Anda di halaman 1dari 20

PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENENTUAN DOSIS TAWAS PADA

PROSES KOAGULASI SISTEM PENGOLAHAN AIR BERSIH


Oleh :
(Kadek Narita, Dr. Bambang Lelono W. ST, M.T, Ir. Syamsul Arifin, MT)
Jurusan Teknik Fisika
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh November
Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111
Abstrak
Proses pengolahan air bersih di IPAM Karang Pilang III mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan No. 492 tahun 2010 (PERMENKES 492/2010), yang didalamnya terdapat syarat-syarat air
hasil penjernihan dan pembersihan agar dikonsumsi layaknya air minum. Proses koagulasi
merupakan bagian utama dari keseluruhan proses pengolahan air bersih dalam menentukan kadar
optimum zat pengendap atau koagulan (tawas), dengan menerapakan metode Jar Test. Kelemahan
dari Jar Test selain dari sistem pelakasanaannya yang bersifat manual, juga ketidaklinieran hubungan
antara penambahan dosis tawas dengan nilai kekeruhan dan pH air terukur pada akhir proses. Program
Jaringan Syaraf Tiruan Radial Basis Function yang dirancang mampu untuk menentukan atau
memperediksi jumlah dosis kadar tawas optimum, yang ditambahkan pada proses koagulasi dan pada
proses prediksi tersebut memiliki nilai MSE training sebesar 0,0638288 dan nilai MAPE testing
sebesar 0,009649876.
Kata kunci : Jar Test, kadar tawas, Radial Basis Function
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Tahun 2008 jumlah penduduk Kota
Surabaya sekitar 3 juta jiwa. Penduduk
tersebut membutuhkan air bersih untuk
kelangsungan hidup dan aktifitas sehari-hari.
Sebagian dari penduduk tersebut telah
menerima pelayanan pemenuhan kebutuhan
air minum dari Pemerintah Kota Surabaya
yang diselenggarakan oleh Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Kota Surabaya. Untuk
memenuhi kebutuhan air bersih tersebut, saat
ini telah dioperasikan Instalasi Penjernihan Air
Minum (IPAM) di dua lokasi, yaitu di Ngagel
(IPAM Ngagel I, Ngagel II, dan Ngagel III)
dan di Karangpilang (IPAM Karangpilang I
dan Karangpilang II) dengan total produksi
8.830 L/detik, di samping terdapat beberapa
sumber air dari mata air. PDAM Kota
Surabaya selayaknya industri pengolahan air
bersih lainnya harus dihadapkan pada fakta
bahwa untuk memperoleh air bersih yang
berkualitas tinggi akan memerlukan biaya
yang tidak murah.

Pengolahan air bersih adalah suatu


usaha teknis yang dilakukan untuk
memberikan perlindungan pada sumber air
dengan perbaikan mutu asal air sampai

menjadi mutu yang diinginkan dengan


tujuan agar aman dipergunakan oleh
masyarakat pengkonsumsi air bersih.
Secara umum tahap-tahap dari proses
penjernihan air ini sendiri terdiri dari
aerasi, prasedimentasi, koagulasi-flokulasi,
sedimentasi, desinfekasi dan reservoir.
Proses pengolahan air bersih di IPAM
Karang Pilang III mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan No. 492 tahun 2010
(PERMENKES
492/2010),
yang
didalamnya terdapat syarat-syarat air hasil
pengolahan penjernihan agar dapat
dikonsumsi layaknya air minum. Proses
koagulasi merupakan bagian utama dari
keseluruhan proses pengolahan air bersih,
proses ini bertujuan untuk mengikat
partikel-partikel koloid air menjadi flok
(gumpalan kotoran) yang nantinya akan
mengendap pada bagian dasar bak
penjernihan sehingga dihasilkan air yang
jernih. Selain memperhatikan karakteristik
kualitas air, ada tiga faktor lainnya yang
mempengaruhi
keberhasilan
proses
koagulasi, yaitu jenis koagulan yang

dipakai, dosis pembubuhan koagulan, serta


proses pengadukannya.
Kesulitan utama yang dihadapi pada
proses pengendapan air ini adalah menentukan
kadar optimum zat pengendap atau koagulan
(tawas), karena penambahan zat pengendap
(tawas) tidak selalu berkolerasi linier terhadap
kekeruhan air di tahap akhir proses koagulasi.
Selain itu proses koagulasi dari sistem
pengolahan air bersih yang diterapkan PDAM
Surabaya selalu dilakukan dengan cara manual
oleh operator, cara tersebut diberi nama Jar
Test.
Jar Test merupakan proses penambahan
kadar koagulant dengan dosis yang tepat
dalam skala laboratorium. Karena lingkup
kerja dari Jar Test ini dalam skala
laboratorium maka volume air baku yang akan
diteliti untuk mengetahui jumlah dosis yang
tepat dalam penambahan kadar koagulantnya
berbanding kira-kira 1:1000 dengan volume
air baku sebelum proses koagulasi, proses
penambahan kadar tawas melalui Jar Test ini
dilakukan setiap 8 jam sekali, diawali dengan
pengambilan air baku kemudian dilakukan
pengukuran
parameter-parameter
yang
mempengaruhi tingkat kekeruhan air seperti
pH, dan kekeruhan. Jika penambahan dosis
tawas ini menghasilkan nilai pH dan
kekeruhan maksimum yang diperbolehkan
maka dosis tawas tersebut berhenti
ditambahkan. Kelemahan dari Jar Test selain
dari sistem pelakasanaannya yang bersifat
manual, juga ketidaklinieran hubungan antara
penambahan dosis tawas dengan nilai
kekeruhan serta pH air terukur (pada proses
akhir koagulasi).
Kelemahan lainnya, proses jar test yang
memakan waktu cukup lama. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk menerapkan
Jaringan Syaraf Tiruan sebagai program
simulasi yang membantu menyelesaikan
masalah ketidaklinieran serta mempercepat
operator laboratorium untuk memperoleh nilai
dosis tawas optimum yang harus ditambahkan
agar memperoleh nilai kekeruhan dan pH air
sesuai dengan standar nilai yang ditetapkan.
Serta dengan menggunakan program ini,
memungkinkan operator untuk memasukkan
hasil pengukuran parameter karakteristik air
baku dalam menentukan dosis optimum kadar
tawas dalam membantu pelaksanaan proses jar
test.

Metode jaringan syaraf tiruan yang


diterapkan pada tugas akhir kali ini adalah
Radial Basis Function (RBF). Selain
keunggulan yang telah disebutkan diatas RBF
juga merupakan salah satu metode Jaringan
Syaraf Tiruan yang dalam tahap training akan
mengelompokkan (cluster) kelompok data
masukkan (pH dan kekeruhan air) menjadi
subkelompok yang memiliki nilai parameter
tersendiri, sehingga memudahkan dalam
proses selanjutnya (testing).
1.1 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut,


maka
dirumuskanlah
beberapa
permasalahan dalam Tugas Akhir ini untuk
kemudian berdasarkan metodologi yang
ada harus dipecahkan. Adapun untuk
rumusan
permasalahannya
yaitu,
bagaimana menentukan dosis optimum zat
pengendap (koagulan) yaitu tawas,.
Penambahan koagulan dibutuhkan seiring
bertambahnya
kekeruhan.
Namun
penambahan tawas tersebut tidak selalu
berkolerasi linier terhadap nilai kekeruhan
pada akhir proses koagulasi nantinya.
Apabila
dosis
yang
ditambahkan
berlebihan maka akan mempengaruhi
proses-proses selanjutnya dari serangkaian
proses pengolahan air bersih (yaitu proses
flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi
dan reservoir). Dan jika kekurangan dosis
tawas yang ditambahkan maka akan
menurunkan kualitas air bersih yang
dihasilkan dari proses koagulasi.
I.3. Batasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan penelitian
Tugas Akhir ini, maka perlu diambil
beberapa batasan masalah sebagai berikut :
1. Masukkan dari rancangan jaringan
syaraf tiruan yang dipakai adalah sifat
dan karakteristik air, yaitu pH dan
kekeruhan, serta masukkan dari proses
pengadukkannya yaitu berupa gradien
kecepatan
2. Keluaran dari rancangan jaringan
syaraf
tiruan
merupakan
dosis
optimum zat pengendap (koagulant)
yaitu tawas dari proses koagulasi pada
system penjernihan air dengan data

yang diperoleh dari Litbang PDAM


Surabaya.
3. Jaringan syaraf tiruan yang diterapkan
adalah Radial Basis Function (RBF)
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian tugas akhir ini
adalah untuk membuat rancangan sistem
jaringan syaraf tiruan yang mampu
menentukan dosis keluaran berupa kadar
tawas pada proses koagulasi sistem
pengolahan air bersih.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Bersih
Pengertian Air Bersih berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum, pada BAB 1
tentang pengembangan sistem penyediaan air
minum, Pasal 1, Ayat 1 : Air baku untuk air
minum rumah tangga, yang selanjutnya
disebut air baku adalah air yang dapat berasal
dari sumber air permukaan, cekungan air tanah
dan atau air hujan yangmemenuhi baku mutu
tertentu sebagai air baku untuk air minum.
Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui
mengenai kualitas air tersebut baik secara
fisik, kimia dan juga mikrobiologi.
2.2 Syarat Air Bersih
Persayaratan yang harus dipenuhi dalam
sistem penyediaan air bersih. adalah
persyaratan kualitatif, yang meliputi syarat
fisik, kimia, biologis dan radiologist.
Syarat kualitatif adalah persyaratan yang
menggambarkan kualitas dari air baku (air
bersih). Persyaratan ini meliputi syarat fisik,
kimia , biologis dan radiologis.
1. Kejernihan dan karakteristik alirannya.
2. Rasa Dalam air yang bersih (fisik) tidak
terdapat seperti rasa asin, manis, pahit dan
asam. Begitu pula terhadap bau.
3. Turbiditas, merupakan suatu ukuran yang
menyatakan sampai seberapa jauh cahaya
mampu menembus air
4. Temperatur
5. pH air permukaan air biasanya berkisar
antara 6,59,0 pada kisaran tersebut air
bersih masih layak untuk diminum
(dimasak).
6. Salinitas (zat padat total), didefinisikan
sebagai total padatan dalam air setelah
semua karbonat dikonversi menjadi

oksida, semua bromida dan iodida diganti


dengan klorida, dan semua bahan organik
telah dioksidasi.
7. Kelarutan oksigen atmosfer dalam air
segar/tawar berkisar dari 14,6mg/liter pada
suhu 0oC hingga 7,1mg/ liter pada suhu
35oC pada tekanan satu atmosfer.
8. BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen
(mg/l) yang diperlukan oleh bakteri untuk
mendekomposisikan bahan organik
(hingga stabil) pada kondisi aerobik.
9. Suspended Solid (SS) adalah padatan yang
terkandung dalam air dan bukan
merupakan larutan
10. Nitrogen
11. Senyawa Toksik
12. Zat Organik
13. CO2 Agresif
14. Kesadahan adalah sifat air yang
disebabkan oleh air karena adanya ion ion (kation) logam valensi
15. Kalsium
16. Besi
17. Tembaga (Cu)
18. Seng (Zn)
19. Chlorida (Cl)
20. Flourida (F)
21. Nitrit
22. Konduktivitas atau daya hantar (panas)
23. Pesistivitas
24. PTT atau TDS ( Kemampuan air bersih
untuk menghantarkan arus listrik )
2.3 Kualitas Air Bersih
Syarat dari air bersih, secara terperinci
telah diatur pada Permenkes RI No.
492/Menkes/Per/IV/2010,
dimana
pada
peraturan tersebut kualitas air bersih
khususnya air minum diatur berdasarkan nilai
kandungan maksimum dari parameterparameter yang berhubungan langsung dengan
kesehatan seperti parameter mikrobiologi dan
kimia anorganik dan parameter yang tidak
berhubungan langsung dengan kesehatan
seperti parameter fisik dan kimiawi. Tabel 2.1
menjelaskan tentang peraturan tersebut.
Tabel 2.1 Tabel Permenkes, no.
492/Menkes/Per/IV/2010

2.4 Pengolahan Air Bersih


Standar kualitas air bersih yang ada di
Indonesia saat ini menggunakan Permenkes RI
No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat
syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan PP RI
No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, sedangkan standar kualitas air minum
menggunakan
Kepmenkes
RI
No.
907/MENKES/SK/VII/2002 tentang SyaratSyarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Bagan dari sistem pengolahan air bersih
sendiri dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah.

Gambar 2.1 Instalasi Pengolahan Air Bersih


PDAM Karangpilang III
2.4.1 Intake
Intake sendiri adalah proses pemompaan
air baku sungai untuk dialirkan ke dalam
sumur penyeimbang.
2.4.2 Aerator
Aerator
dimaksudkan
untuk
meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO)
dalam air baku, yang disebut proses aerasi.
Peningkatan kadar oksigen terlarut ini berguna
untuk menurunkan kadar besi, mangan, bahan
organik, ammonia, dan sebagainya.
2.4.3 Prasedimentasi
Prasedimentasi dimaksudkan untuk
mengendapkan partikel diskret atau partikel
kasar atau lumpur. Partikel diskret adalah
partikel yang tidak mengalami perubahan
bentuk dan ukuran selama mengendap di
dalam air.
2.4.4 Flash Mixer
Flash mixer adalah unit pengadukan
cepat yang berfungsi untuk melarutkan tawas
ke dalam air hingga homogen. Flash mixer ini
merupakan bagian dari proses koagulasiflokulasi.
2.4.5 Clearator
Pada clearator inilah proses koagulasi dan
flokulasi terjadi, dimana pada proses
koagulasi, koagulan dicampur dengan air baku
selama beberapa saat hingga merata. Setelah
pencampuran ini, akan terjadi destabilisasi
koloid yang ada pada air baku. Koloid yang
sudah kehilangan muatannya atau
terdestabilisasi mengalami saling tarik
menarik sehingga cenderung untuk
membentuk gumpalan yang lebih besar.
2.4.6 Filter
Filter merupakan bangunan untuk
menghilangkan partikel yang tersuspensi dan
koloidal dengan cara menyaringnya dengan
media filter.
2.4.7 Desinfeksi
Desinfeksi air minum bertujuan
membunuh bakteri patogen yang ada dalam

air. Desinfektan air dapat dilakukan dengan


berbagai cara, yaitu:pemanasan, penyinaran
antara lain dengan sinar UV, ion-ion logam
antara lain dengan copper dan silver, asam
atau basa, senyawa-senyawa kimia, dan
chlorinasi.
2.4.8 Reservoir
Reservoir pada sistem IPAM ini adalah
untuk menampung air hasil pengolahan
sebelum didistribusikan ke konsumen dalam
sistem distribusi.
2.5
Proses Koagulasi
Koagulasi adalah proses destabilisasi
koloid dan partikel-partikel yang tersuspensi
didalam air baku karena adanya pencampuran
yang merata dengan senyawa kimia tertentu
(koagulan) melalui pengadukan cepat.
Ada tiga factor yang mempengaruhi
keberhasilan proses koagulasi, yaitu :
1. Jenis koagulan yang dipakai
2. Dosis pembubuhan koagulan
3. Proses pengadukan
2.5.1 Jenis Koagulan
Pemilihan koagulan sangat penting
untuk menetapkan criteria desain dari system
pengadukan serta system flokulasi yang
efektif. Jenis koagulan yang biasanya
digunakan adalah koagulan garam logam dan
koagulan polimer kationik. Contoh koagulan
garam logam diantaranya adalah :
Aluminium Sulfat atau Tawas
(Al3(SO4)2.14H2O)
Feri Khlorida (FeCl3)
Feri Sulfat (Fe2(SO4)3)
Koagulan yang digunakan di IPAM
Karang Pilang III adalah aluminium sulfat atau
tawas.
2.5.2 Dosis Koagulan
Dosis
koagulan
berbeda-beda
tergantung dari jenis koagulan yang
dibubuhkan, temperature air, serta kualitas air
yang diolah. Penentuan dosis koagulan dapat
dilakukan melalui penelitian laboratorium
dengan metode jar test. Prosedur jar test pada
prinsipnya mmerupakan proses pengolahan air
skala kecil.
2.5.3 Pengadukan
Unit koagulasi merupakan suatu unit
dengan pengadukan cepat dimana pengadukan
cepat (koagulasi) dilakukan dengan berbagai
cara, namun pada IPAM Karang Pilang III,
proses ini dilakukan dengan hydraulic jump
mixing, merupakan pengadukan cepat secara
hidrolis.

Koagulasi Hidrolis atau hydrolic


mixing, merupakan fenomena ilmiah dari
proses hidrolisis yang diamati pada aliran open
channel seperti sungai. Ketikan cairan pada
kecepatan tinggi bergerak ke area yang
memiliki kecepatan aliran lebih rendah,
kenaikan yang tiba-tiba akan terjadi pada
permukaan cairan. Sehingga cairan yang
mengalir cepat tiba-tiba melambat dan
mengalami kenaikan tinggi level cairan,
mengubah sebagaian energy kinetic awal
aliran menjadi energy potensial, dengan
beberapa energy yang hilang melalui
turbulensi irreversible panas. Dalam aliran
open channel, ini bertransformasi sebagai
aliran cepat yang melambat dan menumpuk
diatas lapisan cairan itu sendiri, mirip bentuk
shockwave. Jenis aliran ini lebih mudah dalam
pengoperasian dan pemeliharaannya (Schulz
dan Okun, 1984)
Rumus yang dipergunakan untuk perhitungan
pada koagulasi hidrolis adalah sebagai berikut:

2.1
Dimana
P
untuk
menggunakan rumus :

koagulasi

hidrolis

2.2
Sehingga rumus untuk gradient kecepatan
pada koagulasi hidrolisis adalah sebagai
berikut :

2.3
Dimana :
G = gradient kecepatan (1/s)
P = daya yang diberikan (kg.m2/s3)
p = densitas cairan (kg/m3)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
hL = head Loss (m)
Q = debit (m3/s)
= viskositas cairan (kg/m.s)
V = volume (m3)
Perhitungan gradient kecepatan pada koagulasi
hidrolisis juga dapat ditentukan dengan rumus
berikut :

2.4
Dimana hf adalah nilai dalam meter, saat
kehilangan tekanan air pada saat air mengalir
menuju clearator.

Pada IPAM Karang Pilang III, unit


pengaduk cepat hidrolisis ini menggunakan
jenis pengaduk statis, sehingga dimensi yang
dapat ditentukan dengan pemakaian tipe
pengaduk ini adalah:

2.5
2.6
Dimana :
Q=
kapasitas pengolahan (m3/s)
D=
diameter instalasi pengolahan air (m)
V=
kecepatan aliran (m)
Air yang dialirkan dari flash mix
kearah clearator melalui pipa baja berdiameter
800 mm, dan beda tinggi antara flash mix
dengan clearator adalah 1,2 m dan panjang
pipa sekitar 34 m. Desain dari flash mix IPAM
Karang Pilang III, dapat dilihat pada gambar
2.2.

lapisan atau layer yaitu input layer, output


layer dan hidden layer dan dimana hanya
memiliki 1 unit pada hidden layer. Fungsi
aktivasi yang umum digunakan adalah fungsi
Gauss dan linier pada output layer. Jaringan
ini telah banyak digunakan secara intensif,
RBF merupakan pemetaan fungsi taklinier
multidimensional yang bergantung pada jarak
antara vektor input dan vektor center. RBF
dengan input berdimensi m dan output
berdimensi n.

Gambar 2.4 Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan


Radial Basis Function
Bentuk umum dari RBF adalah :
n

y = f(x) = wi (ri)

2.7

i=1

Gambar 2.2 Desain Flash Mix


Pada proses pengadukan ini, tidak ada
parameter yang dikendalikan oleh pihak IPAM
Karang Pilang III ketika proses koagulasi
berlangsung, nilai kecepatan gradient putaran
air pada flash mix disetiap perubahan waktu
koagulasi selalu dijaga bernilai 975/s (lebih
dari 700/s, yang merupakan nilai minimum
gradian kecepatan untuk criteria ideal desain
unit koagulasi, Schulz & Okun, 1992). Nilai
gradient kecepatan yang dijaga selalu konstan
itu diperoleh dengan menjaga atau memonitor
secara terus-menerus, nilai perbedaan tinggi
dari level cairan inflow terhadap outflow
adalah 2,68 m (nilai hf).
2.5.3 Jaringan Syaraf Tiruan Radial Basis
Function (RBF)
Jaringan syaraf tiruan perceptron lapis
banyak atau disebut multilayer perceptron
network merupakan pengembangan lebih
lanjut dari perceptron lapis tunggal.
Sedangkan Radial Basis Function (RBF)
adalah alternative dari jaringan Multilayer
Feedforward
Neural
yang
telah
dikembangkan. Jaringan ini terdiri dari 3

Dimana : y = output
wi = bobot
(ri) = fungsi basis radial
Jenis-jenis fungsi aktifasi dari RBF adalah :
1. Gauss
(r) = exp(-(r/c)2)
2. Multikuadratik
(r) = (c2 + r2), (0< <1)
3. Invers Multikuadratik
(r) = 1/(c2 + r2), (>0)
4. Thin Plate Spline
(r) = r2 log r
5. Cubic Spline
(r) = r3
6. Linier Spline
(r) = r
Alogaritma dari RBF adalah :
Tahap 0: menentukan fungsi basis yang akan
digunakan
Tahap 1: menentukan center dan lebar tiap
fungsi basis
Tahap 2: menyediakan bobot sebanyak (fungsi
basis) n+1 dimana
n adalah jumlah masukkan RBF

Tahap 3: inisialisasi bobot, w = [0 0 0 0]


dan tentukan nilai
laju konvergasinya yang akan
digunakan (0<<1)
Tahap 4: untuk sinyal latih kerjakan tahap 6selesai
Tahap 5: hitung output tiap fungsi basis
Tahap 6: hitung output jaringan RBF
Tahap 7: hitung error antara output terharap
(d) dengan output
RBF (y), error = d y
Tahap 8: update bobot-bobot tiap fungsi basis
dan bobot bias
2.5.3.1 Menentukan Fungsi Basis
Pada tugas akhir kali ini fungsi
aktivasi dari basis yang digunakan adalah
fungsi Gaussian.

(r) = exp -

(||x - cj||)2
2 j2

2.8

Dimana : cj
= center fungsi Gaussian ke-j
j
= lebar fungsi Gaussian ke-j
x
= input fungsi basis
j
= output fungsi basis ke-j oleh
input x
Jumlah fungsi basis yang digunakan
dalam RBF biasanya lebih dari 1 buah fungsi
basis. Berdasarkan fungsi Gaussian dan
struktur dasar jaringan RBF dapat diusulkan
beberapa strategi pembelajaran pada jaringan
RBF.
1. Posisi center pada fungsi basis
2. Lebar dari fungsi basis
3. Bobot output setiap fungsi basis
2.5.3.2 Menentukan Center RBF
Teknik clustering ini terdiri dari
beberapa teknik, salah satunya yang digunakan
dalam Tugas Akhir kali ini adalah teknik KMeans Clustering, merupakan salah satu
metode data clustering unsupervised yang
berusaha mempartisi data yang ada kedalam
bentuk satu atau lebih cluster atau kelompok.
Metode ini mempartisi data kedalam cluster
sehingga data yang memiliki karakteristik
yang sama dikelompokkan kedalam satu
cluster yang sama dan data yang mempunyai
karakteristik yang berbeda dikelompokkan
kedalam kelompok yang lain. Adapun tujuan
dari data clustering ini adalah untuk
meminimalisasikan objective function yang
diset dalam proses clustering, yang pada
umumnya berusaha meminimalisasikan variasi
didalam suatu cluster dan memaksimalkan
variasi antar cluster.

Data clustering menggunakan metode KMeans ini secara umum dilakukan dengan
alogaritma dasar sebagai berikut :
1. Tentukan jumlah cluster
2. Alokasikan data kedalam cluster secara
acak
3. Hitung centroid atau rata-rata dari data
yang ada di masing-masing cluster
4. Alokasikan masing-masing data ke
centroid atau rata-rata terdekat
5. Kembali ke step 3 apabila masih ada data
yang berpindah cluster atau apabila
perubahan nilai centroid ada yang diatas
nilai ambang yang ditentukan atau juga
apabila perubahan nilai pada objective
function yang digunakan diatas nilai
ambang yang ditentukan
Distance space, atau jarak antara dua titik
dihitung 2.1
menggunakan rumus Eucliean yang
didefinisikan :
2.9
Dimana : p = dimensi data
Kemudian mengelompokkan data berdasarkan
jarak minimum dari setiap center, perubahan
anggota dalam tiap cluster di setiap iterasinya
menyebabkan perubahan nilai center, maka
dari itu perhitungan pusat cluster (center) yang
baru menggunakan rumus:
2.10
Dimana : vi = center dari cluster ke-i
xj = data masukkan yang merupakan
kelompok ke-i
ni = banyaknya data kelompok ke-i
2.5.3.3 Menentukan Lebar
Melalui penentuan center diatas maka
diperoleh nilai center-center cluster yang baru
yaitu vi dan vj, kemudian selanjutnya
menentukan lebar dengan menggunakan
rumus dibawah ini :
2.11
Dimana dmax diperoleh dari :
2.12
2.5.3.4 Menentukan Bobot
Proses pembelajaran dalam penentuan
bobot ini adalah:
1. Ambil vektor input xi dari himpunan
pembelajaran

2. Hitung output dari neuron hidden layer


secara bersamaan ditunjukkan sebagai
vektor h
3. Hitung vektor output jaringan y.
Bandingkan dengan vektor target t,
sesuaikan setiap bobot w pada satu arah
sehingga mengurangi perbedaan.
Berikut
adalah
gradient
descent
alogarithm :
wij(n+1) = wij(n) + (tj-yj)hi
2.13
Dimana : wij = bobot antara neuron hidden
layer i dan neuron
output layer
= koefisien learning rate
(bernilai kurang dari 1)
tj = target atau output yang
diinginkan dari neuron j
pada output layer
yj = output neuron j pada output
layer
hj = output hidden layer
4. Ulangi step 1-3 untuk setiap vektor pada
himpunan pembelajaran
5. Ulangi 1-4 sampai error yang diterima
kecil, pembelajaran berhenti atau kondisi
lain yang terjadi sehingga menyebabkan
proses pembelajaran berhenti
Persamaan 9.6 diatas merupakan
output hidden layer yang diperoleh
berdasarkan vektor input, center, dan lebar
data yang telah ditentukan terlebih dahulu
sebelumnya, adapun rumus untuk menentukan
output hidden layer adalah :
2.14
Dimana : x = data
c = center
r = lebar
2.5.4 Mean Square Error (MSE)
Pada akhir proses pelatihan akan
ditampilkan error pelatihan, kemudian dari
nilai error tersebut akan dihitung rata-rata
error pelatihan guna mengukur sejauh mana
sistem jaringan syaraf tiruan ini bekerja untuk
menentukan kadar tawas optimum yang harus
ditambahkan pada proses koagulasi.
Pada tugas akhir ini digunakan Mean
Square Error (MSE) untuk uji pada sampel.
Dalam hal ini setelah diketahui adanya
kesalahan, selanjutnya dapat diketahui
perbandingan antara data output kadar tawas
dari system dengan data output kadar tawas
sebenarnya (yang diperoleh dari plant proses

koagulasi IPAM Karangpilang III) melalui


suatu grafik yang menggambarkan kedekatan
kedua jenis data tersebut. Adapun rumus untuk
menghitung rata-rata error jaringan pada saat
pembelajaran adalah dengan menggunakan
rumus yang analog dengan :
2.15
dimana :

yi = nilai data sebenarnya


y
2 6 i = nilai data system
n = jumlah data input untuk proses
pelatihan
2.4.5 Mean Absolute Percentage Error
(MAPE)
Selanjutnya
sebagai
pengukur
validitas system jaringan syaraf tiruan
digunakan Mean Absolute Percentage Error
(MAPE) yang memiliki rumus sebagai berikut
:
2.16
dimana :

yi = nilai data sebenarnya


yi = nilai data system
n = jumlah data input untuk proses

pengujian
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan-tahapan dari penelitian Tugas
Akhir ini dapat dilihat sesuai dengan flow
chart pada gambar 3.1.
Mulai

Penentuan Parameter
Sampel Air Baku
(keluaran flokulasi)

Pengambilan Data
Sampel

Pengolahan Data
Sampel
Perancangan Sistem Berdasarkan
Karakteristik Data

Arsitektur
Pelatihan JST
Pengujian

Analisa Hasil Rancangan

Penyusunan
Laporan

Selesai

Gambar 3.1 Flowchart Metodologi Penelitian

3.1 Penentuan Parameter Sampel Air


Baku
Berdasarkan flowchart dari tahapan
penelitian TA kali ini, tahap pertama
dimulai dengan menentukan parameter
sampel air baku yang berasal dari keluaran
proses prasedimentasi. Sesuai dengan
proses pengolahan air bersih yang
dilakukan PDAM Surabaya di Instalasi
Penjernihan Air Karang Pilang III,
parameter sampel air baku yang diukur
pada proses koagulasi sistem pengolahan
air bersih adalah pH dan kekeruhan air,
dan parameter sampel air baku seperti
DHL, alkalinitas, kandungan zat organik ,
CO2, khlor bebas serta kandungan
detergen diukur pada awal dan akhir
proses sistem pengolahan air bersih,
dimana
pada
(Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.492
tahun
2010)
PERMENKES
492/2011
parameterparameter ini merupakan parameter
tambahan.
Sedangkan
keseluruhan
parameter sampel air baku lainnya yang
sesuai dengan PERMENKES 492/2010
dan belum disebutkan diatas tidak
dilakukan pengukuran, baik pada proses
koagulasi, awal dan akhir proses air bersih
ini.
Maka dari itu, parameter sampel air
baku yang ditentukan sebagai parameter
masukkan proses koagulasi adalah pH dan
kekeruhan. Data yang diperoleh dari
Litbang PDAM Surabaya berjumlah 183
pasang data baik untuk parameter
masukkan berupa pH dan kekeruhan serta
parameter keluaran berupa kadar tawas.
Data tersebut merupakan data hasil
pengukuran pada unit koagulasi di IPAM
Karang Pilang III pada bulan Agustus
2010 hingga Mei 2011. Kemudian
berdasarkan pengertian dari proses
koagulasi yang dijelaskan pada bab 2.5,
serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dari proses ini. Maka
parameter masukkan dari proses koagulasi
ini selain dari karakteristik kualitas airnya,
proses
pengadukkannya
juga
diperhitungkan, yaitu berupa gradien
kecepatan (1/s) dari proses pengadukkan

larutan tawas ke dalam air baku yang


terjadi pada flash mixer. Berdasarkan
gambar 3.2 dibawah, proses koagulasi
awal dengan menggunakan proses
pengadukan yang memiliki gradien
kecepatan tinggi (975/s) terjadi pada flash
mixer sedangkan proses koagulasi akhir
tanpa proses pangadukan (berlanjut pada
proses
pengendapan)
terjadi
pada
clearator, dimana rumus dari gradien
kecepatan ini berdasarkan pada persamaan
2.4. Proses pengadukan dengan metode
hydrolic jump ini memiliki gradien
kecepatan yang berubah-ubah, tergantung
dari nilai hf yang juga berubah-ubah.
Pengendalian ketinggian level
cairan air baku pada proses prasedimentasi
tersebut tidak dilakukan, perlakuan yang
terjadi hanya proses monitoring, dimana
nilai hf tersebut bevariasi dari 1 m hingga
3 m dan menghasilkan gradien kecepatan
dari 700/s hingga 1000/s, dimana menurut
Schulz & Okun gradien kecepatan ideal
untuk kriteria desain hf < 30 cm dan td <
60 s adalah 700/s hingga 1500/s.
3.1.1 Penentuan Parameter Gradien
Kecepatan Putaran Pengadukan Proses
Koagulasi dari IPAM Karang Pilang III
Surabaya

Gambar 3.2 Unit Koagulasi [3]


Karena proses pengadukkan yang
dapat ditinjau dari besarnya gradien
kecepatan ini merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan proses
koagulasi, maka dari itu nilai perubahan
gradien kecepatan dimasukkan sebagai
parameter masukkan seperti halnya
parameter karakteristik kualitas air baku.
Nilai masukkan ini diperoleh berdasarkan
hasil monitoring yang dilakukan operator

di lapangan yang bertugas pada


pemantauan unit koagulasi, sejak awal
berdirinya IPAM Karang Pilang III (Juni
2010) hingga saat ini dengan rata-rata nilai
gradien kecepatan yang sering termonitor
adalah 700/s hingga 1500/s. Maka dari itu
penentuan nilai parameter gradien
kecepatan bervariasi dari 700/s hingga
1500/s dengan selisih 165/s karena nilai hf
yang termonitor (1 m hingga 3 m)
memiliki
selisih
nilai
di
setiap
pemonitoran sebesar 0,5 m sehingga jika
diterapkan menggunakan persamaan 2.4 :
G=

g.hf
td.

Jika nilai hf = 1m, maka gradien kecepatan


putaran pengaduk hydrolic jump pada
proses koagulasi ini adalah:
G=

(9,8 m/s).(1
(30 s).(0,92.10-6 m2/s)

G = 595,9/s
Jika nilai hf = 1,5m (selisih 0,5m), maka
gradien kecepatan putaran pengaduk
hydrolic jump pada proses koagulasi ini
adalah:
G=

(9,8 m/s).(1,5
(30 s).(0,92.10-6 m2/s)

G = 759,8/s
Jadi selisih gardien kecepatan yang
termonitor adalah 165/s dengan nilai
gradien kecepatan minimum 700/s dan
maksimum 1500/s.
Data hasil pengukuran tersebut
dapat dilihat pada tabel 3.3, karena data
yang diperoleh sebanyak 6 maka akan
mengalami proses ekspansi data kembali
dengan menggunakan distribusi normal
dengan program MINITAB 14, hingga
menjadi 183 data yang dapat dilihat pada
lampiran.

Tabel 3.1 Parameter Masukkan, Nilai


Gradien Kecepatan Putaran Pengadukkan
Proses Koagulasi di IPAM Karang Pilang
III Surabaya
Kecepatan
No.
Aduk
(1/s)
1
700
2
865
3
1030
4
1195
5
1360
6
1525
3.2 Pengambilan Data Sampel Air Baku
Pengambilan data berupa sampel air
baku dari keluaran proses koagulasi
dilakukan melalui proses jar test, jar test
merupakan metode simulasi proses
pengolahan air bersih skala penuh, yang
menyediakan sistem yang mengoperasikan
jalannya proses perlakuan kimiawi pada
air mentah, dimana perlakuan tersebut
disesuaikan dengan perubahan parameter
yang diukur dari air mentah tersebut
hingga menghasilkan air yang memiliki
nilai parameter akhir yang diinginkan,
yang kemudian di salurkan pada proses
selanjutnya. Adapun urutan langkah dari
jar test ini adalah :
1. Operator akan mengambil air baku
yaitu air sampel keluaran proses
flokulasi dengan volume perbandingan
kira-kira 1:1000 dari volume real pada
plant, umumnya membutuhkan 200 ml
air sampel dikalikan banyak gelas
beker tempat uji jar test (biasanya 5
gelas)
2. Pada setiap gelas tersebut diukur pH
dan kekeruhannya dengan alat pH
meter dan turbidty meter, kemudian
dicatat sebagai nilai pH dan kekeruhan
awal proses koagulasi
3. Kemudian operator telah menyiapkan
tawas yang telah dilarutkan dengan
kadar yang berbeda-beda, sebanyak
jumlah gelas beker yang berisi air baku
tersebut. Umumnya disediakan tawas
dengan kadar 10% hingga 50%

4. Masing-masing tawas yang telah


dilarutkan tersebut dicampur pada tiap
gelas beker air baku. Kemudian gelas
beker yang tercampur dengan larutan
tawas tersebut dimasukkan dalam alat
jar test, seperti pada gambar 3.2
dibawah
5. Kecepatan putaran alat jar test
divariasikan,
dimulai
dengan
kecepatan maksimum hingga larutan
tawas benar-benar tercampur sempurna
kemudian diturunkan secara bertahap
hingga kecepatan minimum untuk
mengendapkan flok atau gumpalan
yang menyebabkan keruh pada air,
mixer jar test tersebut dimatikan
6. Semua gelas beker tersebut diukur
kembali nilai pH dan kekeruhannya,
pada gelas beker dengan kadar tawas
tertentu yang nilai pH serta
kekeruhannya mencapai nilai standar
minimum yang diinginkan, akan
digunakan sebagai acuan penambahan
kadar tawas pada air baku sebelum
proses koagulasi
Jar test dilakukan setiap kali terjadi
perubahan nilai parameter dari air baku
keluaran proses flokulasi tersebut, namun
karena jar test yang dilakukan pada
Instalasi Pengolahan Air Bersih Karang
Pilang III memilki kelemahan yaitu tidak
dapat melakukan control feedback maka
proses jar test dilakukan setiap 8 jam
sekali.
Pada proses jar test, parameter yang
dapat diukur dan diperoleh datanya hanya
pH dan kekeruhan air saja, sedangkan
parameter keseluruhan sesuai yang
disebutkan pada tabel 3.2 diperoleh
dengan proses pengukuran yang berbeda.
Proses pengukuran parameter-parameter
yang berbeda tersebut tergantung dari
termasuk kandungan apakah parameter
tersebut. Standar dari pengukuran nilai
parameter-parameter ini telah diatur sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)
dengan nomor 6989.1 tahun 2003 hingga
6989.75 tahun 2009.

3.2.1 Metode Pengukuran dengan


Turbidy Meter
Turbidy meter merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur tingkat
kekeruhan air, dengan satuan NTU
(Nepeople Turbidity Unit). Alat ini bekerja
berdasarkan pancaran cahaya yang dapat
ditembus dalam media air. Semakin
banyak cahaya yang terpantul atau
menyebar
semakin
tinggi
nilai
kekeruhannya, maka nilai atau kualitas air
jelek karena cahaya yang dipancarkan
terhalang oleh kotoran, dalam hal ini
adalah flok atau gumpalan yang terbentuk
dari kumpulan butiran-butiran lumpur.
(Arifiani dan Mochtar, 2006)

Gambar 3.3 Turbidy Meter [1]


Namun di PDAM Surabaya, selain
menggunakan turbidity meter pengukuran
kandungan
mikroorganisme
juga
dilakukan dengan cara menghitung sel
hidup dengan cara ditanam pada media
padat

Gambar 3.4 Pengukuran Kandungan


Mikroorganisme dalam Air dengan Cara
Penanaman pada Media Padat [1]
Perhitungan melalui pengenceran dan
diteruskan dengan menumbuhkan pada
media kultur. Ada dua cara menumbuhkan
pada media kultur, yakni bentang rata
(spread-plate) dan tabur tuang rata (pourplate). Cara spread-plate dilaksanakan
dengan meneteskan 100 l suspensi
sampel di atas medium kultur padat
kemudian dibentang ratakan menggunakan

batang gelas bentuk huruf L. Cara pourplate dilaksanakan dengan meneteskan


100 l suspensi sampel di dalam cawan
petri kemudian dituangi medium cair dan
digoyang-goyang
supaya
sampel
bercampur homogen dengan medium
kultur, seperti pada gambar 3.4 dibawah.

Gambar 3.5 Cara Spread Plate dan


Pour Plate [1]
Koloni yang tumbuh dianggap berasal dari
satu sel atau satu potong propagul.
Propagul adalah individu atau bagian
darinya yang mampu tumbuh menjadi
individu baru. Oleh karena itu jumlah
koloni yang tumbuh pada medium kultur
cara ini akan sama dengan jumlah sel atau
propagul yang ditanam. Dengan demikian
jumlah sel atau jumlah propagul dalam g
gram
bahan
dapat
dikonversikan
menggunakan rumus
JS = a.g.ds
Dimana :
JS = jumlah sel,
a = jumlah koloni dalam satuan
medium
g = berat atau volume bahan yang
diencerkan
d = faktor pengenceran
s = jumlah pengenceran
3.2.2 Metode Pengukuran dengan pH
Meter
pH meter adalah alat untuk
mengukur tingkat keasaman dan kebasa-an
air minum. Keasaman dalam larutan itu
dinyatakan sebagai kadar ion hidrogen
disingkat dengan [H+], atau sebagai pH
yang artinya log [H+]. Tingkat
keasaman/kebasaan dari suatu zat,
ditentukan berdasarkan keberadaan jumlah
ion hidrogen dan ion hodroksida dalam

larutan.
Dapat
dinyatakan
dengan
persamaan: (Rahmat Gunawan, 2009)
pH = - log [H+]
pOH = - log [OH-]
pH = 14 pOH
Dengan kata lain pH merupakan ukuran
kekuatan suatu asam. pH suatu larutan
dapat ditera dengan beberapa cara antara
lain dengan jalan menitrasi larutan dengan
asam dengan indikator atau yang lebih
teliti lagi dengan pH meter. Pengukur pH
tingkat asam dan basa air minum ini
bekerja secara digital, pH air disebut asam
bila kurang dari 7,pH air disebut basa
(alkaline) bila lebih dari 7 dan pH air
disebut netral bila ph sama dengan 7. Cara
kerja alat ini adalah dengan cara
mencelupkan kedalam air yang akan
diukur (kira-kira kedalaman 5cm) dan
secara otomatis alat bekerja mengukur.
Pada saat pertama dicelupkan angka yang
ditunjukkan oleh display masih berubahubah, tunggulah kira-kira 2 sampai 3 menit
sampai angka digital stabil .
Jika pemakaian sudah mencapai
beberapa lama misalnya 3 tahun, maka
pengukuran pH terkadang bisa menjadi
tidak akurat lagi, untuk itu diperlukan
proses kalibrasi. pH meter dapat
dikalibrasi menggunakan larutan standar
atau larutan buffer. Sebagaimana alat yang
lain, untuk mendapatkan hasil pengukuran
yang baik, maka diperlukan perawatan dan
kalibrasi pH meter. Pada penggunaan pH
meter, kalibrasi alat harus diperhatikan
sebelum dilakukan pengukuran. Seperti
diketahui prinsip utama pH meter adalah
pengukuran arus listrik yang tercatat pada
sensor pH akibat suasana ionik di larutan.
Stabilitas sensor harus selalu dijaga dan
caranya adalah dengan kalibrasi alat.
3.3 Pengolahan Data Sampel
Pengolahan data sampel yang
dimaksud disini adalah, mengolah data
yang diperoleh dari proses pengukuran
baik pengukuran parameter sampel air
baku yang diperoleh dari Litbang PDAM
Surabaya, maupun pengukuran gradien
kecepatan putaran pengadukan proses

koagulasi dari IPAM Karang Pilang III


Surabaya. Karena data yang diperoleh dari
kedua tempat yang berbeda tersebut,
memiliki jumlah yang tidak sama. Data
dari Litbang berjumlah 183 data untuk
masing-masing parameter, sedangkan dari
IPAM Karang Pilang III hanya 6 data.
Maka dari itu akan dilakukan proses
ekspansi data, yaitu data yang diperoleh
dari Litbang yang berjumlah 6 data
tersebut hingga menjadi 183 pasang data.
Proses
pengekspansian
data
ini
menggunakan metode atau cara distribusi
normal,
dimana
penjelasan
serta
pengaplikasian distribusi normal ini telah
dijelaskan pada bab 2. Tool atau program
yang digunakan dalam mengapilkasikan
metode
distribusi
normal
untuk
mengekspansi data adalah program
MINITAB 14.
Algoritma dari distribusi normal atau
Gaussian ini pada program MINITAB
adalah sebagai berikut:
Step 1 : Mulai
Step 2 : Mendefinisikan i = 0, dimana i
adalah banyaknya
pengulangan
percobaan
perhitungan yang dilakukan
program MINITAB
Step 3 : Mendefinisikan i = i + 1
Step 4 : Membangkitkan sampel data
perhitungan tersebut
sebanyak
n
jumlah
yang
diinginkan
Step 5 : Mendefinisikan formula S atau ,
yang merupakan
standar deviasi dengan rumus

tercantum pada persamaan 2.16


Step 6 : Memberi syarat kondisi. Jika i < n
maka kembali ke
algoritma ke-3
Step 7 : Mendefinisikan rumus seperti
yang tercantum pada
persamaan 2.16
Step 8 : Program selesai
Langkah generate data dengan
distribusi normal menggunakan program
MINITAB 14 adalah sebagai berikut :

1. Membuka program MINITAB 14 dan


memilih menu calculation-random
data-normal distribution.

Gambar 3.6 Memilih Menu Distribusi


Normal untuk Data Random pada
MINITAB 14
Maka
akan
muncul
menu
selanjutnya yang tampak seperti
gambar 3.7, dibawah ini.
Generate adalah berapa banyak
jumlah data hasil ekspansi yang
diinginkan, dan mean adalah nilai ratarata dari data hasil ekspansi dimana
dalam hal ini nilai mean tersebut
adalah nilai sesungguhnya dari data
awal sebelum proses ekspansi,
kemudian standard deviation adalah
besar nilai akar kuadrat simpangan
varian antar data satu dengan lainnya
dalam satu parameter.

Gambar 3.7 Menu Distribusi Normal


untuk Data Random pada MINITAB 14
2. Setelah ditentukan di bagian manakah
data hasil ekspansi tersebut diletakkan,
kemudian proses ekspansi dimulai.
Maka dari 1 buah data telah
terekspansi menjadi 21 buah data,

selanjutnya melakukan hal yang sama


untuk data-data selanjutnya

Start

Himpunan Data
Masukkan untuk
Training

Proses K-Means Clustering


& Menentukan. Hidden
Layer

Keluaran Hidden Layer

tidak

Gambar 3.8 Data Hasil Ekspansi


membentuk Pola Distribusi Normal
3. Hasil pengekspansian data ini dapat
dilihat pada lampiran
3.4 Arsitektur Software
Software yang digunakan dalam Tugas
Akhir adalah software Visual Basic (VB),
dimana software ini digunakan sebagai
tampilan program JST yang telah dibuat,
yang dilengkapi dengan menu serta tombol
yang mempermudah dalam pengolahan
dan penganalisisan data.

Epoch

Uji JST RBF


&
Keluaran JST RBF
Ya
end

Gambar 3.9 Arsitektur Jaringan RBF


Karena didalam source code VB
tersebut telah diberi logika atau rumus
perhitungan dari proses pembelajaran serta
proses uji JST RBF, sehingga software VB
ini dapat digunakan sebagai pengolah datadata yang didapat kemudian akan
berfungsi
sebagai
penghitung
dan
penganalisis data yang sudah didapatkan
dari database layer yang ada (Ms Office
Acces). Database layer merupakan suatu
lapisan yang terdiri dari database yang
digunakan. Database yang digunakan
untuk aplikasi ini adalah Ms Office Acces
yang berfungsi sebagai penyimpan data
yang didapat dari operator, dimana
sebelumnya operator memang telah
membuka menu untuk menginput data
kemudian menyimpannya (penyimpanan
serta tampilan dari data terseimpan
tersebut dapat dilihat pada Ms Office
Acces). Sehingga nantinya data yang
disimpan tersebut dapat digunakan untuk
melakukan pengolahan perhitungan.

3.5 Normalisasi Data


Pengolahan data masukkan maupun
keluaran dalam membangun sistem JST
didahului dengan proses normalisasi data,
normalisasi ini dilakukan agar data yang
memiliki nilai hingga rentang satuan
hingga ratusan menjadi bernilai 0 hingga
1, dengan nilai sekecil ini memungkinkan
pelaksanaan pengolahan data dalam
pembuatan sistem JST menjadi lebih
mudah. Adapun rumus yang digunakan
dalam proses normalisasi ini adalah:
n =

xn - xmin
xmax - xmin

(3.1)

Dimana :
xn = nilai yang ingin dinormalisasi
xmin = nilai terkecil dalam satu parameter
xmax = nilai terbesar dalam satu parameter
3.6 Perancangan Data Pembelajaran
Dari 183 data yang diperoleh untuk
pemantauan proses koagulasi pada bulan
Agustus 2010 hingga Mei 2011, digunakan
80 % untuk proses pembelajaran atau
training yaitu sebanyak 150 data dilakukan
proses normalisasi data. Data yang
dihasilkan dari proses tersebut selanjutnya
digunakan untuk melakukan proses
training. Terdapat dua proses yang
termasuk dalam proses training yaitu
proses
penentuan
center
dengan
menggunakan algoritma K-Means dan
proses
perhitungan
bobot
dengan
menggunakan algoritma Least mean
Square (LMS).
Dari 80% data tersebut digunakan
sebagai variabel masukkan pada proses
penentuan center selain itu jumlah center
yang ditentukan sebelumnya menjadi
parameter masukkan untuk proses
clustering
dengan
menggunakkan
algoritma K-Means.
Dari proses K-Means akan dihasilkan
data keluaran berupa center yang
kemudian digunakan untuk mencari factor
skala atau radius (r). Radius (r), center dan
data
masukkan
digunakan
untuk
memperoleh nilai fungsi radial basis yang
selanjutnya dipakai untuk mendapatkan

bobot. Bobot dan nilai fungsi radial basis


menjadi
variabel
masukkan
untuk
menentukan nilai kadar tawas optimum.
3.7 Perancangan Data Uji
Keluaran dari proses uji ini adalah nilai
kadar tawas aquades dan zat desinfektan
optimum yang harus ditambahkan pada
proses koagulasi agar menghasilkan
keluaran parameter air baku yang sesuai
dengan standar minimum yang berlaku.
Pada akhir proses uji ini akan ditampilkan
error testing. Kemudian dari error tersebut
akan dihitung rata-rata error testing guna
mengukur sejauh mana sistem JST RBF
ini bekerja.
Pada penelitian ini digunakan Mean
Square Error (MSE) untuk uji sampel,
sedangkan untuk pengukur validitas sistem
jaringan syaraf tiruan digunakan Mean
Absolute Percentage Error (MAPE).
Kedua rumus uji diatas dapat dilihat pada
persamaan 2.8 dan 2.9.
BAB IV. ANALISA
PEMBAHASAN

DATA

DAN

4.1 Penentuan Center dari Cluster dan


Bobot
Pada awal proses perancangan
program JST RBF dengan 3 masukkan dan
1 keluaran ini, langkah awal yang
dilakukan adalah penentuan banyaknya
jumlah cluster atau himpunan yang
terbentuk dalam tiap parameter dan nilai
center-nya. Proses penentuan center ini
menggunakan
metode
K-Means
Clustering. Dimana penentuan jumlah
himpunan (cluster) serta pusat data
(center) awal dari cluster tersebut
ditentukan secara acak.
Jumlah cluster dan nilai center dari
data masukkan proses koagulasi yang
sudah ditentukan terdiri dari 3 buah,
cluster untuk masing-masing parameter
masukkan data, data kekeruhan terdiri
dari:
1. cluster dan center kekeruhan
c1keruh = 0,88 dan cluster c2keruh = 0,22
2. cluster dan center pH
c1pH = 0,93 dan c2pH = 0,24

3. cluster dan center kecepatan aduk


c1kec_aduk = 0,45 dan c2kec_aduk = 0,1
Penentuan nilai center awal untuk
setiap data diatas dilakukan acak, dimana
nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang
sudah dinormalisasi sesuai dengan
persamaan 3.1. Dengan adanya 2 x 3
center pada system JST RBF ini maka
jumlah hidden layer juga berjumlah sama
dengan arsitektur jaringan dapat dilihat
pada gambar 4.2 dibawah.
Selain penentuan center dan cluster
awal, nilai bobot awal juga ditentukan
terlebih dahulu. Dalam pembentukan
arsitektur JST RBF dengan 3 masukkan
dan 1 keluaran ini digunakan nilai bobotbobot awal secara acak sebesar :
w1 = 0,1 ; w2 = 0,7 ; w3 = 0,6 ; w4 =
0,9 ; w5 = 0,8 ; w6 = 0,2.

4.1 Proses Pemasukkan Data dan


Normalisasi
Data yang digunakan sebagai
training dimasukkan pada form data input
testing yang terlihat pada gambar 4.3
dibawah ini. Dimana pada form tersebut
telah
disediakan
kolom
untuk
memasukkan nilai input baik berupa pH,
kekeruhan dan kecepatan aduk. Setelah
data dimasukkan kemudian data tersebut
akan disimpan di database dalam tugas
akhir kali ini digunakan program MS.
Office Access untuk menyimpan dan
menampilkan data.

160 data training


telah tersimpan
Gambar 4.3 Data Input Trainning
Pada form selanjutnya, berfungsi
untuk menormalisasi data yang telah
disimpan agar data tersebut memiliki
range nilai 0 hingga 1. Proses normalisasi
ini sesuai dengan persamaan 3.1.
Kemudian setelah dinormalisasi data akan
disimpan dan dapat ditampilkan kembali
pada MS. Office Access

Gambar 4.2 Arsitektur JST RBF dengan 3


Masukkan dan 1 Keluaran
Dimana : xt-n = vektor data input
hn = hidden layer ke-n
cn = center ke-n
wn = bobot ke-n

sebelum dinormalisasi

setelah dinormalisasi

Gambar 4.4 Data Input Training Sebelum


dan Setelah Dinormalisasi
4.2 Proses Trainning dan Testing
Pada proses training ini digunakan
sejumlah data yang diharapkan dapat
memberikan nilai MSE terkecil sehingga
pada proses testing akan memberikan nilai
keluaran yang lebih tepat dengan nilai
MAPE yang kecil pula. Pada bab 3 telah
dijelaskan bahwa digunakan 150 data
sebagai training, namun nilai MSE yang
dihasilkan masih cukup besar yaitu 0,14
kemudian digunakan 160 data dan
menghasilkan
nilai
MSE
sebesar
0,0638288 dengan besar learning rate
adalah 0,9. Seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4.5. Selain nilai MSE nilai akhir
lainnya yang diperoleh melalui proses
training adalah :
Nilai bobot akhir :
w1 = 0,95253
w2 = 1,66535
w3 = 0,6
w4 = 5,047
w5 = 0,8
w6 = 0,2
Nilai hidden layer akhir :
h1 = 2,25911
h2 = 2,48688
h3 = 7,89856
h4 = 9,4585
h5 = 3,1328
h6 = 2,0248
Nilai lebar akhir = 0,66279
Nilai center akhir dari kekeruhan:
c1k = 0,51824
c2k = 0,434379
Nilai center akhir dari pH:
c1p = 0,0140669
c2p = 0,668
Nilai center akhir dari kecepatan
aduk:
c1a = 0,833
c2a = 0,167
Grafik hasil training dapat dilihat
pada gambar 4.6, diketahui bahwa proses
training yang terjadi pada JST RBF ini
terdiri dari proses clusterisasi, penentuan
keluaran hidden layer dan bobot, untuk

clusterisasi sendiri terdiri dari penentuan


fungsi basis, distance space dan lebar.
Dimana ketiga proses terakhir ini akan
berhenti berjalan jika perubahan jumlah
dan isi dari anggota cluster (kelompok)
mengalami penurunan, maksudnya di
setiap cluster yang ter-update akan
memiliki center (pusat) yang berbeda
dengan center sebelum cluster di-update,
jika perbedaan ini tidak terlalu besar
(kurang dari 10-7) maka proses update
cluster akan berhenti walaupun nilai MSE
yang kita iniginkan belum terpenuhi. Maka
dari itu walaupun nilai MSE yang
dimasukkan kurang dari 0,0638288, pada
grafik MSE training akan tetap
menunjukkan nilai 0,0638288 di setiap
perubahan epoch. Dimana untuk nilai
MSE 0,0638288 sendiri diperoleh ketika
epoch ke 10000.

Gambar 4.5 Hasil Trainning


Setelah
melakukan
training
kemudian selanjutnya melakukan proses
testing dengan menggunakan sisa data
sebanyak 23 jumlah data. Proses testing ini
dimaksudkan untuk menguji validitas
program JST penentu kadar dosis tawas
yang harus ditambahkan pada proses
koagulasi. Hasil proses testing dapat
dilihat pada grafik 4.1. Pada grafik
tersebut ditunjukkan perbandingan antara
keluaran program JST RBF berupa jumlah
kadar tawas optimum pada proses
koagulasi (warna merah) dengan jumlah
kadar tawas sesungguhnya yang diperoleh
dari Litbang PDAM Surabaya (warna

biru), jika diketahui nilai masukkan pH,


kekeruhan dan kecepatan aduk koagulasi
dengan besar tertentu.

Gambar 4.6 Grafik Hasil Training


(Besarnya MSE berdasarkan Epoch )
Kemudian pada gambar 4.7
merupakan tabel hasil prediksi kadar tawas
berdasarkan
program
JST
RBF
dibandingkan dengan data kadar tawas
yang sebenarnya, kedua data (baik data
prediksi maupun data sesungguhnya)
dibandingkan agar dapat memperoleh nilai
MAPE, yang merupakan nilai error hasil
validasi program. Nilai MAPE yang
diperoleh dengan besar MSE training
0,0638288 adalah sebesar 0,009649876.
Artinya masih dibawah 1% sehingga
program JST RBF yang dirancang
tervalidasi.
Grafik 4.1 Grafik Perbandingan Kadar
Tawas dari Data Litbang dengan Program
JST RBF

Gambar 4.7 Hasil Validasi dan Nilai


MAPE Prediksi Kadar Tawas dengan
Program JST RBF (nilai masih
ternormalisasi)
4.4 Pembahasan
Nilai-nilai keluaran yang telah
disebutkan pada bab 4.3 diatas merupakan
nilai hasil penentuan kadar tawas optimum
yang masih ternormalisasi, sehingga
dengan menggunakan persamaan 3.1
diperoleh nilai setelah didenormalisasi.
Pada tabel 4.1 merupakan nilai-nilai kadar
tawas hasil penentuan atau prediksi dari
program JST RBF dengan nilai masukkan
pH dan kekeruhan dan kecepatan aduk
pada 23 data yang digunakan untuk proses
testing serta besarnya error (ydata-yJST)
untuk setiap prediksi sebelum dimasukkan
dalam persamaan 2.15 untuk memperoleh
nilai MAPE.
Kemudian melalui tabel 4.1
dibawah diketahui nilai MAPE yang
diperoleh sebagai pengukur besar error
validitas proses prediksi program JST RBF
yang telah dibuat adalah sebesar
0,009649876. Dimana jika melihat dari
besarnya nilai error validasi, untuk
mengetahui kevaliditasan program JST
yang kita rancang diharapkan error
tersebut bernilai lebih kecil dari 1 atau 1%.
Selanjutnya kembali memodelkan dalam
bentuk grafik, perbandingan antara nilai
keluaran tawas yang diperoleh dari data
Litbang PDAM dengan hasil prediksi
program JST RBF. Grafik tersebut dapat
dilihat pada grafik 4.2.

Tabel 4.1 Hasil Prediksi Nilai Kadar


Tawas Optimum

Grafik 4.2 Grafik Perbandingan Nilai


Keluaran Tawas Hasil Prediksi Program
JST RBF dengan Data dari Litbang

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari
serangkaian
metodologi,
pengujian serta analisa yang telah
dilakukan didapatlah beberapa kesimpulan
yang menjawab tujuan dari adanya tugas
akhir ini, diantaranya:
1. Telah berhasil membuat rancangan
sistem jaringan syaraf tiruan berupa
program atau software yang mampu
menentukan dosis keluaran berupa
kadar tawas pada proses koagulasi
sistem pengolahan air bersih.
2. Program jaringan syaraf tiruan radial
basis function sebagai penentu dosis
kadar tawas ini sebelum digunakan
sebagai program penentu atau prediksi
telah di-training dengan nilai MSE
training sebesar 0,0638288.
3. Setelah menyelesaikan proses training,
sebagai penentu dosis kadar tawas,
program ini divalidasi melalui proses
testing dengan nilai MAPE testing
sebesar 0,009649876.
5.2

Melalui grafik 4.2 diatas diketahui


bahwa hasil penentuan kadar dosis tawas
optimum yang harus ditambahkan pada
proses koagulasi berdasarkan program JST
RBF yang telah dibuat hampir sama
dengan nilai kadar dosis tawas yang
diperoleg dari Litbang. Maka dari itu pada
grafik tersebut hanya terlihat satu pola
(nilai tawas) saja, karena pola lainnya
hampir
bernilai
sama
sehingga
berhimpitan dan tidak terlihat.

Saran
Proses awal dari jaringan syaraf
tiruan radial basis function adalah
clusterisasi, dimana proses ini lebih
mudah dilaksanakan jika data yang diolah
memiliki kemiripan yang lebih signifikan
satu sama lain dalam satu cluster. Hal ini
menyebabkan proses koagulasi yang
memiliki data (baik pH, kekeruhan dan
kecepatan aduk) cukup acak atau tingkat
kemiripan kecil akan memiliki nilai
prediksi (yang dilihat dari nilai MSE dan
MAPE) lebih tepat jika menggunakan
jaringan syaraf tiruan metode selain radial
basis function (metode lain yang tidak
menggunakan proses clusterisasi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifiani, Nur Fajri dan Hadiwidodo,
Mochtar. Evaluasi Desain Instalasi
Pengolahan Air PDAM Ibu Kota
Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten.
Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Dipoenegoro

2. Pengantar Pengolahan Air. Program Studi


Teknik Lingkungan Institut Teknologi
Bandung. 2009
3. Laporan Akhir Pekerjaan KP III.
Instalansi
Penjernihan
Air
Bersih
Karangpilang III. 2010
4. N. Valentin, T. Denoeux, F. Fotoohi.
MODELLING OFCOAGULANT
DOSAGE IN A WATER TREATMENT
PLANT
5. C.W. Baxter, S.J. Stanley, Q. Zhang,
D.W. Smith. DEVELOPINGARTIFICIAL
NEURAL
NETWORK
PROCESS
MODELS: A GUIDE FOR DRINKING
WATER UTILITIES. Department of Civil
and
Environmental
Engineering.
University of Alberta.
6. Drs. Jong Jek Siang, M.Sc. Jaringan
Syaraf Tiruan & Pemrogramannya
Menggunakan
MATLAB.
Andi.
Yogyakarta. 2005
7. Arif Sulistiya, Wahendra. Penerapan
Radial Basis Funct ion untuk Peramalan
Nilai Jual Saham. Jurusan Matematika,
Fakultas MIPA, Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya. 2008
8. Muis, Salaudin. Teknik Jaringan Syaraf
Tiruan. Graha Ilmu Yogyakarta. 2006
9. Bryc,
Wlodzimierz.
The
Normal
Distribution : Characterizations With
Applications. Springer-Verlag. 1995
10. Parmawati, Tania. Penentuan Dosis
Koagulasi Aluminium Sulfat untuk
Menurunkan Kekeruhan dan Pengaruh pH
Menggunakan Jar Test dengan Air Baku
dari Outlet Prasedimentasi IPAM Karang
Pilang II Surabaya. Jurusan Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
November Surabaya. 2004
BIODATA PENULIS:
Nama
: Kadek Narita
TTL
: Singaraja, 18 Oktober 1987
Alamat
: Karangmenjangan VI/31,
Surabaya
Email
: rita_curly@yahoo.com
Riwayat Pendidikan :
SD Negeri 02 Banjar Sekar, Singaraja-Bali
Tahun 1992-1998
SMP Negeri 03 Surabaya
Tahun 1998-2001
SMA Negeri 04 Surabaya
Tahun 2002-2005

D3 Otomasi Sistem Instrumentasi, Fakultas


MIPA, UNAIR
Tahun 2005-2008
Teknik Fisika, Fakultas Teknik Industri, ITS
Tahun 2009-2011

Anda mungkin juga menyukai