yang
tidak
transparan,
bersifat
prismatis
dan
penuh
dengan
3. Anggapan Dasar
Sehabis membaca cerpen "Armageddon" karya Danarto yang dimuat
dalam buku kumpulan cerpen Godlob (Jakarta: Grafiti Pres, cetakan ketiga
1987:75--89) timbul berbagai kesan sebagai anggapan dasar penulis dalam
menganalisis cerpen tersebut dengan pendekatan stilistika. Kesan atau
tanggapan secara intuitif itu timbul karena pengaruh dari efek pembacaan yang
mencoba melibatkan diri masuk ke dalam cerita tersebut. Kesan sebagai
anggapan dasar tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Judul cerita pendek "Armageddon" itu tampak aneh, tidak biasa, dan tidak
sekadar judul cerita yang tak bermakna. "Armageddon" mungkin nama
tokoh, tapi dalam cerita itu tidak pernah satu kata pun yang menyebutkan
nama "armageddon". Padahal, judul cerita biasanya menggambarkan
topik dan tema. Lalu, apa sebenarnya "armageddon" itu? Mungkin nama
suatu tempat? Mungkin pula suatu lambang? Lambang benda atau
lambang tempat dan suasana? Jika benar "armageddon" itu suatu
lambang, tentu nama-nama tokoh dalam cerpen itu--Bekakrak-an, Ibu,
Anak, dan Boneka--sebagai lambang pula. Lalu, lambang-lambang
apakah kata-kata yang disebutkan itu?
2.
Gaya bercerita pengarang cerpen ini lebih terasa sebagai gaya bercerita
eksperimental, yakni menggabungkan unsur sajak yang bergaya mantra
(bersifat puitis) dengan unsur naratif (bersifat uraian) yang disertai dengan
dialog-dialog (cakapan) menarik antartokoh-tokohnya. Gaya bercerita
pengarang seperti itu menimbulkan kalimat-kalimat yang puitis--ritme
dinamis karena terdapat variasi kalimat-kalimat yang pendek dan panjang,
dan banyak repetisi atau perulangan. Pembaca seolah-olah tersihir oleh
irama mantra yang mendayu-dayu dari awal hingga akhir cerita.
3.
serius sehingga terasa adanya sebuah parodi, lelucon, dan ejekan atau
satire.
Sejumlah kesan di atas menjadi dasar analisis stilistika terhadap cerpen
"Armageddon" karya Danarto. Kesan yang pertama akan dibuktikan melalui
analisis pemilihan leksikal atau diksi. Kesan kedua akan dibuktikan melalui
analisis penyiasatan struktur wacana. Akhirnya, kesan yang ketiga akan
dibuktikan melalui analisis pemajasan, seperti pemakaian gaya penginsanan
(personifikasi) yang cukup dominan, dan pemakaian gaya perbandingan, baik
perbandingan secara langsung (metafora) maupun perbandingan tidak langsung
(simile).
4. Pembahasan
Sebagaimana telah diutarakan di atas, cerpen "Armageddon" karya
Danarto akan dianalisis melalui pendekatan stilistika. Dengan pendekatan ini
diharapkan dapat ditunjukkan secara nyata hubungan antara kebahasaan
(sebagai sarana ekspresi pengarang) dengan nilai artistik yang terkandung
dalam cerpen "Armageddon" tersebut.
4.1 Pemilihan Leksikal
Pemilihan leksikal (diksi) dalam cerita pendek "Armageddon" karya
Danarto mengacu kepada pengertian kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh
pengarang. Cerita pendek itu merupakan dunia dalam kata sehingga komunikasi
dilakukan dan diinterpretasikan melalui kata-kata yang dipilih pengarang dengan
maksud dan tujuan tertentu. Sudah barang tentu kata-kata itu melalui
pertimbangan pengarang untuk memperoleh efek estetis. Pembahasan leksikal
ini akan dikaitkan dengan suasana kisahan dan lambang kehidupan. Analisis
leksikal sebuah cerpen "Armageddon" tidak murni terpisah berdiri sendiri, tetapi
tetap dalam kaitan dengan konteks cerita.
Kata armegeddon--sebagai judul cerita pendek--tidak ditemukan dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1995). Dalam Kamus Inggris Indonesia
Shadily (1996) pun tidak ditemukan kata atau istilah armageddon. Kata
armageddon baru dapat ditemukan dalam buku Al Kitab, Wahyu 16: 16, berasal
dari bahasa Iberani: Harmageddon. Brewer (1923: 62) menjelaskan bahwa
armageddon menurut riwayatnya adalah nama tempat perang besar antara
bangsa-bangsa sebelum hari pengadilan. Kemudian, kata armageddon itu
berkembang artinya menjadi sebuah nama perang besar atas pembunuhan yang
dilakukan oleh orang-orang biadab. Nama Armageddon juga merujuk dalam Al
Kitab bab-bab yang lain, seperti Kitab Hakim-hakim (5:19) nama tempat
peperangan raja-raja Kanaan itu dinamai Megido; Kitab Hakim-hakim (31:1)
nama tempat peperangan orang Filistin dengan orang Israil itu dinamai
pegunungan Gilboa; Kitab Raja-Raja yang kedua (9:27) nama tempat
peperangan itu dinamai Megido; dan Kitab Nabi Zacharia (12:11) nama tempat
peperangan besar itu adalah lembah Megidon.
Lebih lanjut, Brewer (1923:62) menjelaskan bahwa bukit Megido atau
lembah Megidon di pegunungan Gilboa--sekarang bernama Leyyun, kira-kira 87
km sebelah utara kota Yerusalem--merupakan pegunungan tandus, dataran yang
penuh batu-batu, gersang dan kering-kerontang. Danarto dalam cerpen
"Armageddon"-nya melukiskan keseraman dataran pegunungan yang tandus
dan penuh batu-batu itu sebagai berikut.
Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu.
Belalang mencuat mengorak sayapnya, ilalang pucat karena panasNya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput dataran ilalang.
Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remas-Nya menjadi
debu. Dan debu diterbangkan angin ke segala penjuru. Batu-batu.
Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali.
Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput.
Jarang sekali. Rumput-rumput pun susah hidup di sini. Angin
berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap
menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut
dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan
batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, lebih jauh lagi, menumbuk
bongkahan batu-batu lagi, terkapar tunggang langgang, kusutmasai, hingga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang
menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa....
(Danarto, 1987:75).
Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa Bekakrak-an adalah bantuk
makhluk yang aneh, benda berwarna hitam, melayang-layang di atas, berkepala
tetapi tak punya badan, dan gigi-giginya ompong. Watak dan tingkah laku
Bekakrak-an adalah menjijikan, mengerikan, pengkhianat, porak-poranda,
penjilat bobrok, penohok kawan seiring, dan penggunting dalam lipatan. Itulah
sebabnya pengertian bekakrakan bahasa Jawa dengan konteks cerita ini tidak
sesuai. Mungkin yang dimaksud dalam teks itu adalah bekasaan, yang artinya:
hantu rimba; bekakak, yang artinya: ayam atau bebek panggang (berwarna
hitam) untuk sesajian; dan atau bekakrah, yang artinya: porak-poranda,
berserakan
(Mardiwarsito,
et
al.
1985:30).
Berhubung
cerita
pendek
dikuasai nafsu syahwatnya. Kedua tokoh ini sebagai perlambang nafsu amarah
karena digambarkan Danarto sebagai manusia-manusia yang masih kuat
dipengaruhi oleh nafsu syahwatnya. Perhatikan kutipan berikut.
"O, Bonekaku. Perkosalah aku habis-habisan, hingga lumat licin
tandas. Aku rindu kekurangajaran. Aku rindu kebuasan. Adakah
kepuasan melebihi itu? Aku serahkan tubuhku bulat-bulat malam ini
dan malam-malam selanjutnya. Remuk redamkan aku hingga aku
memperoleh kelezatan yang paling puncak."
(Danarto, 1987: 84)
Harun (1985:31) menyatakan bahwa nafsu amarah merupakan jiwa
manusia yang lebih condong pada kebutuhan jasmaniah, condong pada
kelezatan dan syahwat, dan mendorong manusia ke arah perbuatan tercela.
Anak dan Boneka melakukan adegan kenikmatan jasmani itu dalam lima hari
lima malam sebanyak dua puluh kali (hlm. 85). Pada akhir cerita, ternyata
Boneka adalah seorang bandot: "Di sana, di seberang sana, di balik bongkahan
batu, ibu itu melihat si Boneka sedang bersetubuh dengan seorang gadis."
(Danarto, 1987:88).
Pemilihan leksikal dalam cerpen "Armageddon" karya Danarto ini sudah
memadai sebagai dunia perlambang yang merujuk maknanya pada dunia
tasawuf. Melalui cerita pendeknya itu Danarto ingin mengemukakan bahwa dunia
sufi atau tasawuf itu penuh dengan lambang-lambang kehidupan. Lambang
kehidupan itu baru bermakna apabila telah mendapatkan penafsiran maknanya
secara signifikan. Secara sederhana dibuat bagan sebagai berikut.
10
antartokoh-tokohnya. Gaya bercerita pengarang seperti itu menimbulkan kalimatkalimat yang puitis--ritme dinamis karena terdapat variasi kalimat-kalimat yang
pendek dan panjang, dan banyak repetisi atau perulangan. Pembaca seolaholah tersihir oleh irama mantra yang mendayu-dayu dari awal hingga akhir cerita.
Perhatikan kutipan paparan puitis pembukaan cerpen yang ditampilkan dalam
bentuk mantra berikut.
Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu.
Belalang mencuat mengorak sayapnya, ilalang pucat karena panasNya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput dataran ilalang.
Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remas-Nya menjadi
debu. Dan debu diterbangkan angin ke segala penjuru. Batu-batu.
Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali.
Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput.
Jarang sekali. Rumput-rumput pun susah hidup di sini. Angin
berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap
menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut
dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan
batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, lebih jauh lagi, menumbuk
bongkahan batu-batu lagi, terkapar tunggang langgang, kusutmasai, hingga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang
menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa (Danarto,
1977: 451).
Kutipan di atas menunjukkan adanya gaya paparan yang sangat puitis.
Rangkaian kata yang membentuk kalimat-kalimat puitis digunakan sebagai
pembuka cerita di atas pada hakikatnya sebuah mantra. Perulangan bunyi kata
yang terus-menerus mampu memukau pembaca dan menjinakkan kita ikut larut
dalam dunia imajinasi yang sama sekali asing. Dunia yang dahsyat itu seakanakan mampu membuat pembaca terlena dan terpesona karena pengaruh
"ampuh" mantra yang diucapakannya. Mantra Danarto menjadi sempurna
memukau pembaca secara dahyat dengan cara menghidupkan benda-benda
mati dengan gaya pengisanan, seperti dihidupkannya batu, angin, rumput,
ilalang, udara, dan debu.
Kalau kita perhatikan secara cermat pemakaian kalimat pendek-pendek
dalam pembuka cerita tersebut, banyak terdapat bentuk kalimat yang hanya
"menyerupai kalimat" saja. Secara ejaan memang kalimat itu diawali dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca terminal, misalnya tanda titik karena
12
13
14
Bagian
Pembukaan
Isi
Pencerita menyampaikan paparan
tentang dataran tandus penuh batubatu, banyak debu, udara
menyesakan paru-paru, dan
penginsanan nasib rumput kering yang
merana tertumbuk batu.
Penyajian
Naratif bergaya mantra dan
atau pantun kilat (karmina)
dengan bentuk kalimatkalimatnya yang pendekpendek dan banyak yang tidak
sempurna.
Eksperimen
cerita
pendek
bergaya
mantra
oleh
Danarto
tetap
dipertahankan mulai dari awal hingga akhir cerita. Cerita yang dahsyat, seru, dan
menyeramkan ini dibuka dengan gaya mantra dan ditutup dengan gaya mantra
pula. Pembaca seolah-olah tersihir oleh bunyi-bunyi mantra yang menyeramkan.
Tokoh Ibu yang dihasut oleh Bekakrak-an sampai hati membunuh Anak-nya
sendiri karena rebutan pacarnya, si Boneka yang ternyata bandot. Kalimatkalimat bersajak mantra berikut dapat menjelaskan hal itu.
Bekakrak-an tertawa-tawa dan mulutnya menyambar semburan
darah itu. Setelah semburan darah itu ludes diserotnya, maka
merahlah wajah Bekakrak-an dan terbahak-bahak karena panas.
Hausnya telah terpenuhi. Darah yang diminumnya tampak menjalarjalar dalam kerongkongannya, paru-parunya, jantungnya, limpanya,
ususnya, urat darahnya, dan urat syarafnya.
Semburan cahaya darah.
Langit darah.
udara darah
15
4.3 Pemajasan
Pemajasan 'figures of speech' (Leech & Short, 1981: 88), yaitu cara
berbahasa yang menggunakan perbandingan, yang termasuk di dalamnya dalah
penginsanan, simile, dan metafora. Penginsanan menyaran pada benda mati
yang dihidupan seolah-olah dapat bergerak, berpikir, dan berperasaan seperti
lazimnya manusia. Simile menyaran pada perbandingan yang langsung dan
eksplisit dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu, seperti kata seperti,
sebagai, bagaikan, merasa, laksana, bak, dan semisal. Metafora merupakan
perbanding langsung tanpa menggunakan kata-kata tugas tertentu. Dalam
cerpen "Armageddon" dapat kita temukan bentuk-bentuk pemajasan sebagai
berikut.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Kembali dataran tandus itu akan mulai tidur, mengasu dari segala
kegiatan.
(7)
(8)
(9)
Seorang ibu yang ayu, lembut dengan dandanan seperti seorang ratu,
kulit kuning langsat, rambut hitam legam panjang.
17
antara nafsu kebaikan dengan nafsu kejahatan. Imaji-imaji itu dibangun dari
susunan kata yang puitis, bunyi yang padu, gaya kalimat yang penuh dengan
repetisi, dan pemajasan yang menghadirkan sebuah metafora kehidupan untuk
menyadarkan kita dari mimpi dan tidur yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, et al. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Brewer, Cobhan E. 1923. A Dictionary of Phrasa and Fable. London: Cassel an
Company.
Carter, Ronald (ed.). 1982. Language and Literature. An Introductory Reader in
Stylistics. London, Boston, Sydney: George Allen & Unwin Ltd.
Danarto. 1969. "Armageddon" dalam Horison 6/IV, Juni 1969.
------- 1977. "Armageddon" dalam Ajip Rosidi (ed.) Laut Biru Langit Biru. Jakarta:
Pustaka Jaya.
------- 1987. "Armageddon" dalam Goblob. Cetakan Ketiga. Jakarta: Grafiti Press.
Echols, John M. and Hasan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan
XXIII. Jakarta:Gramedia.
Hardjoprakosa, Sumantri. 1989. Arsip
Paguyuban Ngesti Tunggal.
Sarjana
Budi
Santosa.
Jakarta:
Harun, Ramli. et al. 1985. Kamus Istilah Tasawuf. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Leech, Geoffrey N. and Michael H. Short. 1981. Style in Fiction. London and New
York: Longman Inc.
Mardiwarsito, L. et al. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I & II. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tim Alkitab. 1993. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
18
19