A. Aliran Objectivism.
Aliran objectivism adalah aliran yang memberi penekanan kepada pencarian makna asli
atau makna asal dari objek penafsiran, baik teks yang tertulis, teks yang disampaikan,
perilaku manusia maupun simbol-simbol kehidupan dan sebagainya. Jadi, dalam aliran ini
penafsiran adalah sebuah upaya untuk melahirkan kembali (rekonstruksi) apa yang
dimaksud oleh pengarang teks itu sendiri. Schleiermacher dan Dilthey ialah antara dua
tokoh hermeneutika yang dapat digolongkan ke dalam aliran ini.
Pada rangkuman ini pemikiran Schleiermacher saja yang akan dikaji sebagai
sebuah perwakilan untuk memahami model hermeneutika aliran objectivism, karena
sekalipun masing-masing dari tokoh dari aliran ini memiliki keunikan dan
keistimewaannya masing-masing tetapi ide utama mereka tetap satu yaitu memberikan
penekanan kepada makna asli dari teks.
Schleiermacher lahir di Breslau, Jerman pada tahun 1768. Dia Menempuh pendidikan
utama dalam bidang teologi tetapi juga tertarik mempelajari filsafat dan filologi klasik.
Karya-karya yang ditulisnya secara umum adalah mengenai filsafat, teologi dan
hermeneutika. Pada tahun 1810 Schleiermacher diangkat menjadi profesor teologi di
Universitas Berlin dan setahun berikutnya menjadi anggota akademi sains Berlin. Dia
meningggal dunia pada tahun 1834 saat berusia 66 tahun.
Hermeneutika dalam pemikiran Schleiermacher tidak hanya dipandang sebagai
disiplin ilmu dalam bidang penafsiran, tetapi dia menempatkan hermeneutika dalam
konteks teori ilmu pengetahuan. Sehingga objek penafsiran tidak hanya terbatas terhadap
teks tetapi menjadi lebih luas, yakni berkaitan dengan pemahaman manusia (problem of
human understanding of such). Dia membangun hermeneutika umum yang tidak hanya
digunakan dalam kajian teks kitab suci, melainkan pada segala sesuatu yang menjadi objek
dari penafsiran (Schleiermacher 1998).
a. Hermeneutika Gramatik
ii. “The sense of every word in a given location must be determinded according to its
being together with those that surroud him”. (Menentukan makna dari setiap kata harus
mempartimbangkan keberadaannya bersama kata-kata lain yang ada di sekitarnya). Ini
bermaksud bahwa makna kata dalam sebuah kalimat sangat berkaitan dengan kata-kata
lain sekitarnya secara keseluruhan. Maka dalam memahami sebuah ungkapan atau teks,
hubungan antar kata dalam kalimat dan lebih luas lagi hubungan antar kalimat dalam
teks harus diperhatikan oleh penafsir.
iii. “The vocabulary and the history of the era of an author relates as the whole from which
his writing must be understood as the part, and the whole must, in turn, be understood
from the part”. (Memahami tulisan seseorang (sebagai bagian/part) berkaitan dengan
kosakata (bahasa) dan sejarah masa pengarang (sebagai keseluruhan/whole), demikian
juga keseluruhan (yakni bahasa dan sejarah pengarang) harus difahami dari bagiannya
(tulisannya). Ungkapan ini memberi pengartian bahwa karya-karya seseorang sangat
berkaitan erat dengan bahasa dan kehidupan pengarangnya. Jika kita ingin memahami
hasil karya daripada seseorang atau memahami sebuah teks maka yang harus dilakukan
adalah dengan memperhatikan sistem bahasa yang digunakan dan dimiliki oleh
pengarang tersebut beserta juga dengan sejarah hidupnya. Demikian pula sebaliknya,
pemahaman kita terhadap sistem bahasa dan kehidupan seseorang tokoh dapat
dilakukan dengan cara merujuk dan menganalisis hasil-hasil karyanya. Inilah yang
dimaksudkan oleh Schleiermacher bahwa bagian (part) harus difahami dari
keseluruhannya (whole) dan sebaliknya pemahaman yang baik terhadap keseluruhan
(whole), dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap bagiannya (part). Lebih jauh
lagi, dalam kaitan dengan teks dia juga mengatakan: “Every within a single text the
particular can only be understood from out of the whole...”. Memahami bagian dari
sebuah teks hanya dapat dilakukan dengan memahami pula keseluruhan teks tersebut.
Maka, sebuah kata dalam kalimat harus difahami melalui kalimatnya, demikian
seterusnya memahami sebuah kalimat mesti diikuti oleh pemahaman konteks dari
keseluruhan teksnya.
b. Hermeneutika Psikologi
Meskipun kedua metode ini memiliki perbedaan dari cara kerjanya, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi, seorang penafsir dalam
upayanya untuk memahami kejiwaan pengarang dengan tujuan untuk mendapatkan makna
teks yang sebenar seperti yang dimaksudkan oleh pengarang, harus melakukan kedua-dua
metode tersebut. Hal ini karena, kepastian dari pemahaman yang dicapai melalui
transformasi langsung ke dalam jiwa pengarang hanya dapat dipercaya dengan penegasan
(isbat) melalui perbandingan, tanpa ada perbandingan kepastiannya diragukan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Shleiermacher: “divination only receives its certainty via
confirmatory comparision, because without this it can always be incredible”
(Schleiermacher 1998).
Bagi Schleiermacher teks merupakan ekspresi daripada diri seseorang, maka kajian
tentang kejiwaan daripada pengarang teks merupakan hal yang sangat penting dan mesti
dilakukan. Ekspresi diri seseorang menurutnya berkaitan erat dengan segala sesuatu yang
telah dilalui dan sedang dijalani oleh pengarang. Dari konsep Schleiermacher tersebut
Sahiron (2009) merumuskan bahwa teks mesti memiliki kaitan dengan apa yang ada di
sekitar teks, karena segala sesautu yang ada di sekitar teks adalah hal-hal yang memberi
kesan kepada jiwa seseorang dalam mengekspresikan diri atau isi hatinya.
B. Aliran Subjectivism
Aliran subjectivism adalah aliran penafsiran yang dalam cara kerja pencarian makna teks
atau objek-objek kajian yang lain lebih mengfokuskan kepada peranan pembaca atau
penafsir. Pada dasarnya aliran subjectivism ini memiliki banyak alian-aliran kecil yang
dapat digolongkan ke dalam kelompoknya, seperti Strukturalisme, Pasca Strukturalisme,
Reader Respon Criticism dan Dekonstruksi. Aliran Pasca Strukturalisme yang mencoba
mengembangkan aliran stukturalisme dengan menggabungkannya dengan semiotik adalah
sampel untuk menjelaskan sistem kerja daripada aliran subjectivism (Sahiron 2009).
Pasca Stukturalisme
Istilah yang digunakan untuk merujuk kepada aliran Pasca Stukturalisme ada tiga yaitu
Strukturalisme, Semiotik dan Semiologi (Lefkofiz 1989). Perbedaan penggunaan istilah ini
dikarenakan tokoh-tokoh pendiri dari masing-masing aliran ini adalah berbeda dan juga
karena disiplin ilmu yang digunakan dalam kerangka kerjanya juga tidak sama. Namun
pada dasarnya ketiga aliran ini memiliki banyak kesamaan dan maknanya saling
mencakupi (Sahiron 2009). Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa Sahiron
cenderung untuk menggabungkan serta mengkategorikan ketiga istilah aliran yang berbeda
tersebut ke dalam satu kelompok yaitu Pasca Strukturalisme.
Para ahli dari semiotik dan strukturalisme memberikan kritikan kepada kajian Bible
yang hanya mengfokuskan pada kajian historis daripada kajian terhadap jenis (genre) dan
perkembangan alur (plot) teks. Hal ini karena menurut mereka kajian terhadap sejarah
tidak akan mampu mempertemukan makna teks dengan keberartiannya (significance). Ahli
semiotik dan strukturalisme juga tidak menitikberatkan pada arti tekstual atau pesan yang
nampak di permukaan (surface message) dari sebuah teks, melainkan mereka
mengfokuskan kepada pesan yang tersembunyi di balik pesan permukaan atau kepada
simbol-simbol penting yang dikandungi oleh teks. Berdasarkan kepada pesan tersembunyi
tersebut, mereka berusaha menemukan pemahaman yang lebih dalam dan mengeluarkan
pesan-pesan utama teks untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan masa kini
(Osborne 1991).
Selain dari aturan-aturan yang telah disebutkan di atas, ahli semiotik dan
strukturalisme, dalam melakukan pemahaman terhadap teks juga melibatkan kajian
intertekstualiti (intertextuality) dan relasionaliti (relationality). Intertekstualiti bermaksud
bahwa dalam proses pemahaman teks, sebuah teks tertentu mesti dikaitkan dengan teks-
teks lain karena antara teks yang satu dengan yang lainnya selalu saling berkaitan.
Sedangkan relasionaliti, berarti bahwa sebuah teks tertentu berkaitan dengan hal-hal lain di
luar teks. Maka, dalam proses pemahaman teks, kajian akan teks-teks lain dan hal-hal yang
berada di luar teks semestinya juga mendapat perhatian daripada penafsir. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Robert Scholes bahwa pengalaman linguistic
(kebahasaan) dan extra linguistic (di luar kebahasaan) kita menjadi sandaran kita dalam
memahami makna dari teks (Scholes 1982).
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa kedua aliran yang dibahas sangat
menitikberatkan kepada peranan pembaca atau penafsir dalam pencarian makna dari teks.
Aturan-aturan bahasa dan simbol yang digunakan hanya sebagai alat untuk sampai kepada
tahap selanjutnya yaitu dalam upaya untuk mencari makna yang dalam. Makna tersebut
adalah merupakan sebuah makna yang mempunyai nilai keberartian (significance) dalam
kehidupan manusia masa kini.
C. Aliran Objectivism-cum-Subjectivism
1. Hermeneutika Gadamer
Gadamer yang bernama lengkap Hans Georg Gadamer adalah seorang ahli filsafat terkenal
asal Jerman yang lahir pada tahun 1900 di Marburg. Ayahnya yang merupakan seorang
ahli ilmu Kimia, sangat mengharapkan Gadamer nantinya menjadi salah seorang ahli ilmu
alam yang terkenal. Namun keinginan ayahnya ini sangat bertolak belakang dengan minat
Gadamer terhadap ilmu-ilmu sosial atau humaniora, lebih khusus lagi pada ilmu filsafat. Ia
menamatkan pengajian doktor filsafatnya sekarang dia masih berusia 22 tahun.
Meskipun Gadamer, sebenarnya telah belajar filsafat dari para ahli filsafat Neo-
Kantian sejak dia masih di kota kelahirannya, tetapi filsafat yang paling berpengaruh
dalam pemikirannya adalah pemikiran Heidegger yang dipelajari di Freiburg. Bahkan
karena hubungannya yang sangat dekat dengan Heiddeger, Gadamer sampai mengikutinya
ke kota Marburg, ketika gurunya tersebut pindah ke Universitas Marburg. Tidak lama
setelah itu, pada tahun 1929, setelah dia menyelesaikan habilitation, sebuah penelitian
pasca doktor yang merupakan syarat untuk menjadi profesor, iapun diangkat menjadi
pengajar di Marburg. Pada tahun 1949 dia pindah ke Heidelberg dan meninggal dunia pada
tahun 2002 di kota tersebut.
Gadamer telah menulis sekian banyak karya, dan salah satu karyanya yang paling
terkenal adalah Truth and Method (Wahrheit und Methode 1960), yang merupakan sebuah
buku hermeneutika yang mempunyai kesan yang besar terhadap ilmuwan-ilmuwan dalam
bidang filsafat, khususnya hermeneutika, baik di dunia barat maupun timur.
Namun demikian, Gadamer tidak sefaham dan bersetuju dengan ide yang
diusungkan oleh Dilthey tentang universalisme metode hermeneutika. Menurutnya filsafat
hanya berbicara tentang ide-ide umum tentang suatu objek pembahasan, sedangkan metode
spesifik dari masing-masing objek pembahasan tersebut harus diserahkan pembicaraan
sepenuhnya kepada para ahli dari masing-masing bidang ilmunya. Berikut adalah beberapa
teori-teori hermeneutika Gadamer:
c. Teori Kesadaran akan Pentingnya Masa Lalu. Dalam proses hermeneutika seorang
penafsir tidak pernah lepas dari keterkaitan akan masa lalu. Sebuah pemahaman baru
selalu lahir berlandaskan kepada pemahaman-pemahaman yang sebelumnya ada.
Gadamer menjelaskan bahwa dalam proses kehidupan yang bagaimana pun, baik dalam
masa revolusi sekali pun, nilai-nilai dari masa lalu tanpa disadari akan selalu terpelihara
dalam setiap perubahan, ia bergabung bersama, dalam melahirkan nilai-nilai baru.
Pemahaman terhadap masa lalu ini merupakan asas yang diperlukan seorang penafsir,
karena pengetahuan, identitas, dan autoritas saling bertemu dalam proses
pembentukannya.
e. Teori Penerapan (Application). Setelah teks ditafsirkan dan makna objektif dari teks
tersebut dihasilkan maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah menerapkan
pesan-pesan atau ajaran-ajaran teks tersebut ke dalam kehidupan, ini terutamanya
adalah ketika penafsir berhadapan dengan teks suci misalnya. Dan yang menjadi diskusi
penting dalam hal ini adalah mengenai makna apa yang harus diterapkan, apakah
makna literal yang dikandung teks atau makna yang dalam, yang tersembunyi dan
berarti bagi kehidupan. Gadamer menjelaskan bahwa tugas dari penafsiran adalah
upaya pencarian makna yang sebenarnya terhadap informasi yang dikandung oleh teks.
Namun informasi itu adalah bukan apa yang diucapkan oleh pengarang, tetapi apa yang
benar-benar ingin diucapkan olehnya, yang dalam istilah Gadamer ini disebut dengan
meaningful sense (Gadamer 1986). Oleh karena itu, pesan yang harus diterapkan
penafsir dalam kehidupan adalah bukan makna asli/literal teks tetapi yang harus
diterapkan adalah meaningful sense (makna yang berarti).
2. Hermeneutika Gracia
Jorge J. E. Gracia lahir di Kuba pada tahun 1942, ia adalah seorang filosof yang
mendedikasikan hidupnya sebagai seorang profesor dalam bidang filsafat di Universitas
Buffalo di New York. Pendidikannya dari sejak tingkat Sarjana Muda sampai ke tingkat
Doktor, semuanya dalam bidang filsafat, sehingga ilmunya dalam bidang filsafat sangat
dalam. Ini dapat dilihat dari karangan-karangannya yang jumlahnya sangat banyak. Dalam
bidang hermeneutika saja, terdapat 18 judul dar karya-karyanya yang dapat dijadikan
rujukan untuk memahami pemikirannya (Sahiron 2009)
Teks bagi Gracia adalah produksi masa lalu dan merupakan bagian dari masa lalu,
karena teks selalu lahir pada waktu dan tempat tertentu. Maka, ketika kita mencoba
memahami teks, pada saat tersebut kita berperan sebagai ahli sejarah yang berusaha untuk
mendapatkan kembali masa lalu.
Menurut Gracia ada tiga hal yang terlibat dengan penafsiran, yaitu: teks yang
ditafsirkan (interpretandum), penafsir dan keterangan tambahan (interpretan). Interpretan
adalah keterangan-keterangan tambahan yang dibuat oleh penafsir sehingga teks yang
ditafsirkan lebih dapat difahami. Namun, keterangan-keterangan tambahan ini dapat
menimbulkan dilemma bagi penafsir. Ini karena pada satu sisi penambahan tersebut dapat
bermakna sebagai kegiatan pengubahan terhadap teks, tetapi pada satu sisi yang lain, tanpa
adanya penambahan pemahaman akan sukar difahami oleh pendengar sekarang, karena
pada kenyataannya terdapat gap antara teks dengan pendengar masa sekarang. Secara
budaya dan tempat para pendengar sekarang telah berada jauh dari teks yang ditafsirkan.
Untuk menghindar dari dilemma ini, Gracia kemudian menawarkan konsep pemahaman
proposional (the principle of proportional understanding), dimana jumlah pemahaman
yang dimiliki oleh pendengar sekarang mesti sama dengan jumlah pemahaman yang
dimiliki oleh pengarang teks dan pendengar sejarah (Gracia 1995).
Fungsi penafsiran adalah untuk melahirkan pemahaman dari teks yang ditafsirkan
kepada pendengar sekarang. Gracia membagikan fungsi ini kepada tiga; fungsi sejarah
(historical function), fungsi makna (meaning function) dan fungsi implikatif (implicatif
function). Fungsi sejarah bertujuan untuk melahirkan kembali makna yang dimiliki oleh
pengarang dan pendengar sejarah pada masa teks ditulis kepada pendengar sekarang.
Fungsi makna bermaksud untuk melahirkan pemahaman bagi pendengar sekarang,
sehingga pendengar sekarang tersebut dapat memahami dan mengembangkan makna dari
teks, baik makna tersebut benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh
pengarang atau tidak. Adapun fungsi implikatif adalah untuk melahirkan pemahaman
kepada pendengar sekarang sehingga mereka dapat memahami implikasi dari makna teks
yang dikaji.
Dari paparan ini dapat difahami bahwa interpretasi non-tekstual adalah penafsiran
yang dalam melahirkan pemahaman dari teks yang ditafsirkan juga mengkaji hubungan
teks dengan hal-hal lain di luar teks. Selain dari interpretasi sejarah, interpretasi psikologi,
filosofi, sainstifik, dan sastrawi juga merupakan beberapa contoh lain dari interpretasi non-
tekstual.
Nilai kebenaran dari sebuah penafsiran menurut Gracia adalah plural karena
pemahaman muthlak itu tidak ada. Dia sependapat dengan ide Immanuel Kant yang
mengatakan bahwa pemaparan-pemaparan final dan muthlak dalam sains dan filsafat tidak
akan pernah dapat dicapai. Sehingga menurutnya, ini berarti bahwa tidak benar
mengatakan bahwa satu interpretasi benar, manakala yang lain salah, tetapi baginya yang
ada adalah interpretasi yang lebih efektif dan kurang efektif atau lebih sesuai dan kurang
sesuai.