Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

PENATALAKSANAAN ASTHMA AKUT

DOKTER PEMBIMBING:
Dr. Atika Sari, Sp.P

DISUSUN OLEH:
YANI NUR INDRASARI
030.09.272

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSAL DR. MINTOHARDJO
PERIODE 26 AGUSTUS- 2 NOVEMBER 2013

LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Yani Nur Indrasari

NIM

: 030.09.272

Bagian

: Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSAL Mintohardjo

Judul Referat

: Penatalaksanaan Asthma Akut

Pembimbing

: dr. Atika Sari, Sp.P

Jakarta, September 2013


Pembimbing,

Dr. Atika Sari, Sp.P


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

........................................................................................2

BAB I. PENDAHULUAN

.................................................................................... 4-5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


Anatomi paru

.....................................................................................6-7

Asma

...................................................................................7-15

Penatalaksanaan asma akut

.................................................................................16-18

BAB III. KESIMPULAN

......................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

......................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN
3

Dari waktu ke waktu definisi asma terus mengalami perubahan. Definisi asma
ternyata tidak mempermudah diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli
berpendapat: asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1) obstruksi aluran
nafas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien, baik secara spontan
maupun dengan pengobatan); 2) inflamasi saluran nafas; 3) penigkatan respons
saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).
Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti, batuk,
mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara
bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan, tetapi dapat pula
terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat
obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas, dipengaruhi oleh edema
dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga
baik obstruksi maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan didasari
oleh inflamasi saluran napas.1
Latar belakang
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala
pernapasan.2 Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam
kelompok penyakit paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang
ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap
berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang
disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini
bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun
karena pemberian obat.3
Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah
2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia
dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia
remaja dibandingkan dengan perempuan.4
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka
ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.5

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood


(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5%
dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di
Indonesia.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI PARU

Saluran pernapasan adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat
lintasan dan tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernapasan. Saluran ini
berpangkal pada hidung atau mulut dan berakhir pada paru-paru. Pada saat inspirasi, udara
akan masuk ke hidung dan akan disesuaikan suhu dan kelembapannya, kerongkongan bagian
atas lalu ke bawah untuk selanjutnya masuk tenggorokan(larynx), trachea, bronkus, alveolus.
Pleura dan paru terletak pada kedua sisi mediastinum di dalam cavitas thoracis.
Pleura
Pleura dibagi menjadi dua yaitu pleura visceral ( selaput dada pembungkus) yaitu
selaput paru yang langsung membungkus paru-paru dan pleura parietal yaitu selaput yang
melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua lapisan ini terdapat rongga kavum yang
disebut kavum pleura.
Normalnya cavitas pleuralis mengandung sedikit cairan jaringan, cairan pleura yang
memungkinkan kedua lapisan pleura bergerak satu dengan yang lain dengan sedikit
pergesekan.
Pulmo
Paru-paru dibagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri dari 3 lobus (
lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media, lobus pulmo dekstra inferior) dan
paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus ( lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior).
Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil yang bernama segmen. Paru-paru kiri
memiliki 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior dan lima lobus inferior. Paruparu kiri juga memiliki 10 segmen, yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen
6

pada lobus medialis, dan 3 segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Letak paru-paru di rongga dada datarnya menghadap ke tengah rongga dada / kavum
mediastinum.. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum
depan terletak jantung. Masing-masing paru mempunyai: Apex pulmonis yang tumpul, yang
menonjol ke atas ke dalam leher sekitar 1 inci di atas clavicula, Basis pulmonis yang konkaf
tempat terdapat diaphragma.
Paru Kanan; Pulmo Dexter
Pulmo dexter sedikit lebih besar dari pulmo sinister dan dibagi oleh fissure oblique
dan fissure horizontalis. Terbagi menjadi 3 lobus: lobus superior, lobus medius dan lobus
inferior.
Paru Kiri; Pulmo Sinister
Pulmo sinister dibagi oleh fissuara oblique. Terbagi menjadi 2 lobus: lobus superior
dan lobus inferior.
Perdarahan Paru
Bronchi, jaringan ikat paru dan pleura visceralis menerima darah dari arteriae
bronchiales yang merupakan cabang aorta descendens. Alveoli menerima darah dari cabangcabang terminal arteriae pulmonales. Darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler
alveoli masuk ke cabang-cabng venae pulmonales, kemudian bermuara ke dalam atrium
sinistrum cor.
Persarafan
Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis yang terdiri dari serabut aferen dan
eferen otonom. Plexus dibentuk dari cabang-cabang truncus sympathicus dan menerima
serabut saraf parsimpatis dari nervus vagus. Serabut-serabut eferen simpatis mengakibatkan
broncodilatsi dan vasokontriksi. Serabut - serabut eferen parasimpatis mengakibatkan
bronkokontriksi dan vasodilatasi.7
ASMA
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan
hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.

Asma akut yaitu serangan asma / asma eksaserbasi. Kejadian peningkatan sesak napas, batuk,
chest thigtness, dan/ atau mengi yang progresif.2

1. Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru. Pengukuran faal paru digunakan
untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
(APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.

Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma

Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). Alat PEF meter relatif
8

mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan
penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE
dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu)
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit
(lihat klasifikasi)
2. Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor
pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada
usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
pernapasan

dan

meningkatkan

kemungkinan

terjadinya

asma.

Meskipun

mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma,
dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
3. Faktor Pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah
sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti.
9

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma


mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya
dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh
alergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi
inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang
sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
4. Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi

menurut

berat-ringannya

asma

yang

sangat

penting

dalam

penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut)8:
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat
(Tabel.1)

10

2. Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik)
dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma
persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan
pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.8
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan8

11

5. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan
pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target
saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan
hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang

12

sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi,
interaksi antara sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan
saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama
pada malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan
yaitu penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.9

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

pemicu
Hiperreaktivitas

Banyak Sel :
Sel Mast
Eosinofil
Netrofil
Limfosit

Melepas MEDIATOR :
Histamin
Prostaglandin (PG)
Leukotrien (L)
Platelet Activating Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
BATUK, MENGI, SESAK
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Faktor faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya

riwayat alergi.
Pemeriksaan Fisik
13

Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi


saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan

denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,
kristal Charcot Leyden).
Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang
merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa
(FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
o Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus
terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.
o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri,
obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada
serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.10

14

PENATALAKSANAAN ASMA AKUT


Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu
lokakarya Global Initiative for Asthma: Management and Prevention yang dikoordinasikan
oleh National Heart, Lung and Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi
lokakarya tersebut dikenal sebagai GINA yang diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui
pada tahun 1998, 2002, 2006, dan yang terakhir adalah 2008.
Tujuan penatalaksanaan asma adalah:

Mencapai dan mempertahankan kontrol gejala-gejala asma


Mempertahankan aktivitas yang normal termasuk olahraga
Menjaga fungsi paru senormal mungkin
Mencegah eksaserbasi asma
Menghindari reaksi adversi obat asma
Mencegah kematian karena asma

15

Untuk mencapai tujuan diatas, GINA merrekomendasikan 5 komponen yang saling terkait
dalam penatalaksanaan asma:
1. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter
Kerja sama yang baik antara dokter-pasien, akan mempercepat tujuan penatalaksanaan asma,
yaitu dengan bimbingan dokter, pasien didukung untuk mampu mengontrol asmanya
sehingga pasien mampu mengenal kapan asmanya memburuk, kapan harus segera
menghubungi dokter, kapan harus segera mengunjungi IGD, dan akhirya akan meningkatkan
kepercayaan diri dan ketaatan berobat pasien.
2. Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor resiko
Untuk mencapai kontrol asma diperlukan identifikasi mengenai faktor-faktor yang dapat
memperburuk gejala asma atau faktor penceus.
3. Penilaian, pengobatan, dan pemantauan keadaan kontrol asma
Tujuan terpenting penatalaksanaan asma adalah mencapai dan mempertahankan kontrol
asma. GINA membagi tingkat kontrol asma menjadi tiga tingkatan yaitu, terkontrol
sempurna, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol. Bila dengan obat yang diberikan saat ini
asma belum terkontrol, maka dosis atau jenis obat ditingkatkan. Bila kontrol asma dapat
tercapai dan dapat dipertahankan terkontrol paling tidak selama 3 bulan maka tingkat
pengobatan asma dapat dicoba untuk diturunkan. Sebaliknya, bila respons pengobatan belum
memadai, maka tingkat pengobatan dinaikkan. Pengukuran kontrol asma melalui tes kontrol
asma atau Asthma Control Test dengan interpretasi skor adalah:

Bila kurang atau sama dengan 19 asma tidak terkontrol (dibawah 15 dikatakan

asma tidak terkontrol buruk)


20-24 dikatakan terkontrol baik
25 dikatakan terkontrol total / sempurna
4. Atasi serangan asma
Prinsip pengobatan asma akut adalah memelihara saturasi oksigen yang cukup (Sa O 2
92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran napas dengan pemberian
bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium bromida) dan mengurangi inflamasi
serta mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Pemberian oksigen
1-3 liter/menit, diusahakan mencapai Sa O2 92%, sehingga bila penderita telah mempunyai
Sa O2 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup merupakan pbat anti-asma pada
serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau sedang,
pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi serangan. Obat16

obat anti-asma yang lain seperti, antikolinergik hirup, teofilin, dan agonis beta 2 oral
merupakan obat-obat alternatif karena mula kerja yang lama dan efek sampingnya lebih
besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan.
Sebagian peneliti menganjurkan pemberian kombinasi Ipratropium bromida dengan
salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya
pengobatan.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respons terhadap agonis beta 2 hirup tidak
memuaskan. Dosis prednisolon antara 0,5-1 mg/kgBB atau ekuivalennya. Perbaikan biasanya
terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan beberapa hari. Tetapi, jika tidak
ada perbaikan atau ada perbaikan minimal, segera pasien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang
lebih baik atau IGD rumah sakit dengan prinsip pengawasan terhadap APE/PFR, saturasi
oksigen, dan fungsi jantung. Pasien segera dirujuk, bila1:
1. Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma
2. Serangan asma berat APE <60% nilai prediksi
3. Respons bronkodilator tidak segera, dan bila ada respons hanya bertahan kurang
dari 3 jam
4. Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid
5. Gejala asma semakin memburuk
5. Penatalaksanaan asma pada keadaan khusus
Kehamilan
Pembedahan
Rinitis dan sinusitis
Reflux gastroesofageal
Anafilaksis

17

BAB III
KESIMPULAN
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan
hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan. Obstruksi
saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti, batuk, mengi, dan sesak napas.
Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan
bahkan menetap dengan pengobatan, tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga
menimbulkan kesulitan bernapas yang akut.
Pemeriksaan penunjang untuk asma adalah dengan melakukan pemeriksaan
spirometri, uji provokasi bronkus, dan foto toraks. Prinsip dari penatalaksanaan pada asma
akut adalah mencapai kontrol asma yaitu dengan mengidentifikasikan faktor pencetus asma ,
pengawasan terhadap APE/PFR, saturasi O2, dan fungsi jantung setelah pemberian obatobatan asma, seperti terapi oksigen dan pemberian glukokortikoid sistemik serta yang
terpenting adalah bina hubungan yang baik antara dokter dengan pasien.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Sundaru H, Sukamto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Asma Bronkiale, fifth edition,
volume one, Jakarta Pusat: Interna Publishing, 2009. p. 404-414
2. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 87.
3. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2002. h 263 300.
4. Morris MJ. Asthma. [ updated 2011 June 13; cited 2011 June 29]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
5. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur
Respir Rev 2007; 16: 104, 6772
6. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009
May 4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5
7. Snell RS. Anatomi Klinik. Jakarta: ECG.

19

8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.
9. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal
Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 6.
10. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 82.

20

Anda mungkin juga menyukai