Teori Vibrasi Ok
Teori Vibrasi Ok
1.
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
TEORI VIBRASI
Secara visual vibrasi adalah gerakan bolak balik dari suatu mesin, yng dapat dirasa
dengan tangan atau oleh seluruh tubuh kita, yang dikenal sebagai getaran.
Sebagai ilustrasi lihat Gambar 1. Sebuah piringan yang sedang berputar pada
tepinya ditempeli sebuah pemberat hingga unbalance. Maka timbullah gaya
sentripetal oleh pemberat tersebut, yang berusaha menarik piringan itu keluar dari
perputarannya secara radial.
Gambar 1
Pada posisi A dan C, gaya sentripetal menurut arah vertikal adalah nol. Pada posisi
B dan D, gaya sentripetal adalah positif maximum (upper limit) dan negatif
maximum (lower limit).
Lihat Gambar 1. Akibat dari gaya-gaya ini jika kita pandang pada arah vertikal (posisi
B dan D), maka titik putar piringan akan tergeser keatas dan kebawah karena
elastisitasnya, searah dengan gaya yang dideritanya.
Pergeseran ini disebut displacement yang besarnya tergantung dari elastisitas
material dan bobot pemberat. Oleh karena piringan terus berputar, maka pergeseran
ini akan berlangsung terus menerus secara bolak balik yang disebut vibrasi.
Secara matematis
parameter vibrasi.
SGS/MRG/UNJ/2010
vibrasi
mempunyai
karakteristik yang
disebut
Parameter-
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Displacement
Velocity
Acceleration
(micron)
(Hertz)
(detik) Dalam
(mm/s)
Rumus :
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
(mm/s 2 )
Gambar 2
1.2.
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Sudut fase adalah posisi suatu bagian mesin yang sedang bervibrasi,
dibandingkan dengan suatu point yang tetap (fixed point) dalam satuan sudut
"derajat". Tanpa adanya fixed point, sudut fase suatu vibrasi tidak dapat
diamati.
Gambar 3.
Lihat Gambar 3. Suatu poros yang sedang berputar mempunyai
sebuah pemberat pada tepinya, ditentukan fixed point pada titik A.
Pada gambar sebelahnya ditunjukkan posisi pemberat terhadap fixed
point dalam satu kali putaran.
Sudut fase 0 derajat ketika pemberat melewati titik A. Seterusnya 90,
180, 270, dan 360 derajat atau kembali pada titik A.
Displacement terkecil (= 0 ) pada sudut fase 0 dan 180, dan terbesar
(positif max/ min) pada sudut fase 90 dan 270.
1.2.2. Frekuensi.
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Adalah jumlah gerak bolak balik suatu vibrasi persatuan waktu. Pada
contoh poros sedang berputar yang tepinya diberi pemberat
(unbalance), frekuensi adalah sama dengan putaran poros.
Satuan frekuensi ialah Cycle per minute (cpm) atau Cycle per detik
(Hertz). Hal ini untuk membedakan dengan satuan putaran yaitu
Rotation per minute (rpm).
Pada contoh poros yang berputar ini, frekuensi sama dengan putaran poros
(rpm). Hal ini belum tentu sama jika sumber vibrasi bukan dari berputarnya
poros yang unbalance, misalnya misalignment, loosness dan sebagainya.
1.2.3. W a k t u.
Waktu dalam vibrasi adalah, periode waktu yang diperlukan untuk melakukan
satu gerakan bolak balik. Pada contoh poros berputar, adalah waktu tempuh
yang diperlukan untuk malakukan satu kali putaran.
1.3. Vibrasi bebas.
Vibrasi bebas adalah vibrasi suatu benda yang terjadi tanpa adanya hentakan
-hentakan dari luar benda itu secara terus menerus. Sebagai contoh sederhana
adalah sebuah bell yang dipukul sekali saja pada Gambar 4. Vibrasi yang terjadi pada
bell setelah itu adalah vibrasi bebas yang makin lama makin kecil (transient), dimana
mempunyai suatu frekuensi tertentu yang disebut "frekuensi diri.
Gambar 4.
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Vibrasi bebas yang dialami oleh suatu benda, terjadi pada frekuensi
diri yang besarnya tergantung dari kekenyalan bahan dan berat benda
itu.
Frekuensi
diri,
fd
= 30/
981.k /W
cpm.
Gambar 5
1.4. Vibrasi paksa
Vibrasi paksa terjadi hampir pada seluruh mesin-mesin yang sedang beroperasi.
Pada contoh bell di atas (Gambar 4.), apabila pukulan pada bell dilakukan terus
menerus, maka vibrasi yang terjadi adalah vibrasi paksa. Jika gaya pada pukulan itu
tetap dan berulang secara sama, maka vibrasi bell akan stabil yaitu besar dan
frekuensinya tetap seperti pada Gambar 1.
1.4.1. Resonansi
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 6.
W = Berat poros (dan disk), kg.
e = Eksentrisitas (jarak titik berat poros/disk dengan titik putarnya),
cm.
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
m (y + e) 2 = p = k y
m 2e
y=
k-mW2
Bila putaran poros () ditambah, maka defleksi y akan bertambah
pula. Pada suatu putaran tertentu, y besarnya akan tidak terhingga
karena faktor penyebut ,
k
m 2= 0
Atau, n K = 30/.
= k/m
rad/sec.
'
= 30 / 981
k/W
rpm
y=
(k - m 2 ) 2 + (C ) 2 .
c = Koefisien damping, kg sec/rad.
Jadi, walaupun pada putaran kritis dimana
k-m
SGS/MRG/UNJ/2010
=0
8
me
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
y=
C
Pada Gambar 7, diperlihatkan hubungan Amplitude vibrasi dengan
putaran. Amplitude terbesar ketika putaran melewati putaran kri tis.
Sudut fase akan berubah 180 ketika putaran kritis dilewati.
Gambar 2.7
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
bedakan, melainkan hanya terasa adanya suatu getaran saja. Apa yang kita rasa di
tangan itu adalah getaran total (overall) dari kemungkinan adanya beberapa sumber
getaran. Atau dalam istilah alat pengukur vibrasi hal itu disebut pengukuran secara
Filter - Out.
Gambar 8.
Lihat Gambar 8.
Sebuah alat pengukur vibrasi yang sangat sederhana terdiri dari sebuah
pegas, pemberat dan sebuah pinsil. Alat ini diletakkan pada bearing penumpu
poros yang sedang berputar. Dimisalkan poros diberi sebuah pemberat yang
menjadikannya tidak balans. Ketika pemberat tersebut berada pada posisi "a",
maka gaya sentripetal akan mendesak bearing terdorong ke atas. Gerakan ini
diteruskan ke pegas yang akan mendorong pemberat dan pinsil bergerak ke
atas pula.
Sebaliknya jika pemberat itu berada pada posisi "b", bearing akan tertekan ke
bawah yang mengakibatkan pemberat dan pinsil juga bergerak ke bawah.
Demikian seterusnya pinsil akan bergerak naik turun selama poros berputar.
Jika gerakan pinsil ini dituliskan pada sebuah kertas yang berjalan dengan
konstan, maka pinsil akan menggambarkan sebuah garis berbentuk sinusoidal
SGS/MRG/UNJ/2010
10
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
pada kertas. Dalam hal ini akan terukur sebuah vibrasi Filter - Out dari satu
sumber getaran yang kita buat yaitu unbalance.
Gambar 9
Apabila sekarang sumber vibrasinya kita tambahkan dengan membuatnya
misalignment pada poros, maka pinsil akan menggambarkan sebuah grafik
yang tidak sinusoidal murni, melainkan kemungkinannya akan seperti pada
Gambar 9. Pada gambar ini pinsil hanya dapat menggambarkan penjumlahan
dari kedua sumber vibrasi yang mempunyai displacement dan frekuensi yang
berbeda yaitu unbalance (kurva 1) dan misalignment (kurva 2). Sekali lagi
akan terukur vibrasi Filter - Out yang merupakan total dari sumber-sumber
vibrasi yang ada.
Apabila kedua sumber vibrasi di atas kita uraikan masing-masing - menurut
amplitude dan frekuensinya, maka dapat digambarkan dalam tiga dimensi
hubungan antara Displacement - Frekuensi - Waktu. Lihat Gambar 10.
SGS/MRG/UNJ/2010
11
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 10
Pada gambar ini, kurva 1 adalah unbalance mempunyai frekuensi 1 x rpm;
kurva 2 adalah misalignment mempunyai frekuensi 2 x rpm.
Dengan alat pengukur analisa vitirasi, sumber-sumber penyebab vibrasi ini
dapat diuraikan masing-masing menurut frekuensinya,. dimana pengukuran ini
disebut secara Filter - In. Vibrasi yang ditampilkan oleh alat pengukur. ini
adalah hubungan antara Amplitude dengan Frekuensi, seperti yang terlihat
pada Gambar 11.
Gambar 11
SGS/MRG/UNJ/2010
12
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Pada gambar ini ditunjukkan sesuai pada contoh kita, yaitu sumber vibrasinya
ada dua buah yaitu unbalance (kurva 1) dan misalignment (kurva 2). Tinggi
kurva sesuai dengan besar displacementnya dan posisi sesuai dengan
frekuensinya.
Perlu diketahui bahwa pada pengukuran Filter - In, alat pengukur analisa
vibrasi tidak terbatas menunjukan hubungan antara Displacement - Frekuensi
saja seperti pada contoh, tapi juga Velocity - Frekuensi dan Acceleration Frekuensi.
2. PENGUKURAN VIBRASI
SGS/MRG/UNJ/2010
13
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Vibration Meter.
Vibration Monitor.
Vibration Analyzer.
2.1.2. Transducer.
SGS/MRG/UNJ/2010
14
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Transducer adalah salah satu unsur peralatan pengukur vibrasi. Alat ini
diletakkan pada mesin yang hendak diukur vibrasinya, dan
dihubungkan langsung atau dengan menggunakan kabel ke Instrumen
Pengukur Vibrasi. Jadi, Transducer merupakan sensor penerima
vibrasi.
Sesuai dengan parameter-parameter vibrasi : Displacement, Velocity
dan Acceleration, maka Transducer juga ada tiga jenis sesuai dengan
parameter-parameter tersebut yaitu :
-
Proximity transducer
Velocity transducer
Acceleration transducer
Gambar 12
Pengukurannya dilakukan langsung ke poros dengan menempatkan
bagian ujung alat tersebut pada jarak yang sangat dekat dengan
SGS/MRG/UNJ/2010
15
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 13
Gerak bolak balik (getaran) rumah bearing diteruskan ke Pickup Case yang
didalam ada Mass yang tidak terpengaruh oleh gerakan tersebut. Tegangan
SGS/MRG/UNJ/2010
16
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
medan magnet antara Pickup Case dengan Mass akan berubah proporsional
dengan kecepatan gerakan. Maka dengan memanfaatkan perubahan
tegangan ini, kecepatan Pickup Case yang juga adalah kecepatan gerak
bolak balik rumah bearing, akan dapat dideteksi.
Acceleration transducer.
Alat ini mengukur percepatan vibrasi yang bekerja secara elektromekanik. Ia
dapat digunakan untuk mengukur tingkat besarnya percepatan overall (filter
out) dan acceleration pada masing-masing frekuensi sumber vibrasi ( Filter
In ), dengan hasil yang didapat adalah bersifat absolut. Pemasangannya
diletakkan pada rumah bearing dengan menggunakan magnet, atau sekrup,
atau tang jepit, atau dipegang dengan tangan.
Lihat Gambar 14.
Gambar 14
Alat ini menggunakan bahan utama Piezoelectric yang dapat mengeluarkan
aliran listrik jika mendapat tekanan. Gerak bolak balik (getaran) rumah
bearing diteruskan ke Frame, yang akan menekan Piezoelectric Disks.
Dengan demikian bahan ini akan mengeluarkan aliran listrik, yang akan
menyatakan percepatan vibrasi dalam kelipatan gravitasi "g".
Pada masa kini pabrik pembuat alat pengukur vibrasi lebih cenderung
menggunakan bahan Piezoelectric pada satu transducer untuk sluruh
pengukuran (displacement, velocity dan acceleration). Hal ini
disebabkan oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan transducer
ini dapat bekerja pada daerah frekuensi yang lebih luas, tidak hanya
pada frekuensi tinggi saja dapat menjangkau ke frekuensi rendah.
SGS/MRG/UNJ/2010
17
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
18
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
19
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
ada, atau timbul permasalahan dalam acceptance test, atau pihak owner
(pemilik) menginginkan suatu tingkat vibrasi tertentu dalam pemesanan, maka
bisa dirujuk dari standard-standard yang berlaku sebagai pedoman.
Ada beberapa lembaga di dunia atau negara yang mengeluarkan standard
tingkat vibrasi. Tapi sebagai contoh di sini akan diberikan dua buah, yaitu
International Standard Organization (ISO 3945) dan Canadian Government
Specification. Lihat Gambar 15 dan Gambar 16.
Ketentuan lain yang bukan standard umum dapat disajikan pedoman, antara
lain menurut IRD Mechanalysis. Lihat Gambar 17, 18 dan 19.
Gambar 15
SGS/MRG/UNJ/2010
20
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 16
SGS/MRG/UNJ/2010
21
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar.17
SGS/MRG/UNJ/2010
22
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
23
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 18
SGS/MRG/UNJ/2010
24
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 19
SGS/MRG/UNJ/2010
25
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
3. ANALISA VIBRASI
Analisa vibrasi bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab - penyebab vibrasi yang
bekerja pada suatu mesin.
Pada buku ini pembahasan analisa vibrasi terbatas pada :
-
Frekuensi Domain
Analisa Fase
Analisa bentuk mode
Time Domain
Time Domain vs Frekuensi Domain (Amplitude-Frekuensi- Time)
Time Waveform
Lissajous Patterns (orbit)
Amplitude dan Sudut Fase vs Putaran
Sudut Fase vs Waktu
SGS/MRG/UNJ/2010
26
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 20.
3.1.2. FourierTransformer.
Umumnya vibrasi yang kita rasakan pada suatu mesin sudah
merupakan penjumlahan dari satu atau beberapa sumber vibrasi yang
ada pada mesin tersebut. Demikian pula halnya pada Gambar 8 pada
topik sebelumnya, hanyalah menggambarkan satu bentuk sinusoidal
yang merupakan penjumlahan dari beberapa vibrasi yang ada.
Bagaimana cara menguraikan suatu penjumlahan vibrasi itu agar
menjadi komponen-komponen yang membentuknya, hal ini dilakukan
dengan menggunakan Fourier Transformer.
Fourier Transformer adalah suatu cara perhitungan matematik yang
mentransformasikan vibrasi dari Time Domain ke Frekuensi Domain.
Pada Gambar 20 dapat kita lihat bagaimana hubungan antara time
domain dengan frekuensi domain.
SGS/MRG/UNJ/2010
27
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 21
Pada Gambar 21a memperlihatkan sebuah komponen vibrasi yang
digambarkan dalam Time Domain dan Frekuensi Domain.
Pada Gambar 21b memperlihatkan sebuah penjumlahan vibrasi (garis
putus-putus) dari 2 buah komponen vibrasi yang digambarkan dalam
Time Domain dan Frekuensi Domain. Pada komponen vibrasi A 0
mempunyai frekuensi sebesar 1 unit.
(1x). Sedangkan komponen vibrasi A 1 mempunyai 1 frekuensi sebesar
2 unit (2x).
Sesuai dengan teori Fourier seperti tersebut di atas, maka vibrasi
dapat dirumuskan sebagai suatu fungsi sebagai berikut :
f(t) = A1 Sin (t + 1 ) + A2 Sin (2 t + 2 ) + A 3 Sin (3 t + 3 )...
= kecepatan sudut (rad/s) yang identik dengan putaran (rpm)
/ 2 = frekuensi; = sudut fase; A = amplitude; t = waktu
f(t) adalah fungsi periodik suatu vibrasi yang merupakan penjumlahan
dari komponen-komponen penyebab vibrasi yang dinyatakan dalam
fungsi harmonik sinusoidal.
SGS/MRG/UNJ/2010
28
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Dengan kata lain f(t) adalah vibrasi yang diukur secara Filter - Out.
Sedangkan komponen - komponennya : A 1 , A2 , A3 dan seterusnya
dengan frekuensi 1x, 2x, 3x dan seterusnya adalah vibrasi yang dapat
diukur secara Filter - In atau pada analisa vibrasi biasa disebut
frekuensi 1x rpm, 2x rpm, 3x rpm dan seterusnya.
Jadi, dengan mem "breakdown" getaran pada suatu mesin menjadi
komponen-komponen vibrasi yang mempunyai frekuensi berkelipatan
satu dengan lainnya, serta mempelajari sifat-sifat dari pada penyebabpenyebab vibrasi yang ada pada mesinmesin rotasi, maka penyebab
vibrasi dapat ditentukan.
3.2. Pengumpulan data sejarah operasi mesin dan prosedur analisa.
Analisa vibrasi dilakukan jika data harian mesin menunjukkan kecenderungan
meninggi. Atau jika timbulnya alarm yang menunjukkan batas vibrasi telah
dilampaui. Untuk mesin-mesin perkakas hal ini ditandai oleh kurang
sempurnanya hasil kerja mesin tersebut berproduksi, seperti kurang halusnya
permukaan benda kerja, dimensi benda kerja melebihi dari toleransi, dan lain
sebagainya. Setelah adanya tanda-tanda tersebut, maka analisa vibrasi untuk
mencari penyebab . kerusakan dilakukan. Data vibrasi pada waktu kondisi
mesin masih normal, atau data garansi merupakan sasaran dari usaha usaha kita dalam memperbaiki mesin. Data tersebut disebut "baseline data".
Setelah diputuskan untuk diadakan adalah analisa vibrasi, maka langkah yang
diambil selanjutnya adalah pengumpulan data operasi sebelum mesin
dinyatakan rusak.
Data tersebut adalah :
-
Data kerusakan.
Data operasi tentang kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh mesin
tersebut, berupa data gangguan/ kerusakan atau perbaikan yang disertai
dengan perubahan atau penambahan pada bagian-bagian tertentu, yang
diperkirakan dapat mempengaruhi vibrasi mesin.
SGS/MRG/UNJ/2010
29
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar.22
SGS/MRG/UNJ/2010
30
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
SGS/MRG/UNJ/2010
31
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 23
SGS/MRG/UNJ/2010
32
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Adakah vibrasi arah axial besarnya lebih dari 50% terhadap arah
horizontal maupun vertikal pada suatu bearing ?
Jika ada, kemungkinan penyebab vibrasi ialah misalignment atau
poros bengkok.
Adakah vibrasi arah vertikal 2 kali atau beberapa kali lebih besar
terhadap arah horizontal pada suatu bearing ?
Jika ada, kemungkinannya adalah clearance bearing terlalu besar,
atau terjadi gesekan langsung antara poros dengan bearing, atau
ada looseness (kerenggangan) pada bagian-bagian di daerah
sekitar bearing/support.
SGS/MRG/UNJ/2010
33
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
SGS/MRG/UNJ/2010
34
SGS/MRG/UNJ/2010
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
35
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Tabel 4.1
SGS/MRG/UNJ/2010
36
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Tabel 4.2
Pengukuran Filter In dapat pula dilakukan dengan alat X-Y Recorder secara
semi otomatis seperti terlihat pada Gambar 24.
Dengan menggunakan alat ini, amplitude yang ada pada setiap frekuensi
akan digambarkan secara spektrum tidak perlu dicatat pada Data Sheet.
Gambar 24
3.4. Mencari penyebab kerusakan mesin
Penyebab tingginya vibrasi yang terjadi dapat dikenal, melalui karakternya.
Setiap penyebab vibrasi mempunyai karakter yang berbeda, dimana hal
SGS/MRG/UNJ/2010
37
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
tersebut masing-masing dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel ini membantu kita
untuk membedakan masing-masing karakter penyebab vibrasi, walaupun
adakalanya perlu beberapa penambahan pembuktian.
3.4.1. Ketidak balans (unbalance)
Ketidak balans adalah hal yang sering terjadi pada mesin-mesin rotasi,
mempunyai beberapa karakter yang hampir mirip dengan misalignment
atau poros bengkok.
Penyebab ketidak balans antara lain :
-
Ada rongga atau kerapatan yang tidak merata pada bahan poros/
rotor.
Pemasangan pasak pada poros.
Distorsi : Yaitu perubahan bentuk poros / rotor karena pemuaian
yang tidak merata (tidak simetris), atau terjadi kecenderungan
perubahan kebentuknya semula karena pengerjaan penempaan
yang diderita poros / rotor sebelumnya.
Kotor, deposit dan robekan pada poros / rotor.
38
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Misalignment kopling.
Karakteristik misalignment bearing adalah sebagai berikut :
- Lihat tabel 4.2.
- Amplitude pada arah radial dan axial tinggi, tapi arah axial besarnya
lebih dari 50% arah radial.
- Frekuensi 1x rpm, jika cukup besar, 2x atau 3x rpm.
- Jika amplitude pada frekuensi 2x atau 3x rpm besarnya 30% s.d.
75% dari amplitude pada frekuensi 1x rpm, maka mesin masih boleh
dijalankan. Jika amplitudenya antara 75% s.d. 150%, maka mesin
harus diamati dengan cermat selama beroperasi, dan diadakan
perbaikan hingga ada kesempatan untuk stop. Jika amplitude
tersebut lebih dari 150%, maka kerusakan telah terjadi dan mesin
harus segera distop untuk diperbaiki.
- Terjadi kenaikan temperatur dan tekanan minyak pelumas di bearing.
Hal ini merupakan pengaruh; tidak langsung dari misalignment
terhadap minyak pelumas.
Adakalanya gaya misalignment yang bekerja pada kopling dapat
diredam karena kekarnya kopling tersebut. Tetapi reaksi daripada gaya
ini akan timbul pada bagian poros diluar kedua bearing penumpu, dan
dapat merusak peralatan yang ada disana.
Poros bengkok mempunyai karakter yang sama dengan misalignment
kopling. Jika kebengkokan itu tidak terlalu parah cukup diatasi dengan
membalans. Membedakan masalah misalignment dengan poros
bengkok dibahas pada Bab 5 Analisa Fase.
Torque Lock.
Misalignment dapat terjadi pada roda gigi yang mengkopel mesin
penggerak dengan mesin yang digerakkan, misalnya reduction gear
pada PLTG. Misalignment ini terjadi akibat gaya torsi yang bekerja pada
poros, sehingga salah satu poros roda gigi akan terangkat ke atas dan
yang lainnya tertekan ke bawah (Apabila kedudukan kedua poros
tersebut sejajar horizontal).
Hal ini terjadi apabila poros roda gigi terlalu panjang atau material poros
kurang kuat, sehingga poros mudah melengkung akibat momen yang
dideritanya, atau pelumasan pada bearing-bearing tidak baik, sehingga
clearance padanya tidak terisi minyak melainkan terisi oleh poros.
SGS/MRG/UNJ/2010
39
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 25a
Gambar 25b
SGS/MRG/UNJ/2010
40
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Untuk itu baut pengikat perlu direnggangkan agar bagian suport yang
miring tersebut terangkat dan posisinya menjadi rata. Ketika
merenggangkan baut yang terlalu kencang itu, sebaiknya mesin dalam
keadaan beroperasi sambil vibrasinya dipantau apakah terjadi
penurunan. Jika turun berarti baut itulah yang mengakibatkan distorsi
pada kaki suport/ baseplate.Kejadian diatas biasanya disebut "Soft
Foot".
3.4.3. Kerusakan bearing
Ada dua jenis bearing yang dibahas pada bagian ini yaitu Anti Friction
bearing dan Sleeve bearing. Keduanya mempunyai karakter vibrasi
yang berbeda, dan juga kerusakan yang ditimbulkannya berlainan. Yang termasuk Anti Friction bearing ialah ball bearing dan roll bearing,
sedangkan Sleeve bearing adalah Journal bearing.
Anti Friction bearing.
Kerusakan pada bearing jenis ini dapat terjadi pada salah satu atau
lebih daripada elemenelemennya, yaitu pada ball/ roll, alur luar atau
dalam dan sangkar.
Karakteristik kerusakan Anti Friction bearing sebagai berikut :
- Lihat tabel 4.2.
- Vibrasi terjadi pada frekuensi tinggi tapi tidak pada angka yang
tetap, demikian pula dengan amplitudenya.
Hal ini disebabkan kemungkinan kerusakan lebih dari satu elemen
yang terjadi secara bersamaan. Lihat Gambar 26.
SGS/MRG/UNJ/2010
41
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 26
Secara pendekatan, frekeunsi vibrasi dapat dihitung dengan rumus
seperti yang tampak pada Gambar 27. Hal ini untuk lebih meyakinkan
apakah frekuensi yang ditunjukkan pada X-Y Recorder adalah benar
disebabkan oleh kerusakan bearing. Apabila ukuran elemen-elemen
bearing tidak diketahui, maka rumus untuk kerusakan pada Inner Race
(alur dalam) dan Outer Race (alur luar) dapat dihitung dengan
mengalikan faktor 0,6 dan 0,4.
SGS/MRG/UNJ/2010
42
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar. 27
-
Adakalanya kerusakan bearing disertai dengan resonansi. ' Jika hal ini
terjadi, frekuensi besarnya sangat tinggi dan bukan merupakan fungsi
dari putaran.
Dengan demikian frekuensi tidak dapat dirumuskan, karena resonansi
terjadi terhadap komponenkomponen mesin seperti : rumah bearing,
poros, ball/ roll, alur dalam, alur luar, sangkar dan lain-lain, yang mana
masing-masing mempunyai frekuensi pribadi berbeda-beda.
SGS/MRG/UNJ/2010
43
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Sleeve bearing.
Kerusakan pada sleeve bearing umumnya adalah clearance terlalu
besar, beban yang ditumpu terlalu besar dan pelumasan yang tidak
baik. Karakteristik kerusakan sleeve bearing adalah sebagai berikut :
-
SGS/MRG/UNJ/2010
yaitu
44
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 28
Hal ini terjadi jika kerusakan karena keausan gigi, sentuhan dan
bentuk gigi yang tidak tepat atau pelumasan yang tidak baik. Apabila
keausan gigi yang terjadi mengakibatkan kerenggangan yang cukup
besar, maka frekuensi dapat terjadi pada 2x atau 3x frekuensi gear
mesh bahkan bisa lebih daripada itu.
-
Jika kerusakan gigi karena patah atau retak sebanyak satu atau
beberapa buah, maka frekuensi yang terjadi adalah perkalian
antara jumlah gigi yang rusak tersebut dengan rpm.
SGS/MRG/UNJ/2010
45
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Misalignment bearing bisa disebabkan oleh baut baut pengikat gear box
pada baseplate tidak sama tekanannya, sehingga terjadi kemiringan
gear box atau terjadi apa yang disebut "soft foot".
Untuk
mengatasi
ini
maka
haruslah
diperbaiki
masalah
misalignmentnya terlebih dahulu, baru diamati lagi adanya kerusakan
gigi.
3.4.5. Kerenggangan mekanis (Mechanical looseness).
Kerenggangan pada suatu mesin dapat disebabkan oleh kerenggangan baut,
kerenggangan bearing, keretakan di pondasi, kerenggangan antara rotor
dengan poros, dan sebagainya. Pada motor listrik dan generator,
kerenggangan dapat terjadi pada rotor bar atau gulungan rotor maupun stator.
Untuk mengetahui pada bagian-bagian mana di pondasi atau di sekitar
mesin yang terjadi kerenggangan mekanis, dapat dilakukan dengan
cara "analisa fase" seperti yang dikemukakan pada topik berikutnya.
Karakteristik kerenggangan mekanis sebagai berikut :
-
46
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
47
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Katup
Perubahan diameter pipa dari kecil ke besar
ALIRAN BALIK.
Terjadi pada pompa ketika beroperasi pada kapasitas rendah.
TURBULENSI.
Terjadi pada belokan tajam pada pipa, gesekan dengan pipa atau
adanya hambatan aliran fluida.
Gambar 29
3.4.8. Vibrasi karena resonansi.
Instalasi suatu mesin biasanya terdiri dari rangka, pipa, duct, dan
sebagainya, dimana komponen-komponen tersebut mempunyai
frekuensi diri (natural frequency), yang didesain besarnya tidak boleh
ada yang sama dengan putaran mesin. Jika salah satu atau beberapa
komponen yang ada pada mesin itu mempunyai frekuensi diri yang
sama besar dengan putaran mesin, maka vibrasi akan meninggi atau
disebut terjadi Resonansi.
SGS/MRG/UNJ/2010
48
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 30
Kejadian ini bisa terjadi beberapa kali selama rolling, tergantung dari
berapa banyak komponen yang mempunyai frekuensi diri di bawah
putaran nominal mesin; termasuk putaran kritis.
Karakteristik vibrasi resonansi :
-
SGS/MRG/UNJ/2010
49
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
SGS/MRG/UNJ/2010
50
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 31
Apabila resonansi terjadi pada frekuensi sedikit di bawah putaran mesin,
maka penambahan stifness akan mengakibatkan kenaikan frekuensi diri
yang dapat memungkinkan frekuensi tersebut menjadi sama dengan
putaran mesin. Keadaan ini akan mengakibatkan vibrasi resonansi
malah menjadi bertambah besar.
Sebaliknya jika resonansi berada pada frekuensi sedikit di atas putaran
mesin, maka penambahan berat akan menurunkan frekuensi diri yang
dapat memungkinkan menjadi sama dengan putaran mesin. Hal ini
malah akan memperbesar vibrasi resonansi. Maka dalam menentukan
penambahan stifness atau penambahan berat suatu komponen yang
beresonansi, perlu diketahui terlebih dahulu berapa sesungguhnya
frekuensi resonansi yang terjadi.
Alternatif lain yang tidak langsung dapat mengurangi vibrasi karena
resonansi, ialah dengan melakukan balansing dan atau alignment.
Meskipun kedua cara ini tidak langsung mengatasi resonansi, tapi dapat
mengurangi gaya-gaya yang membuat vibrasi resonansi.
Masalahnya apakah hasil vibrasinya cukup memuaskan untuk tidak
perlu mengambil cara perbaikan lainnya, tergantung dari besarnya
kekakuan komponen dalam meredam vibrasi.
SGS/MRG/UNJ/2010
51
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Resonansi sudu.
Pada turbin uap dan turbin gas, resonansi sudu dapat terjadi meskipun
agak jarang ditemui. Dalam pendesainan' sudu, frekuensi dirinya tidak
boleh sama dengan putaran nominal mesin. Tapi adakalanya setelah
sudu-sudu tersebut dipasang, satu atau beberapa grup sudu mengalami
resonansi. Resonansi sudu terjadi pada frekuensi tinggi dengan tidak
mempunyai angka tertentu. Penempatan transducer untuk pengambilan
data diletakkan pada casing turbin.
Tidak ada cara untuk dapat mengetahui apakah telah terjadi retak atau
patah pada sudu-sudu turbin dalam keadaan beroperasi. Tapi dapat
dicurigai apabila vibrasi turbin yang pada mulanya tinggi, setelah
beberapa waktu turun menjadi stabil tanpa dilakukan perbaikan. Maka
bisa kemungkinan sudu telah retak atau patah, yang mengakibatkan
frekuensi diri berubah tidak lagi sama dengan putaran mesin.
Lihat Gambar 32. Pada gambar atas adalah bentuk spektrum vibrasi
sudu. Sedangkan gambar bawah setelah perbaikan atau penggantian
sudu.
Gambar 32
3.4.9. Vibrasi karena putaran minyak pelumas (Oil Whirl)
Vibrasi ini terjadi pada journal bearing, yang hanya terjadi pada mesinmesin dengan sistem pelumasan minyak bertekanan, serta mesin
putaran tinggi (di atas putaran kritis pertama).
Lihat Gambar 33.
SGS/MRG/UNJ/2010
52
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 33
Selama berputar, poros di dalam bearing akan bergerak-gerak
cenderung terangkat ke atas pada satu sisi rongga bearing.
Makin besar clearance yang terjadi antara poros dan bearing makin jauh
gerakannya. Karena keterangkatannya itu, minyak akan mengisi
clearance antara poros dengan linning bearing bagian bawah.
Minyak ini mendapat tekanan dari poros karena beratnya, sehingga ada
lapisan minyak yang menempel pada poros dan ikut berputar. Oleh
karena minyak ini juga melapisi linning yang tidak berputar, maka
putarannya adalah putaran rata-rata poros dan linning yaitu 50%
putaran poros. Tetapi karena adanya faktor gesekan, maka putarannya
akan kurang sedikit daripada itu. Gaya putaran minyak pelumas ini akan
menimbulkan vibrasi dengan frekuensi antara 43% s.d. 48% rpm poros.
Oil Whirl dapat disebabkan oleh :
-
Adakalanya indikasi. vibrasi oil whirl (frekuensi 45% rpm) pada bearing
terjadi bukan karena penyebab itu sesungguhnya, tapi disebabkan oleh
vibrasi "background" sekitar mesin, yang kebetulan frekuensinya sama
dengan ciri yang dimiliki oleh oil whirl. Misalnya ada mesin di sekitar
yang putarannya setengah daripada putaran mesin yang diamati.
Selain daripada itu, bisa juga terjadi resonansi pada pipa atau pondasi
mesin yang ditimbulkan oleh turbulensi aliran fluida.
Hal mana secara kebetulan frekuensinya sama dengan frekuensi oil
whirl. Jadi sebelum memutuskan vibrasi karena Oil Whirl, perlu
dilakukan pemeriksaan vibrasi lain di sekitarnya
3.4.10. Vibrasi karena gesekan (rubbing).
SGS/MRG/UNJ/2010
53
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
54
4.1.
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 34A
Gambar 34B
SGS/MRG/UNJ/2010
55
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
SGS/MRG/UNJ/2010
56
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 35
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa, antara bearing A dan B
hampir tidak terdapat perbedaan fase yang berarti. Juga pada bearing
C dan D. Tetapi antara bearing B dan C rata-rata terjadi perbedaan
fase yang cukup besar (180) dimana antara kedua bearing itu
terdapat kopling. Maka dapat disimpulkan bahwa kopling yang terletak
antara bearing B dan C mengalami misalignment. Jika perbedaan
sudut fase yang cukup besar terjadi antara bearing A dan B atau C dan
D, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi kebengkokan poros antara
kedua bearing. Atau kemungkinan lainnya ialah terjadi misalignment
bearing pada salah satu atau kedua bearing tersebut.
Apabila pada semua bearing sudut fasenya relatif sama (tapi vibrasi
axial lebih dari setengah vibrasi radial), maka besar kemungkinan
terjadi resonansi pondasi arah axial pada frekuensi 1x rpm, atau
unbalance jika rotor ditumpu secara "overhung".
SGS/MRG/UNJ/2010
57
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 36
Lihat Gambar 36. Pengukuran vibrasi dengan Filter In pada frekuensi 1x rpm,
dilakukan pada ketiga titik seperti tampak pada gambar. Apabila perbedaan
sudut fase antara salah satu titik atau ketiganya cukup besar, maka dapat
disimpulkan terjadi kerenggangan antara bagian bagian yang berbeda sudut
fasenya tersebut.
4.3. Menentukan ketidak balans.
Dalam menentukan ketidak balans, sudut fase digunakan untuk lebih
memastikan adanya indikasi tersebut. Karena dari amplitude yang muncul
pada frekuensi 1x rpm, maka dari karakteristik ini sesungguhnya hal itu telah
dapat diketahui. Hanyalah apakah karakter ini tidak overlaping dengan
indikasi-indikasi vibrasi lainnya; seperti misalignment yang bisa juga terjadi
pada frekuensi 1x rpm, maka perlu dicari karakteristik selain daripada itu yang
dapat mendukung.
Pengukuran displacement dengan Filter In pada frkuensi 1x rpm pada posisi
vertikal dan horizontal, dilakukan dengan mencatat besar sudut fasenya
masing-masing. Apabila perbedaan sudut fase tersebut sebesar 90', maka
dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidak balans pada rotor yang diukur. Hal ini
disebabkan oleh "heavyspot" (gaya ketidak balans) yang berputar bersama
dengan poros, mendorong transducer vertikal dan horizontal dengan beda
posisi 90.
SGS/MRG/UNJ/2010
58
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
5.
SGS/MRG/UNJ/2010
59
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Mode dalam pengertian ini adalah bentuk kelenturan yang diderita oleh suatu
mesin, pipa, struktur (pondasi), support dan komponen-komponen lainnya yang
dibentuk oleh vibrasi mengikuti pola daripada arah gerakan vibrasi tersebut.
Analisa Bentuk Mode berguna untuk mengetahui dimana daerah komponen yang
lemah, memastikan adanya resonansi dan menentukan dimana Nodal Point (titik
dimana terjadi amplitude terkecil).
Berbeda dengan Analisa Fase dimana yang diukur hanya sudut fasenya saja, pada
Analisa Bentuk Mode pengukuran meliputi sudut fase dan amplitude.
5.1. Bentuk mode struktur (pondasi).
Apabila amplitude vertikal pada bearing jauh melebihi amplitude horizontal,
maka kemungkinan yang terjadi adalah melemahnya struktur atau terjadi
resonansi struktur. Untuk lebih meyakinkan hal ini, bentuk mode struktur
diperlukan. Pengukuran amplitude dan sudut fase sepanjang struktur,
dilakukan pada titik-titik yang kita tentukan dengan selang jarak yang pendekpendek.
Gambar 37A
SGS/MRG/UNJ/2010
60
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 37B
Gambar 37C
Gambar 37D
SGS/MRG/UNJ/2010
61
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 37A adalah suatu struktur yang menopang mesin beserta titik -titik
pengukuran yang kita tentukan. Lakukan pengukuran amplitude (dipilih
parameter yang sesuai) dan sudut fase dengan Filter In pada frekuensi 1x rpm
pada setiap titik-titik pengukuran tersebut. Gambarkan sketsa struktur itu
dengan suatu skala, dan gambarkan seluruh amplitude yang telah didapat
dalam satuan panjang, dengan arah yang telah ditentukan oleh sudut fase
(digambarkan arah vertikal).
Lihat Gambar 37B dan 37C. Kedua gambar ini memperlihatkan dua jenis
kemungkinan bentuk mode yang dapat terjadi. Arah panah dari amplitudeamplitude itu menunjukkan arah sudut fase. Dengan menghubungkan ujung ujung panah tersebut, maka akan didapat bentuk mode yang terjadi.
Gambar 37B memperlihatkan dua daerah lenturan terbesar yang masingmasing membentuk setengah sinusoidal searah. Arah ini ditentukan oleh
pengukuran sudut fase pada kedua daerah tersebut yang secara keseluruhan
arahnya sama. Nodal point berada di tengah memisahkan kedua lenturan itu.
Maka dapat dilihat bahwa ada dua daerah lemah pada struktur, yaitu pada
kedua daerah puncak sinusoidal tersebut.
Gambar 37C memperlihatkan kemungkinan lain dari jenis lenturan yang dapat
terjadi. Bentuknya hampir sama dengan gambar 37B, tapi arah sudut fase
pada kedua daerah lenturan secara keseluruhan membentuk satu sinusoidal
penuh. Bentuk ini menunjukkan pondasi terjadi resonansi tingkat kedua pada
arah vertikal, dimana nodal point terjadi pada daerah yang membagi dua
sinusoidal tersebut.
Resonansi tingkat pertama terjadi apabila amplitude sepanjang struktur itu
membentuk setengah sinusoidal penuh, yang berarti tidak terjadi perubahan
arah sudut fase dan tidak ada nodal point. Dengan demikian amplitude
terbesar atau daerah struktur terlemah menerima vibrasi terjadi di tengah,
dimana terdapat puncak setengah sinusoidal tersebut.
Nodal point dapat mengarahkan kita dalam melakukan perbaikan atau
penguatan suatu struktur.
Apabila penguatan dilakukan pada daerah nodal point, maka tidak akan terjadi
perbaikan yang diharapkan. Pada gambar 37D diperlihatkan kesalahan
memasang rangka penguat pada struktur, karena pemasangannya dilakukan
pada nodal point, bukan pada 'daerah-daerah dimana terjadi amplitude
maximum, yaitu daerah dimana struktur mengalami kelemahan.
5.2.
SGS/MRG/UNJ/2010
62
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 38A
Gambar 38B
SGS/MRG/UNJ/2010
63
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 38C
Gambar
38A
memperlihatkan
bentuk mode suport (garis putusputus) yang diukur dari permukaan
lantai ke atas. Dari permukaan
lantai hingga bagian alas rumah
bearing, besarnya amplitude sama
(sudut fase tidak diukur). Tapi dari
alas rumah bearing ke atas,
amplitude berangsur membesar. Hal
ini
dimungkinkan
karena
melemahnya rumah bearing atau terjadi resonansi bearing.
Gambar 38B adalah bentuk mode suport, dimana amplitude dari permukaan
lantai hingga alas rumah bearing sama besar. Tapi pada alas rumah bearing
mendadak besar hingga ke atas. Hal ini dimungkinkan oleh melemahnya pelat
alas dudukan rumah bearing, atau resonansi pada baut pengikat rumah
bearing.
Gambar 38C menunjukkan amplitude membesar dari permukaan lantai
proporsional dengan ketinggian pondasi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
lemahnya pondasi, atau berkurangnya'daya tahan tanah dalam menopang
suport diatasnya.
5.3.
SGS/MRG/UNJ/2010
64
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 39A
Gambar 39B
SGS/MRG/UNJ/2010
Gambar 39C
65
Gambar 39D
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 39E
Pada gambar di atas diperlihatkan satu contoh pompa vertikal (Gambar 39A)
beserta kemungkinan-kemungkinan bentuk mode yang dapat terjadi
(amplitude dan arah panah sudut fase).
Gambar 39B dan 39C, memperlihatkan bentuk mode yang . menunjukkan
terjadi resonansi tingkat pertama dan tingkat kedua pada pompa.
Gambar 39D menunjukkan lemahnya pondasi atau tanah penopang pondasi.
Sedangkan Gambar 39E menyatakan terjadinya resonansi pada pondasi.
SGS/MRG/UNJ/2010
66
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Pada bab-bab sebelumnya telah dibahas bagaimana mengenal kerusakankerusakan mesin dari karakter vibrasinya. Contoh contoh yang diberikan adalah
kejadian-kejadian yang umum sering terjadi rii lapangan. Pada bab ini akan
dibahas beberapa contoh yang unik dari kejadian-kejadian yang pernah terjadi,
yang dapat memperluas pengetahuan kita dalam menganalisa vibrasi mesin.
6.1. Olakan minyak pelumas di bearing (Oil Whirl).
Permasalahan :
Sebuah turbin uap 500 MW dengan putaran 3600 rpm. Pada waktu startup,
turbin kadangkala trip pada putaran 2880 rpm, disebabkan bekerjanya sensor
trip akibat tingginya vibrasi pada bearing sisi generator.
Pengamatan :
Dilakukan pengukuran Amplitude vs Frekuensi pada bearing tersebut di atas.
Pada saat putaran mencapai (mendekati) 2880 rpm, spek trum Amplitude vs
Frekuensi diambil datanya. Lihat Gambar 40.
Kesimpulan dan Tindakan :
Pada Gambar 40, tampak pada frekuensi 1440 rpm (0,5 x 2880 rpm) terjadi
amplitude tinggi sebesar 6,7 mils. Hal ini adalah karakter yang dimiliki olahan
minyak pelumas (Oil Whirl) yang terjadi pada bearing. Bearing tersebut
ditambahkan shim setebal 7 mils agar lebih terangkat. Ternyata vibrasi pada
frekuensi 1440 rpm tersebut menjadi 0,2 mils yang berarti sudah cukup aman.
Peristiwa ini terjadi berbarengan antara misalignment bearing akibat "soft
foot" dengan oil whirl akibat tekanan terhadap poros cukup besar karena
misalignment tersebut.
SGS/MRG/UNJ/2010
67
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 40
6.2. Aliran uap masuk turbin tidak merata (part admission).
Permasalahan :
Ketika overhaul suatu turbin uap 650 MW, ditemukan keretakan pada empat buah
sudu jalan yang berurutan di tingkat pertama (curtis). Karena unit harus segera
beroperasi, maka dilakukan tindakan sementara yaitu memotong sudu -sudu yang
retak tersebut (4 buah). Agar supaya rotor turbin tetap balans, maka sudu-sudu yang
berseberangannya (lawannya) dipotong juga dengan jumlah yang sama.
Setelah turbin dioperasikan, ternyata vibrasi turbin menjadi besar.
Pengamatan :
Vibrasi filter out terbesar pada bearing di daerah pedestal, yaitu sebesar 4,2
mils dan 8,4 mils masingmasing pada beban 350 MW dan 500 MW dengan
pembukaan katup regulasi sebesar 3/4 admisi. Sedangkan vibrasi yang
diijinkan pada beban-beban tersebut adalah 4,5 mils dan 5 mils. Dari hasil
pengukuran Amplitude vs Frekuensi, diketahui terjadi Amplitude tinggi pada 2x
rpm sebesar 5 mils pada beban 500 MW.
SGS/MRG/UNJ/2010
68
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Resonansi pondasi.
Permasalahan :
Sebuah pompa baru terpasang di atas pondasi beton, hendak diukur
vibrasinya. Ternyata vibrasi cukup besar, sehingga perlu diadakan pengukuran
Amplitude vs Frekuensi untuk analisa.
Pengamatan :
Dari spektrum Amplitude vs Frekuensi, menunjukkan bahwa Amplitude
tertinggi terjadi pada 7200 cpm (1x rpm) arah horizontal sebesar 0,6 in/s (1,6
mils) (lihat Gambar 41a). Setelah pompa dimatikan, pondasi ternyata
mengalami vibrasi cukup besar, yang berasal dari mesin disel yang terletak
beberapa meter dari pompa. Maka dilakukan test resonansi pada pondasi
yaitu dengan bump test.
Pompa dipukul berulang-ulang
Amplitude vs Frekuensinya.
dengan
martil
sambil
diukur
spektrum
Dari spektrum itu Amplitude tertinggi terjadi pada frekuensi 7725 cpm (Lihat
Gambar 41b) yang berarti menyatakan frekuensi diri dari pondasi tersebut.
SGS/MRG/UNJ/2010
69
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 41a
SGS/MRG/UNJ/2010
70
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 41b
Kesimpulan dan Tindakan :
Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi resonansi pada pondasi, karena
frekuensi penyebab vibrasi (putaran pompa) hampir sama dengan frekuensi
diri pondasi pompa, yaitu masing-masing sebesar 7200 cpm dan 7725 cpm.
Untuk itu perlu dilakukan pengerasan pondasi, agar frekuensi dirinya berubah
jauh dari frekuensi penyebab vibrasi.
6.4. Vibrasi Kavitasi.
Permasalahan :
Dua buah pompa air laut pendingin kondesor bekerja paralel. Jika salah satu
yang beroperasi, maka vibrasi horizontal dan axial tinggi.
Pengamatan :
Karena vibrasi telah diketahui tinggi jika salah satu pompa yang bekerja,
maka dilakukan pengukuran Amplitude vs Frekuensi.
Pada Gambar 42 menunjukkan bahwa Amplitude tidak mempunyai harga
"frekuensi yang merupakan perkalian terhadap putaran. Indikasi ini
menunjukkan penyebab vibrasi adalah turbulensi atau kavitasi.
Setelah data operasi pompa diteliti ternyata back pressure hanya 10 ft,
sedangkan untuk design seharusnya 38 ft.
SGS/MRG/UNJ/2010
71
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 42
6.5. Vibrasi karena ketidak balans.
Permasalahan :
Sebuah FD Fan mempunyai vibrasi yang.tinggi pada kedua bearingnya, yaitu
masing-masing sebesar 10 mils dan 5 mils arah horizontal.
Pengamatan :
Dari hasil pengukuran Amplitude vs Frekuensi, diketahui bahwa vibrasi
terbesar pada 1x rpm arah horizontal. Maka dapat disimpulkan bahwa fan
tidak balans. Kemungkinan tidak balans disebabkan oleh deposit yang
menempel pada sudu-sudu fan. Setelah sudu-sudu dibersihkan fan distart
kembali, ternyata vibrasi naik . menjadi.20 mils dan 8 mils.
SGS/MRG/UNJ/2010
72
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Gambar 43
Kesimpulan dan Tindakan :
SGS/MRG/UNJ/2010
73
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Catatan :
SGS/MRG/UNJ/2010
74
ANALISA VIBRASI
1. DASAR-DASAR PLTG
II
Vibrasi karena aliran listrik ini pada awalnya sulit ditentukan, biasanya mulai
diambil tindakan setelah bearing beberapa kali rusak dengan keadaan pitting
dan terlepas material permukaannya.
Pendeteksian awal masalah ini dapat diamati dengan menggunakan Non
contect Transducer. Displacement yang ditunjukkan sering berubah-ubah
karena terjadi gangguan medan listrik yang dikeluarkannya disebabkan listrik
statis yang melewati poros tersebut.
Tetapi kadang-kadang cara inipun sulit untuk mendeteksinya.
SGS/MRG/UNJ/2010
75