Arteri koroner dan cabang-cabangnya pada umumnya terletak pada subepikardial. Beberapa individu terkadang memiliki serabut-serabut otot yang
melintang di atas pembuluh darah dan akhirnya membentuk seperti jembatan.
Struktur anatomi ini yang disebut sebagai myocardial bridge atau arteri koroner
bridge dan merupakan penyebab penyempitan arteri koroner selama fase
sistolik.2 Myocardial bridging (MB) adalah suatu anomali kongenital arteri
koroner yang ditandai adanya arteri koroner epikardial yang masuk kedalam
miokard. Pertama kali tercatat sebagai anomali kongenital yang benigna selama
lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak itu pula myocardial bridging telah diakui
sebagai penyebab angina pektoris stabil dan tidak stabil.1 Umumnya arteri
koroner terletak di atas otot jantung, tetapi dalam hal ini karena adanya anomali
tersebut sehingga menyebabkan arteri koroner yang terlibat akan menyempit
akibat tekanan otot pada saat kontraksi terjadi. Fenomena ini pertama kali
ditemukan oleh Reyman pada tahun 1737, dan meskipun kemudian telah
disebutkan dalam literatur-literatur tetapi myocardial bridging dibahas dengan
selengkap-lengkapnya oleh Geiringer pada tahun 1951.3 dan pertama kali
digambarkan secara angiografi oleh Portman dan Iwig pada tahun 1961.
Prevalensi myocardial bridging yang ditemukan dengan autopsi bervariasi dari
15%-85.7% dan secara angiografi berkisar 0.5%-16%. Insiden anomali ini lebih
tinggi wanita dibandingkan pria.2 Myocardial bridging lebih sering ditemukan di
left anterior descending artery (LAD) terutama di mid dan distal.
miokard dan sudden death. Karena seringnya tidak bergejala maka terkadang
myocardial bridging sering tidak diketahui bahkan oleh penderitanya. Gejala yang
timbul tergantung pada luas dan panjangnya daerah myocardial bridging tersebut.
Gejala yang paling sering dikeluhkan oleh penderita adalah nyeri dada angina.1
Angina pada myocardial bridging dapat diterapi dengan menggunkan betablockers atau calcium-channel blockers.1 Pasien-pasien yang refrakter walaupun
telah diterapi dengan obat-obatan adalah kandidat untuk terapi revaskularisasi
dengan CABG atau percutaneous stenting.1
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. A
Umur
: 46 Tahun
Nomor MR
: 691267
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
2. Tanda vital
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi
: 80 x/menit, reguler
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,7C (aksilla)
3. Kepala
Mata
Bibir
: Sianosis (-)
Leher
4. Dada
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor
Palpasi
Perkusi
: Pekak
Batas kanan
Batas kiri
Perkusi
7. Ekstremitas
Irama
: Sinus
Heart rate
: 88 x / menit
Axis
: Normoaxis
Interval PR
: 0.16 detik
Segmen ST
: ST elevasi v1-v4
T wave
: Normal
Kesan
: Anteroseptal MCI
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin (1 Desember 2014)
RBC
: 5,06 x 106
Hb
: 15,1 gr/dl
HCT
: 43,7%
MCV : 86 fl
MCH : 29,9 pg
NEUT : 68,5 %
LYMPH: 21,8%
MONO : 6,8 %
EOS
BASO : 0,8 %
: 2,1 %
GDS : 85 mg/dl
Ureum : 33 mg/dl
SGOT : 32 U/I
SGPT : 65 U/I
PT
INR
:0,91
CK
: 121 U/l
Cholesterol total
: 190 mg/dl
HDL
: 37 mg/dl
LDL
: 100 mg/dl
Trigliserida
: 171 mg/dl
Global normokinetik
Katup-katup normal
LAD
LCX
: Normal
RCA
: Normal
I. DIAGNOSIS
Muscle bridging
J. PENGOBATAN
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri dada kiri yang dirasakan saat sedang
beraktivitas, nyeri dirasakan tembus ke belakang menjalar ke lengan kiri, meskipun tidak
ditemukan faktor resiko pada pasien ini seperti diabetes mellitus, hipertensi dan riwayat
keluarga akan tetapi pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya ST elevasi di V1-V4
sehingga mengarahkan pada diagnosis miokard infark. Pada pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan adanya peningkatan pada enzim jantung sehingga didiagnosa sebagai
angina pektoris tidak stabil.
Angina pektoris tidak stabil dikelompokkan ke dalam sindrom koroner akut.
Sindrom koroner akut adalah kegawatan kardiovascular yang merupakan penyebab utama
kematian. Kematian berhubungan dengan luasnya miokard yang terkena. Oleh karena itu,
upaya membatasi luas infark akan menurunkan mortalitas.
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut
Penyebab terjadinya Sindrom koroner akut adalah akibat thrombosis koroner dan
robekan plak. Plak yang mengalami robekan kemudian merangsang agregasi trombosit
yang selanjutnya akan membentuk thrombus. Sumbatan thrombus yang parsial akan
menimbulkan gejala iskemia yang progresif . Oklusi thrombus yang intermitten dapat
menyebabkan nekrosis miokard sehingga menimbulkan NSTEMI. Jika thrombus
menyumbat total pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang lama maka akan
menyebabkan STEMI.
10
dari miokard maka akan menjepit arteri sehingga pasokan darah ke jantung menjadi
berkurang. Derajat obstruksi koroner tergantung dari lokasi, ketebalan dan panjangnya
myocardial bridging dan derajat kontraksi jantung. Pada umumnya myocardial bridging
bukanlah merupakan kondisi yang mengkhawatirkan akan tetapi beberapa sumber
menyebutkan komplikasi dari myocardial bridging adalah terjadinya iskemik dan sindrom
koroner akut.
Gbr 3. Angiografi koroner menunjukkan kompresi pada arteri mid LAD pada fase
sistolik. (myocardial bridging) (kiri), mid LAD yang terbuka sempurna pada saat fase
diastolik (kanan).
Umumnya
pasien
dengan
myocardial
bridging
tidak
menunjukkan
gejala/asimptomatik. Walaupun sebagian besar pasien tidak bergejala, gejala yang paling
sering berkaitan dengan myocardial bridging bervariasi dari angina hingga infark miokard,
aritmia malignan hingga kematian mendadak.2,3 Tingkat keparahan gejala pada
myocardial bridging berkaitan dengan lokalisasi, panjang dan kedalamannya serta adanya
hipertrofi ventrikel kiri atau adanya peningkatan tekanan intraventrikular.2
Myocardial bridging biasanya ditemukan secara insidental pada saat pemeriksaan
angiografi koroner. Pada angiografi koroner ditemukan suatu fenomena yang disebut
milking effect dimana pada saat sistol terjadi pengurangan diameter lumen arteri
sebanyak 70% saat sistol dan 35% saat diastole.2
Patomekanisme
terjadinya
iskemia
pada
myocardial
bridging
meliputi
Strest test
Untuk melihat perubahan EKG pada saat beraktivitas (takikardi)
Angiography koroner
Untuk menilai pembuluh darah koroner apakah terdapat plak atherosklerotik pada
lumen pembuluh darah atau adanya milking effect
Penatalaksanaan
1. Konservatif , yang biasanya sering digunakan adalah B-bloker atau calcium
channel bloker. Manfaat penggunaan beta-bloker adalah untuk memperpanjang
fase diastolik sehingga mengurangi nyeri dada angina
2. Pembedahan
Pasien-pasien yang telah diterapi dengan obat-obatan tetapi tidak mengalami
perbaikan dipertimbangkan untuk pemberian terapi revaskularisasi dengan CABG
ataupun percutaneous stenting.
Terapi berupa pembedahan juga dapat dilakukan dengan myotomi, tergantung berat
ringannya kompresi pada arteri koroner.
13