Laporan Akhir Liberalisasi Jasa PDF
Laporan Akhir Liberalisasi Jasa PDF
2013
2|ASC FISIP UI
KATA PENGANTAR
Laporan penelitian ini merupakan hasil penelitian tentang Tenaga Kerja
Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Study
Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia bekerjasama
dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia. Tema penelitian ini menjadi tema penting mengingat urgensinya
untuk menata kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015.
Penelitian ini mengkaji kondisi delapan sektor yang telah disepakati di dalam
Mutual Recognition Arrangement atau Mutual Recognition Agreement Framework.
Analisis dirancang untuk: (1) mendapatkan gambaran mengenai nilai strategis
berbagai sektor jasa yang disepakati di dalam ASEAN MRA dan MRA Framework; (2)
memetakan daya saing pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor tersebut; (3)
mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan muncul berkaitan dengan
liberalisasi sektor jasa ASEAN di masing-masing sektor jasa.
Dengan kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pada
pembuatan kebijakan berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan tentu
saja menempatkan kepentingan nasional Indonesia sebagai pertimbangan utamanya.
Tim Peneliti
ASEAN Study Center FISIP UI
2013
3|ASC FISIP UI
DAFTAR ISI
Halaman Sampul 2
Kata Pengantar 3
Daftar Isi.. 4
Daftar Tabel, Grafik, Bagan 6
Bab I Pendahuluan ..................................................................................................................... 8
I.1. Sejarah dan Perkembangan Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN ...................................... 8
I.2. Mengisi Ruang Kosong: Signifikansi Penelitian ............................................................... 11
I.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................................................ 13
I.4. Konseptualisasi ............................................................................................................................ 13
I.5. Cakupan Penelitian ..................................................................................................................... 14
I.6. Metodologi Penelitian................................................................................................................ 14
Bab II Sektor Jasa dan Daya Saing Indonesia: ................................................................ 18
II.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 18
II.2. Sektor yang Tumbuh dan Semakin Penting .................................................................... 19
II.3. Potensial Namun Masih Belum Optimal ........................................................................... 21
II.4. Sektor Jasa dan Daya Saing Tenaga Kerja Terampil ..................................................... 22
Bab III Jasa Keinsinyuran (Engineering Services) ......................................................... 25
III.1. Tentang ASEAN MRA on Engineering Services ............................................................... 25
III.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keinsinyuran ................................................................. 27
III.3. Permasalahan SDM Insinyur Indonesia: Kekurangan Kuantitas & Kualitas ..... 28
III.4. Kebijakan Pemerintah / Tata Kelola Regulasi .............................................................. 32
III.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................................ 33
Bab IV Jasa Arsitektur (Architectural Services).............................................................. 34
IV.1. ASEAN MRA on Architectural Services ............................................................................... 34
IV.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Arsitek ............................................................................. 35
IV.3. SDM ................................................................................................................................................ 36
IV.4. Tata Kelola/Regulasi ............................................................................................................... 38
IV.5. Infrastruktur Pendukung ...................................................................................................... 39
IV. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi ........................................................................................... 39
Bab V Jasa Keperawatan (Nursing Services) ................................................................... 40
V.1. ASEAN MRA on Nursing Services ........................................................................................... 40
V.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keperawatan ................................................................... 42
V.3. Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar ............................ 44
V.4. Tata Kelola/Regulasi ................................................................................................................ 46
V.5. Infrastruktur Pendukung ........................................................................................................ 49
4|ASC FISIP UI
5|ASC FISIP UI
7|ASC FISIP UI
I
Pendahuluan
8|ASC FISIP UI
9|ASC FISIP UI
satu pasar tunggal (single market), namun juga satu basis produksi tunggal (single
production base) yang mensyaratkan aliran faktor-faktor produksi yang bebas,
termasuk modal dan tenaga kerja terampil.7 Cetak Biru ini merupakan milestone
penting dalam liberalisasi sektor jasa di ASEAN karena menjadi titik balik untuk
meninggalkan pendekatan request and offer yang berlarut-larut dan menetapkan
target-target yang jelas dan terukur dalam melakukan proses liberalisasi sektor jasa
ASEAN.8
Dalam upaya mendukung liberalisasi sektor jasa ini, terutama terkait lalu
lintas atau perpindahan tenaga kerja terampil, negara-negara anggota ASEAN
menandatangani MRA (Mutual Recognition Agreement) pada tanggal 19 November
2007. MRA ini menjadi sebuah hal mutlak yang dilakukan untuk mendukung
liberalisasi sektor jasa yang berasaskan keadilan/fairness. Dalam kaitan ini, terdapat
sejumlah hakikat dari MRA. Pertama, negara tujuan atau negara penerima mengakui
kualifikasi profesional dan muatan latihan yang diperoleh dari negara pengirim atau
negara asal tenaga kerja terampil. Kedua, negara asal diberikan otoritas untuk
mengesahkan kualifikasi dan pelatihan dengan cara memberikan diploma atau
sertifikat. Ketiga, pengakuan tidak bersifat otomatis. Ada proses untuk penentuan
standar dan persyaratan lainnya yang diterapkan baik di negara penerima maupun di
negara asal. Dengan kata lain MRA tidak langsung memberikan hak untuk
melaksanakan suatu profesi. Pengakuan tidak memberikan jaminan bahwa akan ada
akses pasar. Hal ini memberikan indikasi persoalan di level regional. Namun MRA
merupakan langkah awal yang penting untuk mempromosikan perpindahan tenaga
kerja terampil itu. Sejauh yang dapat dicermati, capaian ASEAN dalam kaitan dengan
MRA ini cukup baik. Setidaknya saat ini telah disepakti 8 MRA dan MRA Framework,
yaitu (1) MRA untuk jasa teknik; (2) arsitek; (3) jasa perawatan; (4) praktisi medis;
(5) praktisi gigi/dokter gigi; (6) jasa akuntan; (7) penyigian (surveying).
Selain MRA sebagai rujukan utama dalam menjamin mobilitas tenaga kerja
terampil, AFAS (Artikel 5 tentang domestic regulations on qualifications dan Artikel 6
tentang recognition on qualifications), dan AEC Blue Print secara jelas mengatur
keleluasaan mobilitas tenaga kerja terampil di ASEAN. Walau demikian, Chia Siow
Yue (2013) mencatat bahwa ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi
keleluasaan mobilitas tenaga kerja terampil yaitu: 1) disparitas yang besar antara
upah dan kesempatan kerja; 2) geographical proximity dan lingkungan sosial-budaya
dan bahasa; 3) disparitas perkembangan sektor pendidikan antara negara di ASEAN
dan; 4) faktor kebijakan yang berlaku di setiap negara anggota.9
Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan implementasi
liberalisasi sektor jasa yang sudah disepakati dalam AEC, ASEAN bergerak cepat
dengan disepakatinya ASEAN Agreement on the Movement of Natural Persons (MNP)
yang ditandatangani pada November 2012. Kesepakatan ini memberikan jaminan
hak dan aturan tambahan yang sudah diatur di AFAS tentang MNP dan juga
memfasilitasi MNP dalam menjalankan perdagangan dalam jasa dan investasi.
Namun kesepakatan ini sekaligus juga memberikan perlindungan bagi integritas
batas negara anggota ASEAN dan tentu perlindungan terhadap tenaga kerja domestik
dan pekerjan tetap di negara-negara anggota ASEAN.
10 | A S C F I S I P U I
Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa kebijakan luar negeri,
termasuk kesepakatan Indonesia pada perjanjian untuk melakukan liberalisasi sektor
jasa, bukanlah perundingan yang hanya berada di satu tingkat saja. Pemerintah tidak
hanya berunding dengan negara anggota ASEAN yang lain, namun juga dengan
rakyatnya sendiri. Dalam kajian hubungan internasional, Robert Putnam sejak jauhjauh hari sudah mengingatkan bahwa diplomasi adalah sebuah two level game.10
Ada kepentingan-kepentingan di dalam negeri yang harus diajak berunding dalam
implementasi liberalisasi sektor jasa di Indonesia.
Penelitian ini mencoba menangkap fenomena tersebut dengan mengundang
berbagai pemangku kepentingan yang terimbas liberalisasi sektor jasa ASEAN untuk
duduk bersama. Untuk mendapatkan kedalaman, penelitian ini akan berfokus pada
delapan sektor yang telah disepakati di dalam MRA atau MRA Framework. Dari
kegiatan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih
utuh tentang daya saing para pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor,
hambatan-hambatan yang dihadapi untuk meningkatkan kapasitas SDM tenaga
terampil Indonesia di masing-masing sektor, serta kebijakan seperti apa yang dapat
dilaksanakan untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut.
I.2. Mengisi Ruang Kosong: Signifikansi Penelitian
Kajian-kajian mengenai evaluasi terhadap liberalisasi sektor jasa ASEAN saat
ini didominasi oleh kajian-kajian yang mengukur tingkat pencapaian (atau
kepatuhan) negara-negara ASEAN pada target yang telah ditetapkan oleh Cetak Biru
KEA. Dengan titik awal seperti demikian, dapat diduga bahwa mayoritas kajian-kajian
tersebut kemudian melihat bahwa liberalisasi sektor jasa di ASEAN tidak terlalu
berhasil dan mendorong pemerintah untuk berupaya lebih keras memenuhi
komitmen liberalisasi sektor jasa.
Dalam tulisan mereka yang melakukan penilaian tentang liberalisasi sektor
jasa di ASEAN, Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, menyatakan
bahwa dibandingkan dengan liberalisasi perdagangan barang (trade in goods) yang
mereka sebut sebagai pencapaian yang baik sekali,the progress made in liberalizing
trade in services...have not been as impressive (kemajuan di dalam liberalisasi sektor
jasa...tidaklah seberhasil itu).
Nikomborirak dan Jitdumrong mencatat bahwa implementasi yang
sebenarnya dari rencana-rencana yang ditetapkan di dalam cetak biru KEA banyak
yang tidak sesuai dengan tahapan yang telah disepakati di dalam cetak biru tersebut.
Sebagai contoh, untuk sektor E-ASEAN yang merupakan salah satu prioritas utama
dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN saja, paket liberalisasi jasa ASEAN ke 7 (AFAS 7)
menetapkan angka yang di bawah target. Misalnya, Cetak Biru KEA menargetkan
bahwa kepemilikan modal asing (ASEAN) di dalam layanan telepon genggam
seharusnya dibebaskan sampai 70% pada tahun 2010, namun hanya Singapura saja
yang mampu membuka sektor tersebut sampai di atas 70%. Negara lain rata-rata
memberikan komitmen liberalisasi kepemilikan modal di sektor tersebut di bawah
50%.11 Lagipula, menurut keduanya, pembatasan modal asing (yang dirundingkan di
dalam proses liberalisasi sektor jasa ASEAN selama ini) bukan satu-satunya faktor
yang menghambat perdagangan jasa. Nikomborirak dan Jitdumrong menyebutkan
bahwa faktor-faktor lain seperti hak kepemilikan tanah, menggunakan jasa tenaga
Robert Putnam, Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Games, International Organization,
42(3), 1988, hal. 427-460.
11 Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, Op.cit,. hal 63.
10
11 | A S C F I S I P U I
kerja asing, serta tingkat kesulitan perizinan usaha juga menjadi pertimbangan
penting bagi sebuah perusahaan untuk memiliki commercial presence di luar negeri.
Dengan pembahasan tersebut, kedua peneliti ini menyatakan pesimismenya bahwa
tampaknya kita tidak akan melihat kemajuan yang berarti dalam perdagangan jasa
di ASEAN dalam waktu dekat ini.12
Berkaitan dengan mobilitas tenaga kerja terampil di ASEAN yang merupakan
salah satu aspek penting dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN, pesimisme senada
juga muncul. Chia Siow Yue, misalnya, menyebutkan bahwa hampir semua negara
(anggota ASEAN) beralih dari kebijakan, peraturan, dan praktik-praktik yang
ditujukan untuk memproteksi tenaga kerja terampil dan profesional dalam negeri
dari kompetisi dengan tenaga asing.13
Chia Siow Yue juga mengatakan bahwa salah satu mekanisme terpenting
untuk menyukseskan liberalisasi sektor jasa ASEAN, yaitu kesepakatan-kesepakatan
MRA, pun memiliki banyak masalah. Perundingannya memakan waktu yang lama dan
rumit karena adanya perbedaan tingkat pembangunan di antara negara-negara
ASEAN. Tak hanya perundingannya yang rumit dan memakan waktu, ia juga
mengatakan bahwa implementasinya juga sering tersendat. Terlebih lagi, ia
menyebutkan bahwa perundingan MRA tidak bisa secara otomatis diartikan
terbukanya akses pasar dan mobilitas intra-ASEAN yang efektif. Kondisi ini
disebabkan oleh peraturan dan praktik bisnis domestik yang menghalangi mobilitas
tersebut, termasuk aturan-aturan hukum yang termuat dalam undang-undang
maupun aturan lainnya (seperti pembatasan pekerja asing dalam sektor tertentu,
persyaratan dan prosedur visa, harus adanya pembuktian bahwa sebuah perusahaan
membutuhkan tenaga kerja asing, dan seterusnya).14
Kajian-kajian tersebut tidak mampu memberikan gambaran yang utuh
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan liberalisasi sektor jasa di
ASEAN karena tidak melihat adanya pro-kontra terhadap gagasan liberalisasi sektor
jasa itu sendiri. Gagasan liberalisasi (termasuk sektor jasa) berakar dari satu
pemikiran ekonomi yang bukannya tanpa kritik. Dengan demikian, banyak kelompok
masih memandang liberalisasi sektor jasa dengan pandangan negatif, sehingga masih
melakukan penolakan-penolakan melalui berbagai saluran yang ada, termasuk
melalui konstitusi. Hal inilah yang membuat proses perundingan dan implementasi
MRA, dalam bahasa Chia Siow Yue, rumit dan berlarut-larut. Sayangnya,
kebanyakan peneliti yang berlatarbelakang ekonomi ini mengkritik keadaan tersebut
(rumit dan berlarut-larut) namun tidak lebih jauh lagi mencoba memahami
mengapa hal tersebut menjadi berlarut-larut.
Aspek penting kedua yaitu berkaitan dengan pemahaman bahwa kebijakan
luar negeri adalah sebuah two level game, yang mengharuskan pemerintah sebuah
negara tidak hanya bernegosiasi dengan negara lain saja, namun juga harus
berunding dengan berbagai kelompok di dalam negeri. Dengan memahami dua hal
tersebut, kita dapat memahami kenyataan bahwa meskipun dokumen ASEAN (yang
tentunya disepakati oleh negara-negara anggota) memandang liberalisasi sektor jasa
dengan sangat positif, banyak negara ASEAN cenderung berhati-hati untuk
mengimplementasikannya dalam kebijakan nasional.
12 | A S C F I S I P U I
13 | A S C F I S I P U I
No
1
2
3
4
5
6
7
8
14 | A S C F I S I P U I
liberalisasi sektor jasa ini, penelitian ini menggunakan tiga dimensi untuk mengukur
daya saing sektor jasa, yaitu: (1) Sumber Daya Manusia (kualitas dan kuantitas); (2)
Tata kelola; (3) Infrastruktur pendukung.
Istilah infrastruktur di sini merujuk kepada An underlying base or
foundation especially for an organization or system16 secara fleksibel. Sesuai dengan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, definisi tersebut tidak diterapkan secara
kaku dan sama untuk setiap sektor jasa. Dalam penelitian ini, aspek infrastruktur
yang dilihat (fasilitas pendidikan, sarana transportasi, dan lain-lain) akan ditentukan
seiring dengan berjalannya penelitian di dalam sektor tersebut. Di masing-masing
sektor, berdasarkan FGD dan kajian literatur di sektor tersebut, kita akan melihat
infrastruktur apa yang signifikan mempengaruhi daya saing pekerja terampil di
sektor itu.
Bagan I.1. Alur Logika Penelitian
Perumusan Masalah
Konseptualisasi
Sektor jasa
Liberalisasi
Pekerja terampil
Mobilitas tenaga kerja terampil
Identifikasi Hambatan
Luaran
Laporan akhir: pemetaan daya saing tenaga
kerja terampil Indonesia dan hambatanhambatannya
Rekomendasi kebijakan untuk optimalisasi
manfaat liberalisasi sektor jasa ASEAN
The American Heritage Dictionary of the English Language, 4th Ed. (Boston: Houghton Mifflin Company, 2000).
Diakses dari http://www.thefreedictionary.com/infrastructure
16
15 | A S C F I S I P U I
Berkat dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini terlaksana dengan baik
pada bulan Juli hingga bulan Desember 2013. Selama periode tersebut, semua
kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan, meskipun dengan berbagai
penyesuaian karena berbagai faktor.
Sebagai contoh, FGD yang dilakukan oleh tim peneliti berhasil menghadirkan
6 Asosiasi profesi. Dengan demikian, masih ada lagi dua sektor yang belum berhasil
dihadirkan dalam FGD karena permasalahan yang bersifat teknis (tidak ada waktu
yang cocok). Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penelitian ini kemudian
melakukan wawancara mendalam kepada narasumber dari dua asosiasi yang belum
terlibat di dalam Focus Group Discussion, yaitu Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia.
Kajian literatur dilaksanakan terus menerus selama penelitian ini, namun
data-data yang mendalam didapatkan dari Focus Group Discussion yang melibatkan 8
asosiasi profesi atau lembaga yang terkait dengan 8 sektor jasa yang disepakati
dalam MRA atau MRA Framework.
Seiring dengan berjalannya penelitian, tim peneliti melakukan penyesuaian
terhadap daftar yang akan dilibatkan dalam FGD berdasarkan relevansi pemangku
kepentingan yang akan diundang tersebut. Tim peneliti juga memutuskan untuk
membuat FGD ke dalam beberapa sesi supaya data yang didapatkan dapat lebih
mendalam dan utuh.
FGD akhirnya terlaksana dalam dua kali tanggal pelaksanaan, yaitu:
16 | A S C F I S I P U I
17 | A S C F I S I P U I
II
Sektor Jasa dan Daya Saing Indonesia:
Potensial tapi Belum Optimal
II.1. Pendahuluan
Sektor jasa adalah salah satu sektor yang belakangan ini mendapatkan
perhatian khusus dari berbagai pihak di Indonesia. Menteri Perdagangan, Gita
Wirjawan, menyampaikan bahwa peran sektor jasa dalam perdagangan internasional
sangat penting dan oleh karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk terus
mendukung sektor tersebut. Menurutnya, semakin maju perekonomian suatu negara,
sektor jasa menjadi semakin penting dan melampaui pentingnya sektor agrikultur
dan industri.17 Pandangan senada juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian, M.S.
Hidayat, yang menyampaikan bahwa sektor jasa adalah sektor yang penting dalam
perekonomian Indonesia dan menyumbang sekitar 60-80% dalam penurunan
kemiskinan di Indonesia.18
Di sektor swasta, berbagai pihak juga dengan serius memperbincangkan
sektor
tersebut.
Asosiasi
Pengusaha
Indonesia
(APINDO),
misalnya,
menyelenggarakan Indonesia Services Dialogue dengan dukungan dari U.S. Agency
for International Development (USAID) untuk mendorong perbaikan kebijakan di
sektor jasa.19
Pada saat yang bersamaan, banyak pihak juga mengakui bahwa sektor jasa
Indonesia masih belum optimal. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN),
Suryo Bambang Sulisto, menyampaikan bahwa Indonesia banyak kehilangan peluang
di industri jasa. Kehilangan potensi keuntungan ini, yang menurutnya disebabkan
oleh dominasi asing di sektor tersebut, jika diangkakan dapat mencapai sekitar 10
Milyar USD.20
Sebelum membicarakan sektor-sektor jasa yang lebih spesifik pada bagian
selanjutnya, penting untuk mendapatkan gambaran umum tentang kondisi sektor
jasa di Indonesia. Bagian ini dituliskan untuk memberikan gambaran umum yang
singkat kepada pembaca mengenai sektor jasa di Indonesia tersebut.
Sektor Jasa Berpotensi Naikkan Daya Saing Indonesia, Republika, Jumat, 19 April 2013, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/04/19/mlhx7a-sektor-jasa-berpotensi-naikkan-dayasaing-indonesia
18 Sektor Jasa Pegang Peranan Penting dalam Perekonomian Indonesia, diakses dari
http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=4222&cHash=1
19 Sila lihat http://apindo.or.id/index.php/indonesia-services-dialogue/information/868-the-indonesia-servicesdialogue
20 Sektor Jasa Belum Optimal, Riau Pos, 12 Oktober 2013. Diakses dari http://www.riaupos.co/35867-beritasektor-jasa-belum-optimal-.html
17
18 | A S C F I S I P U I
Sumber: Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di
Indonesia, Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di
http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_185656/lang--en/index.htm
Meskipun demikian, banyak kalangan yang juga melihat hal ini dengan hatihati karena pertumbuhan sektor jasa ini bersamaan dengan merosotnya sektor
industri. Sebagaimana dicatat oleh Chris Manning dan Haryo Aswicahyono (2012),
Indonesia mengalami fenomena yang berbeda dengan negara-negara lain di Asia
Tenggara dalam hal perbandingan antara pertumbuhan sektor jasa dan sektor
manufaktur. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997/1998, jasa tercatat tumbuh
jauh lebih cepat dibandingkan manufaktur yang tumbuh dengan sangat lambat.
Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia di mana sektor
manufaktur berkembang sama cepatnya dengan sektor jasa di kedua negara tetangga
tersebut (meskipun tetap lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan di masa
sebelum krisis Asia 1997/1998).22
Pertumbuhan sektor jasa ini juga terlihat dari jumlah tenaga kerja yang
bekerja pada sektor tersebut yang meningkat dengan pesat. Pada tahun 2000, ada
sekitar 35 juta orang yang bekerja di sektor jasa dan terkait-jasa (services and
Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia, Laporan
International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di
http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_185656/lang--en/index.htm
22 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Op.Cit.
21
19 | A S C F I S I P U I
services-related). Dalam sepuluh tahun, jumlah yang terlibat dalam sektor jasa
menjadi 49,18 juta orang atau meningkat sekitar 14,18 juta orang.23 Berkaitan
dengan perdagangan, jumlah pekerjaan yang disediakan sektor jasa yang terkait
dengan semua kegiatan ekspor (dengan mempertimbangkan hubungan langsung
maupun tak langsung) tercatat lebih besar dari jumlah total pekerjaan yang
diciptakan oleh semua ekspor manufaktur (makanan olahan, industri ringan dan
berat). Ada 7,1 juta pekerjaan yang disediakan oleh sektor jasa yang terkait dengan
kegiatan ekspor dan hanya 5 juta pekerjaan yang diciptakan oleh semua ekspor
manufaktur.24
Di dalam sektor jasa, ada beberapa kegiatan sektor jasa yang utama yang
menyerap tenaga kerja paling banyak. Sektor perdagangan ritel adalah sektor yang
menyerap tenaga kerja paling banyak dengan 32% (tahun 2010), disusul dengan
konstruksi (11%), pendidikan (9%), serta hotel dan restoran (8%).25 Komposisi
lengkapnya dapat dilihat dari grafik berikut ini:
Grafik II.2. Distribusi Pekerjaan dalam Kegiatan Sektor Jasa yang Utama,
201026
Sumber: Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di
Indonesia, Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di
http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_185656/lang--en/index.htm
Dengan demikian, kita dapat melihat dengan jelas bahwa sektor jasa adalah sektor
yang semakin penting bagi perekonomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya
terhadap pendapatan nasional maupun dari segi penyerapan tenaga kerja. Dalam
konteks ini, berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan liberalisasi
ILO Statistics (2013), dikutip dari Siti Tri Joelyartini, Liberalisasi Tenaga Kerja Terampil dalam Masyarakat
Ekonomi ASEAN, presentasi dalam Focus Group Discussion di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, 26 Oktober 2013. Ibu Siti Tri Joelyartini adalah Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perundingan
Perdagangan Jasa, Kementerian Perdagangan.
24 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Op.Cit.
25 Ibid.
26 Manning dan Aswicahyono menyusun grafik tersebut dengan mengolah data dari Survei Tenaga Kerja Nasional
(SAKERNAS) 2010.
23
20 | A S C F I S I P U I
sektor jasa yang menjadi salah satu elemen penting di dalamnya diharapkan dapat
mendorong tumbuhnya sektor jasa dan memberikan manfaat bagi perekonomian
Indonesia.
II.3. Potensial Namun Masih Belum Optimal
Meskipun demikian, kita juga menyaksikan bahwa banyak pihak masih
meragukan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN seiring dengan diterapkannya
Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 akan menguntungkan Indonesia, khususnya para
pekerja Indonesia. Para pelaku sektor jasa yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi
profesi yang diundang dalam FGD untuk penelitian ini secara umum menyampaikan
kekhawatiran mereka bahwa liberalisasi sektor jasa akan menimbulkan dampak
negatif bagi pelaku sektor jasa di dalam negeri.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika kita melihat neraca perdagangan
jasa, Indonesia terus menerus mengalami defisit yang besar. Nilai impor jasa kita
sekira dua kali lipat dari ekspor jasa kita, sehingga defisit kita mencapai lebih dari 10
milyar USD. Defisit ini terjadi secara konsisten hingga tahun 2012, sebagaimana
terlihat dari tabel berikut ini.
Tabel II.1. Neraca Jasa Indonesia, 2008-2012 (dalam juta USD)
2008
2009
2010
2011
2012
Sektor Jasa
-12.998
-9.741
-9.324
10.663
-10.331
A. Jasa Transportasi
-11.094
-4.083
-6.007
-8.693
-8.679
1.823
282
563
1.742
1.553
320
578
579
644
374
-83
-213
-72
54
231
E. Jasa Asuransi
-663
-1.298
1.131
-1.267
-1.072
F. Jasa Keuangan
-37
-227
-118
-174
-297
-536
-516
-471
-508
-523
-1.300
-1.492
-1.557
-1.709
-1.742
-1.645
-2.998
-1.147
-704
-109
-49
-51
-29
-53
-71
K. Jasa Pemerintah
264
277
65
37
B. Jasa Perjalanan
(Travel)
C. Jasa Komunikasi
D. Jasa Konstruksi
Sumber: Siti Tri Joelyartini, Liberalisasi Tenaga Kerja Terampil dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Data asli diolah dari data Direktorat Statistik dan Ekonomi Moneter Bank Indonesia.
21 | A S C F I S I P U I
27
28
9.
22 | A S C F I S I P U I
29
30
23 | A S C F I S I P U I
24 | A S C F I S I P U I
III
Jasa Keinsinyuran (Engineering Services)
III.1. Tentang ASEAN MRA on Engineering Services
Perjanjian MRA ASEAN dalam bidang sektor keinsinyuran (engineering
services) ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Indonesia diwakilkan oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Berbeda
dengan sektor survei dan sektor akuntansi, MRA dalam sektor keinsinyuran telah
ditandatangani oleh kesepuluh negara dan bukan lagi merupakan kerangka kerja
(framework).
Tujuan dari MRA sektor jasa keinsinyuran adalah untuk memfasilitasi
perdagangan dan sebagai stimulan aktivitas ekonomi antarpihak melalui penerimaan
kompetensi SDM dalam hal standar, kualifikasi, sertifikasi dan lisensi. Dalam artikel
1 MRA sektor keinsinyuran dijelaskan bahwa tujuan dari adanya MRA dalam bidang
keinsinyuran ini adalah untuk memfasilitasi pergerakan jasa keinsinyuran
profesional serta sebagai sarana bertukar informasi dalam rangka mengupayakan
adopsi pelaksanaan praktik terbaik pada standar dan kualifikasi. Di dalam MRA ini,
terdapat pendefinisian tentang apa saja yang diatur di dalam sektor jasa
keinsinyuran. Apa yang dinamakan dengan sektor keinsinyuran (engineering
services) merujuk kepada aktivitas yang berada di lingkup Central Product
Classification (CPC) Code 8672 dari Provisional CPC yang diterbitkan oleh Persatuan
Bangsa-Bangsa. Selain itu, apa yang disebut dengan graduate engineer merujuk
kepada setiap warga negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan
tinggi di bidang keinsinyuran yang telah memperoleh pengakuan dan diakreditasi
oleh otoritas nasional di suatu negara. Berbeda dengan graduate engineer,
professional engineer (practitioner) merujuk kepada:
Sebenarnya, tujuan umum dari MRA bidang keinsinyuran ini adalah untuk
menyeragamkan standar, ukuran, dan regulasi yang berbeda-beda di negara-negara
ASEAN agar mempunyai satu ukuran yang konsisten, metode dan spesialisasi yang
secara bersama diterima dan bisa diterapkan oleh negara-negara ASEAN. Ada tiga
prinsip yang dilakukan dalam penyelenggaraan MRA bidang keinsinyuran ini, antara
33
25 | A S C F I S I P U I
lain: transparansi, ekuivalensi, dan harmonisasi. Dari transparansi inilah yang sedang
digalakkan oleh Indonesia dalam hal sertifikasi yang transparan agar mampu
memanfaatkan celah untuk menemukan hambatan (barriers) yang diciptakan untuk
menahan aliran profesional keinsinyuran negara lain masuk ke Indonesia. Di lain sisi,
transparansi ini dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa kualifikasi dan standar
kompetensi di Indonesia memiliki kredibilitas yang baik. Ekuivalensi dimaksudkan
agar keseragaman dalam hal standardisasi profesi keinsinyuran di masing-masing
negara bisa diwujudkan melalui MRA ini. Hal tersebut bisa diwujudkan melalui
harmonisasi kebijakan dari masing-masing negara yang disesuaikan dengan MRA
yang sudah disepakati bersama.
Agar seorang professional engineer bisa berpraktik di negara tujuan (host
country) dan memperoleh gelar ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), ada
beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, antara lain mencakup:
Pernyataan dari perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia dalam FGD di FISIP UI, 26 Oktober 2013
26 | A S C F I S I P U I
27 | A S C F I S I P U I
28 | A S C F I S I P U I
Dari grafik di atas jelas terlihat bahwa dari segi rasio perbandingan populasi
sarjana teknik di Indonesia per 1 juta penduduk di tahun 2008 masih sangat kecil
dibanding Viet Nam, Malaysia, atau Thailand. Menurut Ketua PII, Bobby Umar, saat ini
Indonesia kekurangan sekitar 1,2 juta insinyur. Idealnya, Indonesia memiliki 2 juta
insinyur, sementara saat ini hanya memenuhi 600-700ribu saja.36 Hal ini disebabkan
salah satunya karena pertumbuhan sarjana teknik di Indonesia per tahunnya juga
tidak setinggi negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Viet Nam. Data
mengenai pertumbuhan sarjana teknik tiap tahunnya tercermin di dalam grafik di
bawah ini.
Selengkapnya lihat
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/24/07262810/RUU.Keinsinyuran.Sangat.Mendesak
36
29 | A S C F I S I P U I
30 | A S C F I S I P U I
Pernyataan dari perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia saat FGD pada tanggal 26 Oktober 2013 di FISIP UI
31 | A S C F I S I P U I
inovasi, yang berdampak pada rendahnya teknologi yang dipatenkan. Semua hal ini
menyebabkan pada rendahnya daya saing insinyur di Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara lain di ASEAN.
32 | A S C F I S I P U I
Dalam bidang infrastruktur sektor keinsinyuran, saat ini kurang memadai dan
seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa salah satu faktor penarik bagi para
lulusan SMA sederajat untuk tidak masuk ke fakultas teknik adalah minimnya
fasilitas dan infrastruktur yang ada. Di dalam Master Plan Percepatan Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), investasi di dalam bidang infrastruktur secara
keseluruhan akan bernilai sebesar 2.226 triliun rupiah dari 2011 hingga tahun 2025.
Kondisi infrastruktur saat ini dalam bidang keinsinyuran kurang terutama dalam
bidang riset dan pengembangan, juga dalam teknologi yang dikuasai. Makin
berkembangnya teknologi menuntut adanya upgrade dalam penguasaan atas
teknologi tersebut untuk dimanfaatkan dalam pengembangan infrastruktur.
33 | A S C F I S I P U I
IV
Jasa Arsitektur (Architectural Services)
IV.1. ASEAN MRA on Architectural Services
40
41
34 | A S C F I S I P U I
Registered Foreign
Architect (RFA)
Seseorang
yang
menyelesaikan
program arsitektur
Dinilai dan diakui oleh
badan
profesi
arsitektur atau otoritas
pemerintah
Seseorang
yang
memiliki sertifikat AA
Melamar
ke
host
country baik secara
independen
maupun
kolaborasi
Melihat tiga definisi di atas bisa terlihat jenjang yang harus dipenuhi di setiap
kategori, yang mana pada dasarnya mensyaratkan kemampuan atau kualifikasi yang
diakui baik oleh domestik maupun di level ASEAN. Seperti sektor lainnya, sektor jasa
arsitektur juga melibatkan beberapa badan/organisasi dalam implementasi
liberalisasi sektor jasa arsitektur ini. Badan-badan tersebut adalah; Profesional
Regulatory Authority (PRA), Monitoring Committee (MC), dan ASEAN Architects
Council (AAC). Ketiga badan ini memiliki fungsi masing-masing, akan tetapi secara
umum bertugas untuk menjamin mobilitas jasa arsitektur berjalan sesuai
kesepakatan yang ditandatangani.
IV.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Arsitek
Arsitek merupakan seseorang yang merancang bangunan dan memberikan
advis pelaksanaannya serta sekaligus berperan sebagai pengawas dan pelaksana
bangunan. Inti dari arsitek adalah merancang atau mendesain. Jasa arsitek atau yang
disebut juga jasa konstruksi memberikan sumbangan dalam distribusi pekerjaan di
ektor jasa.
Tabel IV.2. Distribusi Pekerjaan di Sektor Jasa
Sektor
Persentase
Perdagangan Ritel
32
Konstruksi
11
Pendidikan
9
Hotel dan Restoran
8
Kegiatan sosial
7
Transportasi Darat
7
Administrasi Pemerintah
7
Layanan Domestik
5
35 | A S C F I S I P U I
Pelayanan lain
14
Sumber: Data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) 2010 dalam Manning dan Aswicahyono
(2012), Op.Cit.
Selain itu merujuk neraca jasa Indonesia tahun 2008-2012, jasa konstruksi
ikut menyumbang nilai surplus yang cukup besar yaitu sekitar US$231 juta. Nilai
tersebut menempatkan jasa konstruksi berada pada peringkat ketiga penyumbang
defisit setelah jasa travel dan jasa komunikasi menempati posisi 1 dan 2 secara
berturut. Dengan demikian sektor jasa arsitektur ini memiliki nilai ekonomis dan
strategis dalam perekonomian Indonesia.
IV.3. SDM
Pelaku jasa arsitek ini tergabung dalam Ikatan Arsitek Indoensia (IAI) yang
berdiri pada tanggal 17 September 1959. IAI ini memiliki link dengan ikatan profesi
yang sama di tingkat regional yang disebut dengan Architects Regional Council of Asia
(ARCASIA) dan ASEAN Asscoaition Planning and Housing (APPH). Sementara di level
international yang disebut dengan Union Internationale des Architectes (UIA). Di level
domestik, IAI tergabung sebagai anggota Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK) dan Forum Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi. IAI bersama dengan LPJK
melakukan serfikasi kompetensi dan keahlian arsitek.42
Dalam hal kualitas, sektor jasa arsitektur Indonesia dapat dikatakan
mempunyai daya saing cukup baik. Hal ini didukung oleh sistem pendidikan dan
penjenjangan yang terstruktur dengan baik yang kemudian memperjelas klasifikasi
dan kualifikasi tenaga arsitektur. Berdasarkan klasifikasi nasional, tenaga ahli terdiri
dari 40 sub klasifikasi termasuk Arsitek. Sementara tenaga terampil memiliki
beranekaragam klasifikasi jabatan/pekerjaan.
Adapun berdasarkan kualifikasi
nasional, tenaga terampil terdiri dari teknisi/mandor/tukang. Sedangkan kualifikasi
nasional untuk tenaga ahli dibedakan dalam tiga kategori yaitu ahli utama, ahli
madya dan ahli muda. Adapun yang terkait dengan klasfikasi ASEAN, dibagi dalam 2
kategori yaitu untuk jasa arsitek disebut dengan ASEAN Architect (AA), sedangkan
untuk insinyur disebut dengan ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE). 43
Tabel IV. 3. Tabel Klasifikasi dan Kualifikasi Jasa Konstruksi
Klasifkasi Nasional
40 Sub Klasifikasi
Tenaga Ahli
Tenaga Terampil Beranekaragam pekerjaan
Kualifikasi Nasional
Teknisi/mandor/Tukang
Tenaga Ahli
Ahli Utama/Ahli Madya/Ahli
Tenaga Terampil
Muda
Klasifikasi ASEAN
ASEAN Architect (AA)
Arsitek
ACPE
(Asean
Chartered
Insinyur
Professional Engineer)
*Data diolah dari FGD 26 Oktober 2013
Adapun terkait dengan kuantitas tenaga ahli arsitek, dapat dikatakan masih
kurang memadai. Merujuk pada jumlah anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) hanya
14.842 orang. Jumlah ini sudah termasuk yang sudah purna tugas/wafat/tidak aktif.
42
43
Lihat http://www.iai.or.id/tentang-iai/sejarah
Data diambil dari FGD yang diselenggarakan di FISIP UI, 26 Oktober 2013
36 | A S C F I S I P U I
Adapun anggota IAI yang bersertifikat dan bisa berpraktik mandiri hanya 2.965, yang
tersebar ke dalam berbagai klasifikasi. Untuk arsitek utama sebanyak 152, arsitek
madya 1.503 dan arsitek muda 1.310. 44
Sedangkan untuk level ASEAN Architects, hanya ada 45 orang, sementara
Singapura dengan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dari Indonesia memiliki
30 orang tenaga ahli berstandar AA. Oleh karena itu, dengan jumlah penduduk yang
besar, perlu kebijakan yang mendorong AA Indonesia terus bertambah, apalagi
dengan menyongsong pasar bebas ASEAN. 45
Rendahnya jumlah AA Indonesia turut dipengaruhi oleh sistem kependidikan
yang menetapkan 4 tahun sebagai masa studi mahasiswa program sarjana, padahal di
ASEAN sarjana arsitektur minimal 5 tahun. Oleh karena itu dibutuhkan tambahan 1
(satu) tahun untuk mendapatkan pendidikan profesi arsitek sesuai dengan durasi
yang berlaku ditingkat regional/internasional.
Data pada grafik di bawah juga memperlihatkan jumlah sarjana teknik di
Indonesia per 1 juta penduduk terendah dibanding negara-negara lainnya. Bahkan
Vietnam memiliki lebih banyak sarjana teknik yaitu sekitar 9,037 sarjana. Sedangkan
untuk kawasan Asia Timur, Korea memiliki tingkat jumlah sarjana teknik yang sangat
memadai. Hal ini tentu saja didukung oleh peran pemerintah yang kuat dalam
merumuskan arah pengembangan sarjana teknik di Korea.46
Grafik IV.1. Jumlah Sarjana Teknik per 1 Juta Penduduk di beberapa Negara
Dalam hal tambahan sarjana teknik per tahun pun Indonesia juga menduduki
peringkat terendah disbanding negara-negara lainnya termasuk beberapa negara
ASEAN. Untuk negara ASEAN, Malaysia tercatat memiliki tingkat pertumbuhan yang
sangat baik. 47
Ibid.
Ibid. Lihat juga Peningkatan Jasa Kontruksi terkendala SDM diambil dari
http://www.antarasumsel.com/berita/267434/peningkatan-jasa-konstruksi-terkendala-sdm
46 Ibid.
47 Ibid.
44
45
37 | A S C F I S I P U I
Untuk sektor jasa arsitektur ini ada beberapa catatan penting yang perlu
dicermati. Pertama, fakta bahwa kualitas pendidikan arsitektur yang belum merata.
Hanya ada 140 perguruan tinggi tersebar dari Jakarta sampai Maluku Utara dan
persebarannya terpusat di Pulau Jawa. Jadi kesenjangan pendidikannya juga sangat
berbeda. Hal ini berdampak pada penilaian untuk sertifikasi. Kedepan, sistem
sertifikasi akan disentralisir ke daerah, sehingga penilaian dilakukan oleh jasa
sertifikasi profesi provinsi.48 Hal ini akan memberikan dampak bertambahnya
peluang putera daerah untuk bisa bersertifikat. Namun satu sisi, hal ini membawa
kehawatiran akan menurunya standar sertifikasi sehingga akan sulit bersaing dengan
arsitek mancanegara.
Kedua, durasi pendidikan dasar arsitektur nasional 4 tahun tidak kompatibel
dengan persyaratan yang berlaku secara internasional yaitu 5 (lima) tahun. Selain itu
PPArs (Pendidikan Profesi arsitek) belum bisa diselenggarakan secara nasional.
Selama ini hanya diselenggarakan oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi yang besar
saja.
38 | A S C F I S I P U I
peran aktif pemerintah dibutuhkan untuk melakukan lobbi dan negosiasi di level
regional.
IV.5. Infrastruktur Pendukung
Dalam hal infrastruktur pendukung untuk mendukung daya saing tenaga
profesional dalam sektor jasa arsitektur yang utama adalah fasilitas pendidikan yang
memadai termasuk di dalamnya adalah penambahan jumlah institusi pendidikan
arsitektur. Selain itu perlu juga meninjau kembali distribusi keberadaan institusi
pendidikan tersebut, sehingga semua wilayah memliki kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pendidikan jasa arsitek.
Penambahan jumlah institusi kependidikan arsitek akan meningkatkan jumlah
sarjana yang dihasilkan. Akan tetapi penting untuk tetap mengutamakan mutu
ketimbang mengejar target kuantitas. Faktor kualitas adalah yang terpenting untuk
dapat bersaing di pasar ASEAN maupun global.
39 | A S C F I S I P U I
V
Jasa Keperawatan (Nursing Services)
Lihat dokumen ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services diambil dari
http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/asean-mutual-recognition-arrangementon-nursing-services
51 Ibid
50
40 | A S C F I S I P U I
Dalam upaya implementasi MRA ini, ada dua badan yang bertanggung jawab
yaitu:
1.
2.
52
Negara
For Brunei Darussalam
for the Kingdom of Cambodia
for the Republic of Indonesia
for Lao People's Democratic Republic
for Malaysia
for the Union of Myanmar
for the Republic of the Philippines
for the Republic of Singapore
for the Kingdom of Thailand
for Socialist Republic of Viet Nam
Ibid.
41 | A S C F I S I P U I
liberalisasi jasa perawat yang dilakukan oleh masing-masing NRA yang ditunjuk
(lihat tabel di atas).
Untuk implementasi liberaliasasi jasa perawat ini, mekanisme yang disepakati
dalam MRA dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan V.1. Mekanisme Liberalisasi Jasa Perawat Berdasarkan MRA ASEAN
Recognition
Registration
License
Monitoring
the professional practice
Evaluation
the qualifications and experiences of Foreign Nurses
42 | A S C F I S I P U I
kemudian diikuti oleh bidan (23%). 53Lebih jauh, seiring dengan perkembangan dan
dinamika global, tercatat bahwa perawat merupakan salah satu profesi yang
mengalami peningkatan tren kebutuhan dalam beberapa dekade terakhir ini tidak
hanya di level ASEAN tetapi juga di secara global. Pesatnya pertumbuhan lansia
yang melonjak drastis menjadi salah satu penyebab tingginya kebutuhan akan
perawat.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, perkiraan permintaan
tenaga kesehatan Indonesia dari luar negeri meningkat pesat, dan perawat
menempati porsi kebutuhan terbesar dengan perkiraan tingkat permintaan yang
terus melonjak dari tahun 2014 sebanyak 9280 perawat, tahun 2019 sebanyak
13100 perawat dan tahun 2025 sebanyak 16920 perawat. Merujuk angka tersebut
dapat dikatakan terdapat peluang besar bagi Indonesia dalam pasar tenaga perawat
ASEAN.54
Tabel V.2. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia dari Luar
Negeri
No.
1.
2
3
4
5
6
7
Tenaga Kesehatan
Perawat
Dokter Spesialis
Dokter Umum
Dokter Gigi
Bidan
Keteknisian Medis
SKM
2014
9280
1440
400
40
400
400
200
2019
13100
1800
500
50
500
500
250
2025
16920
2160
600
60
600
600
300
43 | A S C F I S I P U I
No
1.
2.
3.
Komentar narasumber dari PPNI yang disampaikan dalam FGD ASC FISIP UI pada tanggal 26 Oktober 2013.
Ibid..
58 Data EPSBED - 19/08/2010 dalam Laporan Penelitian, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Perawat ,
Research and Development Team, Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, DIKTI 2010.
59 Ibid. hlm. 6.
56
57
44 | A S C F I S I P U I
Penting juga untuk menyimak hasil penelitian DIKTI yang memaparkan hasil
survei kepada perawat dan pengguna sebagai indikator persoalan kualitas tenaga
perawat di Indonesia sebagai berikut:60
bahwa
45 | A S C F I S I P U I
FGD, Op.Cit. .
46 | A S C F I S I P U I
Registrasi :
Registrasi adalah pencatatan resmi
terhadap tenaga kesehatan yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan
telah mempunyai kualifikasi tertentu
lainnya serta diakui secara hukum
untuk menjalankan praktik dan/atau
pekerjaan profesinya.
Sertifikasi :
Sertifikat kompetensi adalah surat
tanda pengakuan terhadap kompetensi
seseorang tenaga kesehatan untuk
dapat menjalankan praktik dan/atau
pekerjaan profesinya di seluruh
Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
Sertifikat kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dikeluarkan oleh Majelis Tenaga
Kesehatan Indonesia (MTKI).
47 | A S C F I S I P U I
Sertifikat
kompetensi
dapat
digunakan sebagai syarat untuk
memperoleh pekerjaan tertentu
Dalam hal lisensi diatur melalui permenkes 17 tahun 2013 yang merupakan
revisi permenkes 148 tahun 2010 ttg izin dan penyelenggaraan praktik perawat.
Adapun ini Permenkes ini meyebutkan:
Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan
kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Kerja Perawat
(SIKP).
Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di praktik mandiri
wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP).
Perlu dicatat bahwa SIKP dan SIPP ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah
dan hanya berlaku di satu tempat. Untuk memperoleh SIKP dan SIPP ini harus
melampirkan STR, padahal proses STR yang direncanakan belum siap. Pada akhirnya
proses kredensial yang diatur hanya merupakan sebuah rencana tanpa proses dan
ketentuan yang jelas.
Selain itu, dalam hal kategorisasi perawat atau isitilah profesi dan
kependidikan profesi, aturan yang ada tidak sesuai dengan yang berjalan dalam
sistem pendidikan. PP No 32 secara general membedakan perawat hanya menjadi 3
(tga) kategori yaitu perawat, perawat gigi dan bidan. Padahal perawat memiliki 9
(sembilan) level dimana pekerjaan dan pelayanannya beda. Ketika itu disamakan
dalam pelayanan kesehatan, maka profesi perawat tidak tampak. 66
Dalam hal istilah profesi dan pendidikan profesi, juga terdapat perbedaan
sehingga menimbulkan kebingungan. Terdapat standar ganda dalam regulasi
pendidikan perawat terutama dalam bidang vokasi antara Kemenkes dan Kemdiknas.
Jika merujuk aturan sebelumnya, pembuatan regulasi pendidikan juga dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan. Namun kemudian diambil alih oleh Kemdiknas. Hal yang
penting juga dicatat adalah Kemdiknas dulu menyelenggarakan pendidikan
kedinasan, yang kemudian berubah kependidikan umum tanpa ikatan dinas.
Perubahan ini tidak diikuti dengan regulasi-regulasi yang jelas terutama untuk
menempatkan atau mendefinisikan posisi lulusan. Saat ini pendidikan kedinasan
hanya ada di level Program Magister, akan tetapi program diploma masih dibuka.
Selain itu, dalam UU no 12 tentang pendidikan tinggi salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa pendidikan vokasi paling tinggi setara dengan pendidikan
sarjana, akan tetapi di pasal selanjutnya dikatakan bahwa bisa dikembangkan dalam
jenjang magister terapan dan doktoral terapan. Hal ini dipandang tidak sesuai
mengingat dasar pendidikan tetap vokasi. Yang perlu diupayakan adalah agar
66
Ibid
48 | A S C F I S I P U I
Hal ini sekaligus mengindikasikan jumlah mahasiswa dan tentu saja lulusan
pendidikan keperawatan terpusat di Jawa. Tercatat per tahun ajaran 2008/2009,
jumlah total mahasiswa keperawatan di seluruh Indonesia adalah 104.239 orang
untuk semua jenjang pendidikan, yang didominasi oleh mahasiswa S1 dan D3. Yang
penting dicatat pula bahwa dari sisi jumlah, program D3 mendapatkan jumlah
mahasiswa yang lebih besar dari program S1.
67
68
Ibid.
Lihat Hasil penelitian DIKTI (2010), hlm. 19.
49 | A S C F I S I P U I
Pembentukan board of nursing (atau semacamnya) sedang diupayakan saat ini melalui RUU Keperawatan.
50 | A S C F I S I P U I
51 | A S C F I S I P U I
VI
Jasa Praktisi Medis/Dokter
(Medical Practitioners)
VI.1. ASEAN MRA on Medical Practitioners
MRA untuk jasa dokter ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26
Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi
(dental practitioners) dan jasa akuntansi (accountancy services). MRA ini bertujuan
untuk: 70
1. Memfasilitasi mobilitas jasa dokter di dalam kawasan ASEAN;
2. Bertukar informasi dan meningkatakan kerjasama dalam skema MRA jasa
dokter;
3. Mempromosikan pengadopsian best practices untuk standar dan kualifikasi;
4. Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para
pelaku jasa dokter
Dalam MRA tersebut juga terdapat beberapa definisi terkait jasa praktisi
medis/dokter sebagai berikut:71
Tabel VI.1. Istilah dan Definisi terkait Jasa Dokter dalam MRA
Istilah
Medical
Practitioner
Specialist
Foreign Medical
Practitioner
Definisi
Inti
Menyelesaikan
pelatihan
medis
professional
dan
memiliki
kualifikasi
yang diakui
Terdaftar/memiliki
lisensi dari PMRA
52 | A S C F I S I P U I
Terdaftar di negara
asal dan mendaftar di
negara tujuan untuk
praktik
di
negara
penerima
Merujuk tabel di atas, terlihat bahwa bahwa definisi terkait jasa praktisi
medis/dokter sangat menekankan pada keahlian dan kualifikasi. Bahkan untuk posisi
specialiast secara jelas disebutkan memiliki kualifikasi pendidikan pascasarjana. Poin
ini berbeda dengan MRA yang disepakati di bidang jasa keperawatan yang tidak
menyebutkan persyaratan level pendidikan pascasarjana sebagai syarat. Hal ini
mungkin disebabkan cara pandangan terhadap profesi dokter dan perawat yang
dianggap sebagai sebuah strata. Padahal sesungguhnya cara pandang seperti ini
mengotak-kotakkan profesi yang seharusnya dituntut memenuhi kualiifikasi yang
sebaik mungkin.
Dalam menjalankan MRA ini, seperti juga di bidang keperawatan ada dua
badan yang berfungsi untuk mengimplementasikan MRA ini. Dua badan tersebut
adalah:
1. Professional Medical Regulatory Authority (PMRA)
PMRA merupakan sebuah badan yang terdiri dari otoritas pemerintah setiap
negara anggota ASEAN yang secara umum berfungsi untuk mengatur dan
mengontrol praktik jasa medis dan pengobatannya. Otoritas di setiap negara
secara detail ada dalam tabel dibawah ini:72
Tabel VI.2. Otoritas PMRA Di Setiap Negara ASEAN
Negara Anggota
Brunei Darussalam
Kamboja
Indonesia
Malaysia
Myanmar
Filipina
Singapura
Thailand
Vietnam
72
53 | A S C F I S I P U I
Otoritas yang ditunjuk oleh negara ASEAN untuk pelaksanaan MRA ini terfokus
pada kementerian kesehatan. Walau demikian keberagaman otoritas yang
ditunjuk tampak pada tabel di atas, bahkan satu negara seperti Filipina menunjuk
tiga badan sekaligus. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa sektor jasa praktisi medis
merupakan sektor penting dan strategis yang seharusnya dijaga dengan
melibatkan berbagai stakeholders dalam implementasi MRA ini. Indonesia, selain
kementerian kesehatan yang menjadi focal point, Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) juga dilibatkan untuk turut memikirkan pelaksanaan MRA di bidang jasa
medis ini.
2.
54 | A S C F I S I P U I
Tenaga Kesehatan
Dokter Spesialis
Dokter Umum
Total
2014
1440
400
1840
2019
1800
500
2300
2025
2160
600
2760
Dokter Spesialis
Kebutuhan Kekurangan
8,626
1,792
18,109
10,561
23,422
8,029
Dokter Umum
Kebutuhan
Kekurangan
4,183
7,299
3,639
10,284
4,080
Kedua, seperti pada jasa keperawatan yang merupakan bagian dari jasa
kesehatan, jasa praktik medis/dokter perlu diproteksi karena menyangkut masalah
ketahanan negara. Sehingga dengan demikian, jasa kesehatan bukan sektor bisnis
dan tidak seharusnya diperdagangkan. Selain itu mengingat kompetensi dokter
Indonesia yang tidak mengenal sertifikasi internasional, liberalisasi jasa yang
mensyaratkan kompetensi dan kualifikasi internasional hanya akan menyulitkan
tenaga dokter Indonesia. 77
Liberalisasi jasa kesehatan, khususnya dokter, memang bukan merupakan
pekerjaan mudah. Hal ini sangat memungkinkan pelaksanaanya menjadi molor.
http://www.antaranews.com/berita/265655/kebutuhan-tenaga-dokter-naik-14-persen diakses dari 25
September 2013.
76 Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, 2011.
77 Wawancara PB IDI, 12 Desember 2013.
75
55 | A S C F I S I P U I
Bahkan hingga kini dalam hal bisnis kesehatan dan penyamaan kurikulum
pendidikan kedokteran masih dalam tahap penjajakan. Adapun praktik dokter lintas
negara ASEAN masih diwarnai perdebatan dan belum ditemukan kata sepakat di
antara anggota ASEAN sendiri. 78 Dengan demikian butuh waktu yang cukup untuk
mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa maksimal. Di wilayah lain seperti Eropa,
butuh waktu 15 sampai 20 tahun untuk membahas praktik dokter asing. 79
56 | A S C F I S I P U I
Berdasarkan Indikator Indonesia Sehat 2010, rasio ideal yaitu 40 dokter umum per
100.000 penduduk. Sementara laporan tersebut mencatat bahwa dokter umum yang
teregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia hingga tahun 2010 sebanyak 73.585
dokter. Hal ini berarti ketersedian dokter umum di Indonesia baru mencukupi
77,43% dari total kebutuhan dokter. 83
Yang penting juga dicermati, berbeda dengan dokter umum, laporan ini
mencatat bahwa jumlah dokter spesialis yang teregistrasi hingga tahun 2010
mencapai 19.333 dokter dengan rasio 8,14 dokter spesialis per 100.000 penduduk.
Rasio ini sudah melebihi target rasio ideal berdasarkan Indikator Indonesia Sehat
2010 yaitu 6 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Walau rasionya sudah melebihi
target, laporan ini mencatat masalah distribusi dokter yang belum merata sebagai
satu tantangan berikutnya. Tercatat Pulau Jawa , Bali, Sumatera dan Sulawesi
merupakan pusat-pusat distribusi dokter umum dan dokter spesialis. Walau
demikian khusus Pulau Jawa, walaupun secara nominal jumlah dokter umum
sebagain besar di Jawa dan Bali, namun bila dibandingkan dengan penduduk, maka
jumlah tenaga dokter di Jawa masih lebih rendah di banding daerah-daerah lain. 84
Begitupun dalam hal jumlah pendidikan tinggi, Pulau Jawa mendominasi
sebaran pendidikan tinggi untuk semua jenjang. Bahkan untuk pendidikan Spesialis
level 1, hampir 75 % berada di Pulau Jawa. Hal ini tentu juga berdampak pada
persebaran mahasiswa dan lulusan yang sudah pasti terpusat di Pulau Jawa juga.
Sementara itu untuk standard kompetensi dokter, Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) telah menerbitkan standard kompetensi dokter dan standard
kependidikan kedokteran. Hal ini menjadi dasar dan rujukan baik dalam pendidikan
maupun pelayanan seorang dokter.85
Ibid.
Ibid.
85 Ibid.
83
84
57 | A S C F I S I P U I
mendirikan rumah sakit dengan syarat tetap menyediakan 25% kuota untuk pasien
kurang mampu.86
Sementara itu, dalam hal arus tenaga dokter asing, pemerintah telah membuat
regulasi tentang dokter asing di Indonesia. Regulasi ini menjabarkan secara rinci, apa
saja dokumen yang dibutuhkan dan dokter asing yang bagaimana yang dapat
diakomodasi di Indonesia.87
Tabel VI.6. Regulasi Dokter Asing di Indonesia
Alur Regulasi Dokter Asing
1. Sertifikat kompetensi dari negara asal
2. STR dari Instansi yang berwenang di negara asal
3. Fotocopy ijasah yang diakui oleh negara asal
4. Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji profesi
5. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari negara asal
6. Surat keterangan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun sesuai
dengan jabatan yang akan diduduki
7. Letter of performance dari instansi yang berwenang di negara asal
8. Surat keterangan berkelakuan baik dari instansi yang berwenang di negara
asal
9. Surat keterangan tidak pernah melakukan pelanggaran etik dari organisasi
profesi negara asal
10. Surat izin praktik dari negara asal yang masih berlaku
11. Surat pernyataan bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan,
sumpah profesi kesehatan, dan kode etik profesi kesehatan yang berlaku di
Indonesia.
Lebih jauh pada tanggal 15 Februari 2013 dilaksanakan rapat Tim Koordinasi
MRA-ASEAN yang pertama dan dhihadiri oleh unsur-unsur terkait. Adapun hasil
utama rapat MRA-ASEAN ini, antara lain :
1. Menyosialisasikan informasi tentang isu-isu seputar MRA-ASEAN kepada unit
esselon I dan II di Lingkungan Kemkes.
2. Fokus pada pembuatan template roadmap MRA dengan memperhatikan
perkembangan terbaru dari berbagai negara ASEAN di tingkat regional
ASEAN. Saat ini fokus kepada tiga profesi dahulu dan mempersiapkan diri
kepada profesi kesehatan lainnya di masa mendatang.
3. Memperkuat proses pembuatan domestic regulation, data based tenaga
kesehatan, dan mempublikasikan informasi tentang pendayagunaan TK-WNA
khususnya di Indonesia.
4. Membuat program kegiatan yang lebih rinci dan diusulkan juga untuk bekerja
sama dengan asosiasi profesi kesehatan.
Ibid.
Majalah Halo Internis, diakses dari
http://www.pbpapdi.org/images/file_halo_internist/Halo%20Internis%20Edisi%2019;%20Harmonisasi%20AS
EAN%20di%20Bidang%20Kesehatan_8.pdf tanggal 12 Oktober 2013.
86
87
58 | A S C F I S I P U I
Sektor jasa praktisi medis/dokter ini dapat dikatakan memiliki tata kelola
yang cukup baik. Hubungan kerjasama antar institusi seperti KKI dan Kementerian
Kesehatan berjalan cukup baik. Walau demikian, catatan utama yang didapatkan dari
narasumber mengenai liberalisasi sektor jasa kesehatan maupun kedokteran
menekankan pentingnya negara ikut terlibat, pertama dengan argumen bahwa jasa
kesehatan adalah sektor vital terkait ketahan negara, kedua, bahwa jasa kesehatan
perlu dihindarkan dari aspek bisnis.
Indonesia
2.2
Philipina
3.3
Thailand
3.5
Malaysia
4.3
Kambodia
6
Vietnam
6.6
General government
expenditure on health
as % of THE
50
40
64
45
26
32
Private expenditure on
health as % of THE
50
60
36
55
74
68
59 | A S C F I S I P U I
narasumber penelitian ini juga diarahkan tentang minimnya dana untuk penguasaan
teknologi, mengindikasikan minimnya perhatian pemerintah terhadap penguasaan
sektor jasa dokter dan tidak dipandanganya sektor ini sebagai sektor strategis dan
vital dalam urusan ketahanan negara. 90
VI. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari paparan diatas, hal utama yang dapat disimpulkan adalah perdebatan
tentang liberalisasi sektor jasa dokter dan ketahanan negara. Hal ini mewarnai
wacana-wacana tentang pasar bebas ASEAN khususnya di bidang kesehatan atau jasa
praktisi medis/dokter.
Selain itu persoalan SDM baik secara kuantitas maupun kualitas masih
menjadi tantangan tersendiri. Gap antara kebutuhan dan ketersediaan masih
mewarnai rencana implementasi liberalisasi sektor jasa medis. Selain itu fakta juga
memperlihatkan baik distribusi jasa dokter maupun yang masih terpusat di Pulau
Jawa dan Sumatera bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya
pemerataan pembangunan. Adapun dalam hal kualitas, sektor jasa dokter Indonesia
tercatat memiliki standar kompetensi yang berbeda dengan negara ASEAN lainnya.
Hal ini menjadi tantangan bagi sektor jasa praktisi medis/dokter untuk
mengupayakan level kompetensi dokter Indonesia yang setara dengan dokter dari
negara tetangga/ASEAN lainnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan dalam mengoptimalkan posisi
sektor jasa praktisi medis/dokter ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
1. Perlunya meningkatkan daya saing tenaga dokter Indonesia melalui peningkatan
standar kompetensi, sambil mengupayakan untuk mengejar keseragaman
kompetensi bersama di antara negara-negara ASEAN. Dalam hal ini koordinasi
antara Kemenkes dan Kemendiknas dan stakeholders lainnya menjadi kunci
terbentuknya regulasi yang memadai untuk standar kompetensi dokter
Indonesia.
2. Melakukan review secara rutin standar kompetensi yang sudah dibuat untuk bisa
mengikuti perkembangan standar kompetensi di negara lainnya;
3. Memperbanyak jumlah dokter dengan cara memperbanyak institusi pendidikan
kedokteran. Selain itu, perlu memetakan kembali distribusi dokter dan intitusi
kedokteran yang selama ini bertumpuk di Pulau Jawa.
4. Memperkuat infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi kedokteran dan
institusi pendidikan kedokteran yang memadai.
5. Terkait dengan praktik dokter asing, pemerintah perlu memikirkan untuk
menggunakan celah dalam MRA untuk memposisikan dokter Indonesia menjadi
lebih kompetitif dibandingkan dokter asing, misalnya melalui persyaratan
penguasaan bahasa setempat.
90
60 | A S C F I S I P U I
VII
Jasa Kedokteran Gigi (Dental Practitioners)
VII.1. ASEAN MRA on Dental Practitioners
Pada tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand, negara-negara anggota
ASEAN menyepakati Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners
(selanjutnya MRA-DP). MRA-DP ini ditujukan untuk memfasilitasi mobilitas dokter
gigi di dalam ASEAN, seiring dengan komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk
meliberalisasi sektor jasanya. Selain memfasilitasi mobilitas dokter gigi di kawasan
ASEAN, diharapkan MRA ini dapat mendorong terjadinya pertukaran informasi dan
penguatan kerjasa dalah hal pengakuan tinggal balik dalam profesi dokter gigi,
mempromosikan penerapan praktik terbaik (best practices) dalam standar dan
kualifikasi, serta menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dokter
gigi di ASEAN.91
Dalam MRA-DP ini, dental practitioners didefinisikan sebagai a natural
person who has completed the required professional dental training and conferred the
professional dental qualification; and has been registered and/or licensed by the
Professional Dental Regulatory Authority in the Country of Origin as being technically,
ethically and legally qualified to undertake professional dental practice. 92 Dengan
demikian, seseorang dapat disebut sebagai dokter gigi jika ia sudah menyelesaikan
pendidikan profesional sebagai dokter gigi dan sudah mendapatkan kualifikasi
sebagai dokter gigi serta mendapatkan sertifikasi dari otoritas yang mengatur profesi
dokter gigi di negaranya. Hal ini konsisten dengan apa yang selama ini berlaku bagi
dokter gigi di Indonesia. Untuk dapat berpraktik sebagai dokter gigi di Indonesia
(mendapatkan surat izin praktik sebagai dokter gigi), seseorang harus menyelesaikan
pendidikan profesi dokter gigi dan mendapatkan rekomendasi dari Persatuan Dokter
Gigi Indonesia (PDGI). Otomatis, berbeda dengan sektor lain seperti pariwisata yang
pelaku jasanya tidak semua terdaftar atau sektor jasa akuntansi yang tidak semua
akuntan beregisternya menjadi bagian dari asosiasi profesi, seluruh dokter gigi di
Indonesia adalah anggota dari PDGI.93
Sementara itu, spesialis (atau dokter gigi spesialis) merujuk pada seseorang
yang telah menyelesaikan pendidikan spesialis dan kualifikasi pascasarjana yang
diakui oleh negara asalnya (country of origin) dan terdaftar atau memiliki lisensi
sebagai dokter gigi spesialis yang berlaku di negara tersebut.
Berdasarkan MRA tersebut, entitas yang diakui sebagai PDRA (Professional
Dental Regulatory Authority) yang menjadi regulator dalam sektor jasa dokter gigi
adalah Konsil Kedokteran Indonesia. PDRA di masing-masing negara ini berperan
61 | A S C F I S I P U I
penting di dalam MRA berkaitan dengan mekanisme bagi dokter gigi yang ingin
berpraktik di negara ASEAN yang lain.
Seorang dokter gigi dari suatu negara ASEAN dapat mengajukan registrasi
sebagai dokter gigi di negara ASEAN yang lain jika memiliki kualifikasi yang diakui
oleh PDRA dari negara asalnya dan PDRA dari negara ASEAN yang lain yang
ditujunya untuk menjadi tempat praktik (host country). Untuk itu, dokter gigi
tersebut harus memiliki sertifikat praktik dokter gigi dan terdaftar secara sah sebagai
dokter gigi berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh PDRA di negaranya (country of
origin). Sebelum bisa berpraktik di negara ASEAN yang lain, dokter gigi maupun
dokter gigi spesialis tersebut setidaknya harus sudah harus berpraktik minimal 5
tahun berturut-turut di negara asalnya serta mematuhi proses pendidikan
berkelanjutan (Continuing Professional Development) yang berlaku di negara
tersebut. Selain itu, dokter gigi tersebut juga harus dinyatakan oleh PDRA dari negara
asalnya bebas dari segala bentuk pelanggaran profesional atau pelanggaran etika,
baik di tingkat lokal maupun internasional, yang berkaitan dengan praktik dokter gigi
di negara asalnya dan di negara lain (dalam batas pengetahuan PDRA di negara
tersebut). Ia juga tidak boleh sedang tersangkut masalah hukum di negara asalnya
maupun di negara lain.94
Syarat penting lain yang menunjukkan pentingnya PDRA di negara yang
menjadi tempat tujuan dokter gigi tersebut berpraktik (host country) adalah bahwa
untuk berpraktik di suatu negara, ia harus memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh PDRA (dan lembaga terkait lainnya) di negara tersebut. Dengan demikian, di
Indonesia, KKI adalah lembaga yang berwenang untuk memberikan sertifikasi
terhadap dokter gigi asing.
Menindaklanjuti MRA-DP (dan MRA-MP) ini, pada tahun 2009 KKI
menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 157/KKI/PER/XII/2009
tentang Tata Cara Registrasi Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara ASEAN yang Akan
Melakukan Praktik Kedokteran di Indonesia. Melalui peraturan ini, KKI memperjelas
tata cara memperoleh Surat Tanda Registrasi Dokter Gigi yang menandakan bahwa ia
telah memiliki kualifikasi untuk melakukan praktik dokter gigi di Indonesia.
Peraturan ini juga mengharuskan adanya surat rekomendasi dari PDGI cabang
setempat di lokasi yang akan dijadikan tempatnya berpraktik. Selain itu, peraturan
ini juga mensyaratkan adanya program Adaptasi, yang dijelaskan sebagai kegiatan
pembelajaran dan pengajaran bagi dokter dan dokter gigi Warga Negara Indonesia
atau Warga Negara Asing lulusan luar negeri untuk penyesuaian kompetensi yang
diperoleh selama mengikuti pendidikan dan sikap serta perilaku yang sesuai sosiobudaya-kultural masyarakat, terkait dengan kondisi dan masalah kesehatan, agar
dapat melakukan praktik kedokteran di Indonesia.95
VII.2. Gambaran Umum Sektor Kedokteran Gigi
Dari segi besaran ekonomi, sektor kedokteran gigi mungkin tidak besar jika
dibandingkan dengan sektor yang lain seperti pariwisata atau konstruksi. Pada tahun
ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel 3.
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 157/KKI/PER/XII/2009 tentang Tata Cara Registrasi Dokter dan
Dokter Gigi Warga Negara ASEAN yang Akan Melakukan Praktik Kedokteran di Indonesia.
94
95
62 | A S C F I S I P U I
2011, diperkirakan bahwa total expenditure on health per kapita Indonesia ada pada
angka 127 USD. Dengan demikian, sumbangsih sektor kesehatan ini secara
keseluruhan merupakan 2,7 persen dari total GDP.96 Tentu saja, sektor kedokteran
gigi lebih kecil dari angka tersebut. Namun, implementasi Jaminan Kesehatan
Nasional pada tahun 2014 nanti diperkirakan akan meningkatkan sumbangsih sektor
kesehatan ini. Program JKN tersebut saja diperkirakan akan membutuhkan anggaran
hingga 40 triliun rupiah.
Meskipun demikian, nilai vital kedokteran gigi tidak dapat dilihat hanya
dengan menilik besaran ekonominya saja. Baik MRA-DP maupun peraturan KKI yang
dikeluarkan untuk menindaklanjutinya memberikan penekanan pada kondisi sosiobudaya-kultural masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan (gigi) adalah
sebuah hal yang penting sekaligus kompleks sehingga berkaitan dengan banyak
aspek. Narasumber dari PDGI menyampaikan kritiknya pada pemerintah, terutama
Kementerian Perdagangan, yang mereduksi kesehatan (gigi) sebagai komoditas.97
Kiprah dokter gigi tentu saja sangat berkaitan dengan aspek lain di
masyarakat, karena kesehatan adalah salah satu elemen penting di dalam
pembangunan manusia (human development). Tidak hanya itu, sektor kesehatan juga
akan berdampak pada pembangunan ekonomi dan sosial. Berkaitan dengan hal
tersebut, sektor ini seharusnya dilihat dengan mempertimbangkan kebutuhan
nasional akan tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah dokter gigi.
Salah satu indikator penting yang dapat kita lihat untuk mendapatkan
gambaran mengenai sektor jasa kedokteran gigi di Indonesia adalah dengan melihat
proyeksi kebutuhan dokter gigi berdasarkan target Usia Harapan Hidup yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Data tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel VII.1. Kebutuhan Dokter Gigi Berdasarkan Rasio Tenaga Kesehatan
Terhadap Target UHH di Indonesia Tahun 2014, 2019, dan 2025
Tahun 2014
Jenis
Tenaga
Dokter
Gigi
Rasio per
100.000
penduduk
11,00
Tahun 2019
Jumlah
Rasio per
100.000
penduduk
26.998
11,00
Tahun 2025
Jumlah
Rasio per
100.000
penduduk
Jumlah
28.489
11,00
30.102
Catatan: Target UHH tahun 2014: 72 tahun; Target UHH tahun 2019: 73,1 tahun; Target UHH tahun 2025: 73,7 tahun
Sumber: Diolah dari data Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMK, Badan PPSDMK, Kemenkes.
96
97
63 | A S C F I S I P U I
World Health Organization, World Health Statistics 2013, (Jenewa: WHO, 2013), halaman 118-129.
Research and Development Team, Health Professional Education Quality, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2011), halaman 2.
98
99
64 | A S C F I S I P U I
2014
Kebutuhan
978
Kebutuhan
2025
Kekurangan
Kebutuhan
Kekurangan
600
1.785
929
2.524
1,007
700
140
800
90
26
26
39
39
50
13
9.005
2019
Kekurangan
13
3.479
8.558
679
8.111
837
Catatan: Kebutuhan merupakan perhitungan dengan menggunakan standar ketenagaan pada fasilitas
kesehatan.
Sumber: Kementerian Kesehatan, Pusdokkes Polri, 2010, Kesehatan Kemhan dan TNI, 2010. Data
diperoleh dan diolah dari FGD tanggal 26 Oktober 2013
Dari data tersebut, kita melihat bahwa kebutuhan dokter gigi akan terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan target Usia Harapan
Hidup yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, diperkirakan akan ada
kekurangan dokter gigi di masa yang akan datang jika tidak ada langkah-langkah
antisipasi yang dilakukan.
Catatan penting lain harus diberikan terkait dengan kuantitas dari dokter gigi
di Indonesia ini adalah distribusinya. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan
adanya kesenjangan yang cukup tinggi di antara daerah-daerah di Indonesia. Daerahdaerah di wilayah Indonesia Timur cenderung memiliki jumlah dokter gigi yang
sedikit jika dibandingkan dengan wilayah yang lain.
65 | A S C F I S I P U I
2005
2012
Jumlah Dokter Gigi Jumlah Dokter Gigi
46
188
ACEH
345
1.119
SUMATERA UTARA
111
322
SUMATERA BARAT
102
348
RIAU
47
138
JAMBI
90
53
SUMATERA SELATAN
42
80
BENGKULU
119
209
LAMPUNG
29
52
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
42
135
KEPULAUAN RIAU
DKI JAKARTA
349
725
JAWA BARAT
557
946
530
976
JAWA TENGAH
148
443
D I YOGYAKARTA
694
1.582
JAWA TIMUR
152
297
BANTEN
100
370
BALI
57
115
NUSA TENGGARA BARAT
32
176
NUSA TENGGARA TIMUR
86
199
KALIMANTAN BARAT
59
90
KALIMANTAN TENGAH
64
167
KALIMANTAN SELATAN
141
269
KALIMANTAN TIMUR
29
61
SULAWESI UTARA
47
59
SULAWESI TENGAH
31
297
SULAWESI SELATAN
180
64
SULAWESI TENGGARA
12
39
GORONTALO
15
62
SULAWESI BARAT
15
97
MALUKU
14
36
MALUKU UTARA
4
28
IRIAN JAYA BARAT
7
32
PAPUA
Sumber: Bank Data Kementerian Kesehatan, 2013100
Dalam aspek kualitas sumber daya manusia, penting untuk diingat ASEAN
memiliki tingkat pembangunan yang berbeda-beda, sehingga ada beberapa
perbedaan di dalam standar praktik dokter gigi (misalnya berkaitan dengan prosedur
apa saja yang harus diambil jika pasien mengeluhkan gejala-gejala tertentu). Dengan
demikian, MRA memberikan ruang bagi PDRA di masing-masing negara untuk
menetapkan standar kualifikasi di masing masing negara.
100
66 | A S C F I S I P U I
TENAGA KESEHATAN
Perawat
Dokter Spesialis
Dokter Umum
Dokter Gigi
Bidan
Keteknisian Medis
Radiografer
SKM
2014
9.280
800
1.440
400
40
400
400
200
2019
13.100
1.000
1.800
500
50
500
500
250
2025
16.920
1.200
2.160
600
60
600
600
300
67 | A S C F I S I P U I
proses liberalisasi sektor jasa di ASEAN. PDGI yang mewakili para dokter gigi
Indonesia merasa bahwa Kementerian Perdagangan harus melibatkan para dokter
gigi dalam penyusunan kesepakatan-kesepakatan liberalisasi. Menurutnya, hal ini
penting karena kesehatan tidak boleh dilihat hanya sebagai komoditas
perdagangan.104
VII.5. Infrastruktur
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari dokter gigi, pendidikan
adalah salah satu infrastruktur yang paling penting. Secara nasional, hingga tahun
2011 tercatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa ada 25 program
studi S1 Pendidikan Dokter Gigi di Indonesia. Lebih dari separuh, yaitu 15, berada di
pulau Jawa. Program S1 Pendidikan Dokter Gigi juga ada cukup banyak di Sumatera
dengan 6 program. Hal ini konsisten dengan jumlah program Profesi Dokter Gigi yang
juga terpusat di Jawa. Lebih dari separuh Program Profesi Dokter Gigi di Indonesia,
yaitu 8 program, berada di Pulau Jawa.
Tabel VII.6. Jumlah Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan
Tahun Akademik 2008/2009105
Dengan gambaran program studi kedokteran gigi yang demikian itu, jumlah
mahasiswa pendidikan kedokteran gigi pun terkonsentrasi di Pulau Jawa.
68 | A S C F I S I P U I
Tabel VII.7. Jumlah Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan
Tahun Akademik 2008/2009106
Research and Development Team, Health Professional Education Quality, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi.
106
69 | A S C F I S I P U I
yang terkait, seperti KKI dengan Kementerian Kesehatan dan dengan asosiasi
profesional yaitu PDGI juga berjalan dengan cukup baik.
Berdasarkan gambaran tersebut, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang
dapat dijalankan untuk meningkatkan daya saing dari dokter gigi Indonesia:
1. Memperkuat koordinasi antara PDGI, Kementerian Kesehatan, dan KKI
dengan Kementerian Perdagangan melalui pelibatan perwakilan dari
dokter gigi di dalam proses-proses yang berkaitan dengan liberalisasi
sektor jasa ASEAN.
2. Meningkatkan kualitas dan jumlah lembaga pendidikan tinggi yang
menyediakan
program
pendidikan
kedokteran
gigi
dengan
mempertimbangkan distribusi wilayah.
3. Menegaskan bahwa sektor kesehatan, termasuk kesehatan gigi, bukanlah
semata-mata bersifat ekonomi. Ia harus dipandang sebagai sesuatu yang
penting bagi pembangunan manusia sehingga harus ada perhatian khusus
untuk menjamin bahwa liberalisasi tidak akan memberikan dampak
negatif pada masyarakat.
70 | A S C F I S I P U I
VIII
Tenaga Profesional Pariwisata (Tourism Professionals)
107
108
71 | A S C F I S I P U I
Jika kita perhatikan, MRA-TP dapat dilihat sebagai kelanjutan yang lebih
konkret, dengan penyesuaian, dari apa yang termaktub di dalam ATA tersebut.
Sebagai contoh, MRA-TP mengatur bahwa jika seorang tenaga profesional pariwisata
asing (foreign tourism professional) ingin diakui oleh negara ASEAN yang lain selain
negara asalnya serta dapat bekerja di negara tersebut, orang tersebut harus memiliki
sertifikat kompetensi yang sah dalam satu bidang pekerjaan yang khusus
sebagaimana yang dijelaskan dalam Common ASEAN Tourism Curriculum (CATC).
Sertifikat ini dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi Tenaga Profesional Pariwisata
(Tourism Professional Certification Board, TPCB) yang berwenang di masing-masing
negara ASEAN.109 Kesepakatan ini tentu senada dengan artikel VIII dari ATA tahun
2002, seperti dalam hal mendorong mobilitas tenaga profesional pariwisata di
negara-negara ASEAN serta kesepakatan tentang sertifikasi serta adanya kurikulum
bersama. Sedikit penyesuaian dalam MRA ini adalah bahwa MRA ini disepakati secara
bersama-sama oleh negara-negara ASEAN dan tidak hanya bersifat bilateral.
Di dalam MRA-TP, ada enam mekanisme atau komponen yang dibangun untuk
mendorong terciptanya mobilitas tenaga kerja terampil di dalam bidang pariwisata.
Keenam komponen tersebut adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
72 | A S C F I S I P U I
Monitoring Committee (ATPMC) di level ASEAN.110 ATPMC dibentuk pada tahun 2010
di Lombok, Indonesia. Anggota dari ATPMC ini adalah perwakilan dari Organisasi
Pariwisata Nasional dan NTPB dari masing-masing negara ASEAN.111
Kompleksitas dari sistem yang dibangun di dalam MRA-TP ini merupakan
tantangan tersendiri karena dengan demikian ada banyak hal yang harus disiapkan
oleh negara-negara ASEAN untuk mengimplementasikan MRA-TP ini (belum
termasuk menyiapkan tenaga profesional negaranya sendiri untuk meningkatkan
daya saing negaranya). Untuk itu, senada juga dengan ATA, upaya
mengimplementasikan MRA-TP ini juga melibatkan banyak pihak lain, seperti
ASEAN-Australia Development Cooperation Program (AADCP).112
ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, halaman 1-2.
ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, halaman 6-7.
112 Daftar inisiatif yang didanai oleh AADCP dapat dilihat di ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition
Arrangement on Tourism Handbook, halaman 56.
113 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, (Bangkok: World
Economic Forum, 2012), halaman vii.
114 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman 1.
115 ASEAN Secretariat, ASEAN Statistical Yearbook 2012, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2013).
116 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman 1.
117 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman 1.
110
111
73 | A S C F I S I P U I
jumlahnya meningkat menjadi empat kali lipat.118 Tahun 2008, jumlah wisatawan
internasional mencapai 65 juta. Dengan demikian, ada pertumbuhan sebesar 16 juta
wisatawan internasional dalam kurun empat tahun.119
Total
242,1
2.881,9
7.649,7
2.723,6
24.714,3
816,4
3.917,5
13.171,3
19.098,3
6.014,0
81.229,
0
74 | A S C F I S I P U I
ASEAN yang lain seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia. Dengan kekayaan potensi
wisata Indonesia yang melimpah, tentu saja hal ini menunjukkan adanya masalah dan
tantangan di dalam pengembangan sektor pariwisata kita.
Apa yang membentuk angka-angka kunjungan wisatawan internasional/asing
tersebut? Mengapa Indonesia dengan potensi wisata yang luar biasa dapat tertinggal
dari Malaysia atau Thailand dan bahkan Singapura yang kecil dari segi wilayahnya?
Hal ini berkaitan dengan daya saing sektor pariwisata.
World Economic Forum menerbitkan sebuah laporan yang mengukur daya
saing sektor Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel) dari 140 ekonomi di
seluruh dunia. Dalam pemeringkatan tersebut, Indonesia menduduki peringkat 70.
Peringkat ini berada di bawah Singapura (10), Malaysia (34) dan Thailand (43). 120
Dengan demikian, peringkat indeks daya saing ini konsisten dengan jumlah
kunjungan wisatawan asing ke masing-masing negara ASEAN.
Tabel VIII.2. Peringkat Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan
(Tourism and Travel Competitiveness Index), 2011 dan 2013
Negara
2013
2011
Singapura
10
10
Malaysia
34
35
Thailand
43
41
Indonesia
70
74
Brunei Darussalam
72
67
Vietnam
80
80
Filipina
82
94
Kamboja
106
109
Laos
Tidak masuk
Tidak masuk
Myanmar
Tidak masuk
Tidak masuk
Sumber: The Tourism & Travel Competitiveness Report 2013
75 | A S C F I S I P U I
penelitian ini dengan alasan konformitas dengan pembahasan yang lain. Pada saat
yang bersamaan, penilaian dalam Indeks tersebut tidak dijadikan sebagai penilaian
peringkat semata, namun lebih sebagai panduan untuk memahami kondisi dan
permasalahan di aspek tersebut.
VIII.3 Sumber Daya Manusia
Karakter unik dari sektor jasa pariwisata ini membuat sektor jasa ini relatif
lebih terbuka bagi masyarakat dari berbagai kalangan. Meskipun ada lembaga
pendidikan resmi yang memberikan pendidikan dalam berbagai bidang keahlian
pariwisata, para pelaku pariwisata relatif lebih terbuka dengan orang yang tidak
memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang tersebut. Pengalaman dan
keahlian praktis seringkali dilihat lebih penting.121
Hal ini membuat sulit sekali untuk mengukur dan membandingkan kondisi
sumber daya manusia dalam sektor jasa pariwisata ini. Dalam salah satu pilar yang
digunakan untuk mengukur Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and
Travel Competitiveness), para peneliti dari WEF mencoba mengukur sumber daya
manusia dengan melihat dua aspek, yaitu pendidikan dan pelatihan (untuk mengukur
kualitas) serta ketersediaan pekerja yang layak (the availability of qualified labour,
kuantitas).
Berdasarkan data dari WEF tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke 51
dalam aspek sumber daya manusia di sektor pariwisata. Indonesia tertinggal cukup
jauh dari Singapura yang menduduki peringkat 2. Indonesia berada dalam satu
rentang yang mengumpulkan Malaysia (peringkat ke 37) dan Brunei Darussalam
(peringkat 47). Indonesia, dalam aspek ini, lebih baik dari Thailand yang berada di
peringkat ke 74.122
Tabel VIII.3. Peringkat dalam Pilar Sumber Daya Manusia, Indeks Daya Saing
Pariwisata dan Perjalanan, 2011
Negara
Singapura
Malaysia
Brunei Darussalam
Indonesia
Vietnam
Thailand
Filipina
Kamboja
Laos
Myanmar
2011
2
37
47
51
72
74
86
109
Tidak masuk
Tidak masuk
121
122
FGD tanggal 26 Oktober 2013 dengan narasumber dari APPSI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Seluruh Indonesia).
World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman 19.
76 | A S C F I S I P U I
77 | A S C F I S I P U I
126
127
78 | A S C F I S I P U I
VIII.5. Infrastruktur
Dalam FGD yang dilaksanakan untuk penelitian ini, narasumber kami
menyebutkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi para pelaku jasa pariwisata di
Indonesia adalah infrastruktur yang kurang baik. Indonesia memiliki banyak tujuan
wisata yang menarik, namun sulit dijangkau wisatawan karena infrastruktur yang
tidak memadai. Hal inilah yang membuat Singapura yang sebenarnya tujuan
wisatanya terbatas melampaui Indonesia dalam jumlah kunjungan wisatawan asing
setiap tahunnya (tahun 2011, Indonesia mencatat kunjungan 7 juta wisatawan asing
sementara Singapura mencatat 13 juta wisatawan asing).128
Hal ini diiyakan dengan jelas oleh data-data yang terkait. The ASEAN Tourism
and Travel Competitiveness Report mencatat bahwa mayoritas negara ASEAN
memang memiliki permasalahan besar dalam hal ini.
Untuk mengukur peringkat daya saing pariwisata dan perjalanan, WEF
menggunakan pilar tourism infrastructure yang melihat infrastruktur yang spesifik
berkaitan dengan pariwisata, seperti jumlah hotel dibandingkan populasi, jumlah
penyewaan mobil besar nasional, serta jumlah mesin ATM dalam setiap satu juta
penduduk. Dalam pilar ini, Indonesia menduduki peringkat yang tidak terlalu bagus
karena hanya berada di peringkat 116 dari 140 negara. Dibandingkan negara-negara
ASEAN yang lain yang masuk dalam penelitian WEF tersebut (berarti kecuali
Myanmar dan Laos), Indonesia hanya unggul dari Kamboja yang berada di peringkat
131.
Berikut ini adalah tabel lengkap peringkat negara-negara ASEAN dalam pilar
infrastruktur pariwisata:
Tabel VIII.4. Peringkat dalam Pilar Infrastruktur Pariwisata, Indeks Daya
Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011
Negara
Singapura
Thailand
Malaysia
Brunei Darussalam
Filipina
Vietnam
Indonesia
Kamboja
Laos
Myanmar
2011
33
40
74
91
98
110
116
131
Tidak masuk
Tidak masuk
79 | A S C F I S I P U I
karena kondisi masing-masing negara yang berbeda. Sebagai contoh, indeks ini
menggunakan ukuran jumlah hotel dibandingkan penduduk dan jumlah penyedia
jasa penyewaan mobil besar di tingkat nasional. Dengan bentang alam Indonesia
yang luas dan beragam serta terdiri dari pulau-pulau ini, wajar jika Indonesia
memiliki peringkat yang rendah di dalam pilar ini.
Namun, gambar yang jelas bahwa infrastruktur adalah masalah di dalam
pariwisata adalah bahwa infrastruktur transportasi darat Indonesia masih jauh
tertinggal. Dalam peringkat kualitas transportasi darat, TTCI menempatkan
Indonesia di peringkat 82. Di antara negara-negara ASEAN yang masuk dalam indeks
tersebut, Indonesia hanya berada di atas Kamboja (peringkat 103) dan Filipina
(peringkat 114).
2011
2
36
49
56
77
82
103
114
Tidak masuk
Tidak masuk
wisatawan ke Indonesia yang masih tertinggal dari negara-negara ASEAN yang lain.
Sebagai negara dengan luas wilayah terbesar dan jumlah penduduk terbesar di
ASEAN, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia hanya di bawah 10%
(7,6 juta dari 81 juta) dari total wisatawan asing yang berkunjung ke seluruh negara
ASEAN.
Dari segi kualitas sumber daya manusia, secara praktis tenaga profesional
pariwisata di Indonesia mampu bersaing dengan tenaga profesional pariwisata dari
negara ASEAN yang lain. Meskipun demikian, ada beberapa masalah yang harus
diperhatikan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu masalah penting dalam
menghadapi liberalisasi jasa ASEAN adalah terbatasnya jumlah tenaga professional
pariwisata yang memiliki sertifikasi resmi. Selain mempersulit pendataan mengenai
jumlah tenaga kerja di sektor tersebut, hal ini juga menunjukkan bahwa para pelaku
industri pariwisata Indonesia masih belum terlalu memperhatikan hal-hal yang
bersifat administratif yang akan berkaitan dengan kemampuan kita mengoptimalkan
MRA-TP.
Dari segi tata kelola/regulasi, Indonesia juga masih belum optimal. Yang
pertama berkaitan dengan masih belum terintegrasinya pengelolaan di level nasional
dan daerah. Karena pariwisata yang disediakan untuk wisatawan internasional
seringkali dilakukan secara lintas daerah, sementara basis perizinan ada di tangan
masing-masing pemerintah daerah (secara teknis dilaksanakan oleh pemerintah
tingkat dua, yaitu kabupaten dan walikota), muncul kerumitan bagi para profesional
pariwisata. Karena kerumitan ini, para pelaku pariwisata seringkali tidak mengikuti
peraturan perizinan tersebut secara ketat. Hal ini sekaligus menunjukkan karakter
khas dari sektor jasa pariwisata ini sebagai sebuah bidang yang cenderung terbuka
sehingga peraturan atau hal-hal administratif seperti sertifikasi seringkali tidak
dianggap terlalu penting.
Dari aspek infrastruktur, Indonesia juga masih tertinggal, bahkan cukup jauh,
dari beberapa negara ASEAN yang lain. Penting untuk mengingat bahwa MRA-TP
berkaitan dengan Moda 4 dalam sektor jasa pariwisata ini, yaitu mendorong
mobilitas tenaga kerja terampil dalam bidang pariwisata. Artinya, para profesional
pariwisata Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan daya saing mereka jika
mereka mampu memanfaatkan infrastruktur pariwisata dan pendukung pariwisata
di negara lain dengan baik.
Berdasarkan gambaran tersebut, ada beberapa rekomendasi yang dapat
diajukan untuk meningkatkan daya saing tenaga profesional pariwisata di Indonesia:
1. Harmonisasi tata kelola kepariwisataan di Indonesia, misalnya dengan
membentuk layanan satu pintu untuk lisensi/perizinan di level nasional
dengan melibatkan pemerintah daerah.
2. Para profesional pariwisata Indonesia sebenarnya berpeluang
meningkatkan daya saing mereka jika mereka mampu memanfaatkan
infrastruktur pariwisata dan pendukung pariwisata di negara lain dengan
baik, seperti misalnya membuka bisnis pariwisata di Singapura atau
Malaysia yang peringkatnya lebih baik, lalu diintegrasikan dengan
pariwisata Indonesia (misalnya: Paket Wisata ASEAN). Untuk itu, perlu
81 | A S C F I S I P U I
82 | A S C F I S I P U I
IX
Surveying Qualifications
IX.1. ASEAN MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications
Sebagai salah satu sektor yang masuk di dalam pasar jasa ASEAN, MRA
Framework dalam bidang surveying qualifications ditandatangani di Singapura, pada
tanggal 19 November 2007 oleh kesepuluh perwakilan negara-negara ASEAN. Pada
saat itu, dokumen MRA ASEAN dalam bidang surveying ini perwakilan Indonesia
ditandatangani oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Seperti halnya
MRA di bidang-bidang lainnya, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications
juga mengandung gambaran dan aturan umum mengenai pengaturan bidang
surveying di ASEAN.
Di dalam kerangka kerja MRA bidang surveying qualifications, ada beberapa
pendefinisian mengenai bidang surveying qualifications. Pertama, yang disebut
dengan surveyor adalah warga negara dari negara anggota ASEAN yang telah
menyelesaikan pendidikan sarjana pada universitas atau perguruan tinggi pada
program surveying yang telah diakui oleh otoritas kompetensi. Kedua, surveying
professional merujuk kepada surveyor yang memiliki pengalaman atau keahlian
teknis yang sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh otoritas kompetensi.
Sementara, yang disebut dengan surveying services adalah satu atau lebih dari satu
aktivitas yang terjadi di atas atau di bawah permukaan tanah atau laut dan dikelola
oleh asosiasi dengan pekerja profesional seperti yang didefinisikan dalam
International Federation of Surveyors (FIG), yang dijelaskan di dalam Appendix II di
dalam MRA tersebut.129 Di dalam Appendix II MRA Framework for the Mutual
Recognition of Surveying Qualifications disebutkan definisi FIG tentang fungsi dari
surveyor.130 Menurut FIG, yang disebut dengan surveyor adalah a professional
person with the academic qualifications and technical expertise to conduct one, or
more, of the following activities:
to determine, measure and represent land, three-dimensional objects, pointfields and trajectories;
to assemble and interpret land and geographically related information,
to use that information for the planning and efficient administration of the land,
the sea and any structures thereon; and,
to conduct research into the above practices and to develop them
Di dalam Article III di MRA tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi
aturan umum mengenai pengakuan sektor survei di negara-negara ASEAN. Pertama
adalah masalah pendidikan. Dalam hal pendidikan, seorang calon surveyor harus bisa
memenuhi kompetensi pendidikan yang disyaratkan di negara asalnya (home
country) sesuai dengan aturan dan kualifikasi yang ada di negara asalnya. Sementara,
jika ia ingin mendapatkan pengakuan di negara lain, calon surveyor ini harus
memenuhi standar yang diberikan oleh negara tujuan (host country) di mana ia ingin
memperoleh pengakuan. Kedua, masalah examinations. Negara-negara ASEAN
129
ASEAN Framework Arrangement MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, Article 2.9-2.11
Di dalam ulasan berikutnya penggunaan istilah surveying bersifat interchangeable dengan pemetaan,
survei.
130
83 | A S C F I S I P U I
mengakui bahwa bisa jadi ada persyaratan bagi para calon surveyor untuk memenuhi
ujian yang ditujukan untuk memastikan bahwa aplikan mempunyai pengetahuan
yang memadai atas praktik, standar, dan peraturan lokal dan nasional di host country.
Namun jika calon surveyor profesional sudah memperoleh pengakuan nasional di
home country, maka ia bisa saja tidak perlu mengikuti seluruh ujian yang disyaratkan
di host country, sepanjang persyaratan pendidikan dan persyaratan profesional
lainnya telah terpenuhi.131 Aturan umum yang ketiga adalah masalah pengalaman
(experience), di mana aplikan harus memenuhi standar minimum durasi pengalaman
teknis profesional dalam hal surveying setelah lulus sarjana. Jumlah dan jenis
pengalaman yang disyaratkan harus sesuai dengan yang diminta oleh host country,
jika belum terpenuhi, aplikan bisa melengkapinya di negara tujuan. Aturan
pengakuan keempat adalah proses pengakuan (recognition process) yang
mensyaratkan bahwa seluruh negara ASEAN harus memastikan bahwa semua
standar yang diadopsi terkait pengakuan, regsitrasi atau lisensi atas surveying
professional dari negara ASEAN lainnya harus berdasarkan kompetensi dan bisa
diakses dengan mudah. Negara-negara ASEAN setuju bahwa perihal registrasi
dan/atau lisensi dari surveying professional pada yurisdiksinya disesuaikan dengan
hukum dan peraturan domestik, kebijakan, standard an kebutuhan nasional.132
Dengan kata lain, peraturan domestik masih dijadikan sebagai pertimbangan untuk
menerapkan standar regional di kalangan negara-negara ASEAN.
Meskipun di dalam kerangka kerja MRA dalam bidang surveying ini diatur
mengenai hak negara untuk mengatur bagaimana bidang surveying diatur di dalam
negeri, di dalam Article IV dijelaskan bahwa pengaturan lokal tersebut harus
disesuaikan dengan tujuan dari perjanjian kerangka kerja tanpa menciptakan
hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary barriers) bagi pengakuan
surveying professional yang akan masuk ke suatu negara.
Satu hal yang menarik untuk dilihat adalah dibandingkan dengan sub sektor
jasa lain yang sudah diatur dalam masing-masing MRA, sektor surveying ini di
seluruh negara ASEAN dipegang oleh instansi pemerintah, sementara di sektor MRA
lainnya didelegasikan kepada asosiasi profesi dengan koordinasi dengan instansi
pemerintah terkait. Salah satu alasan mengapa demikian adalah karena bidang survei
pemetaan berhubungan langsung dengan kekuasaan geografis suatu negara dengan
kata lain berkaitan pula dengan kedaulatan negara dalam hal geografi. Oleh sebab itu,
dalam Appendix I di dalam kerangka kerja MRA surveying tersebut, competent
authority dari setiap negara dipegang oleh instansi pemerintah di bawah
kementerian. Di Indonesia sendiri, otoritas yang merupakan representasi Indonesia
dalam MRA framework bidang surveying didelegasikan kepada Badan Informasi
Geospasial (atau sebelumnya dikenal dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional). Selain itu, tidak semua informasi geospasial yang dimiliki oleh badan
informasi bidang geospasial tersebut bisa dipublikasikan. Banyak jenis data yang
memang tidak bisa dibagi secara luas dan hanya untuk kepentingan negara saja.133
Hal ini bisa jadi mencakup pemetaan potensi sumber daya alam yang ada di suatu
negara dan jika informasi mengenai hal ini bisa diakses dengan mudah akan dapat
131
ASEAN Framework Arrangement for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, Article 3.2 (b)
84 | A S C F I S I P U I
dimanfaatkan oleh pihak investor asing untuk melakukan eksplorasi sumber daya di
negara tersebut yang mana pengelolaan sumber daya seharusnya berada penuh di
tangan negara.
85 | A S C F I S I P U I
geospasial sesuai dengan kualifikasi dan level kompetensi profesi survei. Semua
fungsi tersebut dimaksudkan untuk menjaga kualitas SDM dalam rangka menjamin
kualitas data/informasi spasial yang dihasilkan.
Dalam bidang IG, SKKNI dikelompokkan ke dalam 6 sub bidang:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Survei Terestris
Hidrografi
Fotogrametri
Penginderaan jauh
Kartografi
Sistem informasi geografis
SUB-BIDANG
JUMLAH UK
Surveying
14
Hidrografi
33
Fotogrametri
16
Pengindraan Jauh
21
SIG
13
Kartografi
JUMLAH
102
86 | A S C F I S I P U I
Kualifikas
i
Pelatihan /
Pengalaman
IX
Ahli 3
Pend.
Spesialis
VIII
Ahli 2
S2
Pend.
Terapan
VII
Ahli 1
S1
D4
VI
Teknisi / Analis 3
D3
Teknisi / Analis 2
D2
IV
Teknisi / Analis 1
D1
III
Operator 3
SM
II
Operator 2
SD
Operator 1
Akademik
Vokasi
S3
87 | A S C F I S I P U I
data primer mengenai jumlah tenaga ahli maupun terampil dalam bidang survei
tersedia, maka akan lebih bisa dipetakan kompetensinya berdasar standar
kompetensi yang ada. Kedua, dari sumber daya manusia yang mempunyai
kompetensi yang baik seperti dijelaskan sebelumnya, kualitas produk pemetaan di
Indonesia pun juga dinilai sebagai salah satu yang terbaiik di dunia. Sebagai contoh,
pemetaan daerah pesisir dan garis pantai di Indonesia merupakan pemetaan pesisir
terbaik di dunia.138
Akan tetapi, terdapat beberapa permasalahan yang muncul di dalam sektor
surveying di Indonesia yang cukup krusial. Permasalahan-permasalahan tersebut
mencakup ketiadaan asosiasi pekerja survei hingga regulasi pemerintah.
Pertama, ketiadaan data primer yang memuat jumlah tenaga terampil atau
ahli di Indonesia mengenai survei, yang meliputi: kebutuhan tiap tahun atas tenaga
survei apakah kita kekurangan atau memiliki tenaga yang cukup, jumlah lulusan
dari perguruan tinggi yang bergerak di bidang survei seperti dari bidang geografi,
geologi, kebumian, dan ilmu terkait lainnya.
Kedua, ketidakjelasan mengenai asosiasi profesi surveyor Indonesia. Di awal
paparan mengenai sektor surveying dijelaskan bahwa di Indonesia belum ada
asosiasi bagi profesi surveyor dalam pemetaan. Jika dilihat dari situs FIG, untuk profil
negara Indonesia, referensi yang diambil merujuk kepada Badan Pertanahan
Nasional, Bakosurtanal (BIG), Kementerian Komunikasi dan Informasi, Institut
Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Sementara, ternyata ada Ikatan
Surveyor Indonesia (ISI) yang didirikan semasa Orde Baru yang bergerak dalam
bidang survei dan pemetaan. Namun ternyata tidak ada keterkaitan antara BIG, BPN,
dengan ISI, khususnya dalam hal koordinasi mengenai profesi survei dan pemetaan.
Jika dilihat dari kebijakan pemerintah, terutama dalam hal penyelenggaraan
profesi di bidang pemetaan, cukup disayangkan bahwa penyerapan lulusan dari
sarjana ilmu-ilmu terkait survei di Indonesia tidak tinggi. Hal ini menyebabkan
sedikitnya peluang bagi sarjana dari ilmu-ilmu terkait untuk mengembangkan
dirinya sesuai dengan pendidikan dan keahlian yang diperoleh ketika mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi. Salah satu akibatnya adalah banyak sarjana geografi,
semisal, yang justru bekerja di sektor non-pemetaan karena penyerapan tenaga di
bidang pemetaan tidak sebanyak tenaga ahli yang tersedia.
Adanya tumpang tindih peraturan juga menjadi salah satu kendala dalam hal
koordinasi. Dalam hal survei dan pemetaan, Badan Pertanahan Nasional juga
merupakan salah satu otoritas pemerintah yang memiliki kewenangan, khususnya
dalam mengeluarkan lisensi untuk surveyor. Hal ini menjadi rancu ketika di dalam
MRA bidang surveying, pihak yang menjadi delegasi Indonesia adalah Badan
Informasi Geospasial, namun BIG justru tidak mengeluarkan lisensi atas surveyor.
Infrastruktur yang kurang memadai juga menjadi permasalahan dalam
pengembangan kualitas profesi survei di Indonesia. Hal ini merupakan satu masalah
besar sebab dengan bentang Indonesia yang sangat luas, memang diperlukan
anggaran yang besar untuk memenuhi tingkat kebutuhan infrastruktur dan teknologi
dalam pemetaan. Semisal, dalam hal pemetaan perbatasan wilayah Indonesia,
problematika kelembagaan perbatasan Indonesia yaitu belum memiliki aturan
Disampaikan ketika forum penjurian sesi presentasi makalah di acara pemilihan mahasiswa berprestasi
nasional di Bandung, Juli 2013 oleh Prof. Widyo Nugroho Sulasdi, Guru Besat Geologi ITB
138
88 | A S C F I S I P U I
baku dan grand design, serta model pengelolaan yang dikembangkan masih
parsial. Persoalan yang muncul, komite-komite perbatasan diketuai oleh instansi
berbeda, hubungan pemerintah-daerah belum memiliki mekanisme jelas, tidak
adanya kontrol dan monitoring, serta lemahnya hubungan koordinatif.139
IX.4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Sektor survei dan pemetaan merupakan bidang yang sangat vital bagi
kedaulatan negara dan oleh sebab itu MRA Framework dalam bidang survei dan
pemetaan ini menempatkan instansi pemerintah, badan nasional, atau kementerian
terkait sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk berkoordinasi secara regional
dalam konteks ASEAN. Mengingat vitalnya sektor surveying, penting bagi Indonesia
untuk memanfaatkan keunggulan geografis agar mampu menghasilkan tenaga atau
pekerja terampil dalam hal surveying. Jika pemanfaatan keunggulan geografis ini bisa
dilaksanakan, maka tidak mustahil bahwa daya saing atau kekompetitifan Indonesia
dalam hal surveying benar terwujud. Akan tetapi, di dalam sektor pemetaan ini,
justru Indonesia belum mampu memanfaatkan keunggulan yang dimiliki. Hal ini
terbukti dengan masih banyaknya masalah yang ada seperti dijelaskan di bagian
sebelumnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menyarankan beberapa rekomendasi
untuk perbaikan di dalam sektor pemetaan, antara lain:
1. Koordinasi intra-sektor yang harus diperjelas. Seperti yang disebutkan di atas
bahwa ketidakjelasan mengenai asosiasi profesi tenaga survei membuat absennya
wadah bagi profesi surveyor untuk bisa menyatukan kebutuhannya melalui ikatan
profesional. Sekalipun ternyata ISI merupakan asosiasi profesi surveyor, dalam
kaitannya dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN, ISI harus bekerja sama dengan
BIG selaku badan nasional yang ditunjuk untuk menangani MRA dalam bidang
surveying agar terdapat harmonisasi kebijakan. Harmonisasi kebijakan harusnya
juga dilakukan dengan Badan Pertanahan Nasional sebab badan tersebut yang
mengeluarkan lisensi mengenai surveyor di Indonesia yang resmi dari
pemerintah.
2. Kaitannya dengan penyediaan data mengenai tenaga profesi survei dan pemetaan,
perlunya asosiasi yang jelas berguna untuk mengumpulkan data mengenai
anggota yang ada di dalam asosiasi profesi tersebut. Ketersediaan data mengenai
anggota profesi survei dan pemetaan akan membantu menentukan sejauh mana
jumlah tenaga survei di Indonesia telah mencukupi kebutuhan yang diperlukan,
atau justru masih belum mencukupi. Selain itu, penyediaan data juga penting
untuk melihat kompetensi dan kualifikasi anggota profesi agar mampu bersaing
baik dalam skala nasional, dan khususnya untuk menghadapi liberalisasi dalam
sektor survei dan pemetaan.
3. Dalam hal pemanfaatan sumber daya manusia, penyerapan lulusan perguruan
tinggi atas sederajat dalam bidang kebumian, geografi, geologi, dan sejenisnya
perlu ditingkatkan mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, yang
diartikan membutuhkan ahli dalam bidang survei dan pemetaan dalam skala besar
pula.
Laporan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Pakar Geopolitik Kelautan dan Pesisir, 25 Januari
2011, diakses dari http://www.dpr.go.id/complorgans/commission/commission2/report/K2_laporan_RDPU
_Komisi_II_DPR_RI_dengan_Pakar_Geopolitik,_Kelautan_dan_Pesisir.pdf
139
89 | A S C F I S I P U I
X
Jasa Akuntansi (Accountancy Services)
X.1. Tentang ASEAN MRA Framework on Accountancy Services
Pada tanggal 26 Februari 2009, negara-negara ASEAN menyepakati MRA
Framework untuk sektor jasa akuntansi (accountancy services). Pihak yang mewakili
Indonesia adalah Mari Elka Pangestu yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Perdagangan. Sebagai sebuah MRA Framework, kesepakatan tersebut tidak langsung
mengatur secara detail namun memberikan panduan mengenai prinsip-prinsip besar
dan kerangka kerja sama yang dapat menjadi panduan untuk negosiasi lebih lanjut
tentang MRA di sektor tersebut di antara negara-negara ASEAN.
Di dalam dokumen tersebut, definisi Accountancy Services merujuk pada
kegiatan-kegiatan yang masuk ke dalam klasifikasi Central Product Classification
(CPC) 862 dari Provisional CPC dari Persatuan Bangsa-Bangsa, ditambah dengah
berbagai jasa terkait akuntansi atau jasa-jasa yang bersifat insidental bagi penyedia
Jasa Akuntasi, yang ditentukan oleh kesepakatan di antara atau kesepakatan bersama
negara-negara ASEAN yang menegosiasikan MRA di sektor Jasa Akuntasi (sebagai
tindak lanjut dari MRA Framework yang disepakati tahun 2009 ini).140
Menurut CPC 862, jasa akuntasi, audit dan bookkeeping digolongkan sebagai
bagian dari subsektor A dari Jasa-Jasa Bisnis di dalam Services Sectoral
Classification List (MTN.GNS/W/120). Di dalam Provisisonal CPC, kategori
Accounting, auditing and bookkeeping services" (atau sering disebut dengan CPC
862) tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kategori. Di dalamnya terdapat
Accounting and Auditing Services (CPC 8621) yang meliputi: (1) financial auditing
services (CPC86211, yaitu jasa untuk melakukan penilaian terhadap catatan
pembukuan serta bukti-bukti pendukung organisasi yang lain dengan tujuan untuk
menyampaikan opini tentang apakah pernyataan keuangan dari organisasi tersebut
telah menunjukkan dengan baik posisi keuangan organisasi tersebut pada tanggal
tertentu dan hasil-hasil dari kegiatannya pada periode yang berakhir pada tanggal
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum); (2)
accounting review services (CPC 86212; yaitu jasa untuk melakukan penilaian
terhadap financial statements tahunan atau sementara dan berbagai informasi
pembukuan yang lain, yang cakupannya lebih kecil dibandingkan audit sehingga
tingkat keyakinannya lebih rendah dibandingkan dengan audit), (3) Compilation of
financial statements services (CPC 86213, yaitu jasa menyusun laporan keuangan
berdasarkan informasi yang diberikan oleh klien. Tidak ada jaminan yang diberikan
mengenai akurasi dari laporan tersebut.), dan (4) jasa akuntansi yang lain (CPC
86219). Kategori yang lain adalah jasa pembukuan (bookkeeping services) yang
diberi kode CPC 8622, yaitu jasa mengklasifikasi dan mencatat transaksi bisnis dalam
140
90 | A S C F I S I P U I
nilai uang atau unit penilaian tertentu di dalam buku catatan keuangan (books of
account).141
MRA Framework tersebut juga menggariskan prinsip-prinsip dasar mengenai
dasar-dasar pengakuan profesi di sektor jasa akuntansi. Dalam aspek persyaratan
pendidikan, MRA Framework ini menggariskan bahwa Akuntan Profesional Aktif
(Practicing Professional Accountant) dari sebuah negara anggota ASEAN yang
menginginkan pengakuan untuk dapat bekerja di negara anggota ASEAN yang lain
harus memenuhi syarat-syarat pendidikan akuntan di negara asalnya, yang kemudian
dapat menjadi dasar untuk mengakui bahwa orang tersebut telah memenuhi syaratsyarat pendidikan di negara tempatnya akan bekerja (host country). MRA Framework
ini juga menggariskan bahwa akuntan profesional yang menginginkan pengakuan di
negara ASEAN yang lain juga harus menunjukkan kompetensinya untuk
menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang memadai
tentang peraturan-peraturan domestik dari Host Country yang ditujunya. Selain itu, ia
juga harus memenuhi persyaratan pengalaman yang ditentukan di dalam peraturan
domestik dari Host Country.
Dalam MRA Framework ini kita melihat bahwa peraturan domestik berkaitan
dengan jasa akuntansi akan sangat berpengaruh dalam menentukan jalannya MRA di
sektor jasa akuntansi tersebut. MRA Framework ini mengakui keberagaman
peraturan domestik di dalam jasa akuntasi di masing-masing negara ASEAN dan
tidak hendak memaksakan keseragaman. Bahkan, di dalam pasal 4 dokumen tersebut
disebutkan bahwa:
Any bilateral or multilateral MRAs on Accountancy Services between or among ASEAN
Member States shall not prejudice the rights, powers and authority of each ASEAN
Member State and its NAB and/or PRA and other regulators of the profession to set and
regulate the necessary Domestic Regulations.142
91 | A S C F I S I P U I
Federation of Accountants yang didirikan pada tahun 1977. Sekretariat IAI di Jakarta
bahkan menjadi sekretariat dari federasi akuntan se-ASEAN tersebut.146
92 | A S C F I S I P U I
yang berisi sekitar 530.000 profesional.148 Pada tahun 2012, gabungan pendapatan
dari keempat perusahaan tersebut mencapai 110 Miliar USD. Di Asia, pendapatan
keempat perusahaan tersebut jika digabungkan telah berlipat ganda dari 7 milyar
USD pada tahun 2007 menjadi 18,5 milyar USD pada tahun 2002, dengan
pertumbuhan tahun 2011-2012 mencapai 8%.149 Di Indonesia, keempat perusahaan
Big 4 ini juga mendominasi. Dwi Setiawan Susanto, Dewan Pengurus Nasional Ikatan
Akuntan Indonesia, menyebutkan bahwa keempat perusahaan global ini atau
afiliasinya di Indonesia mendominasi sekitar 70-80% pasar di sektor jasa akuntansi
di Indonesia.150
Berkaitan dengan kondisi tersebut, kalangan akuntan Indonesia yang
tergabung dalam IAI cenderung memandang liberalisasi sektor jasa akuntan di
ASEAN pada tahun 2015 nanti dengan pandangan negatif.151 Menanggapi pandangan
tersebut, pemerintah justru mendorong para akuntan Indonesia untuk tidak sekedar
bertahan, namun juga menyerang dengan mengekspor jasanya ke negara-negara
ASEAN yang lain.152
Untuk mampu bersaing di ASEAN, apalagi melakukan ekspansi ke negara
ASEAN yang lain, tentu akuntan Indonesia harus memiliki daya saing. Bagaimanakah
daya saing akuntan Indonesia? Apakah sektor ini sudah didukung dengan tata
kelola/regulasi dan infrastruktur yang baik?
X.3. Sumber Daya Manusia: Perlu Upaya Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas
Setelah reformasi pada tahun 1998, banyak Undang Undang baru yang
diterbitkan untuk menciptakan good governance dan mencegah terjadinya kejahatan
keuangan seperti korupsi. Sebagai dampaknya, lembaga di berbagai sektor kini
diwajibkan oleh negara untuk mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian
dari Kantor Akuntan Publik yang independen. Berdasarkan data dari IAI, ada 226.780
organisasi yang perlu mendapatkan WTP, mulai dari lembaga pemerintah,
perusahaan, hingga yayasan dan lembaga swadaya masyarakat.153 Dengan demikian,
peluang di sektor jasa akuntansi ini terbuka lebar. Dengan perekonomian Indonesia
yang tumbuh di atas 5% per tahun, kebutuhan akan jasa akuntansi juga diprediksikan
akan semakin membesar.
Namun, jika kita melihat data jumlah akuntan Indonesia, peluang besar ini
belum dapat dipenuhi oleh jumlah akuntan tanah air. Dengan jumlah penduduk di
atas 240 juta, Indonesia jauh tertinggal di dalam jumlah akuntan yang bergabung ke
The Big 4 Firms Performance Analysis, diakses dari http://www.big4.com/wpcontent/uploads/2013/01/The-2012-Big-Four-Firms-Performance-Analysis.pdf
149 Ibid.
150 FGD 15 November 2013.
151 Lihat misalnya artikel di dalam laman resmi IAI, Akuntan Indonesia Gamang Menghadapi AFTA 2015 (sic.),
diakses dari http://www.iaiglobal.or.id/v02/berita/detail.php?catid=&id=511
148
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, dalam peringatan Hari
Ulang Tahun IAI ke-55 pada tahun 2012. Mahendra Harapkan Akuntan Indonesia Tidak Hanya Defensif, diakses
dari
http://akuntanonline.com/showdetail.php?mod=art&id=190&t=Mahendra%20Harapkan%20Akuntan%20Indon
esia%20Tidak%20Hanya%20Defensif&kat=Akuntansi
152
153
93 | A S C F I S I P U I
dalam asosiasi akuntan nasional (di Indonesia adalah IAI). Pada tahun 2013,
Indonesia memiliki 13.933 akuntan yang tercatat sebagai anggota IAI. Dari segi
jumlah nominal saja, jumlah tersebut merupakan sekitar separuh dari jumlah
akuntan yang bergabung di dalam asosiasi profesi akuntan di Singapura yang
mencapai 25.842. Jumlah ini juga di bawah Malaysia yang mencatat 29.413 akuntan
sebagai anggota asosiasi akuntan nasional di negara tersebut. Jumlah ini juga kalah
jauh jika dibandingkan dengan ekonomi terbesar kedua di ASEAN yaitu Thailand,
dengan jumlah 51.298 akuntan yang menjadi anggota asosiasi.
Jumlah akuntan yang menjadi anggota asosiasi di masing-masing negara
ASEAN dapat dilihat di dalam tabel berikut ini:
Tabel X.1. Jumlah Akuntan yang Menjadi Anggota Asosiasi Akuntan Nasional
di Negara-negara ASEAN
No
Negara
Brunei
Kamboja
Indonesia
Laos
Malaysia
Asosiasi
2008
2010
2013
BICPA
79
81
56
KICPAA
799
256
284
7.171
9.624
13.933
166
172
171
MIA
25.309
27.920
29.413
Filipina
PICPA
20.486
21.939
19.573
Singapura
ICPAS
20.257
24.758
25.842
Thailand
FAP
49.244
60.365
51.298
Vietnam
VAA
7.500
8.000
8.000
10
Myanmar
MAC
502
1.232
1.379
IAI
LICPA
94 | A S C F I S I P U I
2011
2012
2013
49.348
50.879
52.270
52.637
Akuntan Publik
928
995
1.016
1.019
408
417
396
394
106
110
119
110
48
49
45
47
Akuntan Beregister
Jumlah Akuntan Publik yang berada di kisaran seribuan ini masih tertinggal
jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang lain. Pada tahun 2012,
jumlah Akuntan Publik di Malaysia tercatat sekitar 2.500 orang. Di Thailand, jumlah
Akuntan Publik tercatat pada angka sekira 6000 orang. Sementara itu, tercatat
sejumlah 4.941 orang Akuntan Publik di Filipina.154 Jika kita perhatikan, jumlah
Akuntan Publik di Indonesia tidak bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun.
154Akuntan
95 | A S C F I S I P U I
Selain jumlah, hal lain yang menjadi tantangan adalah struktur usia dari
Akuntan Publik di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, 62%
dari Akuntan Publik kita berusia di atas 50 tahun. Yang berusia 40-50 tahun
merupakan 25% dari total Akuntan Publik Indonesia. Hanya ada 97 Akuntan Publik
di Indonesia yang usianya di bawah 40 tahun.
Grafik X.2. Struktur Usia Akuntan Publik di Indonesia
Berkaitan dengan beragamnya standar akuntansi yang berlaku di masingmasing negara, sulit untuk menemukan ukuran untuk menunjukkan kualitas dari
akuntan Indonesia jika dibandingkan dengan yang lain. Meskipun demikian,
dokumen World Bank tentang Report on the Observance of Standards and Codes dalam
bidang Accounting and Auditing tahun 2010 (selanjutnya disebut dengan Accounting
and Auditing ROSC 2010) menyebutkan beberapa catatan yang dapat menjadi
panduan kita untuk mendapatkan gambaran mengenai kualitas dari akuntan publik
di Indonesia.
Laporan yang disusun dengan melibatkan berbagai stakeholders dalam bidang
akuntansi dan audit di Indonesia tersebut misalnya menyebutkan bahwa tingkat
kesesuaian dengan standar akuntansi yang berlaku berbeda di antara Kantor
Akuntan Publik dengan ukuran yang berbeda. KAP dengan ukuran kecil biasanya
lebih sulit untuk mempersiapkan quality control dari audit karena keterbatasan
sumber daya. Di KAP besar yang berafiliasi dengan KAP Asing yang besar (The Big 4),
hasil audit seringkali dianggap mampu memenuhi standar internasional namun ada
beberapa kasus di mana quality control juga tidak terjaga dengan baik karena proses
audit lebih banyak dilakukan oleh akuntan junior. 157
ROSC 2010 tersebut juga melakukan wawancara dengan pihak PPAJP
Kementerian Keuangan yang kemudian menemukan bahwa dari lebih dari 400 KAP
Diakses dari http://www.setjen.kemenkeu.go.id/detail.php?module=layanan&act=ppajp&div=grafik1#
World Bank, Accounting and Auditing Report on the Observance of Standards and Codes 2010, diakses dari
http://www.worldbank.org/ifa/rosc_aa_indonesia.pdf
156
157
96 | A S C F I S I P U I
yang ada di Indonesia, hanya sedikit yang mampu memenuhi standar akuntansi yang
ada dengan baik. Beberapa compliance gap yang muncul antara lain:158
1. Banyak auditor tidak melakukan audit planning dengan baik.
2. Banyak dokumentasi yang diperlukan tidak disiapkan di dalam laporan.
Bahkan ketika proses yang dilakukan benar, tidak semua dokumentasi ini
dimasukkan dalam laporan untuk menunjukkan bukti dari hasil audit
tersebut.
3. Banyak auditor dianggap tidak secara serius melakukan upaya untuk
mendeteksi pemalsuan (fraud).
4. Banyak auditor tidak melakukan upaya untuk memeriksa asumsi going
concern (keberlangsungan usaha) yang digunakan oleh manajemen.
5. Banyak auditor tidak terlalu serius untuk menerapkan langkah-langkah yang
ketat untuk mengenal, menilai, dan merespon resiko dari financial
misstatement yang mungkin ditimbulkan oleh tidak tersedianya penjelasan
tentang hubungan dengan berbagai pihak yang lain.
6. Auditor seringkali menerima begitu saja valuasi dari pihak manajemen tanpa
secara kritis memberikan penilaian. Auditor juga sering begitu saja menerima
penilaian dari auditor yang lain tanpa memeriksa kualitas dari auditor yang
menyusun laporan tersebut.
158
159
Ibid.
Ibid.
97 | A S C F I S I P U I
Fadilah Kartikasasi, Siapkah Akuntan Indonesia Menghadapi Persaingan Global, diakses dari
http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/info_pm/warta/2005_juni/akuntan.pdf
161 James Perry dan Andreas Nolke, The Political Economy of International Accounting Standards, Review of
International Political Economy, Vol. 13. No. 4, 2006, halaman 559-586.
162 Dewan Standar Akuntansi Keungan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI), Progress Report DSAK IAI:
Perkembangan Konvergensi IFRS di Indonesia, dipresentasikan di Hotel Arya Duta, Jakarta, 30 Juli 2013.
163 World Bank, Accounting and Auditing Report on the Observance of Standards and Codes 2010.
164 Undang Undang No. 5 tahun 2011, pasal 6.
160
98 | A S C F I S I P U I
a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan
Publik;
f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh
Menteri; dan
h. tidak berada dalam pengampuan.
Undang-Undang tersebut juga mengatur bahwa pemberian jasa audit oleh
Akuntan Publik dan/atau KAP atas informasi keuangan historis suatu klien untuk
tahun buku yang berturut-turut dapat dibatasi dalam jangka waktu tertentu.165 Hal
ini dianggap penting untuk menjaga independensi auditor dan sekaligus
menyehatkan persaingan di antara akuntan publik. Hal ini terbukti misalnya pada
dampak pembatasan pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan pada satu
klien. Pada tahun 2003, Kementerian Keuangan menerbitkan KepMenkeu RI No.
359/KMK.06/2003 yang merupakan revisi dari KepMenkeu RI No
423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik yang membatasi jasa audit umum
atas laporan keuangan yang dilakukan oleh KAP maupun masing-masing partnernya.
Akuntan dibatasi maksimal melakukan audit selama 3 tahun berturut-turut untuk
klien yang sama dan KAP dibatasi maksimal untuk 5 tahun berturut-turut.
Sebelumnya, satu KAP dapat menangani 1 klien hingga sepuluh tahun berturut-turut
dan menyebabkan persaingan yang tidak sehat.166
Dengan demikian, kita melihat bahwa peraturan-peraturan terkait dengan
jasa asuransi di Indonesia dapat dikatakan telah cukup mapan dan semakian
membaik. Meskipun demikian, IAI mencatat ada beberapa hal yang harus diperbaiki,
antara lain:
a. Dalam UU yang ada, Akuntan hanya sebagai gelar,
b. Daftar Register Akuntan masih diperlakukan hanya sebagai suatu
proses administratif,
c. tidak ada proses pembinaan,
d. jumlah riil yang bergelar akuntan yang masih berprofesi sebagai
Akuntan tidak dapat diketahui.
e. belum ada privilege untuk pemegang gelar Akuntan.
165
166
99 | A S C F I S I P U I
Selain peraturan Undang Undang, panduan penting lain dalam tata kelola
sektor jasa akuntansi adalah standar akuntansi yang digunakan. Sebagaimana telah
dibahas pada bagian sebelumnya, masing-masing negara sebenarnya memiliki
standar akuntansi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, sejak tahun 1990-akhir,
muncul dorongan atau tekanan untuk mendorong berlakunya satu standar global.
Pada tahun 1998, World Bank meminta Big Five (waktu itu Big 4 ditambah Arthur
Andersen) untuk berhenti menggunakan nama mereka di laporan keuangan di Asia
kecuali laporan tersebut mengikuti standar internasional. 168 Hal ini dianggap
memberikan tekanan bagi otoritas-otoritas di berbagai negara untuk menyesuaikan
167
168
100 | A S C F I S I P U I
standar mereka. 169 Pada tahun 2005, seluruh perusahaan di Bursa Efek di wilayah
Uni Eropa harus menyesuaikan dengan standar IFRS.170
Menyikapi perkembangan tersebut, Indonesia juga melakukan proses
konvergensi dengan standar IFRS sejak tahun 2000-an akhir. Saat ini, proses tersebut
masih terus berlangsung. PricewaterhouseCoopers membuat perbandingan antara
PSAK dengan IFRS dan menunjukkan bahwa banyak bagian dari IFRS telah diadopsi
ke dalam PSAK, meskipun masih cukup signifikan pula bagian yang belum diadopsi
(seperti misalnya konsep Fair Value Measurement dalam IFRS 13).171
2006
2007
2008
2009
2010
Negeri
3.032
3.834
3.754
3.234
2.072
Swasta
25.956
23.501
21.895
21.168
33.232
TOTAL
28.988
27.335
25.649
24.402
35.304
James Perry dan Andreas Nolke, The Political Economy of International Accounting Standards, halaman 559.
PricewaterhouseCoopers, IFRS and Indonesian GAAP (PSAK): Similarities and Differences, (Jakarta: PwC, 2013).
172 FGD 15 November 2013.
170
171
101 | A S C F I S I P U I
Jika kita bandingkan jumlah lulusan ini dengan jumlah akuntan beregister,
maka ada kesenjangan yang cukup tinggi. Artinya, banyak sekali lulusan pendidikan
akuntansi yang tidak berkarir sebagai akuntan. Ditambah dengan temuan dari
Accounting and Auditing ROSC 2010 yang menyebutkan bahwa lulusan S-1 akuntansi
kurang memiliki kemampuan praktis dan keahlian profesional akuntan, diperlukan
pendidikan profesional untuk mengejar kesenjangan tersebut. Berkaitan dengan
upaya konvergensi dengan IFRS, perlu ada pula pelatihan-pelatihan lanjutan bagi
akuntan profesional.
103 | A S C F I S I P U I
XI
Kesimpulan dan Rekomendasi
XI.1. Kesimpulan: Pemetaan Nilai Strategis dan Daya Saing Sektor-Sektor Jasa
yang Disepakati dalam MRA dan MRA Framework
Sektor jasa adalah sektor yang semakin penting bagi perekonomian Indonesia,
baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan nasional maupun dari segi
penyerapan tenaga kerja. Dalam konteks ini, berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN
pada tahun 2015 dan liberalisasi sektor jasa yang menjadi salah satu elemen penting
di dalamnya diharapkan dapat mendorong tumbuhnya sektor jasa dan memberikan
manfaat bagi perekonomian Indonesia.
Meskipun demikian, kita juga menyaksikan bahwa banyak pihak masih
meragukan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN seiring dengan diterapkannya
Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 akan menguntungkan Indonesia, khususnya para
pekerja Indonesia. Para pelaku sektor jasa yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi
profesi yang diundang dalam FGD untuk penelitian ini secara umum menyampaikan
kekhawatiran mereka bahwa liberalisasi sektor jasa akan menimbulkan dampak
negatif bagi pelaku sektor jasa di dalam negeri.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika kita melihat neraca perdagangan
jasa, Indonesia terus menerus mengalami defisit yang besar. Nilai impor jasa kita
sekira dua kali lipat dari ekspor jasa kita, sehingga defisit kita mencapai lebih dari 10
milyar USD. Defisit ini terjadi secara konsisten hingga tahun 2012.
Di sisi lain, di banyak sektor, kehadiran penyedia jasa dari luar Indonesia
dianggap perlu karena adanya kesenjangan antara kebutuhan tenaga profesional di
sektor tersebut yang tidak mampu dicukupi oleh tenaga profesional dari dalam
negeri. Dalam konteks inilah, penting untuk memahami kondisi daya saing tenaga
terampil dan profesional Indonesia di berbagai sektor jasa, supaya liberalisasi sektor
jasa dapat bermanfaat bagi Indonesia tanpa memberikan dampak negatif yang dapat
mengganggu para profesional Indonesia di sektor jasa.
Penelitian yang berfokus pada delapan sektor yang disepakati dalam
perjanjian MRA dan MRA Framework ini menemukan gambar yang beragam, namun
juga memiliki beberapa keseragaman. Secara umum, dari segi kuantitas sumber daya
manusia, hampir semua sektor (insinyur, arsitek, perawat, dokter, dokter gigi, dan
akuntan) memiliki kekurangan jumlah tenaga profesional di bidang tersebut. Di
sektor pariwisata, karakter sektor pariwisata yang terbuka membuat kita sulit
memberikan penilaian terhadap kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan.
Meskipun demikian, kita mengetahui bahwa banyak pelaku tidak memandang
penting sertifikasi, sehingga hal ini juga dapat mengurangi daya saing, setidaknya
secara formal, di dalam penerapan MRA. Di bidang surveying, tidak tersedia data
yang memadai.
104 | A S C F I S I P U I
Dalam hal kuantitas ini, aspek distribusi juga menjadi masalah yang penting.
Di hampir semua sektor, mayoritas SDM yang tersedia terkonsentrasi di Jawa. Di sisi
lain, kehadiran tenaga asing juga belum tentu menyelesaikan masalah ini karena
justru akan menambah persaingan di tempat yang persaingannya sudah ketat seperti
di Jawa atau khususnya Jakarta. Di sektor akuntansi misalnya, jumlah pasar begitu
besar namun KAP Indonesia harus berebut di antara mereka sendiri karena
mayoritas bagian dari pasar itu sudah didominasi oleh y ang berafiliasi dengan The
Big 4.
Dari sisi kualitas, gambar yang didapatkan beragam dengan kekhasan masingmasing, mulai dari sektor surveying yang dianggap menjadi salah satu yang terbaik di
kawasan (bahkan untuk pemetaan pesisir termasuk terbaik di dunia), sampai
perawat yang kekacauan tatakelolanya berpengaruh pada kualitas sumber daya
manusianya yang membutuhkan banyak peningkatan.
Dalam aspek tata kelola, gambar yang didapatkan pun beragam. Ada sektorsektor yang relatif mapan seperti dokter, dokter gigi, dan akuntansi. Namun, ada juga
sektor yang tata kelolanya masih dipenuhi masalah seperti tumpang tindih peraturan
atau koordinasi antar lembaga yang kurang baik seperti sektor jasa keperawatan.
Ada pula yang belum memiliki UU khusus seperti sektor jasa insinyur. Salah satu
yang menjadi benang merah adalah kurangnya koordinasi di antara pelaku sektor
jasa tersebut dengan pihak-pihak yang menjadi motor di dalam liberalisasi sektor
jasa ASEAN dan tiadanya satu strategi bersama untuk memanfaatkan liberalisasi jasa
ASEAN untuk kepentingan Indonesia.
Dalam aspek infrastruktur, keberagaman juga muncul. Meskipun demikian,
secara umum hampir semua sektor memiliki kekurangan dalam hal infrastruktur
dengan derajat yang berbeda-beda.
Hal penting lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa
permasalahan di satu sektor berkaitan dengan berbagai faktor lain yang terkait.
Sebagai contoh, lambatnya pertumbuhan insinyur di Indonesia berkaitan dengan
strategi pembangunan nasional yang tidak mendorong profesi insinyur Indonesia
untuk berkembang. Gambar yang beragam itu dapat dirangkum ke dalam peta
berbentuk tabel berikut ini:
Tabel XI.1. Pemetaan Nilai Strategis dan
Daya Saing Tenaga Terampil Indonesia di 8 Sektor MRA dan MRA Framework
Sektor
Insinyur
Nilai Strategis
Sektor yang
memberikan
nilai tambah
pada industri
ekstraksi
sumber daya
alam. Berperan
penting dalam
pembangunan
SDM
Kuantitas sangat
kurang, idealnya
ada 2 juta
insinyur di
Indonesia,
namun saat ini
hanya tersedia
600-700 ribu.
Tata Kelola
Belum ada
undangundang yang
mengatur
keinsinyuran
secara khusus,
sehingga
belum ada
kejelasan tata
Infrastruktur
Terbatas dan
pendidikan
masih tertinggal
dibanding
beberapa
negara ASEAN
lainnya.
105 | A S C F I S I P U I
fisik negara.
Arsitek
Perawat
Dokter
kelola profesi
insinyur
Bagian dari
Kualitas cukup
Sudah cukup
pengembangan memadai.
baik, tapi perlu
fisik negara,
Kuantitas masih penyesuaian
seperti untuk
kurang
dengan
infrastruktur.
memadai. Hanya standar
ada 45 Arsitek
ASEAN (mis:
ASEAN di
pendidikan
Indonesia.
arsitek di
ASEAN
membutuhkan
5 tahun, di
Indonesia 4
tahun)
Bagian dari
Kekurangan baik Banyak
total Health
dari sisi
tumpang
Expenditure
kuantitas
tindih
yang
maupun kualitas, peraturan.
merupakan 2,7 termasuk dalam Nomenklatur
persen dari
aspek bahasa.
tidak jelas.
total GDP.
Koordinasi
Berkaitan
antar lembaga
dengan
kurang baik
pembangunan
(Kementerian
manusia.
Kesehatan,
Semakin
Kementerian
penting seiring
Pendidikan,
pelaksanaan
Kementerian
Jaminan
Tenaga Kerja).
Kesehatan
Nasional.
Bagian dari
Ada kesenjangan Cukup mapan.
total Health
antara
Perlu
Expenditure
kebutuhan dan
dukungan
yang
ketersediaan.
pemerintah
merupakan 2,7 Distribusi jasa
untuk
persen dari
dokter masih
mendorong
total GDP.
terpusat di Pulau keunggulan
Berkaitan
Jawa dan
dokter
dengan
Sumatera.
Indonesia.
pembangunan Standar
manusia.
kompetensi yang
Semakin
berbeda dengan
penting seiring negara ASEAN
pelaksanaan
lainnya.
Jaminan
Kesehatan
Nasional.
Terbatas dan
pendidikan
masih tertinggal
dibanding
beberapa
negara ASEAN
lainnya.
Terbatas, masih
terpusat di Jawa
Infrastruktur
dan pendidikan
masih tertinggal
dari beberapa
negara ASEAN.
106 | A S C F I S I P U I
Dokter Gigi
Pariwisata
Surveying
Bagian dari
total Health
Expenditure
yang
merupakan 2,7
persen dari
total GDP.
Berkaitan
dengan
pembangunan
manusia.
Semakin
penting seiring
pelaksanaan
Jaminan
Kesehatan
Nasional.
Pendapatan
dari wisatawan
asing mencapai
7,952 miliar
USD atau 1,1%
dari total GDP
Indonesia.
Sektor yang
terbuka,
sehingga dapat
mendorong
kesejahteraan
masyarakat
luas, termasuk
di daerah.
Berkaitan
dengan
integritas
wilayah
Indonesia.
Terkonsentrasi
di Pulau Jawa.
Dari segi
kualitas, dapat
bersaing. Karena
sifatnya yang
cenderung tidak
mementingkan
administrasi,
data jumlah
tidak tersedia.
Desentralisasi
menciptakan
peluang
namun juga
memunculkan
masalah tata
kelola.
Peraturan
tidak terlalu
diperhatikan
di lapangan.
Indonesia cukup
tertinggal
dibandingkan
negara ASEAN
yang lain.
Dari segi
kualitas,
termasuk yang
terbaik di dunia.
Namun,
pendataan
kurang baik
sehingga sulit
menilai
kecukupan
jumlah.
Tata kelola di
masingmasing
subsektor di
dalamnya
cukup baik,
namun
koordinasi di
antara
subsektor
yang berbedabeda masih
harus
diperbaiki.
Ada beberapa
tumpang
tindih,
107 | A S C F I S I P U I
Akuntan
misalnya
antara BIG
dengan BPN.
Berperan
Jumlah Akuntan Cukup mapan
penting dalam Publik tertinggal dan semakin
produksi
jika
membaik.
barang dan
dibandingkan
Upaya
jasa yang lain;
dengan
konvergensi di
penting bagi
beberapa negara standar global.
implementasi
ASEAN; jumlah
dan penegakan Akuntan Publik
peraturandi
Indonesia
peraturan yang tidak bertambah
berkaitan
secara signifikan
dengan
dari tahun ke
keuangan.
tahun; ROSC dari
World
Bank
mencatat bahwa
masih
ada
banyak
kelemahan
auditor
Indonesia;
Telur-Ayam
dalam kualitas,
karena
pasar
dikuasai
KAP
asing,
KAP
Indonesia tidak
bisa
mengembangkan
kualitas
dan
karena tidak bisa
mengembangkan
kualitas, pasar
lebih menyukai
jasa KAP global
yang dianggap
lebih memenuhi
standar
internasional.
Jumlah program
studi akuntan
cukup banyak,
namun tidak
semua
lulusannya
menjadi
akuntan.
Kurangnya
pelatihan
profesional.
108 | A S C F I S I P U I
Berikut ini adalah daftar rekomendasi yang ditujukan untuk pemerintah, asosiasi dan
media yang bersifat spesifik di masing-masing sektor. Media menjadi salah satu
sasaran hasil penelitian ini, mengingat bahwa media sangat mempunyai peran
strategis untuk melakukan sosialisasi informasi tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN
kepada seluruh laipsan masyarakat dan mengawal persiapan yang dilakukan baik
oleh pemerintah maupun stakeholders lainnya.
109 | A S C F I S I P U I
Sektor Jasa
1.
2.
Insinyur
3.
4.
Rekomendasi
Pemerintah
Asosiasi
Media
Adanya keperluan mendesak 1. Mendorong anggota asosiasi untuk (Rekomendasi untuk kalangan media
untuk segera mengesahkan RUU
melakukan
sertifikasi
profesi secara umum berlaku untuk seluruh
Keinsinyuran agar peraturan
insinyur ASEAN.
sektor jasa yang disebutkan dalam
mengenai profesi insinyur lebih 2. Bersama
dengan
pemerintah penelitian ini)
memiliki kualifikasi dibanding
menyusun kurikulum pendidikan
sebelumnya yang belum ada UU
keteknikan untuk meningkatkan 1. Melakukan sosialisasi kepada
yang mengaturnya.
kualitas sarjana teknik.
masyarakat mengenai Komunitas
Koordinasi dengan pemerintah 3. Membangun komunikasi dengan
Ekonomi ASEAN 2015
dalam hal pendidikan agar
asosiasi profesi yang lain untuk 2. Melakukan sosialisasi kepada
kuantitas dan kualitas sarjana
memastikan bahwa liberalisasi
masyarakat
dan
pemerintah
teknik bisa meningkat, seiring
sektor
jasa
ASEAN
mengenai
keberadaan
dan
dengan peningkatan kualitas
mempertimbangkan kepentingan
kebutuhan asosiasi profesi yang
perguruan tinggi penyelenggara
tenaga kerja terampil/profesional
akan masuk ke dalam Komunitas
pendidikan teknik.
Indonesia.
Ekonomi ASEAN.
Kebijakan pemerintah untuk tidak
3. Secara kritis mengawasi kesiapan
berorientasi pada penjualan hasil
pemerintah dalam menghadapi
mentah atas sumber daya alam
Komunitas Ekonomi ASEAN 2015.
yang
diperoleh
dari
bumi
Indonesia
dengan
tujuan
menciptakan lapangan pekerjaan
yang lebih besar bagi sarjana
teknik.
Perlu adanya
insentif dari
pemerintah
kepada
profesi
insinyur yang telah memperoleh
sertifikat ASEAN. Sebab jika
110 | A S C F I S I P U I
1.
2.
3.
Arsitek
4.
Perawat
insinyur
telah
memperoleh
sertifikat ASEAN namun tidak ada
penghargaan lebih atau insentif
dari pemerintah, maka dorongan
bagi insinyur untuk mengambil
sertifikasi ASEAN tidak akan
terwujud.
Menyesuaikan durasi pendidikan 1. Mendorong arsitek Indonesia untuk
arsitek
nasional
supaya
melakukan
sertifikasi
ASEAN
kompatibel
dengan
standar
Architect.
ASEAN.
2. Bersama
dengan
pemerintah
Meningkatkan
kualitas
dan
menyusun kurikulum pendidikan
kuantitas pendidikan arsitek.
keteknikan untuk meningkatkan
Memberikan
persyaratan
kualitas sarjana arsitektur.
tambahan dalam praktik arsitek 3. Membangun komunikasi dengan
lintas negara ASEAN seperti
asosiasi profesi yang lain untuk
dengan
regulasi
tentang
memastikan bahwa liberalisasi
kandungan lokal dalam setiap
sektor
jasa
ASEAN
karya yang dihasilkan sesuai
mempertimbangkan kepentingan
dengan karakter khas budaya
tenaga kerja terampil/profesional
yang ada di wilayah Indonesia.
Indonesia.
Mempromosikan budaya nasional
yang beridentitas, termasuk dalam
pilihan gaya arsitektur.
1. Mengkaji
kembali
beberapa 1. Mendorong pemerintah agar segera
kebijakan
di
sector
jasa
mengesahkan RUU Keperawatan
keperawatan terkait misalnya
sehingga Konsil Keperawatan di
definisi tentang profesi perawat,
Indonesia bisa segera didirikan.
proses sertifikasi yang tumpang 2. Lebih
aktif
menyosialisasikan
tindih, dan jenjang kependidikan
mengenai
professional
nurse
111 | A S C F I S I P U I
Dokter
2.
3.
4.
5.
Dokter Gigi
keseragaman
kompetensi
negara ASEAN.
bersama di antara negara-negara 2. Bersama dengan Kementerian
ASEAN.
Kesehatan,
Kementerian
Mereview secara rutin standar
Pendidikan dan Kebudayaan, dan
kompetensi yang sudah dibuat
asosiasi terkait untuk memperketat
untuk
bisa
mengikuti
ujian kompentensi dokter seiring
perkembangan
standar
dengan makin banyaknya jumlah
kompetensi di negara lainnya;
fakultas kedokteran di Indonesia.
Memperbanyak jumlah dokter 3. Membangun komunikasi dengan
dengan
cara memperbanyak
asosiasi profesi yang lain untuk
institusi pendidikan kedokteran.
memastikan bahwa liberalisasi
Selain itu, perlu memetakan
sektor
jasa
ASEAN
kembali distribusi dokter dan
mempertimbangkan kepentingan
intitusi kedokteran yang selama
tenaga kerja terampil/profesional
ini bertumpuk di Pulau Jawa.
Indonesia.
Memperkuat
infrastruktur
pendukung dalam hal ini teknologi
kedokteran
dan
institusi
pendidikan
kedokteran
yang
memadai.
Terkait dengan praktik dokter
asing,
pemerintah
perlu
memikirkan untuk menggunakan
celah
dalam
MRA
untuk
memposisikan dokter Indonesia
menjadi
lebih
kompetitif
dibandingkan
dokter
asing,
misalnya melalui persyaratan
penguasaan bahasa setempat.
Profesional
Pariwisata
jika
mereka
mampu
memanfaatkan
infrastruktur
pariwisata
dan
pendukung
pariwisata di negara lain dengan
baik, seperti misalnya membuka
bisnis pariwisata di Singapura
atau Malaysia yang peringkatnya
lebih baik, lalu diintegrasikan
dengan pariwisata Indonesia
(misalnya: Paket Wisata ASEAN).
Untuk itu, perlu dukungan
pemerintah untuk memetakan
peluang di sektor ini di berbagai
negara ASEAN yang lain.
3. Perbaikan
infrastruktur
pariwisata
dan
infrastruktur
pendukung seperti infrastruktur
transportasi darat dan udara.
4. Mendorong tenaga profesional
pariwisata di Indonesia untuk
memiliki
sertifikasi.
Karena
banyak pelakunya saat ini masih
tidak memandang hal tersebut
penting,
pemerintah
harus
proaktif dengan tidak menunggu
para profesional ini datang untuk
diuji.
Pemerintah
bisa
mendatangi tempat-tempat di
mana banyak profesional ini
berkumpul dan melakukan proses
sertifikasi di tempat tersebut
(semacam Sertifikasi Profesional
115 | A S C F I S I P U I
Pariwisata Keliling).
Surveying
116 | A S C F I S I P U I
1. Menyempurnakan
sistem 1. Mendorong anggota asosiasi untuk
pendidikan profesional akuntan
melakukan
sertifikasi
profesi
dengan melakukan beberapa
akuntan ASEAN.
perubahan dalam regulasi (misal: 2. Konvergensi dengan IFRS harus
akuntan sebagai profesi, tidak
dilakukan dengan cermat sesuai
sekedar gelar). Contoh lainnya
dengan kebutuhan nasional.
adalah mendorong penerapan 3. Membangun
komunikasi
dan
Chartered Accountant.
koordinasi dengan masyarakat
2. Berkaitan dengan nilai strategis
profesional yang lain untuk saling
suatu
sektor,
perlu
ada
mendorong daya saing Indonesia di
pembatasan bahwa hanya akuntan
masing-masing sektor. Sebagai
Akuntansi
Indonesialah yang dapat terlibat
contoh, IAI dapat membantu rumah
di dalam pelayanan jasa akuntansi
sakit di Indonesia menjadi lebih
di sektor tersebut. Sebagai contoh,
baik secara manajemen sehingga
lembaga pemerintah di tingkat
dapat bersaing dengan rumah sakit
pusat maupun daerah seharusnya
di Malaysia atau Singapura. Untuk
diaudit oleh KAP Indonesia.
itu, ada usulan untuk membangun
3. Melakukan pemetaan potensi
Masyarakat Profesional Indonesia.
pasar jasa akuntan di dalam
negeri dan di negara-negara
ASEAN yang lain.
117 | A S C F I S I P U I
119 | A S C F I S I P U I