Anda di halaman 1dari 2

Reuni di Syurga, Apa mungkin?

Bagi muslimin ada satu reuni yang memiliki nilai luar biasa, yaitu kesempatan bertemunya kembali
keluarga besar seketurunan di tempat baru yang sangat menyenangkan di akhirat kelak.
Allah berfirman dalam QS Ar-Ra'd [13]: 22-24 yang artinya "Orang-orang itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik), yaitu Surga 'Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama
orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak-cucu mereka, sedang
malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan),
'salaamun alaikum bimaa shabartum (keselamatan atasmu berkat kesabaranmu). 'Maka, alangkah
baiknya tempat kesudahan itu"
Sayyid Quthb dalam "Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an" menjelaskan peristiwa di atas laksana sebuah festival
atau reuni dimana mereka saling bertemu, mengucapkan salam, dan melakukan perbuatanperbuatan yang menyenangkan dan menggembirakan serta penuh dengan penghormatan.
Kebersamaan di surga tersebut tentu tidak mudah untuk dicapai, karena dalam kisah yang dijelaskan
Alquran banyak keturunan/keluarga yang tidak lagi bisa bertemu di akhirat, seperti: Nabi Nuh
dengan putra dan istrinya, Asiyah yang solehah dengan suaminya (Firaun), dan Nabi Luth dengan
istrinya. Namun bertemunya keluarga besar di surga bukan pula sesuatu yang tidak mungkin.
Allah menjelaskan dalam QS. Ar-Ra'd [13] : 18-21 kita bersama keluarga besar bisa bertemu di surga
'Adn, asal dapat memenuhi delapan syarat.
Pertama, memenuhi seruan Tuhannya Barang siapa yang patuh kepada Allah niscaya ia akan
mendapatkan pembalasan yang sebaik-baiknya.
Kedua, memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian. Janji Allah disini mutlak, meliputi
semua macam perjanjian. Janji terbesar yang menjadi pokok pangkal semua perjanjian ialah janji
iman. Perjanjian untuk setia menunaikan segala konsekuensi iman.
Ketiga, menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan. Dalam hal ini taat
secara paripurna, istiqomah yang berkesinabungan, dan berjalan di atas sunnah sesuai dengan
aturan-Nya dengan tidak menyimpang dan tidak berpaling.
Kempat, takut kepada Allah. Takut kepada Allah dan takut kepada siksaan yang buruk dan
menyedihkan pada hari pertemuan yang menakutkan.
Kelima, sabar. Sabar atas semua beban perjanjian di atas (seperti beramal, berjihad, berdakwah,
berijtihad), sabar dalam menghadapi kenikmatan dan kesusahan, dan sabar dalam menghadapi
kebodohan dan kejahilan manusia yang sering menyesakkan hati.
Keenam, mendirikan Shalat. Ini termasuk juga memenuhi janji dengan Allah. Shalat ditonjolkan
karena merupakan rukun pertama perjanjia ini, sekaligus menjadi lambang penghadapan diri secara
tulus dan sempurna kepada Allah. Juga penghubungan yang jelas antara hamba dengan Tuhan, yang
tulus dan suci.
Ketujuh, Menginfakkan sebagian rezeki secara sembunyi atau terang-terangan.
Kedelapan, menolak kejahatan dengan kebaikan dalam pergaulan sehari-hari. Dalam hal ini
diperintahkan membalas kejelekan dengan kebaikan apabila tindakan ini memang dapat menolak
kejahatan itu, bukan malah menjadikan yang bersangkutan semakin senang berbuat kejahatan.
Delapan syarat ini telah Allah jamin akan menghantarkan seseorang dapat berkumpul di surga 'Adn.
Mereka mendapati tempat kesudahan yang baik.
Di samping masuk surga, mereka juga dimuliakan dengan bertemunya kembali dengan orang-orang

yang mereka cintai. Hal ini merupakan kelezatan lain yang mereka rasakan di dalam surga. Semoga
kita termasuk di dalamnya. Amin.

Doa agar dikaruniai husnul khatimah


(Arrahmah.com)Setiap muslim memang harus mencita-citakan husnul khatimah sebagai
penutup kehidupannya di muka bumi ini. Memang, setiap muslim harus senantiasa memohon
kepada Allah agar dikaruniai husnul khatimah.
Persoalannya adalah sebagian ustadz, mubaligh dan imam shalat itu membaca doa
tersebut dengan lafal yang ---maaf-maaf--- 'kurang berkwalitas' dan 'kurang komprehensif'.
Doa yang dilantunkannya berbunyi: Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah
bi-husnil khatimah. Secara harfiah, artinya adalah Ya Allah, (matikanlah kami) dengannya!
Ya Allah, (matikanlah kami) dengannya! Ya Allah, (matikanlah kami) dengannya! Ya Allah,
(matikanlah kami) dengan husnul khatimah!
Subhanallah, kenapa mereka lebih suka melantunkan doa gubahan sendiri seperti itu?
Padahal dalam masalah memohon husnul khatimah, Allah Ta'ala dan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam telah mengajarkan doa-doa super hebat yang sangat berkwalitas dan
komprehensif? Bukankah sebaik-baik doa adalah doa yang diajarkan langsung oleh Allah
Ta'ala dalam Al-Qur'an dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam dalam hadits shahihnya?
Di antara doa husnul khatimah yang diajarkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur'an adalah
doa golongan ulul albab, yaitu firman Allah:

Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan rasul) yang menyeru kepada iman
(yaitu): "Berimanlah kalian kepada Rabb kalian!", maka kami pun beriman. Ya Rabb kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa besar kami, hapuskanlah dari kami dosa-dosa kecil kami,
dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan. (QS. Ali
Imran [3]: 193)
Doa husnul khatimah lainnya dalam Al-Qur'an adalah doa nabi Yusuf 'alaihis salam yang
sangat baik apabila selalu kita lantunkan:

(Ya Allah) Tuhan Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat.
Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan golongan orangorang yang saleh. (QS. Yusuf [12]: 101)
Doa husnul khatimah lainnya dalam Al-Qur'an adalah doa para tukang sihir Fir'aun yang
bertaubat dan beriman kepada nabi Musa dan Harun 'alaihimas salam:

"Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan
beragama Islam (berserah diri kepada-Mu)." (QS. Al-A'raf [7]: 126)
Adapun di antara contoh doa husnul khatimah yang diajarkan secara langsung oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam adalah:

"Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku adalah umur yang terakhirnya, sebaik-baik
amalku adalah amal-amal penutupannya dan sebaik-baik hariku adalah hari saat aku
menghadap-Mu." (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Ausath. Al-Hafizh
Nuruddin Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 10/158 no. 17267
menshahihkan sanadnya)
Wallahu a'lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai