Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

SKENARIO
Kenapa Saya Tiba-Tiba Tidak Sadar?
Seorang laki-laki berusia 68 tahun diantar oleh anak perempuannya yang
serumah dengannya ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit tipe D karena tidak
sadar. Dari alloanamnesis didapatkan informasi 5 jam sebelum masuk rumah sakit
pasien diketahui tidak sadar. Bisa dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak
bicara tidak menyambung. Dari keterangan anaknya, sejak 3 hari penderita panas
mual disertai muntah, sering kencing, nyeri pinggang dan urin berwarna keruh.
Penderita hanya makan dan minum sedikit selama 3 hari terakhir. Ada riwayat
Diabetes Mellitus dan Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dengan riwayat terapi
insulin rapid 6-6-4 dan Captopril 3x25mg, diketahui penderita jarang kontrol dan
tidak suntik insulin 2 hari sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : sakit berat, somnolen, GCS E3V4M5,
tekanan darah 80/40 mmHg, suhu 38C, laju pernafasan 32 kali per menit, nadi 128
kali/menit, lemah. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan rhonki di kedua lapang
paru. Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis (-). Pemeriksaan
laboratorium : Hb 13g%, leukosit 25.000/mm3, GDS 600 mg/dL, ureum 60 mg/dL,
kreatinin 1,0 mg/dL, kalium 4,5 mmol/L. Pemeriksaan urin rutin dan gas darah
masih menunggu hasil. Setelah dijelaskan dan mendapatkan persetujuan keluarga
dengan menandatangi informed consent, diberikan infus Ringer Laktat 2 jalur,
tetesan cepat dan bolus insulin 0,1 unit/kgBB.

Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui

mekanisme penurunan kesadaran pada pasien dengan

komplikasi akut diabetes melitus


2. Mengetahui patofisiologi terjadinya keluhan pada pasien di skenario
3. Mengetahui jenis kegawatdaruratan karena penyakit diabetes mellitus
4. Mengetahui tujuan dari pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk pasien di
skenario
5. Mengetahui pengertian koma diabetikum
6. Mengetahui tatalaksana, komplikasi dan prognosis untuk pasien sesuai
scenario

BAB II
SEVEN JUMPS
Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario
1. Rumah Sakit tipe D

: Rumah Sakit yang hanya mampu memberikan

pelayanan kesehatan kedokteran umum dan kedokteran gigi, menerima


rujukan dari puskesmas dan bersifat transisi.
2. Insulin rapid

: preparat insulin dengan onset kerja dari 0,5 1,5 jam

setelah pemberian dan efek puncak sekitar 2 hingga 4 jam setelah


penyuntikan
3. Informed consent

: izin yang diberikan atas kemauan sendiri oleh

seseorang atau walinya untuk keikutsertaannya dalam suatu penelitian atau


penyelidikan, atau untuk dilakukannya suatu tindakana medis, setelah
mendapat penjelasan mengenai tujuan, metode, prosedur, manfaat, dan resiko
tindakan tersebut.
4. Ringer Laktat

: larutan steril berisi kalsium klorida, kalium klorida,

nattrium klorida, dan natrium laktat dalam air untuk suntikan, diberikan
sebagai pelengkap elektrolit dan carian melalui infus intravena.

Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


1. Bagaimanakah mekanisme penurunan kesadaran pada pasien ?
2. Mengapa pasien mual, muntah, sering kencing, nyeri pinggang, urin
berwarna keruh?
3. Bagaimana hubungan riwayat diabetes mellitus dan hipertensi dengan gejala
makan dan minum sedikit?
4. Apa sajakah diagnosis banding yang dapat diambil dan memenuhi kriteria
5.
6.
7.
8.

kegawatdaruratan pada pasien dengan diabetes mellitus di skenario?


Mengapa dilakukan pemeriksaan gas darah dan urin rutin?
Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium?
Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pasien?
Apakah yang dimaksud dengan koma diabetikum?

9. Apakah pasien perlu dirujuk? Jika iya, kemankah pasien harus dirujuk?
10. Dengan cara apakah informed consent seharusnya didapatkan dari pasien
dengan kondisi seperti pada skenario?
11. Bagaimana hubungan 5 jam sebelum masuk rumah sakit dengan tatalaksana
dan prognosis pada pasien?
12. Bagaimanakah jumlah leukosit pada pasien dengan diabetes mellitus?
Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan
sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
1. Bagaimanakah mekanisme penurunan kesadaran pada pasien ?
Hiperglikemia terjadi karena berkurangnya penyerapan glukosa oleh sel,
disertai peningkatan pengeluaran glukosa oleh hepar. Karena proses-proses
glikogenolisis dan glukoneogenesis yang mengasilkan glukosa berlangsung
tanpa kendali karena tidak adanya insulin maka pengeluaran glukosa oleh
hepar meningkat. Karena banyak sel tubuh yang tidak dapat menggunakan
glukosa tanpa bantuan insulin, maka terjadi kelebihan glukosa ekstrasel
bersamaan dengan defisiensi glukosa intrasel yang kronis. Meskipun otak
mendapat nutrisi yang adekuat pada diabetes mellitus karena tidak
membutuhkan insulin untuk menyerap glukosa, namun konsekuensi lebih
lanjut pada diabetes pada akhirnya akan menyebabkan disfungsi otak.
Ketika kadar glukosa darah melebihi ambang batas kemampuan sel tubulus
ginjal untuk melakukan reabsorpsi, maka akan timbul glukosuria. Glukosa di
urin menimbulkan efek osmotic yang menarik air dari jaringan sekitar,
menimbulkan dieresis osmotic yang ditandai oleh poliuria. Jumlah yang
besar dari cairan yang keluar menyebabkan terjadinya dehidrasi, yang
selanjutnya menyebabkan gagal sirkulasi perifer karena berkurangnya
volume darah. Apabila kegagalan sirkulasi tidak diperbaiki, dapat timbul
penurunan kesadaran dan kematian karena berkurangnya aliran darah ke
otak. Selain itu dapat juga terjadi gagal ginjal sekunder karena kurangnya
tekanan filtrasi. Lebih lanjut, sel-sel kehilangan air sewaktu tubuh
mengalami dehidrasi. Sel sel otak sangat peka terhadap penciutan sehingga
dapat terjadi malfungsi system saraf. Gejala khas lain pada diabetes adalah

polidipsia, yang sebenarnya adalah mekanisme kompensasi untuk melawan


dehidrasi.

2. Mengapa pasien mual, muntah, sering kencing, nyeri pinggang, urin


berwarna keruh?
Mual dan muntah
Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus adalah gastroparesis diabetika.
Gejala gastroparesis diabetika adalah mual, muntah, nyeri abdomen, rasa
cepat kenyang, rasa tidak enak di perut bagian atas, rasa terbakar di dada
(heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan penurunan berat badan.
Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting yang menyebabkan
terjadinya gastroparesis. Fischer dkk menunjukkan bahwa hiperglikemia post
prandial pada penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan
aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan
keterlambatan pengosongan lambung. (Sutadi, 2003).
Terjadinya keterlambatan pengosongan lambung liquid maupun solid pada
penderita diabetes berkaitan dengan terjadinya penurunan aktivitas motorik
lambung proksimal, penurunan kativitas motorik lambung distal berupa
hipomotilitas antrum post prandial, terjadinya peningkatan aktifitas motorik
pylorus serta terganggunya koordinasi dari motilitas antropyloroduodenal.
Hal tersebut disebabkan karena neuropati diabetikum yang ditandai dengan
adanya penurunan densitas serabut myelinated vagus dan degenerasi serabut
unmyelinated. (Sutadi, 2003).
Sering kencing
Pada penderita diabetes mellitus, kadar glukosa dalam darah meningkat,
disebut keadaan hiperglikemia. Salah satu efek dari hiperglikemia adalah

peningkatan ambang batas (threshold) ginjal untuk melakukan reabsorbsi


sehingga terjadi glukosuria. Selanjutnya, glukosuria akan menginduksi
diuresis osmotik sehingga terjadi poliuria. (Kumar et.al., 2007).
Nyeri pinggang dan urin keruh
Salah satu komplikasi vaskular jangka panjang diabetes mellitus adalah
terjadinya nefropati diabetik. Komplikasi ini terjadi akibat adanya
mekanisme pembentukan AGEs (Advanced Glycation End Products), yaitu
proses perlekatan glukosa ke gugus amino bebas pada protein tanpa bantuan
enzim. Mekanisme ini menyebabkan penebalan membran basal glomerulus
ginjal dan menjadi bocor.
Defisiensi insulin pada diabetes mellitus menyebabkan ginjal bekarja
hiperfungsi sehingga ginjal menjadi hipertrofi dan terjadi peningkatan
tekanan

intra

kapiler

glomerulus

yang

menyebabkan

terjadinya

glomeruloskerosis. Glomerulosklerosis menyebabkan gagalnya fungsi filtrasi


ginjal sehingga urin menjadi keruh. Glomerulosklerosis progresif juga
menyebabkan terjadinya gagal ginjal yang ditandai dengan adanya nyeri
pada pinggang. (Dewi, 2012).
3. Bagaimana hubungan riwayat diabetes mellitus dan hipertensi dengan gejala
makan dan minum sedikit?
Riwayat sedikit makan dan minum akan mengakibatkan peningkatan kadar
hormone kontrainsulin yakni glukagon dalam darah sehingga menyebabkan
penurunan sekresi insulin. Selain itu adanya tanda - tanda infeksi , dilihat
dari jumlah leukosit pasien yang lebih dari normal, memacu tubuh untuk
lebih aktif melakukan metabolisme sehingga kebutuhan insulin sebagai
transporter glukosa ke sel tubuh juga ikut meningkat. (Mansjoer et al., 2000).
Pada pasien dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol dan penggunaan
insulin yang tidak sesuai aturan dapat mengalami gejala sering kencing yang
disebabkan karena adanya mekanisme diuresis osmotik. Pasien yang

mengalami diuresis osmotik gagal untuk mereabsorpsi air sehingga berimbas


pada bertambahnya jumlah urin. Apabila output yang banyak tidak diimbangi
oleh input yang seimbang pula maka pasien dapat mengalami dehidrasi
sehingga menyebabkan penurunan volume sistemik. Akibatnya terjadi
penurunan perfusi darah pada organ vital, terutama pada otak yang dapat
menyebabkan penurunan kesadaran.

4. Apa sajakah diagnosis banding yang dapat diambil dan memenuhi kriteria
kegawatdaruratan pada pasien dengan diabetes mellitus di skenario?
Dari kadar gula darah sewaktu pasien yang tinggi , onset yang cepat, serta
terdapat riwayat penggunaan insulin pasien yang tidak teratur maka pasien
dapat didiagnosis sementara menderita komplikasi diabetes mellitus akut
dengan tipe hiperglikemia yang dibagi lagi menjadi dua yakni Diabetic
ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemi hiperosmolar non ketotik.
Diabetic Ketoacidosis (DKA)
DKA merupakan salah satu komplikasi akut pada diabetes mellitus yang
bersifat kegawatdaruratan. Biasanya terjadi lebih dari 24 jam. Gejala yang
menonjol dari sering ditemukan pada pasien dengan DKA adalah mual dan
muntah. Selain itu pada pasien DKA dapat ditemukan rasa sakit pada bagian
abdomen dapat berlanjut menjadi berat dan dapat merupakan salah satu
gejala pada pankreatitis atau ruptured viscus.
Berikut merupakan manifestasi klinik dari DKA yang diambil dari Longo,
Dan L. dkk.

Patofisiologi terjadinya DKA

DKA bukan merupakan satu-satunya komplikasi akut yang bersifat


kegawatdaruratan dari diabetes mellitus. Terdapat juga HHS (Hyperglycemic
Hyperosmolar State). Kedua komplikasi tersebut mirip, berikut ini adalah
tabel perbedaan DKA dan Hiperosmolar Hiperglikemi non ketotik yang
diambil dari Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition oleh
Longo, Dan L. dkk. 2012.

Tatalaksana pasien DKA membutuhkan kontrol yang intensif dan


penanganan yang adekuat. Berikut ini merupakan tahapan penanganan pasien
dengan DKA yang mengacu pada American Diabetes Association.

Pastikan bahwa hasil laboratorium menunjukkan peningkatan


glukosa dalam plasma, keton dalam serum positif, dan pasien
alami asidosis metabolic

Segera rujuk ke rumah sakit dengan intensive care bila diperlukan


untuk monitoring teratur atau Ph <7.00 atau tidak sadar.

Lakukan assesmen serum elektrolit mencakup kalium, natrium,


magnesium, klorida, bikarbonat, posfat dan status asam basa.

Segera lakukan terapi rehidrasi cairan : 2-3 L salin 0.9% dalam 13 jam pertama (15-20 ml/kg per jam); diikuti dengan glukosa 5%
dan saline 0.45% hingga glukosa plasma mencapai 200mg/dl

Beri insulin kerja cepat : i.v. (0.1 unit/kg), kemudian dilanjutkan


dengan infuse iv dosis sama. Bila tidak ada respon dalam 2-4
jam , dosis dinaikkan dua sampai 4 kali lipat dosis awal. Apabila
kadar kalium dalam plasma masih <3.3 mmol/l , jangan diberikan
insulin dan suplemen K sebelum kalium dikoreksi

Lakukan assesmen pada pasien.

Ukur glukosa dalam kapiler tiap 1-2 jam, elektrolit terutama


kalium, bicarbonate, fosfat, dan anion gap tiap 4 jam dalam 24
jam pertama

Monitor tekanan darah, denyut nadi, respiration rate, status


mental, intake dan output cairan tiap 1-4 jam

Ganti ion Kalium yang hilang :10 meq/jam ketika kalium dalam
plasma <5.0-5.2 meq/l, ECG normal, urine flow dan kreatinin
normal; beri 40-80 meq/jam bila kalium plasma <3.5 meq/l atau
ketika bicarbonate diberikan

Lanjutkan penanganan hingga pasien stabil, kadar glukosa 150250 mg/dl, dan asidosis tertangani. Dosis insulin dalam infuse
dapat diturunkan menjadi 0.05-0.1unit/kg per jam

Berikan insulin kerja lama segera setelah pasien mampu makan.

Hiperglikemi Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)


DEFINISI

Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari


diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang
bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan
yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe II.Hyperglikemia,
Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan
insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara
klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan
hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan
neurologis .Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma
akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan
metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darah sangat tinggi,
meningkatkan dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa
terjadi pada DM tipe II. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik
ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar,
dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran.
Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi
dari diabetes yang ditandai dengan :
1.Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat.
2.Asidosis ringan.
3.Sering terjadi koma dan kejang lokal.
4.Kejadian terutama pada lansia.
5.Angka kematian yang tinggi.
ETIOLOGI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Insufisiensi insulin
DM, pankreatitis, pankreatektomi
Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
Increase exogenous glucose
Hiperalimentation (tpn)
High kalori enteral feeding
Increase endogenous glukosa
Acute stress (ami, infeksi)
Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)

10. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.


11. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan
kardiovaskular.
12. Pembedahan/operasi.
13. Pemberian cairan hipertonik
14. Luka bakar.
Faktor risiko:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)


Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
Riwayat keluarga DM
Riwayat kehamilan dengan
BB lahir bayi > 4000 gram
Riwayat DM pada kehamilan
Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah

Puasa
10. Terganggu)

MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala umum pada klien dengan HHNK adalah haus, kulit terasa
hangat dan kering, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen,
pusing, pandangan kabur, banyak kencing, mudah lelah.
Gejala-gejala meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.


Poliuria selama 1 - 3 hari sebelum gejala klinis timbul.
Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas.
Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi).
Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl.
Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal.
Hipernatremia.
Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak

adekuat.
9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi,
kejang setempat).
10. Kerusakan fungsi ginjal.
11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L.

12. Kadar CO2 normal.


13. Celah anion kurang dari 7 mEq/L.
14. Kalium serum biasanya normal.
15. Tidak ada ketonemia.
16. Asidosis ringan
PATOFISIOLOGI
Sindrome

Hiperglikemia

Hiperosmolar

Non

Ketotik

mengambarkan

kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan


insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga
terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon
menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa
plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi
hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular,
yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila klien tidak
merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan.Tingginya
kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul
glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan
( poliuria ). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan
berlebihan dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat.Akibat
kekurangan insulin makaglukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen
sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak
dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah
adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa
menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan
dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan
bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka
sejumlah

air

hilang

dalam

urine

yang

disebut

poliuria.

Poliuria

mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus
sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan
minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan
sekresi

hormon

lebih

meningkat

lagi

dan

timbul

hiperosmolar

hiperglikemik.Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya


transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan
simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan
untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar
sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan
hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat.
Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan
cenderung menjadi koma.Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas
darah

dimana

dapat

mengakibatkan

pembentukan

bekuan

darah,

tromboemboli, infark cerebral, jantung.


KOMPLIKASI
1. Koma.
2. Gagal jantung.
3. .Gagal ginjal.
4. Gangguan hati.

PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan:
1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan NACL bisa
diberikan cairan isotonik atau hipotonik normal diguyur 1000 ml/jam
sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik,
baru diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian
cairan isotonil harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien dengan
kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia.Gklukosa 5%
diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%.
2. Insulin
Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar
hiperglikemik non ketotik

sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin
dosis rendah pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu
pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan skema mirip proprotokol
ketoasidosis diabetic.
3. Kalium
Kalium darah harus dipantau dengan baik. Bila terdapat tanda fungsi ginjal
membaik,
perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan
4. Hindari infeksi sekunder
Hati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter

5. Mengapa dilakukan pemeriksaan gas darah dan urin rutin?


Analisa gas darah diperlukan untuk mengevaluasi pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam darah ,status asam basa, serta anion gap pasien. Hasil
status asam basa serta anion gap pasien dapat dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis pasien dan monitoring keberhasilan tatalaksana
pasien. Pemeriksaan urin rutin dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
mikroorganisme penyebab infeksi pada saluran kemih (UTI). Hal ini
dikarenakan faktor pencetus tersering DKA dan HHNK yang ditemukan
adalah infeksi yang bersumber dari saluran kemih.
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium?
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin dalam batas
normal yang menandakan pasien tidak mengalami anemia. Jumlah leukosit
pasien berada di atas batas normal yaitu 25.000/mm3 . kenaikan jumlah
leukosit dapat terjadi ketika di dalam tubuh pasien terdapat infeksi akut
(infeksi saluran kemih, pneumonia, pielonefritis, dll). Pasien yang
mempunyai riwayat diabetes mellitus mempunyai kadar gula darah sewaktu
yang sangat tinggi yaitu 600 mg/dl. Kadar gula darah sewaktu yang tinggi ini
sudah memasuki batas hiperglikemi di mana kemungkinan untuk terjadi
komplikasi akut yang bersifat emergency dapat terjadi. Pasien pada skenario

diduga mengalami penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan


peningkatan kadar ureum yaitu 60mg/dl (N: 5-25 mg/dl). Walaupun kadar
kreatinin pasien dalam batas normal yang menandakan fungsi ginjal masih
baik , usia pasien yang sudah memasuki lanjut membuat kadar creatinin
menjadi tidak akurat lagi untuk dijadikan patokan fungsi ginjal. Kadar
kalium pasien masih dalam batas normal. Kalium merupakan elektrolit tubuh
yang terdapat di dalam cairan vaskuler dan

dikeluarkan melalui urin

sebanyak 90%. Peningkatan kadar kalium menandakan adanya gangguan


ginjal, penggunaan obat terutama sefalosporin.
7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pasien?
Dari pemeriksaan fisik pasien didapatkan penurunan kesadaran dari compos
mentis menjadi somnolen dengan GCS E3V4M5, yang berarti pasien baru
membuka mata ketika mendengar respon suara, disorientasi tempat dan
waktu, serta kesadaran baru muncul ketika diberi rangsang nyeri. Tekanan
darah yang turun hingga 80/40 padahal pasien ada riwayat hipertensi
menandakan telah terjadi hipotensi yang bisa mengarah ke syok. Diastolik
yang sangat rendah hingga dibawah 65, dapat menyebabkan penurunan
pengisian coroner yang dapat menimbulkan iskemia pada endokardium.
Beberapa penyebab dari sangat rendahnya nilai diastolic pada pasien yaitu
karena penggunaan obat antihipertensi, kondisi kekakuan vaskuler, gula
darah yang tinggi sehingga sangat mudah terjadi oklusi vaskuler dan
atherosclerosis.
Pada pasien juga didapatkan peningkatan suhu menjadi 38 oC, laju pernafasan
32x/menit, dan nadi teraba 128x/menit dengan kekuatan lemah. Peningkatan
suhu yang ditunjang dengan hasil peningkatan kadar leukosit dalam darah
dapat menunjukkan adanya infeksi pada pasien. Peningkatan denyut nadi
bisa dikarenakan kondisi infeksinya yang mengharuskan tubuh untuk
memberikan suplai darah lebih untuk daerah yang terinfeksi ataupun sebagai
mekanisme kompensasi untuk mencukupi suplai darah di bagian-bagian

tubuh yang lain karena perburukan perfusi jaringan serta kekurangan cairan
tubuh.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik pada region thorax, tidak didapatkan
rhonki pada kedua lapang paru, dan hasil dari pemeriksaan fisik neurologis
terkait gangguan pada lower maupun upper motor neuron tidak ditemukan
karena pada pemeriksaan reflex bronkiektasis, maupun edema paru.

Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan


pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran


1. Apakah yang dimaksud dengan koma diabetikum?
2. Apakah pasien perlu dirujuk? Jika iya, kemankah pasien harus dirujuk?
3. Dengan cara apakah informed consent seharusnya didapatkan dari pasien
dengan kondisi seperti pada skenario?
4. Bagaimana hubungan 5 jam sebelum masuk rumah sakit dengan
tatalaksana dan prognosis pada pasien?
5. Bagaimanakah jumlah leukosit pada pasien dengan diabetes mellitus?
Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi
baru yang diperoleh
1. Apakah yang dimaksud dengan koma diabetikum?

Koma diabetikum merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada


diabetes mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut
merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM
yang terkontrol.keadaan ini merupakan komplikasi diabetes yang
mengancam jiwa yang menyebabkan ketidaksadaran.

Koma diabetes

adalah koma pada pasien DM akibat kadar gula darahyang melebihi 600
mg/dl (Tjokroprawiro, 2006). Koma diabetikum merupakan komplikasi
akut dari Hipoglikemia, Koma lakto-asidosis, ketoasidosis diabetikum,
dan koma diabetic hiperosmolar non ketotik.
Faktor-faktor tertentu dapat meningkatkan risiko diabetes koma tidak
peduli apa pun jenis diabetes yang miliki, termasuk:
Masalah pada Insulin. Jika ada masalah pada pompa insulin, maka
harus memeriksa gula darah

dengan berkala, dan salah satu alasan

untuk ini adalah bahwa suatu ketegaran dalam tabung pompa insulin
dapat menghentikan semua pengiriman insulin.Kurangnya insulin
cepat dapat menyebabkan ketoasidosis diabetes jika

memiliki

diabetes tipe 1.
Suatu penyakit, trauma atau operasi. Ketika

sakit atau terluka,

kadar gula darah cenderung naik, kadang-kadang secara dramatis. Hal


ini dapat menyebabkan ketoasidosis diabetes jika memiliki diabetes
tipe 1 dan tidak meningkatkan asupan insulin untuk mengimbanginya.
Kondisi medis lainnya, seperti gagal jantung kongestif atau penyakit
ginjal, dapat meningkatkan risiko sindrom hiperosmolar diabetes.
Pengelolaan diabetes yang buruk. Jika tidak memonitor gula darah
dengan benar, atau

mengambil obat sesuai petunjuk, akan

tidak

hanya memiliki tinggi risiko jangka panjang terkena komplikasi tetapi


juga memiliki risiko yang lebih tinggi dari koma diabetes.
Deliberately skipping insulin. Kadang-kadang penderita diabetes
yang juga memiliki gangguan makan memilih untuk tidak
menggunakan insulin mereka sebagai diarahkan dengan harapan

menurunkan berat badan. Ini adalah praktek, yang berbahaya yang


mengancam jiwa yang meningkatkan risiko diabetes koma.
Minum alkohol. Alkohol memiliki efek yang tak terduga pada gula
darah , kadang-kadang menjatuhkan kadar gula darah selama satu
atau dua hari setelah alkohol tersebut dikonsumsi. Hal ini dapat
meningkatkan resiko dari koma diabetes yang disebabkan oleh
hipoglikemia.
Illegal drug use. Obatan ilegal, seperti kokain dan ekstasi, dapat
meningkatkan risiko berat kadar gula darah tinggi, serta resiko
diabetes koma.
2. Apakah pasien perlu dirujuk? Jika iya, kemanakah pasien harus dirujuk?
Klasifikasi

Rumah

sakit

bedasarkan

Undang-Undang

no

340/MENKES/PER/III/2010 tentang klasifikasi rumah sakit pasal 4 dan


5, membagi rumah sakit menjadi 5 tipe, yaitu tipe A, B, C, D dan E, yang
ditetapkan berdasarkan pelayanan, sumber daya manusia, persalatan,
sarana dan prasarana, dan administrasi dan manajemen.
Kasus pada skenario menyatakan bahwa pasien ditangani kedaruratan
medisnya di rumah sakit tipe D. Berdasarkan undang-undang yang sama,
kriteria Rumah sakit Tipe D memiliki kemampuan pelayanan medik
sebagai berikut :

Pelayanan medik umum. Pelayanan medik umum terdiri dari


pelayaan medik dasar, pelayanan medik gigi dan mulut, dan
pelayanan kesehatan ibu dan anak/keluarga berencana.

Pelayanan gawat darurat. Pelayanan gawat darurat harus dapat


memberikan pelayanan gawat darurat 24 (dua puluh empat) jam dan
7 (tujuh) hari seminggu dengan kemampuan melakukan pemeriksaan
awal kasus-kasus gawat darurat, melakukan resusitasi dan stabilisasi
sesuai dengan standar

Pelayanan medik spesialis dasar. Pelayanan medik spesialis dasar


sekurang-kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis pelayanan spesialis
dasar meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah,
obstetri dan ginekologi. Pelayanan spesialis penunjang medik yaitu
laboratorium dan radiologi.

Pelayanan keperawatan dan kebidanan, pelayanan keperawatan dan


kebidanan terdiri dari pelayanan asuhan keperawatan dan asuhan
kebidanan.

Pelayanan penunjang kinik, pelayanan penunjang klinik terdiri dari


perawatan high care unit, pelayanan darah, gizi, farmasi, sterilisasi
instrumen dan rekam medik

Dan pelayanan penunjang non klinik pelayanan penunjang non klinik


terdiri dari pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan
pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang, ambulance,
komunikasi, kamar jenazah, pemadam kebakaran, pengelolaan gas
medik dan penampungan air bersih

Sedangkan rumah sakit tipe C memiliki kriteria, fasilitas dan


kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C sebagaimana dimaksud
meliputi

Pelayanan medik umum, pelayanan medik umum terdiri dari


pelayanan medik dasar, pelayanan medik gigi

Mulut dan pelayanan kesehatan ibu anak /keluarga berencana.

Pelayanan gawat darurat. pelayanan gawat darurat harus dapat


memberikan pelayanan gawat darurat 24 (dua puluh) jam dan 7
(tujuh) hari seminggu dengan kemampuan melakukan pemeriksaan
awal kasus-kasus gawat darurat, melakukan resusitasi dan stabilisasi
sesuai dengan standar.

Empat pelayanan medik spesialis dasar, pelayanan medik spesialis


dasar terdiri dari pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak,
bedah, obstetri dan ginekologi.

Pelayanan spesialis penunjang medik. Pelayanan spesialis penunjang


medik terdiri dari pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi
medik dan patologi klinik.

Pelayanan medik spesialis gigi mulut, pelayanan medik spesialis gigi


mulut minimal 1 (satu) pelayanan.

Pelayanan keperawatan dan kebidanan. Pelayanan keperawatan dan


kebidanan terdiri dari pelayanan asuhan keperawatan dan asuhan
kebidanan.

Pelayanan penunjang klinik. Pelayanan penunjang klinik terdiri dari


perawatan intensif, pelayanan darah, gizi, farmasi, Sterilisasi
Instrumen dan Rekam Medik

Pelayanan Penunjang Non Klinik.

Sehingga kami dapat menyimpulkan bahwa, jika Rumah sakit pada


skenario memiliki pelayanan medik spesialis penyakit dalam, pasien
tidak perlu dirujuk. Akan tetapi jika rumah sakit tipe D pada kasus tidak
memiliki pelayanan spesialis penyakit dalam, pasien dapat dirujuk ke
rumah sakit tipe C.

3. Dengan cara apakah informed consent seharusnya didapatkan dari pasien


dengan kondisi seperti pada skenario?
Menurut PERMENKES no 585/menkes/per/IX/1989, Informed consent
adalah persetujun yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar
penjelasan tindakan medis yang akan dilakukan teradap pasien tersebut.
Persetujuan atas dasar informasi tersebut merupakan alat yang digunakan
untuk menentukan nasib pasien sendiri yang berfungsi dalam sistem
pelayanan kesehatan.

Menurut sumber lain, informed consent dibagi menjadi beberapa macam


menurut pemberiannya, expressed consent dan implied consent.
Expressed consent berarti persetujuan yang diberikan secara tertulis atau
lisan. Pemberian informed consent secara lisan dilakukan untuk tindakan
medis yang berisiko tidak besar, sedangkan informed consent yang
tertulis diberikan untuk tindakan medis dengan risiko besar seperti
tindakan bedah. Implied consent adalah informed consent yang diberikan
ketika pasien tidak sadar dan tidak ada wali pasien yang dapat menyetujui
tindakan, akan tetapi pasien atau wali pasien dianggap akan memberikan
persetujuan tersebut.
Sedangkan pada kasus kegawatdaruratan, informed consent dilakukan
dengan cara presumed consent, yaitu pasien diberi tindakan medis
berupa pertolongan penyelamatan nyawa, setelah pasien sadar dapat
segala kronologi dan tindakan medis yang diberikan yang terlah dicatat
petugas diberikan kepada pasien. Pemberian presumed consent ini
terdapat syarat dan ketentuan antara lain :

Pasien datang dengan keadaan tidak sadarkan diri dan dalam keadaan

gawat darurat dan harus segera ditolong.


Pasien tidak sadar kan diri, dan tidak ada atau tidak cukup waktu

untuk meminta persetujuan dari keluarga pasien


Pertolongan dilakukan untuk tujuan live saving

4. Bagaimana hubungan 5 jam sebelum masuk rumah sakit dengan


tatalaksana dan prognosis pada pasien?
Terapi cairan
Pasien dewasa (>20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan
ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan
kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat diberikan dengan laju 15-20
ml/kgBB/jam atau lebih selama satu jam pertama (total 1 sampai 1,5 liter
cairan pada dewasa rata-rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya
bergantung kepada status hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin.

Secara umum NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi


apabila kadar natrium serum terkoreksi normal atau meningkat. Salin
isotonik dengan laju yang sama dapat diberikan apabila kadar natrium serum
terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus
ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan
pasien stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik
untuk terapi pergantian cairan dinilai dengan pemantauan parameter
hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran masukan/keluaran
cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki defisit
perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat
terapi tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan
gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian
rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan dengan
resusitasi cairan untuk menghindari overloading iatrogenik.
Farmakoterapi
Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ <3,3
mEq/L) disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti
dengan infus kontinu insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada
dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak direkomendasikan untuk
pasien anak dan remaja; infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam
dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya
dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50-75 mg/dL/jam sama
dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50
mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila
memungkinkan infus insulin dapat digandakan setiap jam sampai penurunan
glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.

Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300
mg/dL di KHH maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin
menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (510%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju pemberian insulin atau
konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk mempertahakan kadar glukosa
di atas sampai asidosis di KAD atau perubahan kesadaran dan
hiperosmolaritas di KHH membaik.
Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik
dibandingkan

dengan

hiperglikemia.

Pengukuran

beta-hidroksibutirat

langsung pada darah merupakan metode yang disarankan untuk memantau


KAD. Metode nitroprusida hanya mengukur asam asetoasetat dan aseton
serta tidak mengukur beta-hidroksibutirat yang merupakan asam keton
terkuat dan terbanyak. Selama terapi, beta-hidroksibutirat diubah menjadi
asam asetoasetat, sehingga dapat memberikan kesan ketoasidosis memburuk
bila dilakukan penilaian dengan metode nitroprusida. Oleh karena itu,
penilaian keton serum atau urin dengan metode nitroprusida jangan
digunakan sebagai indikator respons terapi.
Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap
2-4 jam untuk mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan
pH vena serum (terutama KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas
darah arterial tidak diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03
unit dibandingkan pH arterial) dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur
perbaikan asidosis. Pada KAD ringan, insulin regular baik diberikan
subkutan maupun intramuskular setiap jam, nampaknya sama efektif dengan
insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan badan keton. Pasien
dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis priming
insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan
separuh sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin

regular 0,1 unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat


diberikan.
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL,
serum bikarbonat 18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila
pasien masih dipuasakan maka insulin dan penggantian cairan intravena
ditambah suplementasi insulin regular subkutan setiap 4 jam sesuai
keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa, suplementasi ini dapat
diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap peningkatan 50
mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar
glukosa 300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau
panjang sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan
insulin intravena selama 1-2 jam setelah regimen campuran terpisah dimulai
untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian tiba-tiba
insulin intravena disertai dengan awitan tertunda insulin subkutan dapat
menyebabkan kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih antara
terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis
yang mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan
disesuaikan dengan kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis
diabetes baru, dosis insulin inisial total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB
terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan regimen yang mencakup insulin
kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat ditentukan. Pada
akhirnya,

beberapa

pasien

T2DM

dapat

dipulangkan

antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.


Kalium

dengan

Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan


sedang dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi
asidosis dan ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk
mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar kalium
serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan terdapat keluaran
urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk
setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium
serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang
dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini, penggantian kalium
harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian insulin ditunda
sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka mencegah
terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.
Koreksi asidosis metabolik
Penggunaan bikarbonat pada KAD tetap kontroversial, dengan pH >7,0
memperbaiki

aktivitas

insulin

dapat

menghambat

lipolisis

dan

menghilangkan ketoasidosis tanpa perlu tambahan bikarbonat. Penelitian


acak terkontrol gagal menunjukkan apakah pemberian bikarbonat pada
pasien KAD dengan pH 6,9-7,0 memberikan perbaikan atau perburukan.
Sedangkan untuk pasien KAD dengan pH <6,9 belum pernah ada penelitian
prospektif yang dilakukan.
Mempertimbangkan bahwa asidosis berat dapat menyebabkan berbagai efek
vaskular berat, nampaknya cukup beralasan untuk menatalaksana pasien
dewasa dengan pH <7,0 menggunakan 100 mmol natrium bikarbonat
diencerkan dengan 400 ml aqua bidestilata dan dan diberikan dengan laju
200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 sampai 7,0, maka 50 mmol natrium
bikarbonat dapat diberikan setelah diencerkan dengan 200 ml aqua
bidestilata dan diinfus dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH di
atas 7,0 maka tidak diperlukan pemberian natrium bikarbonat.

Insulin, sebagaimana terapi bikarbonat, menurunkan kalium serum, sehingga


suplementasi kalium harus diberikan di dalam cairan intravena sesuai
protokol di atas dan dilakukan pemantauan hati-hati. Setelah itu, pH vena
harus dinilai setiap 2 jam sampai pH meningkat sampai 7,0 dan terapi
diulang setiap 2 jam sesuai dengan keperluan.
Fosfat
Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun
fosfat serum dapat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi
fosfat menurun dengan terapi insulin. Penelitian-penelitian acak prospektif
gagal menunjukkan adanya keuntungan terapi penggantian fosfat terhadap
keluaran klinis KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menyebabkan
hipokalsemia berat tanpa tanda-tanda tetani. Meskipun demikian, untuk
mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta depresi pernapasan
akibat hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hati-hati dapat
diindikasikan pada pasien dengan disfungsi jantung, anemia atau depresi
pernapasan dan pada pasien dengan konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL.
Pada saat dibutuhkan, kalium fosfat 20-30 mEq/L dapat ditambahkan ke
dalam cairan pengganti.
Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo
atau hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus
diberikan kepada pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko
gastroparesis dan aspirasi. Kateterisasi urin harus dipertimbangkan bila
terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien tidak mengeluarkan urin
setelah 4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena sentral harus
dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada pasien tua atau dengan
keadaan gagal jantung sebelumnya.
Pertimbangan harus diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila ada
bukti infeksi, namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD,

dan tidak mengkonfirmasi adanya infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisik,


demam dan peningkatan CRP merupakan biomarker yang lebih terpercaya.
Pemantauan terapi
Pemantauan ketat tanda vital, kondisi klinis dan parameter laboratorium
sangat penting. Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap setengah jam untuk
satu jam pertama, setiap jam untuk 4 jam berikutnya dan setiap 2 4 jam
sampai KAD pulih. Pencatatan akurat keluaran urin setiap jam sangat
penting untuk memantau fungsi ginjal. Pada saat masuk perawatan,
pemeriksaan komprehensif meliputi paling tidak analisa gas darah arterial
atau vena, kadar glukosa plasma, elektrolit, nitrogen urea darah dan
kreatinin, kadar keton serum atau urin atau keduanya dan osmolalitas serum.
Kadar glukosa darah kapiler harus dipantau setiap jam untuk penyesuaian
dosis infus insulin. Kadar elektrolit harus dinilai setiap 1-2 jam awalnya dan
setiap 4 jam kemudian. Pengukuran pH vena dapat menggantikan pH arteri
dan harus dilakukan setiap 4 jam sampai KAD terkoreksi.
Tujuan terapi pada KAD adalah untuk menghentikan ketogenesis, dengan
konsekuensi resolusi asidosis. Pengukuran kadar glukosa kapiler telah
digunakan sebagai penanda antara untuk perbaikan gangguan metabolik,
meskipun demikian kadar glukosa seringkali tidak stabil dengan penggunaan
sliding scale dan apabila terjadi hiperglikemia penting diketahui apakah ini
disertai dengan ketosis yang menandakan adanya dekompensasi metabolik
atau tidak.
Komplikasi dan Prognosis
Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini
dapat dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin
dosis tinggi. Kedua komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan
digunakannya terapi insulin dosis rendah. Namun, hipoglikemia tetap
merupakan salah satu komplikasi potensial terapi yang insidensnya kurang

dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa


pada saat kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti
penurunan laju dosis insulin dapat menurunkan insidens hipoglikemia lebih
lanjut. Serupa dengan hipoglikemia, penambahan kalium pada cairan hidrasi
dan pemantauan kadar kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dan
KHH dapat menurunkan insidens hipokalemia.
Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah
dikenal lebih dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara
signifikan, melalu pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9
dari 11 pasien KAD selama terapi. Meskipun demikian, pada penelitian
lainnya, sembilan anak dengan KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah
terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak biasanya dapat
ditemukan pada KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral
simtomatik, yang jarang ditemukan pada pasien KAD dan KHH dewasa,
terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi pada diabetes
awitan pertama.
Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres
napas akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit,
peningkatan tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar
subnormal. Perubahan ini disertai dengan penurunan progresif tekanan
oksigen parsial dan peningkatan gradien oksigen arterial alveolar yang
biasanya normal pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa
subset pasien keadaan ini dapat berkembang menjadi ARDS. Dengan
meningkatkan tekanan atrium kiri dan menurunkan tekanan koloid osmotik,
infus kristaloid yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan edema
paru (bahkan dengan fungsi jantung yang normal). Pasien dengan
peningkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru pada
pemeriksaan fisis dapat merupakan risiko untuk sindrom ini. Pemantauan

PaO2 dengan oksimetri nadi dan pemantauan gradien AaO2 dapat membantu
pada penanganan pasien ini. Oleh karena infus kristaloid dapat merupakan
faktor utama, disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus cairan lebih
rendah dengan penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak
responsif dengan penggantian kristaloid.
Asidosis metabolik hiperkloremik
Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan
pada kurang lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua
pasien KAD akan mengalami keadaan ini setelah resolusi ketonemia.
Asidosis ini tidak mempunyai efek klinis buruk dan biasanya akan membaik
selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang baik. Derajat keberatan
hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh
karena NaCl normal mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54
mmol/L lebih tinggi dari kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L.
Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD dan KHH mempredisposisi pasien
terhadap trombosis, seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular,
keluaran jantung rendah, peningkatan viskositas darah dan seringnya
frekuensi aterosklerosis. Sebagai tambahan, beberapa perubahan hemostatik
dapat mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada saat osmolalitas sangat tinggi.
Pencegahan dan Penapisan
Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat (termasuk
non-komplians) dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini
dapat dicegah dengan akses yang lebih baik terhadap perawatan medis,
termasuk edukasi pasien intensif dan komunikasi efektif dengan penyedia
layanan kesehatan selama kesakitan akut.

Target-target pencegahan pada krisis hiperglikemik yang dicetuskan baik


oleh kesakitan akut ataupun stres telah dibahas di atas. Target-target ini
termasuk mengendalikan defisiensi insulin, menurunkan sekresi hormon stres
berlebihan, menghindari puasa berkepanjangan dan mencegah dehidrasi
berat. Oleh karena itu, suatu program edukasi harus mengulas manajemen
hari sakit dengan informasi spesifik pemberian insulin kerja pendek, target
glukosa darah selama sakit, cara-cara mengendalikan demam dan mengobati
infeksi dan inisiasi diet cair mudah cerna berisi karbohidrat dan garam.
Paling penting adalah penekanan kepada pasien untuk tidak menghentikan
insulin dan segera mencari konsultasi ahli pada awal masa sakit. Berikut ini
merupakan algoritme pengukuran kadar keton darah pada saat hari sakit dan
kadar glukosa darah di atas 250 mg/dl.
Keberhasilan program seperti di atas bergantung kepada interaksi erat antara
pasien dan dokter serta pada tingkat keterlibatan pasien atau anggota
keluarga dalam mencegah diperlukannya rawat inap. Pasien/keluarga harus
bersedia untuk mencatat glukosa darah, keton urin, pemberian insulin,
temperatur, laju napas dan nadi serta berat badan secara akurat. Indikator
perawatan rumah sakit termasuk: kehilangan berat badan >5%; laju napas
>30 kali/menit; peningkatan glukosa darah refrakter; perubahan status
mental; demam tak terkendali; dan nausea vomitus tak terobati.
5. Bagaimanakah jumlah leukosit pada pasien dengan diabetes mellitus?
Diabetes mellitus (DM) menginduksi defisiensi imun melalui beberapa
mekanisme. Salah satu-nya yaitu peningkatan kadar gula darah akan
mengganggu fungsi fagosit dalam chemotaxis dan imigrasi sel-sel inflamasi
yang akan terakumulasi di tempat peradangan. Hasil penelitian yang
dilakukan ruang rawat inap bagian ilmu penyakit dalam RSUP Prof R.D
Kandou Manado yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara gula darah rerata puasa dengan jumlah leukosit rerata. Bentuk
hubungan kedua variabel tersebut yaitu linear negatif yang artinya makin

tinggi gula darah puasa rerata maka makin rendah jumlah leukosit rerata.
Salah satu faktor yang memungkinkan menjadi penyebab mengapa leukosit
menurun adalah karena pengaruh insulin, pasien DM yang menjadi subyek
dalam penelitian ini sudah ada yang mendapatkan terapi insulin. Terapi
insulin dikatakan memiliki sifat anti inflamasi dan menekan produksi
berbagai proinflamasi. Hal tersebut mendukung bentuk hubungan yang
didapatkan dari penelitian bahwa leukosit menurun jika gula darah
meningkat.
Diabetes mellitus sering disertai dengan infeksi dan tidak jarang dengan
infeksi berat atau sepsis. Sepsis yaitu suatu respon inflamasi sistemik
terhadap infeksi, dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi
darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Dalam penelitian didapatkan
bahwa pasien DM dengan sepsis mengalami peningkatan kadar gula darah
rerata (hiperglikemia). Pasien DM dengan sepsis sering dihubungkan dengan
keadaan berbagai penyakit infeksi. Adanya infeksi menimbulkan respon
imun yaitu kenaikan leukosit.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada skenario 1 ini, didapatkan seorang pasien laki- laki usia 68 dengan
keluhan utama tidak sadarkan diri. Pasien menderita diabetes melitus dan
sudah 2 hari tidak suntik insulin sehingga kadar gula darah pasien menjadi
sangat tinggi. Hal ini yang menyebabkan komplikasi ke arah Hiperosmolar
Hiperglikemia Non Ketotik (HHNK) atau Ketoasidosis Diabetikum (KAD).
Pemeriksaan lanjutan analisa gas darah dan analisa urin diperlukan untuk

membedakan kedua penyakit tersebut. Jika pH darah arteri normal pasien


bisa dikatakan menderita HHNK, jika pH darah arterinya turun, pasien bisa
dikatakan menderita KAD.
Pasien juga mengalami syok hipovolemik karena asupan cairan yang kurang
serta pengeluaran cairan yang berlebihan.Penggantian cairan secara cepat
perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Penggantian
cairan diberikan di awal untuk meningkatkan efektivitas pemberian insulin.
Saran
1.Merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih tinggi pada kasus ini perlu
segera dilakukan setelah kegawatdaruratan teratasi.
2.Untuk tutorial selanjutnya, diharapkan peserta diskusi tutorial lebih banyak
membaca artikel ilmiah yang berhubungan dengan skenario dan sesuai
tujuan pembelajaran agar diskusi berjalan dengan baik, lengkap, dan
tidak timpang antara satu peserta dan peserta lain.

DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control, Division of Diabetes Translations. Diabetes


Surveillance

2001.

Centers

for

Disease

Control

Website.

http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/. Diakses 22 Mei 2015.


Chiasson, JL, et al. 2003. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. Canadian Medical Association Journal, Vol. 168,
pp. 859-866.
Chodijah S, Nugroho A, Pandelaki K (2011). Hubungan Kadar Gula Darah Puasa
dengan Jumlah Leukosit pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Sepsis. Jurnal eBiomedik (EBM). 1(1) pp: 602-606
Dewi, S. S. 2012. Diabetes Melitus. eprints.undip.ac.id/35606/3/Bab_2.pdf

English, P and Williams, G. 2003. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in


diabetes mellitus. Liverpool : Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
Kitabchi, AE, et al. 2004. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Suplement 1, Diabetes
Care, Vol. 27, pp. S94-S102
Kumar, Abbas, Fausto, Mithchell. 2007. Robbins Basic Pathology: The Endocrine
System. Philadelphia: Saunders Elsevier
Longo, Dan L. dkk. 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition.
McGraw-Hill.
Laureys,
et
all.
2002.
Glasglow
Comma
http://www.coma.ulg.ac.be/images/gcs_comments.pdf. diakses 28 Mei 2015

Scale.

M. Sperling, in Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders, American


Diabetes Association, Alexandria, VA, 1998; and AE Kitabchi et al: Diabetes Care
32:1335, 2009.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W (2000). Kapita
Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media Aeusculapius FK UI
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari sel ke system. Jakarta: EGC.
Halaman 799-780.
Sutadi, S. M. 2003. Gastroparesis Diabetika. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalamsrimaryani8.pdf
Wardhani,

RK.

2009.

Tinjauan

Yuridis

persetujuan

eprints.undip.ac.id/18836/1/RATIH_KUSUMA_WARDHANI.pdf.

tindakan

medis.

diakses 29 Mei

2015.
Winandayu, P. 2013. Tanggung jawab doker terhadap pasien gawat darurat atas
tindakan medis implied consent. e-journal.uajy.ac.id/3608/1/0HK10026.pdf. diakses
29 Mei 2015.

Wira Gotera, Dewa Gde Agung Budiyasa 2010. Penatalaksanaan

Ketoasidosis

Diabetik (KAD). Denpasar : Bag. Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Udayana. J


Peny Dalam, Volume 11 Nomor 2.

LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO I BLOK KEGAWATDARURATAN

KELOMPOK 17
TUTOR: Dra. Dyah Rama Budiani M.Si.
Adhe Marlin Sanyoto

G0012002

Michael Asby Wijaya

G0012132

Wiriyana, I Gst Ngr. Agung

G0012230

Helmi Fakhruddin

G0012090

Canda Arditya

G0012046

Silvia Khasnah W

G0012212

Ni Nyoman Widyastuti

G0012148

Ellena Rachma Kusuma

G0012066

Agustin Febriana

G0012008

Elvia Rahmi Marga Putri

G0012068

Anggraini Lalang Buana

G0012016

Azalia Virsaliana

G0012038

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015

.
.

Anda mungkin juga menyukai