Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS STILISTIKA

CERPEN "ARMAGEDDON" KARYA DANARTO


Puji Santosa
1. Pengantar
Cerita pendek (cerpen) merupakan jenis karya sastra yang paling banyak
dibaca orang dengan pemahaman yang cukup memadai. Mungkin sajak atau
puisi banyak juga dibaca dan dideklamasikan orang, namun sering kali pembaca
sajak atau deklamator kurang memahami sepenuhnya dengan sajak yang
bersangkutan. Memang sebuah cerpen yang konvensional relatif mudah
dipahami oleh pembaca karena mengungkapkan hal-hal yang transparan. Sajak
atau puisi lebih banyak menggunakan bahasa kias, majas, dan perlambang
sehingga lebih bersifat prismatis. Sebaliknya, cerpen lebih banyak menggunakan
bahasa yang lugas dan mengacu pada makna denotatif sehingga lebih bersifat
transparan. Akan tetapi, sebenarnya pemahaman pembaca terhadap karya
sastra sangat relatif. Memang ada sajak yang transparan dan mudah
pemahamannya, misalnya sajak-sajak balada karya W.S. Rendra. Ada pula
cerpen

yang

tidak

transparan,

bersifat

prismatis

dan

penuh

dengan

perlambangan. Cerpen seperti itu, misalnya, "Armageddon" karya Danarto yang


tidak sekadar cerita transparan.
Cerpen "Armageddon" karya Danarto selesai ditulis di kota Bandung, 24
Juni 1968. Cerpen ini muncul pertama kali di majalah sastra Horison Nomor 6,
Tahun IV, Juni 1969. Lima tahun kemudian, cerpen "Armageddon" diterbitkan
bersama kumpulan cerpen yang lainnya dalam Godlob (Jakarta: Rombongan
Dongeng dari Dirah, 1974). Ajip Rosidi juga menerbitkan cerpen "Armageddon"
dalam bukunya Laut Biru Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977:451--462).
Sukses besar cerpen-cerpen Danarto ini kemudian diterbitkan ulang dengan
judul yang sama, Godlob, oleh penerbit Grafiti Pres (1987) dengan "Kata
Pengantar" Sapardi Djoko Damono. Tidaklah berlebihan apabila cerpen
"Armageddon" ini dijadikan sampel oleh penulis dalam analisis stilistika. Hal ini
beralasan bahwa bentuk cerpen karya Danarto ini merupakan cerpen

eksperimental, yakni menggabungkan unsur sajak yang putis bergaya mantra


dengan unsur naratif yang lain, termasuk unsur dramatiknya, sehingga
menjadikan cerita yang menarik.
2. Kerangka Teori
Stilistika adalah cabang ilmu linguistik terapan yang mengarah kepada
studi tentang gaya (style) atau kajian terhadap wujud pemakaian kebahasaan,
khususnya yang terdapat dalam karya sastra (Lecch & Short, 1981:13).
Sebenarnya, kajian stilistika itu tidak hanya terbatas pada ragam karya sastra,
tetapi dapat diterapkan terhadap berbagai ragam pemakaian bahasa. Hanya
saja, pada umumnya kajian stilistika lebih sering dikaitkan dengan ragam bahasa
sastra. Dalam kajian sastra, biasanya stilistika dimaksudkan untuk menerangkan
hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Leecch & Short,
1981:13).
Gaya (style) artinya suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung
sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam
konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, dalam bentuk tertentu, dan untuk
tujuan tertentu (Leech & Short, 1981:10). Itulah sebabnya gaya (style) sangat
bergantung pada konteks, bentuk, dan tujuan yang hendak dicapai. Gaya (style)
bahasa dalam kesusastraan memang ditulis dalam konteks kesastraan,
memakai bentuk-bentuk tertentu, dan bertujuan untuk memperoleh afek artistik
yang bermakna (menonjol).
Analisis stilistika, seperti yang disarankan oleh Leech & Short (1981:75-80), dapat diarahkan pada semua kategori kebahasaan, yaitu leksikal,
gramatikal, pemakaian majas, dan kohesi dan konteks. Atas dasar teori Leech &
Short (1981) cerpen "Armagedon" karya Danarto akan dianalisis dengan
pendekatan stilistika yang memumpunkan pada masalah gaya bahasa
pengarang, terutama yang berhubungan dengan (1) pemilihan leksikal yang
dihubungkan dengan dunia perlambang, (2) penyiasatan struktur kalimat yang
dihubungkan dengan gaya bercerita yang menyerupai mantra, dan (3)
pemajasan yang meliputi personifikasi, metafora, dan simile.

3. Anggapan Dasar
Sehabis membaca cerpen "Armageddon" karya Danarto yang dimuat
dalam buku kumpulan cerpen Godlob (Jakarta: Grafiti Pres, cetakan ketiga
1987:75--89) timbul berbagai kesan sebagai anggapan dasar penulis dalam
menganalisis cerpen tersebut dengan pendekatan stilistika. Kesan atau
tanggapan secara intuitif itu timbul karena pengaruh dari efek pembacaan yang
mencoba melibatkan diri masuk ke dalam cerita tersebut. Kesan sebagai
anggapan dasar tersebut adalah sebagai berikut.
1.

Judul cerita pendek "Armageddon" itu tampak aneh, tidak biasa, dan tidak
sekadar judul cerita yang tak bermakna. "Armageddon" mungkin nama
tokoh, tapi dalam cerita itu tidak pernah satu kata pun yang menyebutkan
nama "armageddon". Padahal, judul cerita biasanya menggambarkan
topik dan tema. Lalu, apa sebenarnya "armageddon" itu? Mungkin nama
suatu tempat? Mungkin pula suatu lambang? Lambang benda atau
lambang tempat dan suasana? Jika benar "armageddon" itu suatu
lambang, tentu nama-nama tokoh dalam cerpen itu--Bekakrak-an, Ibu,
Anak, dan Boneka--sebagai lambang pula. Lalu, lambang-lambang
apakah kata-kata yang disebutkan itu?

2.

Gaya bercerita pengarang cerpen ini lebih terasa sebagai gaya bercerita
eksperimental, yakni menggabungkan unsur sajak yang bergaya mantra
(bersifat puitis) dengan unsur naratif (bersifat uraian) yang disertai dengan
dialog-dialog (cakapan) menarik antartokoh-tokohnya. Gaya bercerita
pengarang seperti itu menimbulkan kalimat-kalimat yang puitis--ritme
dinamis karena terdapat variasi kalimat-kalimat yang pendek dan panjang,
dan banyak repetisi atau perulangan. Pembaca seolah-olah tersihir oleh
irama mantra yang mendayu-dayu dari awal hingga akhir cerita.

3.

"Armageddon" hanyalah sebuah metafora kehidupan perang melawan


hawa nafsu, antara nafsu baik dan nafsu buruk. Sebuah metafora
kehidupan itu tidak disampaikan dengan bahasa yang lugas, tetapi
disampaikan melalui gaya yang penuh dengan pemajasan. Gaya metafora
kehidupan yang disampaikan dalam bentuk tidak sungguh-sungguh atau

serius sehingga terasa adanya sebuah parodi, lelucon, dan ejekan atau
satire.
Sejumlah kesan di atas menjadi dasar analisis stilistika terhadap cerpen
"Armageddon" karya Danarto. Kesan yang pertama akan dibuktikan melalui
analisis pemilihan leksikal atau diksi. Kesan kedua akan dibuktikan melalui
analisis penyiasatan struktur wacana. Akhirnya, kesan yang ketiga akan
dibuktikan melalui analisis pemajasan, seperti pemakaian gaya penginsanan
(personifikasi) yang cukup dominan, dan pemakaian gaya perbandingan, baik
perbandingan secara langsung (metafora) maupun perbandingan tidak langsung
(simile).
4. Pembahasan
Sebagaimana telah diutarakan di atas, cerpen "Armageddon" karya
Danarto akan dianalisis melalui pendekatan stilistika. Dengan pendekatan ini
diharapkan dapat ditunjukkan secara nyata hubungan antara kebahasaan
(sebagai sarana ekspresi pengarang) dengan nilai artistik yang terkandung
dalam cerpen "Armageddon" tersebut.
4.1 Pemilihan Leksikal
Pemilihan leksikal (diksi) dalam cerita pendek "Armageddon" karya
Danarto mengacu kepada pengertian kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh
pengarang. Cerita pendek itu merupakan dunia dalam kata sehingga komunikasi
dilakukan dan diinterpretasikan melalui kata-kata yang dipilih pengarang dengan
maksud dan tujuan tertentu. Sudah barang tentu kata-kata itu melalui
pertimbangan pengarang untuk memperoleh efek estetis. Pembahasan leksikal
ini akan dikaitkan dengan suasana kisahan dan lambang kehidupan. Analisis
leksikal sebuah cerpen "Armageddon" tidak murni terpisah berdiri sendiri, tetapi
tetap dalam kaitan dengan konteks cerita.
Kata armegeddon--sebagai judul cerita pendek--tidak ditemukan dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1995). Dalam Kamus Inggris Indonesia

karya John M. Echols dan Hasan

Shadily (1996) pun tidak ditemukan kata atau istilah armageddon. Kata
armageddon baru dapat ditemukan dalam buku Al Kitab, Wahyu 16: 16, berasal
dari bahasa Iberani: Harmageddon. Brewer (1923: 62) menjelaskan bahwa
armageddon menurut riwayatnya adalah nama tempat perang besar antara
bangsa-bangsa sebelum hari pengadilan. Kemudian, kata armageddon itu
berkembang artinya menjadi sebuah nama perang besar atas pembunuhan yang
dilakukan oleh orang-orang biadab. Nama Armageddon juga merujuk dalam Al
Kitab bab-bab yang lain, seperti Kitab Hakim-hakim (5:19) nama tempat
peperangan raja-raja Kanaan itu dinamai Megido; Kitab Hakim-hakim (31:1)
nama tempat peperangan orang Filistin dengan orang Israil itu dinamai
pegunungan Gilboa; Kitab Raja-Raja yang kedua (9:27) nama tempat
peperangan itu dinamai Megido; dan Kitab Nabi Zacharia (12:11) nama tempat
peperangan besar itu adalah lembah Megidon.
Lebih lanjut, Brewer (1923:62) menjelaskan bahwa bukit Megido atau
lembah Megidon di pegunungan Gilboa--sekarang bernama Leyyun, kira-kira 87
km sebelah utara kota Yerusalem--merupakan pegunungan tandus, dataran yang
penuh batu-batu, gersang dan kering-kerontang. Danarto dalam cerpen
"Armageddon"-nya melukiskan keseraman dataran pegunungan yang tandus
dan penuh batu-batu itu sebagai berikut.
Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu.
Belalang mencuat mengorak sayapnya, ilalang pucat karena panasNya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput dataran ilalang.
Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remas-Nya menjadi
debu. Dan debu diterbangkan angin ke segala penjuru. Batu-batu.
Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali.
Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput.
Jarang sekali. Rumput-rumput pun susah hidup di sini. Angin
berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap
menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut
dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan
batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, lebih jauh lagi, menumbuk
bongkahan batu-batu lagi, terkapar tunggang langgang, kusutmasai, hingga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang
menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa....
(Danarto, 1987:75).

Sesuai dengan keterangan dalam Al Kitab tersebut, nama Armageddon


menimbulkan rasa keseraman yang dahsyat bagi pembaca. Seperti yang
digambarkan oleh Danarto dalam paparan pembuka ceritanya, lembah
Armageddon (Megido, Megidon atau Gilboa) menjadi tempat pengadilan bagi
manusia yang merupakan salah satu dari ketujuh malapetaka murka Tuhan
dengan perantaraan malaikat. Sebelum ketujuh Malaikat itu ditumpahkan ke
dunia, tidak seorang pun dapat memasuki mahligai suci, kemah kesaksian di
sorga. Gambaran yang menyeramkan dari lembah peperangan tersebut juga
diungkapkan Danarto dalam peristiwa pembunuhan Ibu kepada Anak yang
dihasut oleh Bekakrak-an. Akhir cerita pun masih tetap menyeramkan dengan
kerakusan Bekakrak-an meminum darah Anak yang dibunuh Ibu.
Bekakrak-an tertawa-tawa dan mulutnya menyambar semburan
darah itu. Setelah semburan darah itu ludes diserotnya, maka
merahlah wajah Bekakrak-an dan terbahak-bahak karena panas.
Hausnya telah terpenuhi. Darah yang diminumnya tampak menjalarjalar dalam kerongkongannya, paru-parunya, jantungnya, limpanya,
ususnya, urat darahnya, dan urat syarafnya.
Semburan cahaya darah.
Langit darah.
udara darah
dataran tandus darah
batu-batu darah
rumput-rumput darah
bulan sepotong semangka gemetar dibalut darah.
....
Kapak dalam genggamannya tambah tegang dan darah
masih menetes-netes. Sesaat Ibu itu terhenyak. .... Di sana, di
seberang sana, di balik bongkahan batu, ibu itu melihat si Boneka
sedang bersetubuh dengan seorang gadis.
Bulan sepotong semangka meleleh
Langit meleleh
semburat cahaya meleleh
udara meleleh
dataran tandus meleleh
batu-batu meleleh
rumput-rumput meleleh.
(Danarto, 1987:88--89)
Sejumlah leksikal--tidak hanya kata tetapi juga frasa--yang dikutip di atas,
seperti dataran tandus, dataran batu, batu-batu, bongkahan batu, susah hidup,
angin berhembus kencang, panas menyengat kulit, udara pengap menyesakan
6

paru-paru, terkapar, menumbuk bongakan batu, semburan darah, darah ludes


diserotnya, darah diminumnya, langit meleleh, udara meleleh, dataran tandus
meleleh, batu-batu meleleh, dan rumput-rumput meleleh, dipilih oleh pengarang
untuk menggambarkan efek seram lembah Armageddon. Dengan demikian,
Armageddon tidak sekadar judul cerita yang tak bermakna, tetepi merupakan
simbol (lambang) tempat dan suasana, nama lembah peperangan yang
menyeramkan.
Kata bekakrak-an dapat kita temukan dalam bahasa Jawa, yang artinya:
(1) berkotek kian kemari (tentang ayam betina); dan (2) bingung ke sana kemari
(Nardiati et al, 1993:54). Namun, apabila kita memperhatikan arti kata bekakrakan dalam bahasa Jawa itu kurang tepat dengan gambaran tokoh Bekakrak-an
dalam cerpen "Armageddon" karya Danarto tersebut. Agar lebih jelas, perhatikan
kutipan berikut.
"Bekakrak-an selalu membikin kaget orang. Maafkan, wahai ibu
yang cantik! " kata benda hitam itu yang terus melayang-layang di
atasnya.
....
Sejenak benda hitam itu melayang berputar-putar kemudian
mendarat di atas bongkahan batu yang ada di depannya. Cahaya
bulan meneranginya. Benda hitam itu adalah makhluk yang aneh.
Berkepala, tetapi tak punya badan, dengan alat-alat tubuhnya di
dalam yang masih utuh: kerongkongan, paru-paru, jantung, limpa,
urat darah, urat saraf, usus-ususnya, dan pada ujungnya
mengagalah duburnya, hingga ia merupakan mahkluk yang
mengerikan dan menjijikan. Kepalnya bulat dengan rambutnya yang
kusut masai. Goresan-goresan wajahnya keras. Gigi-giginya
ompong. Parit-parit keningnya seolah-olah dipahatkan dengan keras
dan membayangkan derita yang panjang. Bekakrak-an itulah
namanya, terbangnya tinggi dan cepat seperti rajawali, hingga ia
seperti layang-layang dengan rumbai-rumbai ekornya yang panjang
berjuntaian.
(Danarto, 1987:77)
"Wahai, Bekakrak-an! Engkau memperoleh nama dari bentukmu,
waktamu, dan tingkah lakumu. Namamu telah melukiskan
keseluruhanmu dengan sempurna. Menjijikan! Mengerikan!
Pengkhianat yang porak poranda! Penjilat bobrok! Penohok kawan
seiring, penggunting dalam lipatan," teriak anak itu berleleran air
matanya.
(Danarto, 1987:86)

Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa Bekakrak-an adalah bantuk
makhluk yang aneh, benda berwarna hitam, melayang-layang di atas, berkepala
tetapi tak punya badan, dan gigi-giginya ompong. Watak dan tingkah laku
Bekakrak-an adalah menjijikan, mengerikan, pengkhianat, porak-poranda,
penjilat bobrok, penohok kawan seiring, dan penggunting dalam lipatan. Itulah
sebabnya pengertian bekakrakan bahasa Jawa dengan konteks cerita ini tidak
sesuai. Mungkin yang dimaksud dalam teks itu adalah bekasaan, yang artinya:
hantu rimba; bekakak, yang artinya: ayam atau bebek panggang (berwarna
hitam) untuk sesajian; dan atau bekakrah, yang artinya: porak-poranda,
berserakan

(Mardiwarsito,

et

al.

1985:30).

Berhubung

cerita

pendek

"Armageddon" ini merupakan sebuah bangunan imajiner, tokoh Bekakrak-an


dalam cerpen ini dapat merupakan gabungan arti (sekuleritas) dari kata:
bekasaan, bekakak, bekakrah, dan bekakrakan itu sendiri. Itulah sebabnya
pengarang menuliskan kata Bekakrak-an dengan huruf kapital pada awal kata
[B] dan sesudah huruf ka [k] yang terakhir terdapat tanda hubung [-].
Sejumlah leksikal untuk menerangkan wujud atau bentuk tokoh Bekakrakan adalah: benda hitam, melayang-layang di atas, makhluk aneh, berkepala, tak
punya badan, tubuh dalamnya masih utuh, duburnya menganga, dan giginya
ompong. Watak dan tingkah laku Bekakrak-an adalah: menjijikan, mengerikan,
pengkhianat, porak-poranda, penjilat bobrok, penohok kawan seiring, dan
penggunting dalam lipatan. Sejumlah leksikal tersebut sudah sesuai dengan
perwujudan dan watak yang tidak baik atau jahat--dengan dilambangkan warna
hitam--sebagai identitas tokoh Bekakrak-an. Berdasarkan atas kenyataan itu,
tokoh Bekakrak-an menjadi lambang dari nafsu jahat manusia. Dalam bahasa
tasawufnya disebut nafsu lauamah, berwarna hitam dan bertempat diseluruh
badan manusia (Hardjoprakosa, 1989: 11).
Kata Ibu, seperti lazim kita jumpai dalam bahasa Indonesia, adalah
sebutan untuk orang perempuan yang telah melahirkan kita (KBBI, 1988: 318).
Tokoh Ibu dalam cerpen Danarto ini digambarkan sebagai: "Seorang ibu yang
ayu, lembut dengan dandanan seperti seorang ratu, kulit kuning langsat, rambut
hitam legam panjang. Setiap langkahnya mengantarkan bau harum dan

keseluruhan tubuhnya melukiskan keindahan dan kebijaksanaan" (Danarto,


1987:76--77). Lewat dialog tokoh Bekakrak-an tokoh ibu yang bijaksana itu juga
digambarkan sebagai: "Ibu yang bijaksana adalah ibu yang tahu menunjukkan
kasih sayang pada waktunya dan tahu menunjukkan kemarahan pada waktunya
pula" (Danarto, 1987:79--80).
Ibu--baik sebagai kata maupun sebagai tokoh--dipakai oleh Danarto untuk
lambangkan nafsu lauamah pula. Seperti yang dinyatakan oleh (Harun, et al.,
1985:31) bahwa nafsu lauamah adalah jiwa yang menerangi lubuk hati manusia
yang kadang-kadang memberi manusia kekuatan yang bijaksana dan kadangkadang menyebabkan manusia berbuat maksiat; namun, apabila terlanjur
berbuat maksiat, ia segera menyesalinya.
Hal itu secara jelas terjadi pada diri tokoh Ibu. Ketika ibu menuduh
anaknya yang telah dianggap merebut pacarnya, Boneka, ia segera mencari
bukti-bukti yang kuat atas tuduhannya itu. Kebijaksanaan lahir dari seorang ibu
untuk menempatkan perkara pada porposi yang sebenarnya. Namun, ketika
hihasut oleh Bekakrak-an karena anaknya telah merampas pacarnya, Ibu
tersebut tega memotong kedua kaki dan tangan anaknya dengan kapak yang
diberikan Bekakrak-an. Tangis kesakitan anaknya menyadarkan ibu untuk
menyesali atas perbuatan yang telah dilakukan. Ketika Bekakrak-an kembali
menghasut ibu untuk memotong leher anaknya. Ibu pun terbakar nafsunya
memotong leher anaknya. Semburan darah segar dari anak yang dibunuh Ibu
langsung disantap Bekakrak-an. Setelah membunuh anaknya ibu itu menyesal
karena melihat Boneka, pacarnya, berkencan dengan gadis lain.
Boneka dan Anak sebagai perlambang dari nafsu amarah manusia. Kata
boneka dalam bahasa Indonesia berarti: tiruan anak untuk permainan atau orang
yang menjadi permainan orang lain (KBBI, 1988:125). Kata boneka mungkin pula
berasal dari kata bonek, yang merupakan akronim dari bandha nekad. Tokoh ini
digambarkan sebagai manusia yang haus syahwat dengan wajahnya yang
kemerah-merahan. Kata anak dalam bahasa Indonesia berarti: keturunan yang
kedua atau manusia yang masih kecil (KBBI, 1988:31). Tokoh ini digambarkan
sebagai seorang anak gadis yang telanjang bulat, berwarna putih pualam, dan

dikuasai nafsu syahwatnya. Kedua tokoh ini sebagai perlambang nafsu amarah
karena digambarkan Danarto sebagai manusia-manusia yang masih kuat
dipengaruhi oleh nafsu syahwatnya. Perhatikan kutipan berikut.
"O, Bonekaku. Perkosalah aku habis-habisan, hingga lumat licin
tandas. Aku rindu kekurangajaran. Aku rindu kebuasan. Adakah
kepuasan melebihi itu? Aku serahkan tubuhku bulat-bulat malam ini
dan malam-malam selanjutnya. Remuk redamkan aku hingga aku
memperoleh kelezatan yang paling puncak."
(Danarto, 1987: 84)
Harun (1985:31) menyatakan bahwa nafsu amarah merupakan jiwa
manusia yang lebih condong pada kebutuhan jasmaniah, condong pada
kelezatan dan syahwat, dan mendorong manusia ke arah perbuatan tercela.
Anak dan Boneka melakukan adegan kenikmatan jasmani itu dalam lima hari
lima malam sebanyak dua puluh kali (hlm. 85). Pada akhir cerita, ternyata
Boneka adalah seorang bandot: "Di sana, di seberang sana, di balik bongkahan
batu, ibu itu melihat si Boneka sedang bersetubuh dengan seorang gadis."
(Danarto, 1987:88).
Pemilihan leksikal dalam cerpen "Armageddon" karya Danarto ini sudah
memadai sebagai dunia perlambang yang merujuk maknanya pada dunia
tasawuf. Melalui cerita pendeknya itu Danarto ingin mengemukakan bahwa dunia
sufi atau tasawuf itu penuh dengan lambang-lambang kehidupan. Lambang
kehidupan itu baru bermakna apabila telah mendapatkan penafsiran maknanya
secara signifikan. Secara sederhana dibuat bagan sebagai berikut.

10

Asal-Usul Leksikal dan Maknanya dari


Cerita/ Bahasa Asal

Makna Leksikal dalam Cerpen


"Armageddon" Karya Danarto

Megido, Megidon, Gilboa = Bukit/lembah/


pegunungan tantus berbatu-batu tempat
peperangan (cerita dalam Alkitab -------->
Harmageddon berasal dari bahasa
Iberani yang berarti: tempat peperangan
bangsa- bangsa di dunia)

Armageddon = Dataran tantus dataran


batu sebagai simbol lembah peperangan
melawan hawa nafsu, antara nafsu jahat
dan nafsu kebaikan.

bekakak (bahasa Jawa yang berarti:


ayam/ bebek panggang, warnanya hitam,
biasanya untuk sesajen)
bekakrah (bahasa Jawa yang berarti:
porak poranda)
bekakrakan (bahasa Jawa yang berarti:
berkotek kian kemari, tentang ayam
betina; bingung ke sana kemari)
bekasakan (bahasa Jawa yang berarti:
hantu rimba)

Bekakrak-an = Benda berwarna hitam,


makhluk aneh berkepala tetapi tidak
berbadan, melayang layang di atas,
giginya ompong, menjijikan, mengerikan,
pengkhianat, porak-poranda, penjilat
bobrok, penohok kawan seiring, dan
penggunting dalam lipatan. Warna hitam
merupakan simbol nafsu jahat atau nafsu
lauamah.

Ibu (bahasa Indonesia yang berarti:


sebutan
perempuan dewasa yang telah
melahirkan kita.)

Ibu = memiliki watak dasar bijaksana,


berbuat maksiat karena dihasut orang lain,
tega membunuh anaknya sendiri, dan
setelah itu menyesali perbuatannya.
Perpaduan antara warna kuning langsat
dan hitam legam yang merupakan simbol
nafsu lauamah dan sufiah.

Anak (bahasa Indonesia yang berarti:


keturunan pertama; anak kecil)
Boneka (bahasa Indonesia yang berarti:
tiruan anak untuk permainan; atau dari
bahasa Jawa yang merupakan akronim
dari bondha nekad).

Anak = masih dikuasai nafsu jasmaniah,


hanya ingin kenikmatan dan kelezatan
syahwat. Warna putih pualam merupakan
simbol nafsu mutmainah.
Boneka = semata-mata memperbesar
nafsu syahwat; bandot; pacar Ibu, Anak,
dan Gadis. Warna kemerahan dan
kehitaman merupakan simbol nafsu
amarah dan lauamah.

4.2 Penyiasatan Struktur Wacana


Sesuatu hal yang menarik dalam cerpen "Armageddon" karya Danarto ini
adalah menampilkan gaya bercerita pengarang yang lebih terasa sebagai gaya
bercerita eksperimental. Gaya eksperimental ini mencoba menggabungkan
antara unsur sajak yang bergaya mantra (bersifat puitis) dengan unsur naratif
(bersifat uraian) yang disertai dengan dialog-dialog (cakapan) menarik
11

antartokoh-tokohnya. Gaya bercerita pengarang seperti itu menimbulkan kalimatkalimat yang puitis--ritme dinamis karena terdapat variasi kalimat-kalimat yang
pendek dan panjang, dan banyak repetisi atau perulangan. Pembaca seolaholah tersihir oleh irama mantra yang mendayu-dayu dari awal hingga akhir cerita.
Perhatikan kutipan paparan puitis pembukaan cerpen yang ditampilkan dalam
bentuk mantra berikut.
Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu.
Belalang mencuat mengorak sayapnya, ilalang pucat karena panasNya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput dataran ilalang.
Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remas-Nya menjadi
debu. Dan debu diterbangkan angin ke segala penjuru. Batu-batu.
Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali.
Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput.
Jarang sekali. Rumput-rumput pun susah hidup di sini. Angin
berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap
menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut
dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan
batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, lebih jauh lagi, menumbuk
bongkahan batu-batu lagi, terkapar tunggang langgang, kusutmasai, hingga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang
menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa (Danarto,
1977: 451).
Kutipan di atas menunjukkan adanya gaya paparan yang sangat puitis.
Rangkaian kata yang membentuk kalimat-kalimat puitis digunakan sebagai
pembuka cerita di atas pada hakikatnya sebuah mantra. Perulangan bunyi kata
yang terus-menerus mampu memukau pembaca dan menjinakkan kita ikut larut
dalam dunia imajinasi yang sama sekali asing. Dunia yang dahsyat itu seakanakan mampu membuat pembaca terlena dan terpesona karena pengaruh
"ampuh" mantra yang diucapakannya. Mantra Danarto menjadi sempurna
memukau pembaca secara dahyat dengan cara menghidupkan benda-benda
mati dengan gaya pengisanan, seperti dihidupkannya batu, angin, rumput,
ilalang, udara, dan debu.
Kalau kita perhatikan secara cermat pemakaian kalimat pendek-pendek
dalam pembuka cerita tersebut, banyak terdapat bentuk kalimat yang hanya
"menyerupai kalimat" saja. Secara ejaan memang kalimat itu diawali dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca terminal, misalnya tanda titik karena
12

disampaikan dalam bentuk kalimat deklaratif. Saya menyebutnya sebagai


"bentuk yang menyerupai kalimat" karena strukturnya, sebagian besar hanya
sebuah klausa atau frasa saja. Contoh berikut merupakan kalimat tak sempurna.
(1) Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu.
(2) Dataran tandus dataran batu, dataran rumput, dataran ilalang.
(3) Batu-batu.
(4) Dataran tandus penuh batu-batu.
(5) Batu-batu besar.
(6) Besar sekali.
(7) Berbongkah-bongkah.
(8) Persegi.
(9) Di sana-sini tumbuh rumput-rumput.
(10) Jarang sekali.
Kalimat (1) merupakan bentuk pantun kilat atau karmina yang sebenarnya
merupakan dua larik yang ditulis dalam satu baris. Bagian pertama merupakan
sampiran dan bagian kedua merupakan isi atau kandungan makna. Kalimat (2)
merupakan kalimat yang bergaya repetisi. Kalimat (1) sampai (10) merupakan
kalimat tak lengkap yang tidak ada subjek dan atau predikatnya. Hal ini bisa
terjadi karena unsur-unsur kalimat itu digunakan untuk kepentingan estetis
penulisan mantra. Kepaduan bunyi tampaknya lebih diutamakan daripada isi
kalimat sehingga mengabaikan unsur subjek dan predikatnya.
Ada kalimat panjang yang terdiri atas 46 kata yang subjek rumput dan
predikatnya tidak begitu jelas berapa jumlahnya. Dalam satu kalimat itu sebelum
sampai tanda titik terminal [.] masih terdapat tanda koma [,] sebanyak sepuluh
buah. Agar lebih jelasnya perhatikan contoh kalimat berikut.
(11) Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut dan terpental-pental,
diterbangkan angin, menumbuk bongkahan batu, terkapar dan
dilarikan angin lagi, lebih jauh lagi, menumbuk bongkahan batu-batu
lagi, terkapar tunggang langgang, kusut-masai, hingga sampailah ia
pada suatu lekukan batu yang menganga lebar, karena digerogoti
angin sepanjang masa.

13

Terjadinya susunan kalimat seperti itu disebabkan oleh kepentingan


pemakaian gaya eksperimental penulisan cerita pendek. Dalam penulisan
kalimat yang seperti itu juga ada kalimat yang diawali dengan kata dan, misalnya
dalam kalimat berikut.
(12) Dan debu diterbangkan angin ke segala penjuru.
(13) Dan ini harus ia kerjakan sepanjang hayatnya, seperti yang telah
dikerjakan oleh angin itu.
Dua kalimat yang diawali dengan kata dan itu sebenarnya untuk
merangkaikan klausa di dalam kalimat majemuk setara (Alwi, 1993: 450).
Dengan demikian, kata dan itu memberi kesan bahwa rangkaian kata yang
dibelakangnya adalah unsur yang seharusnya bergabung dengan kalimat yang
sebelumnya dan membentuk kalimat majemuk setara. Atau, dapat juga kita
katakan bahwa rangkaian kata yang berada di belakang dan itu merupakan
bagian sebuah kalimat majemuk yang dipisahkan. Akan tetapi, kalau kita
perhatikan dengan benar, bagian itu ternyata merupakan rangkaian kata yang
sebenarnya sudah menjadi sebuah kalimat. Dengan menghilangkan kata dan,
misalnya, kita akan memperoleh kalimat yang baik. Berdasarkan analisis hal
tersebut akan kita peroleh kalimat berikut.
(14) Debu diterbangkan angin ke segala penjuru.
(15) Ini harus ia kerjakan sepanjang hayatnya, seperti yang telah
dikerjakan oleh angin itu.
Di dalam cerpen "Armageddon" terdapat tenaga pemukau dengan
menyihir pembaca untuk ikut larut dalam dunia imajiner. Daya pukau yang tajam
ini mencoba mengetengahkan permasalahan peperangan batin antara nafsu
baik dan nafsu jahat dengan kalimat-kalimat bersajak yang sangat puitis. Bagan
berikut mencoba memudahkan kita melihat gaya eksperimental yang dilakukan
oleh pengarang.

14

Bagian
Pembukaan

Isi
Pencerita menyampaikan paparan
tentang dataran tandus penuh batubatu, banyak debu, udara
menyesakan paru-paru, dan
penginsanan nasib rumput kering yang
merana tertumbuk batu.

Penyajian
Naratif bergaya mantra dan
atau pantun kilat (karmina)
dengan bentuk kalimatkalimatnya yang pendekpendek dan banyak yang tidak
sempurna.

Pertengahan Seorang Ibu menunggu anaknya yang


telah pergi selama lima hari lima
malam. Datang Bekakrak-an
mengawani Ibu yang kesepian.

Cakapan yang divariasikan


dengan narasi sosok Ibu atau
sosok Bekakrak-an. Beberapa
kalimat puitis, berupa pantun,
muncul dalam narasi bagian
ini.
Lebih dominan cakapan
daripada narasinya. Banyak
muncul kalimat-kalimat
interogatif dan kalimat puitis
yang bergaya pantun.

Kedatangan Anak membuat Ibu


marah-marah karena telah merebut
pacarnya, Si Boneka. Bekakrak-an
menghasut Ibu sehingga tega
membunuh anaknya dengan sebuah
kapak yang dihadirkan Bekakrak-an.
Penutup

Ibu berdiri takjub memandangi semua


peristiwa yang terjadi. Bekakrak-an
berpesta pora menyantap semburan
darah Anak yang telah dibunuh
Ibunya. Si Boneka asyik bersetubuh
dengan seorang gadis

Eksperimen

cerita

pendek

bergaya

Sajak mantra yang


menyeramkan berisi semburan
darah. Kemudian diselingi
narasi dan dialog pendek dan
ditutup dengan sajak mantra
semua benda meleleh.

mantra

oleh

Danarto

tetap

dipertahankan mulai dari awal hingga akhir cerita. Cerita yang dahsyat, seru, dan
menyeramkan ini dibuka dengan gaya mantra dan ditutup dengan gaya mantra
pula. Pembaca seolah-olah tersihir oleh bunyi-bunyi mantra yang menyeramkan.
Tokoh Ibu yang dihasut oleh Bekakrak-an sampai hati membunuh Anak-nya
sendiri karena rebutan pacarnya, si Boneka yang ternyata bandot. Kalimatkalimat bersajak mantra berikut dapat menjelaskan hal itu.
Bekakrak-an tertawa-tawa dan mulutnya menyambar semburan
darah itu. Setelah semburan darah itu ludes diserotnya, maka
merahlah wajah Bekakrak-an dan terbahak-bahak karena panas.
Hausnya telah terpenuhi. Darah yang diminumnya tampak menjalarjalar dalam kerongkongannya, paru-parunya, jantungnya, limpanya,
ususnya, urat darahnya, dan urat syarafnya.
Semburan cahaya darah.
Langit darah.
udara darah
15

dataran tandus darah


batu-batu darah
rumput-rumput darah
bulan sepotong semangka gemetar dibalut darah.
....
Kapak dalam genggamannya tambah tegang dan darah masih
menetes-netes. Sesaat Ibu itu terhenyak. .... Di sana, di seberang
sana, di balik bongkahan batu, ibu itu melihat si Boneka sedang
bersetubuh dengan seorang gadis.
Bulan sepotong semangka meleleh
Langit meleleh
semburat cahaya meleleh
udara meleleh
dataran tandus meleleh
batu-batu meleleh
rumput-rumput meleleh.
(Danarto, 1987: 88--89)

4.3 Pemajasan
Pemajasan 'figures of speech' (Leech & Short, 1981: 88), yaitu cara
berbahasa yang menggunakan perbandingan, yang termasuk di dalamnya dalah
penginsanan, simile, dan metafora. Penginsanan menyaran pada benda mati
yang dihidupan seolah-olah dapat bergerak, berpikir, dan berperasaan seperti
lazimnya manusia. Simile menyaran pada perbandingan yang langsung dan
eksplisit dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu, seperti kata seperti,
sebagai, bagaikan, merasa, laksana, bak, dan semisal. Metafora merupakan
perbanding langsung tanpa menggunakan kata-kata tugas tertentu. Dalam
cerpen "Armageddon" dapat kita temukan bentuk-bentuk pemajasan sebagai
berikut.
(1)

Ilalang pucat karena panas-Nya.

(2)

Kemudian rumput itu tertunduk. Ia berpikir-pikir.

(3)

Kering kerontang karena dikuliti matahari, nyeri panas karena disabiti


oleh angin yang mendesah-desah.

(4)

Dan batu dan rumput memperoleh persahabatan dan kekecewaan


yang kekal....

(5)

Matahari sudah lama menyelam.


16

(6)

Kembali dataran tandus itu akan mulai tidur, mengasu dari segala
kegiatan.

(7)

Di langit bulan sepotong semangka terpaku.

(8)

Dan ini harus ia kerjakan sepanjang hayatnya, seperti yang telah


dikerjakan oleh angin itu.

(9)

Seorang ibu yang ayu, lembut dengan dandanan seperti seorang ratu,
kulit kuning langsat, rambut hitam legam panjang.

(10) Setiap langkahnya mengantarkan bau harum dan keseluruhan


tubuhnya melukiskan keindahan dan kebijaksanaan.
(11) Bulan sepotong semangka berdiri bulu romanya.
(12) Bulan beku. Langit membisu.
Hadirnya sejumlah personifikasi, simile, dan metafora dalam cerpen
"Armageddon" ini dimaksudkan sebagai sebuah metafora kehidupan perang
melawan hawa nafsu, antara nafsu baik dan nafsu buruk. Sebuah metafora
kehidupan itu tidak disampaikan dengan bahasa yang lugas, tetapi disampaikan
melalui gaya yang penuh dengan pemajasan. Isi metafora kehidupan itu
bukanlah sungguh-sungguh (amat serius), melainkan hanya sebuah parodi,
lelucon dan ejekan saja. Rumput, ilalang, bulan, langit, matahari dan batu-batu
yang dihidupkan itu sebuah parodi (lelucon) agar kita tersentak dan bangun dari
mimpi sehingga tabah dalam menghadapi realitas kehidupan.
5. Penutup
Danarto dengan gaya mantranya mampu memukau pembaca dari awal
hingga akhir cerita yang menampilan dunia imajiner: sama sekali asing bagi
pembaca sastra Indonesia. Perpaduan antara mite dunia Jawa dan mite Al-Kitab
menjadikan sebuah cerita yang unik, menarik, dan penuh daya pesona. Semua
itu dihadirkan oleh Danarto melalui pemakaian bahasa yang bernas, penuh
pertimbangan diksi, penyiasatan struktur kalimat yang baik, dan pemakaian
pemajasan yang memukau. Meskipun cerita pendek karya Danarto ini
mengandung unsur parodi, kedahsyatan cerita ditimbulkan oleh imaji-imaji yang
berada di luar logika rasional: dunia perlambang perang melawan hawa nafsu,

17

antara nafsu kebaikan dengan nafsu kejahatan. Imaji-imaji itu dibangun dari
susunan kata yang puitis, bunyi yang padu, gaya kalimat yang penuh dengan
repetisi, dan pemajasan yang menghadirkan sebuah metafora kehidupan untuk
menyadarkan kita dari mimpi dan tidur yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, et al. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Brewer, Cobhan E. 1923. A Dictionary of Phrasa and Fable. London: Cassel an
Company.
Carter, Ronald (ed.). 1982. Language and Literature. An Introductory Reader in
Stylistics. London, Boston, Sydney: George Allen & Unwin Ltd.
Danarto. 1969. "Armageddon" dalam Horison 6/IV, Juni 1969.
------- 1977. "Armageddon" dalam Ajip Rosidi (ed.) Laut Biru Langit Biru. Jakarta:
Pustaka Jaya.
------- 1987. "Armageddon" dalam Goblob. Cetakan Ketiga. Jakarta: Grafiti Press.
Echols, John M. and Hasan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan
XXIII. Jakarta:Gramedia.
Hardjoprakosa, Sumantri. 1989. Arsip
Paguyuban Ngesti Tunggal.

Sarjana

Budi

Santosa.

Jakarta:

Harun, Ramli. et al. 1985. Kamus Istilah Tasawuf. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Leech, Geoffrey N. and Michael H. Short. 1981. Style in Fiction. London and New
York: Longman Inc.
Mardiwarsito, L. et al. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I & II. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tim Alkitab. 1993. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

18

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988.


Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan Balai Pustaka.
Tjitrasubono, Siti Sundari. et al. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

19

Anda mungkin juga menyukai