Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan Hermeneutika
PENDEKATAN HERMENEUTIKA;
SEBUAH PARADIGMA DAN KERANGKA METODOLOGI
MAKALAH
Pendekatan ilmu-ilmuKeislaman
Disusun Oleh:
Akmal Bashori
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
PENDEKATAN HERMENEUTIKA;
SEBUAH PARADIGMA DAN KERANGKA METODOLOGI
I. PENDAHULUAN
Hermeneutik dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau
filsafat interpretasi makna. Baru-baru ini hermeneutika telah muncul sebagai topic
utama dalam filsafat ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra,
meski asal usul modernnya bermula dari awal abad Sembilan belas.
Hidup manusia sangat berseluk beluk. Masih banyak hal belum jelas benar.
Pikiran masih harus lebih berpikir, suara dan artikulasi dari kenyataan (das-sein)
masih perlu di dengar dan dipatuhi dan lebih seksama, berbagai hubungan masih
harus senantiasa ditemukan, diintegrasikan, ditinjau kembali dan lain seterusnya.
Manusia pendek kata harus senantiasa menafsirkan dan membuat interpretasi.
(Poespoprodjo, tth: 1)
Pemahaman penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu
pengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang
dunia. Dalam memahami tradisi tidak hanya memahami teks-teks, tetapi wawasan
juga harus diperoleh dan kebenaran-kebenaran harus diakui. Dihadapan ilmu
pengetahuan modern yang mempunyai posisi dominan dalam penjelasan dan
pembenaran terhadap konsep pengetahuan. (Gadamer, 1975: V)
Sebagai sebuah pendekatan, akhir-akhir ini hermeneutika semakin di
gandrungi oleh para peneliti akademis, kritikus sastra, sosiolog, sejarawan,
antropolog, filosof, maupun teolog, khususnya untuk mengkaji, memahami, dan
menafsirkan teks (scripture), misalnya: Injil atau Al-Quran.
Lebih lanjut, Fahruddin Faiz menyatakan bahwa term khusus yang digunakan
dalam pengertian kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir
bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian
eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang. Sedangkan Amin
Abdullah menyebut hermeneutika sebagai fiqhtafsir wat tawil.
Banyak filofos yang mengkaji hermeneutika diantaranya; Schleiermacher,
Wihelm Dilthey, Martin Heideger, H. g. Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur,
Jacques Derrida. Namun didalam makalah ini penulis membatasi pembahasan hanya
pada hermeneutika sebagai salah satu pendekatan studi ilmu-ilmu keislaman.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Sejarah Hermeneutika
Disepanjang sejarahnya, hermeneutik secara sporadis muncul dan
berkembang sebagai teori interpretasi saat ia di perlukan untuk menerjemahkan
literatur otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak mengijinkan akses
kepadanya, karena alasan ruang dan waktu atau pada perbedaan bahasa. Dalam
hal ini sebuah teks dapat diperdebatkan atau tetap tersembunyi sehingga
memerlukan perjelasan interpretasi agar membuatnya trasparan. (Josef Bleicher,
2003: 5-6)
Hermeneutik adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks.
Kajian hermeneutik berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan
pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan
demikian, hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan
saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks 2) persoalan yang
mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu. (Palmer, 1969: 8)
Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani,
hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. ia merupakan sebuah
proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Oleh
sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana menafsirkan sebuah
teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda.
(Umiarso, 2011: 193). Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan dengan tokoh
mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan tugas Yupiter kepada
manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang hermes yang begitu penting, yang
bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah seorang duta yang dibebani misi
menyampaikan pesan sang dewa. Berhasil atau tidaknya misi menyampaikan
pesan tersebut tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan
demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah
ketidaktahuan menjadi tahu. (Sumaryono, 2003: 24-25)
Pada walanya hermeneutika digunakan oleh para kalangan agamawan.
Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad
ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna
teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab
suci
itu,
mereka berkesimpulan
bahwa kesulitan
itu
akan
membantu
Grodin
(1994:
20)
menjelaskan
bahwa
dalam
sejarahnya
Jerman, yang
berjudul Peri
tersebut
terangkum
dalam
pengertian
menafsirkan
sebagai
yakni teks,
konteks dan
kontekstualisasi.
Dengan demikian setidaknya terdapat tiga pemahaman mengenai
hermeneutika yakni :
1. Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis,
yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk
mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami.
2. Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah
penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana
harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks.
3. Sebagai penafsiran filsafat. Dalam pemahaman ini hermeneutika menyoroti
secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana
hasil pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan dan bahkan
disanggah. (Raharjo, 2012: 32)
3. Hermeneutika dalam Pendekatan Ilmu-ilmu Ke-Islaman
A). Bahasa Sebagai pusat Kajian
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan
hermeneutik tidak begitu populer dan untuk kalangan tertentu justru cenderung
dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian
akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermenutik pun
orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap
hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah
yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain
dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang
hendak diterapkan dalam kajian al-Quran di lingkungan Islam. (Abdullah, 2010:
272-273)
Persoalan penafsiran nash-nash keagamaan (al-Quran dan hadis) ini
dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk menyelami dan mendalami lebih
lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman, perumusan,
pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambil keputusan yang dilakukan
oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi keagamaan yang
membidangi pemikiran hukum Islam. Dari sini persoalan pelik muncul.
sangat
dekat.
Dalam
Gadamers
Philoshopical
hermeneutics
bentuk formalnya. Kedua; factor kesadaran umat Islam saat itu yang masih kental
dengan argument-argumen dogmatis ketimbang penalaran kritis. Mereka
mempercayai sakralitas al-Quran yang secara literal berasal dari Allah dank arena
itu membacanya merupakan ibadah. Implikasinya penafsiran literal terhadap ayatayat al-Quran merupakan langkah popular yang dilakukan umat Islam dalam
memahami kandungan al-Quran dan mereka memerlukan perangkat metodologis
hermeneutika dalam memahami al-Quran. (Supena, 2008: 29-30)
Adalah
Hasan
Hanafi-lah
yang
pertama
kali
memperkenalkan
Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam dalam bukunya yang berjudul: Les
Methodes dExeges, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehesion,
Ilm Usul al-Fiqh pada tahun 1965(Muzairi, 2003: 60). Selain di Mesir, seperti
Hasan Hanafi, Muhammad Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd sendiri, tokoh
Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India, Ahmad Khan,
Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi
konsep-konsep dalam Al-Quran yang dianggap bersifat mitologis. di Aljazair
muncul Mohammed Arkoun yang menelorkan ide cara baca semiotik terhadap AlQuran. Lalu Fazlurrahman yang merumuskan Hermeneutika semantik terhadap
Al-Quran, dan kemudian dikenal sebagai double movement.(Faiz, 2005: 14-15)
Di Indonesia, antara lain M. Amin Abdullah, seorang profesor di
Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta yang dikenal cukup gigih dan rajin
memperjuangkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran. Ia
banyak menulis kata pengantar dalam buku-buku Hermeneutika Al-Quran, antara
lain Hermeneutika Pembebasan, Hermeneutika Al-Quran, Tema-tema
Kontroversial, dan Hermeneutika Al-Quran, mazhab Yogya. Ia menyatakan
bahwa Hermeneutika adalah sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada
dunia Islam, meskipun banyak yang mengkritiknya. Ia-pun banyak mengkritisi
metode tafsir klasik. (Faiz, 2005: XV)
Lebih lanjut, Farid Esack ingin memperlihatkan Hermeneutika yang
identik dengan konsep tafsir klasik, dalam tiga hal: 1) penafsir yang manusiawi,
yang membawa muatan-muatan kemanusiaan masing-masing, dan pada
akhirnya memproduksi komentar-komentar subjektif terhadap penafsirannya, 2)
penafsiran yang tidak dapat lepas dari bahasa, budaya dan tradisi, dan 3) teks yang
bernuansa sosio-historis, sehingga tidak lagi unik. Faiz (2005: 16-20) yang
mengutip perspektif ini menyimpulkan bahwa penafsiran dengan teori ini dapat
dinilai merupakan representasi dari model Hermeneutika filosofis murni
Gadamerian.Yang terbagi dalam tiga titik pusat dalam hermeneutika Gadamer,
yakni pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader). (Silverman, 199: 18).
Ketiga horizon inilah yang nantinya akan di gunakan untuk berdialog sehingga
dapat memahami (menafsirkan) sebuah teks;
1. Horizon Teks
Abu Zaid (1990: 9) mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah
metafisika, peradaban Yunani adalah Nalar Sejarah peradaban arab Islam
adalah sejarah peradaban teks (Khadarat al-nash) artinya, itu merupakan
peradaban yang dasar-dasar keilmuan dan peradabannya muncul dan berdiri
atas prinsip yang tidak memungkinkan untuk melupakan sentralitas teks.
Oleh karena itu dalam pendekatan hermeneutika bahasa sangat penting
bagi kehidupan manusia. Manusia dapat melakukan aktivitas seperti menulis,
membaca dan berfikir tidak lepas dari bahasa. Demikian juga dengan alQuran, bahasa (teks) menjadi salah satu factor penting dalam memahami alQuran maupun hadis, sebab bahasa (teks) merupakan satu-satunya yang
digunakan
untuk
menyapa
pembacanya.
Al-Quran
maupun
sendiri
10
3. Horizon Pembaca
Selain situasi social pada masa Nabi, situasi social masyarakat
kontemporer , yang mempengaruhi horizon pembaca, juga merupakan hal
yang penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan menjadi dasar
untuk menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan al-Quran
dalam kasus actual secara tepat. Penafsir harus mengusasai dimensi yang
membentuk situasi masyarakat kontemporer tersebut, baik ekonomi, politik,
kebudayaan maupun yang lain, lalu menilainya dengan mengubahnya sejauh
yang diperlukan baru kemudian menentukan prioritas-prioritas baru untuk
biasa menerapkan al-Quran secara baru pula.
Asumsinya, kehidupan masyarakat dewasa ini sudah sangat berbeda di
bandingkan dengan masyarakat Arab di zaman Nabi, lebih-lebih setelah arus
modernism yang dihembuskan masyarakat barat setelah memasuki dunia
Islam. Saat ini, umat manusia hidup dalam sebua desa benua yang terdiri dari
11
berbagai bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Perubahan
politik ekonomi, dan budaya disuatu Negara atau bangsa yang lain.
Perkembangan modernism yang berlangsung didunia barat yang mengusung
tema-tema seperti demokrasi, pluralism, kebebasan, emansipasi, hak asasi
manusia (HAM), dan sebagainya. Mau tidak mau akan mempengaruhi
styledan pola piker masyarakat Islam. Akibatnya dalam masyarakat Islam
sendiri terjadi transformasi social, baik dalam aspek social, budaya, ekonomi
maupun system nilai. Dari contoh tersebut dapat dipahamiada oleh penafsir
untuk
memahami
teks,
yakni;
pre-understanding,
explanation
dan
Teks
Hermeneutika
Approach
Author
Reader
12
hermeneutika
yang
menitik
beratkan
kajiaanya
pada
problem
13
perwujudan ekslusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan konstruksi pembaca akan
menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini, teks tunduk kepada pembaca dan
secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih
sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi
pembacaan lain, teks tersebut larut ke dalam karakter pembaca. Jika pembaca
melampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah
pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit dan otoriter. Bagan
di atas menjadi seperti ini.
Teks
Hermeneutik
Approach
Author
Reader
III.
ANALISIS
Hermeneutika mengalami perluasan dan pergeseran makna, dari yang
semula merupakan istilah dalam kajian teologi (khusus dalam protestanisme)
14
menjadi kian luas hingga meliputi berbagai disiplin humaniora, seperti sejarah,
sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra dan lainnya.
Dalam
kajian
hermeneutika,
kata-kata
yang
diucapkan
seorang
15
mendapatkan konsep pemahaman yang lebih baik sesuai dengan cita-cita sosiomoral dan kebutuhan historisnya.
IV.
KESIMPULAN
Ada tiga (triadik) hal yang dalam hermeneutik yaitu author (pencipta),
text(teks) dan pembaca(reader), terdapat peran aktif dan interaksi yang hidup
dinamis antar ketiganya elemen pelaku tersebut. Dengan demikian ada proses
penyeimbangan diantara berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh masingmasing pihak dan terjadi proses negosiasi yang terus menerus, tak kenal henti,
antara ketiga pihak. Setiap aktor harus dihormati dan peranmasing-masing pihak
harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh.
Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna
tersebut. Oleh karena itu memahami itu artinya memahami melalui bahasa.
Bahasa dilihat sebagai faktor fundamental dalam eksistensi manusia dalam
menghayati keberadaannya di dunia. Dengan bahasa manusia bisa menjelaskan,
memahami, dan menggambarkan realitas dunianya. Bahasa menjadi medium
untuk hal-hal ini. Bahasa mengandung unsur keterbukaan untuk berdialog dengan
tradisi dan dapat membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas.
Manusia dapat mencapai puncak krativitasnya melalui bahasa, antara lain
dengan menulis dan membaca. Penulisan suatu suatu teks inilah yang nantinya
mengantarkan pada pencipta karya satra, dimana di dalam karya tersebut
mengandung banyak pengalaman dan tanda-tanda yang di tuliskan sang penulis.
Untuk memahaminya, bukan berarti si pembaca harus kembali pada masa lampau,
melainkan harus memiliki keterlibatan masa kini atas apa yang tertulis.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang
konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya
khazanah Intelektual kita.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Islamic studies di Perguruan Tinggi pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia,
2002.
El Fadl, Khaled M. Abou, Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority,
and Women. Terj.Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
2004.
17
REVIEW
Judul
Penulis
Terbit
Penerbit
I.
Deskripsi Naskah
Al-Quran dalam studi ini lebih dipahami dalam dimensi relasionalnya pada sebagai
satu fenomena atau kategori keagamaan yang absolut. Pemahaman yang lebih tepat dan
berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwa kitab suci
bukan sekedar teks. Ia lalu berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan. Focus
kajian ini adalah untuk mengungkapkan metode karakteristik dan hermeneutika dalam
tafsir al-ibriz karya KH. Bisri Mustafa. Untuk itu dalam melakukan penelitian ini sang
penulis menggunakan pendekatan historis dan Hermeneutika.
Sebagaimana disinggung diatas, hermeneutika merupakan salah satu metode
penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah kepada analisa
psikologis, histiris serta sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks
al-Quran, maka persoalan pokok dan persoalan teks al-Quran yang dihadapi adalah
bagaimana teks al-Quran hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan,
diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas social.
Adalah KH. Bisri Mustofa lahir dari pasangan H. Zaenal Mustafa dan Chadijah di
desa Sawahan Rembang. Pada tahun 1915. Dengan nama kecil Mashadi. Setelah naik haji
yang pertama kalinya namanya diganti seperti saat sekarang ini. Pendidikan pertama Bisri
di HIS (Hollands Inlands Scholl) di rembang dengan uang sekolah Rp. 3-7. Setelah itu
pada bulan puasa 1925 Bisri diantar ke pondok Kajen pimpinan K. chasbullah. Bisri juga
pernah ikut pengajian kataman kitab Bukhari Muslim kepada KH. Hasyim Asyari di
Jombang. Selama setahun KH. Bisri Mustafa belajar di tempat kelahiran Islam dan beliau
berguru kepada K. Bakir, Syaikh Hamdan al-magriby, Syekh Maliki, sayyid Amin, Syekch
Hasan Masyath, Sayyid Alawie dan K. abdul Muhaimin. Pada tahun 1937 Bisri bersama
kedua kawannya kembali ke Rembang. KH. Bisri Mustafa meninggal pada hari Rabu
tanggal 17 Pebruari 1977 (27 Shoffar 1397 H).
Aspek hermeneutic dalam kitab al-Ibriz makna kata perkata disusun dengan system
makna gundul, sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara
ini, kedudukan dan fungsi kalimatnya dijelaskan detail, sehingga siapapun yang
membacanya akan mengetahui bahwa lafad ini kedudukannya sebagai fiil, fail, maful dan
sebagainya. Dalam konteks hermeneutika, makna gandul ini parallel dengan analisis
18
bahasa sangat penting dalam mengungkap setruktur bahasa yang menjebak. Kelalaian arti
sisi ini mengakibatkan lahirnya tafsir yang misleading karena tidak memahami anatomi
bahasa yang ditafsirkan padahal dibalik makna ada maksud yang diterkandung yang
diinginkan penafsir. Didalamnya kepentingan ekonomi, social dan politik seorang
penafsir.
Tekhnik tafsir ini ada dua kata perkata atau keseluruhan ayat. Berdasarkan pandangan
ini. Tafsir al-ibriz menggunakan metode yang pertama, yaiti kata perkata, setelah itu baru
dijelaskan keseluruhan makna satu ayat baik dengan keterangan panjang maupun pendek.
Aliran bentuk tafsir al-ibriz masuk dalam kategori tradisional. Kategori tradisional
merujuk pada sikap setia terhadap doktrin-doktrin Islam, normative sejalan dengan
pemikiran mainstream. Al-ibriz juga tergolong dalam katagori tafsir bil maksur. Dalam
bentuknya yang sederhana.
Pendekatan corak tafsir al-ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu
corak tertentu. Al-ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, social kemasyarakatan
dan sufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu
yang bernuansa hokum, tasyawuf atau social kemasyarakatan. Contoh Dalam tafsir
kesetaraan gender KH. Bisri Mustafa menjelaskan tentang penciptaan hawa seperti QS 4:
1, 7: 189, dan 39: 6. Pada tafsir QS, 4: 1 .sira kabeh pada takwa marang pangeran
kang hanitahake saking wong siji iya iku nabi adam lan nitahake garwane (ibu Hawa) uga
saking nabi Adam pada 7: 189 iya Allah taala dzat kang nitahake sira kabeh saking
bibit menungso siji, iya iku bapak Adamnuli saking Allah taala nitahake garwane iya
iku Ibu Hawa di ayat 39: 6 penafsir mengatakan Allah taala nitahake sira kabeh
saking awak-awakan kang siji (iya iku nabi Adam) nuli Allah taala dadiake saking awak
awakan mau (Nabi Adam) rupa bojo (yaiku Hawa) dari ketiga ayat ini tidak memberikan
paparan tambahan misalnya dengan mengutip hadis nabi yang implisit mengatakan:
..mereka (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk (HR. Bukhari Muslim). Dengan
demikian al-Ibriz masih bisa didiskusikan apakah pro-pendapat feminism yang menolak
penciptaan hawa dari tulang rusuk, atau sebaliknya.
Dalam kajian ini di temukan ditemukan bahwa pertama tafsir al-ibriz disusun dengan
menggunakan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan al-Quran secara kata
perkata sesuai tertib susunan ayat al-Quran. Makna kata per kata disusun dengan system
makna gandul, sedangkan penjelasan tafsirnya diletakkan bagian luarnya. Makna gandul
ini parallel dengan analisa bahasa yang sangat penting untuk mengungkap struktur bahasa
yang menjebak.
Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan kandungan
ayat al-Quran. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki kecenderungan dominan
pada satu corak tertentu. Ia merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi
tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir, tafsir al-Ibriz termasuk aliran tradisional
dan matsur dalam artian yang sederhana.
Kedua kesederhanaan tafsir al-Ibriz adalah bukti telah terjadi jalinan dialog antara
penefsir, konteks dan teks kitab suci. Penafsir yang berpendidikan murni tradisional
memiliki preferensi tertentu saat menafsirkan ayat-ayat al-quran, metode yang digunakan
dan kepada siapa tafsir itu ditujukan. Karena sebagian besar audiennya adalah santri yang
19
tinggal di desa, pilihan dan metode yang digunakan penafsir saat menafsirkan al-Quran
adalah kontekstual menurut zamannya itu juga dapat dilihat dari ideology penafsir terkait
soal gender dan ekologi dan pluralitas agama. Tidak di temukan kapan tafsir mulai
disusun. Namun tafsir al-Ibriz final disusun pada saat situasi dimana kehidupan
penafsirnya cukup mapan, baik social ekonomi maupun politik.
II.
Kajian Kritis
a. Ketimpangan Penelitian
Penelitian ini cenderung masih berat sebelah. Maksudnya penelitian masih
terbatas pada teks belaka. Akibatnya, hasil penelitian cenderung bersifat
deskriptif. Di beberapa sentral penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih
berkutat pada hal-hal yang sifatnya teoritik. Orientasi semacam ini kami anggap
kurang lengkap, karena karya tersebut sebenarnya belum berdialog antara
pengarang dengan pembaca. Pemakaian metode ini sekurang-kurangnya akan
mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca, sebab pembaca
merupakan bagian penting dalam rangka pengembangan penelitian ke depan.
Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian akan semakin kurang
bermakna.
b. Kerancuan pendekatan
Dalam penelitian ini sering disejajarkan dengan kajian, telaah, studi dan
kritik. Hanya saja yang sedikit berbeda adalah kritik teks. Sedangkan kajian,
telaah dan studi kurang lebih memiliki tujuan yang sama yaitu memahami makna
dalam tafsir al-Ibriz. Dalam tafsir penelitian ini terdapat kerancuan dalam
menggunkan pendekatan (historis dan hermeneutis), menurut kami itu menjadi
rancu ketika dua pendekatan tersebut digunakan, harusnya cukup dengan
menggunakan satu pendekatan yaitu pendekatan hermeneutic karena dalam
pendekatan hermeneutic juga melihat sisi historis dari suatu fenomena, jadi
pendekatan historis sudah include di dalamnya.
c. Persoalan Metode, Teknik
Karya Abu Rokhmad ini adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik.
Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi. Namun Makna dan fungsi ini
sering kabur dan tak jelas. Oleh karena, penelitian al-Ibriz memang syarat dengan
imajinasi. Itulah sebabnya, Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila peneliti
memulai kerjanya atas dasar masalah. Tanpa masalah yang jelas dari karya tafsir
al-Ibriz yang dihadapi tentu kerja penelitian juga akan menjadi kabur. Manakala
penelitian kabur dan penelitian itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu
hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan peneliti tafsir al-Ibriz
dengan menggunakan pendekatan hermeneutic untuk mengangkat sebuah
persoalan menjadi penting.
d. Kelebihan penelitian
Kelebihan dari penelitian tersebut adalah bahwa dalam penelian tersebut
menggunakan aspek bahasa sehingga lebih komprehensip, kaitannya dengan
20