Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rinitis ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis ozaena sampai sekarang belum dapat
diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka
pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan
faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk
kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan,
sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya.
Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau,
bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia).
Menurut Boies, frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia
pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah
dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah definisi rinitis ozaena?
2. Apa saja etiologi rinitis ozaena?
3. Bagaimana patofisiologi rinitis ozaena?
4. Bagaimana klasifikasi rinitis ozaena?
5. Bagaimana penegakan diagnosis rinitis ozaena?
6. Bagaimana penanganan rinitis ozaena?
7. Apa saja komplikasi rinitis ozaena?
8. Bagaimana prognosis rinitis ozaena?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi rinitis ozaena.
2. Mengetahui etiologi rinitis ozaena.
3. Mengetahui patofisiologi rinitis ozaena.
4. Mengetahui klasifikasi rinitis ozaena.
5. Mengetahui penegakan diagnosis rinitis ozaena.
6. Mengetahui penanganan rinitis ozaena.
7. Mengetahui komplikasi rinitis ozaena.
8. Mengetahui prognosis rinitis ozaena.
1.4. Manfaat
1. Manfaat keilmuan : Sebagai landasan ilmiah mengenai penyakit rinitis ozaena.
2. Manfaat praktis : Memberi dasar bagi penanganan rinitis ozaena bagi dokter
umum maupun spesialis di tempat pelayanan kesehatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Rhinitis ozaena atau rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung
dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara klinis mukosa
hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
berbau busuk.
Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada
usia pubertas. Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan
berbentuk menjadi kecil.
2.2 Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,
dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita
wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki
adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda.
Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun,
Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di
kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang
buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena

2.3 Etiologi
Teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis ozaena sampai sekarang
belum dapat diterangkan dengan memuaskan, ada beberapa hal yang dianggap
sebagai penyebabnya, antara lain :
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain Staphylokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah sinusitis
kronis, trauma yang luas pada mukosa, sifilis.
3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus.
2.4 Patologi dan Patogenesis
Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau
atrofik dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik
dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis ozaena bisa dibagi menjadi dua:
1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat
infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel

bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif
dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini
juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi
yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan
penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi
Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus
clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini
akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat
baik untuk pertumbuhan kuman
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :

Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

Silia hidung. Silia akan menghilang.

Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia


menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau


jumlahnya berkurang.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi : Rhinitis
atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk klasik rhinitis
atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Penyebabnya adalah
mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis atrofi sekunder merupakan
komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa karena bedah sinus,
radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat.
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,


krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
2.6.1 Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam
hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan
pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita,
melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan perasaan tidak
nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang
perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta
(pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung
tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik :
Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior dan media
menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau.
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konkha media,
Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan kuman penyebab, Pemeriksaan
Radiologi sinus paranasalis. Dan juga CT-Scan, dimana pada pemeriksaan ini
ditemukan : Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman dan
kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses uncinate,
Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung dengan erosi dan

membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa pada konkha
media dan inferior.
2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis ozaena antara lain :
1.

Rinitis kronik TBC


Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik TBC sama,dapat dibedakan
dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak.

2.

Rinitis kronik lepra


penderita rinitis kronik lepra mempunyai riwayat atau sedang menderita
penyakit Lepra

3.

Rinitis kronik sifilis


Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah
menderita penyakit sifilis sebelumnya

4.

Rinitis sika

2.9 Komplikasi
Komplikasi rinitis ozaena dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana
2.10 Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama
adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala.

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan
operasi.
2.10.1 Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik
pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur


d. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan


menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /

ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung
diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.
2.10.2 Terapi Operatif
Tujuan operasi pada rhinitis ozaena antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik
bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan
perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga
menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk
menyempitkan rongga hidung.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Rhinitis ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya
atrofi progresif tulang dan mukosa konka.
2. Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab
seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering
klebsiela ozaena, kemudian staphylokokus, dan pseudomonas aeruginosa,
defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan
penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.
3. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada
pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia),
ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung
tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat lapang,
konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta
berwarna hijau.
4. Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan
gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan, Edisi III, editor : H. Dr. Efianty Arsyad Soepardi,
Sp.THT, Fak. Kedokteran UI, Jakarta, 1997, Hal : 89-95 ; 113-115.
2. Adams, Boeis higler, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi VI, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Hal : 221-222.
3. A. Mansyoer, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Satu, FK UI,
Jakarta, Hal : 100-101.
4. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004. Hal 5-7.

Anda mungkin juga menyukai