Referat Tetanus
Referat Tetanus
TETANUS
Pembimbing :
Dr. Zaki, Sp.S
Disusun oleh
NIM
: 201073008
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
STASE SARAF RSUD BANJAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Dan pada tahun 1890, ditemukan toksin yang dikenal dengan tetanospasmin,
yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan
mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.1
Secara keseluruhan, tingkat kematian penderita tetanus sekitar 45%. Klinis
tetanus bergantung terhadap pernah atau tidaknya seseorang mendapatkan vaksin
tetanus toksoid pada waktu selama hidup mereka. Yang pernah mendapatkan vaksin
klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang tidak cukup divaksinasi atau tidak
divaksinasi sama sekali. Angka kematian di Amerika Serikat 6% bagi mereka yang
telah menerima 1-2 dosis toksoid tetanus, dibandingkan dengan 15% bagi mereka
yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika Serikat adalah 18% 2001-2008
dan 11% tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91% dilaporkan pada tahun
1947. Angka kematian yang tertinggi bagi orang-orang berusia 60 (40%)
dibandingkan dengan mereka yang berusia 20 sampai 59 tahun (8%)2.
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama
disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi pada telinga, luka tusuk pada anak usia
sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Di negara maju kasus
tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan
kebersihan selama proses kelahiran . Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula.
Oleh karena itu, kasus tetanus akan dibahas lebih lanjut pada referat ini baik dari
klinis penyakit hingga penatalaksaannya.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang
dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini merupakan basil gram positif
anaerob, bersifat nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas,
pengeringan dan desinfektan.1
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan
oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi
kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme
dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya
dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa
Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit
infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw),
spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme global, kejang,
dan paralisis pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh
melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada
infeksi tali pusat (tetanus neonatorum).3
2.2. Karakteristik Clostridium tetani
Clostridium tetani termasuk dalam bakteri gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini
sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Bakteri ini dapat tahan walaupun telah
diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia
lainnya. Bakteri Clostridium tetani banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan
hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi
pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan
menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang
menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu
tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti,
namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospasmin
merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat
molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan
enzim proteolitik4.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman
tetanus tumbuh subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan media agar
darah. Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat
mengfermentasi glukosa2.
2.3. Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang
dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena
meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus (lihat grafik di bawah). Selain itu
sanitasi lingkungan yang bersih2.
Gambar 2. Penurunan kasus tetanus di Amerika Serikat karena ada program imunisasi nasional13
Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya
adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri,
botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis
dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang
tidak steril5.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada
tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction
serta saraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem
Saraf Pusat (SSP). Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter
sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau eksitasi terus menerus dan
spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.
Neuron, yang melepaskan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin,
neurotransmitter
inhibitor
utama,
sangat
sensitif
terhadap
tetanospasmin,
otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf
tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi
wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher5.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular. Spasme laring, hipertensi, gangguan irama janjung,
hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang
dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi
namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti5.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara5 :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardia,
aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urin5.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul
spasme otot yang khas4.
10
11
ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat
menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik
ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami
luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat
dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi
yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang
refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.
Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena
adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan
sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin
lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah
tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga
dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini
disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,
sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
12
Gambar 3. Spasme otot akibat masuknya toksin dari kuman Clostridium tetani13
13
d. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan
biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
2.9 Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan
tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut8:
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini
penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah penyuntikan
ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
14
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan tindakan
terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
15
16
Jenis Obat
Diazepam
Dosis
Efek Samping
0,5 1,0 mg/kg Berat badan / Stupor, Koma
4 jam (IM)
Meprobamat
Tidak Ada
Klorpromasin
Hipotensi
Fenobarbital
Depresi pernafasan
17
2. Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat
kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
4. Komplikasi yang lain :
a. Laserasi lidah akibat kejang
b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
d. Kematian
yang
dapat
terjadi
akibat
komplikasi,
yaitu:
3. Onset
Onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus sampai
terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya dapat buruk.
18
4. Demam
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosanya buruk.
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekusensi kejang
Semakin sering prognosanya makin buruk.
2.12 Pencegahan
Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satusatunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian
imunisasi aktif (DPT atau DT). Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih
baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai
bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) Bagi yang sudah dewasa sebaiknya
menerima booster. Selain itu perawatan luka yang benar dan anti tetanus serum untuk
profilaksis.12
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2006,
hal 474-476.
2. Widiyono. 2008. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan
pemberantasan. Edisi I. Jakarta : Erlangga
3. Mardjono, mahar. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta Dian Rakyat.hal 323324.
4. Soedarmo, Garna, dkk. 2008. Tetanus. Buku Ajar Infeksi Tropik. Jakarta : EGC
5. Farrar, Cook T. Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry. hal
292-301.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.
Health Technology Assesment Indonesian.
7. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta. hal 1777-1784
8. Misbach, Jusuf, dkk. 2006. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur
Operasional Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Sarafn Indonesia
(PERDOSSI).
9. Philip, Jevon & Beverley. 2008. Pemantauan Pasien Kritis. Edisi II. Jakarta :
Erlangga.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.
Jakarta.
11. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2006. Neurologi. Palembang : FK
UNSRI
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Editor : Harsono. 2007. Buku
Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada