Anda di halaman 1dari 95

LINGKUNGAN BELAJAR BERKUALITAS

A. Pengertian Lingkungan Belajar


Belajar adalah kegiatan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Tempat dan lingkungan
belajar yang nyaman memudahkan peserta didik untuk berkonsentrasi. Dengan
mempersiapkan lingkungan yang tepat, peserta didik akan mendapatkan hasil yang lebih
baik dan dapat menikmati proses belajar yang peserta didik lakukan.
Hutabarat (1986) lingkungan belajar ialah segala sesuatu yang terdapat di tempat belajar.
Sedang Nasution (1993), lingkungan belajar yaitu lingkungan alami dan lingkungan
sosial. Lingkungan alami seperti keadaan suhu, kelembaban udara, sedangkan lingkungan
sosial dapat berwujud manusia dan representatifnya maupun berwujud hal-hal lain.
Prestasi belajar itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Menurut Dunn dan
Dunn (dalam Mudhofir, 1999) kondisi belajar dapat mempengaruhi konsentrasi,
pencerapan, dan penerimaan informasi. Senada dengan hal di atas Rachman (1998/1999)
menyatakan lingkungan fisik tembat belajar mempunyai pengaruh penting terhadap hasil
pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa lingkungan belajar
berpengaruh terhadap hasil belajar.
Menata lingkungan belajar pada hakekatnya melakukan pengelolaan lingkungan belajar.
Aktivitas pembelajar dalam menata lingkungan belajar lebih terkonsentrasi pada
pengelolaan lingkungan belajar di dalam kelas. Oleh karena itu pembelajar/guru dalam
melakukan penataan lingkungan belajar di kelas tiada lain melakukan aktivitas
pengelolaan kelas atau manajemen kelas (classroom management). Menurut Rianto
(2007:1), pengelolaan kelas merupakan upaya pendidik untuk menciptakan dan
mengendalikan kondisi belajar serta memulihkannya apabila terjadi gangguan dan/atau
penyimpangan, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara optimal.
Optimalisasi proses pembelajaran menunjukan bahwa keterlaksanaan serangkaian
kegiatan pembelajaran (instructional activities) yang sengaja direkayasa oleh pendidik
dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam memfasilitasi peserta didik sampai
dapat meraih hasil belajar sesuai harapan. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai macam
bentuk interaksi yang terbangun memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk
memperoleh pengalaman belajar (learning experiences) dalam rangka menumbuhkembangkan kemampuannya (kompetensi), yaitu spiritual, mental: intelektual,
emosional, sosial, dan fisik (indera) atau kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Indra Djati Sidi (2005:148150), menegaskan dalam menata lingkungan belajar di kelas
yang menarik minat dan menunjang peserta didik dalam pembelajaran erat kaitannya
dengan keadaan lingkungan fisik kelas, pengaturan ruangan, pengelolaan peserta didik
dan pemanfaatan sumber belajar, pajangan kelas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa secara fisik lingkungan belajar harus menarik dan
mampu membangkitkan gairah belajar serta menghadirkan suasana yang nyaman untuk
belajar. Kelas belajar harus bersih, tempat duduk ditata sedemikian rupa agar anak bisa
melakukan aktivitas belajar dengan bebas. Dinding kelas dicat berwarna sejuk,
terpampang gambar-gambar atau foto yang mendukung kegiatan belajar seperti gambar
pahlawan, lambang negara, presiden dan wakil presiden, kebersihan lingkungan, famlet
narkoba, dan sebagainya.
Salah satu aspek penting keberhasilan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh
pembelajar/guru menurut Muhammad Saroni (2006:81-82), adalah penciptaan kondisi

pembelajaran yang efektif. Kondisi pembelajaran efektif adalah kondisi yang benar-benar
kondusif, kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung kelancaran serta kelangsungan
proses pembelajaran. Indra Djati Sidi (1996) dalam Cope (No. 02 tahun VI Desember
2002 : 36), menegaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, setiap
pembelajar harus dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, suasana
interaksi pembelajaran yang hidup, mengembangkan media yang sesuai, memanfaatkan
sumber belajar yang sesuai, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi dalam proses
pembelajaran, dan lingkungan belajar di kelas yang kondusif. Agar pembelajaran benarbenar kondusif maka pembelajar mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menciptakan kondisi pembelajaran tersebut. Di antara yang dapat diciptakan pembelajar
untuk kondisi tersebut adalah penciptaan lingkungan belajar. Lingkungan belajar menurut
Muhammad Saroni (2006:82-84), adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal utama, yaitu
lingkungan fisik dan lingkungan sosial, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses
pembelajaran haruslah saling mendukung, sehingga peserta didik merasa kerasan di
sekolah dan mau mengikuti proses pembelajaran secara sadar dan bukan karena tekanan
ataupun keterpaksaan.
Berbagai penelitian lingkungan belajar di atas dapat bahwa lingkungan belajar
merupakan situasi buatan yang menyangkut lingkungan fisik maupun yang menyangkut
lingungan sosial. Dengan demikian lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikain rupa,
sehingga mampu memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan belajar.
Selanjutanya lingkungan belajar dapat dilihat dari interaksi pembelajaran yang
merupakan konteks terjadinya pengalaman belajar, dan dapat berupa lingkungan fisik dan
lingkungan non fisik. Menurut I Made Alit Mariana (2005:13), lingkungan belajar dapat
merefleksikan ekspektasi yang tinggi untuk kesuksesan seluruh peserta didik.
Lingkungan tersebut mengacu pada ruang secara fisik tempat belajar, lingkungan sosial
dan psikologi peserta didik yang mendorong belajar, perlakuan dan etika dalam
menggunakan makhluk hidup, dan keamanan (dalam area belajar yang berhubungan
dengan pembelajaran sains).
Berdasarkan uraian pendapat tentang lingkungan belajar tersebut di atas maka dapat
disarikan bahwa lingkungan belajar yang dikelola adalah terutama bagaimana mengemas
suasana kelas belajar, kelas belajarnya, dan sumber-sumber belajar yang ada di sekolah
ataupun yang dapat diadakan dari dibuat/alam lingkungan sekolah. Lingkungan belajar
dalam hal terutama di kelas adalah sesuatu yang diupayakan atau diciptakan oleh guru
agar proses pembelajaran kondusif dapat mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya.
Lingkungan belajar di kelas sebagai situasi buatan yang berhubungan dengan proses
pembelajaran atau konteks terjadinya pengalaman belajar, dapat diklasifikasikan yang
menyangkut : 1) lingkungan (keadaan) fisik, dan 2) lingkungan sosial.
Dengan demikian lingkungan belajar merupakan situasi buatan yang menyangkut
lingkungan fisik maupun yang menyangkut lingungan sosial. Lingkungan belajar dapat
diciptakan sedemikain rupa, sehingga mampu memfasilitasi peserta didik untuk
melaksanakan kegiatan belajar. Selanjutanya lingkungan belajar dapat dilihat dari
interaksi dalam proses pembelajaran yang merupakan konteks terjadinya pengalaman
belajar, dan dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik.
Lingkungan fisik. Menurut Muhammad Saroni (2006:82-83), yang intinya bahwa
lingkungan fisik adalah lingkungan yang memberi peluang gerak dan segala aspek yang

berhubungan dengan upaya penyegaran pikiran bagi peserta didik setelah mengikuti
proses pembelajaran yang sangat membosankan. Lingkungan fisik ini meliputi saran
prasarana pembelajaran yang dimiliki sekolah seperti lampu, ventilasi, bangku, dan
tempat duduk yang sesuai untuk peserta didik, dan lain sebagainya. Hal yang senada
Suprayekti (2003:18), juga menegaskan bahwa lingkungan fisik yaitu lingkungan yang
ada di sekitar peserta didik baik itu di kelas, sekolah, atau di luar sekolah yang perlu di
optimalkan pegelolaannya agar interaksi belajar mengajar lebih efektif dan efisien.
Artinya lingkungan fisik dapat difungsikan sebagai sumber atau tempat belajar yang
direncanakan atau dimanfaatkan. Yang termasuk lingkungan fisik tersebut di antanya
adalah kelas, laboratorium, tata ruang, situasi fisik yang ada di sekitar kelas, dan
sebagainya.
Lingkungan sosial, Muhammad Saroni (2006:83), menjelaskan bahwa: lingkungan
sosial berhubungan dengan pola interaksi antarpersonil yang ada di lingkungan sekolah
secara umum. Lingkungan sosial yang baik memungkinkan para peserta didik untuk
berinteraksi secara baik, peserta didik dengan peserta didik, guru dengan peserta didik,
guru dengan guru, atau guru dengan karyawan, dan peserta didik dengan karyawan, serta
secara umum interaksi antar personil. Dan kondisi pembelajaran yang kondusif hanya
dapat dicapai jika interaksi sosial ini berlangsung secara baik. Lingkungan sosial yang
kondusif dalam hal ini, misalnya adanya keakraban yang proporsional antara guru dan
peserta didik dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dalam lingkungan sosial kelas
hendaknya juga diciptakan sekondusif mungkin, agar suasana kelas dapat digunakan
sebagai ajang dialog mendalam dan berpikir kritis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
manusiawi, empati, dan lain-lain, demokratis serta religius. Selanjutnya lingkungan non
fisik/lingkungan sosial dapat dikembangkan fungsinya yaitu untuk menciptakan suasana
belajar yang nyaman dan kondusif seperti adanya musik yang digunakan sebagai latar
pada saat interaksi proses pembelajaran berlangsung. Musik tersebut digunakan
menjadikan suasana belajar terasa santai, peserta didik dapat belajar dan siap
terkonsentrasi.
Beberapa uraian di atas maka dapat dipertegas bahwa lingkungan sosial kelas adalah
upaya penciptaan suasana belajar atau suasana kelas belajar sehingga interaksi di dalam
kelas kondusif. Di mana suasana kelas belajar berlangsung santai bermakna, demokratis,
adil, religius, dan peserta didik dapat belajar dan siap untuk berkonsentrasi. Di samping
itu ketika peserta didik sedang bekerja /mengerjakan suatu masalah dapat diputarkan
musik belajar.
Dalam hal ini tugas guru menurut Mulyasa (2006:210&218), adalah memberikan
kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan
sumber belajar yang memadai, juga selain menyampaikan materi pembelajaran yang
berupa hapalan tetapi juga menciptakan dan mengatur lingkungan belajar terutama di
kelas, dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Oleh karena
itu peran pembelajar harus bisa membiasakan pengaturan peran serta/ tanggung jawab
tiap peserta didik terhadap terciptanya lingkungan fisik kelas yang diharapkan dan
suasana lingkungan sosial kelas yang menjadikan proses pembelajaran bagi tiap peserta
didik menjadi bermakna. Dengan terciptanya tanggung jawab bersama antara peserta
didik dan pembelajar maka kebersaman akan terbentuk sehingga hal (lingkungan belajar)
untuk menjadikan pembelajaran berenergi menjadi tuntutan tiap peserta didik. Hal yang
menjadikan pembelajaran berenergi adalah tanggung jawab bersama tiap peserta didik.

B. Lingngkungan Belajar
1. Lingkungan rumah
Lingkungan rumah terutama orang tua, memegang peranan penting serta menjadi guru
bagi anak dalam mengenal dunianya. Orang tua adalah pengasuh, pendidik dan
membantu proses sosialisasi anak. Utami Munandar (1999) mengatakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin baik prestasi anak. Termasuk juga
sejauh mana keluarga mampu menyediakan fasilitas tertentu untuk anak (televisi,
internet, dan buku bacaan).
Lingkungan belajar di rumah mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan belajar anak
di rumah, yang pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajar anak di sekolah.
Lingkungan belajar menurut Pidarta (1995) adalah benda-benda disekitar tempat belajar
itu yang teratur rapi dan sedap dipandang serta lengkap peralatan belajarnya.
Dengan demikian lingkungan belajar yang perlu diperhatikan itu adalah ruangan belajar,
cahaya penerangan, ventilasi, suhu udara, perabotan belajar, kebisingan, kursi, meja,
perabotan, musik, tanaman, gambar. Karena lingkungan belajar mempunyai dampak
terhadap prestasi belajar, maka De Porter (2001) menyarankan ciptakan lingkungan
belajar yang optimal.
1) Ruang belajar
Pada umumnya anak-anak tidak mempunyai ruangan belajar khusus, yaitu suatu ruangan
belajar milik pribadi anak, sehingga kegiatan belajar biasanya dilaksanakan di ruang
keluarga atau di ruang tidur anak. The Liang Gie (1994) kalau ruang studi khusus tidak
dapat disediakan, maka ruang tidur dapat juga dipakai untuk keperluan studi sekaligus.
Sebaiknya anak-anak mempunyai ruang belajar khusus walaupun tidak bagus, karena
dengan memiliki ruang belajar pribadi peralatan belajar anak akan lebih aman dan tidak
diganggu orang lain. Dengan memiliki ruang belajar pribadi anak akan merasa bangga,
sebagaimana dinyatakan oleh Semiawan (2002) suatu ruang atau pojok yang nyaman
dan strategis, meskipun dengan meja dan kursi yang sederhana yang khusus kepunyaan
anak, akan sangat menjadikannya merasa memilikinya Di samping anak merasa
memiliki dengan ruang belajarnya, di ruang ini anak dapat belajar lebih leluasa untuk
menambah pengetahuan lain yang disukai. Semiawan (2002) mengungkapkan di tempat
ini ia dapat melepaskan dirinya secara bebas dalam menjelajahi khazanah ilmu
pengetahuan, apalagi kalau diserta rak buku yang rapi
Agar anak dapat belajar lebih baik Slameto (1995) mempertegas bahwa (1) rungan
belajar harus bersih, tak ada bau-bauan yang mengganggu konsentrasi pikiran, (2)
ruangan cukup terang, tidak gelap yang dapat mengganggu mata, (3) cukup sarana yang
diperlukan untuk belajar, misalnya alat pelajaran, buku-buku, dan sebagainya.
2) Penerangan
Ruang belajar harus mendapat cahaya baik cahaya mata hari mupun cahaya dari lampu
listrik. Cahaya sangat penting bagi kegiatan belajar, dengan cahaya kita dapat membaca
dan menulis dengan jelas. De Porter (2001) menyatakan, ruangan anda harus
mendapatkan cukup cahaya supaya mata anda tidak cepat lelah.
Cahaya mata hari hendaknya datang dari sebelah kiri agak kebelakang maksudnya agar
apa yang kita tulis dan kita baca tidak gelap karena terhalang oleh tangan kita dan agak
kebelakang agar tidak menyilaukan. Sebagaimana yang disarankan The Liang Gie (1994)
cahaya yang berasal dari mata hari hendaknya diusahakan agar datang dari arah kiri agak

ke belakang. Pendapat senada dikemukakan oleh Rachman (1999) dalam mengatur


cahaya penerangan mestinya harus datang dari sebelah kiri agar tidak menyilaukan.
Sedang pendapat lain tidak mempersoalkan dari mana arah cahaya penerangan yang
penting tidak langsung berhadapan dengan mata, hal ini dikemukakan Sudarmanto (1995)
arah sinar tidak langsung bernadapan dengan mata akan lebih nyaman dari pada
langsung.
Bagi orang tua yang menggunakan penerangan dari listrik ada bermacam-macam model
lampu untuk pencahayaan. The Liang Gie (1994) memberi alternatif model pencahayaan
lampu dari listrik. Penerangan taklangsung, penerangan ini terjadi dari cahaya yang
dipantulkan dari langit-langit dan dinding kamar studi, sedang sumber cahaya itu sendiri
tidak terlihat. Penerangan setengah taklangsung, penerangan ini untuk sebagian datang
dari pemantulan cahaya seperti pada penerangan taklangsung tersebut di atas dan untuk
sebagian dengan melewati selubung kaca yang berwarna putih susu. Penerangan setengah
langsung, penerangan ini terjadi dari cahaya lampu yang memancar ke segenap jurusan
dengan melewati selubung kaca yang berwarna putih susu. Penerangan langsung,
penerangan ini memancar langsung dari lampu ke permukaan buku tanpa melewati apaapa.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ruangan belajar harus terang, hal ini
berhubungan dengan besarnya watt lampu yang digunakan. Mengenai besarnya watt The
Liang Gie (1994) memberi alternatif yang dapat digunakan sebagai pertimbangan sebagai
yaitu lampu meja 40 watt sampai 60 watt sudah sangat terang. Lampu di atas yang
memancarkan penerangan tak langsung dapat kiranya memakai 75 watt sampai 100 watt.
Pencahayaan yang baik di ruangan belajar akan membuat anak lebih bersemangat dalam
belajar. Menurut Stainback (1999) yang dimaksud pencahayaan yang baik ialah
mengurangi sinar yang menyilaukan, hal ini akibat dari penyinaran langsung sehingga
ada bagian ruangan yang terang dan sebagian lagi redup
Karena penerangan atau pencahayaan ini memerlukan dana yang tidak sedikit, tentu
harus disesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. De Porter (2001)
menyarankan karena pencahayaan ini termasuk biaya yang mahal, mungkin anda
memperhatikan pelbagai pilihan.
3) Ventilasi dan suhu udara
Ventilasi atau pertukaran udara merupakan hal penting dalam ruang belajar. Ventilasi
dapat menjadikan udara di ruangan menjadi bersih dan segar. Ruangan belajar dengan
udara yang bersih dan segar akan menjadi pendukung kegiatan belajar yang nyaman.
Sebagaimana Rachman(1998/1999) mengatakan suhu, ventilasi dan penerangan adalah
aset penting untuk teriptanya belajar yang nyaman. Pertukaran udara dapat melalui
jendela maupun lubang ventilasi.
Suhu udara di ruangan belajar yang ber AC akan mudah disesuaikan dengan yang kita
kehendaki, namun bagi kebanyakan orang suhu dapat diatur melalui jendela, yaitu bila
panas jendela dibuka dan bila dingin jendela ditutup. Mengenai suhu yang nyaman dan
sejuk untuk belajar Sudarmanto (1995) menyatakan.
Suhu kamar yang enak adalah 24/25 Celcius (70 Fahrenheit). Jika udara terlampau panas
akan membuat badan lekas capai dan mengantuk, tetapi bila terlampau dingin
menimbulkan rasa malas dan gangguan kesehatan. Akibat gangguan-gangguan itu,
pikiran tidak dapat berkonsentrasi karena gangguan-gangguan itu.

Mengenai dampak dari udara yang segar, nyaman dan sejuk terhadap prestasi belajar,
Nasution (1993) menyatakan keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya dari
pada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap.
4) Kebisingan
Tempat belajar sebaiknya tenang tidak banyak gangguan suara bising dan gaduh. Suara
bising dan gaduh dapat mengganggu konsentrasi belajar. Slameto (1995) Rumah yang
bising dengan suara radio, tape recorder atau TV pada waktu belajar, juga mengganggu
belajar anak, terutama untuk konsentrasi. Hal senada dikemukakan Sudarmanto (1995)
suara-suara gaduh-radio, TV- membuat perhatian tidak sepenuhnya pada bahan yang
dipelajari.
Reaksi seseorang berbeda-beda terhadap pengaruh lingkungan, ada yang terganggu
dengan suara-suara bising di sekitarnya, ada yang tidak menurut Dunn dan Dunn (dalam
Mudhofir, (1999) seperti pengaruh kondisi lingkungan tempat belajar terhadap seseorang
dapat mengakibatkan reaksi yang berbeda-beda. Ada anak anak lebih suka
(comfortable) belajar sambil mendengarkan musik dari radio atau tape corder di
sampingnya, dengan volume yang besar.
Walaupun reaksi setiap individu berbeda-beda Sudarmanto (1995) mengingatkan bahwa
energi yang dikeluarkan akan lebih banyak karena perhatian terbagi dua.
5) Perabotan belajar
Perabotan yang disediakan dan ditata dengan baik sangat mendukung terhadap hasil
belajar. Mengenai jumlah dan jenis perabotan belajar beberapa ahli mengemukakan
berbeda-beda, namun pada intinya sama yaitu peralatan yang menunjang belajar. The
Liang Gie (1994) perabotan belajar yaitu meja studi, kursi belajar, dan lemari buku serta
kemungkinan perabot mebel lainnya yang diperlukan untuk studi khusus, misalnya meja
gambar. Sedangkan Djamarah (2002) Fasilitas dan perabot belajar yang dimaksud tentu
saja berhubungan dengan masalah materil berupa kertas buku catatan, meja dan kursi
belajar, mesin ketik, kertas karbon, dan sebagainya. Sedang menurut Stainback (1999)
perabotan pada lingkup belajar meliputi kursi dan bangku.
Adapun perabotan belajar yang umunya ada dan diperlukan dalam ruang belajar untuk
usia anak sekolah dasar seperti, kursi, meja belajar, almari dan rak buku.
6) Kursi dan meja belajar
Agar kegiatan belajar berlangsung dengan penuh konsentrasi, di ruang belajar harus ada
kursi dan meja belajar untuk anak-anak. Banyak model kursi dan meja belajar yang
sering kita jumpai. Karena usia anak sekolah dasar masih dalam pertumbuhan dan
perkembangan seyogyanya kalau orang tua menyediakan kursi belajar dengan
memperhatikan faktor pertumbuhan dan kesehatan. Dalam hal ini Sudarmanto (1995)
memberi saran agar kursi untuk belajar harus dapat menampung punggung tegak. Tempat
duduk yang nyaman membuat anak kerasan dan memiliki mood untuk belajar Lebih
lanjut De Porter (2001) menambahkan kursi-kursi diberi bantalan (jok) supaya lebih
nyaman. Mengenai ketinggian kursi Stainback (1999) menyarankan, ketinggian kursi
harus memungkinkan kaki anak anda menginjak lantai.
Sedang mengenai meja belajar The Liang Gie (1994) lebih menyoroti dari sisi bentuk
meja yang digunakan untuk belajar hendaknya meja memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Meja itu tidak tertutup seluruhnya dari permukaan sampai lantai.
Permukaan meja hendaknya rata dan tidak berwarna gelap atau berkilat-kilat.

Luas meja tidak terlalu berlebih-lebihan. Meja berukuran 100 kali 70 cm kiranya sudah
cukup.
Tinggi meja hendaknya disesuaikan dengan tinggi badan. Untuk lebih meningkatkan
konsentrasi dan menghindari belajar yang terputus-putus akibat mencari alat tulis maka
meja belajar seharusnya bersih.
Lebih lanjut Slameto (1995) menambahkan meja tulis harus bersih dan jangan penuh
dengan barang-barang yang tak diperlukan. Sedang mengenai meja belajar Stainback
(1999) menyarankan meja atau bangku harus cukup untuk meletakkan semua
perlengkapan belajar yang dibutuhkan.
7) Almari dan rak buku
Almari dan rak buku merupakan perabotan yang dapat menunjang kegiatan belajar.
Fungsi dari almari dan rak buku adalah untuk menyimpan buku-buku sebagaimana The
Liang Gie (1994) semua bacaan hendaknya disimpan dalam rak buku kecil di sisi meja
studinya atau di atasnya dengan menempel pada tembok. Kalau jumlah bacaan itu sudah
cukup banyak, sebaiknya disimpan dalam almari buku yang memakai pintu kaca. Dengan
demikian pintu kaca semua bahan bacaan itu dapat terlihat dan sewaktu diperlukan dapat
diambil.
8) Perlengkapan belajar
Dengan tersedianya perlengkapan belajar seseorang dalam belajar tidak begitu
mengalami kesulitan bila memerlukan peralatan. Menurut The Liang Gie (1995)
perlengkapan studi merupakan faktor kebendaan. Kalau perlengkapan studi tidak ada
manfaatnya, sebaiknya perlengkapan itu tidak dipakai saja.
Perlengkapan belajar banyak ragamnya seperti balpoint, karet penghapus, buku tulis,
buku notes, pensil, pengaris, dan sebagainya. Orang tua dalam menyediakan
perlengkapan belajar untuk anak-anaknya hendaknya menyesuaikan dengan kepentingan
dan fungsi dari perlengkapan itu, artinya tidak selalu mengabulkan apa yang diminta, dan
ada hubungannya dengan pelajaran. Sebab ada kalanya perlengkapan yang kurang
bermanfaat justru mengganggu konsentrasi belajar.
9) Tanaman dan pohon pelindung
Tanaman dan pohon pelindung bila kita pelihara dengan baik akan bermanfaat bagi
manusia terutama dapat membuat lingkungan belajar menjadi sejuk dan nyaman. Oleh
karena itu pohon pelindung harus ditanam dan diatur agar memenuhi fungsinya yaitu
untuk keindahan, penyejuk, menghasilkan oksigen, melindungi sengatan mata hari.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Pidarta di Australia (1995) tentang manfaat
pohon-pohon pelindung, yang sengaja diatur agar memenuhi fungsinya.
Sedangkan De Porter (2001) mengatakan untuk mengubah situasi belajar yang nyaman,
temperatur yang sejuk, dan memperbaiki pencahayaan, maka perlu memasukkan tanaman
pada lingkungan belajar peserta didik.
Dari dua pendapat tersebut di atas, memperlihatkan bahwa penekanan yang sama pada
fungsi tanaman dan pohon pelindung yaitu bahwa tanaman dan pohon pelindng dalam
lingkungan belajar akan membuat lingkungan belajar sejuk dan nyaman.
2. Lingkungan sekolah
Dalam proses pembelajaran, pengajar tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
tetapi peserta didik sendiri yang harus membangun pengetahuannya (knowledge is
constructed by human). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah
yang siap diterima dan diingat oleh peserta didik. Peserta didik harus mengonstruksi

pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik
perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru, memecahkan masalah, dan
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya serta menciptakan dirinya menjadi diri
sendiri (learning to be).
Belajar adalah merupakan proses aktif untuk membangunkan pengetahuan, dalam ide-ide
konstruktif, biarkan peserta didik mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan
dengan esensi konstruktivisme bahwa peserta didik harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki,
informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran
saat ini setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang berdasar kacamata
pengajar menjadi pembelajaran yang berdasarkan kacamata peserta didik. Pengajaran
merupakan suatu proses membangunkan pengetahuan dan mengkomunikasikan
pengetahuan. Artinya, saat ini bukan bagaimana pengajar mengajar, tetapi bagaimana
agar peserta didik dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah
perubahan proses mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang
dialami peserta didik sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan
yang mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam
pikirannya. Berpikir reflektif ini menjadi dasar proses konseptualisasi di dalam
memahami dan mengaplikasikan pengalaman yang didapat pada situasi dan kontek yang
lain. Secara psikologis, tugas dan wewenang pembelajar adalah mengetahui karakteristik
peserta didik, memotivasi belajar, menyajikan bahan ajar, memilih metode belajar, dan
mengatur kelas.
Menurut Ormrod (2006) untuk menciptakan peserta didik belajar maka perlu diciptakan
lingkungan sekolah yang baik adalah lingkungan yang nyaman sehingga anak terdorong
untuk belajar peserta didik berprestasi serta membangun pengetahuannya sendiri. Ada
beberapa karakteristik lingkungan sekolah yang nyaman sebagai tempat belajar (Burstyn
& Stevens dalam Ormrod, 2006) , yaitu:
1) Sekolah mempunyai komitmen untuk mendukung semua usaha peserta didik agar
sukses baik dalam bidang akademik maupun sosial.
2) Adanya kurikulum yang menantang dan terarah.
3) Adanya perhatian dan kepercayaan peserta didik serta orang tua terhadap sekolah.
4) Adanya ketulusan dan keadilan bagi semua peserta didik, baik untuk peserta didik
dengan latar belakang keluarga yang berbeda, beda ras maupun etnik.
5) Adanya kebijakan dan peraturan sekolah yang jelas. Misalnya panduan perilaku yang
baik, konsekuensi yang konsisten, penjelasan yang jelas, kesempatan menjalin interaksi
sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah.
6) Adanya partisipasi peserta didik dalam pembuatan kebijakan sekolah.
7) Adanya mekanisme tertentu sehingga peserta didik dapat menyampaikan pendapatnya
secara terbuka tanpa rasa takut.
8) Mempunyai tujuan untuk meningkatkan perilaku prososial seperti berbagi informasi,
membantu dan bekerja sama.
9) Membangun kerja sama dengan komunitas keluarga dan masyarakat.
10) Mengadakan kegiatan untuk mendiskusikan isu-isu menarik dan spesial yang
berkaitan dengan peserta didik.
Sedangkan di kelas, sebaiknya kelas cukup besar dengan jumlah peserta didik yang tidak
terlalu banyak sehingga guru dapat memonitor setiap peserta didik. Kelas yang baik dan

produktif adalah kelas yang nyaman secara tata ruang, memunculkan motivasi internal
peserta didik untuk belajar, kegiatan guru yang terarah serta kegiatan monitor terhadap
peserta didik (Gage & Berliner, 1992).
C. Ciri-Ciri Sekolah Berkualitas
Lima kriteria sekolah berkualitas
Dalam dunia industri pada abad ke-19, sistem pendidikan yang dirancang dalam satu
ukuran untuk semua (one-size-fits-all) cukup membantu mengurangi pelecehan terhadap
tenaga kerja anak dan membawa kesempatan bagi dunia luas. Pada tahun 1950-an,
banyak orang mampu mendapatkan pekerjaan layak dengan kemampuan yang terbatas.
Tapi keadaan berubah dengan dramatis. Pekerjaan menuntut latar belakang pendidikan
yang tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, sekolah untuk mengikuti perkembangan
semacam itu dan juga perubahan-perubahan yang terjadi seperti perubahan dalam struktur
keluarga, perubahan trend dalam kebudayaan populer dan pertelevisian, konsumerisme,
kemiskinan, kekerasan, pelecehan anak, kehamilan pada masa remaja, dan perubahan
sosial yang terus-menerus. Dilain pihak, sekolah juga mengalami tekanan terus-menerus
untuk menekan laju perubahan, untuk lebih konservatif, untuk tetap menjalankan
kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan tidak meninggalkannya.
Belakangan ini, sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus dihadapi lembaga
pendidikan, muncul sejumlah usaha untuk memperbarui konsep atau gagasan tentang apa
yang disebut sebagai sekolah berkualitas. Salah satu konsep terkemuka dalam hal ini
adalah lima prinsip pendidikan yang ditawarkan Peter Senge dalam The School Thats
Learn (2003; 59-93). Dirumuskan dalam rangka mengimbangi arus globalisasi yang
meluas di bidang pendidikan, lima prinsip pendidikan ini menekankan pentingnya
melihat sekolah dan atau proses pembelajaran sebagai suatu institusi pendidikan
semacam perusahaan yang memerlukan kerja kelompok dan menuntut keahlian tertentu.
Seperti kita ketahui bersama, ada beberapa keahlian yang dapat dimiliki seseorang dalam
mengelola pendidikan seperti, bertindak dengan otonomi yang lebih luas, berani
mengambil kesimpulan, memimpin juga dipimpin, mempertanyakan masalah yang sulit
dengan sikap yang baik, dan menerima kekalahan sehingga mampu membangun
kemampuan untuk keberhasilan di masa mendatang. Semua itu adalah sikap yang
dibutuhkan dalam organisasi pembelajaran dan masyarakat. Kemampuan menyinergikan
lima prinsip disiplin kolektif menurut Peter Senge ini dimaksudkan untuk meraih
keahlian-keahlian yang akan dapat membantu setiap sekolah di Indonesia menghadapi
tekanan dan dilema dalam mengelola pendidikannya.
Secara ringkas kelima disiplin kolektif tersebut sebagai berikut. Pertama, penguasaan diri
(personal mastery), merupakan praktik mengartikulasikan gambaran koheren dari
pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah, hasil yang paling ingin kita
dapatkan dalam hidup, di samping pengamatan nyata dari kehidupan sehari-hari. Ketika
terakumulasi, ini bisa menghasilkan keinginan alami yang dapat meningkatkan kapasitas
dalam membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan menerima hasil lebih dari yang
dipilih secara berkelompok. Setiap pengelola sekolah harus berlaku jujur dalam

mengemukakan kelemahan dan kelebihan situasi terkini sekolahnya dan mendukung


setiap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari anak didik. Kedua, keberanian setiap
pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision), sebuah disiplin kolektif yang
menekankan perhatian pada tujuan bersama. Sekelompok orang dengan tujuan yang sama
dapat belajar untuk mempertahankan komitmen dalam suatu kelompok atau organisasi
dengan mengembangkan pandangan yang sama tentang masa depan yang ingin dicapai,
prinsip-prinsip serta guiding practices yang mereka ciptakan bersama.
Disiplin kolektif ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental
(mental models), sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan
dan persepsi, baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya. Bekerja dengan membentuk
mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan
terkini. Karena pembentukan mental dalam pendidikan sering kali tidak dapat
didiskusikan, dan tersembunyi, maka
kritik yang harus diperhatikan oleh sekolah yang belajar adalah bagaimana kita mampu
mengembangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal
yang berbahaya dan tidak nyaman. Selain itu, pengelola sekolah juga harus senantiasa
aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat
perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Keempat, bentuklah kelompok belajar (team learning), sebuah disiplin dalam interaksi
kelompok. Melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion, sekelompok kecil
orang dapat mentransformasikan pikiran kolektif mereka, belajar memobilisasi energi dan
kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian dan
kemampuan mereka lebih besar ketimbang jika bakat anggota kelompok digabungkan.
Kelompok belajar dapat dikembangkan dalam kelas, antara pembelajar/guru dan orang
tua peserta didik, antaranggota komunitas, dan dalam kelompok utama yang mengejar
perubahan sukses dalam sekolah. Adapun yang terakhir adalah disiplin kolektif tentang
sistem berpikir (systems thinking). Dalam disiplin ini kita belajar memahami
kebergantungan dan perubahan, sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif
tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang
digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow, dan berbagai
simulasi yang membantu peserta didik untuk memahami lebih dalam dari apa yang
dipelajari. Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap sekolah berkesempatan
melakukan sebuah uji-coba terapan terhadap lima prinsip dasar di atas bagi sebuah
pengembangan institusi pendidikan (sekolah) yang mengutamakan pengembangan dan
penjaminan mutu (quality assurance).
Merujuk pada pemikiran Edward Sallis dalam Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi
13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:
1. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
2. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul , dengan
komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.
3. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari
berbagai kerusakan psikologis yang sangat sulit memperbaikinya.
4. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga
akademik, maupun tenaga administratif.

5. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai
kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa
berikutnya
6. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
7. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai
dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
8. Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan
kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
9. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah
kerja secara vertikal dan horozontal.
10. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.
11. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan
untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
12. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
13. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu
keharusan.
Secara umum kerangka kerja penjaminan mutu pendidikan di sekolah mempunya ciri-ciri
(Ali, 2007:634) sebagai berikut:
1. Penjaminan mutu didasarkan atas indikator-indikator kinerja yang bersifat umum,
terbuka dan objektif, yang dirumuskan berdasarkan pernyataan-pernyataan tujuan, yang
dijadikan sebagai alat penilaian mutu pendidikan di sekolah.
2. Penjaminan mutu dilakukan melalui proses yang transparan dan interaktif melalui
penilaian diri dan inspeksi penjaminan mutu.
3. Penjaminan mutu dilaksanakan dengan mempraktikan kekuatan-kekuatan berbagai
aktivitas dalam proses penjaminan mutu dan manajemen berbasis sekolah, serta nilainilai tradisional dan kebutuhan-kebutuhan sekolah untuk berubah.
4. Penjaminan mutu dilaksanakan dengan menjaga keseimbangan antara dukungan
kepada sekolah melaui kemitraan dan tekanan kepada sekolah melalui monitoring.
5. Tujuan penjaminan mutu adalah untuk mencapai mutu pendidikan sekolah melalui
pengembangan dan akuntabilitas.
D. Akreditasi Sekolah/Madrasah
Akreditasi merupakan bagian dari penjaminan mutu lembaga pendidikan (perguruan
tinggi atau sekolah). Akreditasi yang dilaksanakan saat ini didasarkan atas UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah (BAN-S/M).
Ada tiga maksud dilaksanakannya akreditasi sekolah, yaitu:
1. Untuk kepentingan pengetahuan yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang
kelayakan dan kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait dengan mengacu
kepada standar yang ditetapkan secara nasional.
2. Untuk kepentingan akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah
kepada masyarakat, apakah layanan yang diberikan telah memenuhi harapan atau
keinginan mereka.

3. Untuk kepentingan pembinaan dan peningkatan mutu yaitu sebagai dasar bagi pihak
terkait, baik sekolah, pemerintah, maupun masyarakat dalam melakukan pembinaan dan
peningkatan mutu sekolah.
Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan
pada jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan. Pelaksanaan akreditasi dilakukan terhadap seluruh sekolah/madrasah, baik
negeri maupun swasta, pada seluruh jenjang mulai TK/RA, SD/MI,SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MA Kejuruan, dan SLB pada semua tingkatan. Akreditasi terhadap program dan
satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang
sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan
komprehensif dengan menggunakan instrument dan kriteria yang mengacu kepada
Standar Nasional Pendidikan. Akuntabilitas merupakan proses akreditasi yang harus
dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan.
Akreditasi sekolah/madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu
sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BANS/M yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan. Untuk
melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah pemerintah membentuk badan itu yang
merupakan badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan
pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan. Perannya dalam penjaminan mutu adalah memberikan
rekomendasi penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan
yang diakreditasi, dan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
BAN-S/M ini merupakan badan nonstruktural yang bersifat nirlaba dan mandiri yang
bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan Nasional. Tugasnya, adalah merumuskan
kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan, dan melaksanakan akreditasi
sekolah/madrasah. Sedangkan, fungsinya untuk:
1. Merumuskan kebijakan dan menetapkan akreditasi sekolah/madrasah.
2. Merumuskan kriteria dan perangkat akreditasi sekolah/madrasah untuk diusulkan
kepada Menteri.
3. Melaksanakan sosialisasi kebijakan, kriteria, dan perangkat akreditasi
sekolah/madrasah.
4. Melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah
5. Memberikan rekomendasi tentang tindak lanjut hasil akreditasi.
6. Mengumumkan hasil akreditasi sekolah/madrasah secara nasional.
7. Melaporkan hasil akreditasi sekolah/madrasah kepada Menteri.
8. Melaksanakan ketatausahaan BAN-S/M.
Dalam melaksanakan akreditasi, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Provinsi
Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) yang dibentuk oleh Gubernur. Badan Akreditasi Provinsi
Sekolah/Madrasah ini adalah badan evaluasi mandiri di provinsi yang membantu BANS/M dalam melaksanakan akreditasi.
Penjaminan mutu pendidikan dalam sistem pendidikan nasional meliputi dua pendekatan,
yaitu pertama, penjaminan mutu eksternal yang dilakukan oleh berbagai pihak/institusi di
luar satuan pendidikan yang secara formal memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan
penjaminan mutu pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua,
penjaminan mutu internal dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kedua

model pendekatan tersebut, sungguh pun dapat dibedakan, tetapi memiliki keterkaitan
satu sama lain, termasuk keterkaitan antar institusi eksternal yang dimaksud.
Ada empat pilar pokok dalam penjaminan mutu eksternal sekolah/madrasah, yaitu:
1. Penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang penetapannya oleh Menteri,
sedangkan pengembangan, pemantauan, dan pengendalian SNP oleh BSNP.
2. Pemenuhan SNP pada setiap satuan pendidikan oleh pemerintahan provinsi,
pemerintahan kabupaten/kotamadya, LPMP, dan institusi pembina pendidikan pusat.
3. Penentuan kelayakan satuan/program (pengecekan derajat pemenuhan SNP yang
dicapai satuan/program pendidikan) melalui penilaian kelayakan satuan/program
pendidikan mengacu pada kriteria SNP sebagai bentuk akuntabilitas publik.
4. Penilaian hasil belajar (PHB) dan evaluasi pendidikan, yaitu Ujian Nasional, USBN,
sertifikasi lulusan, berbagai bentuk ujian lainnya, dan evaluasi kinerja pendidikan oleh
pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kotamadya serta lembaga evaluasi
mandiri.
Penjaminan mutu internal oleh satuan pendidikan meliputi:
1. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan
menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah, yaitu kemandirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
2. Satuan pendidikan mengembangkan visi dan misi, menyusun KTSP, melakukan
penilaian hasilbelajar termasuk ujian nasioanl, dan evaluasi kinerja masing-masing.
3. Satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan untuk memenuhi
atau melampaui SNP.
Penjaminan mutu pendidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional merupakan
rangkaian mata rantai tugas fungsional antar institusi yang selalu berhubungan dengan
fokus peningkatan mutu secara berkelanjutan pada level satuan pendidikan. Pemahaman
akan peran masing-masing institusi, termasuk satuan pendidikan, dan sinkronisasi peranperan tersebut secara fungsional diharapkan dapat mempercepat tercapainya mutu
pendidikan seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional.
E. Konsep Sekolah Unggulan
Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga
sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah
unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi peserta didik yang tinggi
maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang
berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat
dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga
administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah
pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan
iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah
sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu
disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran
dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian
wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah
unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada peserta didik dengan memberikan
kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Suyanto, program kelas
unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki

wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelaskelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan peserta didik menurut
kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan peserta
didik ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat
kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik
homogen.
Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak
kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas.
Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas
inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan
cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan
didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana
lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas
keunggulan sekolah itu.
Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin
tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis
memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan
akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan
sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan
kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik.
Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan
manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.
Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi
berupa NEM, input peserta didik yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas,
sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan
pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya
bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya
otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja
atau kurang baik tetapi diproses di tempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga
keluarannya bagus.
Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar
benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit
manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %,
artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M.
Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey:
Prentice-Hall international, Inc., 1991), h. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga
Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan
sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak
1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

SOAL I
1. Proses pembelajaran melibatkan beberapa sub-sistem, apa saja sub-sistem yang
dimaksud?

2. Belajar adalah memanfaatkan beberapa sumber belajar sehingga peserta didik dapat
menggalikan informasi, apa saja sumber-sumber belajar yang anda ketahui?
3. Bagaimana upaya guru dalam mengatasi peserta didik yang mengalami kelambanan
berpikir?
4. Tujuan pembelajaran merupakan sasaran yang harus dicapai oleh peserta didik,
buatkan sasaran apa saja yang harus dicapai oleh peserta didik?
5. Pembelajaran adalah sebuah rancangan yang dibuat oleh perancang pembelajaran, apa
saja komponen yang harus dijadikan pertimbangan dalam merancang sebuat
pembelajaran?
6. Strategi merupakan langkah-langkah yang dilaksanakan oleh guru untuk menerapkan
materi pelajaran sehingga tercapai tujuan pembelajaran, pertimbangan apa saja yang
dilaksanakan guru dalam menerapkan materi pelajaran di kelas?
7. Peran guru di kelas adalah sebagai mediator, fasilitator, dan mentor, bagaimana cara
dalam melaksanakan proses pembelajaran yang dimaksud?
8. Apa saja yang harus direncanakan guru bila dia akan melaksanakan proses
pembelajaran?

PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI


A. Perkembangan Fisik Pada Anak Usia Dini
Implementasi pembimbingan dan pengasuhan terhadap anak usia dini, diantaranya dapat
diketahui melalui fakta/ data perubahan-perubahan yang terjadi antara lain dari perubahan
ukuran tubuh, bentuk badan, otot, tulang, kemampuan motorik kasar, pengaruh hormon,
pertumbuhan fisik yang tak seimbang, perkembangan motorik, dan kordinasi tangan dan
mata.

Perkembangan fisik adalah dasar bagi setiap individu untuk


mencapai kematangan dalam aspek perkembangan lainnya. Oleh karena itu,
perkembangan fisik pada anak usia dini dapat dijadikan indikator yang sangat berguna
bagi para pendidik. Adapun indikator perkembangan fisik yang biasa digunakan dalam
melihat perkembangan dan pertumbuhan fisik seorang anak adalah sebagai berikut :
1. Perubahan Ukuran Badan

Tanda-tanda yang paling terlihat pada pertumbuhan fisik adalah perubahan bentuk tubuh
anak. Sewaktu bayi perubahan terjadi sangat cepat dibandingkan dengan waktu lain
setelah kelahiran. Diakhir tahun pertama, tinggi bayi meningkat 50% dibanding saat baru
lahir, sedangkan diusia 2 tahun peningkatanya mencapai 75%. Dari segi beratnya
menunjukan peningkatan yang serupa. Saat usia 5 bulan, beratnya mencapai dua kali
lipat, diusia 1 tahun mencapai tiga kali lipat dan usia 2 tahun mencapai 4 kali lipat.
Semakin bertambahnya usia, pertumbuhan tersebut akan semakin lambat kecepatannya.
2. Perubahan Bentuk Badan
Sesuai dengan peningkatan ukuran tubuh anak secara keseluruhan, tiap bagian tubuh juga
tumbuh dengan ukuran yang berbeda. Pada saat dalam kandungan, kepala janin
berkembang lebih dahulu kemudian baru diikuti bagian tubuh. Setelah lahir, kepala dan
dada terus bertumbuh tetapi badan dan kaki menyusul kemudian.
Pada masa pubertas, proses pertumbuhan fisik bayi tidak berurutan (ex. Pertama tangan
kemudian kaki). Itulah sebabnya bentuk fisik bayi tidak proposional-kaki dan tangannya
terlihat lebih panjang atau besar.
3. Perubahan Otot
Berat tubuh/lemak tubuh meningkat pada 2 minggu terakhir dalam tahap kehidupan janin
dalam kandungan dan berlanjut setelah kelahiran hingga mencapai puncaknya diusia 9
bulan. Lemak tubuh pada bayi akan membantu menjaga suhu badan bayi tersebut. Pada
tahun kedua tubuh anak lebih kelihatan kurus, kecendrungan tersebut berlanjut sampai
pada masa pertengahan usia dini (Fomon & Nelson, 2002).
Pada saat lahir, bayi perempuan memiliki badan yang lebih gemuk daripada bayi lakilaki. Perubahan ini terus bertahan sampai usia sekolah. Pada usia anak sekitar 8 tahun,
anak perempuan mulai bertambah lemak pada bagian lengan, kaki, badan dan keadaan ini
berlanjut hingga masa pubertas. Namun sebaliknya pada anak laki-laki, jumlah lemak
ditempat-tempat tersebut akan berkurang (Siervogel et al; 2000). Lambat laun otot akan
bertambah pada masa bayi dan kanak-kanak kemudian meningkat secara tajam pada saat
remaja. Pada masa pubertas, otot anak laki-laki berkembang lebih cepat 150% dibanding
anak perempuan. Demikian juga dengan jumlah sel darah merah dan kemampuan oksigen
dari paru-paru ke oksigen lebih banyak jumlahnya pada anak laki-laki. Bersamaan
dengan itu, anak laki-laki akan memperoleh otot yang lebih kuat daripada anak
perempuan. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi bahwa penampilan anak laki-laki
lebih atletis diwaktu usia remaja.
4. Pertumbuhan Tulang
Anak-anak pada usia yang sama akan berbeda dalam pertumbuhan fisiknya. Cara terbaik
untuk memperkirakan kematangan fisik anak adalah dengan menggunakan umur tulang,
dengan mengukur perkembangan dari tulang badan. Seiring penambahan usia, bentuk
badan akan kelihatan lebih kurus sampai usia remaja. Dalam usia pertumbuhan, anak

perempuan lebih cepat perkembangannya daripada anak laki-laki, serta kematangan


fisiknya lebih cepat dari anak laki-laki dan itu mempengaruhi keberadaan mereka
dilingkungan.
5. Penambahan Kemampuan Motorik Kasar
Perubahan ukuran, bentuk dan kekuatan otot mendukung perubahan besar pada
kemampuan motorik kasarnya. Ketika tubuh bergerak maka akan tertumpu pada tubuh
bagian bawah. Sebagai hasilnya, keseimbangan meningkat secara drastis yang membuka
jalan untuk perkembangan otot.
Di usia 2 tahun, cara berjalan anak menjadi lancar dan sudah memiliki irama langkah.
Keadaan tersebut membuat anak lebih aman untuk bermain diluar. Diusia ini anak sudah
dapat mulai berlari dan melompat. Pada usia antara 3 6 tahun, anak sudah mulai
meloncat dan berlari kencang serta melompat-lompat dengan berirama. Pada akhirnya
anak akan dapat mengkombinasikan kemampuan gerakan diatas dan bawah dengan lebih
efektif. Sebagai contoh: anak usia 3 tahun sudah dapat melempar sebuah bola dengan
tegas. Diusia 4-5 tahun, anak dalam bermain sudah melibatkan bahu, hanya
menggunakan badan saja tanpa ikut menggerakan tangan dan kaki dengan lancar dan
fleksibel.
Selama usia sekolah, peningkatan keseimbangan, kekuatan dan kelincahan dalam hal
berlari, meloncat, melompat dan kemapuan memainkan bola akan lebih meningkat dan
matang.
6. Pengaruh Hormon dalam Perkembangan Fisik
Hormon yang sangat penting bagi pertumbuhan manusia ada dalam Pituitary Gland
(Kelenjar pituitari) yang letaknya sangat dekat sekali dengan Hypothalamus dalam otak.
Pertumbuhan hormon adalah satu-satunya kelenjar lendir yang diproduksi secara terus
menerus seumur hidup. Ini berpengaruh pada perkembangan semua sel didalam tubuh,
kecuali sistem susunan syaraf pusat dan kelamin.
Bersamaan dengan hypothalamus dan kelenjar pituitari mendorong kelenjar tyroid (di
leher) untuk melepas Thyroxine yang penting bagi perkembangan otak dan
perkembangan hormon dalam mempengaruhi ukuran badan.
7. Pertumbuhan Fisik yang Tidak Seimbang
Sistem dalam tubuh berbeda sesuai dengan keunikannya, secara perlahan akan membuat
suatu sistem dalam pertumbuhannya. Pertumbuhan fisik sangat dipengaruhi oleh
penyerapan gizi yang baik, sedangkan penyerapan gizi didalam tubuh sangat dipengaruhi
oleh sistem kelenjar getah bening yang diproduksi oleh tubuh. Seperti kita ketahui bahwa
kelenjar getah bening ini tumbuh dengan sangat pesat pada masa bayi dan masa usia dini,
kemudian jumlah pertumbuhannya berkurang diusia remaja. Sistem kelenjar getah bening

ini juga membantu melawan infeksi, dengan demikian juga akan membantu menjaga
daya tahan tubuh.
Perkembangan Motorik Kasar
Motorik kasar anak akan berkembang sesuai dengan usianya (age appropriateness).
Orang dewasa tidak perlu melakukan bantuan terhadap kekuatan otot besar anak. Jika
anak telah matang, maka dengan sendirinya anak akan melakukan gerakan yang sudah
waktunya untuk dilakukan. Misalnya : seorang anak usia 6 bulan belum siap duduk
sendiri, maka orang dewasa tidak perlu memaksakan dia duduk di sebuah kursi.
Gerakan motorik kasar untuk anak :
1. Merayap
2. Merangkak
3. Berdiri
4. Memanjat
5. Berjalan
6. Berlari
7. Menendang
8. Menangkap
9. Melompat
10. Meluncur
11. Lompat tali
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendukung motorik kasar anak misalnya :
1. Berjalan dengan berbagai gerakan
2. Mencari jejak
3. Berjalan seperti binatang
4. Berjalan naik turun tangga
5. Berbaris, melangkah, berjinjit, berjalan seperti gerakan kuda lari
6. Berlari seperti pecutan kuda
7. Berjalan di tempat
8. Lompatan kanguru
9. Melompat dengan trampoline kecil
10. Melompat seperti katak
11. Berjalan dengan papan titian maju, mundur, ke samping, membawa benda.
12. Mengambil dan meletakkan kepingan dari dan ke mangkuk
13. Membungkuk/mengumpulkan makanan
14. Bermain terowongan
15. Bermain kursi ditutup selimut
16. Menginjak alas dengan berbagai bahan seperti kartun /plastic bekas telur, kain perca,
potongan gelas aqua, sabut kelapa. dsb)
17. Melemparkan barang-barang ke mulut harimau
18. Kursi bermusik

19. Bermain dengan aturan. Untuk 3 tahun ke atas.


Berdiri di lingkaran dan berputar dengan musik. Kursi diambil 1, jika music berhenti,
masing-masing harus mendapatkan 1 kursi.
Untuk anak toodler, boleh digunakan asal kursinya tidak diambil. Semua anak dapat
kursi.
20. Hula hop, senam dan lagu.
21. Bermain outdoor
22. Menggulung/menendang/melempar / menangkap
Perkembangan Motorik Halus.
Motorik halus mengembangkan kemampuan anak dalam menggunakan jari-jarinya,
khususnya ibu jari dan jari telunjuk. Kemampuan motorik halus ada bermacam- macam,
antara lain ;
1. Menggenggam (grasping)
a). Palmer grasping
Anak menggenggam sesuatu benda dengan menggunakan telapak tangannya. Biasanya
usia anak di bawah 1.5 tahun lebih cenderung menggunakan genggaman ini. Anak
merasa lebih mudah dan sederhana dengan memegang benda menggunakan telapak
tangan. Kadang kita bisa mengamati anak memungut kismis , tetapi kemudian sering
diacak-acak memakai telapak tangan. Karena motorik halus yang belum berkembang
dengan baik, maka anak perlu mendapatkan alat-alat yang lebih besar untuk melatih
motorik halusnya. Jangan memberi crayon / kuas yang kecil pada anak usia 1,5-2 tahun,
tetapi gunakan yang lebih besar. Demikian pula jika memberikan piring, gunakan piring
yang lebih cekung dan sendok yang lebih panjang dan kecil, sehingga ketika anak
mengambil sesuatu dari piringnya, ada penahan pada dinding piring.
b). Menjimpit (Pincer grasping)
Perkembangan motorik halus yang semakin baik akan menolong anak untuk dapat
memegang tidak dengan telapak tangan, tetapi dapat menggunakan jari-jarinya. Ketika
anak sedang makan, maka cara memegang sendoknya pun akan lebih baik, menyerupai
cara orang dewasa memegang.
Salah satu contoh adalah saat anak mencoret Anak senang mencoret-coret (markmakings) menggunakan beberapa alat tulis seperti crayon, spidol kecil, spidol besar,
pensil warna, kuas, dsb. Coretan ini akan makin bermakna seiring dengan perkembangan
kemampuan motorik halus dan kognisi anak.
2. Memegang

Anak dapat memegang benda-benda besar maupun benda-benda kecil. Semakin tinggi
kemampuan motorik halus anak, maka ia makin mampu memegang benda-benda yang
lebih kecil.
3. Merobek
Keterampilan merobek dapat dilakukan dengan menggunakan kedua tangan sepenuhnya,
ataupun menggunakan dua jari (ibu jari dan telunjuk).
4. Menggunting
Motorik halus anak akan makin kuat dengan banyak berlatih menggunting. Gerakan
menggunting dari yang paling sederhana akan terus diikuti dengan guntingan yang makin
kompleks ketika motorik halus anak makin kuat.
J. Koordinasi Tangan Mata
Koordinasi mata tangan memiliki 2 aspek yaitu;
1. Kemampuan menolong diri sendiri (self help skill)
Kemampuan untuk menolong diri sendiri misalnya :
mencuci tangan
menyisir rambut
menggosok gigi
memakai pakaian
makan dan minum sendiri, dsb.
2. Kemampuan untuk pembelajaran
Koordinasi tangan dan mata anak dapat dilatih dengan banyak melakukan aktivitas
misalnya :
membuka bungkus permen
membawa gelas berisi air tanpa tumpah
membawa bola di atas piring tanpa jatuh
mengupas buah
bermain playdough
meronce, menganyam, menjahit
melipat
menggunting
mewarna, menggambar dan menulis
menumpuk mainan,
Setiap gerakan yang dilakukan anak akan melibatkan koordinasi tangan dan mata juga
gerakan motorik kasar dan halus. Makin banyak gerakan yang dilakukan anak, maka
makin banyak pula koordinasi yang diperlukannya. Karena itu, anak perlu mendapatkan

banyak kegiatan yang menunjang motorik kasar dan halus anak, yang tentunya dirancang
dengan baik seduai dengan usia perkembangan anak.
B. Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia Dini
Pada aspek pengembangan bahasa, kompetensi dan hasil yang diharapkan adalah anak
mampu menggunakan bahasa sebagai pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi
secara efektif yang bermanfaat untuk berfikir dan belajar dengan baik.
Perkembangan bahasa anak tidak saja dipengaruhi oleh perkembangan neurologis tetapi
juga oleh perkembangan biologisnya. Lenneberg ( 1967: 128-129 ) mengatakan bahwa
perkembangan bahasa seorang anak itu mengikuti dan sesuai dengan jadwal
perkembangan biologisnya yang tidak dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat
dipaksa ataupun dipicu sekuat apapun untuk dapat mengujarkan/mengucapkan sesuatu,
bila saja kemampuan biologisnya belum memungkinkan untuk mengujarkan suatu kata.
Sebaliknya, bila saja seorang anak secara biologis telah dapat mengucapkan/mengujarkan
sesuatu, maka dia tidak akan dapat dicegah/ditahan untuk tidak
mengujarkan/mengucapkannya.
Lenneberg juga menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara perkembangan biologi dengan
kemampuan berbahasa, karena pada saat seorang anak dapat mengangkat lehernya,
sekitar umur 12 minggu, seorang anak sudah dapat tersenyum jika digendong/ditimang,
serta sudah mampu mengeluarkan bunyi dekutan ( Cooing ). Ketika seorang anak mulai
bisa duduk yaitu kira-kira umur 20 minggu bagi aanak yang normal, maka akan muncul
semacam vokal bersama dengan bunyi semacam konsonan. Pada umur eman bulan,
dekukan akan mulai menjadi suatu celotehan ( babbling ), dan setelah dua bulan
kemudian akan mulai banyak muncul bentuk reduplikasi.
Pertumbuhan biologi ini akan tampak pula dalam konstruksi fisik mulut seorang anak.
Pada saat seorang anak dilahirkan, fisiologi mulutnya masih sangat terbatas dimana
laringnya( larynx) masih tinggi, lidahnya relatif besar, daerah gerak di mulut sangat
sempit, dan lidahnya masih bersandar pada belakang bibirnya.
Stark (1981) membagi perkembangan fitur segmental pra ujaran (prespeech segmental
feature development) menjadi lima tahapan;
1. bunyi tangis refleksif dan bunyi-bunyi vegetatif(0-8 minggu ), dimana pada umur 0-8
minggu, anak hanya mampu mengeluarkan bunyi-bunyi reflektif dan vegetatif yang
berkaitan dengan tangis, antog, telanan, batuk, bersin, dsb yang pada umumnya bunyi itu
seperti bunyi vokal dengan suara yang agak serak.
2. dekutan dan tawa( 8-20 minggu), dimana pada umur 2-5 bulan, seorang anak mulai
mendekut dan mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip seperti vokal tetapi ada campuran
dengan seperti konsonan yang pada umumnya berupa konsonan belakang saja sepert : (c),
(g), (y) dan (k) yang biasanya muncul ketika anak menanggapi/merespon terhadap
senyum ataupun ujaran/ucapan dari ibunya.

3. permainan vokal ( 16-30 minggu ). Pada umur 4-7 bulan, seorang anak akan mulai
mengeluarkan bunyi yang agak utuh dengan durasi yang agak lebih lama ( 700-1500
msec, dibandingkan dengan 50 msec, dimana pada tahap pertama. Bunyi mirip
konsonannya ( consonant-like ) juga lebih kedepan karena pada saat ini rongga mulut
telah bertambah lebar. Bunyi konsonan silabik nasal (m) dan (n) juga sudah mulai
muncul dan sudah ada juga variasi vokalnya walaupun hanya sedikit.
4. celotehan reduplikatif ( 25-50 minggu ). Pada umur 6-12 bulan, celotehan reduplikatif
mulai sering terdengar. Adapun bentuk reduplikasi ini sering didahului oleh bunyi vokal
sehingga bentuknya menjadi seprti (anana) dengan konsonan hambat yang labial,
alveolar, ataupun anasal.
5. celotehan reduplikatif dan jargon ekspresif. Pada umur 9-18 bulan, celotehan
reduplicatif akan berubah menjadi celotehan reduplikatif yang bentuknya lain, yakni,
bentuknnya adalah V, CVC, dan vokalnya pun bisa juga berbeda. Bunyi frikatif seperti
(s) sudah mulai muncul; demikian pula vokalnya sudah mulai menuju vokal muka-tinggi
(i) dan belakang-tinggi (u).
Slobin pernah mengemukakan dengan baik sekali bahwa setiap pendekatan modern
terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahasa dibangun sejak semula
oleh setiap anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak ahir yang beraneka ragam
dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisk dan sosial.. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan kalau kebanyakan pendekatan moenr terhadap pemerolehan
bahasa dititik beratkan pada salah satu aspek proses pemerolehan. Beberapa diantaranya
sangat menaruh perhatian pada ciri-ciri struktural pengembangan sistem linguistik ; yang
lain pada hubungan ucapan-ucapan dini dengan perkembangan kognitif anak, sedangkan
yang lainnya menaruh perhatian besar pada penggunaan sosial bahasa pertama, bahasa
dini ( Cairn, 1986). Pemerolehan bahasa pada anak-anak memang merupakan salah satu
prestasi manusia yang paling hebat dan sangat menakjubkan, dimana kita bisa
mengetahui bagaimana anak-anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi
sangat sedikit sekali yang kita ketahui adalah bahwa pemerolehan bahasa sangat banyak
ditentukan oleh interaksi rumit aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial.
Pemerolehan bahasa anak dapat dikatakan mempunyai ciri khas kesinambungan,
memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana
menuju gabungan kata lebih rumit ( sintaksis ).Jika kita beranggapan bahwa kegunaan
fungsional tangisan sebagai awal dari kompetensi komukatif, maka ucapan-ucapan kata
tunggal yang seperti mama buat makan adalah menandai tahap pertama perkembangan
bahasa formal. Bergerak kearah yang lebih, maka anak harus berhadapan dengan
fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik ( Garcia; 1983 ).
Adapun para ahli telah mengemukakan tentang teori pemerolehan bahasa pada anak
sebagai berikut ;
1. Teori Kontinuitas (Mower, dalam Clark: 1977 :398)
Teori Kontinuitas menyatakan bahwa dekutan dan celotehan merupakan bunyi-bunyi

prekursif yang kemudian menjadi bunyi bahasa yang sebenarnya.


2. Teori Diskontinuits (Jokobson dalam Clark, 1977:390)
Menyatakan bahwa anak mengeluarkan celotehan dengan bermacam-macam bunyi tanpa
urutan yang khusus dan banyak bunyi-bunyi ini yang kemudian hilang selamanya atau
terpendam untuk beberapa saat, kemudian muncullah fase pemerolehan yang urutannya
konstan. Karena itu Jokobson menyimpulkan bahwa celotehan tidak berlanjut menjadi
ujaran.
3. Teori Nativisme (Chomsky; 1972 dan 1957)
Teori ini dilandaskan pada kenyataan bahwa seorang anak dapat memperoleh bahasa
manapun kalau saja dia diberi peluang, seorang anak sejak lahir telah membawa bekal
kodrati yang memungkinkan dia dapat memperoleh bahasa apa pun yang disuguhkan
padanya.
Chomsky mengatakan bahasa hanya dapat diperoleh manusia, karena pemerolehan
bahasa adalah species-specific human capacity, ini berarti bahwa dalam benak manusia
( mind) ada prinsipel-prinsipel restriktif yang menentukan natur bahasa manusia.
Chomsky juga mengatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat kodrati dan
merupakan suatu proses Instingtif yang berlanjut(Continuous) dan berjalan secara
konstan dari waktu ke waktu dengan mengikuti jadwal genetik sesuai dengan prinsipelprinsipel serta parameter yang terdapat pada tata bahasa Universal.
J. okobson (dalam Dardjowidjojo) mengatakan bahwa penguasaan bunyi bahasa pada
anak-anak berjalan selaras denga kodrat bunyi itu sendiri dan diperoleh anak melalui
suatu cara yang konsisten. Bunyi pertama yang dikuasai anak adalah kontras bunyi vokal
dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal terdapat tiga vokal yang utama yang muncul lebih
dahulu, yaitu (i), (u), (a). Sistem kontras seperti itu disebut sistem vokal minimal
( minimal vocalic system) dan terdapat dalam semua bahasa. Artinya, dalam bahasa
manapun ketiga bunyi vokal tersebut pasti ada.
Dalam hal bunyi konsonan kontras pertama yang muncul adalah antara bunyi oral dengan
bunyi nasal (p-b),(m-n) dan kemudian disususl oleh kontras antara bunyi bilabial dengan
bunyi dental (p,t). Sistem kontras seperti ini dinamakan sistem konsonantal minimal
(Minimal consonantal system).(Sunyono,2005:283). Lebih jauh Jokobson juga
mengatakan bahwa hubungan antara bunyi yang satu dengan yang lain bersifat Universal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak akan dapat menguasai bunyi-bunyi bahasa
dan berlansung secara berurutan Vokal Minimal akan diperoleh lebih awal daripada
konsonan vokal lainnya, sedangkan konsonan hambat akan diperoleh lebig awal daripada
konsonan frikatif, dan konsonan frikatif akan diperoleh lebih awal daripada efrikatif.
Anak tidak mungkin dapat menguasai friketif ataupun afrikatif sebelum mereka
menguasai konsonan hambat. Kontras antara bilabial(b) dengan dental(d) dengan velar(g)
atau dengan denta (d) dengan velar(g). Kontras antara bilabial-dental(b-d) dikuasai

sebelum frikatif (v-s); bunyi hambat dan frikatif (b-d-v-s) dikuasai sebelum alveofalatal(ts-d3). Hal itu sejalan dengan apa yang disampaikan Ingram yang menyatakan
bahwa konsonan pertama yang dikuasai anak adalah(p),(t),(m),(n).( ingram,73).
Penguasaan bunyi bahasa pada anak-anak berlansung secara berurutan, yakni dari bunyi
yang mudah ke bunyi yang sukar. Dalam penguasaan bunyi-bunyi tersebut anak-anak
mengikuti kaidah usaha minimal ( The law of least efforts). Untuk mengetahui mudah tau
sukarnya suatu bunyi, dasar yang digunakan adalah cara artikulasinya dan jumlah fitur
distingtif yang ada pada masing-masing bunyi, jika makin sukar artikulasi dan makin
banyak fitur distingtifnya, makin belakangan bunyi itu dikuasai.
Setiap kebudayaan manusia memiliki bahasa. Bahasa manusia berjumlah ribuan, yang
begitu bervariasi di atas permukaan bumi. Tetapi semua bahasa manusia memiliki
beberapa karakteristik yang umum. Bahasa adalah suatu sistem symbol yang digunakan
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pada manusia bahasa ditandai oleh adanya daya
cipta yang tidak pernah habis dan adanya sebuah aturan. Daya cipta yang tidak pernah
habis ialah suatu kemampuan individu untuk menciptakan sejumlah kalimat bermakna
yang tidak pernah berhenti dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan yang
terbatas, yang menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif.
Jelas bahwa bahasa adalah suatu alat komunikasi yang digunakan melalui suatu sistem
suara, kata, pola yang digunakan manusia untuk menyampaikan pertukaran pikiran dan
perasaan. Dengan demikian, bahasa termasuk hal esensial di dalam perkembangan anak
untuk mengoptimalkan potensi dan beradaptasi dengan dunia sekitar.
Prinsip Perkembangan Bahasa pada Anak
Prinsip yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa yaitu;
1) Semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal atau soaial. Anak-anak harus
menggunakan bahasa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka
berfokus ke dalam proses-proses mental mereka sendiri.
Anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa selama
periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan berbicara secara eksternal ke
internal berlangsung. Priode transisi ini terjadi antara usia 3 -7 tahun dan meliputi
berbicara kepada diri sendiri. Setelah beberapa saat berbicara sendirinitu menjadi hakekat
kedua anak-anak dan mereka dapat bertindak tanpa memverbalisasikannya. Bila ini
terjadi anak-anak telah meninternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam
bentuk berbicara sendiri yang menjadi pemikiran anak (Diknas, 2010).
Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak
Bahasa anak dapat berkembang cepat jika anak memiliki kemampuan dan didukung oleh
lingkungan yang baik. Berikut ini ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan bahasa pasa anak usia dini ;

1) Anak berada di dalam lingkungan yang positif dan bebas dari tekanan.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa lingkungan yang kaya bahasa akan menstimulasi
perkembangan bahasa anak. Stimulasi tersebut akan optimal jika anak tidak merasa
tertekan. Anak yang tertekan dapat menghambat kemampuan bicaranya. Dapat
ditemukan anak gagap yang disebabkan karena tekanan dari lingkungannya.
2) Menunjukkan sikap dan minat yang tulus pada anak.
Anak usia dini emosinya masih kuat. Karena itu guru harus menunjukkan minat dan
perhatian tinggi kepada anak. Orang dewasa perlu merespon anak dengan tulus.
3) Menyampaikan pesan verbal diikuti dengan pesan non verbal.
4) Dalam bercakap-cakap dengan anak, orang dewasa perlu menunjukkan ekspresi yang
sesuai dengan ucapannya. Perlu diikuti gerakan, mimik muka, dan intonasi yang sesuai.
Misalnya : orang dewasa berkata,saya senang maka perlu dikatakan dengan ekspresi
muka senang, sehingga anak mengetahui seperti apa kata senang itu sesungguhnya.
5) Melibatkan anak dalam komunikasi.
Orang dewasa perlu melibatkan anak untuk ikut membangun komunikasi. Kita
menghargai ide-idenya dan memberikan respon yang baik terhadap bahasa anak.
Tahap-Tahap Perkembangan Bahasa
Menurut Vygosky, bahwa ada 3 (tiga) tahap perkembangan bahasa anak yang
menentukan tingkat perkembangan berfikir, yaitu tahap eksternal, egosentris, dan internal
yaitu sebagai berikut :
Pertama, tahap Eksternal yaitu : tahap berfikir dengan sumber berfikir anak berasal dari
luar dirinya. Sumber eksternal tersebut terutama berasal dari orang dewasa yang memberi
pengarahan kepada anak .dengan cara tertentu. Misalnya orang dewasa bertanya kepada
seorang anak, Apa yang sedang kamu lakukan? Kemudian anak tersebut meniru
pertanyaan, Apa? Orang dewasa memberikan jawabannya, Melompat.
Kedua, tahap egosentris yaitu suatu tahap ketika pembicaraan orang dewasa tidak lagi
menjadi persyaratan. Dengan suara khas, anak berbicara seperti jalan pikirannya,
misalnya saya melompat, ini kaki, ini tangan, ini mata.
Ketiga, tahap internal yaitu suatu tahap ketika anak dapat menghayati proses berfikir,
misalnya, seorang anak sedang menggambar kucing. Pada tahap ini, anak memproses
pikirannya dengan pikirannya sendiri, Apa yang harus saya gambar? Saya tahu saya
sedang menggambar kaki sedang berjalan
Kemampuan berbahasa merupakan hasil kombinasi seluruh system perkembangan anak,
karena kemampuan bahasa sensitive terhadap keterlambatan atau kerusakan pada system
yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik, psikologis,
emosional dan social. Seperti kemampuan motorik, kemampuan bayi untuk berbahasa
terjadi secara bertahap, sesuai dengan perkembangan usianya.

- Pada usia 0-2 bulan, bayi sudah memiliki kemampuan menggunakan bahasa tubuhnya
untuk mengungkapkan atau menerima hubungan dengan orang lain. Sentuhan lembut
penuh kasih saying dari ibu (orang tua) akan dirasakan nyaman oleh bayi. Sebaliknya ,
sentuhan kasar akan dirasakan tidak nyaman oleh bayi.
- Pada usia 3 bulan, bayi sudah menunjukkan kemampuan vokalnya. Bayi mulai
tersenyum dan mampu mengeluarkan suara. Pada usia ini , biasanya bunyi yang keluar
dari mulut bayi adalah eeeeee.
- Pada usia 4 bulan, bayi dapat berbicara menggunakan suara tenggorokan yang berbunyi
rrrr.
- Pada usia 5 bulan, bayi sudah bias tertawa dan bergumam wwwww . Bahkan diusia 45 bulan bayi sudah dapat diajak untuk berjenaka yang mengundang tawa.
- Pada usia 6 bulan, bayi sudah dapat merangkai kata, berupa suara yang bersambungan
dengan ocehan seperti suara ge-ge-ge atau da-da-da.
- Pada usia 7-8 bulan, bayi dapat mengeluarkan kata-kata sederhana, seperti mama, papa,
mem-mem , dan he-he. Selain itu bayi sudah gemar mengoceh.
- Pada usia 9 bulan, bayi sudah mengenal kata dan pengetahuan bahasa yang dimilikinya
mulai beraneka ragam. Bayi mulai mengerti kata-kata sederhana dan perintah. Makna
bahasa yang diungkapkan anak akan dimengerti oleh ibu dan orang-orang terdekatnya.
- Pada usia 10 bulan, bayi dapat menghubungkan kata-kata dengan gerakan dan mampu
mengulangi kata-kata atau suara yang sama.
- Pada usia 11-12 bulan, ocehan bayi mulai berisi kata-kata yang berarti dan mulai dapat
berkomunikasi menggunakan bahasa yang sesungguhnya.
Berikut ini ada perkembangan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif yaitu;
Perkembangan Kemampuan Bicara dan Bahasa yang Normal
Tahapan Proses Perkembangan Bahasa Anak Usia Lahir 6 tahun
No. Usia Proses Mendengar/ Memahami
Proses Berbicara
1. Lahir-3 bulan - bayi terbangun ketika mendengar suara yang keras (biasanya reaksinya
adalah menangis)
- bayi mendengar orang lain berbicara dengan cara memperhatikan orang yang berbicara
- bayi tersenyum ketika diajak bicara
- bayi mengenali suara pengasuhnya dan menjadi berhenti menangis ketika diajak
ngobrol - anak membuat suara yang menyenangkan

- anak akan mengulangi suara yang sama secara berulang-ulang (seperti ocehan)
- anak akan menanagis dengan cara berbeda untuk menunjukkan kebutuhannya yang
berbeda-beda pula (misal : menangis dengan melengking tinggi jika kesakitan)
2. 4-6 bulan - anak sudah dapat merespon nada suara (lembut ataupun keras)
- anak akan melihat sekeliling untuk mencari sumber bunyi (contoh : bunyi bel, telepon
atau benda jatuh)
- anak akan memperhatikan bunyi yang dihasilkan dari mainannya (misal : memukulmukul mainan ke lantai) - anak akan berceloteh ketika sendirian
- anak akan melakukan sesuatu (dengan bunyi atau gerakan tubuh) secara berulang ketika
bermain
- anak akan berbicara secara sederhana (tanpa tangisan) untuk menarik perhatian orang
dewasa di sekitarnya
3. 7-12 bulan - anak menyukai permainan ciluk-ba
- anak akan mendengarkan ketika diajak berbicara
- anak mengenali kata-kata yang sering ia dengar, misal : susu, mama, dll. - anak akan
berbicara secara sederhana (tanpa tangisan) untuk menarik perhatian orang dewasa di
sekitarnya
- anak akan melakukan imitasi untuk berbagai jenis bunyi/ suara
- anak akan berceloteh dengan kata-kata sederhana : ma-mam, da-da tapi masih
belum jelas pengucapannya
4. 12-24 bulan - anak sudah dapat memahami perintah dan pertanyaan sederhana,
contoh : mana bolanya?, ambil bonekanya
- anak akan menunjuk benda yang dimaksud ketika ditanyai
- anak dapat menunjuk beberapa gambar dalam buku ketika ditanyai - anak telah dapat
menggunakan berbagai bunyi huruf konsonan pada awal kata
- anak sudah bisa menyusun dua kata. Contoh : mau minum, mama maem, dll.
- Anak dapat bertanya dengan 2 kata sederhana, misal : mana kucing?, itu apa?
5. 24-36 bulan - Anak bisa memahami dua perintah sekaligus (contoh : ambil bolanya
dan ditaruh di kursi)
- Anak sudah dapat memperhatikan dan memahami berbagai sumber bunyi (misal : suara
TV, pintu ditutup, dll)
- Anak telah memahami perbedaan makna dari berbagai konsep, misal : jalan-berhenti,
di dalam-di luar, besar-kecil, dll) - Anak bisa bertanya dan mengarahkan perhatian
orang dewasa dengan mengatakan nama benda yang dimaksud.
- Cara anak berbicara sudah dapat dipahami secara keseluruhan
- Anak sudah dapat menghafal kata-kata untuk keseharian
- Anak memahami tata bahasa secara sederhana, misal aku mau naik sepeda
6. 4-6 tahun - Anak sudah bisa menggunakan kata secara lebih rumit
Misal : Ibu, aku lebih suka baju yang berwarna merah. Yang hijau tidak bagus.
C. Perkembangan Kognitif Pada Anak Usia Dini
Pada aspek pengembangan lognitif, kompetensi dan hasil belajar yang diharapkan pada
anak adalah anak mampu dan memiliki kemampuan berfikir secara logis, berfikir kritis,
dapat memberi alasan, mampu memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab
akibat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan individu

dalam memahami dunia, yaitu; pengorganisasian dan penyesuaian. Untuk membuat dunia
kita masuk akal, kita mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kita. Misalnya, kita
memisahkan gagasan penting dari gagasan-gagasan yang kurang penting. Kita
mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Namun, kita tidak hanya
mengorganisasikan pengamatan-pengamatan dan pengalaman-pengalaman kita, kita juga
menyesuaikan pemikiran kita untuk meliput gagasan-gagasan baru. Piaget (1954) yakin
bahwa penyesuaikan diri (adaptasi) dilakukan dalam dua cara yaitu asimilasi dan
akomodasi.
Asimilasi (assimilation) terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam
pengetahuan mereka yang sudah ada. Akomodasi (accomodation) terjadi ketika individu
menyesuaikan diri dengan informasi baru. Akomodasi dan asimilasi ini kemudian
membentuk struktur berpikir, yang oleh Piaget disebut skema (Schema/Schemata).
Skema mengacu kepada unit (atau unit-unit) dasar atau suatu pola pemfungsian sensorimotorik yang terorganisasi.
Piaget berpikir bahwa asimilasi dan akomodasi berlangsung sejak kehidupan bayi yang
masih sangat kecil. Bayi yang baru lahir secara refleks mengisap segala sesuatu yang
menyentuh bibirnya (asimilasi), tetapi setelah beberapa bulan pengalaman, mereka
membangun pemahaman mereka tentang dunia secara berbeda. Beberapa objek, seperti
jari dan susu ibu, dapat diisap, dan objek lain, seperti selimut yang berbulu halus
sebaiknya tidak diisap (akomodasi). Tahapan-tahapan pemikiran ini secara kualitatif
berbeda dari setiap individu. Cara anak berpikir pada satu tahap tertentu sangat berbeda
dari cara mereka berpikir pada tahap lain.
1. Perkembangan Kognitif
Piaget meyakini bahwa bahwa manusia dalam hidupnya melalui empat tahap
perkembangan kognitif. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara
berfikir khas/ berbeda. Empat tahap perkembangan kognitif itu adalah; tahap sensori
motor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.
Pada bagian ini tahapan perkembangan kognitif yang dijelaskan khusus perkembangan
kognitif untuk dua tahapan saja, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun) dan tahap
praoperasional (2-7 tahun).
1). Tahap Sensorimotor (Sensorimotor Stage)
Disebut sensorimotor karena pembelajaran anak hanya melibatkan panca indra. Anak
belajar untuk mengetahui dunianya hanya mengandalkan indera yaitu melalui meraba,
membau, melihat, mendengar, dan merasakan.
Pada permulaan tahap ini, bayi memiliki lebih dari sekedar refleks yang digunakan untuk
bekerja. Anak berusia 2 tahun memiliki pola sensori-motorik yang kompleks dan mulai
berkomunikasi dengan suatu simbol yang primitif. Tidak seperti pada tahap lainnya,
tahap sensori motorik dibagi lagi ke dalam enam subtahap, yang masing-masing meliputi
perubahan-perubahan kualitatif tahapan organisasi sensori-motorik. Keenam subtahap
perkembangan sensori-motorik adalah; (1) refleks sederhana; (2) kebiasaan-kebiasaan
pertama dan reaksi sirkuler primer; (3) reaksi sirkuler sekunder; (4) koordinasi reaksi
sirkuler sekunder; (5) reaksi sirkuler tersier, pencarian, dan keingintahuan, dan (6)
internalisasi skema.
a) Refleks sederhana (lahir sampai 1 bulan). Pada tahap ini anak Kemampuan berpikir
anak sangat sederhana, sekedar gerakan-gerakan refleks saja. Bayi dalam tahap ini dapat

langsung menghisap bila botol atau puting didekatkan.


b) Kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi sirkuler primer (1-4 bulan). Pada usia ini
Anak mulai belajar menggunakan anggota tubuhnya sendiri. Dia belajar menggunakan
anggota tubuhnya sendiri. Disebut sebagai reaksi awal karena gerakannya berulang-ulang
mengikuti pola berikut : aksi berulang aksi. Kegiatan yang berulang-ulang tersebut
menjadi perkembangan kognisi awal. Misalnya seorang bayi akan menghisap bila secara
oral atau bila secara visual diperlihatkan botol.
c) Reaksi sirkuler sekunder (Usia : 4-8 bulan). Pada tahap ini bayi semakin berorientasi
atau berfokus pada benda-benda di dunia, yang bergerak di dalam keasyikan dengan diri
sendiri dalam interaksi sensori-motorik. Pada bayi mulai menirukan tindakan senderhana,
seperti berbicara atau menarik orang dewasa, dan beberapa gerakan fisik.
d) Koordinasi reaksi sirkuler sekunder (Usia : 8-12 bulan). Pada tahap ini terjadi
perubahan yang signifikan dibandingkan dengan usia sebelumnya. Bayi pada tahap ini
dapat mengkombinasikan dan mengkombinasikan ulang skema yang telah dipelajari
sebelumnya dengan cara yang terkoordinasi. Bayi dapat melihat sesuatu benda dan
menggenggamnya secara serentak, atau secara visual memeriksa suatu mainan.
e) Reaksi sirkuler tersier, pencarian, dan keingintahuan (Usia 12-18 bulan). Pada tahap
ini bayi semakin tergugah minatnya oleh berbagai hal yang ada pada benda-benda dan
oleh banyaknya hal yang dapat mereka lakukan pada benda-benda itu. Anak
memperhatikan balok yang dijatuhkan, berputar, menabrak benda lain, berputar di tanah,
dan lain-lain. Piaget menganggap bahwa subtahap ini menandai titik awal perkembangan
keingintahuan dan minat manusia pada sesuatu yang baru
f) Internalisasi skema (Usia 18-24 bulan). Pada subtahap ini fungsi mental bayi berubah
dari suatu taraf sensori-motork murni menjadi suatu taraf simbolis, dan bayi mulai
mengembangkan kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol primitif. Bagi Piaget,
simbol ialah representasi peristiwa yang dialami bayi melalui sensoris gambar atau kata
yang terinternalisasi dalam dirinya. Dengan simbol primitif memungkinkan bayi
memanipulasi dan mentransformasikan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dengan cara
yang sederhana. Beberapa contoh, misalnya;
1). Anak mau mengambil sesuatu, lalu pakai alat lain
2). Ibu berpura-pura tidur, anak memperhatikan, lalu suatu saat anak pura-pura tidur
3). Anak mau mengambil sesuatu di meja besar. Dia tidak bisa. Dia akan memukulmukul meja dengan kedua tangannya dengan harapan barang itu bergerak mendekati dia.
Ternyata tidak bisa, lalu ia tarik taplak, sedikit demi sedikit, akhirnya ditariknya seluruh
taplak itu dan dia mendapatkan bendanya, sementara benda lain di taplak itu ikut terjatuh.
Mengacu pada deskripsi di atas, di bawah ini disajikan suatu model kurikulum yang
sesuai dengan perkembangan kognitif bayi yang dianjurkan oleh pendidik dan para
peneliti pertumbuhan bayi di lembaga La Visa Wilson (1990), seperti terlihat pada
matriks di halaman berikut.
Sub Tahap Piaget Alat Bantu Strategi Pengasuh
Refleks sederhana (lahir sampai 1 bulan) Tempat tidur yang secara visual menarik dan
adanya dinding yang dekat dengan tempat tidur, benda-benda yang dekat dengan tempat
tidur, sekali-kali musik, nyanyian, pembicaraan, dan bunyi lonceng. Kenakan pakaian
yang tidak ketat, tempat tidur yang tidak kusut, untukmemungkinkan kebebasan gerakan;

bentuk lingkungan yang meningkatkan perhatian bayi selama periode bayi terjaga.
Kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi sirkuler primer (1-4 bulan)
Wajah dan suara, mainan yang ada musiknya, mainan bergerak yang ada musiknya,
mainan yang kalau digoyang-goyangkan berbunyi; benda-benda yang dapat digenggam
bayi dan aman kalau masuk ke dalam mulut bayi; benda-benda yang dapat digenggam
dan diangkat oleh bayi. Buat perubahan dalam lingkungan bayi; bawa bayi berjalan-jalan,
pegang bayi, tempatkan bayi di dalam tempat tidur; amati, diskusikan, catat perubahanperubahan pada bayi; bunyikan mainan yang ada musiknya dan tempatkan di mana bayi
dapat melihatnya; tempatkan benda-benda di tangan bayi atau di dalam jangkauan bayi;
beri pakaian yang memungkinkan bebas bergerak; beri waktu dan ruang yang mendkung
pengulangan perilaku.
Reaksi sirkuler sekunder (Usia : 4-8 bulan) Benda-benda menarik perhatian (berwarna
kontras, yang berubah suaranya, yang memiliki variasi tekstur atau rancangan); mainan;
bola. Perhatikan gerakan yang diulang-ulang oleh bayi, seperti ketika tangan yang sedang
mengayun memukul tepi tempat tidur dan tindakan ini terus diulangi; sediakan alat bantu
yang memudahkan pengulangan semacam itu (item baru pada olahraga tempat tidur);
tempatkan balok, boneka, dan mainan lain dekat bayi sehingga benda-benda itu dapat
diraih; prakarsai tindakan lalu tunggu bayi menirunya, kemudian ulangi tindakan
(tersenyum dan membuka mulut, misalnya).
Koordinasi reaksi sirkuler sekunder (Usia : 8-12 bulan) Mainan, benda-benda yang
menarik secara visual Tempatkan benda dihadapan anak. Selanjutnya pengasuh
memainkan benda dengan cara menyembunyikan beberapa benda di bawah, belakang,
atau tempat lain yang tidak terlihat oleh anak. Katakan kepada anak; Saya menaruh
benda di atas/depan/bawah . Berikan kesempatan kepada anak untuk memainkan
benda-benda seperti yang dilakukan oleh pengasuh.
Reaksi sirkuler tersier, pencarian, dan keingintahuan (Usia 12-18 bulan) Selimut, kertas,
mainan, boneka, sendok, benda-benda yang menarik; mainan air, ember air; benda
dengan ukuran berbeda yang aman dan dapat digenggam. Mainkan permainan petak
umpet benda di dekat bayi, sembunyikan benda sementara bayi melihatnya, biarkan bayi
melihat anda memindahkan benda itu ke suatu tempat yang berbeda di bawah selimut,
lalu tanya; mana benda itu?, kau tahu di mana?; amati anak dan biarkan si anak
berusaha menemukannya. Pujilah anak atas penglihatan dan pemikirannya. Amati dan
perbolehkan bayi bermain dengan air dan mainan untuk menemukan reaksinya terhadap
air dan benda yang berada di dalam air; beri waktu dan alat bantu lainnya untuk
merangsang bayi berpikir dan mencoba gagasan-gagasan baru; tanyakan pertanyaan
tetapi jangan memberitahu jawabannya atau memperlihatkan kepada bayi; beri semangat
pada bayi untuk berpura-pura minum dengan menggunakan mainan yang ada.
Internalisasi skema (Usia 18-24 bulan) Benda-benda yang menarik perhatian (berwarna
kontras, yang berubah suaranya, yang memiliki variasi tekstur atau rancangan); mainan;
bola. Beri anak yang baru belajar berjalan waktu mencari pemecahan; beri anak waktu
untuk berpikir dan mencari benda-benda; amati tingkah laku anak dan identifikasi
gagasan-gagasan yang tampaknya penting bagi anak itu; izinkan anak melakukan
permainan yang berbeda dengan mainan dan benda itu; amati permainan anak dan

identifikasi tema-tema yang konsisten; beri pakaian dan bahan-bahan yang menolong
anak untuk berpura-pura sebagai orang lain.
2). Tahap Praoperasional (Preoperational Stage)
Tahap pra-operasional merupakan tahap awal pembentukan konsep secara stabil.
Penalaran mental mulai muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian lemah, serta
keyakinan terhadap hal yang magis terbentuk. Pemikiran praoperasional tidak lain dari
masa tunggu yang longgar bagi pemikiran operasional konkret, walaupun label
praoperasional menekankan bahwa anak pada tahap ini belum berpikir secara
operasional.
Piaget membagi tahapan praoperasional ini menjadi 2 bagian, yaitu subtahap Fungsi
Simbolis (2 sampai 4 tahun) dan subtahap Pemikiran Intuitif (5 sampai 7 tahun).
D. Perkembangan Sosio Emosional Pada Anak Usia Dini
Aspek perkembangan sosial emosional pada anak usia dini diharapkan memiliki
kemampuan dan kompetensi serta hasil belajar yang ingin dicapai adalah kemampuan
mengenal lingkungan sekitar, mengenal alam, mengenal lingkungan sosial, peranan
masyarakat, dan menghargai keberagaman sosial serta budaya yang ada disekitar anak
tersebut dan mampu mengembangkan konsep diri, sikap positif terhadap belajar,
memiliki kontrol diri yang baik dan memiliki rasa empati pada masalah orang lain.
Sesuai dengan teori Doyle, bahwa anak selain butuh kasih sayang juga membutuhkan
rasa aman. Rasa aman tersebut dicari oleh anak dari figure ayah dan ibu. Kedekatan
hubungan emosi antara anak dan orangtua sangat penting sehingga anak dapat memenuhi
kebutuhan rasa amannya. Anak yang tumbuh menjadi penakut karena anak tersebut tidak
mendapatkan rasa aman baik dari ayah, ibu atau orang dewasa lainnya. Kurangnya kasih
sayang dan perhatian juga membuat anak menjadi penakut. Menurut R.A. Thompson
(1998) anak akan dapat berinteraksi dengan baik jika ia memiliki hubungan emosi yang
baik dengan keluarga dan ia diajarkan oleh keluarganya bagaimana harus bersikap di
masyarakat kelak. Pada dasarnya, hubungan emosi dari segi keamanan yang telah dibahas
sebelumnya adalah seperti multivitamin. Dengan fungsi dapat meningkatkan kehidupan
menjadi lebih baik. Anak yang diberikan hubungan emosi yang baik akan dengan
sendirinya atau secara jaminan akan bahagia dan ketika dewasa menjadi pribadi yang
produktif.
Emosi seringkali dikaitkan sebagai dampak dari apa yang dirasakan, gap antara
kebutuhan dengan apa yang didapatkan seringkali menimbulkan emosi dan amarah.
Emosi merupakan aplikasi energi dari berpikir dan bertindak (Goleman, 1995).
Kebahagiaan, marah, takut, cemas, dan respon emosi lainnya merupakan perbuatan yang
dilakukan anak akibat ketidakpuasan atau kepuasan terhadap hidupnya. Emosi-emosi
tersebut dapat membantu anak dalam menentukan dan menjalankan tujuan hidupnya.
Secara emosi anak satu dengan anak yang lain memiliki perbedaan, hal ini tergantung
dari bagaimana orang dewasa memberikan hubungan emosi kepada mereka (J. Kagan,
1998). Semakin bertambah usia anak mereka juga berkembang dari segi pikiran, sikap

dan perasaan. Sifat temperamen pada diri anak biasanya diakibatkan karena ia dibedabedakan oleh orang dewasa. Sehingga anak akan merasa tidak diperlakukan adil, ada
yang menunjukkannya dengan amarah, ada juga yang hanya diam dan menangis.
Baik temperamen maupun kepribadian mengantarkan kita pada pemahaman mengenai
bagaimana anak merespon setiap rasa yang ada dalam dirinya. Temperamen biasanya
membantu sekali jika anak masih dalam usia bayi dan merangkak; kepribadian akan
mulai terbentuk begitu anak sudah banyak mengalami pengalaman dengan lingkungan,
dalam usia sekolah misalnya. Faktor-faktor yang Membedakan Emosi: Perbedaan jenis
kelamin, Perbedaan latar belakang keluarga dan buday, Perbedaan sosial-ekonomi
Emosi merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Menurut Goleman (1995)
emosi manusia dapat dikontrol secara efektif, dan mereka yang dapat mengontrol emosi
merupakan orang yang cerdas. Emosi merupakan suatu kecerdasan, dengan adanya emosi
kita dapat berperilaku sesuai dengan apa yang kita rasakan sehingga tujuan dan
kebutuhan saling berhubungan
Penelitian menemukan bahwa ikatan batin berperan bagi anak untuk mempertahankan
hidupnya . Dalam tahapan perkembangan selanjutnya, anak akan menjalin kepercayaan
baik dengan diri sendiri ataupun orang lain. Landasan yang kuat akan memudahkan anak
untuk beradaptasi dengan lingkungan.
1. Ethological Explanation (John Bowlby 1969)
Teori ini percaya pada peranan pengasuh (ibu, nenek, bibi, dll), konsistensi, dan
lingkungan. Pengasuh yang sering bersama anak dapat membaca tanda-tanda / respon
anak. Demikian juga lingkungan yang konsisten akan membuat anak lebih dekat dengan
orang-orang dan situasi yang selalu bersama anak.
Anak merasa lekat pada seseorang, melalui perasaannya. Kadang-kadang di lembaga
anak usia dini seorang anak lekat pada guru yang satu, tetapi tidak pada guru yang lain.
Atau mungkin pada pembantu yang satu bukan yang lain. Mungkin saja seorang anak
tidak mau sama sekali pada orang lain. Jika seseorang dekat pada seorang anak, maka
orang tersebut akan bisa membaca segala tanda dari anak. Baik saat bayi tersenyum
ataupun menangis. Misalnya : seorang bayi menangis, maka orang yang terdekat akan
mengetahui apakah tangis bayi itu tangis kelaparan, kedinginan, ketakutan, tidak nyaman,
dsb. Orang tersebut akan mudah mengenali tangis anak yang terdengar berbeda-beda,
sehingga diapun merespon dengan cara yang berbeda-beda. Dia sangat mengetahui
bahwa jika tangisnya menunjukkan rasa lapar, maka bayi tersebut langsung diam begitu
mendengar sang ibu yang sedang membuatkan air minum dan ia mendengar suara air
termos dituang ke dalam botol. Ibu mungkin merespon tangis bayi anak yang
menunjukkan rasa tidak nyaman dengan menggendongnya, atau tangis karena
mengompol dengan segera mengganti popok si bayi, dll.
2. Psychoanalytic Explanation (Sigmund Freud)

Teori ini mengatakan bahwa kelekatan anak bukan pada sesuatu yang psikis, tetapi lebih
pada makanan..Anak terikat pada pengasuh karena makanan, karena kebutuhan rasa lapar
terpenuhi Saat lahir kebutuhan dasar yang hrs dipenuhi adalah rasa lapar. Jadi dia tidak
perduli siapa yang memberikan makanan pada bayi, dia hanya perlu kebutuhan rasa lapar
dan haus terpenuhi. Teori Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan yang mendasar adalah
makanan. Lihat di panti asuhan, mereka merasa dekat dengan pengasuh yang sering
memberi makanan kepada mereka. Bayi jika tidak diberi makanan, dia akan mati. Bayi
masih bisa merasa bertahan tanpa kasih sayang asal ada makanan.
Dengan adanya attachment anak dapat membangun hubungan dari yang sederhana
sampai rumit. Anak sudah tahu cara bagiamana agar ia dapat didekati oleh orangtuanya.
Jadi antara yang psychoanality dan ethological bisa saling memahami. Freud memang
hanya pada instink. Bowlby tidak hanya pada makanan, tetapi lebih keseluruhan,
termasuk attachment. Attachment pada seorang anak yang dirasakan sejak lahir akan
turut mempengaruhi temperamen anak ketika dia dewasa. Temperamen merupakan
karakteristik bawaan yang mempengaruhi cara anak dalam bereaksi terhadap situasi
tertentu dan bereaksi terhadap lingkungannya. Adapun temperamen anak dapat dilihat
berikut in :
1. Anak mudah (Easy Child)
- memiliki mood (suasana hati) yang cenderung stabil dan positif.
- memiliki respon yang baik terhadap hal-hal baru dan perubahan yang ada.
- cepat mengembangkan pola makan dan tidur yang teratur.
- mudah menerima jenis makanan baru.
- mudah tersenyum pada orang asing.
- adaptif terhadap situasi yang baru.
- dapat menerima rasa frustrasi tanpa terlalu gusar.
- beradaptasi dengan cepat terhadap rutinitas baru dan aturan permainan yang baru.
2. Anak sulit (Difficult Child)
- mood yang mudah berubah-ubah serta cenderung negatif, misal : sering menangis
dengan keras, namun di lain waktu bisa tertawa dengan terbahak-bahak.
- kurang mampu merespon adanya hal baru dan perubahan yang ada.
- pola makan dan tidur yang kurang teratur.
- merasa curiga pada orang asing.
- bereaksi dengan rasa frustrasi melalui temper tantrum.
- adaptasi yang lama pada perubahan dan rutinitas yang baru.
3. Anak perlu penyesuaian (Slow-to-warm-up child)
- jarang bereaksi dalam emosi, baik positif maupun negatif.
- memiliki respon yang lama terhadap perubahan dan hal-hal yang baru.
- pola makan dan tidur lebih teratur dibandingkan difficult child, namun masih di bawah
easy child.
- menunjukkan respon awal yang negatif (masih tahap ringan) terhadap stimulus baru.

- secara berangsur-angsur akan menyukai stimulus baru apabila dimunculkan secara


berulang-ulang dan tanpa tekanan.
E. Perkembangan Anak Dengan Kebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak
secara umum seusianya. Anak tersebut membutuhkan metode, material, pelayanan dan
peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena anakanak tersebut mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara
yang berbeda. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan
anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama.
Hal ini dapat dimulai dengan cara penyebutan terhadap anak dengan kebutuhan khusus.
Anak-anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang karena suatu kondisi,
membutuhkan layanan pendidikan yang khusus, supaya dapat mengembangkan
potensinya secara optimal. Salah satu penyebab munculnya kebutuhan akan layanan
pendidikan khusus adalah adanya kelainan atau gangguan pada diri individu baik secara
fisik, inderawi, mental, sosial, dan atau emosi.
Exceptional Child menurut Kirk child who deviates from the average or normal child (1)
in mental characteristics (2) in sensory abilities (3) in neuromuscular or physical
characteristics, (4) in social or emotional behavior (5) in communication abilities or (6) in
multiple handicaps to such an extent that he requires a modification of school practices,
or special education services, in order to develop to his maximum capacity. (dalam
Cullata dkk. 2003). Exceptiona Child adalah mereka yang mengalami kelainan atau
penyimpangan secara signifikan dari keadaan rata-rata atau normal, baik pada aspek fisik,
inderawi, mental, sosial, dan atau emosi sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus, untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal supaya dapat
memenuhi kebutuhan dirinya dan penyesuaian terhadap lingkungan, sesuai kemampuan
atau mereka yang secara signifikan berada di luar rerata normal, pada aspek fisik,
motorik, inderawi, mental, sosial, atau emosi, sehingga memerlukan pelayanan khusus.
UU No 20 Tahun 2003 menjelaskan tentang anak berkebutuhan khusus sebagai berikut;
:
Pasal 5 Ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu, ayat (2) : warga negara yang mempunyai kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus,
ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan.
Khusus, ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus
Ragam dan jenis anak berkebutuhan khusus yang dapat dilihat pada gambar sebagai
berikut :

Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak memiliki perbedaan dalam


perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi.
Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun setiap anak mempunyai
perbedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu sebagai seorang anak. Olen karena itu jika
berhadapan dengan seorang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak,
bukan label kesulitannya, semata -mata yang dilihat dengan kata lain pendidikan melihat
anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat adanya harapan bahwa anak
akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sudut
pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak
pernah menyerah.
Pendidikan memposisikan anak sebagai pusat aktifitas dalam pembelajaran. Ketika
pembelajaran dilakukan, maka pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa
yang menjadi hambatan belajar dan kebutuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui
maka aktifitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang
anak. Bukan pada apa yang didinginkan oleh orang lain. Pendiriran seperti itu
menganggap bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasilitasi agar anak
berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang
dimilikinya. Setiap anak yang mengalami kesulitan belajar, akan menunjukkan fenomena
yang beragam (heterogen), akan tetapi untuk memudahkan dalam memahami keragaman
dalam fenomena itu, kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu
kesulitan belajar yang bersifat internal yang disebut learning disability dan kesulitan
belajar yang bersifat eksternal berkaitan dengan faktor lingkungan yang disebut dengan
learning problem.
Definisi dari Ketidak Mampuan Belajar
1. Definisi Federal :
Yang dimaksud dengan istilah-istilah ketidakmampuan belajar tertentu adalah suatu
ketidakberaturan pada satu atau lebih proses psychologikal dasar yang melibatkan
pengertian atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan, yang dapat menunujukkan
ketidaksempurnaan kemampuan untuk mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca,
menulis, mengeja atau membuat perhitungan matematik. Termasuk didalamnya adalah
kondisi-kondisi seperti kemampuan persepsi, kerusakan otak, ketidakberfungsian otak
secara minimal, dyslexia, dan perkembangan aphasia. Tidak termasuk didalamnya adalah
permasalahan belajar yang disebabkan oleh penglihatan, pendengaran, gerak, atau
keterbelakangan mental, atau gangguan emosi, atau yang disebabkan oleh
ketidakberuntungan secara lingkungan, kultur, atau ekonomi (Amandement IDEA 1997
P.L. 105-17, Juni 4, 1997, 11 star 37 [ 20 U.S.0 s 1401 (26).
2. Definisi National. Joint Commute on Learning Disabilities (NJCLD)
Ketidakmampuan belajar adalah istilah umum yang merujuk kepada kelompok heterogen
dari kekacauan yang ditunjukkan dengan kesulitan nyata pada penguasaan dan

penggunaan kemampuan mendengarkan , berbicara, membaca, menulis, menalarkan dan


matematik.
Kekacauan ini merupakan bagian dari individu, dan disimpulkan disebabkan oleh tidak
berfungsinya sistem nery pusat, dan dapat terjadi seumur hidup. Permasalahan dalam
perilaku pribadi, persepsi sosial, dan interaksi sosial dapat terjadi pada ketidakmampuan
belajar namun tidak dengan sendirinya menjadi-ketidakmampuan belajar. Walaupun
ketidakmampuan belajar dapat terjadi berdampingan dengan kondisi-kondisi cacat
lainnya (misalnya, kerusakan sensori, keterbelakangan mental, gangguan emosi yang
serius) atau dengan pengaruh luar (seperti pembedaan kultur, petunjuk yang tidak cukup
atau tidak benar), mereka bukanlah akibat dari kondisi-kondisi atau pengaruh-pengaruh
tersebut (NJCLD, 1990).
3. Kesulitan belajar adalah : Suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis
dasar dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut berupa kesulitan
mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Masalah
utamanya akibat adanya gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia
perkembangan, namun tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang
berasal dari hambatan penglihatan, pendengaran, motorik, tuna grahita, gangguan
emosional, kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi. (The United States Office of
Education, 1977 dalam Hallahan, Kauffman, LIoyd, 1985).
Sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam
kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca,
menulis, menalar, atau kemampuan dalam biding studi matematika. Gangguan tersebut
bersipat instrinsik dan disebabkan oleh adanya disfungsi sistim syaraf pusat. Meskipun
kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang
mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan emosional) atau
berbagai pengaruh lain (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat
ataupun faktoran emosi .
Lain(misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat ataupun faktor
psikologis), namun berbagai hambatan tersebut. bukan penyebab atau pengaruh langsung
(Hamill et al, 1981). Suatu kondisi kronis yang diduga bersumber pada kondisi disfungsi
neurologis, yang secara khusus mengganggu perkembangan, integrasi dan atau
kemarnpuan verbal dan atau non verbal. Kesulitan belajar ini tampil sebagai suatu
kondisi ketidak mampuan yang nyata pada orang-orang superior, yang memiliki yang
taraf inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensorik dan kesempatan
belajar yang cukup. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan
derajatnya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan,
pekerjaan, sosialisasi dan atau aktifitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan
(Association for Children and Adult with Learning Disabilities dalam Lovitt, 1989, dari
Dr. Mulyono Abdurrahman, 1995).
Karakteristik Kesulitan Belajar Khusus Adalah:

1. Disebabkan disfungsi neurologis


2. Mengalami kesulitan bidang akademik : gangguan kernampuan verbal dan non verbal :
mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis dan berhitung.
3. Kesenjangan potensi dengan prestasi.
4. Dapat diperburuk oleh faktor lingkungan
Keempat kesulitan belajar tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
Penyebab disfungsi Neurologis :
a. Motorik- kasar : misalnya keseimbangan dan koordinasi kurang baik, tonus otot kurang
memadai, gangguan koordinasi / clumsy, mengalami hemisyndrome, gangguan
motor planning.
b. Motorik halus : kesulitan melakukan gerak lingkar, cara memegan alat tulis yang
kurang baik, tekanan dan tarikan garis yang tidak tepat (kurang atau berlebihan),
gangguan mototorik mulut, keterlambatan berbicara, artikulasi berbicara kurang baik,
terlambat mengkonsumsi makanan padat.
c. Gangguan pemusatan perhatian
d. Kesulitan memahami sisi kiri dan kanan tubuh/lateralisasi
e. Kesadaran tubuh atau body image terganggu.
f. Disfungsi sensory Integration (SI), terutama input sensorik taktil/ permukaan kulit,
vestibular/ketinggian ayunan dan proprioseptif/ tekanan ke otot dan sendi-sendi.
Disfungsi neurologis harus diperiksa secara khusus olch dokter syaraf anak dan diperkuat
oleh hasiI pemeriksaan psikologi, hasil psikotes secara, menyeluruh (1Q, Grafis,
melengkapi kalimat, dsb) dan observasi selama pemeriksaan psikologis.
Keslitan bidang akademik :
a) Lambat membaca
b) Tulisan kurang baik
c) Lambat menulis
d) Secara umum Ielet / lamban kalau belajar, padahal gesit melakukan aktifitas Fisik
e) Tidak teliti
f) kurang konsentrasi
g) Sulit memahami simbol hitungan
h) Di rumah mampu mengerjakan, disekolah tidak bisa,
i) Salah melafalkan kata (berbicara /menuliskan)
j) tanggung jawab belajar sangat kurang
k) jorok dan bekerja gerasak-gerusuk
Kesenjangan potensi dan prestasi meliputi :
Semua orang di lingkungan mengakui anak memiliki sistim sensorik / fungsi indra yang
cukup dan tergolong cerdas banyak bertanya, kritis, pengetahuanan umum luas dsb,
namun prestasi dibawah rata-rata, atau sangat fluktuatif / tidak stabil.

Jika dilakukan psikotes : IQ tinggi, namun ada kesenjangan Verbal IQ dan


Performance IQ yang besar, profil tidak merata, sehingga sangat berpotensi prestasi
tidak optimal.
Faktor lingkungan yang memperburuk kesulitan belajar pada anak :
Pola asuh : otoriter (sangat keras / kaku), permisif (serba membolehkan) atau over
protective (melindungi secara berlebihan).
Kurang dilatih mandiri, sehingga kemampuan problem solving tidak sebaik
anakseusianya
Menolak anak berkesulitan belajar, diberi label negatif: bodoh, jorok, malas, nakal,
bandel, dsb.
Salah memberikan stimulasi (tidak seimbang antara kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual.
Dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa pengarahan (khas lingkungan yang miskin
status sosial ekonomi).
Memahami Kesulitan Belajar Seorang Anak
1. Kesulitan belajar internal (learning disability)
Kesulitan belajar yang bersifat internal berkaitan dengan kelainan sentral pada fungsi
otak. Disiplin ilmu pendidikan tidak mempunyai kompetensi untuk menjelaskan
bagaimana kelainan fungsi otak terjadi. Hal yang penting untuk dipahami adalah
fenomena fenomena apa yang muncul dan berhubungan langsung dengan aktifitas
belajar seorang anak. Ketika seorang anak belajar memerlukan kemampuan dalam
persepsi (Perception), baik pendengaran, penglihatan, taktual dan kinestetik, Kemampuan
mengingat (memory),proses kognitif (cognitive process) dan perhatian (attention).
Kemampuan kemampuan tersebut bersifat internal didalam otak. Proses belajar akan
mengalami hambatan atau kesulitan apabila kemampuan kemampuan tersebut
mengalami gangguan. Apabila ada seorang anak mengalami kesulitan pada keempat
aspek seperti itu, ada kemungkinan anak tersebut memgalami kesulitan internal (Learning
disability).
a. Persepsi
Prersepsi diperlukan dalam belajar untuk menganalisis informasi yang diterima. Misalnya
seorang anak diperlihatkan bentuk /h/ dan /n/ atau angka /6/ dengan /9/ anak yang
persepsi penglihatannya baik akan dapat membedakannya, sedangkan anak yang
mengalami gangguan persepsi akan sangat sulit untuk menemukan karakter yang
membedakan kedua bentuk tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi seorang
anak yang mengalami hambatan seperti ini untuk belajar membaca.
Dalam hal persepsi pendengaran, misalnya seorang anak diminta untuk mendengarkan
kata /paku/ /palu/ /batu/ /bola/ kemudian ditanyakan kepada anak tersebut, kata mana
yang bunyi akhirannya tidak sama, anak yang kemampuan persepsinya baik dapat

menemukan perbedaan itu, tetapi anak yang mengalami gangguan persepsi sangat sulit
untuk membedakannya. Kesulitan dalam persepsi pendengaran berpengaruh langsung
kepada kemampuan berbahasa (khususunya membaca).
b. mengingat (memory)
Mengingat (memory) adalah kemampuan untuk menyimpan informasi dan pengalaman
yang pernah dipelajari pada masa lalu, dan dapat dimunculkan kembali jika diperlukan.
Kemampuan mengingat ini mempunyai dua tingkatan yaitu ingatan jangka pendek (short
term memory) dan ingatan jangka panjang (long term memory). Jika seorang guru
memperlihatkan gambar gambar pada seorang anak seperti gambar buku, gambar baju,
roti, bola, dan topi, dalam beberapa detik, setelah itu anak ditanya gambar apa saja yang
dilihat, anak yang ingatannya baik akan dapat menyebutkan gambar- garibar itu kembali
dengan mudah. Akan tetapi anak anak yang mengalami kesulitan dalam mengingat
tidak dapat menyebutkannya kembali.
Mengingat sesuatu, baik yang dilihat maupun yang didengar, dalam tempo yang sangat
singkat disebut dengan ingatan jangka pendek (short term memory). Belajar sangat erat
hubungannya dengan ingatan jangka pendek. Anak yang mengalami kesulitan dalam
jangka pendek akan sangat sulit untuk menyimpan informasi atau pengalaman belajar
dalam ingatan jangka panjang. Apabila seorang anak ditanya oleh gurunya pada libur
semester lalu kamu pergi kemana? anak yang kemampuan mengingatnya baik akan
dapat menjelaskan segala sesuatu yang dialaminya ketika libur dengan tepat. Tetapi anak
yang mengalami hambatan dalam mengingat akan mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan kembali apa yang dialaminya. Kemampuan mengingat sesuatu yang
sudah ada jarak waktu (lama). Dan dapat mengungkapkan kembali pada saat yang
diperlukan disebut dengan kemampuan ingatan jangka panjang (long term memory).
Orang dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari hari antara lain karena
dapat menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang pernah dipelajarinya yang
disimpan dalam ingatan jangka panjang.
Proses belajar dan tidak efektif apabila seorang anak mengalami hambatan dalam
kemampuan mengingat baik pada ingatan jangka pendek maupun pada ingatan jangka
panjang.
proses kognitif (cognitive process)
Ketika seorang anak sedang belajar, misalnya belajar konsep bilangan maka diperlukan
kemampuan untuk menghubungkan pengertian antara lambang (simbol) bilangan dengan
kuantitas objek. Misalnya lima rumah mempunyai hubungan dengan symbol bilangan /5/.
Dua buah rumah mempunyai hubungan dengan symbol /2/. Apabila dua rumah
dikelompokkan dengan lima rumah, anak dapat memahami bahwa akan menjadi lebih
banyak rumah, yaitu /7/ rumah.
Contoh lain, katika seorang ibu memperlihatkan kepada anaknya empat buah lingkaran
yang ukurannyaberbeda beda (besar, sedang, kecil, kecil sekali). Kemudian anak
diminta untuk mengurutkan lingkaran itu secara sistematis dari yang kecil ke yang besar

atau sebaliknya. Untuk dapat melakukan tugas itu diperlukan kemampuan untuk
menghubungkan karakteristik antara lingkaran yang satu dengan yang lain dan dapat
membedakan ukurannya.
Dua contoh diatas belajar itu, pertama, memerlukan kemampuan untuk mengubah sesuatu
yang konkret ke dalam simbol yang abstrak. Seperti misalnya dua rumah (konkret) dapat
diubah dan diwakili oleh symbol /2/ dalam bentuk yang abstrak. Bunyi diubah menjadi
simbol grafem (alphabet). Aktifitas seperti ini dinamakan proses representasi mental
(mewakilkan objek ke dalam simbol). Proses seperti ini membuat belajar menjadi sangat
efektif. Kedua, belajar memerlukan kemampuan untuk menganalisis seperti misalnya
rnembedakan objek, menemukan atribut yang sama dari objek, sehingga dapat
mengelompokkannya, melihat hubungan antara objek yang satu dengan yang lain (logika
dan penalaran). Proses seperti dinamakan proses kognitif (terbentuknya pengertian dalam
pikiran). Anak yang mengalami kesulitan dalam proses kognitif akan sangat sulit untuk
memahami sesuatu dan tidak akan terbentuk sebuah pengertian.
Perhatian (attention)
Perhatian (attention) adalah kemampuan seorang anak dalam memilih stimulus
(ransangan) tertentu, mana yang menurutnya penting dan mana yang tidak penting.
Apabila seorang anak berhadapan dengan beberapa stimulus secara bersamaan, ia
memilih salah satu diantaranya, sehingga ia memusatkan perhatian hanya kepada
stimulus yang dipilihnya.
Perhatian (attention) sangat penting bagi seorang anak untuk dapat belajar. Hampir tidak
mungkin proses belajar akan terjadi pada seorang anak apabila memiliki kesulitan untuk
memperhatikan objek atau kegiatan yang sedang dipelajarinya. Anak yang tidak dapat
memilih stimulus mana yang penting, akan memberikan respon kepada semua stimulus
dengan intensitas yang sama. Oleh karena itu anak seperti ini tidak bisa fokus hanya pada
satu objek atau kegiatan, tetapi perhatiannya tertuju kepada semua objek yang sedang
dihadapi (inattention).
2. Kesulitan Belajar Berkenaan Dengan Faktor Lingkungan (Eksternal)
Kesulitan belajar yang bersifat eksternal (learning problem), sangat terkait dengan situasi.
Pertama, situasi diluar dan sebelum sekolah. Kedua, terkait dengan situasi di sekelolah.
a. Situasi di luar dan sebelum sekolah
Aktifitas anak dirumah berpengaruh terhadap perkembangannya. Apabila lingkungan
belajar memberikan peluang yang cukup bagi seorang anak untuk mendapatkan
pengalaman belajar seperti mendengar orang tuanya membacakan dongeng, terbiasa
menjawab pertanyaan dari cerita yang telah didengarnya, mulai mengenal buku
dibiasakan untuk mengemukakan secara lisan apa yang diinginkan kepada orang tuanya,
dan ada kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan, sehingga memungkinkan
seorang anak memiliki keterampilan pra akademik. Keterampilan akademik merupakan
prasyarat untuk belajar secara kademik. Keterampilan anak dalam mendengarkan
misalnya merupaka prasyarat untuk belajar membaca. Anak yang memiliki keterampilan

mendengar dengan baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca.
Sebaliknya anak yang tidak memiliki keterampilan mendengar dengan baik, akan
mengalami hambatan ketika belajar membaca. Anak yang meiliki keterampilan pra
akademik akan lebih cepat dalam belajar secara akademik di Sekolah Dasar, dan
cenderung memiliki rasa percaya diri dan motivasi yang lebih baik dibandingkan dengan
yang tidak (solyster,. 2004).
Sering ditemukan anak yang mengalami masalah dalam belajar (learning problem) di
sekolah dasar terkait dengan tidak dikuasainya keterampilan pra akademik. Tidak jarang
anak seperti ini memiliki penghargaan diri yang rendah, dan meimiliki perasaan bahwa
sekolah bukan tempat yang menyenangkan. Akaibat yang mungkin muncul adalah anak
mengalami kesulitan dalam perilaku.
b. Situasi Di Sekolah
Proses belajar di sekolah terkait dengan elemen kurikulum, dan metode pembelajaran.
Sekolah sekolah kita pada umumnya sangat kuat berpatokan pada pencapaian target
kurikulum dengan muatan yarg sangat banyak. Oleh karena itu ada kecenderungan bagi
guru untuk selalu mengukur keberhasiian program pembelajaran dilihat dari tercapainya
target kurikulum. Namun ada kenyataan lain, yang hampir luput dari perhatian guru yaitu
kurangnya kesempatan untuk mengecek apakah setiap anak sudah sampai pada tingkat
pemahaman konsep? Dan inilah yang tidak banyak diketahui oleh guru, sehingga jika ada
anak yang ternyata belum tuntas dalam memahami satu konsep pada topik tertentu,
sementara pembelajarar terus melangkah ke topik berikutnya yang lebih tinggi, maka
sudah dapat dipastikan anak akan mengalami kesulitan untuk memahami topik yang baru
tersebut.
Apabila situasi seperti ini berlangsung terus menerus, maka akan ada anak yang
mengalami kesulitan yang bersifat kumulatif. Hal seperti ini sering terjadi pada pelajaran
matematika dan bahasa. Sebagai contoh, seorang anak kelas satu Sekolah Dasar belum
tuntas dalam memahami konsep bilangan, pada saat itu guru sudah melangkah ke topik
tentang penjumlahan, maka sudah dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam
penjumlahan. Jika konsep penjumlahan belum dikuasai tetapi pembelajaran sudah
melangkah ke topik tentang pengurangan, demikian seterusnya. Anak tidak pernah
mengalami konsep dengan tuntas. Masalah belajar seperti Ini sangat banyak ditemukan di
sekolah sekolah kita.
Menggali Kesulitan Belajar bagi Anak
Kesulitan belajar yang bersifat internal (learning disability) dan kesulitan belajar yang
bersifat eksternal (/earning oroblem) menunjukkan gejala yang hampir sama yaitu adanya
kesulitan dalam belajar membaca/menulis, kesulitan dalam belajar matematika dan
adanya kesulitan dalam perilaku. Oleh karena itu untuk mengenal adanya kesulitan
belajar dapat dilakukan dengan mencari kaitan antara keterampilan akademik
(membaca/menulis dan matematika) dengan keterampilan pra akademik (kesadaran
linguistik dan keterampilan proses kognitif dasar) melalui proses asessment.

Adapun jenis kesulitan belajar adalah sebagai berikut :


Kesulitan belajar umum:
Tidak mampu belajar pada semua aspek perkembangan : fisik, kognisi, sosial,
emosional, kemandirian dan spiritual.
Kesulitan belajar akibat tidak berfungsinya salah satu indra:
tuna rungu, tuna. netra, tuna daksa.
Kesulitan belajar akibat salah perlakuan atau kemiskinan lingkungan : kurang stimulasi,
salah pola asuh,kemiskinanekonomi atau budaya.
Kesulitan belajar khusus.
Pembelajaran Pada Anak Yang Mengalami Kesulitan Belajar.
Dalam melakukan intervensi pada anak yang mengalami kesulitan belajar harus selalu
dimulai dengan melakukan asessment, Asessment dilakukan untuk mengetahui pada
aspek apa anak itu mengalami kesulitan, apa saja yang sudah dikuasai pada saat ini,
apakah kesulitan itu terkait dengan keperampilan pra akademik.
Apabila proses asessment sudah dilakukan dan diperoleh data yang akurat tentang
kesulitan belajar anak langkah berikutnya adalah menyusun program intervensi dan
melakukan proses pembelajaran. Terdapat empat langkah pembelajaran yang bersifat
hirarkis yaitu : (1) pembelajaran pada tahap konkret, (2) pembelajaran pada tahap semi
konkret, (3) pembelajaran pada tahap semi abstrak dan (4) pembelajaran pada tahap
abstrak.
Melalui keempat tahapan belajar yang sangat sistematis seperti itu diharapkan anak yang
mengalami kesulitan belajar dapat menguasai konsep dan prinsip secara tuntas dari yang
dipelajarinya. Melalui proses pembelajaran seperti ini secara kognitif anak belajar secara
universal yaitu memahami konsep abstrak melalui proses yang konkret dan
mengkonkretkan konsep yang abstrak. Apabila anak sudah biasa berfikir bolak balik dari
konkret ke abstrak dan dari abstrak ke konkret, berarti konsep sudah dapat dikuasai
dengan tuntas, dan anak sudah biasa dibawa ke topik lain yang lebih tinggi (ada di
atasnya).
Kesalahan yang sangat fatal jika melakukan pembelajaran pada anak yang mengalami
kesulitan belajar langsung pada tahap abstrak. Hal seperti ini sering dijumpai di sekolah
sekolah kita, dimana guru mengajar tanpa menggunakan media/alat peraga untuk
mengkonkretkan konsep yang abstrak. Guru lebih banyak berbicara ketimbang mengajak
anak untuk melakukan tindakan secara konkret. Kenyataannya anak lebih banyak
diajarkan untuk menghafal fakta bukan untuk memahami konsep dan prinsip.
Penyebab Anak Berkesulitan Belajar :
Saat janin masih dalam kandungan, ibu mengalami peningkatan tekanan darah
mengalami infeksi akut atau kronik, mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman
beralkohol atau mernyalah gunakan obat-obatan maupun kekurangan gizi.

Saat bayi dilahirkan : spontan tapi tidak segera menangis, mengalami kesulitan hingga
perlu pertolongan, misalnya lahir alat atau dengan operasi.
Setelah dilahirkan selama 4 minggu pertama, anak mengalami peningkatan kadar
bilirubin / kuning dalam darah, mengalami demam tingg ataupun kejang atau berbagai
kejadian lain yang rnengganggu fungsi otak.
Faktor keturunan atau genetik.
Disamping penyebab diatas, masih ada pendapat lain yang menyatakan bahwa penyebab
kesulitan belajar juga bisa disebabkan oleh :
1. Ketidakberfungsian Minimal Otak(minimal brain dysfunction)
Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu kondisi gangguan
syaraf minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini bisa termanifestasi dalam berbagai
kombinasi kesulitan seperti: persepsi konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian
perhatian. inpulse (dorongan), atau fungsi motorik.
Sekalipun simtom seperti itu bisa mulai tampak pada usia taman kanak- kanak, tetapi
untuk anak tertentu mungkin belum tampak pada saat anak memasuki sekolah dasar.
Anak-anak yang mengalami ketidakberfungsian otak minimal mungkin menampakkan
berbagai simptom. Mereka menghadapi kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti
membaca, mengeja, dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun
abstrak; performanya cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi dalam bidang tertentu
dan rendah dalam bidang lainnya. Mereka sering menunjukkan gejala kurang mampu
memusatkan perhatian, ketidakstabilan emosi dan sikap permusuhan.
Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal ialah ;
a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep
Kelemahan dalam membedakan ukuran.
Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah
Kelemahan tilikan ruang.
Kelemahan orientasi waktu.
Kelemahan dalam memperkirakan jarak.
Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan.
Kelemahan memahami keutuhan.
b. Gangguan bicara dan komunikasi
kelemahan membedakan stimulus auditif
perkembangan bahasa yang lamban
Seringkali Kehilangan pendengaran
Seringkali berbicara tak teratur.
c. Gangguan fungsi motorik
Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.
Hiperaktivitas.
Hipoaktivitas.

d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik


Ketidakcakapan membaca.
Ketidakcakapan berhitung.
Ketidakcakapan mengeja.
Ketidakcakapan menulis dan menggambar.
Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.
Kebimbangan memahami instruksi.
Karakteristik emosional
Impulsif.
Eksplosif.
Kelemahan kendali ernosi dan dorongan.
Toleransi rendah terhadap frustrasi.
Gangguan proses berpikir
Ketidakcakapan berpikir abstrak.
Umumnya berpikir konkret.
Kesulitan membentuk konsep.
Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.
Keterbatasan rentang memori.
Seringkali berpikir autistik.
2. Aphasia
Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal menguasai ucapan-ucapan
bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3;0 tahunan, Ketidakcakapan bicara ini tidak
dapat dijelaskan karena faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara,
atau faktor lingkungan. Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang
cukup kompleks. Secara garis besar simptom aphasia dapat digolongkan kedalam tiga
karakteristik utama berikut ini.
a. Receptive aphasia
Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.
Tidak dapat melacak arah.
Kerniskinan kosakata.
Tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar.
Tidak dapat memahami apa yang dia baca.
b. Expressive aphasia
jarang bicara di kelas.
Kesulitan dalam melakukan peniruan.
Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.
jarang menampilkan gesture (gerak tangan). Ketidakcakapan menggambar dan menulis.
c. Inner aphasia
Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit berpikir abstrak.
Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan
Lamban merespon.

3. Dyslexia
Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis lain gangguan belajar.
Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam dunia medis tetapi saat ini digunakan
pada dunia pendidikan dalam mengidentifikasi -anak berkecerdasan normal yang
mengalami kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum yang
sering ditampilkan anak disleksia ialah:
Kelemahan orientasi kanan-kiri.
Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti dia dibaca aid.
Kelemahan keterampilan jari.
Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.
Kelemahan memori.
Kesulitan auditif.
Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan kembali objek, kata, atau
huruf.
Dalam membaca keras tidak mampu menkonversikan simbol visual kedalam simbol
auditif yang sejalan dengan bunyi kata secara benar. Kata yang diucapkan tidak sesuai
dengan apa yang dilihatnya.
4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik
Kelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk kepada masalah yang
sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi tanpa mengaitkan dengan aspek motorik.
Persepsi itu sendiri berfungsi membedakan stimulus sensoris, yang pada gilirannya harus
diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna. Seorang anak membedakan dan
menafsirkan cpek sebagai suatu kesatuan. Akan tetapi jika kelemahan perseptual-motorik
itu terjadi, integrasi antara persepsi clan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini
menjadikan anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu
menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan bahkan anak tidak
dapat mendengar dan melihat secara normal. Biasanya anak yang mengalami gangguan
perseptual motorik ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menyatakan ide.
Gangguan yang Umum Diderita Penyandang Kesulitan Belajar:
1. Gangguan aktifitas motorik.
Empat gangguan motorik yang khas : hiperaktifitas, hipoaktifitas, inkoordinasi dan
perseverasi.
Gangguan motorik hiperaktif : secara konstan sibuk bergerak, tidak mampu duduk
dalam jangka waktu pendek tanpa menggerakkan kaki, memainkan pencil atau memutarmutarkan kursinya, cenderung untuk berbicara atau mengobrol terus dan sering kurang
memperhatikan.
Gangguan motorik hipoaktif : cenderung terlihat lamban, kurang memberikan reaksi,
malas dan lesu.
Gangguan motorik Inkoordinasi : ditandai dengan gejala kejanggalan atau kekakuan
fisik dan atau kemiskinan integrasi motorik.

Gangguan motorik perseverasi : kecenderungan untuk berperilaku secara otomatis dan


sering tanpa sengaja dan dapat diobservasi dalam hampir keseluruhan perilaku ekspresif,
seperti bicara, menulis, membaca, dan menunjuk.
2. Gangguan persepsi
Yaitu gangguan dalam persepsi pendengaran dan penglihatan, Mereka memiliki indra
yang normal, namun otaknya tidak mampu menginterpretasikan secara tepat apa yang ia
dengar dan atau dilihat, sehingga berbagai problem dalam pengurutan dan diskriminasi.
Gangguan visual motor : kurang memiliki kemampuan koordinasi antara sistem visual
dan sistem motorik.
Gangguan persepsi visual: kurang memperkirakan antara ukuran dan jarak, karena kurang
mampu mengkombinasikan beberapa sumber informasi untuk membuat perkiraan.
3. Gangguan perhatian
Ada dua dangguan perhatian yaitu : ketidak cukupan perhatian seperti distraktibilitas atau
rentang perhatian pendek dan perhatian yang berlebihan.
Gangguan perhatian disebabkan karena mereka tidak mampu membuat dan memelihara
penyesuaian positif terhadap stimulus yang relevan dan penyesuaian negatit terhadap
stimulus yang tidak relevan serta ketidak mampuan otak untuk mengintegrasikan
masukan dari satu atau lebih modalitas sensorik.
4. Gangguan Emosional
Meski cerdas, tenang dan patuh, tetapi pemimpi siang.
Lekas gugup dan nervous.
tidak dapat berkonsentrasi untuk beberapa menit, lompat dari satu hal ke hal lain,
kurang memiliki kontrol diri, sulit bekerja sama dengan anak lain dan cenderung
mengganggu di kelas.
5. Gangguan simbolisasi.
Simbolisasi adalah kemampuan tertinggi dari bentuk aktifitas mental, termasuk penalaran
kongkrit maupun abstrak yang sangat mendasari anak dalam perolehan ketrampilanketrampilan dasar belajar.
Proses simbolisasi dapat dibedakan menjadi reseptif simbolik dan ekspresif simbolik.
Aktifitas reseptif simbolik terbagi atas reseptif auditori dan reseptif visual, sedangkan
ekspresif simbolik dibagi dalam ekspresif vokal dan ekspresif motorik.
6. Gangguan Mengingat.
Gangguan mengingat disebabkan ketidak mampuan anak untuk mendiskriminasikan
secara baik perbedaan-perbedaan antara bentuk orthographic (terutama yang
homonim / sebunyi) yang digunakan dalam membaca dan menulis serta bunyi yang
digunakan dalam berbicara. Akibatnya mereka mengalami kesulitan yang
berkepanjangan.

Gangguan mengingat terjadi baik pada tahap assimilation (pemasukan pecan /


informasi dalam ingatan), storage (penyimpanan informasi) atau retrieval
(pengingatan kembali) dan berhubungan erat dengan proses penglihatan, pendengaran
dan proses belajar lainnya. Semua karakteristik gangguan di atas tidak harus muncul dan
menyertai anak berkesulitan belajar Kebanyakan penyandang kesulitan belajar
mengalami kegagalan yang nyata dalam belajar akademik dalam satu atau dua bidang
akademik, tetapi jarang dalam keseluruhan bidang akademik. Segera kuiljijngi klinik
penazganan terpadu, semua aspek yang bcn-nasalah ditangard secara, komprehensif dan
terkoordinasi. Bagi orang tua yang memiliki anak berkesulitan belajar, apalagi yang
disebabkan oleh neurologist yang akibatnya sangat kompleks, maka segera kunjungi
klinik penanganann terpadu semua aspek yang bermasalah agar ditangani secara
komprehensif dan terkoordinasi serta mencari sekolah yang dapat memberikan metode
pengaiaran secara fleksibel dan memiliki strategi untuk membantu menangani anak
berkesulitan belajar.
Perlu memaharni dan menstimulasi semua aspek perkembangan (pendekatan holistik),
yaitu :
Motorik/gerakan kasar dan motorik/gerakan halus
Kognisi
Bahasa
Sosial
Emosional
Spiritual.
Dan hal di atas terkait erat dengan faktor yang mempengaruhi belajar :
Demonstration (dicontohkan)
Engagement (dialami)
Encouragement (didukung)
Bagi orang tua jika mencurigai bahwa adanya tanda kesulitan belajar/disfungsi neurologis
pada anaknya untuk segera :
1. Kunjungi klinik pengembangan dan perilaku anak secara terpadu :
Ikuti semua prosedur dan bersabar jika periksaan memakan waktu cukup lama : kehatihatian dalam menentukan diagnosis sangat berperan dalam ketepatan memberikan
penanganan.
Tanyakan secara rinci pada saat ditentukan diagnosis dan merancang terapi
Jika harus dilakukan terapi : rutin serta lakukan saran-saran di rumah.
Pahami jika jenis terapi tidak sesuai dengan keluhan (misalnya kesulitan berbicara,
ditangani dengan terapi okupasi, ADHD dengan terapis sensori motor, sebab yang
diperbaiki fondasi neurologisnya dulu).
Evaluasi psikologis penting rutin dilakukan, sehingga dapat terpantau semua kegiatan
terapi yang dilakukan (termasuk kerjasama dengan dokter, terapis, sekolah).
2. Mencari sekolah.dengan metoda pembelajaran yang fleksibel / strategic :
memiliki sarana bantuan tenaga paedagog,
Memiliki ruang belajar khusus

Guru dapat diajak kerjasama : bersedia melakukan saran-saran dari orang tua, psikolog
maupun para terapi
Evaluasi Psikologis bagi Anak Penderita Berkesulitan Belajar
1. Pengambilan Anamnesa
Riwayat kehamilan
Riwayat kelahiran
Riwayat pasca kelahiran
Riwayat Perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, social emosi,dan
dorongan
Riwayat Pengasuhan
Riwayat Pendidikan
Riwayat Kesehatan
Kebiasaan sehari-hari
Keadaan keluarga
Penelusuran kemungkinan adanya gangguan sensori motorik dan disfungsi integrasi
sensorik.
2. Pengambilan data
Usia 0-3 tahun : Test Perkembangan : mengukur motorik kasar, motorik halus, persepsi,
bicara, pengertian bahasa
Usia 3-4 tahun : Test Kecerdasan Stanford Binet.
uUsia 4-6 tahun : Test kecerdasan Wechsler Primary Preschool Scale of Intelligence
(WPPSI), serta Test Frostig : mengukur persepsi visual (bentuk, ruang) dan koordinasi
visual motorik-, serta tes grafis.
Usia 6-12 talimi : Test kecerdasan weshler Intelligence Scale for Children (WISC) serta
Test Frostig dan atauTest Visual Motor Inlegration (VMI) mengukur persepsi visual
(bentuk, ruang) dan koordinasi visual motorik, tes grafis atau melengkapi kalimat bila
diperlukan.
3. Observasi :
Status Praesens : kondisi fisik, ciri khas fisik yang ditampilkan, sikap tubuh.
Tingkah laku : Kemampuan bekerja sama, kecepatan dalam memahami instruksi,
kemampuan berbicara, artikulasi pengucapan, pengendalian diri, atensi dan konsentrasi,
sistimatika bekerja, kecepatan dalam bekerja, posisi tubuh saat bekerja, kontrol gerakan
tangan serta kualitas motorik.
Pada penderita berkesulitan belajar penampilannya terkesan kurang rapi. Kemampuan
kerjasamanya kurang baik, pengambilan data kadang dilakukan dalam waktu lebih dari
satu kali pertemuan. Sikapnya kurang tenang, perhatiannya mudah dialihkan, posisi tubuh
seringkali kurang tegak, dan sering bergerak-gerak. Cara kerjanya kurang sistimatis,
terburu-buru, sering ditemui gangguan dalam mengerjakan tugas. Mereka juga banyak
yang memiliki cara memegang alat tulis yang kurang baik, kontrol gerakan tangannya
kurang memadai, tekanan garis kadang terlalu lemah atau terlalu kuat, garis
bergelombang atau putus-putus, secara umum kualitas pekerjaannya tampak kurang rapi.

Pada anak-anak yang mengalami gangguan persepsi seringkali kertas yang di tulis turut
diputar-putar atau dimiringkan.
Merujuk ke ahli lain , baik dokter (spesialis syaraf, spesialis anak, spesialis jiwa, atau
dokter umum yang telah terampil dalam memeriksa kasus kesulitan beiajar) serta tim
terapis (Remedial, Setisory Motor dan Occupational).
Usaha yang Dapat Dilakukan oleh Orang Tua
Penderita kesulitan belajar membutuhkan penanganan yang terintegrasi, baik darI
penanganan secara neurologis, maupun psikologis. Semakin dini penanganan ini
dilakukan, maka semakin besar kemungkinan berkembang kearah yang lebih baik
mengingat pada masa-masa awal kehidupan, otak anak senang berkembang dengan
sangat pesat.
Adapun usaha yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah .
Pengaturan dalam jadwal kegiatan : Prisip 3 R (Routine, Regular, Repetition)
Hal yang sangat menonjol dari penderita berkesulitan belajar adalah kesulitannya dalam
mengorganisasikan / mengatur sesuatu. Mereka umumnya tumbuh menjadi anak yang
kurang dapat mengatur diri, sehingga tergantung pada lingkungan untuk membentuk
struktur dalam dirinya. Mereka membutuhkan rutinitas dalam kegiatan sehari-harinya
yang sangat ketat. Ia membutuhkan pengerjaan aktifitas yang teratur (regular), yang
membentuk rangkaian kegiatan yang sama dan berulang dari hari ke hari. Dengan
perkataan lain, apa yang dilakukan jam 7 pagi pada hari ini, maka kegiatan sama pula
yang harus dilakukan keesokan, harinya pada jam yang sama. Setiap hari kegiatannya
harus dibagi kedalam kegiatan yang lain, seperti : bangun tidur, mandi, makan, bermain,
mengerjakan pekerjaan rumah (PR), menonton televisi, belajar, bersantai tidur lagi. Ia
harus didukung untuk sedapat mungkin melakukan aktifitasnya dengan mengikuti jadwal
yang berlaku.
Pengaturan dalam membantu pemusatan perhatian
Mengatasi mudahnya teralihkan perhatian anak (distractible), maka syarat utama adalah
hindarkan anak dari hal yang dapat mengganggunya. Bila ia mengerjakan pekerjaan
rumah (PR), usahakan mengerjakan di ruang tersendiri yang terbebas dari gangguan
(misalnya gambar-gambar, acara televisi, dering telepon ataupun suara radio). Di meja
belajarnya usahakan tidak ada benda, selain yang akan ia gunakan untuk belajar.
Lingkungan rumah juga usahakan rapi dan teratur.
Pengaturan dalam waktu bekerja
Sebetulnya jika belajar tanpa teralihkan perhatiannya, maka ia dapat belajar dalam waktu
45 menit. jika la belajar dalam waktu yang lebih lama, maka kurva belajarnya akan
melemah dan kemampuan untuk mempertahankan materi pelajaran akan menurun drastis.
Dengan, demikian usahakan waktu belajarnya dilakukan secara singkat, berilah waktu
untuk beristirahat, kemudian dilanjutkan dengan belajar lagi. belajar dengan periode-

periode waktu yang singkat akan lebih efekif dari pada harus belajar terus menerus dalam
waktu yang lama.
Pengaturan dalam cara bekerja
Anak berkesulitan belajar, umumnya belajar dengan cara yang lain dibanding anak-anak
pada umumnya. Banyak anak yang lebih mampu berpikir dengan cara melihat gambar,
sehingga ia harus memvisualisasikan materi yang akan dipelajarinya. Saat pertarna kali ia
membaca pelajarannya, seakan-akan ia hanya melihat sebuah gambar yang besar. Dengan
membaca 3 atau 4 kai , baru la akan mampu untuk memahami secara rinci tiap bagian
pelajaran dengan baik. Selanjutnya mintalah la untuk menuliskan atau menggunakan
tanda pada bagian-bagian yang penting.
Tehnik visualisasi anak dapat dibantu dengan pembuatan kolom, grafik dan tabel,
sehingga materi pelajaran yang sulit dapat lebih cepat difahami, karena disajikan dengan
lebih sederhana. Bila seorang anak penderita kesulitan dapat menggunakan kekuatan
visualnya dengan baik, maka la akan dapat menyerap sejumlah informasi dalam waktu
yang sangat singkat.
Pengaturan dalam pengelolaan emosi
Sebaiknya orang tua menyadari bahwa kesulitan yang dialami anak bukan sesuatu yang
diinginkannya, melainkan akibat kurang berfungsinya perkembangan syaraf anak. Anak
akan merasa lebih diterima bila ia merasa dimengerti.
Carilah informasi mengenai kelebihan dan kekurangan anak. Dengarkan baik-baik
keterangan dari para ahli yang menanganinya, termasuk dari gurunya. Pemahaman yang
lebih baik akan kondisi anak akan mengurangi terjadinya konflik antara orang tua dengan
anak
Bersikap empati terhadap perasaan anak, terhadap apa yang ia takuti dan ia
khawatirkan, sehingga akan memudahkan anak untuk mengntasi perasaan-perasaannya.
Katakan berulang kali bahwa orang tua memahami kesulitannya. Anak-anak biasanya
memerlukan pernyataan ini untuk menciptakan rasa aman dalam dirinya.
o Berilah kesempatan untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat. Penderita kesulitan
belajar dengan fluktuasi emosinya , akan memerlukan katarsis untuk meredakan gejolak
perasaannya. Beri tahu tempat dan cara yang tepat untuk berteriak atau memukul.
Ajarilah bahwa mengekspresikan kekecewaan itu adalah hal yang lazim, asalkan
dilakukan dengan cara yang tepat.
o Berilah pujian dan pernyataan persetujuan bila anak melakukan sesuatu yang baik.
Pernyataan-pernyataan positif akan membantu mengembangkan konsep diri yang baik.
o
Pengaturan dalam pernbentukan/perubahan perilaku (Metode ABC Analysis )
Merupakan suatu pendekatan perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku yang tidak
diiginkan dari anak penderita berkesulitan belajar. Konsep pendekatan ini adalah :
kebanyakan perilaku dipengaruhi oleh kejadian yang mendahului /Antecendent (A), yang
terjadi sebelum terjadinya perilaku / Behaviour (B) dan akan mengakibatkan suatu

konsekuensi/Consequent (C)., Terapis akan menanyakan pada orang tua dan mencatat
kejadian-kejadian yang terjadi terutama pada perilaku yang tidak diinginkan. Kemudian
terapis dan orang tua mempelajari bentuk dari pola perilaku, yang dapat menampilkan
perilaku yang tidak diinginkan dalam situasi tertentu.
Perilaku yang tidak diinginkan itu dapat terjadi dalam tempat spesifik tertentu; kapan
terjadinya, dan sebagainya.
Gambaran yang jelas dari apa yang anak lakukan akan menolong terapis untuk mengerti
apa yang dialami anak dan orang tuanya.
Orang tua juga akan ditanyakan dan mencatat kejadian-kejadian yang terjadi mengikuti
perilaku anak.
Hal ini akan mendorong orang tua untuk memikirkan akibat dari perilaku itu dan
anakpun memahami akibat dari setiap peril akunya.
Terapis dan orang tua akan bersama-sama mencoba merubah kejadian sebelum dan
sesudah perilaku yang tidak
diinginkan terjadi. Perubahan ini akan menghasilkan suatu perilaku yang baik
menggantikan perilaku yang buruk.
Metode penguat tingkah laku yang positif Reaksi terhadap suatu rangsangan akan lebih
kuat jika terdapat penguat pada tingkah lakunya. Metode ini disebut sebagai tehnik
Positive Reinforcement.
Pada metode ini orang tua perlu menjelaskan secara spesifik perilaku anak yang
diharapkan dan tidak diharapkan. Hindari konsep anak yang baik dan anak nakal, tetapi
gambarbarkanlah seperti contoh di bawah ini:
Ayah senang kamu mau membagi permen pada adikimu.
Ibu suka kamu mau membereskan mainanmu sebelum ayahmu datang.
Saya tidak suka kamu teriak-teriak pada waktu antri di supermarket tadi siang.
Dengan demikian orang tua perlu memberikan komentar pada perilaku anak, sehingga
anak mengerti apa yang diharapkan dari mereka. Teragkanlah pada anak konsekuensi dari
perilaku yang baik, sehingga anak akan menyadari apa yang akan ia dapatkan bila la
berperilaku baik.
Dalam hal ini orang tua perlu memberi penguat atau hadiah pada perilaku anak yang
diinginkan, sehingga anak percaya bahwa ia dapat mencapai suatu keberhasilan. Pada
kasus-kasus tertentu jangan perdulikan tingkah laku anak yang tidak diinginkan, sehingga
akan lebih mendorong anak untuk berlaku dengan cara yang akan mendapatkan penguat.
Penguat atau hadiah sebaiknya diberikan dengan segera setelah perilaku yang diinginkan
terjadi. Anak-anak penderita kesulitan belajar cenderung tidak sabar dan impulsif,
sehingga menunggu terlalu lama akan menyulitkannya dan akan menguranngi
kesempatan untuk membentuk perilaku yang diinginkan.
Metode Penurunan perilaku yang tidak diinginkan.
Metode pertama adalah dengan pemberian hukuman. pemberian hukuman (terutama
dalam bentuk hukuman fisik), hanya akan mengurangi perilaku untuk semantara. Adapun

hukuman yang keras, menyakitkan dan berulang-ulang akan membuat situasi jadi tegang
dan penuh kebencian, sehingga sangat membahayakan kepribadian anak. Untuk alasan ini
metode dengan pemberian hukuman sangat jarang digunakan dalam program terapi
penderita berkesulitan belajar.
Metode kedua adalah Time Out. Metode ini dilakukan dengan cara memindahkan anak
dari tempat dimana perilaku yang anak inginkan terjadi dan membuat anak melewatkan
waktu di tempat yang tidak menarik baginya, tetapi aman. Waktu yang dilewatkan harus
diperhitungkan secara adil (sesuai usia anak) sehingga tidak berlebihan, agar anak juga
merasa diperlakukan dengan baik. Biasanya kemudian anak menghitungkan perilaku
yang tidak diinginkan dengan metode ini. Bila perilaku tersebut diulang lagi, maka time
out harus diberIakukan lagi.
Strategi Sekolah Bagi Penderita Berkesulitan Belajar
Sesuai kemampuan
Kelas yang dimasuki harus benar-benar sesuai dengan kemampuannya, sehingga
memungkinkan anak untuk dapat mencapai keberhasilan yang sama dengan temantemannya.
Struktur yang baik
Dengan disiplin yang tegas dan aturan-aturan yang jelas, anak akan benar-benar
mngetahui apa yang diharapkan sekolah darinya. Anak mengetahui bahwa ada aturan.
yang selalu memantaunya, sehingga bila ia lalai akan ada teguran / konsekuensi.
Guru yang simpatik dan hangat
Dalam mengajar guru sebaiknya tegas tetapi tidak otoriter, sehingga tetap dapat
menampilkan sikap yang simpatik. Hal ini akan membuat anak merasa segan, tetapi
memiliki hubungan yang dekat. Konsep diri yang kurang balk membuat penderita
berkesulitan belajar sangat menyukai pengakuan dan perhatian dari seseorang
Jumlah murid yang sedikit.
Kelas yang kecil akan sangat dibutuhkan bagi penderita berkesulitan belajar, mengingat
mereka membutuhkan perhatian murid dikelas bersifat individual. Banyaknya murid
dikelas sebaiknya berkisar antara 10 s/d 20 orang.
Menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan Sensory Integration/ si anak.
Jika anak tidak mau bekerja sama off, maka atas saran terapis okupasinya ia dapat
diberi stimulasi SI tertentu agar anak mau bekerja sama dengan lebih baik, baik dengan
pekerjaan maupun dengan lingkungannya.
Menyediakan sarana remedial

Cara yang paling baik adalah mengambil anak dari kelas untuk mengerjakan tugastugas yang sulit dilakukan di tempat tersendiri kemudian kembali bergabung dengan
teman-temannya dan melanjutkan pelajaran lain. Banyak sekali anak penderita
berkesulitan belajar yang tergolong cerdas bahkan berbakat, sehingga sangat
menguntungkan bila di sekolah terdapat sarana remedial yang terintegrasi dengan sistem
sekolah.
Fleksibel
Banyak penderita berkesulitan belajar yang mengalami kesulitan pada saat melaksanakan
ulangan, mengingat la mengalami kesulitan dalam mengatur, merencanakan dan
menentukan dengan cepat mana hal yang penting dan yang tidak penting.
Di samping itu kesulitannya dalam menulis dan lambatnya dalam memproses informasi
seringkali menghasilkan prestasi di bawah kemampuannya. Dengan demikiaan ulangan
secara lisan akan sangat membantu untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Nilai-nilai
lain diluar ulangan juga harus dievaluasi oleh guru, agar, lebih dapat mewakili
kemampuan anak yang sebenarnya. Untuk anak-anak dengan keluhan tulisannya buruk,
harap guru tidak mengutamakan penilaian pada kualitas tulisan anak, tetapi lebih pada
benar atau tidaknya hasil pekerjaan anak.
Melibatkan anak dalam aktifitas organisasi yang sederhana. Guru dapat memberi
kesempatan pada anak untuk menghapus papan tulis, mengumpulkan tugas atau
memimpin barisan, sehingga anak belajar untuk bertanggung jawab dan dapat
meningkatkan rasa percaya dirinya.
Memahami pentingnya menjalin kerjasama dengan fihak lain. Guru turut mendukung
orang tua untuk melakukan terapi-terapi yang dibutugkan oleh anak, baik terapi remedial,
terapi okupasi, terapi pengobatan maupun terapi lainnya bila diperlukan.
Pembelajaran Pada Anak Yang Mengalami Kesulitan Belajar
Dalam melakukan intervensi pada anak yang mengalami kesulitan belajar harus selalu
dimulai dengan melakukan assessment, Assessment dilakukan untuk mengetahui pada
aspek apa anak itu mengalami kesulitan, apa saja yang sudah dikuasai pada saat ini,
apakah kesulitan itu terkait dengan keperampilan pra akademik.
Apabila proses assessment sudah dilakukan dan diperoleh data yang akurat tentang
kesulitan belajar anak langkah berikutnya adalah menyusun program intervensi dan
melakukan proses pembelajaran. Terdapat empat langkah pembelajaran yang bersifat
hirarkis yaitu : (1) pembelajaran pada tahap konkret, (2) pembelajaran pada tahap semi
konkret, (3) pembelajaran pada tahap semi abstrak dan (4) pembelajaran pada tahap
abstrak.
Melalui keempat tahapan belajar yang sangat sistematis seperti itu diharapkan anak yang
mengalami kesulitan belajar dapat menguasai konsep dan prinsip secara tuntas dari yang
dipelajarinya. Melalui proses pembelajaran seperti ini secara kognitif anak belajar secara
universal yaitu memahami konsep abstrak melalui proses yang konkret dan

mengkonkretkan konsep yang abstrak. Apabila anak sudah biasa berfikir bolak balik dari
konkret ke abstrak dan dari abstrak ke konkret, berarti konsep sudah dapat dikuasai
dengan tuntas, dan anak sudah biasa dibawa ke topik lain yang lebih tinggi (ada di
atasnya).
Kesalahan yang sangat fatal jika melakukan pembelajaran pada anak yang mengalami
kesulitan belajar langsung pada tahap abstrak. Hal seperti ini sering dijumpai di sekolahsekolah kita, dimana guru nengajar tanpa menggunakan media/alat peraga untuk
mengkonkretkan konsep yang abstrak. Guru lebih banyak berbicara ketimbang mengajak
anak untuk melakukan tindakan secara konkret. Kenyataannya anak lebih banyak
diajarkan untuk menghafal fakta bukan untuk memahami konsep dan prinsip.
Apabila anak yang mengalami kesulitran belajar dapat berhasil dalam memahami konsep
dan prinsip dengan tuntas, anak merasakan sebuah pengalaman sukses dalam belajar,
yang sebelumnya mengalami kegagalan demi kegagalan, Pengalaman sukses ini
diharapkan akan berdampak langsung kepada timbulnya rasa penghargaan diri,
kepercayaan diri dan motivasi untuk belajar. Pengalaman sukses bagi seorang anak
apabila anak yang mengalami kesulitan belajar sangat penting, oleh karena itu situasi
belajar harus diciptakan sedemikian rupa agar setiap keberhasilan dalam belajar
betatapun kecilnya harus dapat diketahui dan dirasakan oleh anak termasuk anak yang
mengalami kesulitan belajar.
Cara Mengidentifikasi Ketidakmampuan Belajar
1. Assessmen Formal
a. Norm Referenced Test, yaitu
Siswa yang mengikuti test akan dibandingkan hasilnya dengan basil yang didapat siswasiswa lainnya secara umuni (norma kelompok).
Contoh:
a) Intelligence test
b) Actievement test
c) Learning Disabilities Diagnotic Inventory (LDDI) (Hammil & Bryant, 1998).
b. Criterion Referenced Test, yaitu :
Test yang dibuat untuk menentukan apakah seorang siswa memahami pokok informasi
tertentu dengan suatu standard tetap.
Contohnya, test mengemudi.
2. Assessment Informal /I Assessmen didalam kelas Terdiri atas tiga jenis, yaitu
a) Pengukuran berdasarkan kurikulum (Currriculum based Measurement)
b) Assessmet Portofolio.
c) Observasi.
Telah diungkapkan di atas bahwa perilaku bermasalah yang muncul sebagai akibat dari
kesulitan belajar sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi kesulitan itu. Namun
demikian, secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama

akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial,
dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan frustrasi
atau cemas yang berlebihan karena dia selalu mengalami kegagalan dalam memenuhi
tuntutan dan tugas belajar. Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu
menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya. Bagi keluarga, kondisi
anak seperti itu dapat menimbulkan kekhawatiran orang tua, apalagi jika orang tua tidak
memahami masalah yang dialami anaknya. Kekecewaan, perasaan, dan pikiran aneh bisa
muncul pada orang tua dan tadak mustahil menimbulkan frustrasi orang tua atau
keluarga.
Bagi penyelenggara pendidikan, perilaku bermasalah karena kesulitan belajar
menimbulkan dampak terhadap perlunya penempatan dan pelayanan khusus. Kendati pun
demikian penempatan dan pelayanan khusus ini tidak berarti perlu penyelenggaraan kelas
khusus bagi anak berkesulitan belajar. Penyelenggaraan kelas khusus akan membawa
dampak kurang baik karena anak tidak bisa berkomunikasi atau berinteraksi dengan
teman sebayanya yang normal. Penempatan dan layanan khusus tersebut akan lebih baik
jika diwujudkan dalam layanan semacam resourcecroom, dimana anak memperoleh
layanan tanpa harus dipisahkan dari kelompoknya. Dalam layanan semacam ini, perlu
tersedia guru khusus yang dapat memberikan layanan dan konsultasi bagi guru kelas
dimana anak berkesulitan belajar ada. Melalui kegiatan bersama antara guru kelas dan
guru khusus tadi, rancangan layanan pendidikan clan psikologis dikembangkan.
Mengingat harapan tersebut di Indonesia masih sulit diwujudkan, maka hal yang paling
mungkin ialah membekali para guru dan calon guru sekolah dasar dengan
pengetahuan/keterampiIan memahami dan membantu anak berkesulitan belajar
Ketika menyebutkan seorang anak dengan kesulitan belajar, itu memberikan pemaknaan
bahwa kata anak di depan memperlihatkan pentingnya penerimaan kita akan anak itu
sendiri bukan sebagai sosok yang lain tetapi anak secara utuh. Kata dengan kesulitan
belajar menunjukkan bahwa kesulitan belajar yang dialaminya adalah persoalan kedua
yang harus menjadi perhatian kita. Dengan demikian penyebutan anak dengan kesulitan
belajar adalah untuk memperlihatkan bahwa anak itu lebih penting daripada
ketidakmampuan yang dialaminya. Kesulitan belajar adalah : Suatu gangguan dalam satu
atau lebih proses psikologis dasar dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan
tersebut berupa kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja
atau berhitung. Masalah utamanya akibat adanya gangguan perseptual, luka pada otak,
disleksia dan afasia perkembangan. Adapun karakteristik kesulitan belajar khusus
adalah : disebabkan disfungsi neurologis mengalami kesulitan bidang akademik :
gangguan kernampuan verbal dan non verbal : mendengarkan, bercakap-cakap,
membaca, menulis dan berhitung, Kesenjangan potensi dengan prestasi.Dapat diperburuk
oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang memperburuk kesulitan belajar adalah;
Pola asuh : otoriter (sangat keras / kaku), permisif (serba membolehkan) atau over
protective (melindungi secara berlebihan)
Kurang dilatih mandiri, sehingga kemampuan problem solving tidak sebaik
anakseusianya
Menolak anak berkesulitan belajar, diberi label negatif: bodoh, jorok, malas, nakal,
bandel, dsb.
Salah memberikan stimulasi (tidak seimbang antara kecerdasan intelektual,

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.


Dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa pengarahan (khas lingkungan yang miskin
status sosial ekonomi).
Bagi anak yang berkesulitan belajar juga perlu terapi yang harus dilakukan agar mereka
mampu menyesuaikan diri dengan permasalahan yang mereka hadapi. Terapi Permainan
bagi Anak Berkesulitan Belajar terdapat berbagai macam jenis terapi di antaranya yaitu:
Permainan huruf, kata, kalimat
Permainan bahasa
Permainan mendengarkan
Permainan drama
Permainan motorik/fisik
Permainan matematika (berhitung)
Permainan aktif
Permainan puzzle
Dan lain sebagainya.
Gangguan yang Umum Diderita Penyandang Kesulitan Belajar:
Gangguan aktifitas motorik.
Gangguan persepsi
Gangguan perhatian
Gangguan Emosional
Gangguan simbolisasi
Gangguan Mengingat
Usaha yang Dapat Dilakukan oleh Orang tua
Pengaturan dalam jadwal kegiatan : Prinsip 3 R (Routine, Regular, Repetition)
Pengaturan dalam membantu pemusatan perhatian
Pengaturan dalam waktu bekerja
Pengaturan dalam cara bekerja
Pengaturan dalam pengelolaan emosi
Pengaturan dalam pernbentukan/perubahan perilaku (Metode ABC Analysis)
Metode penguat tingkah laku yang positif
Strategi Sekolah Bagi Penderita Berkesulitan Belajar
Sesuai kemampuan
Struktur yang baik
Guru yang simpatik dan hangat
Jumlah murid yang sedikit
Menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan Sensory Integration/ SI anak
Menyediakan sarana remedial
Fleksibel
Melibatkan anak dalam aktifitas organisasi yang sederhana
Memahami pentingnya menjalin kerjasama dengan pihak lain.

Pembelajaran Pada Anak Yang Mengalami Kesulitan Belajar adalah : pembelajaran pada
tahap konkret, (2) pembelajaran pada tahap semi konkret, (3) pembelajaran pada tahap
semi abstrak dan (4) pembelajaran pada tahap abstrak.
Adapun anak-anak yang dikategorikan dengan berkebutuhan khusus adalah:
- Anak dengan keterlambatan perkembangan
- Anak dengan keterbelakangan mental
- Anak dengan gangguan emosional
- Anak dengan gangguan spektrum autis
- Anak dengan kesulitan belajar
- Anak berbakat
a. Anak dengan Keterlambatan Perkembangan
1. Beresiko untuk menjadi terlambat berkembang, terjadi karena adanya faktor-faktor
lingkungan yang bermakna dan besar kemungkinannya untuk menimbulkan
keterlambatan tersebut. Faktor lingkungan tersebut antara lain kemiskinan atau lahir
dengan berat badan rendah. Namun dengan pertolongan dan bantuan yang layak, anak
dengan keterlambatan perkembangan ini akan dapat mencapai perkembangan yang
normal.
2. Anak yang kehilangan kemampuan, diindikasikan dengan perkembangan yang berbeda
dengan anak lain. Anak dengan kehilangan kemampuan pendengaran atau penglihatan,
keterbelakangan mental atau ketidakmampuan motorik termasuk dalam kategori ini.
1 Kehilangan Kemampuan Pendengaran
1) Ketulian adalah kehilangan kemampuan pendengaran yang sifatnya sangat berat.
Kondisi ini mempengaruhi unjuk hasil belajar.
2) Kesulitan mendengar adalah ketidak mampuan mendengar yang sifatnya berat tetapi
belum termasuk dalam kategori tuli
a. Kehilangan kemampuan pendengaran dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1) Kehilangan pendengaran yang sudah terjadi pada saat lahir disebut sebagai kehilangan
pendengaran bawaan (congenital hearing loss)
2) Apabila kehilangan kemampuan ini terjadi sesudah anak lahir disebut kehilangan
pendengaran(adventitious hearing loss)
b. Penyebab terjadinya kehilangan kemampuan pendengaran antara lain:
1) Infeksi intrauterus yang berasal dari campak jerman, cytomegalovirus, herpes simplex
virus
2)
3) Lahir prematur
4) Diabetes karena kehamilan
5) Toxemia selama kehamilan
6) Kekurangan oksigen sebelum, saat dan sesudah lahir

7) Salah pembentukan struktur alat pendengaran


Bakteri meningitis
9) Otitis media
10) Salah minum obat
11) Campak
12) Enchepalitis
13) Cacar air
14) Luka di kepala
15) Terpajan oleh suara keras yang berulang kali.
c. Karakteristik anak-anak yang tuli atau kesulitan mendengar adalah:
1) Kesulitan dalam berkomunikasi.
2) Pembelajaran eksperiensial menjadi terbatas. Mengingat kemampuan mendengarnya
terganggu maka sumber-sumber pembelajaran yang diterimanya melalui pendengaran
menjadi terbatas.
3) Secara kognitif tidak terlalu banyak berbeda dengan anak normal.
4) Secara akademik biasanya agak menonjol dibidang matematika, namun untuk bahasa
dan membaca masih terus harus mendapat dukungan dari lingkungan sekitar agar terus
berkembang.
5) Secara sosial emosional karena mereka terbatas dalam berinteraksi secara langsung di
dalam kehidupan sehari-harinya seringkali hal ini membuat mereka mendapat pajanan
untuk bahasa sosial emosional yang terbatas juga, akibatnya keterampilan sosialnya
menjadi kurang berkembang.
6) Perilaku. Anak-anak tersebut seringkali tidak diajak bermain oleh teman-teman yang
bisa mendengar karena mereka sulit untuk menerima dan memahami perilaku sosial
teman-temannya tersebut. Karena sulit memahaminya maka mereka pun jadi sangat
terbatas perbendaharaan bahasa emosi padahal bahasa ini dapat membantu mereka untuk
memahami perasaannya sendiri dan orang lain.
2 Kehilangan Kemampuan Penglihatan
a. Ada dua kategori besar yang tergolong dengan kehilangan kemampuan penglihatan
yaitu:
1) Low vision yaitu, orang yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugastugasnya yang berkaitan dengan penglihatan namun dapat menyelesaikan tugas tersebut
dengan menggunakan strategi pendukung penglihatan, melihat dari dekat, penggunaan
alat-alat bantu dan juga modifikasi lingkungan sekitar.
2) Kebutaan yaitu, orang yang kehilangan kemampuan penglihatan atau hanya memiliki
kemampuan untuk mengetahui adanya cahaya atau tidak.

b. Penyebab terjadinya kehilangan kemampuan penglihatan adalah karena adanya


permasalahan pada struktur atau fungsi dari mata.
c. Karakteristik dari anak dengan kehilangan kemampuan penglihatan:
1) Secara kognitif mengalami gangguan karena memiliki keterbatasan dalam variasi dan
rentang pengalaman yang didapatkan, mobilitas dan interaksi dengan lingkungan yang
terhambat. Kehilangan pengalaman-pengalaman yang berharga melalui hal-hal yang telah
disebutkan di atas dan juga kurangnya kesempatan untuk mengamati dan menirukan
anak-anak dan orang dewasa lainnya memberikan dampak yang sangat bermakna bagi
perkembangan kognitifnya. Namun pada beberapa orang dengan kehilangan kemampuan
penglihatannya memiliki kemampuan kognitif yang baik bahkan berbakat.
2) Secara akademis apabila ia tidak mengalami keterbatasan secara kognitif maka ia
dapat memperlihatkan hasil belajar yang baik asalkan lingkungan sekitar memberikan
dukungan yang penuh dengan alat-alat bantu yang memadai.
3) Secara sosial dan emosional anak dengan kehilangan kemampuan penglihatan dapat
mengalami kesulitan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial karena ia
sulit untuk dapat mengamati, menirukan dan menunjukkan tingkah laku sosial yang tepat.
Agar ketrampilan sosial ini dapat berkembang maka anak-anak tersebut harus
mendapatkan instruksi yang sifatnya sistematis dan langsung yang berkaitan dengan
aspek-aspek sosial emosional yang harus dilakukan.
4) Dalam berperilaku seringkali terlihat kurang matang, merasa terisolasi dan kurang
asertif terutama sekali jika lingkungan kurang kondusif. Selain itu ada perilaku stereotip
yang dimunculkan seperti mengerjapkan mata, menjentikan jari, menggoyangkan badan
atau kepala, atau menggeliatkan badan. Hal ini sering muncul dikarenakan mereka
kehilangan stimulasi sensori, terbatasnya gerakan dan aktivitas mereka dilingkungan,
kurangnya interaksi sosial.
3 Gangguan Berbicara dan Berbahasa
Menurut IDEA (Individuals with Disabilities Education Act) tahun 1997, gangguan ini
mengacu pada gangguan komunikasi seperti gagap, gangguan artikulasi, gangguan
bahasa, atau gangguan suara yang berdampak pada hasil pembelajaran seorang anak.
a. Berbahasa dapat diaplikasikan dalam dua hal yaitu:
1) Bahasa ekspresif mengacu pada kemampuan individu di dalam menghasilkan suatu
bahasa. Misalkan: menyampaikan isi pikiran atau pendapat secara verbal.
2) Bahasa reseptif mengacu pada kemampuan individu memahami suatu bahasa.
Misalkan: orang yang mengerti bahasa asing tetapi ia tidak dapat berbicara dalam bahasa
asing tersebut.

b. Penyebab terjadinya gangguan bicara dan berbahasa pada anak dapat dilihat dari
berbagai faktor yaitu:
1) Secara biologis, dimana masalah itu berkaitan dengan susunan saraf pusat atau struktur
dan fungsi dari sistem lain di dalam tubuh. Misalkan: langit-langit mulut yang tidak
sempurna, lidah yang tebal dan pendek.
2) Lingkungan, dimana anak yang mengalami gangguan ini dikarena mendapat infeksi
telinga yang berulang yang berakibat mengganggu pendengarannya atau sampai
membuat ketulian. Hal lain yang juga berkontribusi adalah penelantaran dan perlakuan
salah pada anak.
c. Karakteristik dari anak dengan gangguan bicara dan berbahasa;
1) Secara kognitif mereka dapat berada dalam rentang tingkat kemampuan kognisi yang
tinggi hingga yang terbelakang.
2) Secara akademik, pada anak usia dini yang dituntut untuk dapat mengekspresikan hasil
pikirannya secara verbal maka anak akan mengalami kesulitan. Di samping itu anak
harus memahami bahasa tersebut yang kemudian digunakan untuk belajar membaca dan
menulis. Diketahui bahwa keterampilan berbicara dan berbahasa itu akan dipergunakan
dalam setiap aspek kegiatan sekolah, misalnya untuk mempelajari subyek matematika,
seni, dan kesadaran lingkungan bahkan saat istirahatpun akan memerlukan bahasa.
3) Secara sosial emosional, biasanya anak akan memiliki masalah juga. Terutama
berkaitan dengan konsep diri yang dimilikinya. Apabila lingkungan banyak yang
mencemoohkan dirinya maka anak cenderung akan memiliki konsep diri yang negatif.
Ketika anak mengalami kesulitan dalam menyampaikan isi pikirannya karena
penggunaan artikulasi yang salah, menyebabkan orang lain tidak dapat memahaminya.
Keadaan ini membuat anak merasa terisolasi oleh lingkungannya.
4) Tingkah lakunya seringkali tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Misalnya anak
batita yang kesulitan bicara ketika keinginannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain
maka batita tersebut akan berperilaku agresif dan tingkah laku ini tidak dapat diterima
oleh lingkungannya. Dengan bertambahnya usia dari anak dengan gangguan bicara dan
berbahasa ini apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka ia akan cenderung
untuk menjadi lebih bermasalah dalam berperilaku.
4 Gangguan pada Fisik
Gangguan ini biasanya berpengaruh pada gerakan kasar dan gerakan halus dari
seseorang. Gangguan ini bisa bersifat ringan hingga yang berat.
a. Penyebab dari gangguan fisik ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Kelainan bawaan yang menyebabkan terjadinya telapak kaki rata, jumlah anggota
tubuh yang tidak lengkap atau berlebih.
2) Penyakit seperti poliomyelitis, TBC tulang dll.
3) Penyebab lain seperti gangguan neurologis dan lingkungan, yang menyebabkan
cerebral palsy, spina bifida, amputasi, retak atau terbakar.
Cerebral palsy merupakan gangguan pada fisik yang cukup banyak dikenal orang.
Jenis-jenis dari Cerebral Palsy adalah:
Spastic cerebral palsy, dimana kondisi dari otot-otot anak tersebut adalah sangat kaku
sehingga gerakan menjadi tidak wajar.
Athetoid cerebral palsy, dimana anak tidak mampu untuk mengendalikan gerakan dari
otot-ototnya sehingga seringkali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu
tanpa mampu mengendalikannya.
Ataxic cerebral palsy, merupakan gangguan yang jarang dimana keseimbangan dan
koordinasi motoriknya menjadi terganggu.
Gabungan dari macam-macam cerebral palsy ini disebut mixed cerebral palsy.
b. Karakteristik anak dengan gangguan fisik.
1) Secara kognitif dan akademik, anak dengan gangguan fisik akan memiliki fungsi
kognitif dengan rentang dari yang rendah hingga yang tinggi. Sehingga anak-anak yang
mengalami gangguan fisik namun memiliki kemampuan kognitif yang baik maka ia akan
dapat berkembang dengan baik, asalkan gangguan fisiknya dapat ditangani dengan baik.
Misalkan anak yang tidak memiliki kaki yang lengkap namun pintar ia dapat masuk
sekolah dimana sekolah itu memberikan fasilitas yang cukup sehingga anak tersebut tidak
memperoleh kesulitan mengakses kelas dan ruang-ruang lainnya.
2) Secara perilaku, anak dapat terganggu apabila gangguan yang dimilikinya itu
menghambat gerakan, interaksi dengan orang lain. Sehingga anak perlu mendapat
keterampilan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan diperlukannya.
3) Secara emosional, pada umumnya anak dengan gangguan fisik ini akan memiliki
konsep diri yang rendah. Oleh karena itu harus terus didukung dan dikembangkan konsep
diri yang positif pada anak tersebut.
4) Secara sosial, anak dengan gangguan fisik sangat memerlukan bantuan orang lain
untuk dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Mereka memerlukan akses yang
sesuai sehingga gangguan fisik yang dimilikinya tidak terhambat.
5) Secara fisik dan medis, anak dengan gangguan ini akan memiliki kondisi fisik dan
medis yang berbeda dengan anak secara umum dan memerlukan perhatian yang khusus.

c. Cara mengidentifikasi anak dengan gangguan fisik adalah dengan melakukan asesmen
terhadap kondisi medis dan fungsi fisiknya. Selain itu perlu juga dilakukan asesment
terhadap fungsi intelektual, prestasi akademik, bahasa dan area-area lain yang terkait.
Semua asesmen ini dilakukan oleh ahlinya.
Apabila telah diketahui kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh anak dengan
gangguan fisik ini maka penanganan harus segera dilakukan sejak dini dan menyeluruh,
agar anak dapat berkembang secara optimal.
b. Anak dengan Keterbelakangan Mental
American Association on Mental Retardation mendefinisikan anak dengan keterbelakang
mental adalah anak-anak yang memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata secara
bermakan, terlihat memiliki kesulitan dalam perilaku adaptif yang dimunculkan melalui
kesulitan membuat konsep, keterampilan sosial dan praktik perilaku adaptif dan terjadi
pada rentang usia perkembangannya yaitu di bawah 18 tahun.
1. Penyebab terjadinya keterbelakangan mental ini terbagi atas:
a. Saat prenatal, biasanya dikarenakan adanya abnormalitas dari kromosom. Contohnya
adalah Down Syndrome, Fragile X Syndrome, Prader-Willi syndrome, Fetal alcohol
syndrome, Phenylketonuria,Toxoplasmosis.
b. Saat Perinatal, biasanya terjadi selama atau seketika setelah anak lahir. Anak yang lahir
prematur dengan berat badan sangat kecil, kekurangan oksigen pada waktu lahir,
penggunaan alat bantu seperti forcep yang kurang tepat.
c. Post natal, bisa saja ketika selama kehamilan dan saat kelahiran anak tidak mengalami
gangguan apa-apa namun setelah itu anak terjangkit encephalitis, keracunan timbal dan
kerusakan otak maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya keterbelakangan mental
pada anak.
2. Karakteristik dari anak dengan keterbelakang mental:
a. Secara kognitif anak tersebut sangat berbeda dengan anak normal, dari penggolongan
IQ nya saja mereka dapat dikategorikan sebagai:
Keterbelakangan mental ringan (IQ= 55 69)
Keterbelakangan mental sedang (IQ = 40 -54)
Keterbelakangan mental berat (IQ = 25 39)
Keterbelakangan mental sangat berat (IQ = di bawah 25).
Dengan derajat keterbelakang mental yang berbeda itu maka tingkatan dari layanan
dukungan buat merekapun menjadi berbeda pula (tabel terlampir). Kemampuan memori,
menggeneralisasi, motivasi, bahasa dan keterampilan akademisnya menjadi terbatas.

b. Secara sosial, banyak anak dengan keterbelakangan mental mengalami kesulitan dalam
menjalin hubungan dengan orang lain.
c. Tingkah laku adaptifnyapun ada mengalami gangguan terutama dalam hal komunikasi,
merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kehidupan sehari-hari, menikmati waktu
senggang, kesehatan dan keselamatan, kemampuan mengarahkan diri, fungsi akademis,
dan keterlibatan dimasyarakat.
d. Secara emosional, mereka seringkali terperosok dalam kondisi kesepian, depresi.
e. Secara fisik dan medis, biasanya tidak ada kondisi fisik dan medis yang sangat berbeda
dengan anak kebanyakan.
3. Proses identifikasi anak dengan keterbelakangan mental dilakukan dengan asesmen
dari fungsi intelektualnya, tingkah laku adaptif, faktor medis semua ini dilakukan oleh
ahlinya dan kemudian diberikan penanganan yang sesuai.
c. Anak dengan Gangguan Emosional
Emosi dapat memberikan pengalaman bagi anak. Apa yang dipelajari anak dari
orangtua atau pengasuh memberikannya kesempatan untuk belajar berpikir dalam
membedakan yang mana yang baik dan yang salah. Hubungan yang baik antara anak
dengan orangtua ditunjukkan dengan cara pemberian kasih sayang dan kehangatan pada
anak. Anak akan percaya bahwa ada ikatan emosi antara ia dengan orangtuanya, mereka
pun akan tumbuh dengan baik. Hubungan emosi dimulai semenjak anak bayi dan
mengalami puncak ketika anak berusia 7 bulan. Kali ini bayi dapat membedakan siapa
yang ibu, ayah, kakak, kakek, bibi dan lainnya. Bayi akan menangis jika ia tidak merasa
nyaman dengan orang lain selain yang dekat dengannya. Namun ada juga yang tidak
demikian, hal ini tergantung bagaimana orangtua atau pengasuhnya membiasakan anak
untuk berhubungan juga dengan lingkungan. Dengan demikian dapat dikatakan jika
hubungan emosi juga dibutuhkan ketika anak merasakan bahaya, sakit, dan
ketidakpahaman (Bowlby, 1988).
Menurut Morelli (2000) salah satu yang menyebabkan hubungan emosi adalah latar
belakang budaya. Budaya menjadikan anak dan orangtua menjadi dekat. Faktor lain yang
mempengaruhi hubungan emosi anak adalah kontribusi anak itu sendiri. Anak tahu apa
yang dibutuhkannya dari ibu dan pengasuh.
Hal-hal yang perlu diketahu pada anak yang mengalami gangguan emosional adalah :
1. Terjadi dalam situasi yang diikuti oleh beberapa karakteristik yang muncul dalam
periode tertentu dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari seorang anak seperti:
a. Ketidak mampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan dari faktor intelektual,
sensori maupun kesehatan.

b. Ketidakmampuan untuk mempertahankan atau membangun hubungan yang


menyenangkan dengan teman sebaya atau dengan guru
c. Berperilaku tipikal atau memiliki perasaan yang tidak sesuai walau dalam situasi yang
normal.
d. Secara umum terlihat depresi atau tidak bahagia.
e. Kecenderungan untuk memunculkan simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang
dikaitkan dengan seseorang atau sekolah.
2. Penyebab terjadinya gangguan emosional ini berupa:
a. Faktor biologis
b. Faktor psikososial, seperti stres yang berkepanjangan, kejadian hidup yang menekan,
perlakuan salah pada masa kecil, fakator keluarga.
3. Karakteristik dari anak dengan gangguan emosional adalah:
a. Secara tingkah laku biasanya mereka tidak berbeda dengan anak kebanyakan. Namun
bisa dilihat dari tingkah laku yang terinternalisasikan dan tingkah laku yang
dieksternalisasikan.
b. Secara emosional, biasanya mereka memiliki pengalaman kecemasan yang bersumber
dari rasa ketakutan yang berlebihan. Ada depresi yang muncul.
c. Secara sosial, ada hambatan dalam mempertahankan sebuah hubungan dengan orang
lain.
d. Secara kognitif akan memiliki rentang kemampuan dari yang rendah hingga yang
tinggi. Namun seringkali gangguan emosinya tersebut menghambat hasil
pembelajarannya.
4. Proses identifikasi anak dengan gangguan emosi dilakukan dengan asesmen formal dan
asesmen di dalam kelas apabila anak tersebut sudah masuk sekolah. Penanganan
dilakukan oleh ahlinya.
d. Anak dengan Gangguan Spektrum Autis
Seseorang baru dapat dikatakan sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) bila ia
memiliki sebagian dan uraian gejala-gejala berikut ini:
1. Gangguan komunikasi
Cenderung mengalami hambatan mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab sesuai
konteks, sering membeo ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan bicara
secara total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya.

2. Gangguan perilaku
Adanya perilaku stereotipi / khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat,
berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda,
mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang
tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak
seusianya.
3. Gangguan interaksi
Secara umum terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain,
sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain
bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya. Beberapa individu yang
termasuk dalam spektrum autisme juga melaporkan bahwa mereka memiliki berbagai ciri
khas dalam mempersepsi dunia, seperti misalnya (Siegel, 1996):
a. visual thinking
Di mana mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang)
daripada hal abstrak.
b. Processing problems
Sebagian anak ASD mengalam kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas
dalam memahami menggunakan akal sehat/nalar. Hal-hal tersebut di atas tampak
konsisten dengan kecenderungan individu ASD yang lebih mudah berpikir secara visual.
c. Sensory sensitivities
Perkembangan yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD juga sedikit
banyak mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau
semua pada sebagian anak ASD:
Sound sensitivity:
Di mana anak jadi takut berlebihan pada suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan
ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi
dalam bentuk perilaku buruk.
Touch sensitivity:
Anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan
dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah
perilaku (termasuk masalah makan & pakaian).
Rhytm difficulties:

Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat
untuk masuk dalam percakapan, itu sebabnya banyak individu ASD terus menerus
berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali
dianggap lingkungan sebagai tidak sopan.
Communications frustrations
Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada individu ASD membuat
mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain,
tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah
tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap sesamanya.
Social & emotional issues
Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang
membuat individu ASD cenderung berpikir kaku.
Problems of control
Berbagai gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD
menjadi makin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang
terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku.
Problems of tolerance
Kepekaan yang berlebihan akan rangsang stimuli tertentu, membuat individu ASD
menarik diri dari lingkungannya. Mereka kurang dapat mentolerir rangsang-rangsang
tersebut, dan ini merupakan manifestasi masalah sensori di tubuhnya.
Problems of connection:
Berbagai masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalar adalah;
Attention problems: masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi
Perceptual problems: masalah proses persepsi, bingung sehingga menghindari orang
lain.
Systems integration problems: proses informasi di otak bekerja secara mono (tunggal)
sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus
Left-right hemisphere-integration problems: otak kiri tidak secara konsisten tahu apa
yang terjadi pada otak kanan (dan sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa
yang sedang terjadi.
Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut, menjadikan setiap individu sangat
unik. Tidak ada dua individu autisme yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun.
Itu sebabnya, penanganan juga tidak dapat disamaratakan. Paharn individual

differences (Greenspan, 1998) sangat ditekankan, sehingga orang tua dan guru tidak
memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.
Dalam menghadapi variasi jenis kelebihan dan kekurangan masing-masing anak,
kemampuan untuk mengobservasi menjadi sangat penting. Orang tua adalah pengamat di
rumah, guru adalah pengamat handal di sekolah. Apa yang harus diamati? Banyak sekali:
kebiasaan anak dalam menghabiskan waktu di rumah, perilaku yang sering ia tampilkan,
bagaimana ia mencerna informasi, bagaimana respons anak terhadap usaha orang tua
mengajarkan kebiasaan baru clan sebagainya.
Karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua anak ASD untuk bekerja sama berusaha
mencari penanganan terbaik bagi anak-anak ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, para
orang dewasa di sekitar anak ASD-lah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan
anak ASD. Berikan mereka kesempatan dan target yang realistik di tempat belajar
umum, serta ajarkan ketrampilan-ketrampilan baru melalui cara yang khusus (bila
perlu) sesuai kemampuan dan gaya belajar mereka.
Akhir-akhir ini jumlah anak yang mengalami gangguan spektrum autis mengalami
peningkatan. Perlu diketahui beberapa hal tentang gangguan ini yaitu :
1. Anak dengan gangguan spektrum autis adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan yang dimanifestasikan dalam hambatan komunikasi verbal dan non
verbal, masalah pada interaksi sosial, gerakan yang berulang dan stereotip, sangat
terganggu dengan perubahan dari suatu rutinitas, memberikan respon yang yang tidak
sesuai terhadap rangsangan sensoris.
2. Penyebab terjadinya gangguan spektrum autis dapat dibagi menjadi:
a. Faktor biologis, seperti DNA, multi genetik.
b. Faktor otak, adanya abnormalitas di otak kecil yang mengendalikan koordinasi
motorik, kognisi dan keseimbangan. Bersamaan dengan itu juga ada ditemukan
abnormalitas di lobus frontal (yang mengendalikan fungsi sosial dan kognitif) dan lobus
temporal (untuk memahami ekspresi muka, tanda-tanda sosial dan memori).
c. Faktor lingkungan, seperti penelantaran dari keluarga ternyata dapat memperburuk
kondisi dari anak dengan gangguan spektrum autis.
d. Faktor imunisasi, dikatakan bahwa ada beberapa kejadian dimana anak mendapatkan
imunisasi MMR menjadi autis.
3. Karakteristik dari anak dengan gangguan spektrum autistik adalah:
a. Secara kognitif, mereka dapat memiliki kecerdasan dari tingkat yang rendah hingga di
atas rata-rata.
Mereka memiliki rote memory dimana ia akan dapat dengan mudah mengingat segala

sesuatu tanpa memaknainya, sehingga ia akan dapat mengeluarkan kembali ingatan


tersebut dalam konteks yang tidak tepat.
Di dalam memecahkan suatu masalah mereka cenderung hanya menggunakan satu
strategi saja, sehingga tingkat keberhasilannya sangat rendah terutama untuk hal-hal yang
kompleks dan abstrak.
Sangat sulit untuk memotivasi seorang anak dengan gangguan spektrum autistik hal ini
dikarenakan mereka terfokus pada satu hal saja.
b. Secara sosial emosional, mereka mengalami kesulitan karena mereka tidak memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi, intonasi bicara yang sangat datar, mengulang katakata yang tidak bermakna, dan berkomunikasi tanpa mengindahkan konteks sosial.
c. Secara perilaku, anak cenderung hanya memperhatikan atau merespon pada satu
stimulus saja yang bermakna bagi dirinya sendiri dan tidak mengindahkan hal lain di
sekitarnya.
Mereka sering memunculkan tingkahlaku yang sama dan dilakukan berulang-ulang
seperti mengepakkan tangan, bertepuk tangan, menggoyangkan badan. Sangat sulit bagi
mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru atau berubah-ubah.
Mengalami kesulitan pada aspek sensoris seperti auditory dan visual.
4. Proses identifikasi, apabila ditemukan anak dengan ciri-ciri seperti yang telah
diuraikan di atas, maka orangtua atau guru harus segera membawa ke ahlinya agar
mendapat penanganan yang lebih tepat. Semakin dini penanganannya maka semakin
besar kemungkinan anak untuk tumbuh dan bekembang seperti anak normal pada
umumnya.
e. Anak dengan Kesulitan Belajar
Menurut IDEA dikatakan anak dengan kesulitan belajar adalah anak yang mengalami
gangguan di satu atau lebih proses dasar psikologi termasuk, memahami dan
menggunakan bahasa (verbal dan tulisan), yang berdampak pada kemampuan mendengar,
berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan kalkulasi matematika. Termasuk
juga gangguan persepsi, kerusakan otak, fungsi minimal otak, disleksia, dan aphasia.
Gangguan-gangguan seperti kehilangan penglihatan, pendengaran, motorik,
keterbelakangan mental, gangguan emosi atau hambatan secara sosial, ekonomi, dan
budaya tidaklah termasuk dalam kategori kesulitan belajar.
Penyebab terjadinya kesulitan belajar pada seorang anak adalah:
a. Faktor fisiologis, seperti kerusakan otak, keturunan, dan ketidak seimbangan proses
kimia dalam tubuh
b. Faktor lingkungan, gizi yang buruk, keracunan, kemiskinan
c. Karakteristik dari anak dengan kesulitan belajar mencakup:
1) Secara kognitif, berkaitan dengan atensi, persepsi, gangguan memori, proses
informasinya;
2) Secara akademik, bermasalah pada kegiatan membaca, menulis, matematika dan
berbahasa verbal;

3) Secara sosial dan emosional, umumnya memiliki harga diri yang rendah karena
dianggap sebagai anak yang tidak mampu. Dengan kesulitannya ini anak menjadi
mengganggap dirinya tidak mampu untuk melakukan sesuatu;
4) Secara perilaku, mereka menjadi sulit untuk mengendalikan gerak tubuhnya, tidak mau
duduk diam, berbicara terus, melakukan agresi fisik dan verbal.
d. Proses identifikasi, apabila ditemukan anak dengan ciri-ciri seperti yang telah
diuraikan di atas, maka orangtua atau guru harus segera membawa ke ahlinya agar
mendapat penanganan yang lebih tepat. Semakin dini penanganannya maka semakin
besar kemungkinan anak untuk tumbuh dan bekembang seperti anak normal pada
umumnya.
f. Anak Berbakat.
Definisi menurut IDEA adalah anak yang memiliki kemampuan yang melebihi dari
kemampuan orang lain pada umumnya dan mampu untuk menunjukkan hasil kerja yang
sangat tinggi. Keberbakatan ini dapat dilihat dari berbagai area seperti: kemampuan
intelektual secara umum, akademis yang khusus, berfikir kreatif, kepemimpinan, seni,
dan psikomotor. Seorang anak dapat dikatakan berbakat apabila ia memiliki kemampuan
yang diatas rata-rata, memiliki komitment terhadap tugas yang tinggi dan juga kreatif.
Karakteristik yang dimiliki oleh anak berbakat adalah:
a. Secara kognitif. Secara umum, anak-anak berbakat memiliki kemampuan dalam
memanipulasi dan memahami simbol abstrak, konsentrasi dan ingatan yang baik,
perkembangan bahasa yang lebih awal dari pada anak-anak seusianya, rasa ingin tahu
yang tinggi, minat yang beragam, lebih suka belajar dan bekerja secara mandiri, serta
memunculkan ide-ide yang original
b. Secara akademis, mereka sangat termotivasi untuk belajar di area-area dimana menjadi
minat mereka. Namun mereka bisa kehilangan motivasinya apabila dihadapkan pada area
yang tidak mereka minati;
b. Secara sosial emosional, mereka terlihat sebagai anak yang idealis, perfeksionis dan
kepekaan terhadap rasa keadilan, peka. Selalu terlihat bersemangat, memiliki komitmen
yang tinggi, dan peka terhadap seni.
Untuk mengetahui keberbakatan seorang anak maka ia harus mengikuti serangkaian
asesmen yang dilakukan oleh psikolog, dan apabila anak tersebut memang dikategorikan
sebagai anak berbakat maka ia harus memperoleh pendidikan yang sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya agar dapat berkembang dengan optimal.
a. Memahami pendidikan inklusi bagi anak dengan kebutuhan khusus
Dengan memahami bahwa semakin banyak anak berkebutuhan khusus yang memerlukan
penanganan yang tepat dan menyeluruh maka program inklusi di sekolah-sekolah untuk
perlu ditingkatkan.

Program inklusi di sekolah umum, bukanlah sekedar program dimana sekolah


memberikan kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah bersama
namun lebih jauh lagi.
Ketika suatu sekolah menerapkan program inklusi maka sekolah tersebut haruslah
mempersiapkan beberapa hal seperti: lingkungan yang sangat mendukung, materi-materi
untuk beradaptasi, aktifitas-aktifitas yang disederhanakan, peralatan untuk mempermudah
mereka beradaptasi, dukungan dan kesiapan untuk menerima anak-anak berkebutuhan
khusus dari teman sebayanya, dukungan tidak langsung (pemberian waktu yang lebih
lama, pemberian kesempatan yang lebih banyak dll).
Selain itu sekolah dan orangtua juga mempersiapkan layanan-layanan yang dapat
membantu perkembangan potensi anak seperti penyediaan terapis okupasi, terapis wicara,
fisioterapis. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah mempersiapkan orangtua dan
anak-anak yang normal di sekolah tersebut untuk dapat menerima kehadiran anak-anak
berkebutuhan khusus.
Program inklusi ini selain memberikan keuntungan bagi anak berkebutuhan khusus juga
memberikan keuntungan bagi teman-teman sebayanya (mereka lebih menghargai
keragaman orang, dapat memberikan bantuan, menumbuhkan hubungan yang saling
mengasihi), bagi guru (lebih memahami keragaman dari anak didiknya, memperdalam
pengetahuan mengenai anak berkebutuhan khusus secara profesional, dan ada kepuasan
batin), bagi keluarga (mereka merasa bahwa anaknya diterima dan menjadi bagian dari
masyarakat). Dari berbagai macam jenis dan ragam kasus anak berkebutuhan khusus,
maka perlu mendidik anak berkebutuhan khusus dengan medel layanan pendidikan yang
khusus juga sebagaimana yang terdapat pada gambar dibawah ini :
Pelaksanaan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus dapat dilakukan terpisah
(eksklusif) atau menyatu (inklusif) dengan anak pada kelas reguler. Sistem layanan
Pendidikan Khusus yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolahsekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.(Sapon-Shevin dalam
ONeil, 1994). Kenapa harus inklusif? Karena Anak Luar Biasa adalah makhluk sosial
yang inklusif dimana peluang kesempatan belajar menjadi sangat luas, mereka wajib
belajar karena pendidikan adalah untuk semua(Education for all),pendidikan efisien serta
adanya embelajaran sosial. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua
murid di kelas yang sama dimana sekolah ini menyediakan program pendidikan yang
layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid serta
harus didukung oleh sistem yang menyesuaikan dengan anak membutuhkan dan
memerlukan dukungan dari pemerintah, Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
juga sangat penting didukung oleh masyarakat, orang tua. Disamping hal tersebut di atas,
juga tidak terlepas dari dukungan kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana, alat
dan sumber belajar, serta birokrasi yang baik dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada
gambar berikut ini :
Pusat sumber belajar yang dimaksudkan adalah suatu unit atau institusi yang berfungsi
memberikan layanan pendukung bagi sekolah-sekolah reguler yang menyelenggarakan

pendidikan inklusi, baik secara teknis (operasional) maupun konsultatif. Hal ini kita lihat
pada gambar berikut :

PENILAIAN PORTOFOLIO
Pengertian
Portofolio berasal dari bahasa Inggeris portofolio yang artinya dokumen atau suratsurat. Pendapat lain, portofolio berasal dari kata kerja potare berarti membawa dan kata
benda bahasa latin foglio, yang berarti lembaran atau kertas kerja. Portofolio tempat
berisikan benda pekerjaan, lembaran, nilai dan profesional. Dalam konteks penelitian ini
Portofolio adalah koleksi berharga dan berguna berisikan pekerjaan peserta didik yang
menceritakan atau menerangkan sejarah prestasi atau pertumbuhan peserta didik.
Portofolio umumnya suatu fakta bahwa peserta didik mengumpulkan, menseleksi dan
merefleksi penilaiannya (Sharp, 2006:1). Porotofolio berisikan beragam tugas; disebut
juga artifak, antara lain : draft mentah, nilai, makalah, benda kerja, kritik dan ringkasan,
lembaran refleksi diri, pekerjaan rumah, jurnal, respon kelompok, grafik, lembaran
catatan dan catatan diskusi. Beberapa cara baru seperti: note book, multi media, disket,
flashdisk, map lipat, dan file internet (Sharp, 2006:1). Dapat juga diartikan sebagai
kumpulan kertas-kertas berharga dari suatu pekerjaan tertentu. Pengertian portofolio di
sini adalah suatu kumpulan pekerjaan peserta didik dengan maksud tertentu dan terpadu
yang diseleksi menurut panduan-panduan yang ditentukan. Panduan-panduan ini beragam
tergantung pada mata pelajaran dan tujuan portofolio. Penilaian portofolio juga
merupakan penilaian berbasis kelas terhadap sekumpulan karya peserta didik yang
tersusun secara sistematis dan terorganisir yang diambil selama proses pembelajaran
dalam kurun waktu tertentu, penilaian portofolio tidak saja dapat dilakukan oleh guru di
sekolah akan tetapi juga dapat dilakukan oleh orang tua di rumah dalam memantau
perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran
tertentu.
Penilaian memegang peranan penting dalam proses pembelajaran (worten, Baline, R, dan
James R, Sanders, 1987 dalam Tayipnafis, 2000; 2-3) menjelaskan bahwa penilaian
sebagai dasar untuk:
1. Membuat kebijakan dan keputusan
2. Menilai hasil yang dicapai para peserta didik.
3. menilai kurikulum.
4. Memberi kepercayaan kepada sekolah.
5. Memonitor dana yang telah diberikan.
6. Memperbaiki materi dan program pendidikan.
Kemudian Ralph Tyler (1950; 69) penilaian yang dilaksanakan seorang pembelajar/guru
berguna untuk menentukan sampai sejauh mana tujuan pembelajaran telah dicapai.
Djemari Mardapi dkk, (2001) menyebutkan bahwa penilaian portofolio harus
memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Karya dikumpulkan adalah benar-benar karya yang bersangkutan.


2. Menentukan contoh pekerjaan mana yang harus dikerjakan.
3. Mengumpulkan dan menyimpan sampel karya.
4. Menentukan kriteria untuk menilai portofolio.
5. Meminta peserta didik untuk menilai secara terus-menerus hasil portofolionya.
6. Merencanakan pertemuan dengan peserta didik yang dinilai.
7. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam menilai portofolio.
Barton & Collins (dalam Sumarna Surapranata, dkk., 2006; 25 -26) objek potofolio atau
evidence dibedakan menjadi empat macam:
1. Hasil karya peserta didik (artifacts), yaitu hasil karya peserta didik yang dihasilkan di
kelas.
2. Reproduksi (reproductions) yaitu hasil kerja peserta didik yang dikerjakan di luar
kelas.
3. Pengesahan (attestations) yaitu pernyataan dan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
guru atau pihak lainnya tentang peserta didik.
4. Produksi (productions) yaitu hasil kerja peserta didik yang dipersiapkan khusus untuk
portofolio.
Menurut Sumarna secara umum portofolio merupakan kumpulan dokumen berupa objek
penilaian yang dipakai seseorang, kelompok, lembaga, organisasi, perusahaan, atau
sejenisnya yang bertujuan untuk mendokumentasikan dan mengevaluasi perkembangan
suatu proses dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam perusahaan. Di samping
itu evidence peserta didik dapat didemonstrasikan terhadap orang lain sebagai manifestasi
yang mereka miliki tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
B. Bahan-Bahan Portofolio
Menurut Sumarna (2006; 39) bahan-bahan yang dapat dijadikan portofolio di sekolah,
adalah sebagai berikut:
1. Penghargaan tertulis, misalnya sertifikat mengikuti lomba matematika tingkat kelas,
sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi maupun nasional;
2. Penghargaan lisan, guru mencatat penghargaan lisan yang diberikan peserta didik
dalam kurun waktu tertentu;
3. Hasil kerja biasa dan hasil pelaksanaan tugas-tugas oleh peserta didik dalam kurun
waktu tertentu;
4. Daftar ringkasan hasil pekerjaan, berupa buku catatan peserta didik;
5. Catatan sebagai peserta dalam suatu kerja kelompok;
6. Contoh terbaik hasil pekerjaan, menurut pendapat guru dan peserta didik;
7. Catatan/laporan dari pihak lain yang relevan, antara lain dari teman atau orang lain;
8. Hasil rekapitulasi daftar kehadiran;
9. Hasil ulangan harian atau semester;
10. Prosentase dari tugas-tugas yang selesai dikerjakan; dan

11. Catatan pribadi;


12. Daftar kehadiran;
13. Persentase tugas yang telah selesai dikerjakan;
14. Catatan tentang peringatan yang diberikan guru manakala peserta didik melakukan
kesalahan;
15. Audio visual;
16. Video;
17. Disket.
Kemudian dalam proses penyusunan bahan-bahan portofolio mempertimbangkan
beberapa faktor, masing-masing;
1. Koleksi: mengumpulkan hasil kerja peserta didik yang menunjukkan pertumbuhan,
kemajuan, dan hasil belajar.
2. Organisasi: mengorganisasikan berbagai hasil kerja peserta didik.
3. Refleksi: merenungkan/memikirkan kembali apa yang telah dikoleksi dan diorganisasi.
4. Penyajian: mempresentasikan hasil kerja peserta didik.
Portofolio disusun sedemikian rupa dari hasil kerja peserta didik dengan mempergunakan
beberapa pertimbangan dan struktur kerja, karena portofolio tersebut akan membangun
daya kreativitas dan struktur berpikir peserta didik, dimulai dari mendiskripsikan
informasi primer dan kemudian informasi sekunder serta dipaparkan secara asal-asalan
dan tumpang tindih, kemudian mempertimbangkan;
1. Apa-apa saja yang harus dimuatkan ke dalam portofolio?.
2. Hasil karya yang mana yang bersifat wajib dan yang bersifat pilihan?.
3. Siapa yang akan menyeleksi?.
4. Kapan, berapa sering, siapa yang akan mengkaji ulang portofolio?.
http://www.google.co.id/search?q=Pengertian+portofolio&hl=id&client=firefoxa&hs=vW6&rls=org.mozilla: diakses tanggal 6 September 2010.
Bahan-bahan yang dikumpulkan adalah bahan yang dapat memberi informasi tentang
perkembangan yang dialami oleh peserta didik, atau bahan itu berguna olah guru sebagai
informasi dalam pengambilan keputusan, bahan-bahan di atas dipilih dan ditentukan yang
relevan dengan materi pelajaran atau dapat ditambah dengan bebagai bahan lain.
C. Jenis-Jenis Portofolio
Portofolio dilihat dalam jenis dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk portofolio, yaitu:
1. Portofolio perkembangan: berisikan koleksi artefak peserta didik yang menunjukkan
pertumbuhan seorang peserta didik.
2. Portofolio pamer/showcase: berisikan koleksi artefak peserta didik yang menunjukkan
hasil karya terbaiknya.
3. Portofolio komprehensif: berisikan koleksi artefak seluruh hasil karya peserta didik.

Secara kontinum portofolio bertujuan sebagai berikut;


1. Untuk penilaian formatif dan diagnostik, untuk memonitor perkembangan peserta didik
dari hari ke hari, dan berfokus pada proses perkembangan peserta didik.
2. Untuk memeberi eviden (bukti) penilaian formal.
3. Untuk mengikuti perkembangan pekerjaan peserta didik, berfokus pada proses dan
hasil.
4. Untuk mengoleksi hasil pekerjaan yang telah selesai, berfokus pada penilaian sumatif.
Selanjutnya, portofolio merupakan tugas yang dilaksanakan peserta didik dengan
ketentuan berisikan;
1. Rancangan isi dan sleksi dipengaruhi oleh tujuan portofolio.
2. Ada portofolio yang berisikan segala sesuatu yang dilakukan peserta didik.
3. Ada portofolio hanya berisikan beberapa item saja dari yang dilakukan peserta didik.
D. Tujuan Menggunakan Penilaian Portofolio
Tujuan menggunakan penilaian portofolio menurut Suderadjat (2004, 128), Sumarna
Surapranata, Muahmmad Hatta (2006; 76) adalah:
1. Dapat menghargai perkembangan hasil belajar peserta didik (prestasi);
2. Mendokumentasikan proses pembelajaran yang berlangsung;
3. Memberi perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik;
4. Bertukar informasi dengan orang tua/wali peserta didik dan guru lain;
5. Meningkatkan efektivitas proses pengajaran;
6. Dapat merefleksikan kesanggupan mengambil resiko dan melakukan eksperimen;
7. Dapat membina dan mempercepat pertumbuhan konsep diri pada peserta didik;
8. Peserta didik memandang lebih objektif dan terbuka dibandingkan dengan tes
tradisional karena peserta didik sendiri ikut menilai hasil kinerja dirinya;
9. Membantu peserta didik dalam merumuskan tujuan.
Di samping itu portofolio akan dapat menimbulkan beberapa efek positif pada diri peserta
didik dan pada diri guru itu sendiri, sehingga proses pembelajaran yang laksanakan guru
bersama peserta didik menjadi proses yang menyenang, menarik, kreatif, integratif, dan
reflektif. Efek tersebut pada;
Peserta didik
Peserta didik merasa bangga terhadap hasil karya yang telah dilaksanakan
Merefleksi strategi kerja
Menentukan tujuan
Termotivasi
Mengontrol pekerjaannya
Mendapat penguatan
Terbangun harga diri
Bekerja sesuai dengan kemampuan

Guru
Berkesempatan memikirkan kembali pekerjaan peserta didiknya
Termotivasi mengembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan peserta didik
Memperbaharui komitmennya
Tujuan penggunaan portofolio juga akan menciptakan peserta didik merefleksi karyanya,
apa, kenapa, dan bagaimana dengan dokumen yang telah dimilikinya. Peserta didik
memulai dengan bertanya pada dirinya dan membuatkan mereka merenungkan hasil
karyanya dan mampu menilai dirinya. Keuntungan refleksi tersebut, adalah sebagai
berikut;
Mendorong peserta didik merasa memiliki
Mengarah peserta didik pada pencapaian kompetensi tertentu
Melatih bekerja dengan data autentik
Melatih peserta didik untuk mematuhi kriteria
Peserta didik merefleksikan hipotesis, asumsi, hambatan
Melatih peserta didik untuk mengecek, apakah pekerjaannya dapat diterima orang lain
Mendorong peserta didik untuk menyelidiki lebih lanjut
Memberi peluang peserta untuk menentukan jenis portofolio
Memberi peluang kepada peserta didik untuk melakukan proses internalisasi dan
berpikir secara holistik.
E. Perbedaan Penilaian Portofolio dengan Tes Tradisional
Penilaian portofolio memiliki perbedaan dengan tes tradisonal, penilaian portofolio
merupakan ciri khas penilaian pembelajaran berbasis kompetensi, berikut ini akan dapat
dilihat perbedaan penilaian portofolio dengan tes tradisional dalam gambar 1 di bawah
ini:
Gambar 1
Perbedaan Penilaian Portofolio dan Tes Tradisional
NO PENILAIAN DENGAN PORTOFOLIO PENILAIAN DENGAN TES
TRADISIONAL
1 Menilai peserta didik berdasarkan hasil kerja yang berkaitan dengan kinerja yang
dinilai. Menilai peserta didik berdasarkan pencapaian tujuan tertentu.
2 Peserta didik ikut serta dalam menilai kemajuan yang dicapai dalam penyelesaian
berbagai tugas yang dinilai. Penilaian hanya dilakukan oleh guru beradasarkan masukan
yang terbatas.
3 Mewujudkan proses penilaian kolaboratif. Proses penilaian tidak ada kerjasama antara
guru, peserta didik, dan orang tua.
4 Bertujuan agar peserta didik mampu menilai diri sendiri. Kemampuan peserta didik
dalam menilai diri sendiri bukan merupakan tujuan pembelajaran.
5 Menilai kemajuan, proses, dan pencapaian akhir. Yang dinilai hanyalah hasil akhir.
6 Dapat mengevaluasi kebutuhan, minat, kemampuan akademik, dan karakteristik peserta
didik secara individual. Hanya mengevaluasi peserta didik dalam kemampuan kognitif

tingkat rendah.
7 Mengembangkan potensi peserta didik dalam melakukan self assessment (keterampilan
menemukan kelebihan dan kekurangannya sendiri, serta kemampuan untuk menggunakan
kelebihan tersebut dalam mengatasi kelemahannya, yang merupakan kompetensi dasar
yang harus dimiliki peserta didik). Memberikan informasi kepada peserta didik mengenai
kemampuan akademiknya, melalui nilai yang diperolehnya setelah mengikuti tes tertentu
(formatif, sumatif, EBTANAS).
(Hari Suderadjat, 2004: 129)
Portofolio dan Penilaian
Jika diberikan kepada guru kelas berikutnya, prioritas artefak yang mengambarkan
profil kemampuan peserta didik pada kelas sebelumnya.
Jika diberikan kepada jenjang sekolah berikutnya, prioritaskan artefak yang
mengambarkan profil kemampuan peserta didik pada sekolah sebelumnya.
Jika digunakan untuk refleksi, prioritaskan artefak yang mendukung penilaian diri dan
pertumbuhan.
Jika digunakan untuk evaluasi program, prioritaskan artefak yang mendukung
pengembangan kompetensi.
Jika digunakan untuk tujuan penilaian, prioritaskan artefak yang memenuhi kriteria
kelulusan dan kenaikan kelas.
Jika digunakan untuk memilih wakil sekolah mengikuti lomba-lomba antar sekolah,
prioritaskan artefak yang mengambarkan kemampuan peserta didik pada cabang lomba
tersebut.
Portofolio untuk Tujuan Penilaian
Bertujuan:
Mendapatkan informasi tentang pertumbuhan/kemajuan belajar peserta didik atau
potensi pertumbuhan/kemajuan belajarnya.
Mendapatkan data kemajuan belajar peserta didik yang dapat diproses menjadi nilai
rapor atau deskripsi kompetensi peserta didik pada mata pelajaran tertentu.
Contoh
Nilai/angka Misalnya nilai rapor Bahasa Indonesia Nabil pada semester II = 7
Deskripsi singkat Kompetensi yang telah dicapai Nabil:
Menulis: sudah dapat menulis dengan kata-kata sendiri tetapi gagasannya belum
lengkap
Penggunaan tanda baca sudah mulai tepat
Membaca: mampu membaca wacana yang sederhana dan tulisannya sendiri
Berbicara: gagasan dalam diskusi mudah dimengerti kawan-kawannya
Artefak dalam Portofolio Contoh dua karangan berdasarkan pengalaman nyata

Contoh surat pada keluarga


Catatan dari diskusi kelompok
Beberapa hal yang harus disepakati ketika menetapkan portofolio sebagai alat penilaian,
orang yang terlibat dengan penilaian portofolio harus menyepakati;
Apa yang harus diperiksa?
Siapa yang mengamati portofolio, apakah rekan sebaya, guru, panitia, atauy kepala
sekolah?
Jenis bahan apa yang memiliki manfaat terbesar untuk penilaian?
Gambar 2
Perbandingan Portofolio dan Testing
ASPEK PORTOFOLIO TESTING
Rentang Kompetensi Mampu mengembangkan tentang kompetensi yang lebih luas
Mengambarkan kompetensi yang terbatas
Jangka Waktu Memungkinkan peserta didik membuktikan kemampuan pada priode yang
cukup panjang
Peserta didik membuktikan kemampuan dalam situasi test dan dalam waktu yang amat
singkat
Suasana Penilaian Dalam suasana alamiah dan wajar
Dalam suasana tes yang dirancang dengan waktu terbatas, di ruang tertentu
Peluang Menilai Diri Memungkinkan peserta didik membahaskan kriteria dan menilai
diri sendiri
Peserta didik jarang dilibatkan membahas kriteria dan tidak diberi peluang menilai diri
Perbedaan Individual Memungkinkan peserta didik menunjukkan hasil kerja yang unik
Kurang memberi peluang perbedaan individual
Siapa Penilai Guru dapat melibatkan peserta didik, guru lain, orang tua
Guru sebagai penilai tunggal
Fokus Penilaian Penilaian pada hasil belajar, kesulitan belajar (diagnostik), dan perbaikan
Lebih pada hasil belajar
Kaitan dengan Proses Pembelajaran Berkaitan erat/satu kesatuan dengan proses
pembelajaran
Terpisah dari proses pembelajaran
Bukti Produk Menghasilkan produk sebagai eviden (bukti) yang diberi pernyataan
tentang pencapaian kompetensi
Menghasilkan skor atau pernyataan tentang pencapaian kompetensi tanpa disertai bukti
produk
Waktu Pembuatan Karya Waktu pembuatan dalam waktu yang cukup panjang, sehingga
mampu menghasilkan karangan, laporan eksperimen, naskah drama, teks lagu. Waktu
terbatas, sehingga tidak memungkinkan hasil-hasil karya yang memadai

Dengan portofolio ini akan menghasilkan produk sebuah mata pelajaran dalam bentuk
hasil karya peserta didik yang bermakna dan bermanfaat, sebagaimana contoh-contoh di
bawah ini;
Bentuk Hasil Karya Peserta Didik
Agama
Doa
Sinopsis bacaan
Gambar
Kaligrafi
Kamus
Renungan tertulis
Hikmah
Puisi
Dll Kewarganegaraan
Laporan observasi
Laporan penyelidikan/penelitian sederhana
Puisi
Karangan (prosa)
Teks lagu
Naskah sosio drama
Poster
Ddll
Bahasa
Karangan/prosa
Puisi
Naskah drama
Naskah pidato
Poster
Sinopsis
Laporan kunjungan
Iklan
Naskah ADT/ART
Surat
Catatan dari bacaan
Abstrak isi buku
Dll Metematika
Proyek masalah matematika
Model teknologi
Mmaket bangunan
Ddll
Sains
Laporan eksperimen
Gambar model
Alat teknologi

Laporan penyelidikan
Laporan observasi
Gambar alat yang dibuat
Tulisan suatu topik sains
Laporan kunjungan
Dll Ilmu-Ilmu Sosial
Laporan observasi
Laporan penyeldikan/penelitian sedarhana
Kliping disertai komentar
Peta
Model lokasi/bentang alam
Skala sikap
Hasil suvei
Poster
Skala rating partisipasi dalam diskusi
Laporan studi wisata
Dll
Musik
Program audio (kaset)
Teks lagu
Komposisi musik
Alat musik buatan sendiri
Dll Keterampilan
Karya kerajinan tangan
Tanaman pot
Tanaman keras
Jahitan
Keramik
Hasil ternak
Dll
Hasil-hasil karya tersebut dilengkapi langkah-langkah pembuatan, ilustrasi, foto.
Tulisan, ilustrasi, foto tersebut masuk ke dalam maf/folder.
Kegiatan ekstrakurikuler
Laporan kegiatan Pramuka
Laporan kegiatan PMR
Laporan tentang kemping
Laporan program live-in di desa
Artikel pada majalah sekolah
Puisi yang dipentaskan
Catatan memberikan donasi pada musibah
Album studi wisata
Rancangan alat musik buatan sendiri
Rancangan permainan tradisional
Ungkapan kesan-kesan mengikuti kegiatan keagamaan

Lukisan yang dibuat waktu liburan


Dll
Metematika
Kompetensi
Berpikir matematis
Pemecahan masalah
Hubungan matematis
Kerja sebagai matematikawan
Catatan jawaban soal yang kreatif
Jawaban dari buku yang tidak terduga
Hasil kerja mata pelajaran lain yang berhubungan dengan matematika
Jawaban soal divergen dari ulangan
Catatan hasil permainan matematika
Rumus yang ditemukan peserta didik
Maket/model bangunan dengan skala
Sejarah
Kompetensi
Menemukan informsai
Menginterpretasikan
Membuatkan hipotesis
Membuatkan sintesis
Menilai eviden Garis waktu pribadi
Deskripsi gambar berdasarkan pertanyaan
Laporan wawancara dengan narasumber
Sinopsis topik sejarah
Catatan jawaban pertanyaan dari buku
Catatan singkat observasi
Komentar pada kliping, foto, teks
Kisah sejarah dari aneka peristiwa setempat

Laporan kunjungan ke situs sejarah


http://www.google.co.id/search?q=Pengertian+portofolio&hl=id&client=firefoxa&hs=vW6&rls=org.mozilla: diakses tanggal 6 September 2010.
F. Perbandingan Lembaran Portofolio dengan Lembaran Kliping
Lembaran portofolio merupakan hasil karya peserta didik berupa draft mentah, nilai,
makalah, benda kerja, kritik dan ringkasan, lembaran refleksi diri, pekerjaan rumah,
jurnal, respon kelompok, grafik, lembaran catatan dan catatan diskusi. Beberapa cara
baru seperti: note book, multi media, disket, flashdisk, map lipat, dan file internet. Karya
ini direfleksi apa, kenapa, dan bagaimana ditampilkan, berikut ini dapat dilihat
perbedaannya;
Gambar 3
Perbandingan antara Potofolio dan Buku Kliping
ASPEK PORTOFOLIO BUKU KLIPING
1. Penampilan Mirip buku kliping Mirip portofolio
2. Isi Hasil karya peserta didi yang diseleksi & dikoleksi dengan bentuk dan tujuan
tertentu
Koleksi hasil karya tanpa bentuk & tujuan tertentu
3. Refleksi Isi portofolio direfleksi misalnya mengapa suatu karya dimasukkan
Isi buku kliping tidak direfleksi
4. Penilaian Disajikan dengan maksud diamati pengamat yang dapat membuat penilaian
hasil karya yang dikoleksi
Disajikan tanpa maksud diamati dan dinilai
http://www.google.co.id/search?q=Pengertian+portofolio&hl=id&client=firefoxa&hs=vW6&rls=org.mozilla: diakses tanggal 6 September 2010.
G. Langkah-langkah Penilaian Portofolio dan Sumber Belajar
Menurut Fajar (2002: 48) langkah-langkah penilaian dengan portofolio, adalah:
1. Mengidentifikasi masalah yang ada di masyarakat.
2. Memilih suatu masalah untuk dikaji di kelas.
3. Mengumpulkan informasi yang terkait dengan masalah yang dikaji.
4. Membuat portofolio kelas.
5. Menyajikan potofolio/dengar pendapat (showcase).
6. Melakukan refleksi pengalaman belajar.
Di dalam setiap langkah, peserta didik belajar mandiri dalam kelompok kecil dengan
fasilitasi dari guru dan menggunakan ragam sumber belajar di sekolah maupun di luar
sekolah (masyarakat).
Sumber berlajar atau informasi dapat diperoleh dari :

1. Manusia (pakar, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain).


2. Kantor penerbitan surat kabar, bahan tertulis.
3. Bahan terekam.
4. Bahan tersiar (tv, radio).
5. Alam sekitar.
6. Situs sejarah, artifak dan lain-lain.
Pada sumber berlajar ini para peserta didik dapat mengembangkan keterampilan, seperti
mendengar pendapat orang lain, membaca, bertanya, mencatat, menjelaskan, memilih,
menimbang, mengkaji, merancang, menyepakati, merumuskan, memilih pimpinan,
membagi tugas, beragumentasi, dan lain sebagainya.
G. Contoh Format Penilaian Portofolio
Format penilaian dapat mempergunakan beragam alat penilaian, bergantung pada bentuk
hasil kerja, tujuan penilaian, prinsip keterlaksanaannya. Penilaian itu juga dapat
mempergunakan daftar cek list, skala likert, skala rating, komentar lisan tulisan seperti
di bawah ini, butir nilai, presentase, tingkatan huruf untuk tiap kriteria.
Contoh 1. Penilaian Portofolio Pendidikan Agama Islam Kelas 6 SD
Kompetensi Dasar
Mengerjakan Puasa Wajib Nama : Alfais
Tanggal : 9 Agustus 2010
Indikator Penilaian
Menjelaskan pengertian puasa wajib
Menyebutkan macam-macam puasa wajib
Melaksanakan puasa wajib
Dicapai Melalui:
Pertolongan guru
Seluruh kelas
Kelompok kecil
Sendiri
Komentar orang tua
Unsur penilaian dapat dikembangkan dalam bentuk pernyataan lain seperti; jelek sekali,
jelek, sedang, baik, baik sekali atau mempergunakan angka 1 s.d. 10 serta dapat juga
dilihat penskoran portofolio pada buku saya Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi
(2006; 163 164).
Pola penilaian di atas lebih mengacu pada penilaian berbasis kelas yang bermanfaat bagi
guru, peserta didik, dan orang tua. Manfaat penilaian berbasis kelas bagi guru, adalah;
1. Memberi umpan balik pada program jangka pendek yang dilakukan oleh peserta didik
dan guru dalam kegiatan proses belajar sehingga memungkinkan pembuatan koreksi hasil

penilaian;
2. Memberi kegunaan hasil pembelajaran peserta didik dengan melibatkan peserta didik
secara maksimal;
3. Membantu pembuatan laporan labih bagus dan menaikkan efisiensi pembelajaran; dan
4. Mendorong pembelajaran sebagai proses penilaian formatif yang melibatkan banyak
waktu untuk melakukan umpan balik dan perbaikan hasil peserta didik.
Penilaian berbasis kelas sangat bermanfaat bagi peserta didik untuk:
1. Memantau pembelajaran dirinya secara lebih baik;
2. Menitik beratkan pada kebutuhan perubahan kemampuan, keterampilan dan nilai.
Penilaian berbasis kelas sangat bermanfaat bagi orang tua untuk:
1. Mengetahui kelemahan dan peringkat anaknya;
2. Mendorong orang tua peserta didik untuk melakukan bimbingan kepada anaknya;
3. Melibatkan orang tua peserta didik untuk melakukan diskusi dengan guru/sekolah
dalam hal perbaikan kelemahan peserta didik.
(Sumarna Surapranata, 2006; 5 6)
Contoh 2. Penilaian Portofolio Hasil Penyelidikan
1. Bukti terjadinya proses berpikir.
Apakah peserta didik telah menyusun dengan rapi satuan-satuan isi portofolio dan data
dalam setiap satuan itu?
Apakah peserta didik telah berusaha membuat dugaan, menjelajah, menganalisis,
mencari pola, dsb?
Apakah peserta didik telah menggunakan materi konkret atau gambar untuk
menafsirkan dan memecahkan masalah, atau untuk memperoleh hasil penyelidikannya?
Apakah peserta didik telah menggunakan alat bantu lain dalam
pemecahan masalah atau penyelidikannya?
(Besarnya skor sama dengan banyaknya indikator yang dipenuhi. Jadi, skor yang
mungkin: 0, 1, 2, 3, 4)
2. Mutu kegiatan atau penyelidikan
Apakah kegiatan atau penyelidikan oleh peserta didik yang dilaporkan dalam portofolio
meningkatkan pengetahuan atau pemahaman peserta didik tentang konsep aatau kaidah
tertentu?
Apakah kegiatan membuat portofolio meningkatkan keterampilan peserta didik dalam
menggunakan konsep, cara, atau kaidah tertentu?
Apakah kegiatan membuat portofolio meningkatkan sikap peserta didik terhadap
pelajaran yang bersangkutan?
Apakah kegiatan atau penyelidikan itu melibatkan beberapa subpokok bahasan?
(Besarnya skor sama dengan banyaknya indikator yang dipenuhi. Jadi, skor yang
mungkin: 0, 1, 2, 3, 4)
3. Keragaman pendekatan

Apakah ada petunjuk yang kuat atau bukti bahwa peserta didik menggunakan berbagai
pendekatan dalam memecahkan masalah?
Apakah ada petunjuk yang kuat atau bukti bahwa peserta didik melakukan berbagai
macam kegiatan atau penyelidikan?
(Besarnya skor sama dengan dua kali banyaknya indikator yang dipenuhi. Jadi, skor yang
mungkin: 0, 2, 4)
Contoh 3. Penilaian Portofolio Matematika
Aspek Indikator Skor
Pengetahuan
Matematika Menunjukkan pemahaman tentang semua konsep dan prinsip matematis
yang terkandung di dalam masalah yang harus dipecahkannya.
4
Menggunakan istilah dan notasi matematis yang sesuai. 3
Melaksanakan algoritma yang relevan dengan lengkap dan benar 3
Menggunakan istilah dan notasi matematis yang betul. 4
Menunjukkan bahwa peserta didik memahami hampir semua konsep dan prinsip
matematis yang terkandung di dalam masalah yang harus dipecahkannya. 2
Tidak berbuat kesalahan yang agak serius dalam hitungan. 3
Mempunyai pemahamannnya luas tentang konsep dan prinsip matematika yang
terkandung di dalam masalah yang harus dipecahkannya 3
Ketelitian dalam hitungan dan pejumlahan 4
Strategi
Menggunakan informasi yang relevan dari luar rumusan masalah yang harus
dipecahkannya.
0
Berhasil mengidentifikasi semua unsur penting di dalam masalah, dan menunjukkan
hubungan yang ada antara unsur-unsur itu. 3
Mencerminkan penggunaan strategi yang cocok dan sistematik dalam memecahkan
masalah. 3
Penyelesaian masalah yang digunakan jelas dan lengkap. 3
Mencerminkan penggunaan strategi yang cocok dan pemecahan masalah yang
sistematis . 4
Menggunakan informasi yang relevan. 3
Mampu mengidentifikasi unsur-unsur penting dalam masalah yang harus dipecahkannya.
2
Menggunakan strategi berpikir lateral 3
Komunikasi Memberikan tanggapan yang lengkap, serta uraian yang jelas dan tidak
meragukan. 4
Membuat gambar atau diagram yang cocok dan lengkap. 2
Menyampaikan gagasannya dengan jelas 3
Menggunakan argumen yang logis dan lengkap. 3
Memberikan contoh atau contoh-kontra. 4
Menyampaikan gagasannya dengan jelas. 4
Uraian yang dibuatnya jelas, atau mudah dipahami. 4
Membuat gambar yang memiliki kaitan dengan masalah yang harus dipecahkannya. 4

Membuat langkah yang benar dalam memecahkan masalah. 3


Jumlah 75
Keterangan Penilaian
4 : Sangat Baik
3 : Baik
2 : Sedang
1 : Kurang
0 : Kurang Sekali

Pengertian dan Hakekat PAUD


A. Pengertian PAUD
Pendidikan anak usia dini adalah merupakan upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian stimulus pendidikan agar membantu
perkembangan, pertumbuhan baik jasmani maupun rohani sehingga anak
memiliki kesiapan memasuki penddikan yang lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang paling
mendasar dan menempati kedudukan sebagai golden age dan sangat
strategis dalam pengembangan sumber daya manausia (Direktorat PAUD,
2005). Rentang anak usia dini dari lahir sampai usia enam tahun adalah usia
kritis sekaligus strategis dalam proses pendidikan dan dapat mempengaruhi
proses serta hasil pendidikan seseorang selanjutnya artinya pada periode ini
merupakan periode kondusif untuk menumbuh kembangakan berbagai
kemampuan, kecerdasan, bakat, kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosioemosional dan spiritual.
Sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia adalah sebait ungkapan
yang sarat makna dan merupakan semboyan dalam pengasuhan, pendidikan
dan pengembangan anak usia dini di Indonesia (Jalal, 2005).
Pendidikan anak usia dini dianggap sebagai cermin dari suatu
tatanan masyarakat, tetapi juga ada pandangan yang mengemukakan bahwa
sikap dan perilaku suatu masyarakat dipandang sebagai suatu keberhasilan
ataupun sebagai suatu kegagalan dalam pendidikan dan keberhasilan
pendidikan tergantung kepada pendididkan anak usia dini karena jika
pelaksanaan pendidikan pada usia dini baik, maka proses pendidikan pada
usia remaja, usia dewasa akan naik pula.
B. Hakekat PAUD
Secara alamiah, perkembangan anak berbeda-beda, baik intelegensi,
bakat, minat, kreativitas, kematangan emosi, kepribadian, kemandirian,

jasmani dan sosialnya. Namun penelitian tentang otak menunjukkan bahwa jika
anak dirangsang sejak dini, akan ditemukan potensi-potensi yang unggul dalam
dirinya. Setiap anak unik, berbeda dan memiliki kemampuan tak terbatas dalam
belajar (limitless capacity to learn) yang telah ada dalam dirinya untuk dapat
berpikir kreatif dan produktif, mandiri . Oleh karena itu, anak memerlukan program
pendidikan yang mampu membuka kapasitas tersembunyi tersebut melalui
pembelajaran yang bermakna sedini mungkin. Jika potensi pada diri anak
tidak pernah direalisasikan, berarti anak telah kehilangan kesempatan dan
momentum penting dalam hidupnya.
Abraham Maslow telah menjelaskan tentang hirarki dari kebutuhan
dasar manusia karna setiap individu itu berbeda, baik dilihat dari jenis
kelamin, temperamen, ketertarikan, gaya belajar, pengalaman hidup, budaya,
kebutuhannya (Diane Trister Dodge, Laura J. Colker, Cate, 2008). Maka
setiap individu juga berbeda dalam hal kemandirian, konsep diri, dan tingkat
kemampuannya.
Usia 4-6 tahun (TK) merupakan masa peka bagi anak, di mana anak
mulai sensitif untuk menerima barbagai upaya perkembangan seluruh potensi
anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan
psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Di
mana pada masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama
dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa sosial emosional,
konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama (Depdikna
,2004). Oleh sebab itu dibutuhkan suasana belajar, strategi dan stimulus
yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan
anak tercapai secara optimal.
Hahekat pendidikan anak usia dini adalah periode pendidikan yang
sangat menentukan perkembangan dan arah masa depan seorang anak
sebab pendidikan yang dimulai dari usia dini akan membekas dengan baik
jika pada masa perkembangannya dilalui dengan suasana yang baik,
harmonis, serasi, dan menyenangkan.
Pendidikan anak usia dini merupakan dasar dari pendidikan anak
selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan berbagai permasalahan yang
dihadapi anak. Sengan demikian maka pandidikan usia dini adalah jendela
pembuka dunia (window of opportunity) bagi anak
Secara singkat Bredekamp dan Regrant menyimpulkan bahwa anak
akan belajar dengan baik dan bermakna bila anak merasa nyaman secara
psikologis serta kebutuhannya fisiknya terpenuhi, anak mengkonstruksi
pengetahuannya, anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa
dan anak lainnya, eksplorasi, pencarian, penggunaaan, belajar melalui
bermain, unsur perbedaan anak diperhatikan(Bredekamp,1997).

Developmentally Appropriate Practice includes activities that are


based on childrens interests, their cognitive lavel of functioning, and their
social and emotional maturity. Such activities appeal to young childrens
natural curiosity, enjoyment of sensory experiences, and desire to explore
their own ideas (Eleanor stokes Szanton,2008)
Komitmen Jomtien Thailand tentang Pendidikan Untuk Semua
(Education For All) menyatakan bahwa semua orang mempunyai hak
mendapatkan
pendidikan
dasar
untuk
mengem-bangkan
bakat,
meningkatkan kehidupannya, dan mentransfor-masikan masyarakatnya
(Unesco,2001) .
Komitmen memberikan kesempatan pendidikan yang lebih luas
kepada setiap orang mulai dari usia dini sampai dewasa ditegaskan kembali
dalam tujuan-tujuan Pendidikan Untuk Semua dengan Deklarasi Dakar yaitu:
(i) memperluas & memperbaiki keseluruhan perawatan & pendidikan anak
usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan & terlantar; (ii)
kesetaraan jender di bidang pendidikan; (iii) program life skill bagi pemuda &
orang dewasa; (iv) pemberantasan buta aksara;(v) wajib belajar pendidikan
dasar; dan (vi) peningkatan mutu pendidikan (Unesco,2001). Hak-hak
mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara telah diakui di Indonesia
sejak awal kemerdekaan. Kesamaan hak mendapatkan pendidikan tersebut
diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa salah satu dari tujuan kemerdekaan Indonesia adalah
untuk mencerdaskan bangsa.

Hakekat Pembelajaran Kontekstual dan Perbedaannya dengan


Pembelajaran Konvensional
Berikut ini enam strategi pembelajaran kontekstual sebagai panduan guru untuk
merancang satuan pembelajaran, yaitu:
1. Pembelajaran kontektual membicarakan sebuah permasalahan yang memiliki
hubungan dalam kehidupan peserta didik.
2. Rencana pembelajaran melahirkan beragam konteks.
3. Memanfaatkan berbagai keterampilan peserta didik, minat, pengalaman, dan
budaya.
4. Membangun strategi yang mendukung peserta didik untuk mampu belajar
mandiri.
5. Rencana strategi merangsang saling ketergantungan di antara peserta didik dan
kelompok belajar mereka.
6. Hasil belajar peserta didik dengan menggabungkan strategi penilaian otentik.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu


pembelajar mengaitkan antara materi yang akan dibelajarkan dengan dunia nyata peserta
didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran efektif yaitu sebagai berikut;
1). Konstruktivistik (constructivistism)
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekoyong-konyong. Dalam konstruktivistik,
strategi lebih diutamakan dibanding seberapa banyak peserta didik memperoleh dan
mengingat pengetahuan.
2). Menemukan (inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri, siklus inquiry adalah
observasi (observation), bertanya (questising), mengajukan dugaan (hipotesis),
pengumpulan data (data gathering).
3). Bertanya (questioning)
Bertanya dipandang sebagai kegiatan pembelajar mendorong, membimbing, dan
memiliki kemampuan berpikir peserta didik, sedangkan peserta didik kegiatan bertanya
untuk mengenali informasi, mengkomfirmasikan apa yang sudah diketahui dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan
antara peserta didik dengan peserta didik, antara pembelajar dengan peserta didik, antara
peserta didik dengan pembelajar, atau antara peserta didik dengan orang yang
didatangkan di kelas.
4). Masyarakat belajar (learning community)
Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dengan
orang lain, untuk itu pembelajar disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam
kelompok-kelompok belajar.
5). Pemodelan (modeling)
Model dalam pembelajaran suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk ditiru. Pembelajar
(dosen/guru) memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian
pembelajar bukan satu-satu model. Model dapat dirancang dengan melibatkan peserta
didik atau dapat mendatangkan dari luar.

6). Refleksi (reflection)


Cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa
yang sudah dilakukan yang kemudian kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu
mengendap di benak peserta didik.
7). Penilaian yang sebenarnya (authentic assessement)
Prosedur penilaian otentik adalah menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan,
dan sikap) peserta didik secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; penilain
yang tidak hanya mengacu pada hasil akan tetapi penilaian pada proses, bagimana peserta
didik memperoleh dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran
yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar
mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada
diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Kemajuan
belajar dinilai dari proses, bukan dari hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya
merupakan salah satu cara penilaian. Itulah hakekat penilaian yang sebenarnya
(Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 10-20).
Pembelajaran kontekstual merupakan konsepsi dari pengajaran dan pembelajaran yang
membantu pembelajar menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi sebenarnya dan
memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya di dalam kehidupan mereka, sebagai anggota keluarga, warga negara, dan
pekerja serta mengikatnya dalam belajar mata pelajaran dengan situasi sebenarnya dan
memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka secara individu, sosial, dan dunia kerja. Strategi
pembelajaran kontekstual disebut antara lain (1) didasarkan pada masalah (problem
based). Kontekstual dapat dimulai dengan simulasi atau masalah nyata. Para peserta didik
menggunakan keterampilan berpikir kritis dan suatu pendekatan sistemik untuk
pertanyaan yang berhubungan masalah atau isu yang patut diberi perhatian masalahmasalah yang ada hubungannya dengan anggota keluarga, peserta didik, pengalaman
sekolah, tempat kerja, dan masyarakat; (2) Menggunakan beraneka ragam hubungan
(using multiple contexts). Pengalaman kontekstual diperkaya ketika para peserta didik
belajar keterampilan di dalam berbagai konteks yaitu sekolah, masyarakat, tempat kerja,
dan keluarga; (3) Menggambarkan pada keanekaragaman peserta didik (drawing upon
student diversity). Perbedaan-perbedaan ini menjadi daya dorong belajar dan dapat
memperbanyak kompleksitas kepada pengalaman kontekstual; (4) Membantu
perkembangan pembelajaran mandiri (supporting self regulated learning). Pengalaman
kontekstual memberi cukup dukungan untuk membantu peserta didik berubah dari
ketergantungan ke pembelajaran mandiri; (5) Menggunakan kelompok-kelompok belajar
yang salaing bergantungan (using interdependent learning groups). Para peserta didik
akan dipengaruhi oleh dan akan berperan untuk pengetahuan dan kepercayaan dari yang
lain. Belajar grup dan belajar bermasyarakat merupakan suatu usaha untuk berbagi
pengetahuan, berorientasi pada tujuan, dan semua menginginkan mengajar dan belajar
dari satu dengan yang lain. Pendidik bertindak sebagai pelatih, fasilitator dan penasehat;
(6) Memanfaatkan penilaian yang sesungguhnya (employing authentic assessment).

Penilaian yang sesungguhnya menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi, dicampur


ke dalam proses pembelajaran, dan menyiapkan para peserta didik dengan peluang dan
arah untuk peningkatan. Penilaian sesungguhnya digunakan untuk memonitor kemajuan
peserta didik dan menginformasikan pelaksanaan pembelajaran (Sears dalam Direktorat
Pendidikan Umum, 2002; 15-16).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat pembelajaran kontekstual (1)
pembelajaran didasarkan pada masalah; (2) pembelajaran terjadi dalam konteks yang
beragam, seperti rumah, sekolah, masayarakat, dan tempat kerja; (3) membantu
perkembangan pembelajaran mandiri; (4) mengambarkan keanekaragaman peserta didik;
(5) menggunakan kelompok-kelompok belajar yang saling bergantungan; (6)
menggunakan penilaian yang sesunggunya; (7) memerlukan pemikiran yang lebih tinggi
(kritis dan kreatif).
Tabel I. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran
Konvensional
No
1
2

3
4

Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Konvensional
Mengutamakan pada pemahaman Mengutamakan daya ingat dan
peserta didik.
hafalan.
Pembelajaran dikembangkan
Pembelajaran dikembangkan oleh
berdasarkan kebutuhan peserta guru.
didik.
Peserta didik secara aktif terlibat Peserta didik penerima informasi
dalam proses pembelajaran
secara pasif.
Mendorong pembelajaran aktif Mengupayakan peserta didik
dan pembelajaran berpusat pada menerima materi yang disampaikan
peserta didik (students centered). oleh pembelajar (teacher centered).
Penyajian pembelajaran
Penyajian disajikan berdasarkan
berkaitan dengan kehidupan
teoretis, abstarak, kaku dan
nyata dan masalah yang
berpegang pada buku teks
disimulasikan.
Selalu mengaitkan informasi
Memberikan berupa informasi kepada
dengan pengetahuan yang telah peserta didik sampai saatnya
dimiliki peserta didik.
diperlukan.
Materi pelajaran selalu
Materi pelajaran disajikan secara
diintegrasikan dengan materi
terfokus berdasarkan subjek materi.
lain.
Peserta didik menggunakan
Cara belajar peserta didik di kelas
waktu belajarnya untuk
lebih banyak mendengar ceramah
menemukan, mengenal,
pembelajar, mengerjakan latihan
berdiskusi, berpikir kritis, atau yang diberikan pembelajar (bekerja
mengerjakan proyek dan
secara individual) dan belajar di
pemecahan masalah (melalui
rumah adalah mengerjakan tugas
kerja kelompok).
terstruktur dari pembelajar.

10
11

12

13

14

15

16
17
18

19

Pengetahuan dibangun
Pengetahuan dibangun berdasarkan
berdasarkan kemampuan peserta kebiasaan (behavioristik) dan terikat
didik dan atas kemauan sendiri. dengan kata dosen/guru.
Keterampilan dikembangkan atas Keterampilan dikembangkan atas
dasar pemahaman.
dasar latihan.
Pembelajaran menciptakan
Pembelajaran adalah menciptakan
peserta didik menjadi dirinya
peserta didik berprestasi di sekolah
sendiri, berbuat, untuk tahu, dan dan mendapat nilai yang tinggi di
hidup dengan masyarakat lain
lapor.
Mengajak peserta didik belajar Peserta didik diberi pengetahuan agar
mandiri, berpikir kritis, dan
dapat menjadi bekal hidupnya.
kreatif dalam mengembangkan
kemampuan diri.
Pengetahuan peserta didik akan Pengetahuan peserta didik
dapat dibangun melalui interaksi berkembang melalui proses interaksi
sosial dan lingkungan.
peserta dengan pembelajar.
Peserta didik tidak melakukan Peserta didik tidak melakukan
sesuatu yang buruk karena sadar sesuatu yang buruk karena takut akan
hal tersebut dapat merugikan
hukuman.
dirinya
Bahasa yang dipergunakan dalam Bahasa yang dipergunakan dalam
proses pembelajaran adalah
proses pembelajaran adalah
bahasa komunikatif, peserta didikstruktural; rumus diterangkan sampai
diajak mengguakan bahasa
paham, kemudian dilatih (drill).
konteks nyata
Mendorong munculnya motivasi Mendorong munculnya motivasi
instrinsik
ekstrinsik.
Pembelajaran tidak terikat pada Pembelajaran hanya terjadi di kelas
tempat, waktu, dan sarana.
Pembelajar (dosen/guru)
Pembelajar (dosen/guru)
menguatkan dan meneguhkan
membuatkan kesimpulan materi
kesimpulan yang telah dibuat
pelajaran yang telah disajikan
oleh peserta didik.
sebelumnya.
Hasil belajar diukur melalui
Hasil belajar diukr melalui kegiatan
penerapan penilaian autentik
akademik dalam bentuk
(pengetahuan, ketrampilan, dan tes/ujian/ulangan.
sikap).

Filosofi Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional


a. Pembelajaran Kontekstual
Filosofi pembelajaran kontekstual adalah konstruktivistik, yaitu belajar yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik mengkonstruksikan

pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi


fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat
diterapkan (direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 26). Menurut pandangan
konstruktivistik, perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan
akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan yang tertanam
dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun
dengan upaya dari individu peserta didik yang telah bergantung kepada skemata yang
telah dimiliki seseorang (Handoyo, 1998; 4-5).

Pembelajaran kontekstual bertujuan untuk membantu peserta


didik memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan
pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti
berikut ini. Pertama, membuat hubungan yang bermakna (making meaningful
conections), yaitu membuat hubungan antara subjek dengan pengalaman atau antara
pembelajaran dengan kehidupan nyata peserta didik sehingga hasilnya akan bermakna
dan makna ini akan memberi alasan untuk belajar. Kedua, Melakukan pekerjaan yang
berarti (doing significant work), yaitu dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai.
Ketiga, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self regulated learning), yaitu: (1)
siswa belajar melalui tatanan atau cara yang berbeda-beda bukan hanya satu, mereka
mempunyai ketertarikan dan talenta (bakat) yang berbeda; (2) membebaskan peserta
didik menggunakan gaya belajar mereka sendiri, memproses dalam cara mereka
menekspolrasi ketertarikan masing-masing dan mengembangkan bakat dengan
intelegensi yang beragam sesuai dengan selera mereka; (3) proses pembelajaran yang
melibatkan peserta didik dalam aksi yang bebas mencakup kadang satu orang, biasanya
satu kelompok. Aksi bebas ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik
dengan kontek kehidupan sehari-hari peserta didik dalam mencapai tujuan yang
bermakna. Tujuan ini dapat berupa hasil yang terlihat maupun yang tidak. Keempat,
bekerjasama (collaborating), yaitu proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik
dalam satu kelompok. Kelima, berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking),
yaitu pemikiran krits adalah: (1) proses yang jelas dan terorganisir yang digunakan dalam
kegiatan mental, seperti penyelesaian masalah, pengembilan keputusan, membujuk,
menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah; (2) kemampuan untuk
mengevaluasi secara sistematis, sedangkan pemikiran kreatif adalah kegiatan mental yang
memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. Keenam, membantu individu
untk tumbuh dan berkembang (nurturing the individual), yaitu menjaga dan
mempertahankan kemaujaun individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat
memotivasi, mendukung, menyamangati, dan memunculkan gairah belajar peserta didik.
Pembelajar harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar peserta didik
dalam lingkungan sekolah. Pembelajar diharapkan mampu memberi pengaruh baik
terhadap lingkungan belajar peserta didik. Antara pembelajar dan orang tua mempunyai
peran yang sama dalam mempengaruhi kemampuan peserta didik. Pencapaian
perkembangan peserta didik tergantung pada lingfkungan sekolah, juga pada kepedulian

perhatian yang diterima peserta didik terhadap pembelajaran (termasuk orang tua).
Hubungan ini penting dan memberi makna pada pengalaman peserta didik nantinya di
dalam kelompok dan dunia kerja. Ketujuh, mencapai standar yang tinggi (reaching high
standars), yaitu menyiapkan peserta didik mandiri, produktif dan cepat merespon atau
mengikuti perkembangan teknologi dan zaman. Dengan demikian dibutuhkan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang
yang bertanggung jawab, pengambil keputusan. Kedelapan, menggunakan penilaian yang
sesungguhnya (using authentic assessement), yaitu ditujukan pada motivasi peserta didik
menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan,
melibatkan keterampilan tangan, penerapan, dan kerjasama serta pemikiran tingkat tinggi
yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para peserta didik dapat menunjukkan
penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pengertian,
pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan (Johnson, 2002; 24-25).
Praktik pembelajaran kontekstual meliputi; (1) peserta didik aktif belajar; (2) peserta
didik bel;ajar dari satu peserta didik ke peserta didik lain melalui kersama, tim kerja, dan
refleksi diri; (3) pembelajaran hubungan dengan dunia nyata dan atau isu-isu simulasi dan
masalah-masalah yang bermakna; (4) peserta didik bertanggung jawab untuk memantau
dan mengembangkan pembelajaran mereka sendiri; (5) menghargai pendekatan konteks
kehidupan peserta didik dan pengalaman-pengalaman peserta didik sebelumnya
merupakan dasar dari pembelajaran; (6) peserta didik merupakan partisipasi yang aktif di
dalam peningkatan masyarakat; (7) pembelajaran peserta didik dinilai dengan berbagai
cara; (8) perspektif dan pendapat peserta didik memiliki nilai dan dihargai; (9)
pembelajar bertindak sebagai fasilitator dalam pembelajaran peserta didik; (10)
pembelajar menggunakan berbagai teknik pembelajaran yang tepat; (11) lingkungan
pembelajaran dinamis dan menyenangkan; (12) menekankan pada berpikir tingkat tinggi
dan pemecahan masalah; (13) peserta didik dan pembelajar disiapkan untuk
bereksperimen dengan pendekatan-pendekatan kreativitas seseorang; (14) proses
pembelajaran sama pentingnya dengan konteks yang dipelajari; (15) pembelajaran terjadi
dalam seting dan konteks ganda; (16) pengetahuan merupakan antar disiplin dan
diperluas tidak hanya sebatas di dalam kelas; (17) dosen/guru menerima perannya
sebagai pembelajar juga; (18) peserta didik mengidentifikasi dan memecahkan masalah
dalam konteks baru (Schell dalam Direktorat Pendidikan Umum, 2002; 21-22).
Berdasarkan uraian di atas bahwa filosofi pembelajaran kontekstual, yaitu; (1) peserta
didik sebagai subjek belajar; (2) peserta didik memperoleh kesempatan lebih untuk
meningkatkan hubungan kerjasama antar teman; (3) peserta didik memperoleh
kesempatan lebih untk mengembangkan aktivitas, kreativitas, sikap kritis, kemandirian,
dan mampu mengkomunikasikan dengan orang lain; (4) peserta didik lebih memiliki
peluang-peluang untuk menggunakan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan baru
yang diperlukan dalam kehidupan yang sebenarnya; (5) tugas pembelajar adalah sebagai
fasilitator.
Secara sederhana proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran kontekstual dapat
divisualisasikan dengan gambar berikut ini:

Gambar 1. Proses Pembelajaran dengan Strategi Pembelajaran Kontekstual

b. Pembelajaran Konvensional
Menurut Brandes et al bahwa dalam kelas konvensional adalah pendidik merupakan
orang yang (1) mempunyai banyak informasi, (2) bekerja untuk memindahkan
pengetahuan, (3) bertanggung jawab untuk mengajar pemelajar, (4) membuat pemelajar
bekerja, (5) dewasa, dan profesional, mempunyai keahlian untuk membuat keputusan
yang benar tentang belajar pemelajar (Donna Brandes, Paul Ginnis, 1986; 201).
Selanjutnya Edward berpendapat bahwa dalam kelas konvensional dalam pembelajaran,
pembelajar menggunakan buku teks untuk setiap mata pelajaran yang mereka ajarkan.
Pendidik mendengarkan dan membaca bagian-bagian yang sama dari buku tersebut dan
melakukan tugas yang sama setiap hari atau sebagai yang dimuat oleh pembelajar dari
sebuah buku teks (Edward Wish, tt; 210). Edward mengemukan bahwa kebanyakan
kelas-kelas yang konvensional menggunakan metode-metode mengajar yang paling
tradisional (Edward Wish, tt; 2). Agar tercipta metode belajar verbal yang bermakna,
maka pemelajar harus berperan aktif, secara terlihat ataupun tidak selama proses
pembelajaran. Proses pembelajarannyapun disesuaikan untuk dapat memfasilitasi operasi
mental aktif yang disebut pembelajaran searah-aktif (Bruce Joyce and Marsha Wail,
1996; 18).
Demikian juga strategi pembelajaran yang digunakan oleh pembelajar (dosen, guru)
untuk menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau menyeluruh, lengkap dan sistematis,
dengan menyampaikan secara verbal. Pembelajaran ini tidak lebih dari metode ceramah
yang dimodifikasikan sedemikian rupa, sehingga para mahasiswa tidak hanya tinggal
diam secara pasif seperti dalam pembelajaran ceramah yang tradisional (Muhibbin Syah,
1997; 245). Demikian juga menurut pandangan tokoh pembelajaran contextual teaching
and learning, bahwa tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran
konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang
membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih
menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan
program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario
pembelajarannya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 22-23).
Menurut Cox, dalam kelas tradisional, peserta didik (1) menerima pelajaran secara pasif,
(2) meniru apa yang dimodelkan pembelajar, (3) mengikuti pengarahan dari pembelajar
atau buku-buku teks, (4) dinilai pada penguasaan keterampilan dalam urutan hierarki, (5)
dikelompokkan menurut kemampuan, (6) mengerjakan tugas yang sama seperti peserta
didik yang lain, (7) dinilai dengan membandingkan kerja dengan peserta didik lain, dan
(8) berkompetisi dengan peserta didik lain (Carolle. Cox, 1999; 19). Burns
mengemukakan bahwa dalam kelas tradisional, sebagian besar penekanan kurikulum
matematika adalah untuk Mengajarkan aritmatika (berhitung) meliputi bagaimana:
operasi (menambah, mengurangi, mengali, Membagi) terhadap (1) pecahan, (2) pecahan
decimal, (3) persen. Peserta didik umumnya menghabiskan sebagian besar waktu dalam

proses berhitung dan latihan dengan kertas dan pensil. Pemecahan masalah biasanya
muncul pada perkembangan perhitungan, dengan Aplikasi masalah kata yang mengikuti
pengajaran dan pelatihan setiap keterampilan berhitung (Marilyn Burn, 1992; 3).
Menurut Kellough, dalam pembelajaran konvensional, pembelajar bersifat otoriter,
berpusat pada kurikulum, terarah, formal, informative, dan diktator, yang mengakibatkan
situasi kelas berpusat pada pembelajar; dan tempat duduk peserta didik menghadap ke
depan: peserta didik belajar abstrak, diskusi berpusat pada pembelajar, ceramah, peserta
didik secara bersaing, sedikit pemecahan masalah, demonstrasi-demonstrasi dari peserta
didik, pembelajaran dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan pemindahan
informasi dari pembelajar ke peserta didik (Richard D. Kellough, 1994; 82). Hal yang
serupa dikemukakan oleh Bennet (1976) bahwa dalam kelas konvensional pendekatan
progressif dalam belajar sebagai berikut: (1) materi diajarkan terpisah-pisah, (2) guru
sebagai penyalur ilmu pengetahuan, (3) tidak ada kata pemelajar dalam perencanaan
kurikulum, (4) penekanan pada ingatan, (5) penguatan secara ekternal, (6) terpusat pada
standar akademis, (7) ujian secara regular, (8) penekanan pada kompetensi, (9) mengajar
klasikal, dan (10) sedikit penekanan pada pernyataan kreatif (Donna Brandes, Paul
Ginnis, 1986; 11).
Strategi yang digunakan peserta didik mencoba memperhatikan dengan sungguh-sungguh
dan menangkap apa yang diajarkan pembelajar, berkata dalam hati mereka masingmasing, mengerjakan latihan dengan langkah-langkah seperti yang diajarkan pembelajar.
Kennedy dan Tipps berpendapat bahwa pembelajar yang otoriter akan mengakibatkan
kurangnya variasi, penekanan pada ingatan dan kecepatan, mendesak untuk bekerja
sendiri-sendiri, yang semuanya itu mengakibatkan peserta didik menderita kecemasan
dalam pembelajaran matematika. Mereka juga menjelaskan bahwa pemelajar yang
menderita kecemasan dalam pembelajaran matematika menemukan hanya ada satu
jawaban yang benar dalam memecahkan masalah karena gurunya mengajarkan prosedur
dalam menyesaikan masalah serta daftar aturan-aturan untuk mengerjakan hitungan.
Selama itu, semua perlakuan yang seperti itu akan mengakibatkan tidak fleksibel dan
tidak menjadi kreatif (Leonard M. Kennedy, 1994; 16).
Berikut ini digambarkan kelas-kelas konvensional dosen mengajar dengan menggunakan
buku-teks, dan menjadi model. Mahasiswa secara pasif mendengarkan, mencatat, dan
membaca bagian yang sama dari buku-buku, dan mencoba meniru apa yang dimodelkan
dosen. Materi perkuliahan disampaikan dengan metode ceramah, sekali-kali dilakukan
tanya jawab antara mahasiswa dan dosen, dan pemberian contoh materi oleh dosen. Pada
gambar di bawah ini digambarkan perlakuan dalam perkuliahan.
Gambar 2. Proses Pembelajaran dengan Strategi Pembelajaran Konvensional

Anda mungkin juga menyukai