Anda di halaman 1dari 9

Crohns Disease

Oleh :
Ayu Lestari Nofiyanti, S. Ked
1518012120

Dokter :
dr. Ronald David Martua, Sp. PD

SMF Penyakit Dalam


Rumah Sakit Ahmad Yani
Kota Metro
2015

Crohns disease
1. Definisi
a. Crohns disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran
cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohns disease dapat melibatkan
setiap bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling
sering menyerang usus halus dan colon.

2. Aspek sejarah crohns disease


a. Kasus Crohns disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh
Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah
berkebangsaan Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit
inflamasi saluran cerna. Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis
yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan
Oppenheimer pada tahun 1932. Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama
Crohns disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari
penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 1959.
b. Saat ini, diagnosis Crohns disease mencakup aspek klinis, radiologis,
endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan
menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan, tingkat
keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed tomography (CT
scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk menentukan
keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi
langsung ke mukosa dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk
kepentingan pemeriksaan histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan
alternatif pencitraan potong lintang terhadap individu-individu yang tidak
memungkinkan menerima paparan radiasi.

3. Epidemiologi
a. Secara umum Crohns disease merupakan penyakit bedah primer usus halus,
dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan
di Amerika Utara dan Eropa Utara. Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat
insidens Crohns disease mencapai 2 kasus per 100.000 populasi, dengan
prevalensi sekitar 20 40 kasus per 100.000 populasi. Dilaporkan bahwa telah
terjadi peningkatan insidens Crohns disease secara dramatis di Amerika
Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil
pada tahun 1980-an. Menurut jenis kelamin, insidens Crohns disease lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 1,8 :
1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan
dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohns disease. Crohns
disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak
insidens pertama adalah pada 18 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah
antara 60 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun
Crohns disease lebih banyak menyerang usus halus, sedangkan pada yang

berusia diatas 40 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang colon.


Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui. Meskipun Crohns
disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun terdapat tiga
lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu
hanya usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan
hanya colon saja (25%). 30% dari seluruh kasus Crohns disease terjadi
bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 50% terjadi bersamaan dengan
penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal.

4. Etiologi
a. Etiologi dari Crohns disease masih belum diketahui. Terdapat beberapa
penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan
Crohns disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik.
Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan
kontrasepsi oral, dan psikososial.
b. Faktor Infeksi Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga
merupakan penyebab potensial Crohns disease, namun terdapat dua agen
infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya
Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi lain yang
diperkirakan menjadi penyebab Crohns disease adalah Chlamydia, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus.
c. Faktor Imunologis Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada
pasien-pasien dengan Crohns disease mencakup reaksi-reaksi imunitas
humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan
adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada respons
inflamasi saluran cerna pada Crohns disease mencakup sitokin-sitokin, seperti
interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan
respons imun pada Crohns disease masih kontroversial, dan mungkin timbul
sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit.
d. Faktor Genetik Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam
patogenesis Crohns disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk
timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohns
disease. Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohns disease (20%) mempunyai
setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama. Pada berbagai
penelitian didapatkan bahwa Crohns disease berhubungan dengan kelainan
pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5.
e. Faktor-faktor Lain Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI
merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohns disease. Merokok dan
penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohns disease
dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan.

5. Patologi
a. Stadium dini Crohns disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan
pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa.
Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik
menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis,
ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan

tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema.


Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan
edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh
lapisan usus. Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi
lebih dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya
penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan
fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan
serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkunganlengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah
meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar
lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran
sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang
peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Gambaran klinis umum pada Crohns disease adalah demam, nyeri
abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen
merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih
jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang
menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah
abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien
juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan
LED. Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi
akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin
memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat
menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi
sebagai akibat penyempitan lumen usus. Pembentukkan fistula sering
terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi
saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang,
dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural
dari penyakit ini.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto
kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus
halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda
usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika
terdapat masalah dengan penggunaan kontras. Hingga saat ini tidak ada
pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam diagnosis
Crohns disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis
penyakit.

7. Diagnosis banding
a. Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohns
disease antara lain :

Cholangitis
Colitis iskemik
Colitis pseudomembranosa
Diverticulitis colon
Tuberculosis gastrointestinalis
Colitis ulserativa
Enteritis infeksiosa
Colitis infeksiosa

8. Penatalaksanaan
a. Medika mentosa
Penatalaksanaan medikamentosa Crohns disease dapat dibagi menjadi
terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam
terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang
mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus
dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi
glukokortikoid intravena. Obat-obatan yang digunakan dalam terapi
terapi Crohns disease mencakup antibiotika, aminosalisilat,
kortikosteroid, dan imunomodulator. Sebagai terapi utama pada
kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon intravena sering
digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan
pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk
mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada
penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti
osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan.
Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu
cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang
buruk terhadap terapi kortikosteroid. Tujuan dari terapi kronis adalah
menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat merupakan terapi
pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah
digunakan, yang masing-masing mempunyai target lokasi yang
berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan
di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan
colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian
distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan
colon bagian distal. Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine
adalah modulator sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi
dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi di
dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme
menjadi asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin.
Efek samping dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi
dibandingkan dengan steroid. Methotrexate, efektif untuk pasienpasien yang tidak memberikan respons terhadap azathioprine dan 6mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri
pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas. Terapi yang baru

adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang
menjanjikan, dengan adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48%
setelah 4 minggu terapi dan dengan penutupan fistula secara sempurna
pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-obat lain
seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa
nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat limfosit B dan T.
b. Terapi bedah
Terapi Bedah Antara 70 80% pasien dengan Crohns disease
membutuhkan terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohns disease
mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya
komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan
pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran
cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit
perianal. Terapi bedah pada pasien dengan Crohns disease harus
ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat
dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk
menghindari terjadinya short bowel syndrome. Anak-anak penderita
Crohns disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan
tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani
terapi bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal
Crohns disease bukan merupakan indikasi utama terapi bedah, namun
sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus. Reseksi segmental
usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis
merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohns disease.
Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang
mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini memungkinkan
ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk
pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami
striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi
sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun
teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup
tinggi. Prosedur-prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan
jika telah terjadi abses-abses intramesenterial atau jika usus yang sakit
telah bersatu membentuk massa inflamasi yang padat, yang tidak
memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass
(gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura
duodenum, dimana prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental
sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi
laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohns disease, namun
hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit.

9. Komplikasi
a. Manifestasi ekstraintestinal Crohns disease mencakup aptosa oral, ulkus,
eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi
kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu

empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan


reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit
colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine,
azathioprine atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan
rebagai akibat reseksi bedah; dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti
amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan
kolangitis sklerosis primer.
Abses
Abses terbentuk pada sekitar 15 20% pasien dengan Crohns
disease sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau
sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di
mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di
lokasi ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal
adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas.
Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses
merupakan salah satu penyebab utama kematian pada Crohns
disease.
Obstruksi
Obstruksi terjadi pada 20 30% pasien dengan Crohns
disease. Pada awal perjalanan penyakit, terlihat adanya
obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah
makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah
beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini akan secara
bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur
lumen akibat fibrostenotik.
Fistula
Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari
Crohns disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai
abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi
pada pasien dengan Crohns disease. Peranan terapi
medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi,
inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya
terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi
untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi
berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit.
Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 2%
pasien.
Keganasan
Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian
pada Crohns disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada
daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya,
sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohns
disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai
prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna,
keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma
pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal, vulva
atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga

terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohns


disease.
10. Prognosis
a. Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohns disease yang
sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 30%. Komplikasi bedah yang
paling sering terjadi adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses
intraabdominal, dan kebocoran anastomosis. Sebagian besar pasien yang telah
menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam
waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi.
Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohns
disease. Sekitar pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun
setelah operasi yang pertama.

Daftar Pustaka
1. Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia. 2002. pp
888 95.

2. Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2004. http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm


[ONLINE]
3. Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and Anus.
Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill. Singapore. pp
1318 28.
4. Crohns Disease. http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm
[ONLINE]
5. Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CD-ROM. Lippincott-Raven.
Philadelphia-Pennsylvania. 1994. [ONLINE]

Anda mungkin juga menyukai