Anda di halaman 1dari 142

DEMAM BERDARAH DENGUE: DIAGNOSIS DAN

TATALAKSANA
1. Klinis
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:

o
o
o
o

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
uji bendung positif
petekie, ekimosis, purpura
perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
hematemesis dan atau melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20
mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill
time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
2. Laboratorium

Trombositopenia (100 000/l atau kurang)


Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi
sebagai berikut:
o
Peningkatan hematokrit 20% dari nilai standar
o
Penurunan hematokrit 20%, setelah mendapat terapi cairan
o
Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.
Derajat Penyakit
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi)
Derajat Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
I
perdarahan ialah uji bendung.

Derajat Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau


II
perdarahan lain.

Derajat Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan

III

nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di


sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.

Derajat Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
IV
darah tidak terukur.
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok
Anak dirawat di rumah sakit

o
o

o
o

Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air sirup, susu, untuk
mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.
Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena obatobatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.
Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
Kebutuhan cairan parenteral
Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit,
trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam
Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan
secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24
48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian cairan.
Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan tata laksana syok
terkompensasi (compensated shock).
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok

Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secarra nasal.
Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya.
Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB
secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam
maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan
terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfusi darah/komponen.
Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik,
tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan
secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium.

Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Ingatlah
banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada pemberian yang
terlalu sedikit.

DEMAM TIFOID
Pertimbangkan demam tifoid jika anak demam dan mempunyai salah satu tanda berikut ini: diare
atau konstipasi, muntah, nyeri perut, sakit kepala atau batuk, terutama jika demam telah
berlangsung selama 7 hari atau lebih dan diagnosis lain sudah disisihkan.
Diagnosis
Pada pemeriksaan, gambaran diagnosis kunci adalah:

Demam lebih dari tujuh hari


Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas
Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
Delirium
Hepatosplenomegali
Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
Dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan disertai syok dan hipotermi.
Pemeriksaan penunjang

Darah tepi: leukopeni, aneosinofilia, limfositosis relatif, trombositopenia (pada demam


tifoid berat).
Serologi: interpretasi harus dilakukan dengan hati-hati.
Tatalaksana

Obati dengan kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per oral atau
intravena) selama 10-14 hari, namun lihat halaman 78 untuk pengobatan bagi bayi muda.
Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin 100 mg/kgBB/hari peroral
atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis)
peroral selama 10 hari.
Bila klinis tidak ada perbaikan digunakan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson
(80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari) atau sefiksim oral (20 mg/kgBB/hari dibagi
2 dosis selama 10 hari).
Perawatan penunjang
Jika anak demam ( 39 C) berikan parasetamol.

Pemantauan
Awasi tanda komplikasi
.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid termasuk kejang, ensefalopati, perdarahan dan perforasi usus,
peritonitis, koma, diare, dehidrasi, syok septik, miokarditis, pneumonia, osteomielitis dan
anemia. Pada bayi muda, dapat pula terjadi syok dan hipotermia.

KEJANG DEMAM

DEFINISI:
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
PENYEBAB:
Belum jelas, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor keturunan/genetik
GEJALA: Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut:

Kejang berlangsung singkat, < 15 menit


Kejang umum tonik dan atau klonik
Umumnya berhenti sendiri
Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut:

Kejang lama, > 15 menit


Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Keluhan: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya
(ayah, ibu atau saudara kandung).
Pemeriksaan saraf(neurologis): Tidak didapatkan kelainan Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari
penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah)
Pemeriksaan Rongent/X Ray(Radiologi): X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI
tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi
Pemeriksaan cairan otak(cairan serebrospinal (CSS)): Tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis(infeksi otak).

Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1.
2.
3.

Bayi < 12 bulan: diharuskan


Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan
Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis
Pemeriksaan rekam otak (elektroensefalografi (EEG)): Tidak direkomendasikan,
kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia
>6 tahun atau kejang demam fokal)
PENGOBATAN/PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan kejang.
1. Penanganan Pada Saat Kejang
a. Menghentikan kejang:
Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-0,6mg/KgBB/dosis
REKTAL SUPPOSITORIA. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang
sama 20 menit kemudian
b. Turunkan demam:
Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO,
keduanya diberikan 3-4 kali perhari Kompres: suhu > 39C: air hangat; suhu >38C: air biasa
c. Pengobatan penyebab:
antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya
d. Penanganan suportif lainnya meliputi:

Bebaskan jalan nafas


Pemberian oksigen
Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
Pertahankan keseimbangan tekanan darah
2. Pencegahan Kejang
a. Pencegahan berkala (intermiten)
untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika pada
saat anak menderita penyakit yang disertai demam
b. Pencegahan kontinu
untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam
2-3 dosis
PROGNOSIS
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:

1.
2.
3.
4.

Kejang demam berulang


Epilepsi
Kelainan motorik
Gangguan mental dan belajar

KRISIS HIPERTENSI

Defenisi
KR HT adalah naiknya TD yang mendadak :
-

TS >180 mmHg dan atau

TD > 120 mmHg


Pada penderita hipertensi yang memerlukan penanggulangan segera

Klasifikasi
1.

Hipertensi emergensi
Naiknya TD secara mendadak yang disertai kerusakan organ target yang progresif.
Pada keadaan ini memerlukan penurunan TD yang segera dalam kurun waktu menit atau jam.

2.

Hipertensi urgensi
Naiknya TD secara mendadak yang tidak disertai kerusakan organ target.
Penurunan TD pada keadaan ini harus dilaksanakan dalam kurun waktu 24-48 jam.
Kedua KR HT ini perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisis karena baik
factor resiko dan penanggulangannya berbeda.

Manifestasi klinis KR HT:


a.

Neurologi

d.

Ginjal

Sakit kepala

Azotemia

Penglihatan kabur

Proteinuri

Kejang-kejang

Oliguri

Deficit neurologis fokal


Somnolen

b.

c.

e.

Obstetric
Preeclampsia dengan gejala berupa

Spoor

Gangguan penglihatan

Koma

Sakit kepala yang berat

Mata

Kejang-kejang

Perdarahan retina

Nyeri abdomen kuadran atas

Eksudat retina

Gangguan jantung kongesif

Edema pupil

Oliguri

Kardiologi
Nyeri dada

Gangguan kesadaran
Gangguan serebrovaskuler

Edema paru

Pemeriksaan fisis:
-

Sasaran pada organ target yang dicurigai terganggu

Mengukur TD teratur

Konsultasi kardiologi

Konsultasi neurologi

Konsultasi mata

Pemeriksaan penunjang
-

Urinalisis

Kimia darah

ECG

Foto thoraks

CT scan kepala

Ekokardiografi

USG

Cito uro
Penatalaksanaan HT emergensi:

Penaggulangan harus di RS karena memerlukan peralatan observasi yang memadai

Obat parenteral diberikan secara bolus atau infuse

TD diturunkan dalam waktu hitungan menit atau jam sbb:

5 menit s/d 120 menit pertama TD diturunkan 20-50%

2-6 jam kemudian TD diturunkan sampai 160/100 mmHg

6 s/d 24 jam berikutnya TD diturunkan sampai <140/90 mmHg (kalau tidak ada iskemik
organ)

Obat-obatan yang digunakan pada hipertensi emergensi:


1.

Clonidin (catapres) IV (150 mcg/ampul)

Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan infuse glukosa 5% 500cc dalam cairan infuse
glukosa 5% 500cc dan diberikan dengan mikrodrip, 12 tetes/menit, setiap 15 menit dapat
dinaikkan 4 tetes sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.

Bila tekanan mencapai target, pasien diobservasi selama 4 jam kemudian diganti dengan
tablet clonidin oral sesuai kebutuhan.

Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak, tetapi diturunkan perlahan-lahan oleh karena
bahaya rebound phenomen, dimana tekanan darah naik secara cepat bila obat dihentikan.

2.

Diltiazem (Herbeser) IV (10 mg dan 50 mg/ampul)

Diltiazem 10 mg IV diberikan dalam 1-3 menit kemudian diteruskan dengan infuse 50


mg/jam selama 20 menit.

Bila tekanan darah telah turun >20% dari awal, dosis diberikan 30 mg/menit sampai target
tercapai.

Diteruskan dengan dosis maintenance 5-10 mg/jam dengan observasi 4 jam diganti dengan
tablet oral.
Perlu perhatian khusus pada penderita dengan gangguan konduksi jantung dan gagal jantung

3.
-

Nicardipin (perdipin) IV (2 mg dan 10 mg/ampul)


Nicardipin diberikan 10-30 mcg/kgbb bolus
Bila tekanan darah tetap stabil diteruskan dengan 0,5-6 mcg/kgbb/menit sampai target
tekanan darah tercapai.

4.
-

5.

Labetalol (normodyne) IV *
Labetalol diberikan 20-80 mg, IV bolus setiap 10 menit atau dapat diberikan dalam cairan
infuse dengan dosis 2 mg/menit

Nitroprusside (nitropress, nipride) IV*

6.

Nitroprusside diberikan dalam cairan infuse dengan dosis 0,25-10,00 mcg/kg/menit.

Sodium nitroprusside

Dosis 0,25-10 g/kgbb/IV

Onset segera

Durasi 1-2 menit


7.

8.

9.

Nicardipine hydrochloride

11. Hydralazine hydrochloride

Dosis 5-15 mg/jam IV

Dosis 10-20 mg IV

Onset 5-10 menit

Onset 10-20 menit

Durasi 15-30 menit

Durasi 1-4 jam

Fenoldopam mesylate

12. Labetalol hydrochloride

Dosis 0,1-0,3 g/kgbb/menit IV

Dosis 20-80 mg bolus setiap 10 menit IV

Onset <5menit

Onset 5-10 menit

Durasi 30 menit

Durasi 3-6 jam

Nitroglycerin

13. Esmolol hydrochloride

Dosis 5-100 g/menit IV

Dosis 20-500 g/kgbb/menit IV

Onset 2-5 menit

Onset 1-2 menit

Durasi 5-10 menit

Durasi 10-30 menit

10. Enalaprilat

14. Phentolamine

Dosis 1,25-5mg setiap 6 jam IV

Dosis 5-15 mg/menit bolus IV

Onset 15-30 menit

Onset 1-2 menit

Durasi 6-12 jam

Durasi 10-30 menit

Krisis hipertensi pada keadaan khusus:


1.

Stroke

a.

Infark : aterotrombotik, kardioembolik, lakunar

Tekanan darah sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg, pengukuran dilakukan dua
kali dalam jangka waktu 30 menit.

Tidak ada tanda0tanda lain yang meningkatkan tekanan darah seperti nyeri kepala/artikular,
kandung kemih penuh.

Obat anti-hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan batas penurunan maksimal
tekanan darah 20-25% dari mean arterial blood pressure.

Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan tekanan diastolic 105-120 mmHg, dilakukan
penatalaksanaan seperti terapi pada hipertensi urgensi

b.

Perdarahan : perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, pecahnya arteriovenosus


malformation (AVM)

Tekanan darah sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua
kali dalam jangka waktu 30 menit.

c.

Tidak ada tanda-tanda lain yang meningkatkan TD


Obat anti-hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedua tatalaksana KR HT dengan batas
penurunan TD 20-25% dari mean arterial blood pressure.
Target TD adalah sistolik 160 mmHg dan diastolic 90 mmHg.
Ensefalopati hipertensi

TD sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua kali dalam
jangka waktu 30 menit.

Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papil edeme, peningkatan TIK sampai
kejang.

d.
-

Tidak ada tanda-tanda lain yang meningkatkan TD


Obat anti-hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur tatalaksana krisis hipertensi dengan
batas penurunan TD 20-25% dari mean arterial pressure

Trauma kepala dan tumor intracranial


Pada kasusu trauma kepala, tumor intracranial terdapat gejala tekanan intracranial yang
meningkat seperti:

Sakit kepala hebat

Muntah proyektil/tanpa penyebab gastrointestinal

Papil edema (sembab papil)

Kesadaran menurun/berubah

TD sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua kali dalam
jangka waktu 30 menit
Tidak ada tanda-tanda lain yang meningkatkan TD.

Obat antihipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur tatalaksana krisis hipertensi dengan
batas penurunan TD 20-25% dari mean arterial blood pressure.

Khusus untuk tumor intracranial, hipofisis perlu dilakukan pemeriksaan hormonal dan
penatalaksanaan sesuai dengan krisis hipertensi dengan gangguan endokrin.

2.

Krisis hipertensi pada penyakit ginjal


Hipertensi pada penyakit ginjal umumnya sekunder dan paling banyak ditemukan adalah
penyakit renovaskular. Pada krisis hipertensi, angka kejadian bisa 10% sampai 45%. Untuk itu
diperlukan deteksi dini dari stenosis arteri renalis yang berkaitan dengan hipertensi.

Dicurigai stenosis arteri renalis bila ditemukan:


a.

Ditemukan hipertensi sebelum usia 30 tahun khususnya jika tidak ada riwayat hipertensi di
keluarga.

b.

Ditemukan hipertensi berat (hipertensi stadium II dengan TD >160/100 mmHg) setelah usia
diatas 50.

c.

Ditemukan hipertensi yang refrakter dan sulit dikendalikan dengan obat kombinasi lebih dari 3
macam (termasuk diuretic)

d.

Terjadinya peningkatan TD tiba-tiba pada keadaan pasien hipertensi yang terkontrol baik
sebelumnya.

e.

Hipertensi malignan (hipertensi dengan keterlibatan gangguan organ lain seperti gagal ginjal
akut, perdarahan retina, gagal jantung dan kelainan neurologis)

f.

Peningkatan plasma kreatinin dalam waktu singkat setelah pemberian golongan obat
ACEI/ARB.

Pemeriksaan penunjang diagnostic


a.

Arteriografi ginjal (pemeriksaan baku emas)

b.

Magnetic resonance angiography

c.

Computed tomography

d.

Duplex Doppler ultrasonography

DIABETES MILITUS

Pada awalnya, pasien sering kali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap diabetes melitus,
bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus dicurigai adanya DM jika seseorang
mengalami keluhan klasik DM berupa:

poliuria (banyak berkemih)


polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum)
polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus)
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Jika keluhan di atas dialami oleh seseorang, untuk memperkuat diagnosis dapat
diperiksa keluhan tambahan DM berupa:

lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal


penglihatan kabur
penyembuhan luka yang buruk
disfungsi ereksi pada pasien pria
gatal pada kelamin pasien wanita

Diagnosis DM tidak boleh didasarkan atas ditemukannya glukosa pada


urin saja. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah dari pembuluh
darah vena. Sedangkan untuk melihat dan mengontrol hasil terapi dapat dilakukan dengan
memeriksa kadar glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Seseorang didiagnosis menderita DM jika ia mengalami satu atau lebih kriteria di bawah ini:

Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL
Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL
Kadar gula plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dL
Pemeriksaan HbA1C 6.5%

Keterangan:

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir pasien.
Puasa artinya pasien tidak mendapat kalori tambahan minimal selama 8 jam.
TTGO adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan glukosa khusus
untuk diminum. Sebelum meminum larutan tersebut akan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa
darah, lalu akan diperiksa kembali 1 jam dan 2 jam setelah meminum larutan tersebut.
Pemeriksaan ini sudah jarang dipraktekkan.
Jika kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari nilai normal tetapi tidak masuk ke dalam
kriteria DM, maka dia termasuk dalam kategori prediabetes. Yang termasuk ke dalamnya adalah

Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT), yang ditegakkan bila hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL dan kadar glukosa plasma 2 jam
setelah meminum larutan glukosa TTGO < 140 mg/dL
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yang ditegakkan bila kadar glukosa plasma 2 jam
setelah meminum larutan glukosa TTGO antara 140 199 mg/dL
Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM:

Kadar glukosa darah


sewaktu (mg/dL)
Kadar glukosa darah
puasa (mg/dL)

Bukan DM

Belum Pasti DM

DM

Plasma vena

<100

100-199

200

Darah kapiler

<90

90-199

200

Plasma vena

<100

100-125

126

Darah kapiler

<90

90-99

100

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia


PERKENI tahun 2011

Referensi: http://diabetesmelitus.org/gejala-diabetes-melitus/
DiabetesMelitus.org

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar di dunia.
Prevalensi kasus TB ini seperti yang telah dicatat oleh WHO pada tahun 2009 mencapai 14 juta,
dengan insidensi mencapai 9,4 juta orang. Saat ini yang menjadi masalah besar adalah pasien
dengan TB dapat mendapat koinfeksi dengan HIV dan telah banyak berkembang TB menjadi
resisten terhadap pengobatan yang diberikan yang disebut dengan TB multidrug-resistant (TBMDR).1
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Pasien dapat dikatakan suspek TB jika terdapat gejala atau tanda TB yang meliputi
batuk produktif lebih dari 2 minggu dan disertai dengan gejala pernapasan (sesak napas, nyeri
dada, hemoptisis) dan/atau gejala tambahan meliputi tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
keringat malam, dan mudah lelah). Sedangkan yang dimaksud dengan kasus TB pasti adalah
pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari
spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok,dll) dan kultur. Pada negara dengan
keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M. Tuberculosis maka kasus TB
paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif. Definisi lainnya

yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kasus TB adalah seorang pasien yang setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun
petugas kesehatan dan diobati dengan panduan dan lama pengobatan yang lengkap.1
Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga
akan terbentuk sarang pneumonik, yang disebut dengan sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi.
Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Perdangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai komplek
primer. Kompleks primer akan mengalami salah satu hal di bawah ini:
1.
2.
3.

Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali


Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas
Menyebar dengan cara: perkontinuitatum menyebar ke sekitarnya, penyebaran secara
bronkogen, secara hematogen atau limfogen.1
Klasifikasi Kasus TB

1.

Letak anatomis penyakit


Tuberkulosis paru, yaitu kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis
milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya terletak di dalam paru.

Tuberkulosis ekstraparu, yaitu kasus TB yang mengenai organ lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus
genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.1,2
2.
Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi

Tuberkulosis paru BTA positif, yaitu apabila : Minimal satu dari sekurangkurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang
memenuhi syarat quality external assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak
tersebut berasal dari dahak pagi hari. Saat ini di Indonesia sudah memiliki beberapa
laboratorium yang memenuhi syarat EQA.Pada negara atau daerah yang belum memiliki
laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah: Dua atau lebih hasil
pemeriksaan dahak BTA positif, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung
hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau
satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M. tuberculosis positif.

Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi
hasil kultur positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang
memenuhi syarat EQA. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA

negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan prevalens HIV> 1% atau
pasien TB dengan kehamilan 5%ATAU

Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negaif di daerah yang belum
memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis

Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu
di bawah ini:

Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai


HIV, atau

Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalens
HIV rendah), tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik spektrum luas
(kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida).

Kasus
Bekas
TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan
gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.1,2

3. Riwayat pengobatan sebelumnya


Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat atau MDR.
Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya
atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA
positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun.
Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau
negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun, terdiri dari

Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.
Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif
satu kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan ke register lain untuk
melanjutkan pengobatannya.

Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil
pengobatannya, dan kembali diobati dengan BTA negatif.1,2
Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila
organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat). Gejala respiratori terdiri dari batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas,
dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik terdiri dari demam, malaise, keringat malam,
anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB ekstraparu gejala tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Sedangkan pada
pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.1,2
Pemeriksaan Fisis
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik suara napas melemah, ronki basah, tandatanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.1,2
Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah dahak, cairan pleura,liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urine, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Untuk
pemeriksaan dahak dilakukan pengambila dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopis biasa menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan mikroskopis
fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-rhodamin.1,2

Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan


skalaInternational Union Against Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif


Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Pemeriksaan identifikasi M.tuberculosis dapat dilakukan dengan cara biakan (pada egg
basemedia, yaitu Lowenstein-Jensen, Ogawa, dan Kudoh; pada agar base media yaitu Middle
Brook, Mycobacterium growth indicator tube test, BACTEC), melalui uji molekular seperti PCRBased Methods of IS6110 Genotyping. Uji kepekaaan yang dapat digunakan antara lainhain
test (uji kepekaan terhadap R dan H), molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R), dan gene
x-pert (uji kepekaan untuk R).1,2
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-Scan. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif adalah:

Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)1,2
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:

Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan paru.1,2
Luluh paru (destroyed lung):

Terdapatnya gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut dengan luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari
atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas proses penyakit.1,2

Luas proses yang tampak pada foto toraks dapat dinyatakan sebagai berikut ini:

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostenal junction dari iga kedua dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak
dijumpai kavitas.
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.1,2
Pemeriksaan Penunjang Lain

Analisa cairan pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis TB adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.1,2

Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksan
yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi
atau autopsi.1,2

Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik untuk TB. Laju endap
darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien.
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan TB. Limfosit juga kurang spesifik.1,2

Terapi Tuberkulosis
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya lama
pengobatan adalah 6-8 bulan. Obat lini pertama adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan obat lini kedua adalah
kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, para-amino salisilat (PAS).
Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB mulidrug
resistant(MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum
tersedia di pasaran Indonesia tetpi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.1,2

Pengobatan TB standar dibagi menjadi:

Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)
Kategori 1 ini dapat diberikan pada pasien TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif foto toraks
positif dan TB ekstra paru.

Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)
Kategori-2 ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pada
pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Pada
pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji
kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji kepekaan diberikan panduan pengobatan
2HRZES/HRZE/5HRE. HRZE merupakan obat sisipan tahap intensif yang diberikan selama satu
bulan.

Pasien multi-drug resistant (MDR)


Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah:
6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/ 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z: Pirazinamid, E: etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs:
Sikloserin.1,2

Efek Samping Obat


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.1,2
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat serta
evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinis

Pasien dievaluasi secara periodik


Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Tujuannya adalah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi
pemeriksaan mikroskopis yaitu pada:

Sebelum pengobatan dimulai

Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)


Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksan biakan dan uji kepekaan
Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi pada pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila ada gejala).

Referensi
1.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. h.2-30.
2.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Bakti
Husada; 2011. h.11-37.

ASMA BRONKIAL
Asma adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan meningkatnya respon dari saluran
trakeo-bronkial terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa penyempitan
jalan nafas yang luas, dan beratnya serangan dapat berubah-ubah yang bersifat refersibel, baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. (American Thoracic Society).
Penyempitan jalan nafas yang terjadi akibat infeksi (misalnya bronchitis akut atau kronis),
emfisema, atau karena penyakit kardiovaskular tidak termasuk asma.
Patogenesis penyempitan jalan nafas pada serangan asma disebabkan oleh :
1. Gangguan Imunologis (Faktor Ekstrinsik) :

Pada sebagian orang bila kontak dengan zat tertentu akan terjadi reaksi imunologi yang
berlebihan, yang sering disebut sebagai reaksi alergi atau reaksi atopik, dengan salah satu
akibatnya adalah penyempitan saluran nafas. Dalam hal ini sering didapat riwayat keluarga yang
positip menderita penyakit yang serupa atau penyakit alergi lainnya, seperti rinitis alergika atau
eksim (dermatitis atopik).
Berdasarkan cara masuknya, bahan yang menyebabkan alergi (alergen) dibagi menjadi :
a. Inhalan : masuk ke tubuh melalui saluran nafas, seperti : debu rumah, serpihan kulit binatang
(anjing, kucing, kuda), dan spora jamur.
b. Ingestan : masuk ke tubuh melalui saluran pencernaan, seperti : susu, telur, ikan, obat-obatan
dll.
c. Kontaktan : masuk ke tubuh melalui kontak dengan kulit, seperti : obat salep kulit, berbagai
logam dalam bentuk perhiasan.
2. Gangguan keseimbangan sistem saraf otonom (Faktor Intrinsik) :
Terjadi karena peningkatan reaksi parasimpatis akibat reseptor kolinergik yang sensitif sehingga
sedikit rangsangan sudah bisa menimbulkan konstriksi bronkus melalui refleks vagus.
Rangsangan dapat berupa : udara dingin, asap rokok, partikel dalam udara, gerakan respirasi
yang kuat (pada waktu tertawa atau olah raga) atau emosi jiwa.
Apapun penyebabnya akibat yang ditimbulkan oleh serangan asma adalah sama yaitu konstriksi
bronkus, edema mukosa bronkus dan produksi mukus yang berlebihan dan bersifat kental, yang
kesemuanya menyebabkan penyempitan saluran nafas.
Hiperaktivitas Bronkus.
Dewasa ini hiperaktivasi bronkus yang berhubungan erat dengan inflamasi dianggap memegang
peranan lebih penting dalam serangan asma dibanding dengan reaksi alergi. Manifestasi klinik
sangat jelas dilihat dengan begitu mudahnya timbul serangan asma bila dirangsang, baik fisik,
metabolik, kimia dan lain-lain.
Hiperaktivitas bronkus bersifat menetap dan sangat variabel pada masing-masing penderita.
Derajat hiperaktivitas bronkus diukur dari :
- Tingkat keparahan serangan asma.
- Lama serangan asma.
- Kecepatan perbaikan.
Variasi diurnal.
Adalah merupakan gambaran klinis asma yang sangat penting dalam penegakan diagnosa, yaitu
adanya serangan pada malam hari menjelang subuh dan membaik sepanjang siang hari.
Pada kasus lain mungkin didapat riwayat penderita terbangun di malam hari akibat batuk yang

disertai sesak nafas dan mengi, atau penderita dengan batuk-batuk yang persisten atau berulang
dan memburuk pada malam hari.
Diagnosa Asma Bronkial ditegakkan dengan :
1. Anamnesa :
- Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung
sembuh, atau batuk malam hari.
- Semua keluhan biasanya bersifat variasi diurnal.
- Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

2. Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam
posisi duduk.
- Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
- Paru :
Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah.
Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
- Pada serangan berat :
tampak sianosis
N > 120 X/menit
Silent Chest : suara mengi melemah
Status Asmatikus
Adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang
bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan
pengamatan 1-2 jam.
Gambaran klinis Status Asmatikus :
- Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
- Sesak nafas, bicara terputus-putus.
- Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh
dalam dehidrasi berat.

- Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat
memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.
TATALAKSANA
A. PENDIDIKAN / EDUKASI KEPADA PENDERITA DAN KELUARGA
Pengobatan yang efektif hanya mungkin berhasil dengan penatalaksanaan yang komprehensif,
dimana melibatkan kemampuan diagnostik dan terapi dari seorang dokter Puskesmas di satu
pihak dan adanya pengertian serta kerjasama penderita dan keluarganya di pihak lain. Pendidikan
kepada penderita dan keluarganya adalah menjadi tanggung jawab dokter Puskesmas, sehingga
dicapai hasil pengobatan yang memuaskan bagi semua pihak.
Beberapa hal yang perlu diketahui dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah :
1. Memahami sifat-sifat dari penyakit asma :
- Bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna.
- Bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu bisa
kambuh lagi.
- Bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka
panjang secara teratur.

2. Memahami faktor yang menyebabkan serangan atau memperberat serangan, seperti :


- Inhalan : debu rumah, bulu atau serpihan kulit binatang anjing, kucing, kuda dan spora jamur.
- Ingestan : susu, telor, ikan, kacang-kacangan, dan obat-obatan tertentu.
- Kontaktan : zalf kulit, logam perhiasan.
- Keadaan udara : polusi, perubahan hawa mendadak, dan hawa yang lembab.
- Infeksi saluran pernafasan.
- Pemakaian narkoba atau napza serta merokok.
- Stres psikis termasuk emosi yang berlebihan.
- Stres fisik atau kelelahan.
3. Memahami faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan
mengurangi serangan :
- Menghindari makanan yang diketahui menjadi penyebab serangan (bersifat individual).
- Menghindari minum es atau makanan yang dicampur dengan es.
- Berhenti merokok dan penggunakan narkoba atau napza.
- Menghindari kontak dengan hewan diketahui menjadi penyebab serangan.
- Berusaha menghindari polusi udara (memakai masker), udara dingin dan lembab.
- Berusaha menghindari kelelahan fisik dan psikis.
- Segera berobat bila sakit panas (infeksi), apalagi bila disertai dengan batuk dan pilek.

- Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter, baik obat simptomatis maupun obat
profilaksis.
- Pada waktu serangan berusaha untuk makan cukup kalori dan banyak minum air hangat guna
membantu pengenceran dahak.
- Manipulasi lingkungan : memakai kasur dan bantal dari busa, bertempat di lingkungan dengan
temperatur hangat.
4. Memahami kegunaan dan cara kerja dan cara pemakaian obat obatan yang diberikan oleh
dokter :
- Bronkodilator : untuk mengatasi spasme bronkus.
- Steroid : untuk menghilangkan atau mengurangi peradangan.
- Ekspektoran : untuk mengencerkan dan mengeluarkan dahak.
- Antibiotika : untuk mengatasi infeksi, bila serangan asma dipicu adanya infeksi saluran nafas.
5. Mampu menilai kemajuan dan kemunduran dari penyakit dan hasil pengobatan.
6. Mengetahui kapan self treatment atau pengobatan mandiri harus diakhiri dan segera mencari
pertolongan dokter.

Penderita dan keluarganya juga harus mengetahui beberapa pandangan yang salah tentang asma,
seperti :
1. Bahwa asma semata-mata timbul karena alergi, kecemasan atau stres, padahal keadaan
bronkus yang hiperaktif merupakan faktor utama.
2. Tidak ada sesak bukan berarti tidak ada serangan.
3. Baru berobat atau minum obat bila sesak nafas saja dan segera berhenti minum obat bila sesak
nafas berkurang atau hilang.
B. PENGOBATAN
1. PENGOBATAN SIMPTOMATIK
Tujuan Pengobatan Simpatomimetik adalah :

a. Mengatasi serangan asma dengan segera.


b. Mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin.
c. Mencegah serangan berikutnya.
Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik di Puskesmas adalah :
a. Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta)
Adrenalin (Epinefrin) injeksi.
Obat ini tersedia di Puskesmas dalam kemasan ampul 2 cc
Dosis dewasa : 0,2-0,5 cc dalam larutan 1 : 1.000 injeksi subcutan.
Dosis bayi dan anak : 0,01 cc/kg BB, dosis maksimal 0,25 cc.
Bila belum ada perbaikan, bisa diulangi sampai 3 X tiap15-30 menit.
Efedrin
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 25 mg.
Aktif dan efektif diberikan peroral.
Dosis :
Salbutamol
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet kemasan 2 mg dan 4 mg.
Bersama Terbutalin (tidak tersedia di Puskesmas) Salbutamol merupakan bronkodilator yang
sangat poten bekerja cepat dengan efek samping minimal.
Dosis : 3-4 X 0,05-0,1 mg/kg BB
b. Bronkodilator golongan teofilin
Teofilin
Obat ini tidak tersedia di Puskesmas.
Dosis : 16-20 mg/kg BB/hari oral atau IV.
Aminofilin
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200 mg dan injeksi 240 mg/ampul.
Dosis intravena : 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan. Dapat diulang 6-8 jam kemudian , bila
tidak ada perbaikan.
Dosis : 3-4 X 3-5 mg/kg BB
c. Kortikosteroid
Obat ini tersedia di Puskesmas tetapi sebaiknya hanya dipakai dalam keadaan :
Pengobatan dengan bronkodilator baik pada asma akut maupun kronis tidak memberikan hasil
yang memuaskan.
Keadaan asma yang membahayakan jiwa penderita (contoh : status asmatikus)
Dalam pemakaian jangka pendek (2-5 hari) kortikosteroid dapat diberikan dalam dosis besar baik

oral maupun parenteral, tanpa perlu tapering off.


Obat pilihan :
Hidrocortison
Dosis : 4 X 4-5 mg/kg BB
Dexamethason
Dosis :
d. Ekspektoran
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi salah
satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan.
Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian yang ada di
Puskesmas adalah :
Obat Batuk Hitam (OBH)
Obat Batuk Putih (OBP)
Glicseril guaiakolat (GG)
e. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi saluran
pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Antibiotika yang efektif untuk saluran pernafasan dan ada di Puskesmas adalah :

2. PENGOBATAN PROFILAKSIS
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional, karena
sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.
Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja
obat sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan meringankan

beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :
a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast.
Sangat disayangkan hingga saat ini obat-obatan tersebut belum tersedia di Puskesmas, sehingga
untuk memenuhi terapi tersebut dokter Puskesmas harus memberikan resep luar (ke Apotik), di
mana hal ini akan menjadi problem tersendiri bagi penderita dari keluarga miskin.
3. TATALAKSANA KASUS DI PUSKESMAS :
Dengan segala keterbatasan yang ada dokter Puskesmas harus bisa memberikan pertolongan
kepada penderita serangan asma. Penegakkan diagnosa yang tepat dengan tindakan yang benar,
cepat dan akurat akan sangat menolong penderita.
a. TATALAKSANA ASMA AKUT INTERMITEN
1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau
2. Salbutamol : 3 X
3. Bila ada batuk berikan ekspectoran
4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika
b. TATALAKSANA ASMA BERAT DAN STATUS ASMATIKUS
1. Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau
Aminofilin bolus 5-6 mg/kg BB IV pelan-pelan.
Catatan : pemberian Adrenalin pada orang tua harus hati-hati, dan tidak boleh diberikan pada
penderita hipertensi dan pnyakit jantung.
2. Dexametason 5 mg IV.
3. Bila ada berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.
4. Bila tidak ada respon dianggap sebagai Status Asmatikus :
Pasang infus Glukosa 5% atau NaCl 0,9% : 2-3 lt/24 jam.
Rujuk segera ke Rumah Sakit.

KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat :
1. Keterlambatan penanganan.
2. Penanganan yang tidak adekuat.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :


1. Akut :
- Dehidrasi
- Gagal nafas
- Infeksi saluran nafas
2. Kronis :
- Kor-pulmonale
- PPO kronis
- Pneumotorak.
PROGNOSIS
- Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.
- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih
baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.
- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.

KEPUSTAKAAN
1. Halim Mubin A. : Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosis dan Terapi, EGC, Jakarta
2001, 471-474.
2. Kusnan B.U. : Patogenesis dan Patofisiologi Asma Bronkial, Buku Makalah Simposium
Terapi Mutakhir Asma Bronkial, PDPI Cab.Jateng, 1991 : 9-16.
3. Mangunnegoro H. : Gambaran Klinik dan Terapi Rasional pada Asma Bronkial, Majalah
Dokter Keluarga, Vol 4/10, Sept 1985 : 495-200.
4. Purnawan J., Atiek S.S., Husna A. : Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta
1982, 208-211.
5. Subroto H., Suradi : Penatalaksanaan Status Asmatikus, Buku Makalah Simposium Terapi
Mutakhir Asma Bronkial, PDPI Cab.Jateng, 1991 : 39-45.
6. Soeria S. : Pengelolaan Asma Bronkial Dalam Praktek, Majalah Dokter Keluarga, V0l 4/8, Juli
1985 : 386-390.
7. Sundaru H., Bratawijaya K.G. : Asma Bronkiale : Gambaran Klinis dan Terapi Mutakhir,
Majalah Dokter Keluarga, V0l 6/1, Desember 1986 : 9-19.

PNEUMONIA (BRONKOPNEUMONIA)

PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :
1.

Pneumonia lobaris

2.

Pneumonia interstisial (bronkiolitis)

3.

Bronkopneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang
terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering
menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak
dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang
dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak (Bennete, 2013).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia
disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai
keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang
biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

DEFINISI
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution) (Bennete, 2013).Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab noninfeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat(Bradley et.al., 2011)

EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2
tahun(Bradley et.al., 2011)

ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah(Bradley et.al., 2011) :
1.

Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b.

Pada bayi :

1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza,Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.

2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,Pneumocytis.


3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetellapertusis.
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus,Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2.
a.

Faktor Non Infeksi.


Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon
seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b.

Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli
petroleum.
Setiap
keadaan
yang
mengganggu
mekanisme
menelan
seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan
seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis
minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat
paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat
seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.

KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi
yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1.

Berdasarkan lokasi lesi di paru

a.

Pneumonia lobaris

b.

Pneumonia interstitialis

c.

Bronkopneumonia
2.

Berdasarkan asal infeksi

a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)


b.

Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)


3.

Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a. Pneumonia bakteri
b.

Pneumonia virus

c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur
4.

Berdasarkan karakteristik penyakit

a. Pneumonia tipikal
b.

Pneumonia atipikal

5.

Berdasarkan lama penyakit

a. Pneumonia akut
b.

Pneumonia persisten

PATOGENESIS
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paruparu dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan
faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks
batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag
alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi
organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau
aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru
yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan
terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar,
penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah.
Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan
aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia.
Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi
progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi
terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi
dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas
pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat
berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.

Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2.

Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3.

Stadium III (3-8 hari berikutnya)


Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang

cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi,
lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.

Stadium IV (7-11 hari berikutnya)


Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.

MANIFESTASI KLINIK
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan
cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnyabronkopneumonia ditemukan
hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1.

Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding
dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan
pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi
melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah
terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae
supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat
apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru
lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih
tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya
sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area
suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada head bobbing, adanya
kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan
dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri
dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi

jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan
mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
2.

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
3.

Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4.

Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung
tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo
osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung
dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan
bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit
dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau
meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia
dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme
dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete,
2013).

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut(Bradley et.al., 2011):
1.

Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

2.

Panas badan

3.

Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

4.

Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

5.

Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan
bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga
thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari
penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2
macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)
1.
a.

Penatalaksaan Umum
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis
gas darah 60 torr.

b.

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c.

Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2.

Penatalaksanaan Khusus

a.

Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama
karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.

b.

Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau
penderita kelainan jantung

c.

Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi


klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka
resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1.

Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis

2.

Berat ringan penyakit

3.

Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

4.

Ada tidaknya penyakit yang mendasari


Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan
berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik
awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.
1.

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

minoglikosid
asam klavulanat

+ aminoglikosid

enerasi ke-3
2.

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

moksisillin
asam klavulanat

alosporin

romisin)
3.

Anak usia sekolah (> 5 thn)

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)


Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus
dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila
penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72
jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga
(sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang
menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
DAFTAR PUSTAKA
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.
(9 Marert 2013)
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace
S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011.
The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3
Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan

hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan diagnosis
patologi.
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan,
b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan
dan tempat kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).
Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis.
Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan
diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, sedang dan berat)
Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila:
1. Anamnesis:
a. Ada faktor risiko
Usia (pertengahan)
Riwayat pajanan
Asap rokok
Polusi udara
Polusi tempat kerja
b. Gejala:
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai
gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan
Berdahak kronik

Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus


tanpa disertai batuk
Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas
yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak
napas sesuai skala sesak
Skala Sesak
Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian
2. Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas
terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
Inspeksi
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Pelebaran sela iga
Perkusi
Hipersonor
Auskultasi
Fremitus melemah,
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang

Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)


Ronki
3. Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara
lain :
Radiologi (foto toraks)
Spirometri
Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah
terjadi hipoksia kronik)
Analisa gas darah
Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada
PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan
diagnosis banding dari keluhan pasien.
Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :
Paru hiperinflasi atau hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler meningkat
Bulla
Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Catatan:
Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya
asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru dan sindrome obstruktif
pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilaksanakan di
puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan
diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005, dilaksanakan
di rumah sakit / fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.

b. Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK


Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005 sebagai
berikut :
1. PPOK Ringan
Gejala klinis:
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
VEP1 80% prediksi (normal spirometri) atau
VEP1 / KVP < 70%
2. PPOK Sedang
Gejala klinis:
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri:
VEP1 / KVP < 70% atau
50% < VEP1 < 80% prediksi.
3. PPOK Berat
Gejala klinis:
Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
Eksaserbasi lebih sering terjadi
Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
VEP1 / KVP < 70%,
VEP1 30% dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa
gas darah, dengan kriteria:
Hipoksemia dengan normokapnia atau
Hipoksemia dengan hiperkapnia
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana

eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya (Lihat


Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK)
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1. Pemberian obat obatan
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik
c. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
e. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
2. Pengobatan penunjang
a. Rehabilitasi
b. Edukasi
c. Berhenti merokok
d. Latihan fisik dan respirasi
e. Nutrisi
3. Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat

5. Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju)
6. Vaksinasi influensa
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influensa
diberikan pada:
a. Usia di atas 60 tahun
b. PPOK sedang dan berat

BRONKHITIS

A. PENATALAKSANAAN BRONKHITIS
Pengelolaan pasien bronchitis terdiri atas dua kelompok :
1. Pengobatan konservatif, terdiri atas :
a. Pengelolaan umum
Pengelolaan umum ditujukan untuk semua pasien bronchitis, meliputi :
1) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat untuk pasien :
Contoh :
Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering.
Mencegah / menghentikan rokok.
Mencegah / menghindari debu,asap dan sebagainya.
2) Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik untuk dikerjakan adalah sebagai
berikut :
Melakukan drainase postural
Pasien dilelatakan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum
secara maksimum. Tiap kali melakukan drainase postural dilakukan selama 10 20 menit, tiap
hari dilakukan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum (
secret bronkus ) dengan bantuan gaya gravitasi. Posisi tubuh saat dilakukan drainase postural
harus disesuaikan dengan letak kelainan bronchitisnya, dan dapat dibantu dengan tindakan
memberikan ketukan pada pada punggung pasien dengan punggung jari.
Mencairkan sputum yang kental
Dapat dilakukan dengan jalan, misalnya inhalasi uap air panas, mengguanakan obat-obat
mukolitik dan sebagainya.
Mengatur posisi tepat tidur pasien
Sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum.
Mengontrol infeksi saluran nafas.
Adanya infeksi saluran nafas akut ( ISPA ) harus diperkecil dengan jalan mencegah penyebaran
kuman, apabila telah ada infeksi perlu adanya antibiotic yang sesuai agar infeksi tidak
berkelanjutan.
Pengelolaan khusus.
Kemotherapi Bronkhitis, dapat digunakan :
Secara continue untuk mengontrol infeksi bronkus ( ISPA ) untuk pengobatan aksaserbasi infeksi
akut pada bronkus/paru atau kedua-duanya digunakan Kemotherapi menggunakan obat-obat
antibiotic terpilih, pemkaian antibiotic antibiotic sebaikya harus berdasarkan hasil uji sensivitas
kuman terhadap antibiotic secara empiric.
Walaupun kemotherapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronchitis, tidak pada setiap pasien
harus diberikan antibiotic. Antibiotik diberikan jika terdapat aksaserbasi infeki akut, antibiotic
diberikan selama 7-10 hari dengan therapy tunggal atau dengan beberapa antibiotic, sampai
terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid ( putih jernih

).
Kemotherapi dengan antibiotic ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah
sputum dan gejala lainnya terutama pada saat terjadi aksaserbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini
hanya bersifat sementara.
Drainase secret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada saat permulaan perawatan pasien. Keperluannya
antara lain :
a) Menentukan dari mana asal secret
b) Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus
c) Menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah obstruksi.
Pengobatan simtomatik
Pengobatan ini diberikan jika timbul simtom yang mungkin mengganggu atau mebahayakan
pasien.
Pengobatan obstruksi bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru (%FEV 1 <
70% ) dapat diberikan obat bronkodilator.
Pengobatan hipoksia.
Pada pasien yang mengalami hipoksia perlu diberikan oksigen.
Pengobatan haemaptoe.
Tindakan yang perlu segera dilakukan adalah upaya menghentikan perdarahan. Dari berbagai
penelitian pemberian obat-obatan hemostatik dilaporkan hasilnya memuaskan walau sulit
diketahui mekanisme kerja obat tersebut untuk menghentikan perdarahan.
Pengobatan demam.
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi inhalasi akut sering terdapat demam, lebih-lebih kalau
terjadi septikemi. Pada kasus ini selain diberikan antibiotic perlu juga diberikan obat antipiretik.
Pengobatan pembedahan
Tujuan pembedahan : mengangkat ( reseksi ) segmen/ lobus paru yang terkena.
Indikasi pembedahan :
Pasien bronchitis yang yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon yang tidak berespon
terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat. Pasien perlu dipertimbangkan untuk
operasi.
Pasien bronchitis yang terbatas tetapi sering mengaami infeksi berulang atau haemaptoe dari
daerakh tersebut. Pasien dengan haemaptoe massif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
Kontra indikasi
a) Pasien bronchitis dengan COPD
b) Pasien bronchitis berat
c) Pasien bronchitis dengan koplikasi kor pulmonal kronik dekompensasi.
Syarat-ayarat operasi.

a) Kelainan ( bronchitis ) harus terbatas dan resektabel


b) Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan ireversibel
c) Bagian paru yang lain harus masih baik misalnya tidak ada bronchitis atau bronchitis kronik.
Cara operasi.
Operasi elektif : pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak terdaat kontra indikasi, yang
gagal dalam pengobatan konservatif dipersiapkan secara baik utuk operasi. Umumnya operasi
berhasil baik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.
Operasi paliatif : ditujukan pada pasien bronchitis yang mengalami keadaan gawat darurat paru,
misalnya terjadi haemaptoe masif ( perdarahan arterial ) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak
terdapat kontra indikasi operasi.
Persiapan operasi :
Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri,analisis gas darah, pemeriksaan
broncospirometri ( uji fungsi paru regional ), Scanning dan USG , Meneliti ada atau tidaknya
kontra indikasi operasi pada pasien, memperbaiki keadaan umum pasien.

B. PENCEGAHAN
Timbulnya bronchitis sebenarnya dapat dicegah, kecuali dalam bentuk congenital tidak dapat
dicegah. Menurut beberapa literature untuk mencegah terjadinya bronchitis ada beberapa cara :
Pengobatan dengan antibiotic atau cara-cara lain secara tepat terhadap semua bentuk pneumonia
yang timbul pada anak akan dapat mencegah ( mengurangi ) timbulnya bronchitis.

REUMATOID ARTRITIS

DEFINISI
Artritis reumatoid (RA) merupakan penyakit inflamasi kronik, sistemik, dengan etiologi yang
tidak diketahui, yang terutama menyerang sendi.
Inflamasi sendi dapat mengalami remisi, tetapi bila berlangsung terus akan terjadi destruksi sendi
yang progresif deformitas, dan berakibat ketidakmampuan dalam berbagai tingkat. Dapat
ditemukan manifestasi ekstraartikuler seperti nodul reumatoid, arteritis, neuropati, skleritis,
perikarditis, limfadenopati dan splenomegali.
Berbeda dengan osteoartritis, dimana kelainan utamanya dimulai dan proses degenerasi pada
rawan sendi, maka pada artritis reumatoid dimulai dengan radang pada sinovia (sinovitis) disusul
oleh proses kerusakan sendi yang disebabkan oleb 2 hal yaitu :
1. Akibat proses inflamasi sinovia, akan dikeluarkan komponen destruktif kedalam cairan sinovia
yang akan merusak rawan sendi.
2. Kerusakan pada rawan sendi akibat proliferasi dan jaringan granulasi yang disebut pannus.
Destruksi terjadi pada rawan sendi, ligamen tendon dan tulang. (1,2,3)
INSIDENS
Artritis reumatoid kira-kira 2 kali lebih sering menyerang wanita daripada pria. Insidens
meningkat dengan bertambahnya usia terutama pada wanita. Insidens puncak adalah antara usia
40 60 tahun. (3)
ETIOLOGI
Walaupun telah dilakukan penelitian yang intersif, etiologi dari RA hingga saat ini masih belum
dapat dipastikan. Penelitian mencoba menghubungkan dengan faktor endokrin, metabolik, faktor
nutrisi, geografi, pekerjaan, faktor psikososial, infeksi bakteri, spirokaeta, virus dan imunologik.
(1,2,3)
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinik artritis reumatoid sangat bervariasi tergantung dari saat kita memeriksa
penderita. Variasi sangat luas, mulai dari gejala klinik yang ringan sampai ke tingkat yang sangat
berat dimana penderita dalam keadaan cacat dan tidak lagi mampu untuk bergerak.

Perjalanan penyakit juga sangat bervariasi ada penderita yang dalam waktu singkat menderita
penyakit yang berat, tetapi ada pula penderita yang menderita sejak puluhan tahun tetapi tidak
menderita cacat yang berat. Pada sebagian besar penderita maka awal penyakit berlangsung
secara bertahap selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, disertai dengan gejala
kelemahan dan kelelahan dan nyeri pada otot dan tulang. (1)
1. Gejala pada sendi meliputi:
1. Poliartritis yang nyata pada sendi tertentu yang akan mengalami pembengkakan, nyeri, panas
dan kemerahan, serta gangguan fungsi.
2. Simetris, sendi sisi kiri dan kanan terserang serentak atau berturut-turut.
3. Sendi yang terserang ialah : tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, panggul, lutut,
pergelangan kaki, kaki dan vertebra cervical, temporomandibular dan sendi cricoaritenoid. Sendi
tangan yang terserang ialah sendi carpalis, sendi metakarpofalangeal (MCP) dan sendi proksimal
interfalang (PIP), sedangkan yang tidak pernah terserang ialah sendi distal interfalang (DIP).
Tidak terserangnya sendi DIP ini penting untuk membedakan dengan artritis lainnya (misalnya
terhadap osteoartritis).
4. Kaku pagi (morning stiffness) merupakan ciri khas dan penyakit ini, biasanya berlangsung
panjang (lebih dari 1 jam). Makin berat penyakit makin bertambah panjang pula waktu kaku
pagi. Setelah masa istirahat lama seperti tidur atau duduk lama selalu diikuti dengan kaku sendi.
5. Deformitas sendi yang khas dapat ditemukan pada berbagai sendi. (1)
RA Tangan
Gejala awal yang khas dan RA pada tangan ialah pembengkakan sendi PIP yang membentuk
gambaran fusiform atau spindle-shape. Keadaan ini kemudian diikuti dengan pembengkakan
sendi metakarpofalangeal (MCP) yang simetrik. Proses peradangan yang lama akan
menyebabkan kelemahan dari jaringan lunak disertai pula dengan subluksasi falang proksimal
sehingga menyebabkan deviasi jari-jari tangan kearah ulnar (ulnar aeviation). Deviasi ulnar ini
selalu disertai dengan deviasi radial dan sendi radiocarpalis, sehingga akan memberikan
gambaran deformitas zig-zag .
Pada kasus lanjut dapat terjadi deformitas leher angsa (swan-neck) , sebagai akibat kombinasi
dan hiper ekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP. Kombinasi dari fleksi sendi PIP dan ekstensi
sendi DIP akan menyebabkan deformitas boutonniere. Akibat dan semua ini akan mengakibatkan
tangan tidak dapat berfungsi dengan sempurna.
RA Pergelangan tangan

RA hampir selalu menyerang pengelangan tangan, pada awalnya berupa sinovitis yang dapat
diraba, dan pada keadaan lanjut terjadi deformitas sehingga gerakan dorsofleksi pergelangan
tangan terbatas (kurang dan 180o). Proliferasi sinovia kearah palmar akan menyebabkan
penekanan pada nervus medianus sehingga mengakibatkan terjadinya sindrom carpal-tunnel,
berupa parestesi pada aspek palmar ibujari, jari kedua dan ketiga dan aspek radial jari keempat.
RA Siku
RA siku menyebabkan pembengkakan dan kontraktur fleksi. Keadaan ini sering dijumpai dan
menyebabkan kerusanan melakukan aktivitas sehari-hari.
RA Bahu
RA bahu biasanya terjadi pada tahap lanjut penyakit ini, akibatnya terjadi keterbatasan gerak dan
rasa nyeri pada prosesus coracoid bagian bawah dan lateral.
RA Cervikal
RA cervical menyebabkan nyeri dan kaku tengkuk. Biasanya sendi yang terserang ialah Cl dan
C2. Pada keadaan lanjut dapat terjadi subluksasi atlanto-oksipital yang mengakibatkan
penekanan pada syaraf spinal dan menyebabkan gangguan neurologik.
RA Panggul
Gejala RA panggul yang dapat dilihat ialah gangguan jalan dan keterbatasan gerakan sendi,
sedangkan pembengkakan dan nyeri sendi sulit diobservasi, penderita hanya merasa tidak enak
di lipat paha yang menjalar ke pantat, pinggang bawah dan lutut.
RA Lutut
Gejala yang sering terlihat ialah hipertrofi sinovia dan efusi sendi.
RA Pergelangan kaki dan kaki
RA didaerah ini memberikan gambaran yang tidak berbeda dengan RA tangan. Subluksasi dari
ibu jari kaki menyebabkan terjadinya deformitas hammer toe. Disertai dengan deformitas lainnya
akan menyebabkan kesukaran dalam menggunakan sepatu normal, sehingga diperlukan sepatu
khusus. (1)
2. Manifestasi ekstra artikuler:
1. Kulit : nodul subkutan, vaskulitis
2. Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan katup jantung.

3. Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis fibrosis interstitiel difusi
4. Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi medula spinalis.
5. Mata : sindrom Sjogren.
6. Sindrom Felty: splenomegali, limfadenopati, anemia, trombositopenia, dan neutropenia. (1)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Amenia nonmokrom normisitik
2. Laju endap darah meningkat, sesuai dengan aktifitas penyakit, makin aktif penyakit makin
tinggi LED.
3. Faktor reumatoid (RF) penting, tetapi bukan penentu diagnosis. Walaupun RF negatif,
diagnosis RA tetap dapat ditegakkan secara klinik dan radiologik. Penderita dengan titer RF yang
tinggi cenderung menunjukkan gejala sistemik, artritis erosif dan destruktif.
4. Anti Nuclear Antibody (ANA) dan antigen lainnya dapat ditemukan pada sebagian kecil
penderita ,umumnya dengan titer yang rendah.
5. HLA-DR4 positif pada sebagian pasien. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis.
6. Cairan sinovia : Jumlah sel antara 5.000-20.000 mm3, titer komplemen rendah, RF positif dan
bekuan mucin jelek.
7. Pemeriksaan radiologik yang terbaik ialah melihat pada sendi pengelangan dan jari-jari
tangan. Pada awal penyakit menunjukkan gambaran pembengkakan jaringan lunak dan
osteoporosis juxtaartikuler. Pada stadium lebih lanjut ditemukan gambaran permukaan sendi
yang tidak rata akibat erosi sendi, penyempitan celah sendi, subluksasi dan akhinrnya ankilosis
sendi. (1,2)
KRITERIA DIAGNOSTIK
Pada tahun 1987, ARA membuat kriteria diagnostik baru sebagai pengganti kriteria diagnostik
yang lama.
Kriteria Diagnostik untuk Artritis Reumatoid :
1. Kaku pagi minimal 1 jam yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu
2. Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu

3. Pembengkakan pada sendi pergelangan tangan, metakarpofalangeal (MCP) atau proksimal


interfalang (PIP) selama 6 minggu atau lebih
4. Pembengkakan sendi yang simetrik
5. Gambanan radiologik pada tangan menunjukkan perubahan khas untuk artritis reumatoid dan
harus disertai erosi dan dekalsifikasi tulang yang tidak rata
6. Nodul reumatoid
7. Faktor reumatoid positif dengan menggunakan metode pemeriksaan yang pada orang normal
hasil positifnya tidak lebih dari 5%.
Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan bila ditemukan 4 kriteria atau lebih. (1)
Kriteria Remisi Klinik pada Artritis Reumatoid:
1. Lama kaku pagi tidak lebih dari 15 menit
2. Tidak ada rasa lemah
3. Tidak ada nyeri sendi (dari riwayat penyakit)
4. Tidak ada nyeri gerakan atau bengkak sendi
5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi atau sekitar sarung tendon.
6. Laju endap darah kurang dan 30 mm/jam pada wanita dan 20 mm/jam pada pria (cara
Westengren).
Dinyatakan remisi bila ditemukan 5 kriteria atau lebih selama 2 bulan berturut-turut. (1)
KLASIFIKASI PROGRESIVITAS
Derajat I, Awal
1. Pada pemeriksaan radiologik tidak ditemukan perubahan destruktif.
2. Pada pemeriksaan radiologik dapat ditemukan gambaran osteoporosis.
Derajat II, Sedang
1. Pada pemeriksaan radiologik ditemui gambaran osteoporosis, dengan atau tanpa destruksi
ringan tulang subkondral dapat ditemukan destruksi ringan rawan sendi.

2. Tidak ditemukan deformitas, walaupun dapat ditemukan keterbatasan gerak sendi.


3. Atrofi otot disekitarnya
4. Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuler, seperti nodul atau tenosivitis.
Derajat III, Berat
1. Pada pemeriksaan radiologik selain osteoporosis dapat ditemukan destruksi rawan sendi dan
tulang.
2. Deformitas sendi, seperti subluksasi, deviasi ulnar, hiperekstensi tanpa disertai fibrosis atau
ankilosis sendi.
3. Atrofi otot yang nyata.
4. Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuter, seperti nodul atau tenosivitis.
Derajat IV, Terminal
1. Fibrosis atau ankilosis sendi
2. Kriteria dari derajat III (1)
PENATALAKSANAAN
Dokter harus menyadari bahwa RA merupakan penyakit sistemik dengan onset, perjalanan
penyakit dan hasil akhir yang sangat bervariasi. Dokter perlu memberi penerangan pada
penderita dan keluarga tentang penyakit ini dan mengajaknya berperan serta dalam penatalaksaan
utntuk penyakit ini. Tujuan utama penatalaksanaan penyakit ini ialah menghilangkan rasa nyeri,
mengurangi dan menekan inflamasi, mengurangi sekecil mungkin efek samping yang tidak
diharapkan, memelihara fungsi otot serta sendi dan akhirnya penderita dapat kembali kepada
kehidupan yang diinginkan dan tetap produktif. Penatalaksanaan yang dianjurkan ialah
mengikuti piramid pengobatan yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini. (1,2)
1. Terapi Obat
a. Obat antinflamasi non steroid (OAINS)
Sudah menjadi perjanjian bahwa pada setiap pasien artritis reumatoid baru, pengobatannya harus
dimulai dengan OAINS, kecuali ada kontra indikasi tertentu. OAINS ini merupakan obat tahap
pertama (first line) dan dikenal berbagai jenis yang mempunyai efek analgesik dan antiflamasi
yang baik. Obat golongan ini tidak dapat menghentikan/mempengaruhi perjalanan penyakit
artritis reumatoid.

Dikenal 6 golongan OAINS, yaitu:


1. Golongan salisilat.
Sailsilat merupakan obat pilihan pertama karena cukup efektif dan harganya cukup murah.
kekurangannya ialah efek samping pada gasrointestinal yang cukup besar. Efek samping ini
dicoba dikurangi dengan membuatnya dalam berbagai bentuk seperti bentuk buffer, bentuk tablet
bersalut (enteric coated) dan bentuk nonasetilik misalnya diflusinal. Efek samping lainnya seperti
gangguan pendengaran, gangguan susunan syaraf pusat, inhibisi agregrasi trombosit dan
gangguan test faal hati. Untuk hal ini bila sarana memungkinkan perlu memonitor terus kadar
salisilat darah, sehingga tetap pada kadar yang aman.
2. Golongan indol: a.l indometasin (beredar di Indonesia), sulindak dan tolmetin (tidak beredar di
Indonesia)
3. Golongan turunan asam propionat: a.l. ibuprofen, naproksen, ketoprofen, diklofenak (beredar
di Indonesia), suprofen dan fenoprofen (tidak beredar di Indonesia)
4. Golongan asam antranilik: a.l. natrium meklofenamat (beredar di Indonesia).
5. Golongan oksikam: piroksikam, tenoksikam (beredar di Indonesia)
6. Golongan pirazole: fenil dan oksifenbutazon (beredar di Indonesia). Hanya dapat digunakan
untuk jangka pendek, tidak lebih dan 2 minggu, karena mempunyai efek penekanan pada
sumsum tulang.
b. Slow-acting/disease-modifying antirheumatic drugs
Obat golongan ini dapat menekan perjalanan penyakit artritis reumatoid, karena itu disebut
sebagai obat remitif atau disease-modifying antirheumatic drugs/DMRD. Karena efek kerjanya
lambat maka disebut sebagai slowacting-antirheumatic drugs/SAARD. Obat golongan ini baru
memberikan efek setelah pemakaian selama minimal 6 bulan dan tidak mempunyai efek
langsung menekan rasa nyeri dan inflamasi, oleh karena itu sambil menunggu efek obat ini
terbentuk, maka biasanya pada awal pengobatan diberikan bersama-sama dengan OAINS untuk
mengurangi penderitaan pasien. Bila efek obat SAARD telah terbentuk maka OAINS dapat
dikurangi, bahkan dihentikan bila pasien sudah mencapai stadium remisi. Dengan demikian
SAARD disebut pula sebagai obat tahap kedua (second-line drug). Indikasi pemberian SAARD
terutama ditujukan pada penderita RA yang progresif, yang ditandai dengan bukti radiologik
adanya erosi sendi dan destruksi sendi. Karena obat golongan ini sangat toksik dan mempunyai
efek samping yang besar, sehingga memerlukan pengawasan yang ketat, maka sebaiknya
pemberian obat ini dilakukan oleh seorang dokter spesialis.
Obat yang termasuk golongan ini ialah:

1. Obat antimalaria : kiorokuin dan hidroksiklorokuin.


2. Garam emas
3. Penisilamin
4. Sulfasalasin
5. Obat imunosupresif.
c. Kortikosterioid
Penelitian membuktikan bahwa kortikosteroid tidak dapat menghambat progresifitas penyakit
artritis reumatoid, sehingga penggunaan kortikosteroid harus dibatasi. Memang pada awalnya
penderita merasa tertolong dengan menggunakan kortikosteroid karena gejala nyeri dan
inflamasi berkurang, tetapi ternyata perjalanan penyakit berlangsung terus, erosi dan destruksi
sendi berjalan terus, sehingga deformitas yang terjadipun tidak dapat dihindan. Dengan kata lain
kortikosteroid hanya bersifat simptomatik dan tidak menyembuhkan (not curative).
Kortikosteroid perlu segera diberikan pada keadaan penyakit yang berat yang ditandai dengan
panas, anemia, berat badan menurun, neuropati, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleritis dan
sindroma Felty. Pada keadaan ini diberikan dosis tinggi, yang segera dilakukan penurunan dosis
bertahap (tapering) bila gejala sudah
berkurang. Pada penderita RA yang tidak responsif dengan OAINS atau mempunyai kontradikasi
mutlak terhadap OAINS, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (5-7,5
mg/hari) dalam jangka pendek dan diberikan selang-seling (alternate day), sambil menunggu
kerja obat SAARD menjadi efektif. Pada keadaan vaskulitis sangat berat maka untuk
keselamatan hidup perlu diberikan kortikosteroid megadose. Pemberian suntikan kortikosteroid
intraartikuler dapat dipertimbangkan pada pasien RA yang pada 1-2 sendinya masih tetap
meradang, pemberian hanya boleh beberapa kali dalam 1 tahun (kira-kira 4x/tahun), dengan
jarak waktu 1 suntikan dengan suntikan yang lain tidak boleh terlalu dekat.
2. Terapi Fisik
Terapi fisik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam penatalaksanaan RA.
Terapi fisik yang tepat dan dengan ketrampilan yang tinggi sangat membantu mengatasi
problema pasien. Pada fase akut terapi fisik bertujuan mengurangi rasa nyeri dan inflamasi,
memelihara fungsi otot dan luas gerak sendi. Bila masa akut sudah terlewati, maka perlu evaluasi
terhadap keadaan otot, membentuk kembali kekuatan otot, dan tindakan proteksi sendi mulai
diprogramkan, dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan fisioterapist. Penderita dan keluarga
perlu diberikan penjelasan tentang kegunaan berbagai modalitas yang digunakan untuk mencapai
hasil yang baik (misalnya penggunaan param cair, pemanasan dengan, gelombang sinar atau
suara, kolam renang dsb), serta kegunaan berbagai alat bantu (tongkat, walker, kursi noda dsb)

3. Aspek Psikososial
Oleh karena RA merupakan penyakit kronik, sering menyebabkan gangguan psikis dan
keputusasaan penderita. Hal ini perlu diantisipasi dokter agar penderita tetap mematuhi
pengobatan yang diberikan, baik obat-obatan maupun terapi fisik. Aspek sosial perlu pula
diperhatikan, karena penderita harus menyesuaikan pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya
dengan penyakit yang dideritanya, mungkin sekali penderita perlu mengganti jenis pekerjaannya
atau merubah kebiasaan hidupnya.
4. Pembedahan
Pembedahan dapat bersifat preventif atau reparatif. Pembedahan preventif antara lain dengan
melakukan sinovektomi untuk mencegah bertambah rusaknya sendi yang terserang. Pembedahan
reparatif terutama untuk mengoreksi deformitas yang terjadi antara lain dengan melakukan
artroplasti. (1)
DAFTAR RUJUKAN
1. http://www.idionline.org/l-pkb/Penyakit%20Reumatik%201.pdf.
2. Rizazyah Daud, Adnan HM. Artritis Reumatoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi Ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2003: 62 70.
3. Michael AC. Artritis Reumatoid. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku 2.
EGC. Jakarta. 1995; 1223 31.

OSTEOPOROSIS

Definisi
Penyakit pada tulang yang ditandai oleh penurunan pembentukan matriks dan peningkatan
resorpsi tulang sehingga terjadi penurunan jumlah total tulang.
Epidemiologi
Pada usia lanjut, terutama pada wanita dengan faktor resiko rendahnya asupan kalsium dalam
makanan dan pengeluaran kalsium yang berlebihan akibat masa menyusui anak yang terlalu lama
serta jumlah paritas yang terlalu banyak.
Etiologi
Aktivitas osteoklas > osteoblas
1. Menopause
Pada menopause terjadi penurunan estrogen padahal estrogen berguna untuk mencegah resorpsi
tulang, selain itu juga terjadi penurunan aktivitas tubuh dan penurunan sekresi parathormon.

2. Penurunan kadar kalsitonin


Kalsitonin berguna untuk menekan aktivitas osteoklas. Pada usia lanjut terjadi penurunan kadar
kalsitonin.
3. Penurunan kadar androgen adrenal
4. Aktivitas fisik
Adanya imobilisasi lama yang mengakibatkan penurunan masa tulang.
5. Penurunan absorpsi kalsium
Seiring pertambahan usia terjadi penurunan penyerapan kalsium tubuh.
Faktor Resiko
1. Umur (manula)
2. Etnis (kulit putih mempunyai resiko paling tinggi)
3. Keturunan
4. Kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis
5. Kurangnya kegiatan fisik
6. Tidak pernah melahirkan
7. Menopause dini mulai 46 tahun
8. Gizi.
Protein yang berlebihan akan menurunkan kadar kalsium dalam plasma, diet garam, perokok,
peminum aklohol, dan kopi yang berat.
1.
2.
3.
4.

Endokrin, kadar estrogen plasma yang kurang


Obat, misalnya corticosteroid,dll
Fatique damage atau kerusakan tulang karena keletihan
Jenis kelamin. Osteoporosis pada perempuan lebih sering daripada laki-laki dengan
perbandingan 3:1
Klasifikasi
1. Osteoporosis Primer (80%)
Terutama pada tulang belakang, femur dan pergelangan tangan
Tipe I sering pada wanita pascamenopause

Tipe II sering pada usia senile >75 tahun baik pada laki-laki dan perempuan
2. Osteoporosis Sekunder
Sering akibat penyakit lain. Contoh : akromegali, hiperparatiroidisme primer, DM tipe I,
Corticosteroid jangka lama, keganasan misalnya: myeloma multipel.
3. Osteoporosis Idiopathic
Penyebab tidak diketahui, jarang, sering pada anak anak, remaja, wanita pramenopause dan
laki laki usia pertengahan.
Diagnosis
-Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
nyeri tulang terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya meningkat pada
malam hari.
deformitas tulang.
Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis anguler yang dapat
menyebabkan medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis
-Pemeriksaan Labor
Pemeriksaan kadar osteokalsin dan alkali fosfatase untuk menilai proses osteoblastik dan
pemeriksaan piridinolin crosslink (Pyd) dan deoksipiridinolin crosslink (Dpd) pada proses
osteoklastik.
Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui osteoporosis sekunder seperti
hiperparatiroidisme (kadar TSH dan FT4), hiperparatiroidisme primer (kadar iPTH dan
mmPTH), sindrom Cushing (kortisol) dan myeloma (SPE dan hematologi rutin).
Kadar Ca, Fosfat, Kalsitonin dan vitamin D juga dapat turut diperiksa.
-Pencitraan
Radiografi = codfish deformity/fish mouth pada vertebra setelah penurunan masa tulang >30%
CT Scan bila dicurigai adanya keganasan

DEXA (Dual X-Ray Absorptiometry) yang paling sensitif dan akurat. Setiap pengurangan massa
tulang 1 SD meningkatkan kemungkinan patah tulang 2 2,5 kali.
Berdasarkan densitas mineral tulang (bone mass density=BMD) menurut WHO :
BMD normal

<-1SD

BMD rendah/osteopenia

-1SD sampai -2,5SD

Osteoporosis

<-2,5 SD

Osteoporosis berat

<-2,5SD + fraktur

Tata Laksana Komprehensif


-Preventif : dengan menjaga asupan kalsium dan vitamin D, berjemur di sinar matahari pagi,
senam osteoporosis
-Kuratif
farmakologi :
terapi sulih hormon (gold standard) namun perlu pengawasan dokter ahli karena
kemungkinan terjadinya keganasan
kalsitonin
bifosfonat
garam florida
steroid anabolic
vitamin D dan turunannya
Kalsium (1000 mg/hr untuk pria dan 1500 mg/hr untuk wanita)
Non farmakologi

Terapi fisik

Terapi psikis

Senam osteoporosis

Perbaikan gizi

Perbaikan gaya hidup

Mengurangi obat yang mempengaruhi timbulnya osteoporosis

Rehabilitasi
Komplikasi
Fraktur patologis pada:

Tulang belakang

Kolumna femoris

Pergelangan tangan = tersering

Prognosis
Semakin tinggi derajat BMD prognosis semakin baik karena semakin rendah juga resiko
menderita fraktur.
sumber
Bedah De Jong edisi III
Pengantar ilmu bedah ortopedi prof chairuddin rasjad

STROKE NON HEMORAGIC

I. Pendahuluan
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit
neurologik fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung
menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non
traumatik.
Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa
jam (kebanyakan 10-20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemik otak
sepintas (Transient Ischemic Attack = TIA).
Stroke merupakan mekanisme gangguan vaskular susunan saraf penyakit-penyakit dengan lesi
vaskuler dikenal sebagai penyakit serebrovaskular atau disingkat dengan CVID (Cerebro
Vascular Disease), dan penyakit akibat lesi vaskular di medulla spinalis bisa disebut juga
penyakit spinovaskular.
Stroke atau manifestasi CVD mempunyai etiologi dan patogenesis yang multi
kompleks.Rumitnya mekanisme CVD disebabkan oleh adanya integritas tubuh
yang sempurna.Otak tidak berdiri sendiri diluar jangkauan unsur-unsur kimia dan selular darah
yang memperdarahi seluruh tubuh. Jika integritas itu diputuskan sehingga sebagian dari otak
berdiri sendiri di luar lingkup kerja organ-organ tubuh sebagai suatu keseluruhan, maka dalam
keadaan terisolisasi itulah timbul kekacauan dalam ekspresi (gerakan) dan persepsi (sensorik dan
fungsi luhur),suatu keadaan yang kita jumpai pada penderita yang mengidap Stroke.

Etiologi
1. Infark otak (80 %)

Emboli

a. Emboli kardiogenik

Fibrilasi atrium atau aritmia lain


Trombus mural ventrikel kiri
Penyakit katup mitral atau aorta
Endokarditis (infeksi atau non infeksi)

b. Emboli paradoksal
c. Emboli arkus aorta

Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang besar)

a. Penyakit eksterakranial

Arteri karotis interna


Arteri vertebralis

b. Penyakit intrakranial

Arteri karotis interna


Arteri serebri media
Arteri Basilaris
Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)

2. Pendarahan intraserebral (15 %)

1.
2.

Hipertensi
Malformasi arteri-vena
Angiopati amiloid
Perdarahan Subarakhnoid (5 %)
Penyebab lain (yang dapat menimbulkan infark atau perdarahan )
1.
Trombosis sinus dura
2.
Diseksi arteri karotis atau arteri vertebralis
3.
Vaskulitis sistem saraf pusat
4.
Oklusi arteri besar intra kranial yang progresif
5.
Migren
6.
Kondisi hiperkoagulasi

7.
8.
9.

Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)


Kelainan Hematologis (anemia sel sabit, polisitemia, atau leukemia)
Miksoma atrium

Faktor Resiko

Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga dengan stroke atau
penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium,heterozigot atau homozigot untuk
homosistinure.
Yang dapat dirubah : hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol
dan obat, kontrasepsi oral, hematokrit meningkat, bruit karotis asimptomatis,
hiperurisemia dan dislipidemi.

Klasifikasi Stroke menurut WHO

Berdasarkan perubahan patologik pada otak :

PSA (Perubahan Sub arachnoid)

PIS (Pendarahan Intraserebral)

Nekrosis iskemik serebral


Berdasarkan stadium klinik :

TIA (Transient Iskhemic Attack)

SIE (Stroke in Evolution)

CS (Completed Stroke)

RIND (Reversibel Iskemik Neurologik Defisit)

II. Pembahasan
Mengapa Stroke dapat terjadi ?
Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2 1/2 % dari berat badan seluruhnya,
namun oksigen yang dibutuhkannya hampir mencapai 20% dari kebutuhan badan seluruhnya.
Oksigen ini diperoleh dari darah. Di otak sendiri hampir tidak ada cadangan oksigen. Dengan
demikian otak sangat bergantung kepada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplai oksigen
terputus selama 8-10 detik, maka terjadi gangguan fungsi otak.Bila lebih lama dari 6-8 menit,
terjadi jejas (lesi) yang tidak pulih lagi(irreversible) dan kemudian kematian.
Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa penghentian aliran darah ke otak selama lebih
dari 3 menit menyebabkan kerusakan yang menetap.
Beberapa daerah di otak lebih peka terhadap iskemia (berkurang aliran darah). Daerah dengan
aktivitas metabolik yang lebih tinggi membutuhkan makanan yang lebih banyak untuk
mempertahankan integritas strukturalnya. Dengan demikian masa kelabu yang mempunyai
aktivitas metabolik yang lebih tinggi lebih sensitive terhadap iskemia.

Kelainan yang terjadi akibat gangguan peredaran darah di otak dapat dibagi atas 2 golongan,
yaitu :
1. Infark Iskemik, disebut juga sebagai Stroke Non-Hemoragik
2. Perdarahan, disebut sebagai Stroke Hemoragik.
Perlu diingat bahwa kedua keadaan ini dapat terjadi bersamaan. Hemoragi dapat meninggikan
tekanan di rongga tenggkorak dan menyebabkan iskemia di daerah lain yang tidak terlibat
hemoragi. Sebaliknya di daerah iskemia dapat pula terjadi hemoragi.
Iskemia otak merupakan akibat berkurangnya aliran darah di otak, baik secara umum maupun
secara lokal.
Kata iskemia berasal dari kata Yunani, ischein (menghentikan) dan haima (darah).
Stroke iskemik, atau stroke non-hemoragik, pada kelompok usia di atas 45 tahun, paling banyak
disebabkan atau ada kaitannya dengan aterosklerosis.
Untuk mengetahui diagnosa stroke non hemoragik atau stroke hemoragik, dapat digunakan Skor
Stroke Siriraj (SSS) yaitu :
SSS : (2,5 x derajat kesadaran) + (2x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (10% x tekanan diastolik)
(-3x petanda ateroma) 12
Penilaian : Skor > 1: Stroke Hemoragik
Skor < -1 : Stroke non Hemoragik (stroke iskemik)
Selain itu dapat digunakan CT Scan atau MRI.
Stroke Non Hemoragik (Iskemik) mencakup :

TIA (Transient Iskemik Attack)


SIE (Stroke in Evolution)
CS (Completed Stroke)
RIND (Reversibel Iskemik Neurologik Defisit)

Manifestasi klinis :

Penyumbatan salah satu aliran darah karena vasospasme langsung dapat menimbulkan
gejala defisit atau perangsangan sesuai dengan fungsi daerah otak yang terkena.

Setelah vasospasme hilang, gejala-gejala itu akan hilang juga dan keadaan akan sehat seperti
pulih kembali (TIA).

Gejala defisit itu bisa berupa monoparesis atau hemiparesis dengan hemiparastesia ataupun
afasia.

Vasospasme regional bisa terjadi sehubungan dengan melonjaknya tekanan darah


sistemik, sebagai suatu reaksi vasokonstriksi yang berlebihan. Pada tekanan intralumenal
yang
membahayakan
memang
autoregulasi
vaskuler
sewajarnya
mengadakan vasokonstriksi.Padaorang sehat, vasokonstriksi itu berlangsung sejenak,
karena lonjakan tekanan darahnyapun tidak berlangsung lama, tetapi pada orang dengan
hipertensi lonjakan hipertensi dapat melewati batas kritis atas dan bisa berlangsung agak
lama.

Gangguan mekanisme autoregulasi regional itu terdapat pada tempat-tempat arteri yang
mengandung plaque

Arteri karotis dan arteri vertebralis,keduanya memperdarahi kedua belah belah otak
secara sendiri-sendiri, namun bekerja sama secara integral apabila kerja sama itu
diperlukan.Apabila salah satu diantara mereka tidak mampu memberikan jatah darah
yang biasa dibebankan atas dirinya, maka yang lainnya akan mengambil alih tugas itu.
Pengambil alihan tugas itu tidak selamanya berlangsung lancar.Sehingga pada masa
tertentu, pertolongan kompensatorik itu masih belum terlaksana .Karena terlambatnya
sirkulasi kompensatorik itu, maka daerah tertentu menjadi iskemik.

III. Penatalaksanaan
Prinsip Penatalaksanaan Stroke Iskemik
1. Membatasi atau memulihkan iskemia akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan
trombolisis
dengan
rt-PA (recombinant
tissue-plasminogen
activator). Pengobatan ini hanya boleh diberikan pada stroke iskemik dengan waktu onset
< 3 jam dan hasil CT Scannormal. Obat ini sangat mahal dan hanya dapat dilakukan di
rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap.
2. Mencegah perburukan neurologis yang behubungan dengan stroke yang masih
berkembang (jendela terapi sampai dengan 72 jam).
Progresivitas stroke terjadi pada 20-40 % pasien stroke iskemik yang dirawat, dengan risiko
terbesar dalam 24 jam pertama sejak onset gejala. Perburukan klinis dapat disebabkan oleh salah
satu mekanisme berikut ini:

Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark :

Masalah ini umumnya terjadi pada infark luas. Edema otak umumnya mencapai puncaknya pada
hari ke-3 sampai hari ke-5 setelah onset stroke dan jarang menimbulkan masalah dalam 24 jam
pertama. Terapi dengan manitol bermanfaat, hindari cairan hipotonik. Steroid tidak efektif.

Ekstensi teritori infark :

Ini dapat disebabkan oleh trombosis yang progresif dalam sebuah pembuluh darah yang
tersumbat (misalnya infark batang otak yang progresif pada seorang pasien dengan trombosis
arteri basilaris) atau kegagalan difusi distal yang berhubungan dengan stenosis atau oklusi yang
lebih proksimal (misalnya : perluasan infark zona perbatasan internal pada seorang pasien
dengan oklusi arteri karotis interna). Heparin dapat mencegah trombosis yang progresif dan
optimalisasi status volume dan tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.

Konversi hemoragis :

Masalah ini diketahui dari hasil radiologis tetapi jarang menimbulkan gejala klinis. Tiga faktor
risiko utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut. Jangan
memberikan antikoagulan pada pasien dengan risiko tinggi selama 48-72 jam pertama setelah
onset stroke. Bila ada hipertensi berat obati pasien dengan obat antihipertensi.
1. Mencegah stroke berulang dini (dalam 30 hari sejak onset gejala strok).
Sekitar 5 % pasien yang dirawat dengan stroke iskemik mengalami serangan stroke kedua dalam
30 hari pertama. Resiko ini paling tinggi (lebih besar dari 10%) pada pasien dengan stenosis
karotis yang berat dan kardioemboli serta paling rendah (1 %) pada pasien dengan infark lakuner.
Terapi dini dengan heparin dapat mengurangi risiko stroke berulang dini pada pasien dengan
kardioemboli.
Protokol Penatalaksanaan Strok Iskemik Akut
1. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis maksimum 90 mg). 10%
diberikan bolus intravena dan sisanya diberikan per drips dalam waktu 1 jam jika onset
gejala stroke dapat dipastikan kurang dari 3 jam dan hasil CT Scan otak tidak
memperlihatkan infark dini yang luas.
1. Pertimbangkan pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau
iskemia miokard. Bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200
mg drips dalam 12 jam.
2. Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh terlalu cepat
diturunkan.Akibat penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut
dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Aliran darah yang meningkat akibat
tekanan perfusi otak yang meningkat bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi
marginal (Penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat
menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Oleh sebab itu,
pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut adalah bila terdapat
salah satu hal berikut ;
Hipertensi
diobati
jika
terdapat
kegawatdaruratan
hipertensi
non
neurologis :
1. Iskemia miokard akut
2. Edema paru kardiogenik
3. Hipertensi maligna (retinopati)

4. Neuropati hipertensif
5. Diseksi aorta
Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15
menit :
1. Sistolik > 220 mmHg
2. Distolik > 120 mmHg
3. Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg
Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan darah sistolik
> 180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetolol), penghambat ACE
(kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin atau
sejenisnya) penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut hanya boleh maksimal 20 % dari
tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan dengan hati-hati dan dengan
pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan alat monitor kontinus sebab dapat
terjadi penurunan tekanan darah secara drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis 5
mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10 mg tergantung respons sebelumnya.
Pada tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat diatas atau bila diastolik > 140 mmHg
secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5%
dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan
darah yang diinginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drips 10-20 ug/menit.
Tekanan darah yang rendah pada stroke akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan
darah harus dinaikkan dengan dopamine atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang
mendasarinya.
1. Pertimbangan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau
radiologis adanya infark hemisfer atau serebellum yang massif, kesadaran menurun,
gangguan pernafasan, atau stroke dalam evaluasi.
2. Pertimbangkan konsul bedah saraf untuk dekompresi pada pasien dengan infark
serebellum yang luas.
3. Pertimbangkan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada pasien dengan stroke
vertebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infark yang tidak nyata pada CT Scan.
4. Pertimbangkan pemberian heparin intravena dimulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit
dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin
parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi berikut ini :
Kemungkinan besar stroke kardioemboli
Iskemia otak sepintas (TIA) atau infark karena stenosis arteri karotis
Stroke dalam evolusi
Diseksi arteri
Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark luas yang berhubungan
dengan efek massa atau konversi/transformasi hemoragik.
Pasien stroke dengan infark miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus
intrakardia harus diberi antikoagulan oral (warfarin) minimal 1 tahun dengan mempertahankan
masa protrombin 1,5-2,5 kali kontrol atau INR 2-3.
1. Pemeriksaan penunjang neurovaskular diutamakan dengan noninvasive. Pemeriksaan
berikut ini dianjurkan pada pasien infark serebri bila alat tersedia dan biaya terjangkau :
Ekokardiografi untuk mendeteksi adanya sumber emboli dari jantung. Pada banyak
pasien, ekokardiografi transthorakal sudah memadai. Ekokardiografi transesofageal
memberikan hasil yang lebih mendetail terutama kondisi atrium kiri dan arkus aorta serta
lebih sensitif untuk mendeteksi trombus mural atau vegetasi katup.
Ultrasonografi Doppler karotis diperlukan untuk menyingkirkan stenosis karotis yang
simtomatis serta lebih dari 70 % merupakan indikasi untuk enerterektomi karotis.
1. Pemeriksaan berikut ini dilakukan selektif pada pasien tertentu :
Ultrasonografi Doppler transkranial dapat dipakai untuk mendiagnosis oklusi atau
stenosis arteri intrakranial besar. Gelombang intrakranial yang abnormal dan pola aliran
kolateral dapat juga dipakai untuk menentukan apakah suatu stenosis pada leher
menimbulkan gangguan hemodinamik yang bermakna.
Angiografi resonansi magnetik dapat dipakai untuk mendiagnosis stenosis atau oklusi
arteri ekstrakranial atau intrakranial.
Pemantauan Holter dapat dipakai untuk mendeteksi fibrilasi atrium intermitten.
10. Pertimbangkan pemeriksaan darah berikut ini pada kasus-kasus penyebab stroke yang tidak
lazim, terutama pada usia muda :

Kultur darah jika dicurigai endokarditis..


Pemeriksaan prokoagulan : aktivitas protein C, aktivitas protein S, aktivitas antitrombin
III, antikoagulan lupus, antibody antikardiolipin.
Pemeriksaan untuk vaskulitis : antibody antinuklear (ANA), factor rheumatoid, regain
plasma cepat (RPR), serologi virus hepatitis, laju endap darah, elektroforesis protein
serum, krioglobulin, dan serologi virus herpes simpleks.
Profil koagulasi untuk menyingkirkan koagulasi intravaskular disseminata (DIC).
Beta gonadotropin khorionik manusia (b-HCG) untuk menyingkirkan kehamilan pada
wanita muda dengan stroke.

IV. Terapi Medik Stroke Iskemik.


Pada stroke iskemik didapatkan gangguan pemasokan darah ke sebagian jaringan otak. Ini
disebabkan karena aliran darah berkurang atau berhenti. Bila gangguan cukup berat, akan ada sel
saraf yang mati. Disamping sel yang mati didapatkan pula sel otak yang sekarat.

Sel yang sudah mati tidak dapat ditolong lagi. Yang kita lakukan ialah usaha agar sel yang
sekarat jangan sampai mati. Setelah terjadi iskemia, di otak terjadi berbagai macam reaksi
lanjutan, misalnya pembentukan edema (sembab) di sebagian otak, perubahan susunan
neurotransmitter, perubahan vaskularisasi regional, perubahan tingkat metabolisme.
Tujuan terapi ialah agar reaksi lanjutan ini jangan sampai merugikan penderita. Kita berusaha
agar sel otak yang belum mati tetap berada dalam keadaan gawat, jangan sampai menjadi mati.
Diupayakan agar aliran darah di daerah yang iskemik dapat dipulihkan kembali. Demikian juga
metabolismenya.
Banyak macam tindakan serta macam obat yang telah diselidiki, namun banyak yang hasilnya
belum meyakinkan, masih kontroversial. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Perlu disadari bahwa untuk meneliti khasiat terapi pada stroke bukanlah hal yang mudah. Antara
lain disebabkan karena perjalanan penyakit stroke beragam, penyebab dan faktor resikonya juga
bermacam-macam. Demikian juga daerah yang mengalami iskemia serta beratnya iskemia
berbeda-beda. Semua hal ini ikut mempengaruhi perjalanan penyakit. Hal ini menyulitkan
peneliti untuk memastikan apakah terapi yang diberikan ada manfaatnya.
Sekiranya terjadi perbaikan, sulit memastikan apakah perbaikan tersebut diakibatkan oleh obat
atau tindakan yang diberikan. Mungkin saja perbaikan tersebut akan terjadi tanpa terapi yang
diberikan. Untuk memastikan hal yang demikian dibutuhkan penelitian terhadap sangat banyak
jumlah pasien. Mencapai ratusan jumlahnya, hal yang sulit dilakukan dengan mengingat fasilitas
yang tersedia.
Berikut ini beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik :
1. Obat untuk sembab otak (edema otak)
Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat akan mengganggu
sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan herniasi (peranjakan) jaringan otak.
Herniasi ini dapat mengakibatkan keadaan lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian.
Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan Manitol 20%; larutan gliserol
10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga membantu mencegah bertambahnya edema
di otak. Obat dexametasone, suatu kortikosteroid, dapat pula digunakan.
1. Obat antiagregasi trombosit
Ada obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan dengan demikian
mencegah terbentuknya thrombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat pembuluh darah.
Obat demikian dapat digunakan pada stroke iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak
digunakan ialah asetosal (Aspirin). Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram
sehari. Akhir-akhir ini juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x

250 mg atau Klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah kambuhnya,
atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama pengobatan dengan antiagregasi
berlangsung 1 2 tahun atau lebih.
Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan baik.
1. Antikoagulansia
Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi thrombus.
Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan kelainan jantung yang
dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah heparin, kumarin, sintrom.
1. Obat Trombolitik (obat yang dapat menghancurkan thrombus)
Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila sumbatan oleh thrombus
dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi), maka sel-sel neuron yang sekarat dapat
ditolong.
Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan rt-PA pada stroke
iskemik, ialah penelitian HINDS, yang melibatkan 624 penderita dan pengobatan dimulai dalam
kurun waktu 3 jam setelah mulainya stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini
cukup tinggi (6,4 % dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo). Namun
demikian, pasien yang dapat pergi pulang ke rumah lebih banyak pada kelompok yang mendapat
rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi trombolitik pada stroke iskemik
merupakan terapi yang poten, dan cukup berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.
1. Obat atau tindakan lain
Berbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan dengan tujuan
memperbaiki atau mengoptimalisasi keadaan otak, metabolisme dan sirkulasinya. Hasilnya
masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Obat-obat ini misalnya : kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin (Nimotop), pentoksifilin
(Trental), sitikolin (Nicholin).
Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah : hemodilusi (mengencerkan darah). Hal ini
dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke. Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih
dari 44 50 %, maka darah dikeluarkan sebanyak 250 cc, diganti dengan larutan dekstran 40
atau larutan lainnya. Bila masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250 cc keesokan harinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maharmarjuna, DR. Prof ; Neurologi Klinik Dasar.

2. Kapita Selekta Kedokteran Bagian llmu Penyakit Syaraf : Media Aesculapius; Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2000.
3. Prof. DR.dr. S.M. Lumbantobing : Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak : Fakultas
Keodkteran Universitas Indonesia.

KUSTA

Menurut WHO (2005), penyakit kusta merupakan salah satu penyakit kronik yang masih
menjadi masalah kesehatan di dunia, khususnya di negara berkembang. Indonesia menduduki
peringkat terbesar ketiga penderita kusta setelah India dan Brazil. Menurut Depkes RI (2005),
Indonesia merupakan salah satu negara endemis kusta di dunia. Pada tahun 2003-2005 tercatat
jumlah penderita kusta di Indonesia mengalami peningkatan (Tahun 2003 tercatat 15.549, tahun
2004 sebanyak 16.572, tahun 2005 meningkat 18.735 penderita). Sementara data WHO tahun
2010, walaupun mengalami penurunan jumlah, Indonesia masih menempati urutan ke tiga

terbanyak di dunia dengan sejumlah 17.012 kasus. Sedangkan peringkat pertama India dengan
126.800
kasus,
dan
Brasil
dengan
34.894
kasus
kusta.

Walaupun secara nasional tahun 2000 Indonesia berhasil mencapai eliminasi kusta, namun
sampai akhir tahun 2004 masih terdapat 12 provinsi dan 140 kabupaten yang belum mencapai
eliminasi kusta. Prevalence rate (1/10.000) pada 12 provinsi sebesar 1-2, yang berarti diantara
10.000 orang penduduk terdapat satu atau dua orang penderita kusta (Depkes, 2004).
Pengertian dan Klasifikasi Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya.
Sedangkan klasifikasi kusta, dibedakan menjadi kelompok-kelompok, untuk membantu
pengobatan dan penyembuhan.
Terdapat tiga tipe utama penyakit kusta yaitu lepromatous, boderline, dan tuberkuloid. Namun di
Indonesia klasifikasi di atas tidak digunakan dalam penanganan penyakit kusta di lapangan.
1. Tipe lepromatous terdapat pada orang yang tidak mempunyai daya tahan tubuh dan
mycobacterium leprae berkembangbiak di tubuhnya dalam jumlah tidak terhitung.
2. Tipe borderline berkembang pada penderita dengan daya tahan tubuh sedang, daya tahan
yang sedang ini dapat mengurangi jumlah mycobacterium leprae tidak begitu banyak,
namun masih cukup banyak yang tinggal dan berkembangbiak dalam tubuh, juga berarti
bahwa suatu pertempuran sedang terjadi antara mycobacterium leprae dan daya tahan
tubuh. Tipe borderline dapat dibagi menjadi tiga yaitu borderline tuberkuloid, boderline
borderline dan borderline lepromatous.
3. Tipe tuberkuloid terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan sedikit
mycobacterium leprae untuk berkembangbiak menjadi banyak. Tipe indeterminate yang
berarti bahwa tipenya tidak dapat diketahui pada saat sekarang. Kusta indeterminate
terjadi pada seseorang dengan daya tahan tubuh sedemikian tinggi sehingga tubuh bisa
segera menyembuhkan penyakitnya tanpa suatu pengobatan. Atau pada orang dengan
daya tahan tubuh yang kurang maka tanda indeterminatenya menjadi lebih jelas.
Sementara di lapangan, klasifikasi yang digunakan bertujuan untuk menentukan regimen
pengobatan dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multi

Drug Therapy (MDT), dengan menggabungkan rifampisin, lamprene, dan DDS. Berdasarkan hal
ini klasifikasi penyakit kusta di Indonesia dibagi menjadi dua tipe yaitu PB dan tipe MB.
Beberapa karakteristik tipe kusta ini antara lain :
1. Kusta tipe PB jika jumlah bercak pada kulit berjumlah 1-5, bulu pada bercak rontok,
ukuran bercak kecil dan besar, bercak terdistribusi secara asimetris, bercak biasanya
kering dan kasar, batas bercak tegas, kehilangan rasa pada bercak selalu ada dan jelas,
terdapat central healing (penyembuhan di tengah), cacat biasanya terjadi dini dan
asimetris, penebalan syaraf terjadi dini, infiltrat, nodulus dan perdarahan hidung tidak ada
dan BTA negatif.
2. Kusta tipe MB memiliki karakteristik jumlah bercak banyak, ukuran bercak kecil-kecil,
bercak terdistribusi simetris, bercak biasanya halus dan berkilat, batas bercak kurang
tegas, kehilangan rasa pada bercak biasanya tidak jelas dan terjadi pada stadium lanjut,
bulu pada bercak tidak rontok, infiltrat, perdarahan hidung ada dan kadang-kadang tidak
ada, ciri khusus terdapat punced out lesion (lesi berbentuk seperti kue donat), madarosis,
ginecomastia, hidung pelana, suara parau, penebalan syaraf pada tahap lanjut, cacat
terjadi pada stadium lanjut dan BTA positif.
Refference, antara lain : WHO. 2005. Global Leprosy Situation, 2005; Depkes. 2005. Buku
Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas. Roos,W. F. 1989. Penyakit Kusta. PT
Gramedia

DERMATITIS ATOPIKAL

Pengertian
Dermatitis Atopika Adalah penyakit inflamasi yang ditandai dengan erupsi kulit makulo papuler
dengan kemerahan, memberi keluhan gatal yang sangat dengan penyebaran yang khas,
berkembang menjadi lesi kulit dengan likenifikasi kering, ekskoriasi dan eksudasi. Sifatnya
menurun ( heriditer ), ditandai dengan riwayat keluarga dengan asma, rinitis alergika atau
dermatitis atopika.
Patofisiologi :

1. Gangguan pada Cell Mediated Immunity.


Secara in vitro dapat dibuktikan adanya :

Penurunan proliferasi limfosit terhadap mitogen.

Penurunan kemotaksis terhadap sel monosit dan polimorfonuklear.

Gangguan ini hilang pada waktu remisi, menunjukkan bahwa sifatnya adalah sementara.

Penurunan jumlah sel T8 ( suppresor T cell )

Penurunan regulasi IgE oleh sel T8.

2. IgE.
80 90 % dari penderita Dermatitis Atopik menunjukkan kadar IgE yang tinggi. Proses
patologinya melalui IgE dependent late phase response. Dua molekul IgE pada FcI reseptor pada
sel Mast atau basofil setelah dijembatani oleh antigen akan mengaktifkan sel mengeluarkan isi
granulanya berupa histamin, heparin dan tryptase P ( preformed mediator ). Sementara itu
Phospholipase dan metiltransferase dari membran mengkatalisa phospholipid menjadi asam
arachidonat, selanjutnya dioksidasi menjadi leukotrien, prostaglandin. Mediator-mediator ini
menyebabkan kelainan pada kulit.
3. Hipersensitifitas terhadap makanan.
Makanan sebagai alergen mengaktifasi reaksi imunologis yang melibatkan IgE.
4. Respons reseptor beta adrenergik yang tidak normal.
5. Produksi keringat yang meningkat.
Pada penderita Dermatitis Atopik ada kecenderungan peningkatan produksi keringat sehubungan
dengan rangsangan udara panas, latihan dan emosi. Berkeringat menimbulkan rasa gatal
sehingga penderita menggaruk, meningkatkan terjadinya dermatitis dan ekskoriasi.
6. Produksi sebum menurun, menyebabkan meningkatnya kehilangan air menimbulkan xerosis.
Gejala Klinis / Symptom :
Ada 4 stadium gejala klinis :
1. Infantil Atopic dermatitis
2. Childhood Atopic dermatitis
3. Adolescence Atopic dermatitis
4.Adult Atopic dermatitis
1. Stadium Infantil Atopic dermatitis :
Gejala mulai lebih awal dari usia 8 bulan dengan tanda-tanda dermatitis seboroika dan eritema
mulai pada pipi, dahi, kepala, tangan, kaki, badan, telinga dan daerah anorektal. Lesi berupa

eritema yang kasar dan kering. Rasa gatal menyebabkan bayi menjadi mudah terangsang
( iritable ) dan tidurnya terganggu. Pada 18 bulan lesi bisa meliputi seluruh ekstremitas terutama
daerah fleksor.
2. Stadium Childhood Atopic dermatitis :
Merupakan lanjutan dari stadium Infantil Atopic dermatitis dengan ada periode sembuh
diantaranya. Gambaran yang khas adalah kulit yang kering ( xerosis ) terutama pada lipatan
antekubiti dan lipatan poplitea daerah fleksor, sudut mulut dan daun telinga. Lesi bersifat kurang
eksematis tapi lebih kering disertai papula dengan diameter antara 0,5 1 mm.
3 & 4 . Stadium Adolescence dan Adult :
Lesi terutama berupa bercak luas likenifikasi dikelilingi papula yang mengalami krustasi. Lokasi
terutama pada lipatan antekubiti dan lipatan poplitea, muka, leher, kelopak mata, pergelangan
tangan/kaki.

Cara Pemeriksaan :
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa meliputi :
1. Anamnesa :

Riwayat penyakit

Riwayat pengobatan

Hubungan dengan makanan

Masalah yang dihadapi misalnya infeksi kulit

Riwayat keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik :

Sifat lesi

Distribusi dari lesi

Derajat kekeringan/inflamasi

Respon terhadap tekanan benda tumpul

Tanda-tanda alergi lain misalnya rinitis alergika, asma bronkiale.

3. Pemeriksaan Laboratorium :

Hitung Eosinofil : untuk mengetahui adanya atopi

Hematokrit

Hapusan mukosa hidung

Kultur kuman L untuk mengetahui adanya komplikasi infeksi dan menentukan


pengobatan.

Uji kulit : untuk mengetahui adanya IgE spesifik pada sel Mast pada kulit.

IgE total dan spesifik.

Diagnosa Banding :
Beberapa penyakit kulit menyerupai dermatitis atopik :
1. Dermatitis Seboroika :
Terjadi terutama pada bayi, sangat menyerupai Dermatitis Atopik. Mulai pada minggu 2 10
setelah lahir, seringkali menghilang 3 4 minggu. Gambaran kelainan kulit terutama eritema dan
pembentukan sisik berbatas jelas berbentuk bulat atau oval melebar, ada kemungkinan menyatu.
Sisik berwarna kecoklatan berminyak terutama daerah kepala dan fleksor. Infeksi sekunder
sering oleh kandida albikan.
2. Leiners disease ( Erythroderms desquamativa ) :
Adalah dermatitis eksfoliativa pada bayi. Biasanya disertai pembesaran kelenjar regional dan
diare yang berkepanjangan. Satu bentuk familial dari penyakit ini adalah defisiensi komplemen
5. Tanda-tandanya adalah kegagalan pertumbuhan, diare dan sepsis berulang.
3. Kandidiasis kulit.
Lokasi biasanya pada daerah sela-sela yang basah. Lesi berupa eritema dengan batas tajam
disertai sisik dikelilingi oleh vesikula atau pustula.
4. Lichen simplex chronicus
5. Dermatitis kontak
6. Reaksi obat
7. Chronic Exfoliative Dermatitis
8. Psoriasis
Komplikasi :
1. Infeksi kulit dengan bakteri dan virus :

Impetigo

Folikulitis

Abses

Vaccinia

Moluskum kontagiosum

Herpes.

2. Pada mata :

Keratoconus

Katarak.

3. Nefritis.
Penatalaksanaan Medik :
Penatalaksanaan meliputi 2 bagian :
1. Perawatan kulit.
2. Perawatan umum.
Perawatan Kulit :
Fase akut : jika dalam keadaan inflamasi : oozing dan krustasi sebaiknya diberi antibiotika. Wet
dressing dengan solusio Burowi selama 15 30 menit 4 kali sehari membantu mengurangi
inflamasi dan menghilangkan krusta dan eksudat. Dilakukan tidak lebih dari 3 hari.
Fase sub akut dan kronis : cuci dengan air dan penggunaan emolient dan kortikosteroid.

Perawatan Umum :

Mengatasi infeksi

Antihistamin : Hydroxizin ( Atarax ) dimulai dengan 10 mg tiap 6 jam naikkan 5 mg tiap


3 5 hari sampai gatal dihilangkan. Bisa juga diberi Diphenhydramin (Benadryl).

Diet.

Kontrol lingkungan pada penderita yang sensitif terhadap debu kapuk, bulu kucing, bulu
anjing.

Konsultasi psikologi pada penderita dengan pencetus emosi.

Imunoterapi : merupakan bagian dari desensitisasi terhadap alergi debu rumah pada
penderita atopik dermatitis yang menyertai Asma bronkiale.

KARSINOMA SERVIKS

Karsinoma serviks merupakan salah satu kanker yang paling sering pada wanita di
seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa invasif mencakup 80% keganasan serviks. Tidak seperti
kanker saluran reproduksi lainnya yang lebih banyak terjadi di negara industri, kanker serviks
merupakan kanker pembunuh nomer satu pada wanita di dunia ketiga. Epidemiologi menunjukan
bahwa kanker seviks merupakan penyakit menular seksual. Kanker skuamosa serviks dapat
dicegah jika dilakukan skrining dan terapi yang tepat. 1
Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN)
Hampir semua karsinoma sel skuamosa serviks invasif berkembang dari prekusor perubahan
epitel yang disebut CIN (cervical intraepithelial neoplasia). Meskipun begitu, tidak semua CIN
akan berkembang menjadi kanker. Kadangkala CIN tetap ada, tetapi tidak berubah atau
berkembang. 2
Umumnya, CIN bersifat asimptomatik dan terjadi sekitar 5-15 tahun sebelum berkembangnya
karsinoma invasif. Hampir semua kanker serviks berkembang pada zona transformasi seviks.

Lokasi sambungan skuamokolumnar tersebut dapat berubah sebagai respon serviks terhadap
berbagai faktor dan terdapat perbedaan lokasi antara anak perempuan pascapubertas, dengan
wanita menopause. Pada wanita tua, zona transformasi jauh berada di kanal endoserviks. 1
Pemeriksaan sitologis dapat mendeteksi CIN sebelum ketidaknormalan nampak secara kasar.
Perubahan prekanker berupa CIN dapat bermula dari lesi derajat ringan yang berkembang
menjadi derajat yang lebih tinggi atau bisa juga serta beberapa faktor host lainnya. Berdasarkan
penampakan histologisnya, lesi prekanker dapat digolongkan derajatnya menjadi:

CIN I: diplasia ringan


CIN II: diplasia sedang
CIN III: displasia berat dan karsinoma in situ2
Sementara itu, sistem Bethesda yang terbaru membedakan lesi prekanker menjadi dua kelompok
yaitu low-grade dan high-grade squamous intraepithelial lesions (SIL). Lesi derajat rendah
berkaitan dengan CIN I atau kondiloma yang rata sedangkan yang derajat tinggi identik dengan
CIN II atau III.
CIN I atau yang seringkali disebut sebagai flat condyloma ditandai dengan perubahan
koilositosis yang utamanya terjadi pada lapisan superfisial epitel. Koilositosis tersusun dari
hiperkromatik inti dan angulasi dengan vakuolisasi perinuklear yang disebabkan efek sitopatik
HPV.
Pada CIN II, displasi terjadi lebih berat dengan maturasi keratinosit yang tertunda sampai
sepertiga epitelium. CIN II berkaitan dengan beberapa variasi pada ukuran sel dan inti serta
heterogenitas kromatin inti. Sel-sel pada lapis superfisial menunjukan beberapa diferensiasi dan
pada beberapa kasus dapat menunjukan pula perubahan koilositosis.
Tingkatan selanjutnya, yang kadangkala tidak jelas perbedaannya dengan CIN II, adalah CIN III.
Biasanya CIN III ini ditandai dengan variasi ukuran sel dan inti yang semakin besar,
heterogenitas kromatin, gangguan orientasi sel dan mitosis yang normal maupun abnormal.
Perubahan tersebut terjadi pada seluruh lapisan epitel dan dikarakteristikan dengan hilangnya
maturitas. Diferensiasi sel-sel permukaan dan perubahan koilositosis biasanya sudah
menghilang. Kondisi saat terjadi perubahan displasia yang lebih atipikal dan meluas ke kelenjar
endoserviks, tetapi masih terbatas pada sel epitel dan kelenjarnya, disebut karsinoma in situ.

Berdasarkan berbagai penelitian, CIN I kemungkinan mengalami regresi sebanyak 50-60%,


persisten 30% dan progresif menjadi CIN III sebanyak 20%. CIN III mungkin mengalami regresi
sebanyak 33% dan semakin progesif sebanyak 60-74%. Semakin tinggi derajatnya, peluang
untuk menjadi progesif semakin besar. Namun, dapat diperhatikan pula bahwa banyak kasus lesi
derajat tinggi yang tidak berkembang menjadi kanker.
Insiden CIN paling banyak adalah pada usia 30-an sedangkan karsinoma invasif lebih banyak
terjadi pada usia sekitar 45 tahun. Meskipun terkadang ditemukan kasus tumor invasif pada
wanita usia 20-an tahun, lesi prekanker membutuhkan beberapa tahun untuk berkembang
menjadi kanker.
Faktor resiko untuk progresifitas CIN dan karsinoma invasif adalah sebagai berikut.

Usia yang terlalu muda pada saat pertama kali berhubungan seksual

Kegiatan seksual multipartner


Berpasangan dengan pria yang multipartner
Infeksi persisten dari papilomavirus yang beresiko tinggi2

Karsinoma serviks invasif


Karsinoma serviks invasif merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas di seluruh dunia,
terutama pada negara berkembang. Bentuk umum dari karsinoma serviks adalah karsinoma sel
skuamosa (75%), kemudian adenokarsinoma dan karsinoma adenoskuamosa (20%) serta
karsinoma neuroendokrin sel kecil. (<5%)
Insiden puncak lesi sel skuamosa terjadi pada usia 45 tahun, sekitar 10 sampai 15 tahun sejak
terdekteksinya prekusor kanker. Pada beberapa individu dengan perubahan intraepitelial agresif,
interval tersebut mungkin menjadi lebih pendek. Ada pula CIN yang tetap persisten tetapi tidak
berkembang menjadi kanker.
Karsinoma serviks invasif berkembang pada zona transformasi. Penampakannya dapat berupa
fokus mikroskopik pada invasi stroma awal sampai tumor yang jelas terlihat. Tumor mungkin
invisible atau eksofitik.2 Tipe eksofitik merupakan yang paling umum, meluas ke vagina dan
dapat terjadi perdarahan hebat saat disentuh. (heffner )Tumor yang melingkari serviks dan
berpenetrasi ke dalam stroma di bawahnya dapat menghasilkan barrel serviksyang dapat
diidentifikasi dengan palpasi langsung. Lesi ini dapat menyebabkan gejala gangguan berkemih
atau buang air besar. Ekstensi ke jaringan lunak parametrium dapat melekatkan uterus pada
struktur pelvis. Selain itu, ada pula tipe tumor ulseratif yang mengubah serviks dan vagina
bagian atas dengan lubang purulen yang besar. 1
Penyebaran ke nodus limfe pelvis ditentukan oleh kedalaman tumor, dan adanya invasi kapilerlimfatik. Metastasis jauh, termasuk yang melibatkan nodus para-aortic, organ yang jauh, atau
struktur sekitar seperti kandung kemih atau rektum, biasanya terjadi setelah penyakit tersebut
berlangsung lama. Pengecualian terjadi pada tumor neuroendokrin yang bersifat lebih agresif. 2

Patogenesis

Patogenesis penyakit ini erat kaitannya dengan pajanan karsinofen pada jaringan yang rentan,
yaitu zona transformasi. Sambungan skuamokolumnar dipengaruhi oleh perubahan hormonal dan
anatomis saat pubertas., kehamilan dan menopause. Sebelum pubertas, sambungan tersebut
terletak pada ostium sevikalis eksterna. Saat pubertas, perubahan bentuk dan volume serviks
yang diinduksi estrogen membawa sambungan skuamokolumnar ke bagian luar ektoserviks.
Pajanan lingkungan vagina yang asam pada epitel yang mensekresi musin sederhana
menginduksi denaturasi kimia pada ujung vili epitel kolumnar. Proses perbaikan yang terjadi
setelahnya menghasilkan sel skuamosa yang matur.
Tanda pertama proses perbaikan adalah terdapatnya sel cadangan yang diaktivasi di bawah epitel
kolumnar. Sel cadangan secara bertahap menjadi berlapis di bawah sel kolumnar dan
menggantikan sel tersebut, membentuk zona transformasi. Setelah menopause, sambungan
skuamokolumnar kembali naik ke posisi di dalam kanal endoserviks. 1
Agen kausatif kanker serviks yang dapat disebarkan secara seksual adalah HPV. HPV dapat
dideteksi degan metode molekular hampir pada semua lesi prekanker dan neoplasma invasif.
Dari seratus lebih tipe HPV, yang paling beresiko tinggi menyebabkan karsinoma serviks adalah
HPV tipe 16, 18, 45 dan 31. Tipe lain yang lebih jarang adalah HPV tipe 33, 35, 39, 45, 52, 56,
58, dan 59. Sementara itu, lesi ringan seperti kondiloma berkaitan dengan infeksi HPV resiko
rendah seperti tipe 6, 11, 42, dan 44. 2,3
Pada lesi ringan, DNA virus tidak berintegrasi dengan genome host dan tetap dalam bentuk
episom bebas. Sementara itu, HPV tipe 16 dan 18 biasanya akan berintegrasi ke dalam genom
host dan mengekspresikan protein E6 dan E7 dalam jumlah besar sehingga gen p53 dan RB yang
berfungsi sebagai supressor tumor akan terinaktivasi atau terhambat. Akibatnya terjadi
perubahan fenotip sel yang bertransformasi, memungkinkan pertumbuhan otonom dan bisa
terjadi mutasi lebih jauh lagi.
Walaupun banyak wanita yang memiliki virus tersebut, hanya sedikit yang berkembang menjadi
kanker. Hal tersebut berarti terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kanker.
Faktor resiko yang terdefinisikan dengan baik adalah merokok dan imunodefisiensi. 2 Terdapat
prevalensi tinggi DNA HPV pada kulit normal dari orang dewasa sehat. Kutil dapat menghilang
secara spontan seiring waktu. Namun, pada penderita imunodefisiensi seperti HIV, dapat
berkembang ke arah yang lebih berat. 3

Untuk memonitor penyakitnya, follow up serta biopsi berulang perlu dilakukan. Dalam
mencegah kanker, deteksi prekusor dengan pemeriksaan sitologis dan eradikasi dengan laser
vaporization maupun cone biopsy dapat dilakukan sebagai metode yang paling efektif.
Jika kanker sudah berkembang, 5-year survivals adalah: 2

stage 0 (preinvasive): 100%


stage 1: 90%
stage 2: 82%
stage 3: 35%
stage 4: 10%
Karena penyebaran tumor bersifat gradual, bahkan wanita dengan nodus pelvis yang positif
memiliki angka harapan hidup sebanyak 50%. Pada kasus yang sudah berat, kemoterapi
mungkin meningkatkan harapan hidup.
Penatalaksanaan Kanker Serviks4
Penatalaksanaan utama yang paling utama adalah mencegah sel prekanker menjadi sel kanker.
Biasanya dilakukan beberapa tahapan yang melibatkan pengambilan sel atau jaringan untuk
mendiagnosis kanker dan mengetahui seberapa jauh invasinya. Jika sel yang paling dalam yang
diambil melalui biopsi dalam kondisi normal, tidak ada treatment lanjutan yang perlu dilakukan.
Jika sel terdalam merupakan sel kanker atau prekanker, berarti kanker telah menginvasi sejauh
itu. Pada kasus tersebut, treatment dimulai dengan membuang jaringan. Setelah jaringan
dibuang, perubahan diplastik perlu diperiksa untuk memastikan bahwa sel prekanker atau sel
kanker telah dibuang dari tubuh atau dihancurkan.
Perawatan di rumah
Tanpa perawatan medis, kanker akan terus tumbuh dan menyebar. Organ tubuh vital lainnya
dapat kehilangan fungsinya karena kanker mengambil oksigen dan nutrisi , mendesak, atau
menyebabkan jejas pada organ tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
meringankan tekanan fisik dan mental akibat kanker.
Salah satu hal terpenting adalah menjaga nutrisi supaya tetap adekuat. Selama menjalani terapi,
pasien biasanya akan kehilangan nafsu makan. Efek samping dari kemoterapi seperti mual,
muntah, sakit di dalam mulut sehingga terjadi kesulitan makan. Namun,pasien yang

mengkonsumsi cukup kalori dan protein akan lebih mampu menjaga kekuatan dan energi selama
terapi. Juga, mereka bisa lebih mampu mentoleransi efek samping terapi.
Beberapa perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan untuk kekuatan tubuh di antaranya adalah
melakukan aktivitas fisik. Disarankan aktivitas sedang yang menyenangkan, tetapi tidak
menyebabkan kelelahan. Selain itu, istirahat juga sangat penting, terutama tidur pada tiap malam
atau istirahat sepanjang hari jika dibutuhkan. Merokok harus dihentikan, begitu juga dengan
alkohol.
Terapi medis
Terapi untuk lesi prekanker tergantung pada beberapa faktor, seperti derajat lesi, apakah ingin
memiliki anak di masa depan, usia, kesehatan secara umum, dan kecenderungan pasien untuk
memilih terapi yang cocok.
Pada lesi derajat rendah yang area abnormalnya sudah dibuang semua melalui biopsi, tidak
diperlukan terapi lanjutan. Namun, pap smear dan pemeriksaan pelvis rutin tetap perlu dilakukan
untuk memonitor. Jika lesi prekanker membutuhkan terapi, cryosurgery (pembekuan),
cauterization (pembakaran atau diatermi) atau pembedahan laser dapat digunakan untuk
menghancurkan area abnormal tanpa membahayakan jaringan yang sehat. Pembuangan jaringan
abnormal juga dapat dilakukan dengan LEEP atau conization. Terapi untuk lesi prekanker
mungkin menyebabkan kram atau nyeri lainnya, perdarahan atau keluarnya cairan vagina.
Pada beberapa kasus, biasanya dilakukan histeroktomi untuk lesi prekanker, terutama jika sel
abnormal ditemukan pada mulut serviks. Pembedahan ini dilakukan jika pasien tidak berencana
untuk memiliki anak setelah terapi.
Prosedur diagnostik, seperti LEEP dan cone biopsy, kadangkala dapat digunakan sebagai terapi
juga. Kedua prosedur tersebut mengambil beberapa jaringan serviks untuk evaluasi. Jika
diketahui terdapat sel abnormal tetapi tidak meluas sampai jaringan yang terpotong, hanya perlu
dilakukan follow up. Jika meragukan apakah semua lesi prekanker sudah terambil atau belum,
terapi lebih lanjut perlu dilakukan.
Cryocautery merupakan prosedur yang menggunakan peralatan yang didinginkan sampai suhu
di bawah 0 dengan cairan nitrogen. Peralatan tersebut nanti akan diaplikasikan pada permukaan
serviks. Sel-sel tersebut nanti akan membeku dan kemudian mati untuk digantikan dengan sel
serviks yang baru.

Jaringan juga bisa dibuang dengan ablasi dengan laser. Sinar laser dapat diaplikasikan pada area
spesifik jaringan serviks atau seluruh jaringan pada permukaan serviks. Laser akan
menghancurkan sel-sel tersebut. Kesuksesan cryocautery dan ablasi menggunakan laser
ditentukan dengan follow up dan pemeriksaan pap smear.

Terapi pada kanker invasif


Jika biopsi menunjukan bahwa sel kanker telah menginvasi membran basal, dibutuhkan
pembedahan. Luasnya pembedahan tersebut tergantung dengan derajat kanker. Terapi radiasi
menggunakan sinar energi tinggi untuk menghancurkan sel kanker dan menghentikan
pertumbuhannya. Sebagaimana pembedahan, terapi radiasi merupakan terapi lokal yang hanya
melibatkan sel-sel kanker pada area tersebut. Radiasi bisa dilakukan baik secara eksternal
maupun internal.
Kemoterapi merupakan pengobatan yang adekuat untuk membunuh sel kanker terutama
digunakan pada kanker yang sudah menyebar ke beberapa bagian tubuh. Obat antikanker bisa
diberikan secara IV maupun oral dan bisa membunuh sel kanker pada aliran darah secara
sistemik. Kemoterapi diberikan sesuai dengan siklus yang berupa masa pengobatan secara
intensif diikuti masa masa instirahat. Terapi biasanya dilakukan selama beberapa siklus.
Beberapa obay yang digunakan pada kemoterapi di antaranya adalah carboplatin, cisplatin,
paclitaxel, fluorouracil, cyclophosphamide dan ifosfamide.5
Pembedahan
Pembedahan berguna untuk membuang jaringan kanker di dalam maupun di sekitar serviks. Jika
kanker hanya pada permukaan, pembuangan lesi mirip seperti pada lesi prekanker. Jika kanker
sudah menginvasi lapisan yang lebih dalam tetapi belum menyebar melebihi serviks, operasi
dilakukan untuk membuang tumor tetapi menyisakan uterus dan ovarium. Jika sudah sampai ke
uterus, perlu dilakukan histeroktomi. Histeroktomi juga seringkali dilakukan untuk mencegah
penyebaran kanker.
Histeroktomi merupakan pembedahan untuk membuang seluruh uterus termasuk serviks.
Seringkali ovarium dan tuba fallopi juga dibuang. Untuk mencegah penyebaran secara limfogen,
nodus limfe di dekat uterus juga dibuang.

Mengingat histeroktomi adalah pembedahan yang mayor, keputusan untuk melakukan


histeroktomi harus dibuat oleh wanita tersebut, pasangannya, serta penyedia layanan
kesehatannya. Beberapa wanita yang tidak berencana untuk memiliki anak di kemudian hari
mungkin memilih histeroktomi sebagai upaya pencegahan, tetapi ada pula mereka yang
berencana untuk memiliki anak dan berharap bisa mempertahankan organ reproduksinya
meskipun resikonya berat.
Wanita yang sudah diangkat uterusnya tidak lagi memiliki siklus menstruasi. Namun,
kemampuan untuk bersenggama biasanya tidak terpengaruh oleh operasi ini. Aktivitas seksual
dapat dilakukan setelah sekitar 4-8 minggu. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah
wanita dapat mengalami kesulitan secara emosional terutama karena ketidakmampuan untuk
menghasilkan anak. Pada kondisi ini, dukungan dari pasangan sangat penting diberikan.4

Daftar Pustaka
1

Haffner LJ, Schust DJ. At a Glance Sistem Reproduksi: Kanker Serviks. 2nded.
Jakarta:Erlangga; 2008. P.94-5.
2

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Female Genital System
and Breast. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. P. 717-20.
3

Brooks GF, dkk. Mikrobiologi Kedokteran: Virus Kanker Manusia. Jakarta: EGC; 2004.
P. 610-2.
4

Ware CJ. Cervical Cancer. Diunduh


darihttp://www.emedicinehealth.com/cervical_cancer/page8_em.htm. Diakses 21 November
2011.

TUMOR ADNEKSA (KISTA OVARIUM)

Definisi

Kista ovarium adalah tumor kistik pada ovarium (asal dan jenis bermacam-macam).

Dapat menyebabkan nyeri perut akut karena terpuntir atau ruptur, terutama pada
kehamilan trimester pertama.
Diagnosis

Nyeri perut

Teraba massa pada pemeriksaan dalam

Diagnosis ditegakkan dengan USG


Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum

Pasien dengan kecurigaan tumor adneksa harus dirujuk ke rumah sakit.

b. Tatalaksana Khusus

Dalam kehamilan, neoplasma ovarium yang berukuran lebih besar dari telur angsa harus
dikeluarkan.

Bila tumor diketahui ganas atau disertai gejala akut, pasien harus dirujuk segera untuk
pengangkatan tumor (tanpa menghiraukan usia kehamilan).

Bila tumor menghalangi jalan lahir, lakukan seksio sesarea sekaligus pengangkatan
tumor.

Bila tumor yang tidak ganas diketahui pada usia kehamilan muda, pengangkatan tumor
sebaiknya ditunda sampai kehamilan usia 16 minggu. Pengangkatan sebaiknya dilakukan di usia
kehamilan antara 16-20 minggu. Bila pengangkatan terpaksa dilakukan sebelum 16
minggu, setelah dilakukan pengangkatan, berikan suntikan progestin sampai usia kehamilan
melewati 16 minggu.

Bila tumor diketahui pada usia kehamilan tua dan tidak menyebabkan penyulit obstetri
atau tidak mencurigakan akan mengganas, maka kehamilan dapat dibiarkan sampai berlangsung
partus spontan. Pengangkatan dilakukan di masa nifas.
Kista ovarium dapat terpuntir:

Biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan

Berupa masa nyeri tekan pada abdomen bawah

Sering asimptomatik
Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum

Segera rujuk ibu ke rumah sakit.


b. Tatalaksana Khusus

Pada kista ovarium terpuntir disertai nyeri perut dilakukan laparotomi.

Pada kista ovarium asimptomatik:


Bila kista berukuran > 10 cm, dilakukan laparatomi pada trimester kedua

o
kehamilan.
o

Bila kista berukuran < 5 cm, tidak perlu dioperasi.

Bila kista berukuran 5 10 cm, lakukan observasi: jika menetap atau membesar,
lakukan laparotomi pada trimester kedua kehamilan.

Jika dicurigai keganasan, pasien dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap.

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


BPH

DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas4. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50

tahun2.
ETIOLOGI
BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur lebih dari 50
tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 8085 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi,
hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya4:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi
menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan
epitel.
3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan
adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh
androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast
growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b),
akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan
pembesaran prostat.
PATOLOGI
Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar verumontanum4.
Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul asinar atau nodul
campuran fibroadenomatosa.
Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma.
Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan.
Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara otot polos
yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas
pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan input sensorik, sehingga
otot detrusor tidak stabil.
PATOFISIOLOGI
BPH adalah perbesaran kronis dari prostat pada usia lanjut yang berkorelasi dengan pertambahan
umur. Perubahan yang terjadi berjalan lambat dan perbesaran ini bersifat lunak dan tidak
memberikan gangguan yang berarti. Tetapi, dalam banyak hal dengan berbagai faktor
pembesaran ini menekan uretra sedemikian rupa sehingga dapat terjadi sumbatan partial ataupun
komplit3.
GEJALA DAN TANDA
Gejala Klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, gejala iritatif, terdiri
dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air
kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge
incontinence). Kedua, gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil
belum terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil

(hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus
(intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
terjadi inkontinen karena overflow4.
Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok
dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi
kenyal4.
DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda obstruksi dan
iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba kelenjar prostat.
Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan
kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).
Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan untuk
penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA). Pada penderita
BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi peningkatan kadar PSA, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah penderita juga menderita kanker
prostat.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan BPH berupa4 :
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang dilakukan
adalah observasi saja tanpa pengobatan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).
Terapi Bedah Konvensional
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100g, atau
bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.
Terapi Invasif Minimal
1. Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi dengan
menggunakan resektoskop dan elektrokauter.
2. Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat
kecil.
Terapi laser
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan
bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan
interstitial laser therapy.
F. Terapi alat
1. Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai
suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.

2. Trans urethral needle ablation (TUNA)


Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2
jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.
3. High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan
intensitas tinggi dan terfokus.
4. Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan
lumen uretra tetap terbuka.
5. Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher
kandung kemih.
PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis
yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat
merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah
diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.
PENCEGAHAN
Kini, sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi pembesaran kelenjar
prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya saw palmetto. Berdasarkan
hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak, yang bersama-sama dengan hormon
androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha reduktase, yang berperan dalam proses
pengubahan hormon testosteron menjadi dehidrotestosteron (penyebab BPH)5. Hasilnya,
kelenjar prostat tidak bertambah besar.
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di antaranya adalah :
1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah pertumbuhan sel
kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat berkembang menjadi kanker prostat.
2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.
3. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan pengeluaran air seni
dan mendukung fungsi ginjal.
4. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan ke susunan
syaraf pusat.
5. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.
Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut),
vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari

4. Berolahraga secara rutin


5. Pertahankan berat badan ideal
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC
2. Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta : EGC

HERNIA INKARSERATA

Hernia inkarserata timbul karena usus yang masuk ke dalam kantung hernia terjepit oleh cincin
hernia sehingga timbul gejala obstruksi dan strangulasi usus.
Diagnosis

Bengkak yang menetap pada wilayah inguinal atau umbilikus disertai tanda peradangan
(merah, nyeri, panas, sembab).
Terdapat tanda obstruksi usus (muntah hijau dan perut kembung, tidakbisa defekasi).
Tatalaksana

Rujuk kepada dokter bedah untuk operasi darurat


Puasakan
Beri cairan intravena
Pasang NGT jika pasien muntah atau mengalami distensi abdomen Beri antibiotik jika
dicurigai terjadi kerusakan usus: berikan ampisilin (2550 mg/kgBB IV/IM empat kali sehari),
gentamisin (7.5 mg/kgBB IV/IM sekali sehari) dan metronidazol (7.5 mg/kgBB/dosis tiga kali
sehari).
Kurangi tekanan intra-abdomen dengan mencegah bayi menangis dengan memberi obat
penenang.
SEGERA PERIKSA ULANG oleh dokter ahli bedah anak yang berpengalaman.

GIZI BURUK
DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis
gizi buruk apabila:

BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)


Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB >-3SD
atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak sangat
kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada
kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat
jelas, dengan atau tanpa adanya edema (lihat gambar).
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek,
sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit
lain yang berat.

TATALAKSANA PERAWATAN
Pada saat masuk rumah sakit:

anak dipisahkan dari pasien infeksi


ditempatkan di ruangan yang hangat (2530C, bebas dari angin)
dipantau secara rutin
memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera keringkan.
Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan:

Fasilitas dan staf yang profesional (Tim Asuhan Gizi)


Timbangan badan yang akurat

Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar


Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan selama perawatan
dapat dievaluasi
Keterlibatan orang tua.

TATALAKSANA UMUM
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok pada anak dengan gizi buruk,
lihatbab 1.
Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata kloramfenikol/ tetrasiklin dan
atropin; tutup mata dengan kasa yang telah dibasahi dengan larutan garam normal, dan balutlah.
Jangan beri obat mata yang mengandung steroid.
Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera (lihat bagian 7.5.2)
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu: fase stabilisasi dan fase
rehabilitasi.

7.4.1. Hipoglikemia
7.4.2. Hipotermia
7.4.3. Dehidrasi
7.4.4. Gangguan keseimbangan elektrolit
7.4.5. Infeksi

7.4.6. Defisiensi zat gizi mikro


7.4.7. Pemberian makan awal (initial feeding)
7.4.8. Tumbuh kejar
7.4.9. Stimulasi sensorik dan emosional
7.4.10. Malnutrisi pada bayi <6 bulan

ABORTUS

Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilankurang dari 22 minggu, namun
beberapa acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20 mingguatau berat janin
kurang dari 500 gram.
Diagnosis

Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah banyak

Perut nyeri dan kaku

Pengeluaran sebagian produk konsepsi

Serviks dapat tertutup maupun terbuka

Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya

Diagnosis ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan ultrasonografi.


Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi abortus mencakup beberapa faktor, antara lain:

Faktor dari janin (fetal),yang terdiri dari: kelainan genetik (kromosom)

Faktor dari ibu (maternal), yang terdiri dari: infeksi, kelainan hormonal seperti
hipotiroidisme, diabetes mellitus, malnutrisi, penggunaan obatobatan, merokok, konsumsi
alkohol, faktor immunologis dan defek anatomis seperti uterus didelfis,inkompetensia
serviks (penipisan dan pembukaan serviks sebelum waktu in partu, umumnya pada
trimester kedua) dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman.

Faktor dari ayah (paternal): kelainan sperma

Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum

Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda vital
(nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).

Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90 mmHg).
Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok (lihat bab 3.2). Jika tidak terlihat tandatanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi
mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat.

Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan
kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
o

Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam

Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam

Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

Segera rujuk ibu ke rumah sakit .

Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan konseling
kontrasepsi pasca keguguran.

Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.

b. Tatalaksana Khusus
ABORTUS IMINENS

Pertahankan kehamilan.

Tidak perlu pengobatan khusus.

Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual.

Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal
termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.

Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan
adanya penyebab lain.

ABORTUS INSIPIENS

Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman selama
tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai kontrasepsi pascakeguguran.

Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu:lakukan evakuasi isi uterus (lihat
lampiran A.3). Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:

Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)

Rencanakan evakuasi segera.

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:


o

Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil
konsepsi dari dalam uterus (lihat lampiran A.3).

Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil
konsepsi

Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik,
pindahkan ibu ke ruang rawat.

Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan


patologi ke laboratorium.

Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.

ABORTUS INKOMPLIT

Lakukan konseling.

Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat
dari serviks.

Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi
isi uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan (lihat lampiran
A.3). Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia (lihat lampiran
A.4).Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat
diulang 15 menit kemudian bila perlu).

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter
NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.

Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi
ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.

Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan


patologi ke laboratorium.

Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.

Waspadalah bila tidak ditemukan adanya jaringan hasil konsepsi pada sampel kuretase!
Lakukan evaluasi ulang atau rujuk untuk memeriksa kemungkinan adanya kehamilan
ektopik.

ABORTUS KOMPLIT

Tidak diperlukan evakuasi lagi.

Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan kontrasepsi


pasca keguguran.

Observasi keadaan ibu.

Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2
minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah.

Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.

MISSED ABORTION

Lakukan konseling.

Jika usia kehamilan <12 minggu: evakuasi dengan AVM atau sendok kuret.

Jika usia kehamilan >12 minggu namun <16 minggu: pastikan serviks terbuka, bila
perlu lakukan pematangan serviks sebelum dilakukan dilatasi dan kuretase. Lakukan
evakuasi dengan tang abortus dan sendok kuret.

Jika usia kehamilan 16-22 minggu: lakukan pematangan serviks. Lakukan evakuasi
dengan infus oksitosin 20 unitdalam 500 ml NaCl 0,9%/Ringer laktat dengan kecepatan 40
tetes/menit hingga terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Bila dalam 24 jam evakuasi tidak terjadi,
evaluasi kembali sebelum merencanakan evakuasi lebih lanjut.

Lakukan evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi
ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.

Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan


patologi ke laboratorium.

Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.

Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) Pasca Keguguran


Kesuburan dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran. Untuk mencegah kehamilan,
AKDR umumnya dapat dipasang secara aman setelah aborsi spontan atau diinduksi.
Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca keguguran antara lain infeksi pelvik, abortus septik,
atau komplikasi serius lain dari abortus. Teknik pemasangan AKDR masa interval digunakan
untuk abortus trimester pertama. Jika abortus terjadi di atas usia kehamilan 16 minggu,
pemasangan AKDR harus dilakukan oleh tenaga yang mendapat pelatihan khusus.
Keterangan lainnya
Aspirasi
Aspirasi

Vakum
VakumManual

(AVM)

Manual
merupakansalah

satu

cara

(AVM)
efektif

evakuasi

sisa

konsepsi pada abortus inkomplit. Evakuasi dilakukan dengan mengisap sisa konsepsi dari kavum
uteri dengan tekanan negatif (vakum) sebesar 1 atm atau 660 mmHg.
Persiapan untuk prosedur AVM
Perlengkapan
Instrumen yang disiapkan antara lain:

Tabung dengan volume 60 mL

Pengatur katup (1 atau 2 buah)

Toraks dan tangkai penarik/pendorong

Penahan toraks (collar stop) di pangkal tabung

Silikon pelumas cincin karet

Kanula steril dengan 2 lobang di ujungnya. Kanula terdapat dalam ukuran kecil (4,5, dan
6 mm) dan besar (6, 7, 8, 9, 10 dan 12 mm)

Persiapan

Upaya pencegahan infeksi : cuci tangan dengan sabun atau air mengalir (sebelum dan
setelah prosedur), gunakan peralatan steril atau DTT, usap vagina dan serviks dengan
antiseptik serta gunakan teknik tanpa sentuh.

Periksa fungsi isap (tekanan negatif) tabung AVM

Pastikan kesiapan tindakan gawatdarurat

Buat tekanan negatif (vakum) di dalam tabung AVM

Langkah-langkah

Masukkan spekulum secara halus, perhatikan serviks, apakah ditemui robekan atau
jaringan yang terjepit di ostium. Apabila terdapat jaringan atau bekuan darah di vagina atau
serviks, keluarkan dengan klem ovum. Bila tampak benang AKDR, bersihkan dulu serviks
dengan

kapas

yang

telah

dibasahi

larutan

antiseptik,

baru

tarik

benangnya

untuk mengeluarkan AKDR.

Bersihkan serviks, usapkan larutan antiseptik

Lakukan blok paraservikal (bila diperlukan)

Pegang bibir atas serviks (dengan tenakulum atau klem ovum), tegangkan lalu ukur
bukaan ostium serviks dengan kanula.

Setelah diperoleh ukuran yang sesuai, dengan hati-hati, masukkan (rotasikan dan dorong)
kanula ke dalam kavum uteri

Sambil memasukkan ujung kanula hingga fundus uteri, perhatikan titik-titik pada alat
yang sama dengan lobang kannula. Titik dekat ujung kannula menunjukkan ukuran 6 cm
dan setiap titik berikutnya menunjukkan tambahan 1 cm. Dengan memperhatikan skala

pada titiktitik tersebut dapat dilakukan pendugaan yang akurat tentang kedalaman dan besar
kavum uteri. Setelah pengukuran selesai, tarik sedikit ujung kannula dari fundus uteri.

Hubungkan pangkal kannula (dipegang sambil memegang tenakulum) dengan tabung


AVM (melalui adaptor)

Buka pengatur katup untuk menjalankan tekanan negatif (vakum) ke dalam kavum uteri.
Bila tekanan tersebut bekerja, tampak cairan darah dan busa memasuki tabung AVM.

Evakuasi sisa konsepsi dengan menggerakkan kannula maju-mundur sambil dirotasikan


ke

kanan-kiri

secara

sistematik.

Gerakan

rotasi

tersebut

jangan

melebihi

180<sup>0</sup> pada satu sisi (depan atau belakang) Penting untuk menjaga agar kannula
tidak tertarik keluar dari ostium (kavum) uteri karena akan menghilangkan tekanan negatif
(vakum) dalam tabung. Hal yang sama juga terjadi apabila tabung AVM penuh.
Apabila tekanan tersebut hilang, maka lepaskan sambungan kannula dan tabung, kemudian
keluarkan isi tabung. Siapkan kembali tekanan negatif dengan jalan menutup kembali
pengatur katup, tarik tangkai pendorong hingga ganjal terkait pada pangkal tabung.

Perhatikan
Jangan memegang tabung pada tangkai pendorong karena dapat melepaskan kait
atau ganjal sehingga tekanan negatifnya hilang. Hal demikian tidak boleh terjadi
pada keadaan kannula sudah dihubungkan dengan tabung karena akan mendorong
udara (atau isi tabung) ke dalam kavum uteri

Periksa kebersihan kavum uteri atau kelengkapan hasil evakuasi. Kavum uteri diduga
cukup bersih jika dilihat dari temuan berikut:

Busa-busa merah (merah jambu) atau tidak terlihat lagi massa kehamilan terhisap ke
dalam tabung AVM

Mulut kannula melewati bagian-bagian bersabut/kasar (gritty sensation) pada saat


digerakkan melalui dinding kavum uteri

Uterus berkontraksi atau seperti memegang bambu

Keluarkan kannula, lepaskan sambungannya dengan tabung AVM dan masukkan ke


dalam wadah yang berisi larutan dekontaminasi. Buka pengatur katup, keluarkan isis
tabung AVM (dengan menekan pendorong toraks) ke dalam wadah khusus.

Periksa jaringan hasil evakuasi, antara lain:


o

Jumlah dan adanya massa kehamilan

Memastikan kebersihan evakuasi

Adanya kelainan-kelainan di luar massa kehamilan (misalnya gelembung mola)

Setelah dipastikan kavum uteri bersih dari sisa konsepsi, lepaskan tenakulum dan
spekulum. Lakukan dekontaminasi pada peralatan bekas pakai

Sementara masih menggunakan sarung tangan, kumpulkan bahan habis pakai (kapas,
kasa dsb) ke dalam tempat sampah yang telah disediakan. Amankan benda tajam pada
tempat yang sesuai. Buang massa/jaringan atau hasil evakuasi ke dalam saluran
pembuangan khusus.

Masukkan kedua sarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, bersihkan cemaran
kemudian lepaskan sarung tangan secara terbalik ke dalam wadah dekontaminasi.

Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir hingga bersih

KATARAK
Definisi
Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies, Inggris cataract dan Latin cataracta yang berarti

air terjun1. Dalam bahasa indonesia disebut bular, dimana penglihatan seperti tertutup air tejun.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya. Biasanya
kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami
perubahan dalam waktu yang lama. Katarak yang terjadi akibat proses penuaan dan
bertambahnya umur disebut katarak senilis.1,2. Katarak senilis adalah kekeruhan lensa baik di
korteks, nuklearis tanpa diketahui penyebabnya dengan jelas, dan muncul mulai usia 40 tahun.
Beberapa penelitian mengatakan, bahwa katarak senilis dipercepat oleh beberapa faktor antara
lain: penyakit diabetes melitus, hipertensi dengan sistole naik 20 mmHg, paparan sinar ultra
violet B dengan panjang gelombang antara 280-315 m lebih dari 12 jam, indeks masa badan
lebih dari 27, asap rokok lebih dari 10 batang/hari baik perokok aktif maupun pasif.9,10,11
Epidemiologi
Katarak senilis terjadi pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun. Insidensi katarak di dunia
mencapai 5-10 juta kasus baru tiap tahunnya. Di Afrika katarak senile merupakan penyebab
utama kebutaan. Katarak senilis sangat sering ditemukan pada manusia, bahkan dapat dikatakan
sebagai suatu hal yang dapat dipastikan timbulnya dengan bertambahnya usia penderita.
Horlacher mendapatkan bahwa 65% dari seluruh individu antara usia 51-60 tahun menderita
katarak, sedangkan Barth menemukan bahwa 96% dari individu di atas usia 60 tahun mempunyai
kekeruhan lensa yang dapat terlihat jelas pada pemeriksaan dengan slit lamp.12
Di negara berkembang katarak merupakan 50-70% dari seluruh penyebab kebutaan, selain
kasusnya banyak dan munculnya lebih awal. Di Indonesia tahun 1991 didapatkan prevalensi
kebutaan 1,2% dengan kebutaan katarak sebesar 0,67%, dan tahun 1996 angka kebutaan
meningkat 1,47%.3,4
Etiologi dan Patofisiologi
Kekeruhan pada lensa dapat disebkan oleh kelainan kongenital mata (kelainan genetik, infeksi
virus,dll), trauma, penyakit mata (glaukoma, uveitis,dll), proses usia atau degenerasi lensa,
kelainan sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat-obatan steroid, dll.1
Kerusakan oksidatif oleh paparan sinar ultraviolet, rokok, alkohol dapat meningkatkan risiko
terjadinya katarak. 11
Penyebab katarak senil sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa
konsep penuaan yang mengarah pada proses terbentuknya katarak senil:
Jaringan embrio manusia dapat membelah 50 kali kemudian akan mati.
Teori cross-link yang menjelaskan terjadinya pengikatan bersilang asam nukleat dan molekul
protein sehingga mengganggu fungsi.
Imunologis; dengan bertambahnya usia menyebabkan bertambahnya cacat imunologis
sehingga mengakibatkan kerusakan sel.
Teori mutasi spontan dan teori radikal bebas.1
Pada dasarnya, semua sinar yang masuk ke mata harus terlebih dahulu melewati lensa. Karena
itu setiap bagian lensa yang menghalangi, membelokkan atau menyebarkan sinar bisa
menyebabkan gangguan penglihatan. Pada katarak terjadi kekeruhan pada lensa, sehingga sinar
yang masuk tidak terfokuskan pada retina, maka bayangan benda yang dilihat akan tampak

kabur.1,2
Gambaran Klinis
Seorang penderita katarak mungkin tidak menyadari telah mengalami gangguan katarak. Katarak
terjadi secara perlahan-perlahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur.
karena umumnya katarak tumbuh sangat lambat dan tidak mempengaruhi daya penglihatan sejak
awal. Daya penglihatan baru terpengaruh setelah katarak berkembang sekitar 3-5 tahun. Karena
itu, pasien katarak biasanya menyadari penyakitnya setelah memasuki stadium kritis.
Gejala umum gangguan katarak meliputi :
Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
Peka terhadap sinar atau cahaya.
Dapat melihat ganda pada satu mata.
Kesulitan untuk dapat membaca.
Lensa mata berubah menjadi buram.
Klasifikasi
Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan dalam:
1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun
2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
3. Katarak senil, katarak setelah usia 50 tahun
Berdasarkan letaknya dikenal ada 3 bentuk katarak senilis, yaitu : katarak nuklear, kortikal dan
subkapsularis posterior.6
1. Katarak Nuklear
Katarak yang lokasinya terletak pada bagian tengah lensa atau nukleus. Nukleus cenderung
menjadi gelap dan keras (sklerosis), berubah dari jernih menjadi kuning sampai coklat. Biasanya
mulai timbul sekitar usia 60-70 tahun dan progresivitasnya lambat. Bentuk ini merupakan bentuk
yang paling banyak terjadi. Pandangan jauh lebih dipengaruhi daripada pandangan dekat
(pandangan baca), bahkan pandangan baca dapat menjadi lebih baik, suli menyetir pada malam
hari . Penderita juga mengalami kesulitan membedakan warna, terutama warna biru dan ungu.
2. Katarak Kortikal
Katarak menyerang lapisan yang mengelilingi nukleus atau korteks. Biasanya mulai timbul
sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya lambat. Terdapat wedge-shape opacities/cortical
spokes atau gambaran seperti ruji. Banyak pada penderita DM. Keluhan yang biasa terjadi yaitu
penglihatan jauh dan dekat terganggu, penglihatan merasa silau
3. Katarak Subkapsularis Posterior atau kupuliformis
Bentuk ini terletak pada bagian belakang dari kapsul lensa. Katarak subkapsularis posterior lebih

sering pada kelompok usia lebih muda daripada katarak kortikal dan katarak nuklear. Biasanya
mulai timbul sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya cepat. Bentuk ini lebih sering
menyerang orang dengan diabetes, obesitas atau pemakaian steroid jangka panjang. Katarak ini
menyebabkan kesulitan membaca, silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang.
Berdasarkan stadium perjalanan penyakitnya, katarak senilis digolongkan menjadi 4 stadium:
Katarak insipien, katarak imatur, katarak matur,dan katarak hipermatur.1,2,
1. Katarak Insipien
Pada stadium ini kekeruhan lensa tidak teratur, tampak seperti bercak-bercak yang membentuk
gerigi dangan dasar di perifer dan daerah jernih di antaranya. Kekeruhan biasanya terletak di
korteks anterior dan posterior. Kekeruhan ini pada awalnya hanya nampak jika pupil dilebarkan.
Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia yang disebabkan oleh indeks refraksi yang tidak sama
pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang menetap untuk waktu yang lama. 1,2
2. Katarak Imatur
Pada katarak imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal, tetapi belum mengenai seluruh lapisan
lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Terjadi penambahan volume
lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif.
Pada keadaan lensa yang mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, mendorong iris
ke depan, mengakibatkan bilik mata dangkal sehingga terjadi glaukoma sekunder. Pada
pemeriksaan uji bayangan iris atau shadow test, maka akan terlihat bayangan iris pada lensa,
sehingga hasil uji shadow test (+).1,2
3. Stadium Intumesen
Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang degeneratif menyerap air.
Masuknya air ke dalam lensa menyebabkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan
mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibandingkan dalam keadaan normal.
Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan menyebabkan miopia
lentikular.
4. Katarak Matur
Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi yang berjalan
terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegrasi melalui kapsul, sehingga lensa
kembali ke ukuran normal. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal kembali. Tidak
terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif. 1,2
5. Katarak Hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa, sehingga masa lensa yang mengalami degenerasi akan
mencair dan keluar melalui kapsul lensa. Lensa menjadi mengecil dan berwarna kuning. Bila

proses katarak berjalan lanjut disertai kapsul yang tebal, maka korteks yang berdegenerasi dan
cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan sekantong susu dengan nukleus yang
terbenam di korteks lensa. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni. Uji bayangan iris
memberikan gambaran pseudopositif. Cairan / protein lensa yang keluar dari lensa tersebut
menimbulkan reaksi inflamasi dalam bola mata karena di anggap sebagai benda asing. Akibatnya
dapat timbul komplikasi uveitis dan glaukoma karena aliran melalui COA kembali terhambat
akibat terdapatnya sel-sel radang dan cairan / protein lensa itu sendiri yang menghalangi aliran
cairan bola mata. 1,2
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk katarak senilis dapat berupa katarak diabetik, katarak komplikata dan
katarak traumatik.
a. Katarak diabetes merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes mellitus.
Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan sistemik, seperti salah satunya pada penyakit
diabetes mellitus. Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam 3 bentuk:
- Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia nyata, pada lensa akan terlihat
kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan
lensa, kekeruhan akan hilang bila tejadi rehidrasi dan kadar gula normal kembali.
- Pasien diabetes juvenile dan tua tidak terkontrol, dimana terjadi katarak serentak pada kedua
mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau bentuk piring subkapsular.
- Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara histopatologi dan biokimia sama
dengan katarak pasien nondiabetik. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keaaan
hiperglikemia terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. 1
Pada mata terlihat peningkatkan insidens maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes.
Jarang ditemukan true diabetic katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran salju
subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Diperlukan pemeriksaan tes urine dan
pengukuran darah gula puasa. Galaktosemia pada bayi akan memperlihatkan kekeruhan anterior
dan subkapsular posterior. Bila dilakukan tes galaktosa akan terlihat meningkat di dalam darah
dan urin.
b. Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti radang, dan proses
degenerasi seperti ablasi retina, retinitis pigmentosa, glaucoma, tumor intraocular, iskemia
ocular, nekrosis anterior segmen, buftalmos,akibat suatu trauma dan pasca bedah mata.
Katarak komplikata dapat juga disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin(diabetes melitus,
hipoparatiroid,galaktosemia,dan miotonia distrofi) dan keracunan obat ( tiotepa intravena, steroid
local lama, steroid sistemik, oral kontraseptik dan miotika antikolinesterase ). Katarak
komplikata memberikan tanda khusus dimana mulai katarak selamanya didaerah bawah kapsul
atau pada lapis korteks, kekeruhan dapay difus, pungtata, linear, rosete, reticulum dan biasanya
terlihat vakuol.
Dikenal 2 bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior mata dan akibat
kelainan pada polus anterior bola mata. Katarak pada polus posterior terjadi akibat penyakit
koroiditis, retinitis pigmentosa, ablasi retina, kontusio retina dan myopia tinggi yang

mengakibatkan kelainan badan kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial dan tidak berjalan
cepat didalam nucleus, sehingga sering terlihat nucleus lensa tetap jernih. Katarak akibat miopia
tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan. Katarak akibat kelainan polus
anterior bola mata biasanya diakibatkan oleh kelainan kornea berat, iridoksiklitis, kelainan
neoplasma dan glaukoma. Pada iridoksiklitis akan mengakibatkan katarak subkapsularis anterior.
Pada katarak akibat glaucoma akan terlihat katarak disiminata pungtata subkapsular anterior
(katarak Vogt). Katarak komplikata akibat hipokalsemia berkaitan dengan tetani infantile,
hipoparatiroidisma. Pada lensa terlihat kekeruhan titik subkapsular yang sewaktu waktu
menjadi katarak lamellar. Pada pemeriksaan darah terlihat kadar kalsium turun.
c. Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa atau trauma
tumpul terhadap bola mata. Sebagian besar katarak traumatik dapat dicegah.
Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing, karena lubang pada kapsul lensa
menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadang korpus vitreum masuk dalam struktur lensa.
Pasien mengeluh penglihatan kabur secara mendadak. Mata jadi merah, lensa opak, dan mungkin
disertai terjadinya perdarahan intraokular. Apabila humor aqueus atau korpus vitreum keluar dari
mata, mata menjadi sangat lunak. Penyulit adalah infeksi, uveitis, ablasio retina dan glaukoma.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada katarak adalah tindakan pembedahan. Pengobatan yang diberikan biasanya
hanya memperlambat proses, tetapi tidak menghentikan proses degenerasi lensa. Beberapa obatobatan yang digunakan untuk menghambat proses katarak adalah vitamin dosis tinggi, kalsium
sistein, iodium tetes.
Tindakan pembedahan dilakukan dengan indikasi:
1. Indikasi optik : pasien mengeluh gangguan penglihatan yang mengganggu kehidupan seharihari , dapat dilakukan operasi katarak.
2. Indikasi medis : Kondisi katark harus dioperasi diantaranya katarak hipermatur, lensa yang
menginduksi glaukoma, lensa yang menginduksi uveitis, dislokasi/subluksasi lensa, benda asing
intraretikuler, retinopati diabetik, ablasio retina atau patologi segmen posterior lainnya.
3. Indikasi kosmetik : Jika kehilangan penglihatan bersifat permanen karena kelainan retina atau
saraf optik, tetapi leukokoria yang diakibatkan katarak tidak dapat diterima pasien, operasi dapat
dilkukan meskipun tidak dapat mengembalikan penglihatan.
Pembedahan katarak dapat dilakukan dengan beberapa cara:1,12
a. EKIK (Ekstraksi Katarak Intrakapsular)
Ekstraksi katarak intrakapsular, yaitu mengeluarkan lensa bersama dengan kapsul lensa.. ICCE
masih sangat bermanfaat pada kasus-kasus yang tidak stabil, katarak intumesen, hipermatur dan
katarak luksasi. ICCE juga masih lebih dipilih pada kasus dimana zonula zini tidak cukup kuat
sehingga tidak memungkinkan menggunakan ECCE. Kontraindikasi absolut ICCE adalah
katarak pada anak-anak dan dewasa muda dan ruptur kapsul akibat trauma. Kontraindikasi relatif
adalah miopia tinggi, sindrom Marfan dan katarak morgagni. Keuntungan pembedahan ICCE ini

adalah: tidak akan terjadi katarak sekunder, karena lensa seluruhnya sudah diangkat. Kerugian
ICCE dibanding ECCE sangat signifikan. Insisi ICCE yang lebih luas yaitu 160-180o (12-14
mm), berhubungan dengan beberapa resiko, seperti: penyembuhan yang lama, cenderung
menimbulkan astigmatisme, kebocoran luka pos operasi, inkarserasi iris dan vitreus. Komplikasi
selama operasi dapat terjadi trauma pada endotel kornea. Komplikasi pasca operaasi adalah
cystoid macular edema (CME), edema kornea, vitreus prolaps dan endoftalmitis. 1,12
b. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK)
Ekstraksi katarak ekstrakapsular, yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nukleus) melalui
kapsul anterior yang dirobek (kapsulotomi anterior) dengan meninggalkan kapsul posterior.
Operasi katarak ini adalah merupakan tehnik operasi untuk katarak Imatur/matur yang nukleus
atau intinya keras sehingga tidak memungkinkan dioperasi dengan tehnik fakoemulsifikasi. Insisi
kornea lebih kecil daripada ICCE (kira-kira 5-6mm) sehingga proses penyembuhan lebih cepat
sekitar seminggu. Karena kapsul posterior yang utuh, sehingga dapat dilakukan penanaman lensa
intraokular (IOL). Mengurangi resiko CME dan edema kornea. Kerugiannya berupa
membutuhkan alat yang lebih sukar dibandingkan ICCE. Penyulit pada teknik ini berupa adanya
ruptur kapsul posterior, prolaps badan kaca, hifema, peningkatan tekanan intraokular,
endofthalmitis, katarak sekunder. 1,12
c. Fakoemulsifikasi
Ekstraksi lensa dengan fakoemulsifikasi, yaitu teknik operasi katarak modern menggunakan gel,
suara berfrekuensi tinggi, dengan sayatan 3 mm pada sisi kornea. Fakoemulsifikasi adalah tehnik
operasi katarak terkini. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3 mm) di
kornea. Getaran ultrasonik akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin
phaco akan menyedot massa katarak yang telah hancur tersebut sampai bersih. Sebuah lensa
Intra Ocular (IOL) yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Untuk lensa lipat
(foldable lens) membutuhkan insisi sekitar 2.8 mm, sedangkan untuk lensa tidak lipat insisi
sekitar 6 mm. Karena insisi yang kecil untuk foldable lens, maka tidak diperlukan jahitan, akan
pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan dengan cepat kembali melakukan aktivitas seharihari.1,12
Indikasi teknik fakoemulsifikasi berupa calon terbaik pasien muda dibawah 40-50 tahun, tidak
mempunyai penyakit endotel, bilik mata dalam, pupil dapat dilebarkan hingga 7 mm.
Kontraindikasinya berupa tidak terdapat hal hal salah satu diatas, luksasi atau subluksasi lensa.
Prosedurnya dengan getaran yang terkendali sehingga insiden prolaps menurun. Insisi yang
dilakukan kecil sehingga insiden terjadinya astigmat berkurang dan edema dapat terlokalisasi,
rehabilitasi pasca bedahnya cepat, waktu operasi yang relatif labih cepat, mudah dilakukan pada
katarak hipermatur. Tekanan intraokuler yang terkontrol sehingga prolaps iris, perdarahan
ekspulsif jarang. Kerugiannya berupa dapat terjadinya katarak sekunder sama seperti pada teknik
EKEK, sukar dipelajari oleh pemula, alat yang mahal, pupil harus terus dipertahankan lebar,
endotel loss yang besar. Penyulit berat saat melatih keterampilan berupa trauma kornea, trauma
iris, dislokasi lensa kebelakang, prolaps badan kaca. Penyulit pasca bedah berupa edema kornea,
katarak sekunder, sinekia posterior, ablasio retina.

Operasi katarak sering dilakukan dan biasanya aman. Setelah pembedahan jarang sekali terjadi
infeksi atau perdarahan pada mata yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.
Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan dan mempercepat penyembuhan, selama
beberapa minggu setelah pembedahan diberikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata
dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan pelindung mata sampai luka pembedahan
sembuh.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada katarak tergantung stadiumnya. Pada stadium imatur dapat
terjadi glaukoma sekunder akibat lensa yang mencembung, sehinnga mendorong iris dan terjadi
blokade aliran aqueus humor. Sedangkan pada stadium hipermatur dapat terjadi glaukoma
sekunder akibat penymbatan kanal aliran aquous humor oleh masa lensa yang lisis, dan dapat
juga terjadi uveitis fakotoksi.
Komplikasi juga dapat diakibatkan pasca operasi katarak, seperti ablasio retina, astigmatisma,
uveitis, endoftalmitis, glaukoma, perdarahan, dan lainnya. 1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007. Hlm 1723, 199, 200-13.
2. Ilyas Sidarta; Taim Hilman; et al. Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan Mahasiswa
kedokteran, edisi kedua. Jakarta: Sagung seto, 2002. Hlm 143-55, 159-65
3. Javitt JC. Health Sector Priorities Review: Cataract. Suggeted citation: Jamiston DT, &
Mosley WH (ed), Disease Control Priorities in Developing Countries. New York : August, 1991.
4. Inovatif Kebutaan Departemen Kesehatan. Pengembangan Fungsi RS Mata Cicendo Sebagai
Rujukan Nasional. IGP. RS. Mata Cicendo Bandung, 1996.
5. Daniel. Suspensi Oftalmik untuk Katarak Senilis. Artikel dalam Majalah Farmasia. Edisi Juni
2008. Vol.7 No.11. dapat diakses elalui:http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news_print.asp
6. Schlote T. Pocket Atlas of Ophthalmology.Stuttgart New-York: 2006.p 126-33
7. U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council. Support for vision
research, 1976; 20-22.
8. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based survey. Community
eye health. An International bulletin to promote eye health worldwide, issue no 7 1991
9. Glynn RJ, Christen W, Manson JE, Bernheimer J, Hennekens CH. Body Mass Index. An
Independent Predictor of Cataract. Arch Ophthalmol 1995; 113 : 1131-7.
10. Hiller R, Sperduto RD, Ederer F. Epidemiologic Associations With Cataract in The 19711972 National Health and Nutrition Examination Survey. Am J Epidemiol 1983; 118 : 239-49.
11. Sheila W, Beatrize M, Oliver DS, Susan V, Maureen M, Hugh RT, Neil RT. Cigarette
smoking ang Risk for Progression of Neclear Opacities. Arch Ophthalmol 1995.
12. Azhar Z, Akmam SM. Katarak dan Perkembangan Operasinya. Cermin Dunia Kedokteran
No. 21, 1981. Hal 26-7
13. Vaugan daniel, Taylor asbury, Paul riordan-eva; Alih bahasa Jan Tamboyang, Braham U
Pendit; Editor, Y. Joko suyono. Oftalmologi Umum. Ed 14. Jakarta: Widya Medika.2000.hal 175-

83
14. Wong tien YN, Uvetis Systemic and Tumots , The Opthlmolgy Examinations Review,
Wrld Scientific, Singapura:2001. P321-323
15. Brewerton DA, Caffrey M, Nicholls A. Acute anterior uveitis and HLA-B27, Lancet 1973; 2:
41-5.

HEPATITIS
(A, B, C, D, E)

Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan
menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis adalah penyakit
berbahaya karena menyerang hati, yang merupakan organ penting dengan ratusan fungsi.

Ada lima virus penyebab hepatitis, yang diberi nama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C,
hepatitis D dan hepatitis E. Walaupun kelima virus tersebut dapat menghasilkan gejala yang
mirip dan memiliki efek yang sama, masing-masing memiliki keunikan dalam cara penularan
dan dampaknya terhadap kesehatan. Di Indonesia penderita penyakit Hepatitis umumnya
cenderung lebih banyak mengalami golongan hepatitis B dan hepatitis C.

Berdasarkan waktu perlangsungan penyakit, hepatitis dibagi menjadi dua, yaitu hepatitis akut
dan hepatitis kronis. Hepatitis akut mempengaruhi seseorang untuk waktu yang singkat (kurang
dari 6 bulan) dan bisa sembuh dalam beberapa minggu tanpa efek berkelanjutan. Hepatitis kronis
berlangsung lama (lebih dari 6 bulan), kadang-kadang berlangsung seumur hidup.

1. Hepatitis A

Definisi
Penyakit Hepatitis A disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kotoran/tinja penderita
biasanya melalui makanan (fecal - oral), bukan melalui aktivitas seksual atau melalui darah.
Hepatitis A paling ringan dibanding hepatitis jenis lain (B dan C) dan dapat sembuh secara
spontan tanpa meninggalkan gejala sisa. Penyakit ini bersifat akut, hanya menimbulkan gejala
sekitar 1 sampai 2 minggu.

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis A (HAV). Virus ini sangat mudah menular, terutama melalui makanan dan air
yang terkontaminasi oleh tinja orang yang terinfeksi. Kebersihan yang buruk pada saat
menyiapkan dan menyantap makanan memudahkan penularan virus ini. Karena itu, penyakit ini
hanya berjangkit di masyarakat yang kesadaran kebersihannya rendah.

Manifestasi Klinis (Gejala)


Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu sejak penularan terjadi, barulah
kemudian penderita menunjukkan beberapa tanda dan gejala terserang penyakit Hepatitis A,
antara lain:

Demam, demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti demam yang
lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll

Ikterus (mata/kulit berwarna kuning, tinja berwarna pucat dan urin berwarna gelap)

Keletihan, mudah lelah, pusing

Nyeri perut, hilang selera makan, muntah-muntah

Dapat terjadi pembengkakan hati (hepatomegali), tetapi jarang menyebabkan kerusakan


permanen

Atau dapat pula tidak merasakan gejala sama sekali

Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium:


1.
Stadium pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam, kehilangan selera
makan dan mual;
2.

Stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik);

3.

Stadium kesembuhan (konvalesensi).

Diagnosis
-

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan darah terhadap
fungsi hati.

Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar.

Untuk memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT, SGOT.

Tes serologi untuk mengetahui adanya immunoglobulin M (IgM) terhadap virus hepatitis A
digunakan untuk mendiagnosa hepatitis A akut.

Penatalaksanaan
Virus hepatitis A biasanya menghilang sendiri setelah beberapa minggu. Namun, untuk
mempercepat proses penyembuhan, diperlukan penatalaksanaan sebagai berikut:
1.

Istirahat
Bed rest pada fase akut, untuk kembali bekerja perlu waktu berangsur-angsur.

2.
-

Diet
Makanan disesuaikan dengan selera penderita

Diberikan sedikit-sedikit

Dihindari makanan yang mengandung alkohol atau hepatotoksik

3.

Medikamentosa (simtomatik)

Analgetik antipiretik, bila demam, sakit kepala atau pusing

Antiemesis, bila terjadi mual/muntah

Vitamin, untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan

Pencegahan
-

Menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan teliti.


Orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi
hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin
hepatitis B (Twinrix). Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali, yaitu vaksinasi dasar dan booster
yang dilakukan 6-12 bulan kemudian, sementara imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu
dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A dianjurkan bagi orang yang
potensial terinfeksi seperti penghuni asrama dan mereka yang sering jajan di luar rumah.

Prognosis
Perawatan yang legeartis prognosis baik.

2. Hepatitis B

Definisi
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang hati dan menyebabkan
peradangan hati akut atau menahun. Penyakit ini dapat menjadi kronis dan akhirnya menjadi
kanker hati.

Adapun beberapa hal yang menjadi pola penularan antara lain penularan dari ibu ke bayi saat
melahirkan, hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, maupun penggunaan alat
kebersihan diri (sikat gigi, handuk) secara bersama-sama.

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis B (VHB)

Manifestasi Klinis (Gejala)


-

Gejala hepatitis B akut: demam, sakit perut, mual, muntah dan kuning (terutama pada area
mata yang putih/sklera), hepatomegali.

Gejala hepatitis B kronik: cenderung tidak tampak tanda-tanda seperti pada hepatitis B akut,
sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.

Diagnosis
-

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan pemeriksaan fisik.


Diagnosis pasti hepatatitis B dapat diketahui melalui pemeriksaan: HBsAg (antigen permukaan
virus hepatatitis B)

Penatalaksanaan
Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan maka akan
dilakukan periksaan darah (HbsAg positif). Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B,
maka pengobatan untuk hepatitis B yaitu pengobatan oral dan injeksi.
a.

Obat Oral

Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan nama
3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung
meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan
dari dokter.

Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih efektif, tetapi
pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.

Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis B kronik,
efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi
peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum
dikatakan stabil.

b.

Injeksi/Suntikan
Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar yang
akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa
Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara
subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek
samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat
depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit
menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian paracetamol.

Pencegahan
-

Tidak berganti-ganti pasangan sex

Penggunaan jarum suntik hanya untuk sekali pakai

Vaksin Hepatitis B, terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi terkena virus ini, seperti
mereka yang berprilaku sex kurang baik (ganti-ganti pasangan/homosexual), pekerja kesehatan
(perawat dan dokter) dan mereka yang berada didaerah rentan banyak kasus Hepatitis B.

Prognosis
Hepatitis B akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis B kronik (menahun) dan dapat
berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.

3. Hepatitis C

Definisi
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (VHC). Proses
penularannya melalui kontak darah seperti transfusi, penggunaan jarum suntik tidak steril untuk
menyuntikkan obat-obatan, pembuatan tato dan body piercing yang dilakukan dalam
kondisi tidak higienis. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual.

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis C (VHC)

Manifestasi Klinis (Gejala)


-

Sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, walaupun infeksi
telah terjadi bertahun-tahun lamanya.

Beberapa gejala yang samar diantaranya adalah: lelah, hilang selera makan, penurunan berat
badan, nyeri otot dan sendi, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata menjadi kuning
yang disebut "jaundice" (jarang terjadi).

Diagnosis

Ada beberapa tes diagnostik untuk hepatitis C termasuk: HCV antibodi enzyme immunoassay
atau ELISA, rekombinan uji imunoblot , dan kuantitatif HCV RNA polymerase chain reaction.

Penatalaksanaan
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti: Interferon alfa,
Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah
menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang
memburuk dan stadium akhir penyakit hati.

Pencegahan
Saat ini belum ada vaksin hepatitis C. Oleh karena itu, tindakan pencegahan sangat diperlukan
untuk menghindari penularan virus tersebut. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara
lain:
-

Penggunaan jarum suntik dan alat suntik sebelum digunakan harus steril dan sekali pakai
(disposable).

Meskipun resiko penularan melalui hubungan seksual kecil, disarankan untuk menjalani
kehidupan seks yang aman (tidak berganti-ganti pasangan). Penderita Hepatitis C yang memiliki
lebih dari satu pasangan atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri
(misalnya dengan kondom) untuk mencegah penyebaran Hepatitis C.

Tidak berbagi alat seperti jarum, alat cukur, sikat gigi, dan gunting kuku, dimana dapat
menjadi tempat potensial penyebaran virus Hepatitis C.

Bila melakukan manicure, tato dan tindik tubuh pastikan alat yang dipakai steril dan tempat
usahanya resmi.

Prognosis
-

Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada
penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium
awalnya.

Sebanyak 85% dari kasus, infeksi Hepatitis C menjadi kronis, sekitar 20% pasien penyakitnya
berkembang sehingga menyebabkan sirosis hati atau kanker hati.

4. Hepatitis D

Definisi

Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat yang memerlukan pertolongan virus
hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang terinfeksi
hepatitis B. Virus hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling berbahaya dari semua
virus hepatitis.

Pola penularan hepatitis D mirip dengan hepatitis B. Diperkirakan sekitar 15 juta orang di dunia
yang terkena hepatitis B (HBsAg +) juga terinfeksi hepatitis D. Infeksi hepatitis D dapat terjadi
bersamaan (koinfeksi) atau setelah seseorang terkena hepatitis B kronis (superinfeksi).

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis D (VHD). Menular melalui hubungan intim dengan penderita dan pada
homoseksual. Menggunakan jarum dan obat-obatan secara bersamaan, bayi dari wanita penderita
hepatitis D.

Manifestasi Klinis (Gejala)


-

Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi)
atau amat progresif (super-infeksi).

Biasanya muncul secara tiba-tiba gejala seperti flu, demam, penyakit kuning, urin berwarna
hitam dan feses berwarna hitam kemerahan.

Pembengkakan pada hati.

Diagnosis
Hepatitis D harus dipertimbangkan pada individu dengan HBsAg positif atau yang
memiliki riwayat pernah terinfeksi HBV (Hepatitis B). Antibodi anti-HDV dideteksi dengan
radioimmunoassay (RIA) atau enzyme immunoassay (EIA).

Penatalaksanaan
Interferon-alfa dan transplantasi hati.

Pencegahan
-

Sama dengan pencegahan pada Hepatitis B


Tidak ada vaksin hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka otomatis
kita akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa HBV.

Prognosis
-

Prognosis lebih baik pada pasien dengan gejala ko-infeksi. Sebagian besar pasien koinfeksihanya mengalami fase akut, infeksi akan hilang dari dalam tubuh dalam waktu beberapa
bulan.

Untuk pasien dengan super-infeksi, sebesar 60% 70% kasus hepatitis D menjadi sirosis
hepatis.

5. Hepatitis E

Definisi
Hepatitis E adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis E
(HEV).

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis E (VHE). Hepatitis E mirip dengan hepatitis A. Virus hepatitis E (HEV)
ditularkan melalui kotoran manusia ke mulut dan menyebar melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi. Tingkat tertinggi infeksi hepatitis E terjadi di daerah bersanitasi buruk yang
mendukung penularan virus.

Manifestasi Klinis (Gejala)


-

Biasanya muncul tiba-tiba. Umumnya tidak ada gejala pada anak-anak.


Pada orang dewasa, gejala mirip hepatitis A: demam, nyeri otot, lelah, hilang nafsu makan dan
sakit perut.

Diagnosis
Ditanyakan gejalanya bila ternyata ditemukan hepatitis virus maka akan dilakukan tes darah
untuk memastikan diagnosis dan jenis virus. Bila terjadi hepatitis kronis, maka dianjurkan
dilakukan biopsi.

Penatalaksanaan
Tidak ada. Biasanya akan sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau bulan.

Pencegahan
Selalu cuci tangan dengan sabun dan air. Cuci buah dan sayuran sebelum dimakan mentah.
Selalu gunakan air bersih.

Prognosis
Prognosis baik. Penyakit Hepatitis E akan sembuh sendiri (self-limited), keculai bila terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan.

Referensi
1.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Ditjen Binfar & Alkes,
Jakarta, 2007.

2.

http://id.wikipedia.org

3.

http://majalahkesehatan.com

4. http://medicastore.com
5.

http://www.infokedokteran.com

6.

http://www.infopenyakit.com

MUMPS
( PAROTITIS )
I. Definisi
Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis ialah penyakit virus akut yang disebabkan oleh
paramyxovirus dan biasanya menyerang kelenjar ludahterutama kelenjar parotis. Gejala khas
yang biasa terjadi yaitu pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Pada saluran
kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan
saluran. Menyerang pada anak dibawah usia 2-15 tahun (sekitar 85% kasus). Pada kasus lain bisa
terjadi infeksi mumps yang asimptomatis.

II. Etiologi
Agen penyebab parotitis adalah anggota dari group paramyxovirus, yang juga termasuk
didalamnya virus parainfluenza, measles, dan virus newcastle disease. Ukuran dari partikel
paramyxovirus sebesar 90 300 m. Virus ini mempunyai dua komponen yang sanggup
memfiksasi, yaitu : antigen S atau yang dapat larut (soluble) yang berasal dari nukleokapsid dan
antigen V yang berasal dari hemaglutinin permukaan.

Virus ini aktif dalam lingkungan yang kering tapi virus ini hanya dapat bertahan selama 4 hari
pada suhu ruangan. Paramyxovirus dapat hancur pada suhu <4 C, oleh formalin, eter, serta
pemaparan cahaya ultraviolet selama 30 detik.

III. Epidemiologi
Parotitis merupakan penyakit endemik pada populasi penduduk urban. Virus menyebar melalui
kontak langsung, air ludah, muntah yang bercampur dengan saliva, dan urin. Epidemi tampaknya
terkait dengan tidak adanya imunisasi, bukan pada menyusutnya imunitas. Parotitis merupakan
penyakit endemik pada komunitas besar, dan menjadi endemik setiap kurang lebih 7 tahun.
Relatif jarang terjadi epidemi, terbatas pada kelompok yang berhubungan erat , yang hidup
dalam rumah, perkemahan, barak-barak tentara, atau sekolah.

IV. Patogenesis
Masa inkubasi 12 sampai 24 hari dengan rata-rata 17-18 hari, kemudian virus bereplikasi di
dalam traktus respiratorius atas dan nodus limfatikus servikalis, dari sini virus menyebar melalui
aliran darah ke organ-organ lain, termasuk selaput otak, gonad, pankreas, payudara, thyroidea,
jantung, hati, ginjal, dan saraf otak.

Setelah masuk melalui saluran respirasi, virus mulai melakukan multiplikasi atau memperbanyak
diri dalam sel epithel saluran nafas. Virus kemudian menuju ke banyak jaringan serta menuju
kekelenjar ludah dan parotis.

Bila testis terkena maka terdapat perdarahan kecil dan nekrosis sel epitel tubuli seminiferus. Pada
pankreas kadang-kadang terdapat degenerasi dan nekrosis jaringan.

V. Manifestasi klinik
Masa inkubasi berkisar antara 14 - 24 hari, dengan puncak pada 17 - 18 hari dan rata-rata selama
18 hari. Batasan paling lama untuk masa inkubasi yaitu 8 sampi 30 hari. Pada anak, manifestasi
prodormal jarang tetapi mungkin bersama dengan demam, nyeri otot (terutama pada leher), nyeri
kepala, anorexia, dan malaise.

Suhu tubuh biasanya naik sampai 38,5 39,5 C, kemudian timbul pembengkakan kelenjar
parotitis yang mula-mula unilateral tetapi kemudian bilateral.(2,4). Pembengkakan tersebut
terasa nyeri baik spontan maupun pada perabaan, terlebih-lebih jika penderita makan atau minum
sesuatu yang asam, ini merupakan gejala khas untuk penyakit parotitis epidemika. Ciri khas lain
adalah kelenjar parotitis membengkak sampai kebelakang.

VI.
1. Anamnesis

Diagnosis

Pada anamnesis didapatkan keluhan yaitu demam, nafsu makan turun, sakit kepala, muntah, sakit
waktu menelan dan nyeri otot. Kadang dengan keluhan pembengkakan pada bagian pipi yang
terasa nyeri baik spontan maupun dengan perabaan , terlebih bila penderita makan atau minum
sesuatu yang asam.
2. Klinik

Panas ringan sampai tinggi (38,5 39,5)C

Keluhan nyeri didaerah parotis satu atau dikedua belah fihak disertai pembesaran
Keluhan nyeri otot terutama leher, sakit kepala, muntah, anoreksia dan rasa malas.

Kontak dengan penderita kurang lebih 2-3 minggu sebelumnya (masa inkubasi 14-24
hari).

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum anak bervariasi dari tampak aktif sampai sakit
berat.

Pembengkakan parotis (daerah zygoma; belakang mandibula di depan mastoid)


3.
Laboratorium
Karena diagnosis parotitis mudah dibuat, pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan.

Amylase serum meningkat walaupun tidak ada tanda pankreatitis

CBC / DL: gambaran infeksi virus biasa

Pleiositiosis mononuklear (limfosit) pada liquor spinalis (bisa asimptomatik)6


Pada darah rutin disamping leucopenia dengan limfosiotsis relative, didapatkan pula kenaikan
kadar amylase dengan serum yang mencapai puncaknya setelah satu minggu dan kemudian
menjadi normal kembali dalam dua minggu.
Jika penderita tidak menampakkan pembengkakan kelenjar dibawah telinga, namun tanda dan
gejala lainnya mengarah ke penyakit gondongan sehingga meragukan diagnosa. Dokter akan
memberikan order untuk dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut seperti serum darah. Sekurangkurang ada 3 uji serum (serologic) untuk membuktikan spesifik mumps antibodies: Complement
fixation antibodies (CF), Hemagglutination inhibitor antibodies (HI), Virus neutralizing
antibodies (NT).

VII.
1. Meningoensepalitis

Komplikasi

Dapat terjadi sebelum dan sesudah atau tanpa pembengkakan kelenjar parotis. Penderita mulamula menunjukan gejala nyeri kepala ringan, yang kemudian disusul oleh muntah-muntah,
gelisah dan suhu tubuh yang tinggi (hiperpireksia).

Komplikasi ini merupakan komplikasi yang sering pada anak-anak. Insiden yang sebenarnya
sukar diperkirakan karena infeksi subklinis sistem syaraf sentral. Manifestasi klinis terjadi pada
lebih dari 10% penderita patogenesis meningoensefalitis parotitis diuraikan sebagai berikut:
a. Infeksi primer neuron : parotitis sering muncul bersamaan atau menyertai encephalitis
b. Ensefalitis pasca infeksi dengan demielinasi. Ensefalitis menyertai parotitis pada sekitar 10
hari.
Meningoencepalitis parotitis secara klinis tidak dapat dibedakan dengan meningitis sebab lain,
ada kekakuan leher sedang, tetapi pemeriksaan lain biasanya normal. Pemeriksaan pungsi lumbal
menunjukan tekanan yang meninggi, pemeriksaan Nonne dan Pandy positif, jumlah sel terutama
limfosit meningkat, kadar protein meninggi, glukosa dan Cairan cerebrospinal baisanya berisi sel
kurang dari 500 sel/mm walaupun kadang-kadang jumlah sel dapat melebihi 2.000. Selnya
hampir selalu limfosit, berbeda dengan meningitis aseptik enterovirus dimana leukosit
polimorfonuklear sering mendominasi pada awal penyakit.
2. Orkitis
Komplikasi dari parotitis dapat berupa orkitis yang dapat terjadi pada masa setelah puber dengan
gejala demam tinggi mendadak, menggigil mual, nyeri perut bagian bawah, gejala sistemik, dan
sakit pada testis. Testis paling sering terinfeksi dengan atau tanpa epidedimitis. Bila testis terkena
infeksi maka terdapat perdarahan kecil. Orkitis biasanya menyertai parotitis dalam 8 hari setelah
parotitis. Keadaan ini dapat berlangsung dalam 3 14 hari.(1) Testis yang terkena menjadi nyeri
dan bengkak dan kulit sekitarnya bengkak dan merah. Rata-rata lamanya 4 hari. Sekitar 30-40%
testis yang terkena menjadi atrofi. Gangguan fertilitas diperkirakan sekitar 13%. Tetapi
infertilitas absolut jarang terjadi.
3. Pankreatitis
Nyeri perut sering ringan sampai sedang muncul tiba-tiba pada parotitis. Biasanya gejala nyeri
epigastrik disertai dengan pusing, mual, muntah, demam tinggi, menggigil, lesu, merupakan
tanda adanya pankreatitis akibat mumps. Manifestasi klinisnya sering menyerupai gejala-gejala
gastroenteritis sehingga kadang diagnosis dikelirukan dengan gastroenteritis. Pankreatitis ringan
dan asimptomatik mungkin terdapat lebih sering (sampai 40% kasus), terjadi pada akhir minggu
pertama.
4. Nefritis
Kadang-kadang kelainan fungsi ginjal terjadi pada setiap penderita dan viruria terdeteksi pada
75%. Frekuensi keterlibatan ginjal pada anak-anak belum diketahui. Nefritis yang mematikan,
terjadi 10-14 hari sesudah parotitis. Nefritis ringan dapat terjadi namun jarang. Dapat sembuh
sempurna tanpa meninggalkan kelainan pada ginjal.

5. Miokarditis
Manifestasi jantung yang serius sangat jarang terjadi, tetapi infeksi ringan miokardium mungkin
lebih sering dari pada yang diketahui. Miokarditis ringan dapat terjadi dan muncul 5 10 hari
pada parotitis. Gambaran elektrokardiografi dari miokarditis seperti depresi segmen S-T,
flattening atau inversi gelombang T. Dapat disetai dengan takikardi, pembesaran jantung dan
bising sistolik.
6. Artritis
Jarang ditemukan pada anak-anak. Atralgia yang disertai dengan pembengkakan dan kemerahan
sendi biasanya penyembuhannya sempurna. Manifestasi lain yang jarang tapi menarik pada
parotitis adalah poliarteritis yang sering kali berpindah-pindah. Gejala sendi mulai 1 sampai 2
minggu setelah berkurangnya parotitis. Biasanya yang terkena adalah sendi besar khususnya
paha atau lutut. Penyakit ini berakhir 1 sampai 12 minggu dan sembuh sempurna.

VIII. Tatalaksana
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh/hilang sendiri) yang
berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus
Mumps oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.
1. Penderita rawat jalan.
Penderita baru dapat dirawat jalan bila : tidak ada komplikasi, keadaan umum cukup baik.
a. Istirahat yang cukup
b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c. Medikamentosa
Analgetik-antipiretik bila perlu
- metampiron : anak > 6 bulan 250 500 mg/hari maksimum 2 g/hari
- parasetamol : 7,5 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
2. Penderita rawat inap.
Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala hebat, gejala saraf perlu
rawat inap di ruang isolasi
a. Diit lunak, cair dan TKTP
b. Analgetik-antipiretik
c. Penanganan komplikasi tergantung jenis komplikasinya.
3. Tatalaksana untuk komplikasi yang terjadi
a. Encephalitis
- simptomatik untuk encephalitisnya. Lumbal pungsi berguna untuk mengurangi sakit kepala.
b. Orkhitis
- istrahat yang cukup
- pemberian analgetik
- sistemik kortikosteroid (hidrokortison, 10mg /kg/24 jam, peroral, selama 2-4 hari.(1,4,6,8)

c. Pankreatitis dan ooporitis


- Simptomatik saja.

IX. Pencegahan
Pencegahan terhadap parotitis epidemika dapat dilakukan secara imunisasi aktif. Dilakukan
dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis epidemika yang hidup tapi telah dirubah
sifatnya (Mumpsvax-merck, sharp and dohme) diberikan subkutan pada anak berumur 15 bulan.
Vaksin ini tidak menyebabkan panas atau reaksi lain dan tidak menyebabkan ekskresi virus dan
tidak menular. Menyebabkan imunitas yang lama dan dapat diberikan bersama vaksin campak
dan rubella.

Pemberian vaksinasi dengan virus mumps, sangat efektif dalam menimbulkan peningkatan
bermakna dalam antibodi mumps pada individu yang seronegatif sebelum vaksinasi dan telah
memberikan proteksi 15 sampai 95 %. Proteksi yang baik sekurang-kurangnya selama 12 tahun
dan tidak mengganggu vaksin terhadap morbili, rubella, dan poliomielitis atau vaksinasi variola
yang diberikan serentak.

Kontraindikasi: Bayi dibawah usia 1 tahun karena efek antibodi maternal; Individu dengan
riwayat hipersensitivitas terhadap komponen vaksin; demam akut; selama kehamilan; leukimia
dan keganasan; limfoma; sedang diberi obat-obat imunosupresif, alkilasi dan anti metabolit;
sedang mendapat radiasi.

X. Prognosis
Parotitis merupakan penyakit self-limited, dapat sembuh sendiri. Prognosis parotitis adalah baik,
dapat sembuh spontan dan komplit serta jarang berlanjut menjadi kronis.(1,3,4,6) Sterilitas
karena orkhitis jarang terjadi.
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, perut terasa penuh, dan
sendawa. Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek klinik sehari-hari dan dapat disebabkan
karena gangguan patologis pada esofago-gastro-duodenum, hepato-pankrato-bilier, penyakit
sistemik (diabetes mellitus, tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner, kehamilan), atau
kondisi fungsional dimana tidak ditemukan kelainan organik setelah dilakukan pemeriksaan
diagnostik baku. Diperkirakan 20-30% orang mengalami gejala dispepsia ini setiap tahunnya,
dan sekitar 50% penderita ini akan mencari pengobatan terutama akibat rasa nyeri dan
kecemasannya.1,2

Penyakit tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai defek mukosa atau submukosa yang
berbatas tegas dan dapat menembus sampai ke lapisan muskularis atau bahakan serosa sehingga
menimbulkan perforasi. Secara klinis, tukak peptik adalah hilangnya epitel superfisial atau
lapisan yang lebih dalam dengan diameter 5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau
radiologis. Penyakit ini terdiri atas tukak lambung dan tukak duodenum. Secara umum,
pathogenesis terjadinya tukak peptik adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif
yang merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa. Dari beberapa
penelitian dikatakan bahwa infeksi H.pylori menjadi penyebab utama penyakit ini, namun
peranan faktor lain tidak dapat dikesampingkan sehingga penyakit tukak peptik bersifat
multifaktor.3
H.pylori adalah bakteri gram negatif berbentuk spiral yang habitat utamanya terdapat di lambung
manusia. Bakteri ini berperan penting dalam menimbulkan berbagai penyakit di gastroduodenal
seperti ulkus peptik, primary gastric B-cell lymphoma, dan kanker lambung. Meskipun
demikian, hanya sebagian kecil orang dengan infeksi H.pylori yang berkembang menjadi
penyakit-penyakit diatas. Hal ini berkaitan dengan virulensi bakteri, faktor pejamu, lamanya
terinfeksi, dan faktor lingkungan. Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa
prevalensi tukak peptik pada pasien dispepsia yang diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta
sampai 16,9% di Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. H.pylori juga
ditemukan pada kelompok dispepsia non-ulkus dengan prevalensi 20-40%.4,5

DISPEPSIA
Diagnosis
Dispepsia secara umum dibagi menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia
organik disebabkan oleh berbagai penyakit yang menunjukkan gangguan patologis baik secara
struktural atau biokimiawi. Apabila pada pemeriksaan penunjang diagnostik tidak ditemukan
adanya kelainan maka termasuk dalam dispepsia fungsional. ROME III mengklasifikasikan
dispepsia fungsional menjadiEpigastric Pain Syndrom (EP) dan Postprandial Distress
Syndrom (PD). Dispepsia fungsional ditegakkan dengan kriteria:1,2
1.

Terdapat minimal satu dari gejala rasa penuh setelah makan, rasa cepat kenyang, nyeri
epigastrium, dan rasa terbakar di epigastrium

2.

Tidak ada bukti kelainan struktural, termasuk endoskopi, yang menerangkan penyebab
keluhan diatas

3.

Keluhan terjadi selam 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan
Dispepsia fungsional tipe EP ditegakkan bila memenuhi semua kriteria dibawah ini, yaitu
1.

Rasa nyeri atau sensasi terbakar di daerah epigastrium dengan kualitas nyeri sedang,
setidaknya sekali seminggu

2.

Rasa nyeri bersifat intermitent

3.

Tidak dirasakan di bagian perut atau dada yang lain

4.

Tidak membaik dengan defekasi atau flatus

5.

Tidak memenuhi kriteria untuk kelainan kandung empedu atau sfingter Oddi

6.

Kriteria pendukung lain adalah nyeri tidak bersifat retrosternal, nyeri dipengaruhi oleh
makanan tapi bisa muncul juga saat puasa.
Sementara dispepsia fungsional tipe PD ditegakkan bila memenuhi salah satu kriteria, yaitu

1.

Rasa penuh yang mengganggu setelah makan dengan porsi normal, dirasakan beberapa
kali seminggu

2.

Rasa cepat kenyang sehingga tidak menghabiskan makanannya, dirasakan beberapa kali
seminggu

3.
Kriteria pendukung lain adalah rasa kembung, mual, dan sendawa.
Dalam ROME II, untuk kepentingan praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi berdasarkan
gejala yang dominan yaitu dispepsia tipe ulkus dimana rasa nyeri epigastrik yang terutama
dirasakan, dispepsia tipe dimotil dimana keluhan yang dominan adalah kembung, mual, muntah,
dan rasa cepat kenyang. Dispepsia dikatakan tipe non-spesifik bila tidak ada keluhan yang
dominan. Namun, pembagian ini dirasa kurang memuaskan karena definisi dispepsia fungsional
menjadi tidak seragam. Selain itu, pengobatan menjadi lebih bersifat simptomatik dan tidak
mengobati sindrom secara keseluruhan.1,2

Penatalaksanaan2
Pada pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan investigasi terhadap keluhan
dispepsianya, terdapat 6 strategi yang terdiri atas
1.
2.
3.

Pastikan bahwa keluhan kemungkinan besar berasal dari saluran cerna bagian atas
Singkirkan adanya alarm symptom seperti penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, muntah berulang, disfagia yang progresif, atau perdarahan
Evaluasi penggunaan obat-obatan. Adakah konsumsi asam asetil salisilat atai OAINS

4.

Bila ada gejala regurgitasi yang khas, maka dapat didiagnosa awal sebagai GERD dan
dapat langsung diterapi dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten meskipun
terapi PPI sudah adekuat, maka diagnosa GERD menjadi patut dipertanyakan.

5.

Tes non-invasif untuk H.pylori, dilanjutkan dengan terapi eradikasi merupakan


pendekatan yang cukup efektif, terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini
dapat digunakan bila tidak terdapat alarm symptom. Bila gejala menetap setelah terapi
eradikasi, maka terapi PPI dapat diberikan. Strategi ini kurang efektif bila diterapkan pada
daerah dengan prevalensi H.pylori rendah

6.

Endoskpi dapat direkomendasikan pada pasien dengan alarm symptom atau dengan usia
tua (diatas 45-55tahun).
Pada dispepsia organik, terapi utama adalah dengan menyingkirkan penyebabnya. Pada dispepsia
fungsional, karena patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun masih belum ada yang
benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis menunjukkan efek placebo masih cukup besar
yaitu sekitar 20-60%. Terapi non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam jumlah kecil

tapi sering, penghentian kebiasaan merokok, minum alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS
yang tidak perlu memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan
efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah obat penghambat asam lambung seperti
antagonis reseptor H2(H2B) dan penghambat pompa proton(PPI). Terapi eradikasi H.pylori
diberikan dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik
seperti metoklopramid, domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki manfaat bila dibandingkan
dengan placebo, namun penelitian yang ada masih sedikit dan bias. Obat-obatan anti-depresan
seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki gejala.

Anda mungkin juga menyukai