulang panjang. Selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di
daerah metafisis disertai pembentukan pus. Jaringan tulang tidak dapat berekspansi,
sehingga pembentukan pus di dalam tulang akan mengakibatkan tekanan dalam
tulang meningkat. Peningkatan tekanan dalam tulang akan mengganggu sirkulasi dan
menyebabkan trombosis pada pembuluh darah tulang, sehingga akhirnya tulang akan
mengalami nekrosis membentuk sekuester. Jaringan periosteum yang terangkat oleh
pus kemudian akan membentuk jaringan tulang baru di bawahnya, yang dikenal
sebagai reaksi periosteal. Di dalam tulang itu sendiri dibentuk tulang baru, baik pada
trabekula maupun korteks, sehingga tulang terlihat lebih radioopak dan dikenal
sebagai sklerosis. Tulang yang dibentuk di bawah periosteum ini membentuk
bungkus bagi tulang lama dan disebut involukrum. Pembentukan pus yang terus
menerus akan menembus tulang, lalu pus tersebut keluar melalui lubang di
involukrum yang disebut kloaka, terus menembus jaringan lunak dan kulit lalu keluar
melalui muara fistula di permukaan kulit. Bila hingga tahap ini osteomielitis belum
mendapat pengobatan yang adekuat, maka penyakit akan berkembang menjadi kronis.
Berdasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis,
terdapat tiga jenis proses patologis pada osteomielitis, yaitu:
1. Pada bayi
Pada bayi, kapiler-kapiler kecil menyeberangi lempeng epifisis, sehingga infeksi
dapat menyebar dari metafisis dan epifisis ke dalam sendi. Dengan demikian,
seluruh tulang termasuk persendian dapat terkena infeksi.
2. Pada anak-anak
Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta proses penulangan yang sempurna,
maka risiko infeksi pada epifisis berkurang. Lempeng epifisis resisten terhadap
infeksi. Selain itu, antara metafisis dan epifisis tidak ada hubungan vaskularisasi
yang berarti. Infeksi pada sendi hanya dapat terjadi bila ada infeksi langsung
intra-artikular.
3. Pada orang dewasa
Pada orang dewasa, lempeng epifisis telah hilang sehingga infeksi dapat meyebar
ke epifisis. Walaupun demikian, infeksi intra-artikular sangat jarang terjadi. Abses
subperiosteal juga lebih sulit terjadi karena periosteum melekat erat dengan
korteks.
II.5.
KLASIFIKASI
Terdapat beberapa macam klasifikasi osteomielitis, antara lain klasifikasi
10
11
12
a. Tipe A, kerusakan tibia dan nonunion tanpa disertai hilangnya segmen tulang
yang berarti
b. Tipe B, kerusakan tibia >3 cm dengan fibula utuh
c. Tipe C, kerusakan tibia >3 cm disertai kerusakan fibula
Klasifikasi Gordon bermanfaat untuk menentukan prognosis hasil operasi
transplantasi otot (misalnya keberhasilan penyambungan muscle flap). Setelah
luka dan infeksi ditangani dengan baik, keadaan tulang akan menentukan hasil
klinis selanjutnya.
II.6.
DIAGNOSIS
Gambaran klinis osteomielitis akut sedikit berbeda dengan osteomielitis
kronis.1, 4, 11 Pada osteomielitis akut, gejala-gejala yang dapat dijumpai antara lain:
- demam tinggi (pada neonatus hanya 50%)
- iritabilitas
- kelemahan
- malaise
- pseudoparalisis (pada neonatus)
- nyeri pada daerah yang terkena
- edema lokal dan eritema pada daerah yang terkena
- gangguan pergerakan
Pada osteomielitis kronis, gejala-gejala yang dapat dijumpai antara lain:
- ulkus yang tak sembuh-sembuh, disertai pus
- kelemahan kronis
- malaise
- nyeri dan sulit menggerakkan daerah yang terkena
- demam pada beberapa kasus
Berbagai gejala klinis di atas perlu ditanyakan dalam anamnesis. Selain itu, dari
pemeriksaan fisik mungkin didapatkan tanda-tanda sebagai berikut:
13
- demam
- edema
- hangat pada tungkai yang terlibat
- nyeri tekan
- fluktuasi
- luas gerak sendi berkurang
- fistula dengan pengaliran pus
Dari pemeriksaan laboratorium,1, 3, 11, 12 didapatkan:
1. Pemeriksaan darah rutin:
- leukosit meningkat, menandakan adanya infeksi, tetapi mungkin pula nilai
leukosit tetap normal
- shift to the left
- C-reactive protein umumnya meningkat, tetapi hasil ini tidak spesifik
- LED 90% mengalami peningkatan, tetapi hasil ini juga tidak spesifik
2. Kultur:
- kultur darah untuk menentukan jenis bakteri positif pada 50% penderita
osteomielitis hematogen, kemudian diikuti dengan uji sensitivitas
- kultur/aspirasi dari lokasi infeksi (pada 25% kasus normal)
Dari pemeriksaan radiologis,1, 4, 11, 12 didapatkan:
- Pemeriksaan foto polos dalam sepuluh hari pertama biasanya tidak ditemukan
kelainan radiologis yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan
jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah lewat sepuluh hari
(2 minggu) berupa proses osteolitik dan osteosklerotik, reaksi periosteal,
pembentukan sekuester dan involukrum, disertai pembengkakan jaringan lunak.
- Pemeriksaan radioisotop dengan 99mtechnetium akan memperlihatkan adanya
penangkapan isotop pada daerah lesi.
- Pemeriksaan ultrasonografi memperlihatkan adanya efusi pada daerah sendi.
14
Gambar 1. Contoh hasil foto Rntgen osteomielitis kronis pada kaki kiri. Tampak
kerusakan korteks dan sekuester intramedular. Didapati osteopenia dan osteoporosis
pada bagian distal.
Kriteria diagnosis yang umum digunakan di Indonesia ialah:
1. Didapatkan pus pada aspirasi
2. Kultur darah atau tulang positif
3. Temuan pemeriksaan fisik klasik berupa nyeri tekan pada tulang dengan eritema
dan edema jaringan lunak
4. Hasil pencitraan positif
Diagnosis osteomielitis sudah dapat ditegakkan bila didapatkan positif 2 dari 4
kriteria di atas. Diagnosis banding dari osteomielitis meliputi selulitis, Ewing
sarcoma, osteosarcoma, dan lain-lain.
II.7.
PENATALAKSANAAN
Osteomielitis diobati dengan pemberian antibiotika dan tindakan pembedahan.
15
Antibiotika biasanya tetap diberikan hingga 2 minggu setelah laju endap darah
kembali ke nilai normal. Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh:
- pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi
- dosis tidak adekuat
- lama pemberian tidak cukup
- timbul resistensi
- kesalahan hasil kultur (laboratorium)
- antibiotika kombinasi yang bersifat antagonis
- pengobatan suportif yang buruk
- kesalahan diagnosis
Indikasi terapi bedah antara lain adalah bila produksi pus banyak, terapi
konservatif gagal, pernderita mengalami nyeri yang hebat, ada sekuester, dicurigai
ada perubahan ke arah keganasan (misalnya epidermoid carcinoma), atau penderita
dengan infeksi pada ujung atas dan bawah femur atau humerus (untuk mencegah
kerusakan epifisis). Saat terbaik untuk melakukan tindakan tindakan pembedahan
adalah ketika involukrum sudah cukup kuat, sehingga fraktur pascaoperasi dapat
dihindari.
II.8.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi1, 3, 12 pada para penderita osteomielitis antara
lain meliputi:
- osteomielitis rekuren (pada 3-40% penderita)
- osteomielitis kronis
- gangguan stabilitas
- gangguan neurologis
- cacat ekstremitas permanen
- kontraktur sendi
- fraktur patologis
- perubahan menjadi keganasan pada jaringan epidermis
- kerusakan epifisis dan gangguan pertumbuhan
16
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun, beralamat di luar kota, masuk
rumah sakit dengan keluhan bengkak dan sulit menggerakkan tungkai kanan. Pada
anamnesis lebih lanjut, diketahui bahwa keluhan tersebut telah dialami penderita
sejak 3 bulan sebelum datang ke rumah sakit. penderita mengalami keseleo ketika
berjalan. Kemudian timbul bengkak kemerahan di tempat tersebut. Pasien berobat ke
bidan dan bengkak dipecahkan oleh bidan tersebut. Bengkak mengecil namun tetap
ada. Nyeri saat berjalan (+), demam (+). Pada 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,
penderita berobat ke puskesmas dengan keluhan bengkak yang tidak kunjung
sembuh. Nyeri berkurang, demam (-).Gejala-gejala klinis yang dikeluhkan penderita
merupakan gejala-gejala osteomielitis, tetapi diagnosis lain seperti keganasan masih
belum dapat disingkirkan.
Riwayat penyakit dahulu tidak ada. Penderita menyangkal adanya riwayat
penyakit yang sama dalam keluarganya.
Dari pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pernafasan, nadi, tekanan
darah dan suhu berada dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik status lokalis
pada regio cruris dextra pada look terlihat luka dengan drainase nanah. Pada feel,
regio cruris dextra nyeri tekan positif, teraba hangat dan terdapat fluktuasi pada
benjolan. Adanya sinus dengan drainase nanah menandakan bahwa penyakit ini, bila
benar merupakan osteomielitis, bersifat kronis. NVD pasien masih baik dan ROM
aktif pasif terbatas.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium dan
radiologi (foto Rntgen). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit
6800/mm3 dan laju endap darah 8 mm/jam dalam batas normal hal ini dikarenakan
penderita mendapatkan pengobatan antibiotik. Foto Rntgen cruris dextra
menunjukkan
gambaran
osteolitik
(destruksi
tulang)
mengesankan
adanya
osteomielitis kronis. Meskipun gambaran destruksi tulang juga dapat dijumpai pada
osteosarcoma, namun pada foto tersebut tidak tampak gambaran khas berupa
17
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang
Lamumpatue.
2. King,
Randall
W.
2006.
Osteomyelitis.
(online)
(available
from:
(available
from:
http://www.emedicine.com/emerg/topic349.htm).
3. Bo-Eisa,
Ahmad.
2005.
Osteomyelitis.
(online)
http://www.emedicine.com/orthoped/topic429.htm).
4. Siregar, Pahurum U. T. 1995. Osteomielitis. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
5. Waldvogel, F. A., Medoff G., Swartz M. N. 1970. Osteomyelitis: A Review of
Clinical Features, Therapeutic Considerations and Unusual Aspects. North
England Journal of Medicine; January 22nd, 1970; 282 (4): 198-206.
6. Cierny G., Mader J. T. 1984. Adult Chronic Osteomyelitis. Orthopaedics 1984;
7:1557.
7. Kelly, P. J. 1984. Infected Nonunion of the Femur and Tibia. Orthopaedics
Clinical Journal of North America; July 1984; 15(3): 481-490.
8. Weiland A. J., Moore J. R., Daniel R. K. 1984. The Efficacy of Free Tissue
Transfer in The Treatment of Osteomyelitis. American Journal of Bone and Joint
Surgery; February 1984; 66(2): 181-193.
9. May J. W. Jr., Jupiter J. B., Weiland A. J., et al. 1989. Clinical Classification of
Post-traumatic Tibial Osteomyelitis. American Journal of Bone and Joint Surgery;
October 1989; 71(9): 1422-1428.
10. Gordon L., Chiu E. J. 1988. Treatment of Infected Non-unions and Segmental
Defects of The Tibia with Staged Microvascular Muscle Transplantation and
Bone-grafting. American Journal of Bone and Joint Surgery; March 1988; 70(3):
377-386.
19
20