Anda di halaman 1dari 13

Hermeneutika Berdasarkan Alirannya

Meskipun masing-masing pemikir atau tokoh hermeneutika memiliki karakteristik yang


berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, tetapi bila dianalisis dari segi pemaknaan
para tokoh terhadap objek penafsiran, maka hermeneutika dapat dibagikan kepada tiga
aliran utama: (1) aliran Objectivism, (2) aliran Subjectivism, dan (3) aliran Objectivims-
Cum-Subjectivims (Sahiron 2002). Berikut akan diuraikan definisi dari masing-masing
aliran yang dimaksud beserta beberapa tokoh hermeneutika yang termasuk ke dalam
masing-masing aliran tersebut.

A. Aliran Objectivism.

Aliran objectivism adalah aliran yang memberi penekanan kepada pencarian makna asli
atau makna asal dari objek penafsiran, baik teks yang tertulis, teks yang disampaikan,
perilaku manusia maupun simbol-simbol kehidupan dan sebagainya. Jadi, dalam aliran ini
penafsiran adalah sebuah upaya untuk melahirkan kembali (rekonstruksi) apa yang
dimaksud oleh pengarang teks itu sendiri. Schleiermacher dan Dilthey ialah antara dua
tokoh hermeneutika yang dapat digolongkan ke dalam aliran ini.

Pada rangkuman ini pemikiran Schleiermacher saja yang akan dikaji sebagai
sebuah perwakilan untuk memahami model hermeneutika aliran objectivism, karena
sekalipun masing-masing dari tokoh dari aliran ini memiliki keunikan dan
keistimewaannya masing-masing tetapi ide utama mereka tetap satu yaitu memberikan
penekanan kepada makna asli dari teks.

1. Hermeneutika Friedrich Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher lahir di Breslau, Jerman pada tahun 1768. Dia Menempuh pendidikan
utama dalam bidang teologi tetapi juga tertarik mempelajari filsafat dan filologi klasik.
Karya-karya yang ditulisnya secara umum adalah mengenai filsafat, teologi dan
hermeneutika. Pada tahun 1810 Schleiermacher diangkat menjadi profesor teologi di
Universitas Berlin dan setahun berikutnya menjadi anggota akademi sains Berlin. Dia
meningggal dunia pada tahun 1834 saat berusia 66 tahun.
Hermeneutika dalam pemikiran Schleiermacher tidak hanya dipandang sebagai
disiplin ilmu dalam bidang penafsiran, tetapi dia menempatkan hermeneutika dalam
konteks teori ilmu pengetahuan. Sehingga objek penafsiran tidak hanya terbatas terhadap
teks tetapi menjadi lebih luas, yakni berkaitan dengan pemahaman manusia (problem of
human understanding of such). Dia membangun hermeneutika umum yang tidak hanya
digunakan dalam kajian teks kitab suci, melainkan pada segala sesuatu yang menjadi objek
dari penafsiran (Schleiermacher 1998).

Hermeneutika yang dibangun oleh Schleiermacher adalah hermeneutika gramatik dan


psikologi. Ini difahami dari ungkapan Schleiermcaher sendiri dalam bukunya
Hermeneutics and Criticism yang berbunyi: “Understanding is only a being-in-one-
another of these two moments (of the grammatical and psycological”) (Sahiron 2009).
Merujuk kepada penjelasan Vedder terhadap peryataaan Schleiermacher tersebut, Sahiron
menjelaskan bahwa hermeneutika gramatik berfungsi untuk mempelajari bahasa dan
sejarah yang orientasinya adalah objektif, manakala hermeneutika psikologi mengkaji
bahasa sebagai ungkapan hidup seseorang dan memiliki orientasi subjektif. Berikut adalah
penjelasan mengenai kedua hermeneutika tersebut.

a. Hermeneutika Gramatik

Dalam hermeneutika gramatik seseorang dituntut untuk menguasai aspek-aspek bahasa,


karena penafsiran ini didasarkan pada analisa bahasa. Schleiermacher menyatakan bahwa
berhasilnya praktik dari seni penafsiran, berdasarkan kepada kemampuan bahasa
(Schleiermacher 1998). Ini karena menurutnya, sisi objektif dari penafsiran terletak pada
hermeneutika gramatik. Schleiermacher menyebutkan bahwa dalam penafsiran ada
beberapa kaedah kebahasaan yang mesti diterapkan, antaranya ialah sebagai berikut
(Schleiermacher 1998):

i. “Everything in a given utterance, which requires a more precise determination, may


only be determined from the language area, which is common to the author and his
original audiences”. (Penentuan makna dari sebuah ungkapan atau kata dalam
ungkapan hanya dapat ditentukan melalui bidang bahasa yang dikenal oleh pengarang
dan pendengar aslinya). Pernyataan ini memberi pemahaman bahwa menurut
Schleiermacher, untuk memahami sebuah teks, yang harus dilakukan adalah mencari
makna kata dan konteksnya sebagaimana yang difahami oleh pengarang dan pendengar
asalnya. Dalam melakukan itu, penafsir harus merujuk kepada sistem bahasa yang ada
pada saat teks yang dimaksud, lahir. Dengan demikian, makna objektif atau makna
sebenarnya dari ungkapan atau teks dapat dicapai oleh penafsir.

ii. “The sense of every word in a given location must be determinded according to its
being together with those that surroud him”. (Menentukan makna dari setiap kata harus
mempartimbangkan keberadaannya bersama kata-kata lain yang ada di sekitarnya). Ini
bermaksud bahwa makna kata dalam sebuah kalimat sangat berkaitan dengan kata-kata
lain sekitarnya secara keseluruhan. Maka dalam memahami sebuah ungkapan atau teks,
hubungan antar kata dalam kalimat dan lebih luas lagi hubungan antar kalimat dalam
teks harus diperhatikan oleh penafsir.

iii. “The vocabulary and the history of the era of an author relates as the whole from which
his writing must be understood as the part, and the whole must, in turn, be understood
from the part”. (Memahami tulisan seseorang (sebagai bagian/part) berkaitan dengan
kosakata (bahasa) dan sejarah masa pengarang (sebagai keseluruhan/whole), demikian
juga keseluruhan (yakni bahasa dan sejarah pengarang) harus difahami dari bagiannya
(tulisannya). Ungkapan ini memberi pengartian bahwa karya-karya seseorang sangat
berkaitan erat dengan bahasa dan kehidupan pengarangnya. Jika kita ingin memahami
hasil karya daripada seseorang atau memahami sebuah teks maka yang harus dilakukan
adalah dengan memperhatikan sistem bahasa yang digunakan dan dimiliki oleh
pengarang tersebut beserta juga dengan sejarah hidupnya. Demikian pula sebaliknya,
pemahaman kita terhadap sistem bahasa dan kehidupan seseorang tokoh dapat
dilakukan dengan cara merujuk dan menganalisis hasil-hasil karyanya. Inilah yang
dimaksudkan oleh Schleiermacher bahwa bagian (part) harus difahami dari
keseluruhannya (whole) dan sebaliknya pemahaman yang baik terhadap keseluruhan
(whole), dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap bagiannya (part). Lebih jauh
lagi, dalam kaitan dengan teks dia juga mengatakan: “Every within a single text the
particular can only be understood from out of the whole...”. Memahami bagian dari
sebuah teks hanya dapat dilakukan dengan memahami pula keseluruhan teks tersebut.
Maka, sebuah kata dalam kalimat harus difahami melalui kalimatnya, demikian
seterusnya memahami sebuah kalimat mesti diikuti oleh pemahaman konteks dari
keseluruhan teksnya.
b. Hermeneutika Psikologi

Dalam hermeneutika psikologi Schleiermacher menegaskan bahwa untuk memahami teks,


selain aspek bahasa pembaca juga dituntut utuk memahami kejiwaan dari pengarangnya,
karena makna sebuah teks tidak dapat lepas dari maksud penulis itu sendiri. Tentunya,
yang menjadi pertanyaan dasar dalam hal ini adalah bagaimana cara memahami kejiwaan
pengarang, sehingga teks dapat difahami secara benar.

Berkaitan dengan ini Shleiermacher memberikan dua metode, yakni divinatory


method dan comparative method. Divinatory method adalah metode dengan cara seeorang
masuk ke dalam jiwa orang lain (pengarang) dan mencoba untuk memahami orang
tersebut (pengarang) secara langsung (“the one, in which one transforms oneself into the
other person and tries to understand the individual elements directly”). Adapun metode
comparative method adalah memahami seseorang pengarang dengan cara membandingkan
pengarang tersebut dengan orang-orang lain, dengan andaian dan anggapan bahwa antara
yang satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan-kesamaan universal (Schleiermacher
1998).

Meskipun kedua metode ini memiliki perbedaan dari cara kerjanya, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi, seorang penafsir dalam
upayanya untuk memahami kejiwaan pengarang dengan tujuan untuk mendapatkan makna
teks yang sebenar seperti yang dimaksudkan oleh pengarang, harus melakukan kedua-dua
metode tersebut. Hal ini karena, kepastian dari pemahaman yang dicapai melalui
transformasi langsung ke dalam jiwa pengarang hanya dapat dipercaya dengan penegasan
(isbat) melalui perbandingan, tanpa ada perbandingan kepastiannya diragukan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Shleiermacher: “divination only receives its certainty via
confirmatory comparision, because without this it can always be incredible”
(Schleiermacher 1998).

Bagi Schleiermacher teks merupakan ekspresi daripada diri seseorang, maka kajian
tentang kejiwaan daripada pengarang teks merupakan hal yang sangat penting dan mesti
dilakukan. Ekspresi diri seseorang menurutnya berkaitan erat dengan segala sesuatu yang
telah dilalui dan sedang dijalani oleh pengarang. Dari konsep Schleiermacher tersebut
Sahiron (2009) merumuskan bahwa teks mesti memiliki kaitan dengan apa yang ada di
sekitar teks, karena segala sesautu yang ada di sekitar teks adalah hal-hal yang memberi
kesan kepada jiwa seseorang dalam mengekspresikan diri atau isi hatinya.

Kedua model hermeneutika Schleiermacher tersebut tujuan utamanya adalah untuk


mencari makna asli yang dimaksudkan oleh pengarang, yaitu makna objektif. Namun
demikian, Schleiermacher menyatakan bahwa nilai objektif yang dicapai melalui
interpretasi ini bukan objektif muthlak atau objektif yang total tetapi dicapai melalui
perkiraan (“That objective is only to be achieved by aproximation”) (Schleiermacher
1998).

B. Aliran Subjectivism

Aliran subjectivism adalah aliran penafsiran yang dalam cara kerja pencarian makna teks
atau objek-objek kajian yang lain lebih mengfokuskan kepada peranan pembaca atau
penafsir. Pada dasarnya aliran subjectivism ini memiliki banyak alian-aliran kecil yang
dapat digolongkan ke dalam kelompoknya, seperti Strukturalisme, Pasca Strukturalisme,
Reader Respon Criticism dan Dekonstruksi. Aliran Pasca Strukturalisme yang mencoba
mengembangkan aliran stukturalisme dengan menggabungkannya dengan semiotik adalah
sampel untuk menjelaskan sistem kerja daripada aliran subjectivism (Sahiron 2009).

Pasca Stukturalisme

Istilah yang digunakan untuk merujuk kepada aliran Pasca Stukturalisme ada tiga yaitu
Strukturalisme, Semiotik dan Semiologi (Lefkofiz 1989). Perbedaan penggunaan istilah ini
dikarenakan tokoh-tokoh pendiri dari masing-masing aliran ini adalah berbeda dan juga
karena disiplin ilmu yang digunakan dalam kerangka kerjanya juga tidak sama. Namun
pada dasarnya ketiga aliran ini memiliki banyak kesamaan dan maknanya saling
mencakupi (Sahiron 2009). Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa Sahiron
cenderung untuk menggabungkan serta mengkategorikan ketiga istilah aliran yang berbeda
tersebut ke dalam satu kelompok yaitu Pasca Strukturalisme.
Para ahli dari semiotik dan strukturalisme memberikan kritikan kepada kajian Bible
yang hanya mengfokuskan pada kajian historis daripada kajian terhadap jenis (genre) dan
perkembangan alur (plot) teks. Hal ini karena menurut mereka kajian terhadap sejarah
tidak akan mampu mempertemukan makna teks dengan keberartiannya (significance). Ahli
semiotik dan strukturalisme juga tidak menitikberatkan pada arti tekstual atau pesan yang
nampak di permukaan (surface message) dari sebuah teks, melainkan mereka
mengfokuskan kepada pesan yang tersembunyi di balik pesan permukaan atau kepada
simbol-simbol penting yang dikandungi oleh teks. Berdasarkan kepada pesan tersembunyi
tersebut, mereka berusaha menemukan pemahaman yang lebih dalam dan mengeluarkan
pesan-pesan utama teks untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan masa kini
(Osborne 1991).

Teori-teori strukturalisme dan semiotika sebenarnya banyak digunakan dalam


kajian sastera. Ferdinan de Saussure ialah pengasas dari linguistic structuralism. Dalam
konsep ini, pemaknaan kata menjadi fokus utama kajiannya. Saussure meyatakan bahwa
dalam menentukan makna kata yang dikaji, perlu kepada penggunaan aturan sistem bahasa
seperti syntagmatic yang memperhatikan kata lain yang berada sebelum dan sesudah kata
yang dikaji dan paradigmatic yang membandingkan kata dengan kata-kata lain yang
menjadi sinonim, antonim dan ungkapan-ungkapan alternatifnya. Di samping itu,
pendekatan sinkronik (synchronic) dan diakronik (diachronic) dalam penelitian bahasa,
yang memberikan perhatian kepada pembahasan mengenai keberadaan bahasa dalam satu
masa tertentu dan sejarah tumbuh serta berkembangnya bahasa dari masa ke masa juga
penting untuk dijadikan tumpuan (Saussure 1959).

Melengkapi sistem kajian bahasa yang telah disusunnya, Saussure kemudian


mengembangkan sistem penafsiran bahasanya kepada penelitian dan kajian sistem-sistem
simbol atau kode yang ada di satu masyarakat dengan lainnya yang saling berbeda.
Simbol-simbol yang dimaksudkan ini banyak terdapat terutama dalam upacara-upacara
(ritual) agama. Oleh karena itu, dia seterusnya mengembangkan kajian semiology, ilmu
mengenai simbol-simbol yang membahaskan hakikat simbol dan aturan-aturan dalam
memahaminya (Saussure 1959).

Selain dari aturan-aturan yang telah disebutkan di atas, ahli semiotik dan
strukturalisme, dalam melakukan pemahaman terhadap teks juga melibatkan kajian
intertekstualiti (intertextuality) dan relasionaliti (relationality). Intertekstualiti bermaksud
bahwa dalam proses pemahaman teks, sebuah teks tertentu mesti dikaitkan dengan teks-
teks lain karena antara teks yang satu dengan yang lainnya selalu saling berkaitan.
Sedangkan relasionaliti, berarti bahwa sebuah teks tertentu berkaitan dengan hal-hal lain di
luar teks. Maka, dalam proses pemahaman teks, kajian akan teks-teks lain dan hal-hal yang
berada di luar teks semestinya juga mendapat perhatian daripada penafsir. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Robert Scholes bahwa pengalaman linguistic
(kebahasaan) dan extra linguistic (di luar kebahasaan) kita menjadi sandaran kita dalam
memahami makna dari teks (Scholes 1982).

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa kedua aliran yang dibahas sangat
menitikberatkan kepada peranan pembaca atau penafsir dalam pencarian makna dari teks.
Aturan-aturan bahasa dan simbol yang digunakan hanya sebagai alat untuk sampai kepada
tahap selanjutnya yaitu dalam upaya untuk mencari makna yang dalam. Makna tersebut
adalah merupakan sebuah makna yang mempunyai nilai keberartian (significance) dalam
kehidupan manusia masa kini.

C. Aliran Objectivism-cum-Subjectivism

Objectivism-cum-subjectivism adalah aliran penafsiran yang mempertemukan kedua aliran


sebelum ini. Dalam aliran ini, dapat dilihat keseimbangan antara pencarian makna objektif
atau asli dari teks dan peranan pembaca dalam upaya melakukan penafsiran. Tokoh filsafat
modern seperti Gadamer dan Gracia adalah diantara tokoh yang masuk dalam kategori ini
(Sahiron 2009). Berikut, uraian yang singkat mengenai pemikiran hermeneutika Gadamer
dan Gracia akan dibahas.

1. Hermeneutika Gadamer

Gadamer yang bernama lengkap Hans Georg Gadamer adalah seorang ahli filsafat terkenal
asal Jerman yang lahir pada tahun 1900 di Marburg. Ayahnya yang merupakan seorang
ahli ilmu Kimia, sangat mengharapkan Gadamer nantinya menjadi salah seorang ahli ilmu
alam yang terkenal. Namun keinginan ayahnya ini sangat bertolak belakang dengan minat
Gadamer terhadap ilmu-ilmu sosial atau humaniora, lebih khusus lagi pada ilmu filsafat. Ia
menamatkan pengajian doktor filsafatnya sekarang dia masih berusia 22 tahun.
Meskipun Gadamer, sebenarnya telah belajar filsafat dari para ahli filsafat Neo-
Kantian sejak dia masih di kota kelahirannya, tetapi filsafat yang paling berpengaruh
dalam pemikirannya adalah pemikiran Heidegger yang dipelajari di Freiburg. Bahkan
karena hubungannya yang sangat dekat dengan Heiddeger, Gadamer sampai mengikutinya
ke kota Marburg, ketika gurunya tersebut pindah ke Universitas Marburg. Tidak lama
setelah itu, pada tahun 1929, setelah dia menyelesaikan habilitation, sebuah penelitian
pasca doktor yang merupakan syarat untuk menjadi profesor, iapun diangkat menjadi
pengajar di Marburg. Pada tahun 1949 dia pindah ke Heidelberg dan meninggal dunia pada
tahun 2002 di kota tersebut.

Gadamer telah menulis sekian banyak karya, dan salah satu karyanya yang paling
terkenal adalah Truth and Method (Wahrheit und Methode 1960), yang merupakan sebuah
buku hermeneutika yang mempunyai kesan yang besar terhadap ilmuwan-ilmuwan dalam
bidang filsafat, khususnya hermeneutika, baik di dunia barat maupun timur.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada uraian mengenai karakter


filsafat yang mengikut kepada pembagian Palmer, hermeneutika Gadamer adalah termasuk
ke dalam hermeneutika filsafat sama dengan hermeneutika gurunya Heidegger.
Hermeneutika seperti ini adalah hermeneutika yang tidak hanya berkaitan dengan teks
melainkan seluruh objek ilmu sosial. Tidak jauh berbeda dengan hermeneutika
Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga memberikan perhatian yang besar kepada
kajian bahasa dalam sebuah teks.

Namun demikian, Gadamer tidak sefaham dan bersetuju dengan ide yang
diusungkan oleh Dilthey tentang universalisme metode hermeneutika. Menurutnya filsafat
hanya berbicara tentang ide-ide umum tentang suatu objek pembahasan, sedangkan metode
spesifik dari masing-masing objek pembahasan tersebut harus diserahkan pembicaraan
sepenuhnya kepada para ahli dari masing-masing bidang ilmunya. Berikut adalah beberapa
teori-teori hermeneutika Gadamer:

a. Teori Kesadaran Keterpengaruhan Sejarah (historicallly effected consciousness).


Melalui teori ini Gadamer menjelaskan bahwa situasi hermeneutika tertentu seperti
tradisi, budaya maupun pengalaman hidup berpengaruh dalam pemahaman seseorang
penafsir. Oleh karena itu, seorang penafsir menurutnya, ketika melaksanakan kegiatan
penafsiran harus benar-benar sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu, dimana posisi
tersebut dapat sangat berpengaruh dan mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks
yang sedang ditafsirkan. Meskipun menghindari diri dari problem ini adalah bukan hal
yang mudah, namun setidaknya dengan adanya kesadaran diri penafsir terhadap situasi
ini, akan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya subjektiviti penafsir dalam
pemahaman. Ide utama yang ingin disampaikan oleh Gadamer melalui teori ini adalah
bahwa seseorang penafsir harus berupaya untuk mengatasi dan menghindari
subjektifitinya ketika dia memaknai teks (Gadamer 1990).

b. Teori Prapemahaman (pre understanding). Adanya situasi hermeneutika tertentu yang


berpengaruh terhadap pemahaman penafsir seperti disebutkan di atas akan membentuk
prapemahaman terhadap teks dalam diri penafsir. Dalam hal ini Gadamer menyatakan
bahwa dalam proses pemahaman, prapemahaman selalu memberi peranan. Ia
merupakan posisi awal penafsir ketika membaca teks. Namun demikian, prapemahaman
ini harus terbuka untuk dianalisis, dikritik dan diperbaiki kembali oleh penafsir ketika
dia sadar bahwa prapemahamannya tersebut tidak sesuai dan tidak sejalan dengan
maksud teks yang dia tafsirkan. Dan dengan jalan inilah kesempurnaan pemahaman
mungkin untuk dicapai.

c. Teori Kesadaran akan Pentingnya Masa Lalu. Dalam proses hermeneutika seorang
penafsir tidak pernah lepas dari keterkaitan akan masa lalu. Sebuah pemahaman baru
selalu lahir berlandaskan kepada pemahaman-pemahaman yang sebelumnya ada.
Gadamer menjelaskan bahwa dalam proses kehidupan yang bagaimana pun, baik dalam
masa revolusi sekali pun, nilai-nilai dari masa lalu tanpa disadari akan selalu terpelihara
dalam setiap perubahan, ia bergabung bersama, dalam melahirkan nilai-nilai baru.
Pemahaman terhadap masa lalu ini merupakan asas yang diperlukan seorang penafsir,
karena pengetahuan, identitas, dan autoritas saling bertemu dalam proses
pembentukannya.

d. Teori penggabungan Horizon (fusion of horizons) dan Teori Lingkaran Hermeneutika


(hermeneutic circle). Dalam proses pemahaman terhadap teks atau penafsiran seorang
penafsir menurut Gadamer selalu menghadapi dua cakrawala (horizon), yaitu cakrawala
teks dan cakrawala pembaca. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penafsir sebelum
memulai proses pemaknaan pastinya memiliki prapemahaman terhadap objek
penafsirannya, tetapi prapemahaman tersebut semestinya dibentuk ulang (diperbaiki),
jika tidak bersesuaian dengan maksud yang dikandung teks. Teori penggabungan inilah
yang akan berfungsi untuk menghindarkan pembaca dari pemaksaan makna dalam
penafsiran teks kepada cakrawala pembaca saja dan mengesampingkan cakrawala teks.
Sudah semestinya seorang penafsir memulai pembacaannya dengan cakrawala
(prapemahaman)-nya tetapi kemudian penafsir juga mesti sadar bahwa teks juga
memiliki horizonnya sendiri yang mungkin sangat berbeda dengan horizon pembaca.
Maka, yang harus dilakukan pembaca menurut Gadamer adalah mengkomunikasikan
kedua horizon tersebut sehingga ketegangan yang terjadi antara keduanya dapat
diselesaikan (“the tension between horizons of the text and the reader is dissolved”).
Maka, jika teks yang ditafsirkan oleh pembaca merupakan sebuah teks yang ditulis atau
disampaikan pada masa lalu, pembaca harus memperhatikan horizon sejarah dimana
teks tersebut lahir dan membiarkan teks tersebut berbicara. Selanjutnya interaksi antara
kedua horison tersebutlah yang dinamakan oleh Gadamer sebagai lingkaran
hermeneutika. Horison pembaca hanyalah sebagai titik awal penafsir dalam melakukan
pemahaman, dan itu hanya merupakan sebuah pendapat atau kemungkinan dari
pemaknaan. Namun, titik awal ini Gadamer menambahkan, tidak boleh menjadi
pemaksa kepada penafsir untuk memaksakan pemahaman agar bersesuaian dengan titik
pijaknya, tetapi sebaliknya titik awal ini harus mampu membawa penafsir kepada
makna sebenarnya dari teks, sebagaimana yang diinginkan olek teks. Pada keadaan
inilah terjadi pertemuan antara sujektiviti pembaca dan objektiviti teks, dimana
sekalipun keduanya sama-sama memberi peranan yang sangat penting dalam
proses pencarian makna tetapi objektiviti teks harus diutamakan daripada
subjektiviti pembaca (Gadamar 1986; 1990).

e. Teori Penerapan (Application). Setelah teks ditafsirkan dan makna objektif dari teks
tersebut dihasilkan maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah menerapkan
pesan-pesan atau ajaran-ajaran teks tersebut ke dalam kehidupan, ini terutamanya
adalah ketika penafsir berhadapan dengan teks suci misalnya. Dan yang menjadi diskusi
penting dalam hal ini adalah mengenai makna apa yang harus diterapkan, apakah
makna literal yang dikandung teks atau makna yang dalam, yang tersembunyi dan
berarti bagi kehidupan. Gadamer menjelaskan bahwa tugas dari penafsiran adalah
upaya pencarian makna yang sebenarnya terhadap informasi yang dikandung oleh teks.
Namun informasi itu adalah bukan apa yang diucapkan oleh pengarang, tetapi apa yang
benar-benar ingin diucapkan olehnya, yang dalam istilah Gadamer ini disebut dengan
meaningful sense (Gadamer 1986). Oleh karena itu, pesan yang harus diterapkan
penafsir dalam kehidupan adalah bukan makna asli/literal teks tetapi yang harus
diterapkan adalah meaningful sense (makna yang berarti).

2. Hermeneutika Gracia

Jorge J. E. Gracia lahir di Kuba pada tahun 1942, ia adalah seorang filosof yang
mendedikasikan hidupnya sebagai seorang profesor dalam bidang filsafat di Universitas
Buffalo di New York. Pendidikannya dari sejak tingkat Sarjana Muda sampai ke tingkat
Doktor, semuanya dalam bidang filsafat, sehingga ilmunya dalam bidang filsafat sangat
dalam. Ini dapat dilihat dari karangan-karangannya yang jumlahnya sangat banyak. Dalam
bidang hermeneutika saja, terdapat 18 judul dar karya-karyanya yang dapat dijadikan
rujukan untuk memahami pemikirannya (Sahiron 2009)

Teks bagi Gracia adalah produksi masa lalu dan merupakan bagian dari masa lalu,
karena teks selalu lahir pada waktu dan tempat tertentu. Maka, ketika kita mencoba
memahami teks, pada saat tersebut kita berperan sebagai ahli sejarah yang berusaha untuk
mendapatkan kembali masa lalu.

Untuk melakukan tugas utama hermeneutika tersebut, Gracia mengusulkan


jawaban dengan apa yang diistilahkannya sebagai “the development of textual
interpretation” (pengembangan interpretasi tekstual) yang bermaksud untuk
menghubungkan gap yang ada antara keadaan-keadaan di saat teks tersebut lahir dengan
keadaan-keadaan pada saat teks ditafsirkan (Gracia 1995).

Menurut Gracia ada tiga hal yang terlibat dengan penafsiran, yaitu: teks yang
ditafsirkan (interpretandum), penafsir dan keterangan tambahan (interpretan). Interpretan
adalah keterangan-keterangan tambahan yang dibuat oleh penafsir sehingga teks yang
ditafsirkan lebih dapat difahami. Namun, keterangan-keterangan tambahan ini dapat
menimbulkan dilemma bagi penafsir. Ini karena pada satu sisi penambahan tersebut dapat
bermakna sebagai kegiatan pengubahan terhadap teks, tetapi pada satu sisi yang lain, tanpa
adanya penambahan pemahaman akan sukar difahami oleh pendengar sekarang, karena
pada kenyataannya terdapat gap antara teks dengan pendengar masa sekarang. Secara
budaya dan tempat para pendengar sekarang telah berada jauh dari teks yang ditafsirkan.
Untuk menghindar dari dilemma ini, Gracia kemudian menawarkan konsep pemahaman
proposional (the principle of proportional understanding), dimana jumlah pemahaman
yang dimiliki oleh pendengar sekarang mesti sama dengan jumlah pemahaman yang
dimiliki oleh pengarang teks dan pendengar sejarah (Gracia 1995).

Fungsi penafsiran adalah untuk melahirkan pemahaman dari teks yang ditafsirkan
kepada pendengar sekarang. Gracia membagikan fungsi ini kepada tiga; fungsi sejarah
(historical function), fungsi makna (meaning function) dan fungsi implikatif (implicatif
function). Fungsi sejarah bertujuan untuk melahirkan kembali makna yang dimiliki oleh
pengarang dan pendengar sejarah pada masa teks ditulis kepada pendengar sekarang.
Fungsi makna bermaksud untuk melahirkan pemahaman bagi pendengar sekarang,
sehingga pendengar sekarang tersebut dapat memahami dan mengembangkan makna dari
teks, baik makna tersebut benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh
pengarang atau tidak. Adapun fungsi implikatif adalah untuk melahirkan pemahaman
kepada pendengar sekarang sehingga mereka dapat memahami implikasi dari makna teks
yang dikaji.

Dalam hermeneutika Gracia, penafsiran dibagikan kepada dua yaitu penafsiran


tekstual dan penafsiran non-tekstual. Pembagian tersebut didasarkan kepada tujuan dari
masing-masing penafsiran itu sendiri. Penafsiran tekstual adalah penafsiran terhadap teks
dengan cara menambahkan keterangan-keterangan sehingga dapat melahirkan tiga macam
hasil pemahaman seperti telah disebut dalam uraian fungsi pemahaman di atas. Namun,
yang perlu dicatat adalah bahwa ketiga bentuk hasil interpretasi yang diungkapkan oleh
Gracia, ini merupakan realitas dari penafsiran dan tidak berkaitan dengan konsep
kebenaran interpretasi (Sahiron 2009).

Adapun yang dimaksudkan dengan penafsiran non-literal adalah penafsiran yang


meskipun berdasarkan kepada penafsiran literal tetapi memiliki tujuan utama yang lain
yang berbeda dengan tiga tujuan literal. Yakni berusaha untuk melahirkan pemahaman
atau makna yang ada di sebalik makna tekstual. Contoh dari penafsiran ini menurut Gracia
adalah interpretasi sejarah (historical interpretation), karena interpretasi sejarah tidak
hanya berkaitan dengan makna dan implikasi dari makna yang ditafsirkan tetapi juga
memaparkan apa yang ada di sekitar teks. Dalam hermeneutika al-Khuli ini disebut dengan
ma fi al-nas (apa yang ada di dalam teks) dan ma hawla al-nas (apa yang ada di sekitar
teks).

Dari paparan ini dapat difahami bahwa interpretasi non-tekstual adalah penafsiran
yang dalam melahirkan pemahaman dari teks yang ditafsirkan juga mengkaji hubungan
teks dengan hal-hal lain di luar teks. Selain dari interpretasi sejarah, interpretasi psikologi,
filosofi, sainstifik, dan sastrawi juga merupakan beberapa contoh lain dari interpretasi non-
tekstual.

Nilai kebenaran dari sebuah penafsiran menurut Gracia adalah plural karena
pemahaman muthlak itu tidak ada. Dia sependapat dengan ide Immanuel Kant yang
mengatakan bahwa pemaparan-pemaparan final dan muthlak dalam sains dan filsafat tidak
akan pernah dapat dicapai. Sehingga menurutnya, ini berarti bahwa tidak benar
mengatakan bahwa satu interpretasi benar, manakala yang lain salah, tetapi baginya yang
ada adalah interpretasi yang lebih efektif dan kurang efektif atau lebih sesuai dan kurang
sesuai.

Berkaitan dengan nilai objektivis dan subjektivis penafsiran, Gracia mengatakan


bahwa dalam sebuah penafsiran kedua hal ini pasti dikandung secara bersamaan. Hanya
saja terkadang seseorang penafsir hanya memberikan sedikit perhatian kepada teks dan
faktor-faktor sejarah dari teks yang ditafsirkan, maka ini akan dipandang sebagai penafsir
yang sangat subjektif. Sebaliknya sebuah penafsiran yang sangat mengutamakan teks dan
faktor-faktor lain yang menentukan makna teks dipandang sebagai penafsiran yang sangat
objektif (Gracia 1995).

Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan Gracia tersebut, dapat


dirumuskan bahwa sebuah penafsiran menurut Gracia sebaiknya dapat menyeimbangkan
antara nilai objektif dan subjektif pembaca. Kedua nilai tersebut memberikan peranan
yang sangat penting dalam melahirkan makna dari interpretasi, karena tanpa hadirnya
salah satu dari keduanya, interpretasi yang dihasilkan tidak sempurna karena tidak
melingkupi semua aspek penentu dalam penafsiran.

Anda mungkin juga menyukai